Anda di halaman 1dari 136

FAKTOR RISIKO GEJALA PENYAKIT DEKOMPRESI PADA NELAYAN

PENCARI IKAN HIAS LAUT DI KABUPATEN BANYUWANGI

SKRIPSI

Oleh

Devi Asri Saraswati


NIM 112110101120

BAGIAN KESEHATAN LINGKUNGAN DAN KESEHATAN KESELAMATAN KERJA


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS JEMBER

TAHUN 2018
FAKTOR RISIKO GEJALA PENYAKIT DEKOMPRESI PADA NELAYAN
PENCARI IKAN HIAS LAUT DI KABUPATEN BANYUWANGI

SKRIPSI

Oleh

Devi Asri Saraswati


NIM 112110101120

BAGIAN KESEHATAN LINGKUNGAN DAN KESEHATAN KESELAMATAN


KERJA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS JEMBER

TAHUN 2018

i
PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:


1. Allah SWT, atas segala berkat limpahan karunia dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Kedua orang tua saya Ibu Eftini Hayati dan bapak Imam Fatoni yang
selalu memberikan dukungan serta doa serta kasih sayang tiada batas
sehingga saya dapat menjalani kehidupan ini dengan baik.
3. Adik saya, Destiana Sasqiya Putri atas segala bantuan dan motivasi yang
diberikan kepada saya.
4. Guru-guru saya di TK Jendral Sudirman, SDN Jogotrunan 1, SMPN 5
Lumajang, SMAN 1 Lumajang, guru mengaji, guru les dan semua dosen
serta civitas akademika di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Jember yang telah memberikan ilmu yang tidak ternilai harganya,
menasehati, membimbing dan juga menginspirasi saya mengenai masa
depan nantinya.
5. Agama, bangsa dan almamater yang saya banggakan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Jember.

ii
MOTTO

Khoirunnas anfauhum linnas: Sebaik-baik manusia adalah yang paling


bermanfaat bagi manusia yang lainnya (HR. Ahmad, HR. Tabhrani dan
Daruquthni. Dishahih kan al-Albani dalam “Ash-Shahiha).*)

Menuntut ilmu karena Allah adalah bukti ketundukan pada-Nya. Mempelajarinya


dari seorang guru adalah ibadah. Melangkah menuju majelisnya adalah pembuka
jalan surga. Membahasnya adalah bagian dari Jihad. Mengajarkannya adalah
tasbih. Menyampaikan kepada orang yang tidak tahu adalah shadaqah.
Mencurahkannya kepada orang yang berhak menerimanya adalah qurbah.**)

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
(Terjemahan QS. Al-Insyirah: 6-8).***)

*) Shahihul Jami’ no:3289


**) Mu’adz dalam Zaki. 2013. Al Falah Edisi 299. Saatnya Menjadi Saudagar. Surabaya: YDSF.
***) Al-Qur’an Surah Al-Insyirah: ayat 6-8

iii
PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Devi Asri Saraswati
NIM : 112110101120
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul: Risiko
Gejala Penyakit Dekompresi pada Nelayan Pencari Ikan Hias Laut di Kabupaten
Banyuwangi adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali jika dalam pengutipan
substansi disebutkan sumbernya, dan belum pernah diajukan pada institusi
manapun, serta bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan
kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya
tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi
akademik jika ternyata di kemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, 9 Januari 2018


Yang Menyatakan,

Devi Asri Saraswati


NIM. 112110101120

iv
PEMBIMBING

SKRIPSI

FAKTOR RISIKO GEJALA PENYAKIT DEKOMPRESI PADA NELAYAN


PENCARI IKAN HIAS LAUT DI KABUPATEN BANYUWANGI

Oleh :
Devi Asri Saraswati
NIM 112110101120

Pembimbing
Dosen Pembimbing Utama : dr. Ragil Ismi Hartanti, M. Sc.
Dosen Pembimbing Anggota : Dr. Isa Ma’rufi, S. KM., M. kes.

v
PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul Risiko Gejala Penyakit Dekompresi pada Nelayan


Pencari Ikan Hias Laut di Kabupaten Banyuwangi telah diuji dan disahkan
oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember pada :
Hari : Jumat
Tanggal : 26 Januari 2018
Tempat : Fakultas Kesehatan Masyarakat
Pembimbing Tanda Tangan
1. DPU : dr. Ragil Ismi Hartanti, M.Sc (....................................)
NIP. 198110052006042002

2. DPA : Dr. Isa Ma’rufi, S.KM., M.Kes (....................................)


NIP. 197509142008121002
Penguji
1. Ketua : Yunus Ariyanto, S.KM., M.Kes (....................................)
NIP. 197904112005011002
2. Sekretaris : Reny Indrayani, S.KM., M.KKK. (....................................)
NIP. 198811182014042000
3. Anggota : Andi Prasetyo Gunawan S.Pi
NIP. 197904242006041023 (....................................)

Mengesahkan,
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Jember

Irma Prasetyowati, S.KM., M.Kes


NIP. 198005162003122002

vi
RINGKASAN

Risiko Gejala Penyakit Dekompresi pada Nelayan Pencari Ikan Hias Laut di
Kabupaten Banyuwangi; Devi Asri Saraswati; 112110101120; 2018; 127
halaman; Bagian Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Keselamatan Kerja
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember.

Kesehatan dan keselamatan kerja menjadi yang utama bagi setiap orang
ketika melakukan pekerjaan dimanapun tempat kerjanya. Setiap pekerja memiliki
hak untuk mendapatkan perlindungan. Begitu pula dengan nelayan yang dapat
dikategorikan dalam pekerja informal. Para nelayan juga memiliki potensi yang
sama dengan risiko yang ditimbulkan dalam pekerjaannya terutama pada nelayan
pencari ikan hias laut. Salah satu penyakit akibat kerja dalam penyelaman adalah
penyakit dekompresi. Penyakit dekompresi merupakan penyakit yang terjadi pada
penyelam dan penambang saat kembali dari lingkungan bertekanan udara tinggi
ke tekanan udara normal disebabkan terbentuknya formasi gelembung gas pada
darah dan cairan tubuh dengan berbagai tingkat keluhan dan gejala, yang dapat
mengenai seluruh sistem organ tubuh dengan penyebab yang sama yaitu
terbentuknya gelembung N2 dalam jaringan dan darah. Dusun Krajan, Desa
Bangsring, Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi merupakan salah
satu daerah penghasil jenis ikan hias laut. Nelayan mencari ikan hias laut
menggunakan kompresor konvensional, kompresor tersebut berguna untuk
mensuplai udara pernafasan bagi para penyelam melalui regulator yang
dipasang pada mulut. Nelayan pencari ikan hias melakukan penyelaman dengan
kedalaman kurang lebih 30 meter menyesuaikan dengan jenis tangkapan ikan
yang ingin diperoleh. Pada saat menyelam penyelam hanya menggunakan baju
seadanya. Berdasarkan studi pendahluan yang dilakukan peneliti, dari 9
responden, 7 diantaranya mengeluhkan gangguan kesehatan seperti pusing, sendi
ngilu/nyeri otot, lengan dan atau tungkai lemah dan kesemutan, yang mana
keluhan tersebut berkaitan dengan faktor risiko gejala penyakit dekompresi yang
bisa terjadi karena dampak dari penggunaan kompresor konvensional. Penelitian

vii
ini bertujuan menganalisis faktor risiko gejala penyakit dekompresi pada nelayan
yang menggunakan kompresor konvensional di Dusun Krajan, Desa Bangsring,
Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan
menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh nelayan yang mengunakan kompresor konvensioal pada Kelompok
Nelayan Samudra Bakti di Dusun Krajan, Desa Bangsring, Kecamatan
Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi sejumlah 44 responden dengan
pengambilan sampel menggunakan teknik Simple Random Sampling. Teknik
pengumpulan data yang dilakukan yaitu melalui dokumentasi, studi observasi dan
wawancara yang terdiri dari karakteristik pekerja, frekuensi penyelaman, lama
penyelaman, kedalaman dan kecepatan naik ke permukaan. Analisis pada
penelitian ini yaitu menggunakan uji chi-square (α = 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian, Kelompok Nelayan “Samudra Bakti” di Dusun
Krajan, Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi
sebanyak 51,6%, dari beberapa gejala yang ada, sendi ngilu/nyeri otot
merupakan gejala yang sering dirasakan. Hasil analisis menggunakan uji chi-
square, diketahui bahwa pada faktor individu, tidak terdapat hubungan antara
umur, masa kerja, pengetahuan penyelaman, obesitas, kebiasaan olahraga, dan
mengkonsumsi alkohol dengan gejala penyakit dekompresi pada nelayan yang
menggukanakan kompresor (p-value > 0,05). Pada faktor Faktor pekerjaan, yaitu
tidak terdapat hubungan antara lama penyelaman dan kedalaman dengan
terjadinya gejala penyakit dekompresi pada nelayan yang menggukanakan
kompresor (p-value > 0,05), sementara frekuensi penyelaman dan kecepatan naik
ke permukaan berhubungan dengan terjadinya gejala penyakit dekompresi pada
nelayan yang menggukanakan kompresor (p-value < 0,05).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
signifikan pada frekuensi penyelaman dan kecepatan naik ke permukaan dan tidak
terdapat hubungan signifikan pada umur, masa kerja, pengetahuan penyelaman,
obesitas, kebiasaan olahraga, mengkonsumsi alkohol, lama penyelaman dan

viii
kedalaman dengan terjadinya gejala penyakit dekompresi pada nelayan yang
menggukanakan kompresor.

ix
SUMMARY

Factors of Risk for Sympthoms of Decompression Sickness to Fisherman


Ornamental Fish Sea Finder in the Banyuwangi District; Devi Asri Saraswati;
112110101120; 2018; 127 Pages. Departemen of Environmental Health and
Occupational Health and Safety University of Jember

Occupational safety and health main for everyone when do the work
anywhere working area. Each worker has the right to shelter. The same thing
happened to fishermen who schemes can be categorized in the informal workers.
The fishermen also having the same potential with the risk posed to his advantage
especially ornamental fish sea search by the fishermen. One disease caused by
work in dives disease is decompression sickness. Decompression Sickness is a
disease that occurs at divers and miners when they return from the high air
pressure to air pressure for the establishment of a normal bubble formation gas at
blood and body fluid for various levels of complaints and symptoms , that can be
about the whole system organs to the cause is similar to the establishment of the
bubbles N2 in networks and blood. Krajan Hamlet, Bangsring village, in
Wongsorejo District Banyuwangi is one of the areas of producing ornamental fish
sea. Fishermen look for ornamental fish sea using conventional compressor,
compressor are useful for supplying respiratory air for the divers through
regulator mounted on the mouth. Fishermen do diving search ornamental fish with
a depth of more or less 30 meters adjust with a kind of catchments who want to
obtained. At the time of a dive rescue seamen from destruction are really only
using its simple clothes. Based on the study of the first time, that have been
undertaken by the researchers , from 9 respondents in the present study , 7 and
among the companies were complained about the small amounts an impairment of
health as dizzy , the joints pain/muscle pain , the arms and or limbs weak and
tingling , which is hard for this complaint pertaining to the risk factors a symptom
of a decompression sickness that could have occurred because of the impact of
from the use of conventional compressor. This study aims to analyze risk factors
symptoms of decompression disease in fisherman who uses compressor

x
conventional in krajan Hamlet, bangsring village, in wongsorejo district
banyuwangi. the research is an analytic research of observational by adopting both
of cross sectional . It is a whole population in research fishermen using a
conventional compressor on Fisherman communities "Samudra Bakti" in Krajan
Hamlet, Bangsring Village, Wongsorejo Subdistrict Banyuwangi district a number
of 44 respondents with collecting samples using a technique simple random
sampling. Data collection techniques are done through documentation,
observation studies and interviews consist of worker characteristics, dives
frequency, length of diving, depth and speed rise to the surface. Analysis in this
research is using chi-square test (α = 0,05). Based on the results of the study, the
Fisherman communities "Samudra Bakti" in Krajan Hamlet, Bangsring Village,
Wongsorejo Subdistrict Banyuwangi district as many as 51.6%, from some of the
symptoms, joint pain / muscle pain is a symptom that is often felt. The results of
the analysis use chi-square test , it is known that on the individual factors, there
was no correlation between the ages of , length of employment , diving
knowledge, obesity, exercise habits, and alcohol consumption with symptoms of
decompression sickness in fishermen who use conventional compressors (p-value
> 0,05), While frequency dives and speed of riding to the surface deals with the
occurrence of the symptoms of decompression sickness in fishermen who used
conventional compressor (p-value > 0,05).
Based on the research we can conclude that there is a significant at dives
frequency and speed rise to the surface and there was no correlation significant at
age , length of diving, knowledge dives , obesity , exercise habits, alcohol
consumption, length of diving and depth with the occurrence of the symptoms of
decompression sickness in fishermen who used conventional compressor.

xi
PRAKATA

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Risiko Gejala Penyakit Dekompresi pada Nelayan Pencari Ikan Hias
Laut di Kabupaten Banyuwangi”, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Pendidikan Strata Satu (S1) pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Jember.
Kami menyampaikan terima kasih yang dalam kepada selaku Dosen
Pembimbing Utama (DPU) dr. Ragil Ismi Hartanti, M.Sc dan Dr. Isa Ma’rufi,
S.KM., M.Kes selaku Dosen Pembimbing Anggota (DPA) yang selalu memberikan
masukan, saran, dan juga koreksi dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak berikut:
1. Ibu Irma Prasetyowati S.KM., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Jember.
2. Dr. Isa Ma’rufi, S.KM., M.Kes selaku Ketua Bagian Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Jember, serta Dosen Pembimbing Utama Ibu dr. Ragil Ismi Hartanti, M.Sc,
Dr. Isa Ma’rufi, S.KM., M.Kes selaku Dosen Pembimbing Anggota yang
sudah meluangkan waktu, pikiran, perhatian untuk membimbing dalam
penulisan skripsi ini.
3. Bapak Yunus Ariyanto, S.KM., M.Kes selaku Ketua Tim Penguji dan Reny
Indrayani, S.KM., M.KKK selaku sekretaris tim penguji dan Bapak Andi
Prasetyo Gunawan S.Pi selaku Anggota Penguji
4. Christiyana Sandra, S.KM., M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademik
selama penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Jember.
5. Bapak Ikhwan Arief ketua kelompok nelayan samudra bakti yang telah
membantu kelancaran selama proses pengambilan data hingga penelitian
berlangsung.

xii
6. Nelayan pencari ikan hias laut yang menggunakan kompresor tradisional
di Dusun Krajan, Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo Kabupaten
Banyuwangi yang membantu dalam proes penelitian.
7. Kedua Orang tua saya, Ibu Eftini Hayati dan Bapak Imam Fatoni dan
keluarga besar di Lumajang yang telah memberikan dukungan dan doanya
demi terselesaikan skripsi ini.
8. Adikku, Destiana Sasqiya putri, terima kasih atas semangat dan doa yang
telah diberikan, semoga kita menjadi saudara yang selalu membahagiakan
dan membanggakan kedua orang tua serta keluarga besar kita.
9. Sahabat-sahabat saya yang telah memberikan motivasi, inspirasi, dan
pengalaman berharga, Adi purnomo, Aviv Mahda, Dadang Wahana, Yossi,
Jabbar, Avianti Rahma Dianita, Krisnaini Haneum Permata, Siti Maliatul
Muflika, Nindy Sari Isdiyaningrum, Izzu al Faris, Siti Safarina,
Muhammad Abdillah Akbar, dan semua sahabat yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu.
10. Teman-teman seperjuangan peminatan Kesehatan dan Keselamatan Kera
angkatan 2011, 2012, 2013 FKM UJ, terima kasih atas kerjasamanaya dan
pengalaman yang sudah diberikan selama ini.
11. Serta semua pihak yang membantu dalam penyusunan proposal skripsi ini.

Skripsi ini telah kami susun dengan optimal namun tidak menutup
kemungkinan adanya kekurangan, oleh karena itu kami dengan tangan terbuka
menerima saran dan masukan yang membangun. Semoga tulisan ini bermanfaat
bagi berbagai pihak.

Jember, 7 Februari 2018

Penuli
s

xiii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.........................................................................................i
PERSEMBAHAN................................................................................................ii
MOTTO...............................................................................................................iii
PERNYATAAN...................................................................................................iv
PEMBIMBING....................................................................................................v
PENGESAHAN...................................................................................................vi
RINGKASAN.....................................................................................................vii
SUMMARY..........................................................................................................x
PRAKATA..........................................................................................................xii
DAFTAR ISI.......................................................................................................xv
DAFTAR TABEL.................................................................................................v
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................v
DAFTAR SINGKATAN DAN NOTASI.......................................................xviii
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................5
1.3 Tujuan penelitian...........................................................................................3
1.3.1 Tujuan umum.........................................................................................3
1.3.2 Tujuan khusus........................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian.........................................................................................4
1.4.1 Manfaat teoritis......................................................................................4
1.4.2 Manfaat Praktis......................................................................................4

xiv
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................5
2.1 Penyakit Akibat Kerja...................................................................................5
2.2 Penyelaman.....................................................................................................5
2.2.1 Definisi penyelaman..............................................................................5
2.2.2 Jenis-jenis Penyelaman..........................................................................6
2.2.3 Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Penyelaman...................................8
2.2.4 Penyelaman tradisional........................................................................15
2.3 Penyakit Dekompresi.....................................................................................16
2.3.1 Definisi................................................................................................16
2.3.2 Sejarah.................................................................................................17
2.3.3 Patologi................................................................................................18
2.3.4 Teori Pembentukan Gelembung Gas...................................................20
2.3.5 Prinsip Dasar Prosedur Dekompresi....................................................21
2.3.6 Prosedur Penyelaman...........................................................................22
2.3.7 Faktor yang Mempengaruhi Penyakit Dekompresi.............................24
2.3.8 Klasifikasi penyakit dekompresi..........................................................30
2.3.9 Efek Tubuh Terhadap Pembentukan Gelembung Gas.........................32
2.3.10 Pengendalian......................................................................................34
2.4 Kerangka Teori...............................................................................................39
2.5 Kerangka Konsep...........................................................................................45
2.6 Hipotesis........................................................................................................45
BAB 3. METODE PENELITIAN.....................................................................46
3.1 Jenis Penelitian..............................................................................................46
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian.........................................................................46
3.2.1 Tempat Penelitian................................................................................46
3.2.2 Waktu Penelitian..................................................................................46
3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel......................................47
3.3.1 Populasi................................................................................................47
3.3.2 Sampel.................................................................................................47
3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel................................................................49
3.4 Variabel dan Definisi Operasional.................................................................49

xv
3.4.1 Variabel Penelitian...............................................................................49
3.4.2 Definisi Operasional............................................................................50
3.5 Data dan Sumber Data Penelitian..................................................................52
3.5.1 Data Primer..........................................................................................52
3.5.2 Data Sekunder......................................................................................52
3.6 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data.....................................................53
3.6.1 Teknik Pengumpulan Data...................................................................53
3.6.2 Instrumen Pengumpulan Data..............................................................54
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data............................................................55
3.7.1 Pengolahan Data..................................................................................55
3.7.2 Analisis Data........................................................................................56
3.8 Alur Penelitian..............................................................................................57
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................58
4.1 Hasil Penelitian..............................................................................................58
4.1.1 Distribusi Faktor Individu....................................................................58
4.1.2 Distribusi Faktor Pekerjaan.................................................................61
4.1.3 Gejala Penyakit Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
.............................................................................................................62
4.1.4 Hubungan antara Faktor Individu dengan Gejala Penyakit Dekompresi
pada Nelayan Kompresor Konvensional.............................................64
4.1.5 Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Gejala Penyakit
Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional........................67
4.2 Pembahasan...................................................................................................69
4.2.1 Distribusi Faktor Individu dan Faktor Pekerjaan................................70
4.2.2 Distribusi Faktor Pekerjaan.................................................................73
4.2.3 Gambaran Gejala Penyakit Dekompresi pada Nelayan Kompresor
Konvensional.......................................................................................78
4.2.4 Hubungan antara Faktor Individu dengan Gejala Penyakit Dekompresi
pada Nelayan Kompresor Konvensional.............................................78
4.2.5 Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Gejala Penyakit
Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional........................83

xvi
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................88
5.1 Kesimpulan....................................................................................................88
5.2 Saran..............................................................................................................89
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................90
LAMPIRAN.......................................................................................................95

