______________
PENDAHULUAN
Pada pertemuan kali ini saya akan menjelaskan mengenai problem-problem seputar
hubungan antar agama, disini yang menjadi titik tekan adalah bagaimana problem atau
masalah seputar hubungan antar agama bisa terjadi. Ada beberapa hal problem seputar
hubungan antar agama bisa terjadi diantaranya adalah sikap stereotif, sikap intoleran, dan
sikap inklusivisme dalam beragama.
PEMBAHASAN
1. Stereotif
Dalam kamus besar bahasa Indonesia stereotif adalah konsepsi mengenai sifat suatu
golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Perlu diketahui bahwa sikap
stereotif dan intoleran memiliki korelasi di dalamnya.
Seperti yang diungkapkan oleh Powel dan Clarke, bahwa sikap stereotif belum tentu
bertindak intoleran. Meskipun, kombinasi ini mungkin sebuah pengecualian. Namun seorang
yang bertindak intoleran sudah bisa dipastikan memiliki pandangan stereotip/negatif kepada
orang atau kelompok masyarakat tertentu atau kelompok keagamaan tertentu. Namun
sebaliknya, seorang yang hanya berpikir negatif boleh jadi bukan seorang yang intoleran.
Perlu dipahami bahwa stereotif bukanlah sebuah tindakan, akan tetapi suatu pikiran yang
dikonsepsi oleh manusia dalam memandang suatu objek atau kelompok tertentu. Dalam hal
keagamaan seseorang yang memiliki sifat stereotif adalah memandang semua orang atau
kelompok yang berbeda dengan dirinya dengan menggunakan prasangka atau dugaan-dugaan
yang belum tentu kebenarannya.
Ada korelasi yang longgar antara pikiran dan tindakan membuat ukuran untuk
mengidentifikasi seorang atau kelompok tergolong toleran atau intoleran menjadi tidak
mudah. Toleransi bahkan menjadi aneh ketika diukur dengan angka-angka statistik, sekalipun
bukan mustahil itu dilakukan.
2. Intoleransi
Kata intoleransi berasal dari bahasa inggris yaitu intolerance, yang dalam kamus besar
bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai ketiadaan tenggang rasa atau suatu sikap tidak
adanya tenggang rasa kepada orang atau suatu kelompok lain.
Sikap intoleransi merupakan kebalikan dari prinsip dalam toleransi. Ada setidaknya 3
komponen intoleransi yaitu ketidak-mampuan menahan diri tidak suka kepada orang lain,
sikap mencampuri dan atau menentang sikap atau keyakinan orang lain, dan sengaja-
mengganggu orang lain.
Menurut Hunsberger, intoleran adalah tindakan negatif yang dilatari oleh simplifikasi-
palsu, atau “prasangka yang berlebihan” (over generalized beliefs). Prasangka semacam ini
memiliki tiga komponen. Pertama, komponen kognitif mencakup stereotip terhadap
“kelompok luar yang direndahkan. Kedua, komponen afektif yang berwujud sikap muak atau
tidak suka yang mendalam terhadap kelompok-luar dan ketiga, komponen tindakan negatif
terhadap anggota kelompok-luar.
Sementara dalam beragama, seseorang yang bersikap intoleransi adalah memiliki adalah
suatu kondisi jika suatu kelompok agama, atau kelompok non-agama secara spesifik
menolak untuk menoleransi praktik-praktik, para penganut, atau kepercayaan yang
berlandaskan agama. Namun, pernyataan bahwa kepercayaan atau praktik agamanya adalah
benar sementara agama atau kepercayaan lain adalah sala, ini bukan termasuk intoleransi
beragama, karena intoleransi beragama identik dengan penolakan terhadap praktik-praktik
keagamaan kelompok tertentu.
Sikap Intoleransi Agama juga bisa diartikan sebagai sikap tidak menghargai perbedaan
agama lain diluar agama yang dianutnya.
3. Eksklusivisme
Sikap ini akan melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama
yang dianutnya, sedangkan agama lain adalah sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya
dikonversi, sebab agama dan penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Sikap ini
merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke zaman dan terus dianut hingga dewasa
ini. Tuntutan kebenaran yang dipeluknya mempunyai ikatan langsung dengan tuntutan
eksklusivitas. Artinya, kalau suatu pernyataan dinyatakan, pernyataan lain yang berlawanan
itu dinyatakan tidak bisa benar.
Menurut Nurcholish Madjid, sikap yang ekslusif ini terjadi ketika melihat agama bukan
agamanya sedangkan agama-agama lain adalah jalan yang salah yang menyesatkan bagi para
pemeluknya. Paradigma ini merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke zaman.
Agama sendirilah yang paling benar, dan yang lain salah. Bagi agama Kristen, pandangan
ekslusivisme adalah bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan
tergambar dalam (Yohanes 14: 6). Artinya “Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak ada
seorang pun yang datang kepada bapak, kalau tidak melalui Aku. Menurut Buddhy
Munawwar-Rachman, untuk contoh Islam beberapa ayat yang bisa dipakai sebagai ungkapan
eksklusivitas Islam antara lain: (Q.S. al-Maidah [5]: 3) .
Yang artinya: “Hari ini orang kafir sudah putus asa, untuk mengalahkan agamamu.
Janganlah kamu takut kepada mereka takutlah kepadaKu.
Hari ini aku sempurnakan agamamu, bagimu, dan Aku cukupkan karuniaKu untukmu dan
Aku pilihkan Islam menjadi agamamu.”
Pada ayat lain dijelaskan dalam surat Ali Imran [3]: 85,
Artinya : Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.
Menurut Komaruddin Hidayat, sikap ekslusif, merasa dirinya yang paling baik dan paling
benar, sementara yang lainnnya tidak masuk hitungan, tidaklah selamanya salah dalam
beragama. Sebab, jika eksklusivisme berarti sikap agnostik, tidak toleran, dan mau menang
sendiri, tidak ada etika agama apapun yang membenarkannya. Akan tetapi jika yang
dimaksud dengan ekslusif berkenaan dengan kualitas, mutu, atau unggulan mengenai suatu
produk atau ajaran yang didukung dengan bukti-bukti dan argumen yang fair, setiap manusia
sesungguhnya mencari agama yang eksklusif dalam arti excellent, sesuai dengan selera dan
keyakinannya.
Dalam jargon hidup politik modern, bersikap hidup seperti itu adalah beragama yang
eksklusif atau sikap hidup yang kafir yang tentu saja mengabaikan sikap hidup yang
pluralistik, yaitu suatu sikap hidup yang benar dan oleh sebab itu, juga sikap hidup yang
beriman. Sikap eksklusif menimbulkan kesukaran antara lain:
1. Membawa bahaya yang nyata akan adanya intoleransi, kesombongan, dan penghinaan
bagi yang lain.
2. Mengandung kelemahan intrinsik karena mengandaikan konsepsi kebenaran yang
seolah logis secara murni dan sikap yang tidak kritis dari kenaifan epistemologis.
Terlepas dari adanya sikap kelemahan sikap eksklusivitas itu, biasanya komitmen dan
sikap tegas dalam memelihara dan mempertahankan kebenaran agamanya dapat dipandang
positif. Sebab sikap eksklusifitas, tidak selamanya dapat disalahkan atau dipandang negatif
tetap sikap demikian lebih banyak karena faktor kurangnya pengetahuan dan pemahaman
tentang agamanya atau, bahkan lingkungannya dan kultural tempat ia hidup sangat
mempengaruhi dalam beragamanya.
Iya betul. hanya saja perbedaannya terletak pada sudut pandang negatif atau positif.
artinya stereotif sudah pasti didalamnya prasangka negatif namun kata "prasangka" saja itu
ada dua kemungkinan
a. bisa prasangka yang dimilikinya negatif,
b. prasangka yang dimilikinya bisa positif.
Cara yang paling efektif adalah pertama, dengan mencari tahu informasi dengan data valid
atau pada sumber terpercaya. kelemahan kita memang mudah menduga˗duga/berprasangka
dari hasil konsepsi kita sendiri tanpa mencari tahu terlebih dahulu kebenarannya. Jika
dalam ranah agama, seseorang yang stereotif terhadap agama lain lebih banyak karena
faktor kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang agamanya atau, pemahaman
terhadap agama lain, bahkan lingkungannya dan kultural tempat ia hidup itu sangat
mempengaruhi dalam beragamanya. kedua, karena stereotif memang disandarkan pada
pemikiran bukan perbuatan, maka kita harus bisa mengelola pikiran kita sendiri kepada hal
posistif, karena kita adalah tuan dari pikiran kita sendiri, suatu pikiran tidak bisa dihindari
tapi bisa di kelola dengan baik.
Jika bertanya sikap saya bagaimana, tentu saya tidak akan menyalahkan atau
memebenarkan, sebab semua memiliki alasan. kenapa? karena lagi2 saya jlaskan terlepas
dari adanya kelemahan sikap eksklusivitas itu, biasanya komitmen dan sikap tegas dalam
memelihara dan mempertahankan kebenaran agamanya dapat dipandang positif. Sebab
sikap eksklusivitas, tidak selamanya dapat disalahkan atau dipandang negatif tetapi
sikap demikian lebih banyak karena faktor kurangnya pengetahuan dan pemahaman
tentang agama itu sendiri.
Perlu diluruskan bahwa fokus kita tidak membahas benar atau salah akan tetapi kita
sebagai akademisi khususnya studi agama-agama memiliki peran untuk mencari latar
belkang mengapa hal tersebut bisa terjadi pada kelompok organisasi trsebut, yang terjadi
bisa disebabkan karena tokoh, bisa juga karena lingkungan, atau referensi yang diyakini.
yang perlu dititik tekankan disini harus dicari tahu terlebih dahulu latar belakangnya agar
tidak terjadi stereotif tadi.
Iya betul ke 3 problem tersebut memang bisa dikatakan sebagai akar dari problem-problem
yang lain. memang banyak problem lain seperti fanatisme, fundamentalisme, radikalisme.
namun itu merupakan perkembangan dari hasil sikap stereotif (konsepsi mengenai sifat
suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat), sikap intoleran atau
suatu sikap tidak adanya tenggang rasa kepada orang atau suatu kelompok lain, dan juga
eksklusivisme tiga hal inilah yang paling mendasar. seperti yang sudah saya jlaskan bahwa
stereotif bukanlah sebuah tindakan, akan tetapi suatu pikiran yang dikonsepsi oleh manusia
dalam memandang suatu objek atau kelompok tertentu secara negatip. Dalam hal
keagamaan seseorang yang memiliki sifat stereotif adalah memandang semua orang atau
kelompok yang berbeda dengan dirinya dengan menggunakan prasangka atau dugaan-
dugaan yang belum tentu kebenarannya. oleh karena itu ada hubungan yang kuat antara
pikiran dan tindakan, jika stereotip adalah berupa prangka negatif maka aktualisasinya
berupa sikap intoleran begitupun eksklusivisme sudah tentu didalamnya terdapat
intoleransi. hal yang paling pokok adalah sikap intoleransi jika sesorang sudah tidak ada
tenggang rasa maka tidak akan adanya hubungan antar agama baik secara internal maupun
eksternal.
Nah iyah bu mksdnya hehehe, terus apakah hal itu dapat menjadi doktrin baru jika kita
melihat dari sudut pandang keagamaan?
Bukti Kehadiran :