Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PROFIL KH. AHMAD DAHLAN DAN SITI WALIDAH

Disusun Oleh :

Silviana Laila Hidayati 1911304014

Lidya Monalisa Putri 1911304017

Ival Murdi Wicaksono 1911304019

Nadia Nanda Safitri 1911304020

M. Yusuf Rama Kusuma 1911304025

Rahmawati Laemu Lapagal 1911304026

PRODI SARJANA TERAPAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

YOGYAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, bahwa penulis telah
menyelesaikan tugas makalah tentang Profil KH. Ahmad Dahlan dan Siti Walidah tepat
pada waktunya. Dalam penyusunan tugas makalah ini, tidak sedikit hambatan yang
penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi
ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-
kendala yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada :

1. Dosen mata kuliah Kemuhammadiyahan dan Keaisyiyahan yang telah


memberikan tugas makalah ini kepada penulis sehingga termotivasi untuk
menyelesaikan tugas ini.
2. Orang tua yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai
kesulitan sehingga tugas ini terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis
yang menambah wawasan mengenai profil tokoh penting dalam Muhamadiyah sehingga
tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amiin.

Yogyakarta, 28 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gambar 1
KH. Ahmad Dahlan dan Siti Walidah

KH. Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh pembaharuan Islam yang


berasal dari daerah Yogyakarta dan terkenal karena mendirikan salah satu
organisasi Islam terbesar di Indonesia, tokoh yang memiliki peran penting dalam
sejarah perjuangan bangsa khususnya pada masa kebangkitan nasional. Kiai Haji
Ahmad Dahlan adalah seorang ulama’, tokoh pendidikan, dan juga merupakan
pahlawan perjuangan sebelum kemerdekaan. Beliau adalah seorang revolusioner
pada saat itu dalam bidang agama dan pendidikan. Meskipun dia bukan berasal
dari kalangan terpelajar tapi ide-ide cemerlangnya mampu membawa rakyat
Indonesia ke arah perubahan. Sebagai salah satu contoh, beliau merubah sistem
pendidikan di Indonesia, yang semula hanya ada pendidikan gubernemen milik
pemerintah Hindia-Belanda dan pendidikan agama di madrasah-madrasah. KH.
Ahmad Dahlan memiliki seorang istri yang tidak kalah penting dalam
pergerakan perempuan muslimah yaitu Siti Walidah, pendiri organisasi bernama
Aisyiyah. Pergerakan perempuan ini tidak akan lepas dari sebuah organisasi, dan
pergerakan Siti Walidah tentunya sudah memiliki wadah yaitu Organisasi
Aisiyyah. Aisiyyah adalah suatu komponen wanita persyarikatan
Muhammadiyah, asalmulanya Aisiyyah adalah lahir dari gerakan
Muhammadiyah, jadi latar belakang gerakannya tidak jauh seperti halnya
Muhammadiyah. Siti Walidah atau sering disbut juga dengan Nyi Ahmad
Dahlan merupakan sosok perempuan yang terus memperjuangkan dunia
pendidikan bagi kaum perempuan. Siti Walidah selalu mendampingi perjalnan
suaminya dalam mendirikan dan mengembangkan Muhammadiyah. Kedua
tokoh ini sangat berperan penting dalam perkembangan organisasi
Muhammadiyah dan Aisyiyah. Sebagai bagian dari kedua organisasi tersebut,
kita seharusnya lebih mengenal kedua sosok penting ini.
B. TUJUAN
 Untuk memenuhi tugas pembuatan makalah ini dalam mata kuliah
Kemuhammadiyahan dan Keaisyiyahan
 Mengetahui biografi K.H Ahmad Dahlan mulai dari kelahiran, silsilah
keluarga, hingga awal mula berdirinya Muhammadiyah
 Mengetahui biografi Siti Walidah mulai dari kelahiran, terbentuknya
Aisyiyah, hingga hal-hal yang telah dilakukan beliau bersama Aisyiyah
 Dapat meneladani perilaku yang patut diteladani dari tokoh tersebut.
C. MANFAAT
 Memahami dan juga meneladani K.H Ahmad Dahlan baik segi
kepedulian beliau, kecintaan beliau terhadap ilmu, hingga perjuangan
beliau untuk menegakkan Muhammadiyah sebagai ladang dakwah di
Indonesia
 Memahami dan juga meneladani Siti Walidah dalam kiprah beliau
sebagai perempuan yang selalu gigih untuk berjuang dalam dunia
pendidikan
BAB II

ISI

A. PROFIL KH. AHMAD DAHLAN

Gambar 2
KH. Ahmad Dahlan

KH. Ahmad Dahlan putra pribumi asli kelahiran Yogyakarta, 1868.


Nama kecilnya adalah Muhammad Darwis. Ia adalah putera keempat dari K.H.
Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan
Yogyakarta pada masa itu. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari
Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo,
yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah
Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana
Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo,
Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan
Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan). (Noer, 1995: 48). Pada usia ke-15
tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode inilah
Muhammad Darwis muda mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha
dan Ibnu Taimiyah. Setelah menunaikan ibadah haji dan sebelum ia kembali ke
kampung halaman ia diberi nama Ahmad Dahlan. Selanjutnya pada tahun 1888
ia pulang kampung halaman. Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti
Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak
dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri
Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan
mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan
Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo, 1991). Pada tahun 1903 ia berangkat
kembali ke Mekah dan menetap di sana selama 2 tahun. Pada keberangkatan
kedua ini tampaknya ia sengaja ingin memperdalam ilmu pengetahuan. Pada
masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari
pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Ia juga makin intens membaca berbagai
literatur karya para pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,
dan Jamaluddin al-Afghani.

Gambar 3
Kampung Kauman
Muhammad Darwis lahir dan dibesarkan di daerah Yogyakarta, yang
terkenal dengan nama kampung Kauman. G. F Pijper dalam salah satu karyanya
sebagaimana yang dikutip oleh Weinata Sairin melukiskan Kampung Kauman
sebagai berikut: “ Kampung Kauman merupakan sebuah kampung yang seperti
dalam lukisan di Kota Sultan Yogyakarta. Kampung itu terdiri dari jalan-jalan
sempit dan tembok-tembok putih; orang asing tentu sulit menemukan jalan. Di
kampong yang penuh penduduknya ini suasananya sunyi dan tentram. Orang
menyangka bahwa kasibukan penduduk itu berada di dalam kamar yang
setengah gelap. Dekat masjid besar yang berdiri dengan megahnya dibelakang
rumah-rumah rendah, bertempat tinggal rakyat yang taat, orang-orang Islam
yang beriman, dan menjalankan perintah agama dengan serius. Sebagian besar
mereka itu adalah pedagang dan termasuk pedagang menengah. Usaha dagang
mereka membuat kain batik membawa kesejahteraan. Disini juga tinggal guru-
guru agama, imam, khatib, muazin, dan pegawai masjid lainnya. Menurut
ketentuan lama yang berasal dari Sultan, hanya orang Islamlah yang boleh
bertempat tinggal disini; orang Cina dan Kristen dilarang. Permainan keduniaan
seperti Gamelan dan tarian Taledek ditolak. Dalam bulan Ramadhan tidak ada
seorangpun yang berani makan, minum atau merokok ditempat Umum. Jika ada
orang yangtidak menunaikan kewajiban agamanya, maka ia diperingatkan untuk
pindah ketempat lain. Jika waktu matahari terbenam kita berjalan di Kauman
maka dari rumah-rumah terdengar suara orang membaca Al-Quran. Melalui
pintu-pintu setengah terbuka kita dapat melihat anak-anak duduk sekitar sebuah
lampu sibuk menelaah pelajaran agama mereka. Dalam kegelapan yang remang-
remang kita berjumpa dengan pria dan wanita menuju ke masjid untuk
melakukan shalat, wanita memakai pakaian shalat putih (rukuh), sampai
ketangan mereka. Kehidupan ini kelihatannya jauh dari hal-hal keduniaan dan
mempunyai arti sejarah…” Kampung Kauman sebagai tempat kelahiran dan
tempat Muhammad Darwis dibesarkan, dengan demikian merupakan lingkungan
keagamaan yang sangat kuat, yang berpengaruh besar dalam perjalanan Hidup
Muhammad Darwis dikemudian hari. Kauman secara populer kemudian menjadi
nama dari setiap daerah yang berdekatan letaknya dengan masjid. Dan Kauman
yang letaknya dekat dengan masjid ini dilihat oleh Pijper sebagai penjelmaan
dari keinginan untuk dekat kepada sesuatu “yang suci”, sebab masjid tidak
dipandang sebagai bangunan biasa, akan tetapi gedung yang memberi suasana
suci.
Di samping berdakwah menyebarkan ajaran Islam, Ahmad Dahlan juga
menjalani profesi sebagai pedagang batik. Ia juga aktif di berbagai organisasi.
Sifatnya yang supel, toleran dan luas pandangan membuatnya mudah diterima
oleh berbagai pihak. Bahkan ia juga bersahabat dan berdialog dengan Van Lith,
seorang pastur dari Katolik. Ahmad Dahlan melihat bahwa persoalan pendidikan
sebagai akar utama yang menyebabkan bangsa Indonesia, terutama umat Islam
tertinggal. Karena itulah ia mengambil jalur pendidikan sebagai sarana utama
berdakwah. Namun demikian, untuk memperluas gerak langkah dakwah ini,
adanya lembaga pendidikan kiranya terlalu sempit. Beberapa sahabat Ahmad
Dahlan menyarankannya untuk mendirikan organisasi. Akhirnya ia mendirikan
organisasi Muhammadiyah. Pada tanggal 20 Desember 1912 ia mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan
hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat
Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku
untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah
Yogyakarta. Melihat sepak terjang Ahmad Dahlan, pemerintah Hindia Belanda
timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi Muhamadiyah ini. Maka
dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di
daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri
cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan
pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan
menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar
Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir
di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan
Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang
Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan
adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan
menjalankan kepentingan Islam. Berbagai perkumpulan dan jama’ah ini
mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, diantaranya ialah Ikhwanul-
Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya
Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri,
Ta’ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul
Mubtadi. (Kutojo, 1991: 33).

Gambar 4
Makam KH. Ahmad Dahlan

KH. Ahmad Dahlan berpulang ke rahmatullah pada tanggal 23 Februari


1923 dalam usia 55 tahun. Hari ini kita masih menyaksikan karya besar anak
bumi putera ini. Pesan beliau selalu terngiang bagi para generasi penerusnya:
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan cari hidup di Muhammadiyah”. Pesan
mora sarat makna yang membuat Muhammadiyah tetap kokoh dan menjulang di
panggung peradaban.
B. PROFIL SITI WALIDAH
Gambar 5
Siti Walidah

Siti Walidah lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada tahun 1872.


Siti Walidah adalah putri dari Kyai Penghulu Haji Muhammad Fadli bin
Penghulu Haji Ibrahim bin Kyai Muhammad Hassan Pengkol bin Kyai
Muhammad ‘Ali Ngraden Pengkol. Julukan yang dilekatkan kepada Haji
Muhammad Fadli, ayah Siti Walidah, adalah Kyai Penghulu. Aktivitas
kesehariannya, antara lain, dihabiskan untuk mengurusi seputar perkawinan. Di
luar jam kerjanya sebagai penghulu, ayah Siti Walidah mencari nafkah dengan
berwiraswasta, di antaranya, dengan berjualan pakaian batik. Kampung Kauman
boleh dibilang kampung santri. Beragam pendidikan keagamaan yang bersifat
ilmu-ilmu Islam, wawasan keislaman, dan bahasa Arab sudah dipelajari Siti
Walidah. Siti Walidah sejak usia mudanya menghabiskan banyak waktu guna
menuntut ilmu agama. Bahasa yang digunakan untuk belajar mengajar ini, antara
lain, dengan memakai bahasa Arab Pegon. Hurufnya huruf Arab, tetapi
bahasanya bahasa Jawa. Naskah Jawi merupakan ilmu yang diberikan oleh para
pengajar di lingkungan Kauman, Yogyakarta.Siti Walidah sampai usia remaja
belum pernah menikmati pendidikan umum. Pendidikan umum yang dimaksud
adalah pendidikan formal yang diselenggarakan Pemerintah Kolonial Belanda.
Maklum, saat itu berkembang pemikiran yang diyakini masyarakat luas bahwa
sekolah formal hanya untuk laki-laki, tidak untuk kaum wanita. Tidak sedikit
yang beranggapan bahwa memasuki sekolah yang diselenggarakan Pemerintah
Kolonial Belanda bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bersekolah di
lembaga pendidikan Belanda berarti belajar di sekolah yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Pandangan di atas dinilai Siti Walidah tidak benar.
Pendidikan itu dianggap untuk semua kalangan, termasuk untuk kaum wanita.
Tidak hanya untuk kaum laki-laki.

Pernikahan antara K.H. Ahmad Dahlan dan Siti Walidah berlangsung


pada tahun 1903. Mereka dikaruniai enam anak, yaitu Johanah (1890), Siraj
Dahlan (1898), Siti Busyra Islam (1903), Siti Aisyah Hilal (1905), Irfan Dahlan
(1907), dan Siti Zuharah (1908).Pernikahan antara K.H. Ahmad Dahlan dan Siti
Walidah tentunya tidak saja menambah keilmuan dan wawasan Siti Walidah,
tetapi juga kian menopang dakwah K.H. Ahmad Dahlan dalam berdakwah.
Terbayang oleh kita, betapa banyak ilmu yang diperoleh Siti Walidah dari
suaminya, K.H. Ahmad Dahlan. Demikian pula dengan buku-buku yang
dimilikinya. Hal ini dapat menambah bacaan atau keilmuan Siti Walidah. Siti
Walidah sesungguhnya punya andil yang tidak kecil di balik berdirinya
organisasi Islam Muhammadiyah yang didirikan oleh suaminya pada Senin
Legi, 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan 18 November 1912. Banyak jasa
beliau dalam menghidupi kegiatan Muhammadiyah. Tidak terkirakan
sumbangan pemikiran, ilmu, tenaga, waktu, dan biaya alias dana agar
Muhammadiyah tampil menjawab ketertindasan, keterbelakangan, dan
kemunduran bangsa.

K.H. Ahmad Dahlan dan Siti Walidah bergantian memberikan pengajian


untuk kaum wanita dalam wadah yang bernama Wal ‘Ashri, Maghribi School,
dan Sopo Tresna (Siapa Cinta) sejak 1914. Dinamakan pengajian Wal ‘Ashri
karena mengambil waktu sesudah salat Asar dan Maghribi School sebab gerakan
mengaji dimulai setelah atau bakda salat Magrib. Posisi wanita sangat penting
untuk melanjutkan generasi Islami dan memiliki nilai strategis guna melanjutkan
keberlangsungan sebuah bangsa. Sebab, segalanya bermula dari didikan sang
ibu. Negara akan kuat apabila kaum wanitanya cerdas dan terampil. Cerdas
dalam mendidik keluarga, terampil dalam mengurus keluarga, dan cerdas
memberikan keteladanan bagi putra-putrinya.

Dengan berbagai pertimbangan, pada 28 Jumadil Akhir 1335 H


bertepatan dengan Sabtu Legi, 21 April 1917 Sopo Tresno menjadi organisasi
yang bernama ‘Aisyiah. Sempat muncul usulan untuk dinamai Fatimah, tetapi
‘Aisyiah akhirnya menjadi kesepakatan bersama. Penamaan ‘Aisyiah merujuk
kepada Aisyah binti Abu Bakar. Semangat yang ingin diusung dibalik penamaan
itu adalah Aisyah sebagai simbol wanita cerdas, intelek, dan dianggap cocok
mewakili napas perjuangan yang ingin mengentaskan keterbelakangan kaum
wanita dalam bidang pendidikan. Dengan gerakan di bawah naungan ‘Aisyiah,
diharapkan semakin banyak kaum wanita yang mendapatkan berbagai nilai
manfaat. Usaha ‘Aisyiah merupakan bagian dari bentuk kepedulian Siti Walidah
terhadap sesama. Bagi Siti Walidah kaum perempuan harus memberikan
keteladanan kepada masyarakat yang sedang membutuhkan pertolongan. Banyak
hal yang telah dilakukan Siti Walidah bersama ‘Aisyiah, di antaranya, meliputi
sejumlah aktivitas berikut :

 Tahun 1919 ‘Aisyiah mendirikan sekolah taman anak-anak pertama di


Indonesia dengan nama FROBEL
 Tahun 1923 ‘Aisyiah membuat program memberantasan buta huruf
pertama di Indonesia, baik huruf Arab maupun huruf Latin
 Tahun 1926 menerbitkan majalah dengan nama Suara ‘Aisyiah
 Tahun 1928 bersama perkumpulan kaum wanita lainnya, ‘Aisyiah
memelopori Kongres Wanita Pertama di Indonesia
 Mendirikan musala perempuan
 Mendirikan sekolah dasar untuk perempuan dengan nama Volk School
(sekolah dasar tiga tahun)
 Mendirikan asrama putri/perempuan
 Menyantuni fakir miskin dan yatim piatu untuk kaum perempuan
 Memberikan pendidikan keagamaan bagi para buruh batik
 Meningkatkan pengetahuan dan mendorong partisipasi perempuan dalam
dunia publik.

Gambar 6
Makam Siti Walidah
Perlu pula dicatat bahwa pada perkembangannya, ‘Aisyiah merupakan
salah satu organisasi yang mendorong terwujudnya Kongres Perempuan Pertama
di Indonesia pada tanggal 22--25 Desember 1928 di Yogyakarta. Keikutsertaan
‘Aisyiah dalam membangun kebersamaan dengan kelompok perempuan lainnya
tidak lain merupakan cerminan jiwa nasionalisme dan ajaran Islam yang
memberikan dorongan untuk kerja sama dengan saudara-saudara sebanga dan
setanah air. Siti Walidah telah berperan sangat aktif dalam pembebasan kaum
wanita dari kebodohan ke dunia ilmu pengetahuan. Bergerak dari garis nasib
keterbelakangan menuju ke kondisi sosial generasi yang berkemajuan. Siti
Walidah merasakan keterbelakangan kaum wanita dalam dunia pendidikan harus
disikapi dengan pencarian jalan keluar agar masa depan kaumnya maju di masa
yang akan datang. Siti Walidah sendiri memegang tampuk kepemimpinan
‘Aisyiah pada periode 1921, 1922, 1923, 1924, 1925, 1926, dan 1930. Pada
tanggal 31 Mei 1946 di Yogyakarta, di usianya yang ke-74 Siti Walidah
menutup mata untuk selama-lamanya. Yang berduka tidak hanya keluarga besar
beliau dan keluarga besar ‘Aisyiah dan Muhammadiyah saja, tetapi juga seluruh
keluarga besar bangsa Indonesia. Sebelum beliau pulang ke pangkuan-Nya, Siti
Walidah sempat menitipkan pesan terakhir perjuangannya: “Saya titipkan
Muhammadiyah dan Aisyiah kepadamu sebagaimana Almarhum K.H. Ahmad
Dahlan menitipkannya. Menitipkan berarti melanjutkan perjuangan umat Islam
Indonesia ke arah perbaikan hidup bangsa Indonesia yang berdasarkan cita-cita
luhur mencapai kemerdekaan”. Dua pesan utama termuat dalam pesan terakhir
Siti Walidah. Dua pesan itu tidak lain sebagai perwujudan cinta kepada Allah
Swt., Islam, dan negara secara bersama dan beriringan. Pesan itu bisa dimaknai
bahwa umat Islam semestinya dapat hidup berdampingan dengan umat lain dan
bahu-membahu membangun Indonesia.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai