Disusun Oleh :
YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, bahwa penulis telah
menyelesaikan tugas makalah tentang Profil KH. Ahmad Dahlan dan Siti Walidah tepat
pada waktunya. Dalam penyusunan tugas makalah ini, tidak sedikit hambatan yang
penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi
ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-
kendala yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis
yang menambah wawasan mengenai profil tokoh penting dalam Muhamadiyah sehingga
tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amiin.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gambar 1
KH. Ahmad Dahlan dan Siti Walidah
ISI
Gambar 2
KH. Ahmad Dahlan
Gambar 3
Kampung Kauman
Muhammad Darwis lahir dan dibesarkan di daerah Yogyakarta, yang
terkenal dengan nama kampung Kauman. G. F Pijper dalam salah satu karyanya
sebagaimana yang dikutip oleh Weinata Sairin melukiskan Kampung Kauman
sebagai berikut: “ Kampung Kauman merupakan sebuah kampung yang seperti
dalam lukisan di Kota Sultan Yogyakarta. Kampung itu terdiri dari jalan-jalan
sempit dan tembok-tembok putih; orang asing tentu sulit menemukan jalan. Di
kampong yang penuh penduduknya ini suasananya sunyi dan tentram. Orang
menyangka bahwa kasibukan penduduk itu berada di dalam kamar yang
setengah gelap. Dekat masjid besar yang berdiri dengan megahnya dibelakang
rumah-rumah rendah, bertempat tinggal rakyat yang taat, orang-orang Islam
yang beriman, dan menjalankan perintah agama dengan serius. Sebagian besar
mereka itu adalah pedagang dan termasuk pedagang menengah. Usaha dagang
mereka membuat kain batik membawa kesejahteraan. Disini juga tinggal guru-
guru agama, imam, khatib, muazin, dan pegawai masjid lainnya. Menurut
ketentuan lama yang berasal dari Sultan, hanya orang Islamlah yang boleh
bertempat tinggal disini; orang Cina dan Kristen dilarang. Permainan keduniaan
seperti Gamelan dan tarian Taledek ditolak. Dalam bulan Ramadhan tidak ada
seorangpun yang berani makan, minum atau merokok ditempat Umum. Jika ada
orang yangtidak menunaikan kewajiban agamanya, maka ia diperingatkan untuk
pindah ketempat lain. Jika waktu matahari terbenam kita berjalan di Kauman
maka dari rumah-rumah terdengar suara orang membaca Al-Quran. Melalui
pintu-pintu setengah terbuka kita dapat melihat anak-anak duduk sekitar sebuah
lampu sibuk menelaah pelajaran agama mereka. Dalam kegelapan yang remang-
remang kita berjumpa dengan pria dan wanita menuju ke masjid untuk
melakukan shalat, wanita memakai pakaian shalat putih (rukuh), sampai
ketangan mereka. Kehidupan ini kelihatannya jauh dari hal-hal keduniaan dan
mempunyai arti sejarah…” Kampung Kauman sebagai tempat kelahiran dan
tempat Muhammad Darwis dibesarkan, dengan demikian merupakan lingkungan
keagamaan yang sangat kuat, yang berpengaruh besar dalam perjalanan Hidup
Muhammad Darwis dikemudian hari. Kauman secara populer kemudian menjadi
nama dari setiap daerah yang berdekatan letaknya dengan masjid. Dan Kauman
yang letaknya dekat dengan masjid ini dilihat oleh Pijper sebagai penjelmaan
dari keinginan untuk dekat kepada sesuatu “yang suci”, sebab masjid tidak
dipandang sebagai bangunan biasa, akan tetapi gedung yang memberi suasana
suci.
Di samping berdakwah menyebarkan ajaran Islam, Ahmad Dahlan juga
menjalani profesi sebagai pedagang batik. Ia juga aktif di berbagai organisasi.
Sifatnya yang supel, toleran dan luas pandangan membuatnya mudah diterima
oleh berbagai pihak. Bahkan ia juga bersahabat dan berdialog dengan Van Lith,
seorang pastur dari Katolik. Ahmad Dahlan melihat bahwa persoalan pendidikan
sebagai akar utama yang menyebabkan bangsa Indonesia, terutama umat Islam
tertinggal. Karena itulah ia mengambil jalur pendidikan sebagai sarana utama
berdakwah. Namun demikian, untuk memperluas gerak langkah dakwah ini,
adanya lembaga pendidikan kiranya terlalu sempit. Beberapa sahabat Ahmad
Dahlan menyarankannya untuk mendirikan organisasi. Akhirnya ia mendirikan
organisasi Muhammadiyah. Pada tanggal 20 Desember 1912 ia mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan
hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat
Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku
untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah
Yogyakarta. Melihat sepak terjang Ahmad Dahlan, pemerintah Hindia Belanda
timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi Muhamadiyah ini. Maka
dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di
daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri
cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan
pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan
menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar
Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir
di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan
Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang
Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan
adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan
menjalankan kepentingan Islam. Berbagai perkumpulan dan jama’ah ini
mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, diantaranya ialah Ikhwanul-
Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya
Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri,
Ta’ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul
Mubtadi. (Kutojo, 1991: 33).
Gambar 4
Makam KH. Ahmad Dahlan
Gambar 6
Makam Siti Walidah
Perlu pula dicatat bahwa pada perkembangannya, ‘Aisyiah merupakan
salah satu organisasi yang mendorong terwujudnya Kongres Perempuan Pertama
di Indonesia pada tanggal 22--25 Desember 1928 di Yogyakarta. Keikutsertaan
‘Aisyiah dalam membangun kebersamaan dengan kelompok perempuan lainnya
tidak lain merupakan cerminan jiwa nasionalisme dan ajaran Islam yang
memberikan dorongan untuk kerja sama dengan saudara-saudara sebanga dan
setanah air. Siti Walidah telah berperan sangat aktif dalam pembebasan kaum
wanita dari kebodohan ke dunia ilmu pengetahuan. Bergerak dari garis nasib
keterbelakangan menuju ke kondisi sosial generasi yang berkemajuan. Siti
Walidah merasakan keterbelakangan kaum wanita dalam dunia pendidikan harus
disikapi dengan pencarian jalan keluar agar masa depan kaumnya maju di masa
yang akan datang. Siti Walidah sendiri memegang tampuk kepemimpinan
‘Aisyiah pada periode 1921, 1922, 1923, 1924, 1925, 1926, dan 1930. Pada
tanggal 31 Mei 1946 di Yogyakarta, di usianya yang ke-74 Siti Walidah
menutup mata untuk selama-lamanya. Yang berduka tidak hanya keluarga besar
beliau dan keluarga besar ‘Aisyiah dan Muhammadiyah saja, tetapi juga seluruh
keluarga besar bangsa Indonesia. Sebelum beliau pulang ke pangkuan-Nya, Siti
Walidah sempat menitipkan pesan terakhir perjuangannya: “Saya titipkan
Muhammadiyah dan Aisyiah kepadamu sebagaimana Almarhum K.H. Ahmad
Dahlan menitipkannya. Menitipkan berarti melanjutkan perjuangan umat Islam
Indonesia ke arah perbaikan hidup bangsa Indonesia yang berdasarkan cita-cita
luhur mencapai kemerdekaan”. Dua pesan utama termuat dalam pesan terakhir
Siti Walidah. Dua pesan itu tidak lain sebagai perwujudan cinta kepada Allah
Swt., Islam, dan negara secara bersama dan beriringan. Pesan itu bisa dimaknai
bahwa umat Islam semestinya dapat hidup berdampingan dengan umat lain dan
bahu-membahu membangun Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA