Anda di halaman 1dari 2

Orientasi Agama untuk Manusia

Abdillah Havi Al Hilmi

Dalam pembahasan mengenai orientasi beragama terdapat teori terkenal


dari Raymond F. Paloutzian pada buku Invitation Psychology of Religion.
Menurut Paloutzian, orientasi keagamaan seseorang akan mempengaruhi sikap
dan perilaku keagamaan. Pada buku yang sama, Paloutzian menyatakan bahwa
orientasi beragama menentukan sikap secara moral relevan, misalnya dalam
bentuk prasangka terhadap pihak lain. Dari sikap yang secara moral relevan ini
pada gilirannya akan melahirkan perilaku sosial secara moral relevan.

Menurut Polutzian, orientasi beragama didefinisikan merujuk pada makna


iman atau agama dalam kehidupan seseorang. Dari definisi tersebut, maka secara
garis besar orientasi beragama dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu orientasi
intrinsic dan orientasi ekstrinsik.

Pertama, keberagamaan intrinsik, yaitu orang yang hidup berdasarkan atau


sesuai dengan agama yang dianutnya. Orang yang beragama secara instrinsik
menjadikan agama sebagai jalan hidup, pedoman hidup atau pandangan hidup
serta merupakan seorang beragama yang taat dan menghayati agama dalam
hidupnya. Ide keimanan yang dimotivasi secara intrinsik bermakna bahwa alasan
keimanan seseorang ada dalam dan berasal dari orang tersebut.

Kedua, keberagamaan ekstrinsik, yaitu orang yang hidup menggunakan


atau memanfaatkan agama yang dianutnya. Orang berorientasi agama ekstrinsik
merupakan kebalikan dari orang intrinsik, ia cenderung menggunakan agama
untuk kepentingan dirinya sendiri. Agama tidak dijadikan motif utama tapi hanya
berperan sebagai alat.

Adanya perbedaan orientasi beragama pada lingkungan manusia


menciptakkannya berbagai macam dan jenis umat beragama. Orientasi agama
juga menciptakan sikap keagamaan.

Dalam hubungan antar umat beragama akan melahirkan dua


kecenderungan; menjadi pribadi yang damai dan bersahabat atau menjadi pribadi
yang penuh prasangka dan rasa permusuhan. Yang dapat di tarik kesimpulan
bahwa sikap tersebut dapat dikatakan inklusif dan esklusif. Sikap inklusif dalam
beragama cenderung menerima keterbukaan, perbedaan, dan lebih moderat.
Sedangkan sikap esklusif lebih bersikap tertutup, keras, dan radikal. Sikap
tersebut juga akan berpengaruh pada perilaku seseorang, Ketika berinteraksi
dengan orang lain yang berbeda pemahaman maupun agama.
Orientasi beragama untuk manusia sendiri merupakan suatu konsep
beragama yang tumbuh dengan sendirinya pada suatu pribadi yang
merupakan pengaruh dari lingkungan sekitar dalam memahami agama.

Sekar Ayu Aryani, Orientasi, Sikap dan Perilaku Keagamaan Mahasiswa. Studi Kasus di Sebuah PTN di
Yogyakarta (Yogyakarta: tidak diterbitkan, 2014).

Susilo Wibisono, “Orientasi Keberagamaan, Modal Sosial dan Prasangka terhadap Kelompok Agama Lain
pada Mahasiswa Muslim”, Jurnal INSAN, Vol. 14 No. 03, 2012.

Raymond F. Paloutzian, Invitation to Psychology of Religion (Boston: Allyn & Bacon, 1996), 200.

Ibid. ̧201-202.

Anda mungkin juga menyukai