Anda di halaman 1dari 8

Nama : Ahya Khoirunisa Acwa

NIM : 43020200085
MANAJEMEN DAKWAH 2B
UAS ILMU DAKWAH
1. Pentingnya peranan hal-hal berikut:
a) Tenggang Rasa
Tenggang Rasa merupakan sikap seseorang yang mampu menghargai dan menghormati
orang lain baik secara lisan maupun perbuatan. Akhmad (2012:72) menyatakan bahwa
“tenggang rasa adalah suatu sikap hidup dalam ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang
mencerminkan sikap menghargai dan menghormati yang lain”. Artinya tenggang rasa
merupakan sikap yang mencerminkan menghargai dan menghormati orang lain melalui
ucapan, perbuatan, dan tingkah laku. Ada beberapa indicator seseorang dikatakan memiliki
sikap tenggang rasa. Ahmad (2000:34) menyatakan bahwa 1) adanya saling menghargai satu
sama lain. 2) menghindari sikap masa bodoh. 3) tidak mengganggu orang lain. 4) selalu
menjaga perasaan orang lain. 5) selalu menjaga perasaan orang lain dalam pergaulan. “artinya
unsur-unsur tenggang rasa terdiri dari 1) menghargai orang lain. 2) memiliki sikap peduli
terhadap orang lain. 3) tidak mengganggu orang lain. 4) menjaga perasaan orang lain. 5)
Menjaga ucapan agar tidak menyinggung orang lain.1

b) Toleransi
Toleransi berasal dari bahasa latin tolerantia, berarti kelonggaran, kelembutan hati,
keringanan dan kesabaran. Secara umum istilah toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang
dada, suka rela dan kelembutan. Unesco mengartikan toleransi sebagai sikap saling
menghormati, saling menerima, saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan
berekspresi dan karakter manusia.
Toleransi harus didukung oleh cakrawala pengetahuan yang luas, bersikap terbuka,
dialog, kebebasan berpikir dan beragama. Pendek kata toleransi setara dengan sikap positif,
dan menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasi sebagai manusia.
Toleransi beragama adalah toleransi yang mencakup masalah-masalah keyakinan dalam diri
manusia yang berhubungan dengan akidah atau ketuhanan yang diyakininya. Seseorang harus
diberikan kebebasan untuk meyakini dan memeluk agama (mempunyai akidah) yang
dipilihnya masing-masing serta memberikan penghormatan atas pelaksanaan ajaran-ajaran
yang dianut atau di yakininya.
Toleransi beragama merupakan realisasi dari ekspresi pengalaman keagamaan dalam
bentuk komunitas. Ekspresi pengalaman keagamaan dalam bentuk kelompok ini, menurut
Joachim Wach, merupakan tanggapan manusia beragama terhadap realitas mutlak yang
diwujudkan dalam bentuk jalinan sosial antar umat seagama ataupun berbeda agama, guna
membuktikan bahwa bagi mereka realitas mutlak merupakan elan vital keberagamaan
manusia dalam pergaulan sosial, dan ini terdapat dalam setiap agama, baik yang masih hidup
bahkan yang sudah punah. Menurut Fritjhof Schuon, agama secara eksoteris terlahir di dunia
ini berbeda-beda. Akan tetapi terlepas dari perbedaan yang muncul dalam agama-agama,
secara esoterik7 agama-agama yang ada di dunia memiliki prinsip yang sama, yaitu

1
Suhendri, Huri. Pengembangan Instrumen Pengukuran Tenggang Rasa Peserta Didik, 2017
https://journal.lppmunindra.ac.id/index.php/repository/article/view/2046
bersumber dan tertuju pada Supreme Being. Cara Schuon membedakan kedua aspek agama
ini bisa diterapkan sebagai panduan bagaimana manusia yang berbeda agama bertemu satu
sama lain dalam memberikan peran mereka sebagai hamba TuhanYang Esa di dunia ini.
Toleransi merupakan bentuk akomodasi dalam interaksi sosial.8 Manusia beragama secara
sosial tidak bisa menafikan bahwa mereka harus bergaul bukan hanya dengan kelompoknya
sendiri, tetapi juga dengan kelompok berbeda agama. Umat beragama musti berupaya
memunculkan toleransi untuk menjaga kestabilan sosial sehingga tidak terjadi benturan-
benturan ideologi dan fisik di antara umat berbeda agama. Artikel ini ditulis dengan tujuan
agar kehidupan beragama dapat terbina harmonis. Kehidupan bergama dalam masyarakat
plural akan terjalin harmonis bila semua umat yang berbeda agama memiliki sikap toleransi
terhadap satu sama lain. Sejarah mencatat banyak pertumpahan darah atas nama agama
terjadi akibat tidak adanya kesaling-pahaman antara satu sama lain, yang semestinya
terwujud dalam sikap toleransi.2

c) Multikultural
Multikulturalisme memiliki banyak pengertian. Salah satu pengertiannya menekankan
adanya penghargaan terhadap keanekaragaman di luar kebiasaan atau budaya dominan.
Pandangan multikulturalisme bermanfaat untuk mengetahui bagaimana struktur sosial
menciptakan dan menjaga budaya- budaya yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Menurut Azyumardi Azra, “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah “pandangan dunia yang
kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan
penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat” (Rivai 2004). Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai
pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik.
Bhikhu Parekh mengatakan bahwa masyarakat multikultural adalah ”suatu masyarakat yang
terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit
perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah,
adat serta kebiasaan” (2004). “A Multicultural society, then is one that includes several
cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world,
system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practice”.
Menurut Lawrence Blum, multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan
serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang
budaya etnis orang lain. Suparlan menyebutkan multikulturalisme merupakan sebuah ideologi
yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual
maupun secara kebudayaan. Sementara menurut M. Atho’ Muzhar, “Multikulturalisme
mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat
suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, tetapi
mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan
mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut” (Rivai 2004). 3

2. Problematika kehidupan masyarakat


2
Casram. Membangun Sikap Toleransi Beragama Dalam Masyarakat Plural.
https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jw/article/view/588
3
Abidin, Zinal. 2016. Menanamkan Konsep Multikulturalisme Di Indonesia.
https://ejournal.fisip.unjani.ac.id/index.php/jurnal-dinamika-global/article/view/24
a) Berlebih-lebihan yang berefek pada fanatisme
Fanatik merupakan salah satu perilaku yang harus dihindari oleh Muslim. Berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, fanatik adalah teramat kuat (tentang kepercayaan atau
keyakinan) terhadap suatu ajaran, seperti politik dan agama.
Pakar Tafsir Alquran asal Indonesia, Prof. M. Quraish Shihab mengatakan fanatik adalah
suatu keterikatan. Perilaku fanatik bisa dinilai baik atau buruk, buruk jika sudah berlaku
tidak adil kepada orang lain.
“Jadi fanatik itu buruknya bukan pada keterikatan seseorang kepada agama. Kalau
keyakinan membuat kita berlaku tidak adil, itu yang buruk. Dalam Alquran dikatakan begini,
sampaikanlah wahai Nabi Muhammad kepada non-Muslim : kami (kaum Muslimin) atau
kamu wahai non-Muslim, boleh jadi dalam kebenaran, boleh jadi juga dalam kesesatan,”
kata Quraish Shihab.4

b) Etnosentrisme dan eksklusifisme menjadi sumber intoleran (keterkotakan)


Etnosentrisme merupakan salah satu istilah populer di kalangan akademis dan masyarakat
secara umum terkait dengan ilmu sosiologi. Ilmu sosiologi sendiri merupakan salah satu
cabang ilmu pengetahuan yang membahas tentang hubungan dan perilaku satu manusia ke
manusia lainnya. Penyebab munculnya prinsip etnosentrisme yang berikutnya adalah
multikulturalisme. Dengan kondisi lingkungan sosial yang beragam tersebut, terkadang
timbul perasaan untuk membandingkan hingga terjadi konflik. Hal ini rentan terjadi saat
beberapa kebudayaan saling bertemu.5

c) Efek Negatif Era 4.0 melahirkan egoisme dan individualism


Adannya Egoisme pada diri, orang akan cenderung menyalahkan orang lain, sering mendebat
orang lain, sulit menerima kritik orang lain, takut gagal, sulit untuk meminta maaf, mudah
frustasi dan tidak sabar, tidak mau berbagai trik membuat diri sendiri tampak lebih pintar dari
yang dikira. 6
d) Polarisme pemahaman menciptakan sikap pembenaran diri
Mencari kebenaran di balik suatu perkara, memang bukanlah hal yang mudah. Tak heran
bila ada orang-orang yang memilih untuk mencari pembenaran daripada kebenaran.
Pembenaran adalah hal yang seolah-olah atau terlihat benar, padahal belum tentu dan
mungkin ada maksud lain di balik pembenaran tersebut. Salah satu hal yang membuat orang
suka mencari pembenaran adalah kuatnya rasa bersalah namun tak ingin disalahkan. 7

3. signifikansi dakwah ajaran agama islam berikut ini dalam menyelesaikan problematika kehidupan
masyarakat

4
https://www.republika.co.id/berita/qmczzr335/islam-anjurkan-jangan-fanatik-pada-apapun-termasuk-agama
5
Mutia Anggreini. 2020. Etnosentrisme Adalah Bentuk Fanatisme
https://m.merdeka.com/trending/etnosentrisme-adalah-bentuk-fanatisme-ketahui-faktor-hingga-dampak-
negatifnya-kln.html?page=2
6
https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/egoisme/
7
https://www.idntimes.com/life/inspiration/frederick/tanda-kalau-kamu-hanya-mencari-pembenaran-diri-c1c2
a) Universal United (kesadaran sebagai ciptaan Tuhan yang sama)
Ibn Al-‘Arabi meyakini bahwa segala sesuatu di dunia pada dirinya memiliki kualitas
dari Allah. Allah bukanlah suatu yang terisolasi dan menarik diri dari seluruh ciptaan yang
diadakanNya. Dalam segala yang diciptakanNya, Arabi memahami bahwa Allah juga
meninggalkan tanda di dalamnya16. Inilah mengapa dalam berbagai cara, seluruh ciptaan
selalu memiliki korelasi dengan Allah. Allah menyatakan diriNya melalui ciptaan-ciptaan
yang ada atau dalam bahasa lain, dikatakan bahwa Allah selalu bermanifestasi dalam
ciptaanNya17. Ini berarti bahwa sesungguhnya seluruh ciptaan adalah perwujudan dari Allah.
Allah adalah Wujud yang utama, sedangkan seluruh ciptaan adalah wujud yang muncul dari
yang utama tadi.
Ungkapan yang dipakai oleh Arabi ketika menggambarkan bagaimana Allah dalam
hubungannya dengan ciptaan adalah “Perbendaharaan yang Tersembunyi”18. Allah
memunculkan segala sesuatu, daripadaNya segala sesuatu itu berada itulah sebabnya Ia
disebut Perbendaharaan. Hanya saja seluruh ciptaan tak akan bisa menggapai Allah pada
diriNya sendiri, itulah mengapa ia disebut Tersembunyi. Pertanyaannya sekarang adalah
mengapa Allah yang Tersembunyi itu, kemudian bersedia untuk menciptakan semesta?
Jawabnya adalah karena ketersembunyian itu, Allah yang kemudian tidak ingin terisolasi,
menciptakan segala sesuatu karena ingin dikenal. Allah mencintai ciptaanNya sehingga Ia
ingin dikenal.
Cintalah yang menjadi sumber penciptaan, karena cinta Allah untuk dikenal maka ia
menciptakan segala sesuatu. Ini yang menjadi sumber juga ketika dalam penciptaan itu, yang
menjadi penekanan adalah relasi. Karena Allah ingin menjalin relasi dengan ciptaanNya,
maka penciptaan terus terjadi. Dari situ juga tidak menjadi suatu hal yang mengerankan
bahwa penciptaan itu melahirkan proses yang disebut oleh Ibn Al-‘Arabi sebagai Nafas Ar-
Rahman20. Allah yang menghembuskan nafas kehidupan kepada seluruh ciptaanNya,
menyertakan di dalamNya kasih (Rahman) yang dalam dengan harapan supaya diriNya dapat
dikenal. Makna dari penjelasan mengenai relasi Allah dengan ciptaan dalam pemikiran Ibn
Al-‘Arabi yaitu ingin memberi penerangan mengenai ciptaan yang sesungguhnya merupakan
perwujudan dari Allah yang termotivasi oleh cinta. Ini penting sebab itu akan menjadi
landasan bagi relasi di ciptaan dengan dengan ciptaan. 8

b) Freedom (kemerdekaan)
Sesungguhnya manusia yang lahir dari kandungan ibunya ke dunia ini seluruhnya
merupakan mahluk merdeka, manusia diciptakan Allah Swt. dengan fitrahnya yang bersih
(hanif), yaitu berakidah dan bertauhid dalam arti kata manusia awal penciptaannya merdeka.
4 Dalam konteks ini semua dalam keadaan fitrah (suci dan bersih dari perikatan dan
penjajahan apapun), namun setelah dewasa ketika mulai baligh ada manusia yang kembali
fitrah dan ada juga manusia yang yang tergelincir dari fitrahnya. Sedangkan manusia tidak
merdeka adalah manusia yang hidupnya dikendalikan oleh akalnya sendiri, dogma, hawa
nafsu, ilmu sesat, harta dan dien selain Islam.

8
Yan O. Kalampung. Ekumenisme BEerdasarkan Meister Eckhart Dan IBN AL’-ARABI Yang Dikembangkan Dari
When Mystic Master Meet.
https://www.academia.edu/41122964/EKUMENISME_BERDASARKAN_MEISTER_ECKHART_DAN_IBN_AL_ARABI_Y
ANG_DIKEMBANGKAN_DARI_WHEN_MYSTIC_MASTERS_MEET
Islam datang ke alam dunia ini sesungguhnya membawa pesan dan sifat kemerdekaan.
Islam menyeru umat manusia supaya membebaskan diri dan pemikiran mereka daripada
belenggu jahiliah dan kemusyrikan terhadap Allah Swt, membebaskan diri daripada
perhambaan dan membebaskan negara daripada cengkaman musuh. Islam dalam arti kata
kesejahteraan, kedamaian dan keamanan semuanya menjurus kepada hakikat kemerdekaan.
Hakikat ini dapat dilihat semasa perkembangan awal Islam di mana Rasulullah Saw. telah
membawa kemakmuran dan kesejahteraan untuk Negeri Madinah dan memerdekakan Mekah
dari cengkaman kafir Quraisy. Demikian juga halnya perkembangan masa pemerintahan
Khulafa’ ar-Rasyidin dan kekhalifahan sesudahnya yang banyak memerdekakan negara dari
cengkaman kekufuran. Islam juga bersifat merdeka dalam arti kata lain bermaksud bebas
daripada keruntuhan akhlak dan kemurkaan Allah Swt. Lantaran itu, Islam telah Berjaya.
menyelamatkan manusia dari sistem perhambaan terhadap manusia ataupun hawa nafsu yang
diselaputi oleh perbuatan syirik, kekufuran, kemungkaran dan kemaksiatan. Oleh karena
itulah hendaknya umat Islam senantiasa bercita-cita agar membebaskan diri daripada sifat-
sifat yang boleh meruntuhkan wibawa kamanusiaan karena sifat-sifat demikian dimurkai
Allah Swt. dan menyebabkan manusia terpenjara dibawah arahan hawa nafsu dan ajakan
syetan, dan yang terpenting lagi terlepas dari siksaan api neraka.
Islam memandang kemerdekaan tidak hanya sekedar diukur dari sudut pandang
terbebasnya bangsa dari kejahatan penjajahan, meskipun tidak bisa dipungkiri sebagai salah
satu alat dalam mengukur kemerdekaan sejati. Tidak adanya suatu kebebasan (hurriyah)
dirasakan jika semua makna penjajahan dalam bentuk apapun kecuali benar-benar berakhir
dan sirna dalam kehidupan umat manusia itu sendiri.9

c) Self Control (pengendali diri)


Pendapat kontrol diri diungkapkan oleh Colhoun dan Acocella (1990), Tangney,
Baumeister & Boone (2004), Averill (2011). Calhoun dan Acocella (1990) kontrol diri adalah
pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, dengan kata lain
serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Pengertian yang di maksud menekankan
pada kemampuan dalam mengelolah yang perlu di berikan sebagai bekal untuk membentuk
pola prilaku pada individu yang mencakup dari keseluruhan proses yang membentuk dalam
diri individu ynag berupa pengaturan fisik, psikologis, dan perilaku. Tangney, Baumeister &
Boone (2004) kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk menentukan perilakunya
berdasarkan standar tertentu seperti moral, nilai dan aturan dimasyarakat agar mengarah pada
perilaku positif. Dapat diartikan bahwa seseorang secara mandiri mampu memunculkan
perilaku positif. Kemampuan kontrol diri yang terdapat pada seseorang memerlukan peranan
penting interaksi dengan orang lain dan lingkungannya agar membentuk kontrol diri yang
matang, hal tersebut dibutuhkan karena ketika seseorang diharuskan untuk memunculkan
perilaku baru dan mempelajari perilaku tersebut dengan baik.
Sedangkan menurut Averill (Ghufron & Risnawati, 2011) kontrol diri adalah kemampuan
individu untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola informasi yang

9
Al Fitri, S.Ag., S.H., M.H.I. Kemerdekaan Yang Sesungguhnya.
http://www.arsip.pa-manna.go.id/wp-content/uploads/2015/08/Kemerdekaan-Yang-Sesungguhnya.pdf
diinginkan dan yang tidak diinginkan, dan kemampuan individu untuk memilih salah satu
tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini. Pengertian yang dikemukakan oleh Averill
menitikberatkan pada seperangkat kemampuan mengatur dalam memilih tindakan yang
sesuai dengan yang diyakininya.
Dapat disimpulkan bahwa kontrol diri sebagai kemampuan untuk menyusun,
membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah
konsekuensi positif serta merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan
digunakan individu selama proses proses dalam kehidupan, termasuk dalam mengahadapi
kondisi yang terdapat dilingkungan sekitarnya.10

d) Kontribusi metode irfani


irfani disampaikan pertama kali oleh Ibn Arabi. ‘irfani sendiri adalah model pengetahuan
iluminatif yang dikenal dalam kalangan Syi’ah. Jadi secara ideologis, istilah ini terkait erat
dengan kaum Syi’i. Di kalangan Sunni juga kita mengenal istilah laduni yang dipopulerkan
al-Ghazali, meski demikian sesungguhnya secara esensial, istilah ini hendak menunjukkan
pada sejenis bahasa pengetahuan iluminatif hasil dari pengalaman mistik yang dilakukan
kaum „irfan. Dalam pengertian Ibn „Arabi, ‘irfani adalah sejenis pengetahuan dengan
representasi yang dicerahkan dan diperoleh dari pengetahuan dengan kehadiran mistik
melalui relasi-relasi ilmuninatif (Yazdi, 1994).
Potensi untuk memperoleh pengetahuan „irfan sesungguhnya telah ada pada setiap
manusia. Namun, dosa menutupi (menghijab) nur (ilmu) Tuhan untuk bisa sampai kepada
manusia. Pengetahuan „irfan adalah pengetahuan yang diperoleh dengan kesucian hati, jika
totalitas jiwanya telah suci dan hatinya dipenuhi dengan zikir kepada Tuhan, hidupnya akan
penuh kearifan dan dalam bimbingan-Nya (Anwar & Solihin, 2000). Qalb yang telah suci
(lub) berpotensi untuk berdialog dengan Tuhan, pada saat ma’rifat atau „irfan diperoleh
seorang manusia.
Upaya untuk memperoleh „irfan di antaranya dengan riyadlah, mujahadah, tafakkur, tazkiyat
al-nafs, dan dzikrullah. Riyadlah adalah latihan-latihan spiritual dalam rangka menyucikan
jiwa. Mujahadah, adalah kesungguhan dalam upaya meninggalkan perilaku tercela dan buruk
(Anwar & Solihin, 2000). Tafakkur adalah berpikir keras mengenai suatu objek sehingga
mampu menemukan inti dari objek itu sendiri. Tafakkur berlangsung secara internal dengan
proses pembelajaran dari dalam diri manusia melalui aktivitas berpikir yang menggunakan
perangkat bathiniah. 11

4. Kesimulan
Pengukuran tenggang rasa terdiri dari 3 dimensi yaitu 1) toleransi dengan indicator
menghormati dan menghargai hak-hak orang lain, dan berperilaku sopan kepada orang lain.
2)pedali dengan indicator memiliki kepedulian terhadap orang lain yang terkena musibah. 3)
pengendalian diri dengan indicator pengendalian ucapan, sikap, dan tingkah laku, dan menerima
kelebihan dan kelemahan orang lain.

10
Ramadona Dwi Marsela dan Mamat Supriatna. 2019. Kontrol Diri : Definisi dan Faktor.
https://journal.umtas.ac.id/index.php/innovative_counseling/article/download/567/297
11
Ahmad Gibson Al-Bustomi, dkk. Metode Irfani Dalam Epistemologi Islam.
http://digilib.uinsgd.ac.id/30791/1/Metode%20Irfani%20Dalam%20Epistemologi%20Islam.pdf
Toleransi beragama tidak berarti bahwa seseorang yang telah mempunyai keyakinan
kemudian berpindah atau merubah keyakinannya untuk mengikuti dan berbaur dengan keyakinan
atau peribadatan agama-agama lainnya (sinkretisme); tidak pula dimaksudkan untuk mengakui
kebenaran semua agama/ kepercayaan; melainkan bahwa ia tetap pada suatu keyakinan yang
diyakini kebenarannya, serta memandang benar keyakinan orang lain, sehingga dalam dirinya
terdapat kebenaran yang diyakininya sendiri menurut suara hatinya sendiri yang tidak diperoleh
atas dasar paksaan orang lain atau diperoleh dari pemberian orang lain. Masyarakat multikultural
terpola oleh keragaman budaya termasuk keragaman.
Dengan adanya pemahaman dan pendidikan multikulturalisme di Indonesia,
memungkinkan akan terwujudnya komunikasi lintas budaya. Artinya adanya keinginan untuk
saling mengenal antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya, sehingga hal ini akan
mengurangi gesekan-gesekan yang ditimbulkan dari perbedaan-perbedaan yang ada di dalam
membangun dan mengembangkan potensi yang ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ibn Al-‘Arabi bahwa Cinta kepada Allah itu harus juga mewujud dalam Cinta kepada
sesama. Ini kemudian bisa menjadi sumbangan berharga bagi Ekumenisme yang mengupayakan
kesatuan dan perjuangan untuk turut serta dalam pergumulan yang dihadapi oleh Bangsa Asia
seperti dikatakan oleh Aloysius Pieris yaitu Kemiskinan dan Kemajemukan Agama. Pemikiran
kedua Mahaguru memberi sumbangan bagi upaya melawan kemiskinan dengan membangun
kesadaran mengenai kesatuan dan kepedulian terhadap sesama. Begitu juga sumbangan diberi
kepada usaha berdialog dengan agama lain yang bisa dibangun berdasar pada kita adalah satu dan
saling terkait agar tidak jatuh kepada eksklusivisme.
Kemerdekaan sesungguhnya tidak hanya terbatas pada kebebasan dari belenggu penjajah
semata, tapi lebih dari itu kebebasan dari belenggu dan ketergantungan kepada selain Sang
Pencipta Alam Semesta dalam berbagai bentuk dan modusnya, di antara kemerdekaan itu adalah:
1. Kemerdekaan diri manusia dari belenggu hawa nafsu yang sering kali menjerumuskan
manusia. 2. Kemerdekaan diri dan bangsa dari belenggu perilaku dan akhlak tercela. 3.
Kemerdekaan diri dan bangsa dari budaya dan pandangan hidup hedonisme yang mengarah
kepada semata-mata memburu kenikmatan duniawi sesaat secara berlebih-lebihan yang akhiranya
akan melahirkan budaya persimifisme, yaitu budaya serba boleh atas nama hak asasi manusia. 4.
Kemerdekaan diri dan umat dari praktek syirik dalam segala bentuknya. 5. Kemerdekaan bangsa
dan diri bebas dari belenggu bangsa asing baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, budaya
dan pertahananan
Kontrol diri sangat penting dimiliki oleh individu. Individu sebagai makhluk sosial yang
hidupnya saling berketergantungan satu dengan lainnya. Selain itu setiap individu memiliki
berbagai tuntutan pemenuhan kehidupannya baik dari kebutuhan paling dasar hingga puncak
kebutuhan manusia yang ingin tercapai pemenuhannya dengan baik sesuai dengan apa yang
diharapkan. Maka dari itu kontrol diri merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh setiap
individu. Kontrol diri sederhananya dapat diartikan sebagai tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya
sendiri. Secara umum penjelasan para ahli tersebut memberikan pemaknaan bahwa kontrol diri
adalah seperangkat kemampuan mendasar dan atribut personal yang melekat pada diri individu
untuk mengatur tindakan yang akan membentuk pola prilaku dilingkungannya, yang meliputi
aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Penjelasan para ahli juga dapat mengandung makna
bahawa kontrol diri merupakan kemampuan untuk menahan atau mengendalikan diri prilaku
seseorang dengan mempertimbangkan berbagai kosekuensi dalam situasi tertentu agar mampu
diterima dalam lingkungannya. Selain itu kontrol diri, dapat berdampak positif bagi secara
personal, bagi pribadi yang memiliki kontrol diri, akan tetapi kontrol diri memiliki dampak positif
secara luas dalam hubungan di lingkungannya.
„Irfani merupakan salah satu model epistemologi Islam. Secara potensial „irfani mungkin
diperoleh setiap manusia yang mengalami perjalanan ruhani. Selain sebagai model epistemologi,
„irfani sesungguhnya merupakan pengalaman spiritual yang kaya sehingga di pandang sebagai
kekayaan Islam yang harus diapresiasi demi penyempurnaan pengamalan keIslaman itu sendiri.
Metode „irfani itu ekslusif, menyandarkan pendekatannya pada penyucian jiwa. Mendekatkan diri
kepada Allah Yang Mahabenar (al-Haqq). Dengan demikian, realitas itu bukan hanya ditemukan
tapi dicapai. Pencapaian pengetahuan mengenai realitas itu terjadi karena kaum „arif melakukan
perjalanan spiritual menuju Yang Mahabenar, bahkan bersatu dengan-Nya. Bagi kaum Sufi
falsafi dengan ittihad dan hulul, sementara bagi kaum Sufi Sunni diperoleh dengan mukasyafah
(ketersingkapan) realitas-Nya. Bagi filosof muslim, pencapaian pengetahuan mengenai-Nya itu
jadi sumber pengetahuan manusia. Metode „irfani memiliki keistimewaan yaitu penekanannya
pada kehalusan akhlaq dan penyucian jiwa. Sebab, dengan penyucian jiwa itulah kaum „arif
memiliki pengetahuan tentang-Nya, maka realitas yang inderawi dan rasional tentu akan
diketahui juga.

Anda mungkin juga menyukai