xvii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1. Satuan Jumlah Tekanan Dalam ATA.....................................................9
Tabel 3.1 Definisi Operasional, Cara Pengumpulan Data, Skala dan Cara
Pengukuran
..........................................................................................................................
.....50
Tabel 4.1 Distribusi Faktor Individu Berdasarkan Umur......................................58
Tabel 4.2 Distribusi Faktor Individu Berdasarkan Masa Kerja.............................59
Tabel 4.3 Distribusi Faktor Individu Berdasarkan Tingkat Pengetahuan..............59
PenyelamanTabel 4.4 Distribusi Faktor Individu Berdasarkan Obesitas..............59
Tabel 4.5 Distribusi Faktor Individu Berdasarkan Kebiasaan Olahraga...............60
Tabel 4.6 Distribusi Faktor Individu Berdasarkan Kebiasaan Minum Alkohol... 60
Tabel 4.7 Distribusi Faktor Pekerjaan Berdasarkan Frekuensi Penyelaman.........61
Tabel 4.8 Distribusi Faktor Pekerjaan Berdasarkan Lama Penyelaman................61
Tabel 4.9 Distribusi Faktor Pekerjaan Berdasarkan Kedalaman...........................62
Tabel 4.10 Distribusi Faktor Pekerjaan Berdasarkan Kecepatan Naik
Permukaan
...............................................................................................................................
62
Tabel 4.11 a. Distribusi Gejala Penyakit Dekompresi...........................................62
Tabel 4.11 b. Distribusi Gejala Penyakit Dekompresi...........................................63
Tabel 4.12 Hubungan antara Umur dengan Gejala Penyakit Dekompresi............64
Tabel 4.13 Hubungan antara Masa Kerja dengan Gejala Penyakit Dekompresi.. 64
Tabel 4.14 Hubungan antara Pengetahuan Penyelaman dengan Gejala
Penyakit Dekompresi
..........................................................................................................................
....65

xiv
Tabel 4.15 Hubungan antara Obesitas dengan Gejala Penyakit Dekompresi.......65
Tabel 4.16 Hubungan antara Olahraga dengan Gejala Penyakit Dekompresi.....66
Tabel 4.17 Hubungan antara Kebiasaan Minum Alkohol dengan Gejala
Penyakit Dekompresi
...............................................................................................................................
66
Tabel 4.18 Hubungan antara Frekuensi Penyelaman dengan Gejala Penyakit
Dekompresi
.............................................................................................................................
67
Tabel 4.19 Hubungan antara Lama Penyelaman dengan Gejala Penyakit
Dekompresi
...............................................................................................................................
67
Tabel 4.20 Hubungan antara Kedalaman dengan Gejala Penyakit Dekompresi...68
Tabel 4.21 Hubungan antara Kecepatan Naik Permukaan dengan Gejala
Penyakit Dekompresi
...............................................................................................................................
68

xv
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Penyelaman dengan dekompresi U.S Navy chapter 9.......................23
Gambar 2.2 Kerangka Teori..................................................................................43
Gambar 2.3 Kerangka Konsep..............................................................................44
Gambar 3.1 Alur Penelitian...................................................................................58

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
A. Lembar Permohonan........................................................................................95
B Lembar Persetujuan...........................................................................................96
C. Kuesioner Penelitian.........................................................................................97
D.Dokumentasi.....................................................................................................100
E. Hasil Analisis Data..........................................................................................102

xvii
DAFTAR SINGKATAN DAN NOTASI

Daftar Arti Lambang


/ = Garis miring, per, atau
> = Lebih dar
≥ = Lebih dari sama dengan
< = Kurang dari
: = Titik dua
( = Kurung buka
) = Kurung tutup
? = Tanda tanya
“ = Tanda petik dua
o
= Derajat
% = Persentase
α = Alpha, taraf signifikan
n = Besar sampel minimum
nh = Besar sampel yang diperlukan
N = Besar populasi
p = Proporsi variabel yang dikehendaki
q = (1 – p)
z = Nilai distribusi normal baku (tabel Z)
d = Kesalahan sampling yang masih dapat ditoleransi 5%
Ni = total masing-masing sub populasi
ni = besarnya sampel untuk sub populasi
Ho = Hipotesis nihil
p-value = Menunjukkan hasil analisis berdasarkan uji
statistik

Daftar Singkatan
K3 = Keselamatan dan Kesehatan Kerja

xviii
KAK = Kecelakaan Akibat Kerja
PAK = Penyakit Akibat Kerja
BB = Berat Badan
IMT = Indeks Massa Tubuh
Kg = Kilogram
m = Meter
RUBT = Ruang Udara Bertekanan Tinggi
ATA = Atmosfir Absolute ().
O2 = Oksigen
N2 = Nitrogen
CO2 = Carbondioksida
ATM
OAA = Octopus Assisted Ascent ()
BB = Buddy Breathing ()
BBA = buddy breathing ascent ().
SSBA = Surface Supplied Breathing Apparatus (Penyelaman
dengan suplai udara dari permukaan)
TB = Tinggi Badan
SPSS = Statistical Package for The Science
RUBT = Ruang Udara Bertekanan Tinggi
WHO = World Health Organization
PAN = Pesticide Action Network
APD = Alat Pelindung Diri

xix
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan dan pertumbuhan suatu bangsa tidak bisa terlepas dari
peranan proses industrialisasi. Pembangunan industri sangat ditunjang oleh
peranan tenaga kerja. Pembangunan tenaga kerja yang produktif, sehat dan
berkualitas perlu ditunjang dengan manajemen yang baik, khususnya yang
berkaitan dengan masalah kesehatan dan keselamatan kerja. Kecelakaan kerja
diakibatkan oleh dua faktor yaitu faktor manusia (unsafe actions) dan faktor
lingkungan (unsafe conditions). Faktor manusia yaitu berasal dari manusia itu
sendiri yang membahayakan kesehatan dan keselamatannya seperti tidak
menggunakan alat keselamatan dalam bekerja. Sedangkan faktor lingkungan
adalah faktor-faktor yang berasal dari lingkungan dimana bekerja (Santoso, 2004 :
22).
Kesehatan dan keselamatan kerja menjadi yang utama bagi setiap orang
ketika melakukan pekerjaan dimanapun tempat kerjanya. Kesehatan kerja
merupakan upaya penyelarasan antara pekerja dengan pekerjaan dan lingkungan,
baik fisik maupun psikis dalam hal cara ataupun metode, proses dan kondisi
pekerjaan. Tujuan kesehatan kerja untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat pekerja di semua lapangan kerja setinggi-tingginya baik
fisik, mental maupun kesejahteraan sosialnya sehingga dapat mencegah timbulnya
gangguan kesehatan pada masyarakat pekerja yang diakibatkan keadaan atau
kondisi lingkungan kerjanya. Kesehatan kerja memberikan pekerjaan dan
perlindungan bagi pekerja di dalam pekerjaannya dari kemungkinan bahaya yang
disebabkan oleh faktor-faktor yang membahayakan kesehatan, menempatkan dan
memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuan fisik dan psikis pekerja (Effendi, 2009 : 233). UU No. 32/1992
tentang Jamsostek menyatakan bahwa setiap pekerja memiliki hak untuk
mendapatkan perlindungan. Dalam Pasal 3 ayat 2 yang menyebutkan bahwa

1
bahwa setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja. Begitu pula
dengan nelayan yang dapat dikategorikan dalam pekerja informal. Para nelayan
juga memiliki potensi yang sama dengan risiko yang ditimbulkan dalam
pekerjaannya. Nelayan berhak dilindungi dari risiko kerja seperti kematian,
kecelakaan, sakit dan santunan dalam memasuki masa tua. Berbagai macam jenis
pekerjaan disektor informal untuk itu perlu adanya penerapan budaya K3 yang
baik disektor informal untuk menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja, tetapi
pada faktanya sebagian besar sektor informal tidak memperhatikan masalah K3
hal ini karena kurangnya pemahaman tentang pentingnya penerapan K3 serta
kurangnya pengawasan pemerintah terhadap masalah K3 sektor informal.
Berdasarkan Undang-undang No 1 tahun 1970, faktor pelaksanaan
keselamatan dan kesehatan para pekerja merupakan modal pokok dalam
melaksanakan modal tersebut. Faktor yang mempengaruhi terjaminnya
keselamatan dan kesehatan kerja bawah air tidak hanya ditentukan oleh
canggihnya peralatan dan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan, tetapi juga
tergantung pada kondisi fisik, kesehatan dan kemampuan dalam penguasaan
teknologi selam para pekerja bawah air itu sendiri yang disertai dengan faktor-
faktor yang mengandung resiko bahaya, yaitu terjadinya kecelakaan akibat kerja
(KAK) maupun penyakit akibat kerja (PAK). Penyakit akibat kerja menurut
peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi No 1 tahun 1981 tentang
kewajiban melapor PAK adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan
lingkungan kerja. Secara sederhana, dapat pula diartikan PAK merupakan suatu
yang disebabkan atau diperburuk oleh pejanan di tempat kerja. Faktor-faktor yang
mempengaruhi PAK ditempat kerja antara lain, biologi, fisik,ergonomi, dan
psikologi.
Selanjutnya, menurut UU Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan,
nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
Nelayan pada proses operasi penangkapan ikan memiliki beberapa proses kerja
yaitu tahap persiapan, tahap operasi penangkapan, tahap setting (penurunan
jaring), tahap hauling (penarikan jaring) dan tahap pengangkutan hasil tangkapan.
Pada proses kerja tersebut banyak menggunakan tenaga manusia yang

2
membutuhkan pengarahan tenaga yang besar dan biasanya menggunakan
peralatan selam yang seadanya seperti kompresor konvensional. Kondisi ini dapat
mengakibatkan berbagai keluhan seperti sakit kepala/pusiang, pendengaran
berkurang, Sakit dada/sesak, Nyeri sendi/otot dan perdarahan hidung.
Hasil penelitian Kementerian Kesehatan (2006) mengenai penyakit dan
kecelakaan yang terjadi pada nelayan dan penyelam tradisional, menyebutkan
bahwa sejumlah nelayan di Pulau Bungin, Nusa Tenggara Barat menderita nyeri
persendian (57,5%) dan gangguan pendengaran ringan sampai ketulian (11,3%).
Sedangkan, nelayan di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, mengalami kasus
barotrauma (41,37%) dan kelainan dekompresi (6,91%). Selanjutnya, Menkes
menyatakan bahwa kelompok nelayan di tanah air kita mendapatkan perhatian
khusus dalam upaya pembangunan kesehatan 2010-2014. Data BPS tahun 2011
menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 8.090 desa pesisir yang tersebar
di 300 kabupaten/kota pesisir. Dari 234,2 juta jiwa penduduk Indonesia, ada 67,87
juta jiwa yang bekerja di sektor informal, dan sekitar 30% diantaranya adalah
nelayan. Data lainnya, 31 juta penduduk miskin di Indonesia, sekitar 7,87 juta
jiwa (25,14%) di antaranya adalah nelayan dan masyarakat pesisir (Depkes,
2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Simanungkalit (1997) terhadap para
penyelam alam yang menggunakan kompresor konvensional di kelurahan P.
Panggang menyatakan bahwa 51,8% nelayan penyelam alam mengalami gejala
penyakit dekompresi. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena pengetahuan
terkait prosedur penyelaman tidak mereka ketahui, sedangkan 17,24% peselam
kompresor konvensional dengan keluhan penyakit dekompresi mendapat
pertolongan medis. Selanjutnya, frekuensi penyelaman, lama penyelaman dan
pengetahuan SOP safety dive merupakan faktor risiko terjadinya penyakit
dekompresi pada penyelam profesional dan penyelam tradisional di Gili Matra
Kabupaten Lombok Utara Propinsi NTB (Sukmajaya, 1997).
Salah satu penyakit akibat kerja adalah penyakit dekompresi. Edmonds et
al. (2015:150) menyatakan penyakit dekompresi adalah penyakit yang terjadi
pada penyelam dan penambang saat kembali dari lingkungan bertekanan udara

3
tinggi ke tekanan udara normal disebabkan terbentuknya formasi gelembung gas
pada darah dan cairan tubuh dengan berbagai tingkat keluhan dan gejala, yang
dapat mengenai seluruh sistem organ tubuh dengan penyebab yang sama yaitu
terbentuknya gelembung N2 dalam jaringan dan darah.
Dari tahun 2008-2012 terlihat bahwa para penyelam tradisional yang
belum pernah mendapatkan penyuluhan diatas 80%. Sebagian besar penyelam
tradisional dalam melakukan kegiatan penyelaman menggunakan teknik tanpa alat
(tahan nafas) dan sebagian lainnya menggunakan kompresor, sedangkan scuba
digunakan para peselam profesional (pemandu wisata). Umumnya kompresor
yang digunakan para penyelam adalah kompresor yang konvensional (kompresor
tambal ban). Pada tahun 2012 lebih dari 95% masih menggunakan kedua teknik
tahan nafas dan kompresor. Sebagian besar penyelam mengalami keluhan setelah
melakukan kegiatan penyelaman, 52 keluhan pasca kegiatan penyelaman sangat
tinggi bahkan pada tahun 2012 mencapai 92,2%. Hal ini kemungkinan disebabkan
teknik penyelaman yang digunakan yakni tradisional (tanpa alat). Hampir semua
penyelam mengalami lebih dari satu macam keluhan, keluhan terbanyak yang
dialami adalah sakit kepala/pusing, pendengaran berkurang, sakit dada/sesak,
nyeri sendi/otot dan perdarahan hidung (Kementrian Kesehatan, 2013).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, dari 9 responden, 7
diantaranya mengeluhkan gangguan kesehatan seperti pusing, sendi ngilu/nyeri
otot, lengan dan atau tungkai lemah dan kesemutan. Di Dusun Krajan, Desa
Bangsring, Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi, terdapat 44 orang
yang bekerja sebagai penyelam pencari ikan hias laut yang memakai kompresor
tambal ban dalam penyelamannya. Kompresor konvensional tersebut berguna
untuk mensuplai udara pernafasan bagi para penyelam melalui regulator yang
dipasang pada mulut. Udara inspirasi dihirup lewat regulator sedangkan
ekspirasi dikeluarkan lewat hidung. Obyek penyelaman mereka adalah ikan
hias laut seperti ikan nemo, ikan keling, ikan bidadari, ikan biru kuning, dan
lain lain. para nelayan pencari ikan hias melakukan penyelaman dengan
kedalaman kurang lebih 30 meter menyesuaikan dengan jenis tangkapan ikan
yang ingin diperoleh (semakin dalam, semakin bagus jenis ikannya). Tidak ada

4
penyelam yang memiliki pakaian selam, mereka menyelam dengan memakai
pakaian kaos panjang, celana panjang/celana pendek, sepatu karet, dan kaca
mata selam. Rata-rata penyelam yang dilakukan penyelam merupakan
penyelaman berulang (lebih dari satu kali) karena semakin lama dan seringnya
melakukan penyelaman semakin banyak pula kesempatan mendapatkan ikan
hias laut. Bahkah juga terdapat seorang nelayan yang mengalami kelumpuhan.
Beberapa kondisi yang dikeluhkan penyelam seperti pusing, sendi
ngilu/nyeri otot, lengan dan atau tungkai lemah dan kesemutan. Keluhan
tersebut termasuk dalam gejala-gejala penyakit dekompresi. Penyelam
kompresor mendapatkan ilmu penyelaman secara turun temurun, tanpa melalui
suatu pendidikan formal dan kegiatan tersebut menggunakan alat tradisional
yang sederhana. Kemudian dengan adanya teknik penyelaman yang
menggunakan peralatan kompresor dan dorongan sosial ekonomi, para
penyelam mulai mempergunakan kompresor konvensional untuk dapat
menyelam lebih lama dan lebih dalam dibandingkan dengan cara penyelaman
yang lama. Karena tidak terbatasnya kapasitas udara yang dimampatkan oleh
kompresor untuk memberikan udara pernafasan bagi peselam bawah air, maka
para penyelam tersebut melakukan aktivitas kerja yang berlebihan untuk
mendapatkan hasil yang berlipat ganda. Di balik keuntungan tersebut para
penyelam sebenarnya mendapatkan beberapa risiko penyakit seperti penyakit
dekompresi.
Berdasarkan uraian di atas dan fakta yang ada, maka perlu dilakukan
penelitian mengenai faktor risiko gejala penyakit dekompresi pada nelayan ikan
hias yang menggunakan kompresor konvensional. Penelitian ini dapat dijadikan
sumbangsih pemikiran dalam menyelenggarakan sistem manajemen kesehatan
dan keselamatan kerja pada nelayan ikan hias yang menggunakan kompresor
konvensional.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, rumusan masalah dari
penelitian ini adalah : “Faktor risiko apa saja yang dapat menyebabkan gejala

5
penyakit dekompresi pada nelayan pencari ikan hias laut yang menggunakan
kompresor tradisional di Dusun Krajan, Desa Bangsring, Kecamatan
Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi?”

1.3 Tujuan penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis faktor risiko gejala
penyakit dekompresi pada nelayan yang menggunakan kompresor konvensional
di Dusun Krajan, Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo Kabupaten
Banyuwangi.

1.3.2 Tujuan khusus


Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui faktor individu (umur, masa kerja, pengetahuan penyelaman,
obesitas, kebiasaan olahraga dan alkoholisme).
b. Mengetahui faktor pekerjaan (frekuensi penyelaman, lama penyelaman,
kedalaman dan kecepatan naik ke permukaan).
c. Mengetahui gejala penyakit dekompresi pada nelayan
d. Menganalisis hubungan faktor individu dengan terjadinya gejala penyakit
dekompresi nelayan yang menggunakan kompresor konvensional.
e. Menganalisis hubungan faktor pekerjaan dengan terjadinya gejala penyakit
dekompresi nelayan yang menggunakan kompresor konvensional.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat teoritis
Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan
kepustakaan ilmu kesehatan masyarakat khususnya terkait dengan faktor-faktor
risiko timbulnya gejala penyakit dekompresi pada nelayan pencari ikan hias laut
di Kabupaten Banyuwangi.

6
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Manfaat Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini akan menjadi suatu pengalaman dalam membangun
wawasan dan pengetahuan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja. Selain itu,
peneliti dapat memperoleh gambaran nyata tentang faktor - faktor risiko
timbulnya gejala penyakit dekompresi pada nelayan pencari ikan hias laut di
Kabupaten Banyuwangi.
b. Manfaat Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah literatur di perpustakaan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember, sehingga dapat digunakan
sebagai pertimbangan dalam upaya untuk meningkatkan pembelajaran di bidang
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan sebagai referensi untuk pihak yang
akan melakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyakit akibat kerja pada
peselam konvensional.
c. Manfaat Bagi Tempat Penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumber masukan terhadap
para nelayan yang menggunakan kompresor konvensional khususnya pada
nelayan pencari ikan hias laut di Kabupaten Banyuwangi dalam upaya untuk
melindungi pekerja dan demi mencapai kesehatan dan keselamatan kerja setinggi-
tingginya.

7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Akibat Kerja


Penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh
faktor pekerjaan atau lingkungan kerja dan beban kerja. Dikenal dua kategori
penyakit di perusahaan yang dapat diderita pekerja yaitu penyakit umum dan
PAK. Penyakit umum adalah semua penyakit yang mungkin dapat diderita oleh
setiap orang, baik yang bekerja, masih sekolah atau menganggur. PAK dapat
timbul setelah seorang pekerja yang tadinya tidak menderita penyakit tertentu,
melakukan pekerjaannya kemudian jatuh sakit atau oleh pekerjaannya penyakit
tertentu tercetus, dipermudah atau diperberat. Baik penyebab atau pencetus dapat
dicegah sedini mungkin (Setyawati, 2011).
Untuk menegakkan diagnosis PAK, harus dibedakan dengan penyakit yang
berkaitan dengan pekerjaan. Adapun perbedaan spesifiknya adalah pada PAK
banyak terjadi pada para pekerja, ada kaitan dengan pekerjaannya, penyebabnya
spesifik, contohnya asbestosis. Sedangkan penyakit yang berkaitan dengan
pekerjaan di tempat kerja hanya menjadi salah satu faktor pemicu, contohnya
BC. Secara garis besar untuk mendiagnosis diperlukan pengetahuan tentang
pekerjaan yang sangat relevan dengan penyakitnya, memprediksi pengaruh jangka
panjang atau kekambuhan penyakit, mengetahui status, tingkat pendidikan,
sosioekonomi (Budiono, 2003).

2.2 Penyelaman
2.2.1 Definisi penyelaman
Menyelam merupakan suatu kegiatan yang dilakukan manusia dibawah
permukaan air atau di dalam air pada kedalaman tertentu dengan atau tanpa
menggunakan peralatan untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut
Ekawati (2005) menyelam adalah kegiatan yang dilakukan manusia di lingkungan
bertekanan tinggi yang lebih dari satu atmosfer yang dikenal sebagai lingkungan
hiperbarik.

5
6

Penyelaman pada umumnya merupakan aktivitas manusia di lingkungan


lebih dari satu atmosfer absolut yang dapat berbentuk udara/gas yang bertekanan
di dalam air (PHKI, 2000). Ekawati (2005) menyatakan bahwa penyelam
tradisional adalah penyelam yang melakukan pekerjaan secara turun-menurun
atau mengikuti yang lain, serta tanpa dibekali ilmu kesehatan dan keselamatan
penyelaman yang memadai dengan menahan nafas dan menyelam dengan
menggunakan suplai udara dari permukaan laut yang dialirkan melalui kompresor
udara.
Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI), 2000
menggolongkan penyelaman berdasarkan kedalaman menjadi tiga macam:
a. Penyelaman dangkal yaitu penyelaman dengan kedalaman maksimum 10
meter
b. Penyelaman sedang yaitu penyelaman dengan kedalaman antara 10-30
meter
c. Penyelaman dalam yaitu penyelaman dengan kedalaman lebih dari 30
meter

2.2.2 Jenis-jenis Penyelaman


Narachmadi (1994) dalam Sabrina (2007) menyatakan bahwa kegiatan
penyelaman pada mulanya dilakukan dengan menahan napas tanpa bantuan alat
sehingga kedalaman dan lama menyelam sangat terbatas dan tergantung pada
kemampuan menahan napas. Seiring dengan kemajuan teknologi, pada
kemampuan menahan napas. Seiring dengan kemajuan teknologi, manusia
berusaha menciptakan alat selam berupa alat bantu pernapasan, pakaian selam,
serta alat lain yang mendukung penyelaman.
Massi (2005) menggolongkan jenis penyelaman berdasarkan tujuan dan
alat-alat yang digunakan sebagai berikut:
a. Berdasarkan tujuan penyelaman
1) Penyelaman untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara antara
lain: tactical (combat) diving, submarine rescue (dislambair), search and
rescue, inspection repair, ship salvage.
7

2) Penyelaman komersil yaitu penyelaman profesional untuk kepentingan


kepentingan konstruksi dibawah permukaan air, pengeboran lepas pantai
(off shore drilling), selvage, dan lain-lain.
3) Penyelaman ilmiah (scientific diving) yaitu penyelaman yang dilakukan
untuk kepentingan ilmiah, antara lain penelitian-penelitian biologi,
geologi, arkeologi, dan kelautan pada umumnya.
4) Penyelaman olahraga (sport diving) yaitu penyelaman yang dilakukan
untuk mempertahankan atau meningkatkan kondisi kesehatan dan
kebugaran jiwa raga. Berdasarkan peralatan yang digunakan penyelaman
olahraga dapat dibedakan menjadi dua : skin diving yaitu penyelaman yang
dilakukan hanya menggunakan peralatan dasar selam dan scuba diving
yaitu penyelaman dengan menggunakan peralatan scuba.
b. Berdasarkan alat yang digunakan
Dilihat dari alat-alat yang digunakan, penyelaman dapat dibedakan sebagai
berikut:
1) Penyelaman tahan napas atau breath hold diving adalah penyelaman tanpa
alat bantu pernapasan, penyelam hanya mengandalkan kemampuannya
dalam menahan napas.
2) Penyelaman dengan scuba atau scuba diving yaitu penyelaman dengan
menggunakan Self Contained Underwater Breathing Apparatus.
Penyelaman ini dilakukan pada kedalaman 18-40 meter atau kurang dari
itu tergantung pada kebutuhan sesuai dengan kecepatan arus (maksimal 1
knots). Dalam keadaan normal dilakukan pada kedalaman 18 meter selama
60 menit atau 40 meter selama 10 menit.
3) Penyelaman dengan suplai udara dari permukaan atau surface supplied
diving sering disebut sebagai SSBA (Surface Supplied Breathing
Apparatus). Penyelaman ini menggunakan bantuan kompresor atau tabung
udara untuk suplai udara pada penyelam.Udara dari tabung atau kompresor
dialirkan langsung ke masker atau helm penyelam melalui pipa udara pada
tekanan udara yang disesuaikan dengan tekanan absolut di kedalaman
tersebut. Untuk penyelaman ini dilakukan pada kedalaman 40-60 meter
selama 40 menit dengan kecepatan 5 knots. SSBA masih dibagi lagi
8

tergantung alat yang digunakan yaitu: surface supplied light weight diving
dan supplied deep sea diving.
4) Penyelaman dengan menggunakan kapal selam atau submarine diving.
tekanan dalam kabin dapat diatur tetap 1 atm.
5) Penyelaman kering dalam ruang udara bertekanan tinggi (RUBT) yaitu
penyelaman yang dilakukan di dalam RUBT yang diisi dengan udara
kering bertekanan tinggi sampai tekanan/kedalaman yang dikehendaki.
Penyelaman ini bertujuan antara lain untuk dekompresi di permukaan,
penelitian-penelitian penyelaman dan pengobatan dekompresi ataupun
penyakit yang memerlukan oksigen bertekanan tinggi.

2.2.3 Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Penyelaman


Kegiatan penyelaman tidak lepas dari hukum-hukum ilmu fisika yang
berdampak langsung pada pengaruh fisiologi penyelam. Asociation of Diving
School (ADS) 2016, dalam bukunya menjelaskan bahwa aspek fisika yang
mempengaruhi penyelaman yaitu tekanan, daya apung, suhu/temperatur,
penglihatan, cahaya, dan suara dibawah air.
a. Tekanan
Ilmu kesehatan dan kedokteran hiperbarik yang memepelajari tentang
pengaruh penyelaman dan tekanan yang tinggi terhadap tubuh, telah menemukan
fakta bahwa tekanan udara di dalam air lebih besar dari tekanan udara di daratan.
Tekanan udara di permukaan laut pada suhu 0 oC pada dasarnya adalah tekanan
yang disebabkan oleh berat atmosfir di atasnya. Tekanan ini konstan yaitu sekitar
760 mm Hg (14.7 Psi) dan dijadikan dasar ukuran satu atmosfir.
Persamaan tekanan :
1 Atmosfir = 10.07 (10) *meter air laut
= 33.05 (33) *kaki air laut
= 33.93 (34) *kaki air tawar
= 1.033 kg/cm2
= 101 kilopascals
= 760 mm air raksa (mm Hg)
= 760 torr
9

Tekanan akan menurun pada ketinggian karena atmosfir diatasnya


berkurang sehingga berat udara pun berkurang. Demikian sebaliknya tekanan
akan meningkat bila seseorang menyelam di bawah permukaan air. Hal ini
disebabkan karena berat dari atmosfir dan berat dari air di atas penyelam.ukuran-
ukuran tekanan dari berbagai kedalaman mengungkapkan bahwa tekanan 760 mm
Hg (sama dengan standard atmosferik pressure) akan terasa pengaruhnya kira-kira
pada kedalaman 10 m dari air laut (33 kaki).
Berdasarkan hukum Pascal yang menyatakan bahwa tekanan yang terdapat
di permukaan cair akan menyebar ke seluruh arah secara merata dan tidak
berkurang pada setiap tempat dibawah permukaan laut, tekanan yang terdapat
pada suatu titik menunjukkan tekanan 1 atmosfir (tekana di permukaan + tekanan
yang disebabkan oleh kedalaman air laut). Satuan-satuan dari jumlah tekanan
disebut Atmosfir Absolute (ATA). Berikut satuan jumlah tekanan dalam ATA.
Tabel 2.1. Satuan Jumlah Tekanan Dalam ATA
Kedalaman (depth) Tekanan Absolut Gauge Pressure

Di Permukaan 1 ATA 0 ATG

10 meter 2 ATA 1 ATG

20 meter 3 ATA 2 ATG

30 meter 4 ATA 3 ATG

Sumber : ADS, 2016


Ukuran tekanan (Gauge Pressure) menunjukkan tekanan yang terlihat
pada alat pengukuran dimana terbaca 0 pada tingkat permukaan karena tekanan ini
selalu 1 atmosfir lebih rendah daripada tekanan. Hukum Boyle juga menegaskan
hubungan antara tekanan dan volume dari kumpulan gas akan berbanding terbalik
dengan tekanan absolute. Ini berarti bahwa bilamana tekanan meningkat volume
dari suatu kumpulan gas akan berkurang atau sebaliknya. Selama tekanan
sebanding dengan kedalaman, maka volume akan menjadi setengah dari volume
semula. Hubungan ini berlaku terhadap semua gas-gas di dalam tubuh sewaktu
penyelam masuk kedalam air maupun ketika naik keatas permukaan. Hukum ini
10

juga mengatakan bahwa seorang penyelam yang menghirup napas penuh


dipermukaan akan merasakan paru-parunya semakin lama akan semakin tertekan
oleh air di sekelilingnya sewaktu peselam turun.
Hukum fisika lain yang membahas tentang tekanan yaitu hukum Dalton
yang menyatakan bahwa jumlah tekanan dari suatu gas-gas adalah jumlah tekanan
partial dari tiap gas yang membentuk campuran gas tersebut jika gas itu secara
tersendiri menempati seluruh ruang (volume). Selama tekanan secara menyeluruh
meningkat, tekanan dari tiap-tiap gas juga akan meningkat. Hukum ini penting
untuk untuk mengetahui efek- efek toksik gas pernapasan pada kedalaman,
penyakit dekompresi dan penggunaan oksigen maupun campuran-campuran gas
untuk tujuan pengobatan. Sebagai contoh, seorang penyelam yang menghirup
suatu campuran 60% O2 dan 40% N2 risikonya akan menderita keracunan O2.
Pengaruh tekanan yang berdampak pada fisiologi penyelam juga dapat
diketahui dari teori yang dikenal dengan hukum Henry. Hukum ini berhubungan
dengan penyerapan gas di dalam cairan. Di permukaan laut(1 ATA) dalam tubuh
manusia terdapat kira-kira 1 liter nitrogen. Dinyatakan bahwa jumlah gas yang
terlarut berbanding lurus dengan tekanan partial dari gas tersebut. Bila seorang
penyelam turun sampai kadalaman 10 m (2 ATA), maka tekanan partial dari
nitrogen menjadi dua kali lipat dibandingkan dengan dipermukaan dan akhirnya
nitrogen yang terlarut dalam jaringan juga akan menjadi dua kali lipat. Ketika
tekanan yang terdapat di dalam larutan terlalu cepat berkurang dan gas yang
keluar dari larutan berbentuk gelembung-gelembung gas maka akan menyebabkan
dekompresi, keracunan gas serta pembiusan gas (insert gasnarcosis). Hal ini
dikarenakan gelembung-gelembung yang keluar dapat menyumbat pembuluh
darah atau merusak jaringan-jaringan.
Teori yang terakhir yang juga mejelaskan tentang pengaruh tekanan
terhadap menyelam yaitu teori hukum Charles. Hukum ini menyangkut hubungan
antara suhu, volume, dan tekanan yang menyatakan bahwa bila tekanan tetap
konstan, volume dari sejumlah gas tertentu adalah berbanding lurus dengan gas
absolut. Hukum ini banyak di aplikasikan pada penggunaan alat-alat penyelaman
seperti silinder, regulator chamber dan lain-lain.
11

b. Daya Apung
Hukum Archimedes menyatakan bahwa setiap benda yang dibenamkan
seluruhnya atau sebagian kedalam cairan mendapat tenaga dorong sebesar bobot
cairan yang digantikan. Semakin padat cairan itu, semakin besar pula daya
apungnya. Dengan demikian penyelam dan kapal-kapal mengapung lebih tinggi di
air laut daripada di air tawar.
Tingkat daya apung setiap penyelam dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu: berat alat-alat yang dipakai, penggunaan silinder berisi udara tekan,
penggunaan pakaian selam (wet suit) yang terdiri dari sel-sel karet busa berisi
udara dan penggunaan rompi. Bila penyelam menghirup napas, volume di dada
akan meningkat yang cenderung membuatnya mengapung, sedangkan bila ia
menghembuskan akan cenderung tenggelam. Oleh karena itu, seorang penyelam
sering menghembuskannapasnya pada saat meninggalkan permukaan untuk
memanfaatkan pengaruh tersebut untuk membantunya turun.
c. Suhu/Temperatur
Suhu air di sekeliling menentukan kenyamanan penyelam secara Suhu air
di sekeliling menentukan kenyamanan penyelam secara maksimal. Hampir semua
suhu perairan lebih dingin dari suhu badan yang normal yaitu 37 0 C atau 98 0F.
Oleh karena itu, seorang penyelam akan kehilangan panas terhadap air karena
konduksi.
Suhu air semakin berkurang secara nyata bersamaan dengan bertambahnya
kedalaman dan perubahan suhu terbesar yaitu pada kedalaman 10 m pertama. Hal
ini disebabkan karena hilangnya sebagian besar panas matahari pada kedalaman
yang lebih yang menyebabkan suhu disekitar menjadi dingin. Air yang dingin
dapat menyebabkan gangguan-gangguan fisiologis yang gawat seperti
pusing/vertigo, dan sakit kepala.
d. Penglihatan dan Cahaya
Penglihatan di bawah tidak akan sama setiap titiknya. Hal ini dikarenakan
perbedaan-perbedaan dalam pembiasan sinar dibawah air. Oleh karena itu, makin
bertambah kedalaman menyelam maka risiko terjadinya masalah penglihatan bagi
penyelam akan semakin besar pula. Selain itu, dibawah air warna-warna juga
12

tidak akan tampak seperti pada permukaan. Hal ini disebabkan karena penyerapan
terhadap panjang gelombang tiap warna yang tidak sama besarnya. Sinar matahari
yang merupakan kombinasi warna merah, orange, biru, indigo dan ungu akan
terlihat sebagai warna biru tua.
e. Suara
Suara di bawah air sangat dipengaruhi oleh penghantarnya, yaitu melalui
media cairan. Suara di udara akan cepat kehilangan energinya bila dipancarkan ke
dalam air. Oleh karena itu, Pendengaran seseorang di bawah air akan berkurang
akibat pengaruh air terhadap gendang telinga. Telinga manusia diciptakan untuk
melokalisir arah suara di udara, namun mekanisme ini akan terganggu karena di
bawah permukaan air, suara merambat 4 kali lebih cepat daripada di udara.
f. Fisiologi Penyelam
Marine Sciene Diving Club (2000), dalam bukunya menjelaskan bahwa
aktifitas penyelaman yang berada di lingkungan hiperbarik (lebih dari 1 atmosfer)
dapat menyebabkan perubahan fatal dalam tubuh manusia. Oleh karena itu,
pemahaman tentang cara kerja tubuh yang normal dapat membantu untuk
memahami pengaruh-pengaruh menyelam terhadap manusia. Adapun cara kerja
tubuh yang harus diketahui yaitu:
1) Pernapasan
Proses bernapas dibuthkan untuk menyuplai oksigen (O2) ke semua
jaringan tubuh dan untuk mengeluarkan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan
jaringan darah melalui paru-paru. Udara masuk ke paru-paru melalui sistem pipa
yang menyempit (Bronchi dan Bronchioles) yang bercabang di kedua belah paru-
paru dari saluranudara utama (Trachea). Pipa ini berakhir di gelembung-
gelembung paru-paru (Alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana
oksigen dan karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir.
Terdapat lebih dari 300 juta kantong serupa di dalam paru-paru manusia.
ruang udara ini dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia semacam
deterjen yang dapat menetralkan kecendrungan alveoli untuk mengempis.
Permukaan bagian luar paru-paru ditutup oleh selaput (Pleura) yang licin dan
selaput serupa yang membatasi permukaan bahian dari dinding dada. Kedua
13

selaput ini terletak sangat berdekatan dan hanya dipisahkan oleh lapisan cairan
yang tipis. Ruang pemisah antara selaput tersebut disebut ruang antar rongga
selaput dada (Intra Pleure Space). Sewaktu menarik napas (Inspirasi), dinding
dada secara aktif tertarik keluar oleh pengerutan dinding dada, dan sekat rongga
dada (Diafragma) tertarik ke bawah sedangkan ketika menghembuskan napas
(Ekspirasi) terjadi pengerutan di paru- paru dan dinding dada yang ikut
mengembang.
Penyelam membutuhkan gas untuk pernapasan di bawah air melalui sistem
katup dan pipa yang sempit, namun terdapat hambatan terhadap proses
pernapasan. Sewaktu menyelam masuk kedalam air, tekanan meningkat
disebabkan meningkatnya kepadatan gas seiring dengan kedalamannya. Pengaruh
utamanya adalah berkurangnya ventilasi paru-paru, akibatnya lebih banyak tenaga
yang digunakanuntuk bernapas yang mempercepat terjadinya kelelahan
dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan di daratan. Pengukuran fungsi
pernapasan ada banyak hal dan bermacam-macam, tetapi yang berhubungan
dengan penyelam antara lain:
a) Kapasitas Total Paru-paru (Total Lung Capacity/ TLC) merupakan jumlah
volume gas yang dapat ditampung oleh kedua paru-paru bila terisi penuh,
biasanya kurang lebih 5 liter
b) Kapasitas Vital (Vital Capacity/VC) merupakan volume gas maksimal
yang dapat dihembuskan keluar setelah dihirup secara maksimal (biasanya
4-5 liter)
c) Volume Sisa (Residual Volume/RV) merupakan jumlah gas yang tertinggal
dalam paru-paru setelah dihembuskan secara maksimal: TLC-VC (kurang
lebih 25% dari TLC)
d) Tidal Volume/TV merupakan volume gas yang bergerak masuk dan keluar
dari paru-paru selagi suatu putaran pernapasan secara normal (biasanya
kurang dari 0.5 liter)
e) Volume Pernapasan Permenit (Respiratory Minute Volume/RMV)
merupakan jumlah gas yang bergerak masuk dan keluar dari paru-paru
dalam 1 menit. Yaitu TV × frekuensi pernapasan = RMV.
f) Kapasitas Vital Sewaktu (Time Vital Capacity/TVC) merupakan bagian VC
yang dapat dihembuskan dalam waktu tertentu (biasanya 1 detik).
14

Parameter pengukuran pernapas ini penting untuk dipahami penyelam agar


dapat mencegah kejadian-kejadian seperti:
a) Risiko barotrauma paru-paru
b) Kecepatan dimana penyediaan udara tekan akan terpakai habis
c) Kedalaman maksimal untuk menggunakan pipa udara (snorkel) yang aman
d) Terjadinya kelelahan karena alat pernapasan dan penyelaman yang kurang
lengkap dan kurang berdaya guna
e) Terjadinya kekurangan oksigen (hipksia)
2) Peredaran Darah
Tekanan darah saat istirahat yang normal adalah 120-140 mmHg selagi
jantung mengerut (sistolik), dan 70-80 mm Hg sewaktu diantara denyutan jantung
(diastolik). Bila tekanan darah turun, maka peredarandarah ke jaringan tidak akan
cukup, hingga menyebabkan kekurangan O2, tekanan darah tergantung kecepatan
dan kekuatan pengerutan jantung dan juga pada daya tahan arteri terhadap aliran
darah.
Sering terjadi pendarahan pada penyelam akibat perbedaan tekanan yang
diterima oleh tubuh. Pendarahan yang terlalu banyak akan mengurangi volume
darah sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Penurunan sirkulasi darah yang
hebat disebut shock. Bila shock terjadi dan tidak segara diatasi maka dapat
mengakibatkan kematian Shock dapat diatasi dengan memberikan cairan-cairan
melalui pembuluh darah (intravena) untuk meningkatkan volume darah dan
menaikkan tekanan darah.
3) Rongga Udara dalam Tubuh
Rongga udara dalam tubuh adalah rongga-rongga didalam tubuh manusia
yang terdapat di berbagai organ tubuh. Pada umumnya dikelilingi oleh tulang.
Macam-macam rongga udara pada tubuh yang berkaitan dengan aktifitas
penyelaman, antaralain:
a) Sinus : sinus frontalis yang berada di tulang dahi dan sinus maksilaris yang
berasa di tulang pipi
b) Paru dalam rongga dada
c) Gigi : rongga pada gigi dapat muncul ketika melakukan penambahan pada
15

lubang gigi
d) Kulit : rongga dibawah pakaian selam
e) Muka : rongga yang terdapat antara wajah dengan lapisan kaca masker
f) Telinga : rongga luar, tengah dan dalam

2.2.4 Penyelaman tradisional


Penyelaman tradisional adalah penyelaman yang dilakukan dengan
menggunakan peralatan selam yang sangat terbatas bila dibandingkan dengan
penyelaman profesional, daya tahan dan kebiasaan mereka menjadi modal ketika
melakukan penyelaman mereka yang biasa mencari biota laut tertentu, dapat
bertahan menyelam antara 1-2jam didalam laut. Tidak ada penyelam yang
menggunakan pakaian selam, peralatan yang umum digunakan oleh seorang
penyelam tradisional hanya terdiri dari kaos tangan panjang, celana pendek,
sepatukaret, kompresor yang biasa digunakan sebagai alat untuk memompa ban
kendaraan bermotor, fins, masker, selang dengan regulator, dan pemberat dari
timah. Sedangkan keterampilan penyelaman diperoleh secara alami yaitu dengan
meniru cara menyelam peselam yang lebih tua atau lebih senior (Dharmawan,
2012).
Kompresor yang digunakan sebagai penyuplai udara ke penyelam adalah
kompresor ban yang tidak dirancang secara khusus untuk digunakan menyelam.
Pada kompresor tersebut terdapat knalpot mesin penggerak kompresor jaraknya
sangat dekat dengan tempat masuk udara kedalam kompresor sehingga hal ini
dapat menyebabkan masuknya sisa pembakaran mesin yang berupa gas karbon
monoksida (CO) yang dapat mengakibatkan penyelam mengalami keracunan.
Kompresor sebagai alat bantu dalam air, dipasang selang sepanjang 50-75m yang
salah satu ujungnya disambungkan keseluruh udara (output pipe) kompresor ban
tersebut. Diujung satunya dipasang regulator yang akan membantu penyelam
untuk menghirup udara yang beraal dari selang tersebut melalui mulutnya. Di satu
kompresor bias terpasang sampai 4 buah Selang. Selang-selang tersebut
selanjurnya diikatkan ke tubuh penyelam, biasanya di bagian pinggang. Tuuannya
adalah agar ketika menyelam tidak terbawa arus yang bisa dilepaskan regulator
16

dari mulut penyelam. Akibat ikatan yang erat ke tubuh penyelam, aliran udara
akan terhambat sehingga udara yang dihirup oleh penyelam sebagian besar dari
gelembung-gelembung air yang keluar dari selang yang terhambat tadi. Jika
terjadi suatu hal seperti mesin kompresor mati mendadak atau kehabisan bahan
bakar, seorang penjaga (operator) diatas perahu tidak mempunyai pilihan selain
harus menarik segera selang penyelaman ke permukaan (Paskarini,2012)

2.3 Penyakit Dekompresi


2.3.1 Definisi
Penyakit dekompresi atau Caisson disease disebut juga Bends,
Compressed air illness, Divers palsy, dysbarism dan aeroembolism. Tetapi istilah
itu sudah jarang digunakan. Pertama kali penyakit ini ditemukan oleh Triger pada
tahun 1841, yang melihat adanya gejala-gejala nyeri pada tungkai dan kejang otot
yang diderita pekerja tambang batubara. Pada tahun 1878, Paul Bert menemukan
bahwa gelembung-gelembung gas yang ada di jaringan adalah nitrogen. Bertahun-
tahun lamanya orang beranggapan bahwa terbentuknya gelembung gas adalah
penyebab semua gejala caisson disease sampai akhirnya pada tahun 1937,
Swindle dan End menemukan bahwa ada juga perubahan-perubahan biokimia
karena trauma akibat pengembangan gelembung-gelembung gas yang
menyebabkan aglutinasi eritrosit dan agregasi trombosit. Hukum fisika yang
berhubungan dengan penyakit ini adalah Hukum Henry yang berbunyi
“banyaknya gas yang terlarut didalam cairan adalah sebanding dengan tekanan
gas di atas cairan tersebut” (Noltkamper, 2012)
Edmonds et al. (2015:150) menyatakan penyakit dekompresi disebabkan
oleh timbulnya gelembung dalam darah sebelum atau sesudah adanya perubahan
tekanan lingkungan. Menurut Brown dan Antunano (tanpa tahun) menyatakan,
sebuah penyakit yang disebabkan oleh terbentuknya gelembung gas yang
terbentuk setelah menyelam. Dalam olah raga menyelam gas utama yang
terbentuk adalah nitrogen hal tersebut terjadi karena penyelam menghirup udara.
Ketika penyelam bernafas melalui peralatan menyelam pada kedalaman tertentu,
nitrogen akan terbentuk saat tekanan parsial meningkat. Karena gas berpindah dari
17

tekan tinggi ke tekanan rendah, nitrogen akan masuk ke paru-paru melalui aliran
darah dan diangkut keseluruh bagian tubuh. Semakin dalam melakukan
penyelaman maka semakin besar pula tekanan dari nitrogen sehingga semakin
besar pula nitrogen akan diserap. Kecepatan aliran dari nitrogen dipengaruhi oleh
kecepatan aliran darah. Organ dengan kebutuhan metabolisme tinggi seperti otak,
jantung, ginjal, hati, menerima pasokan darah yang lebih banyak daripada organ
lain sehingga semakin tinggi pula kadar nitrogen yang masuk melalui darah.

2.3.2 Sejarah
Penyakit dekompresi adalah suatu kecelakaan karena penurunan tekanan
lingkungan yang mendadak seperti pada penyelaman atau pada pertambangan,
yaitu pada saat pekerja keluar dari lingkungan pekerjaannya.
Penyakit dekompresi pertama kali dilaporkan oleh Triger di Perancis tahun
1843 yang melihat gejala nyeri dan kejang otot pada pekerja batubara. Pol dan
watelle tahun 1854 memperhatikan bahwa gejala penyakit tersebut akan hilang
bila di kembalikan di lingkungan semula. Friedburg melaporkan pada tahun 1872
bahwa gejala tersebut diatas adalah akibat adanya gelembung gelembung gas pada
jaringan. Paul bert pada tahun 1876 menemukan gelembung gas yang ada dalam
jaringan tersebut adalah nitrogen. Boycot dan damant pada tahun 1908
melaporkan bahwa binatang yang gemuk lebih mudah terkena penyakit
dekompresi dibandingkan dengan binatang yang kurus, karena lemak adalah
jaringan yang merupakan reservoir bagi N2, sedangkan N2 itusendiri lima kali
lebih mudah larut dalam minyak daripada dalam air. Swindle dan end tahun 1937
menemukan perubahan-perubahan biokimia yang dikenal karena trauma akibat
pengembangan gelembung gas yang menyebabkan aglutinasi eritrosit dan
agregasi trombosit (U.S Navy Chapter 9,2016).

2.3.3 Patologi
Penyakit dekompresi berhubungan erat dengan teori hukum henry, yang
menyebutkan bahwa gas akan menjadi larut dalam cairan ketika gas tersebut
mengalami tekanan. Ketika menyelam terjadi perubahan volume pada organ-
18

organ tubuh yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan. Kondisi tersebut


merusak jaringan yang berada disekitar organ. Begitupula jika penyelam naik ke
permukaan terlalu cepat, gas nitrogen yang berada didalam tubuh tidak dapat
dikeluarkan sehingga terbentuk gelembung-gelembung (Edmonds et.al, 2015 :
135).
Riyadi dalam bukunya Ilmu kesehatan penyelaman dan hiperbarik yang
dikutip oleh Alias (2013) menulis bahwa otopsi pada manusia dan binatang dalam
kasus caisson disease yang berat menunjukkan adanya gelembung-gelembung gas
dalam pembuluh darah dan jaringan ekstravaskuler. Timbulnya gelembung-
gelembung gas tadi berhubungan dengan timbulnya peristiwa supersaturasi gas
dalam darah ataupun jaringan tubuh pada waktu proses penurunan tekanan di
sekitar tubuh (dekompresi). Kondisi supersaturasi gas dalam darah dan jaringan
sampai suatu batas tertentu masih dapat ditoleransi, dalam arti masih memberi
kesempatan gas untuk berdifusi keluar dari jaringan dan larut dalam darah,
kemudian ke alveoli paru dan diekshalasi keluar tubuh. Setelah melewati suatu
batas kritis tertentu (supersaturation critique), kondisi supersaturasi akan
menyebabkan gas lepas lebih cepat dari jaringan atau darah dalam bentuk tidak
larut, yaitu berupa gelembung gas. Gelembung-gelembung gas ada yang terbentuk
dalam darah (intravaskuler), jaringan (ekstravaskuler), dan dalam sel
(intraseluler).
Dengan adanya fenomena seperti di atas, maka ada korelasi antara jumlah
gelembung gas yang terbentuk dengan kemungkinan timbulnya atau berat
ringannya penyakit dekompresi. Gelembung gas ekstravaskuler menimbulkan
distorsi jaringan dan kemungkinan kerusakan sel-sel di sekitarnya. Ini bisa
mengakibatkan gejala-gejala neurologis maupun gejala nyeri periartikuler.
Terbentuknya gelembung gas ekstravaskuler secara teoritis karena aliran darah
vena di jaringan tersebut yang relatif lambat sehingga menghambat kecepatan
eliminasi gas dari jaringan. Gelembung-gelembung gas intravaskuler akan
menimbulkan 2 akibat, yaitu :
a. Akibat langsung atau akibat mekanis sumbatan menimbulkan iskemia atau
kerusakan jaringan sampai infark jaringan,
19

b. Akibat tidak langsung atau akibat sekunder dari adanya gelembung gas
dalam darah (dikenal dengan secondary blood bubble interface reactions)
bertanggung jawab atas terjadinya fenomena hipoksia seluler pada
penyakit dekompresi.
Darah adalah cairan tubuh yang tercepat menerima dan melepaskan
nitrogen. Darah menerima nitrogen dari paru dan mencapai kejenuhan nitrogen
dalam waktu beberapa menit. Otak termasuk dalam jaringan yang cepat karena
mempunyai banyak suplai darah. Tulang rawan pada permukaan sendi
mempunyai suplai darah yang kurang, sehingga memerlukan waktu lebih lama
(sampai beberapa jam) untuk mencapai kejenuhan nitrogen. Nitrogen mempunyai
daya larut yang baik dalam jaringan lemak, sehingga jaringan lemak bisa
melarutkan nitrogen lebih banyak daripada jaringan-jaringan lainnya.
Konsep jaringan cepat dan lambat penting untuk memahami bentuk-
bentuk klinis penyakit dekompresi yang mungkin timbul. Penyelaman singkat dan
dalam akan menghasilkan pembebanan nitrogen yang tinggi pada jaringan-
jaringan cepat, tetapi tidak cukup waktu untuk pembebanan tinggi pada jaringan-
jaringan lambat. Dekompresi yang inadekuat memungkinkan pembentukan
gelembung nitrogen didalam darah yang bias mengakibatkan gangguan
pernapasan (chokes) atau gejala neurologis. Penyelaman yang relatif dangkal tapi
lama akan memberikan pembebanan nitrogen yang kurang lebih sama antara
jaringan cepat dan jaringan yang lebih lambat. Perbedaan tekanan yang tidak
terlampau besar antara kedalaman dan permukaan menyebabkan darah lebih
mampu mentolerir kelebihan nitrogen tersebut, karena darah sebagai jaringan
cepat bisa mengeliminasi nitrogen lebih cepat lewat alveoli paru sedangkan
jaringan lambat tidak bisa. Penyelaman seperti ini cenderung menimbulkan nyeri
pada persendian (bends), karena sendi adalah jaringan lambat dan tidak dapat
melepas nitrogen dengan cepat lewat darah.
Arfa (2012) dalam Alias (2013) menyatakan bila seseorang menggunakan
udara bertekanan tinggi sebagai media pernapasan untuk menyelam, maka
semakin dalam dan semakin lama nelayan menyelam akan semakin banyak gas
yang larut dan ditimbun dalam jaringan tubuh. Sesuai hukum Henry, volume gas
20

yang larut dalam suatu cairan sebanding dengan tekanan gas di atas cairan itu.
Karena oksigen (O2) dikonsumsi dalam jaringan tubuh, maka yang tinggal adalah
Nitrogen (N2) yang merupakan gas inert (tidak aktif). Seperti kita ketahui tekanan
udara di permukaan laut adalah 1 Atmosfer Absolut (ATA) dan setiap kedalaman
10 meter maka tekanan akan bertambah 1 ATA. Jadi bila 1 liter N2 terlarut didalam
tubuh seseorang penyelam pada permukaan, maka pada kedalaman 20 meter (3
ATA) ia akan menyerap 3 liter N 2. N2 yang berlebihan ini akan didistribusikan
oleh darah ke dalam jaringan-jaringan sesuai dengan kecepatan aliran darah ke
jaringan tersebut serta daya gabung jaringan terhadap N 2. Jaringan lemak
mempunyai daya gabung N2 yang tinggi dan melarutkan banyak N2 daripada
jaringan yang lainnya. Ketika penyelam naik ke permukaan dan tekanan gas turun,
terjadi kebalikan dari proses yang memenuhi tubuh dengan N2. Tekanan parsial N2
yang rendah dalam paru-paru selama naik menyebabkan darah melepaskan N2 ke
dalam paru-paru. Proses ini berlangsung beberapa jam karena jaringan lambat
melepaskan N2 dengan perlahan-lahan, dan tubuh memerlukan 24 jam atau lebih
untuk menghilangkan semua N2 yang berlebihan. Jika dekompresi berlangsung
terlalu cepat, maka N2 tidak dapat meninggalkan jaringan dengan cepat dan teratur
seperti yang dilukiskan diatas. Tekanan yang tiba-tiba menurun tidak cukup untuk
mempertahankan kelarutan gas sehingga timbul gelembung, seperti fenomena
yang kita lihat bila tutup botol bir dibuka dengan tiba-tiba.

2.3.4 Teori Pembentukan Gelembung Gas


Asal mula terjadinya gelembung gas tidak dimengerti. Dengan perbagai
percobaan dapat diketahui bahwa gelembung gas dapat terjadi spontan dalam
media cairan dengan beberapa mekanisme, atau dapat berkembang mulai dari gas
mikronuklei.
Teori invivo mengatakan bahwa pembentukan gelembung gas dapat terjadi
spontan karena adanya supersturasi pada tekanan 0,5-0,7 ATM pada binatang
percobaan. Sedangkan teori invitro menyatakan inti gas adalah partikel gas yang
bersatu. Meningkatnya supersaturasi mengakibatkan terbentuknya inti sehungga
makin banyak gelembung gas terbentuk. Inti gas tersebut berbentuk speris dan
21

stabil, dapat larut karena tegangan permukaan meningkat tekanan tekanan dalam
dari gelembung gas diatas tekanan barometri/absolut (hukum laplase) menurut
youth et al tahun 1979 dalam (Simanungkalit, 1997).
Teori tribonucleasi mengatakan gelembung gas terjadi bila 2 lapisan
permukaan cairan bersinggungan akibat tekanan negatif yang besar.
Rumus supersaturasi
Supersaturasi : pg +pv-pabs
Pg : dissolved gas tension
Pv : vapour pressure
Pabs : absolute pressure

2.3.5 Prinsip Dasar Prosedur Dekompresi


Berdasarkan penelitian yang dikembangkan haldane, dilapokan bahwa
tekanan yang dialami peselam dapat diturunkan dengan cepat menjadi
setengahnya, dengan rasio 2:1 tanpa menimbulkan gangguan yang berarti.
Berdasarkan konsep tersebut disusun tabel dekompresi untuk bermacam
kedalaman dan lama penyelaman, yang dari kedalaman tertentu peselam boleh
langsung naik dan berhenti beberapa menit pada kedalaman tertentu yang tekanan
absolutnya setengah dari tekanan awal. Tempat pemberhentian tadi disebut stasiun
dekompresi, sedangkan cara naik kepermukaan dengan berhenti pada stasiun-
stasiun dekompresi disebut prosedur dekompresi.
Prinsip yang menjadi dasar untuk pembuatan tabel dekompresi sampai
sekarang adalah sebagai berikut:
a. Proses saturasi dan desaturasi dari gas dalam tubuh kita berjalan secara
eksponensial.
b. Kecepatan proses saturasi berbeda pada berbagai bagian tubuh.
c. Prosedur dekompresi selalu dimulai dengan turunya tekanan dekompresi
secara cepat.
d. Tekanan pasial N2 bagian badan harus lebih kecil dari 2x tekanan udara
luar.
Walaupun sudah menggunakan prosedur yang benar, setelah
menyelesaikan penyelamannya, pada tubuh peselam masih terdapat sisa nitrogen
dalam jumlah yang tidak membahayakan. Sisa nitrogen tersebut setelah 12 jam
22

dipermukaan dianggap bersih dari tubuh karena telah dikeluarkan lewat udara
pernafasan. Bila kurang 12 jam dari penyelaman pertama dilakukan penyelaman
kedua, maka terjadi kelebihan nitrogen dalam tubuhnya yang oleh darah akan
didistribusikan kejaringan sesuai dengan kecepatan aliran darah dan daya gabung
N2.

2.3.6 Prosedur Penyelaman


a. Penyelaman tanpa dekompresi menurut U.S.Navy (U.S Navy vol 2 chapter
9,2016:3)
Dianjurkan mengurangi waktu dasar 5 menit dari batas waktu tanpa
dekompresi, sebagai faktor keamanan guna mencegah terjadinya kecelakaan
dekompresi.
23

b. Penyelaman dengan dekompresi

Penyelaman tunggal

Dekompresi sesuai
Grup penyelaman
dengan tabel standart
atau tanpa tabel standart ulang

Interval Interval Interval


permukaan (ip) permukaan 10<ip< permukaan (ip) <
>12 jam 12 jam 10 menit

Di pakai tabel Menambah


waktu sisa nitroen waktu dasar
bila terdapat sisa terdahulu ke
nitrogen penyelam
berikutnya
Menambah
waktu sisa N2
ke waktu dasar Kedalaman dan
penyelaman waktu dasar sesui
berikutnya dengan
sesuai waktu penyelaman
dasar tunggal
penyelaman
Dipakai tabel
tunggal Dipakai tabel
dekompresi untuk dekompresi pada
penyelaman ulang kedalaman yang
pada kedalaman paling dalam
sesuai dengan waktu
dasar penyelaman
tunggal

2.3.7 Gambar
Faktor yang Mempengaruhi
2.1 Penyelaman Penyakit
dengan Dekompresi
dekompresi U.S Navy chapter 9 (2016:3)
Secara umum, apapun yang meningkatkan laju aliran darah ke organ juga
akan meningkatkan aliran dari nitrogen. Serta apapun yang menghambat aliran
darah menuju organ, juga akan menghambat aliran dari nitrogen. Edmonds et.al
(2015:139) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi risiko penyakit
dekompresi adalah sebagai berikut:
a. Lama penyelaman
Konsep jaringan cepat dan lambat penting untuk memahami bentuk-
bentuk klinis penyakit dekompresi yang mungkin timbul. Penyelaman
24

singkat dan dalam akan menghasilkan pembebanan nitrogen yang tinggi pada
jaringan-jaringan cepat, tetapi tidak cukup waktu untuk pembebanan tinggi pada
jaringan-jaringan lambat. Dekompresi yang inadekuat memungkinkan
pembentukan gelembung nitrogen didalam darah yang bisa mengakibatkan
gangguan pernapasan (chokes) atau gejala neurologis.
Penyelaman yang relatif dangkal tapi lama akan memberikan
pembebanan nitrogen yang kurang lebih sama antara jaringan cepat dan
jaringan yang lebih lambat. Perbedaan tekanan yang tidak terlampau besar
antara kedalaman dan permukaan menyebabkan darah lebih mampu
mentolerir kelebihan nitrogen tersebut, karena darah sebagai jaringan cepat
mengeliminasi nitrogen lebih cepat lewat alveoli paru sedangkan jaringan
lambat tidak bisa. Penyelamand seperti ini cenderung menimbulkan nyeri pada
persendian karena sendi adalah jaringan lambat dan tidak dapat melepas nitrogen
dengan cepat lewat darah.
b. Kedalaman
Penyelaman lebih dari 10 meter dapat mengakibatkan muculnya
gelembung gas yang dapat memicu penyakit dekompresi. Semakin dalam
penyelaman maka semakin besar gelembung gas yang dihasilkan. Kondisi
tersebut berbanding lurus dengan durasi, semakin lama penyelaman maka juga
semakin besar kemngkinan terbentuknya gelembung gas.
Arfa (2012) dalam Alias (2013) menyatakan bila seseorang menggunakan
udara bertekanan tinggi sebagai media pernapasan untuk menyelam, maka
semakin dalam dan semakin lama penyelam melakukan penyelaman, akan
semakin banyak pula gas yang larut dan ditimbun dalam jaringan tubuh. Sesuai
hukum Henry, volume gas yang larut dalam suatu cairan sebanding dengan
tekanan gas di atas cairan itu. Karena oksigen (O2) dikonsumsi dalam jaringan
tubuh, maka yang tinggal adalah Nitrogen (N2) yang merupakan gas inert
(tidak aktif).
Seperti kita ketahui tekanan udara di permukaan laut adalah 1
Atmosfer Absolut (ATA) dan setiap kedalaman 10 meter maka tekanan akan
bertambah 1 ATA. Jadi bila 1 liter N2 terlarut didalam tubuh seseorang penyelam
25

pada permukaan, maka pada kedalaman 20 meter (3 ATA) ia akan menyerap 3


liter N2. N2 yang berlebihan ini akan didistribusikan oleh darah ke dalam jaringan-
jaringan sesuai dengan kecepatan aliran darah ke jaringan tersebut serta daya
gabung jaringan terhadap N2.
Jaringan lemak mempunyai daya gabung N2 yang tinggi dan
melarutkan banyak N2 daripada jaringan yang lainnya. Ketika penyelam naik
ke permukaan dan tekanan gas turun, terjadi kebalikan dari proses yang
memenuhi tubuh dengan N2. Tekanan parsial N2 yang rendah dalam paru-paru
selama naik menyebabkan darah melepaskan N2 kedalam paru-paru proses ini
berlangsung beberapa jam karena lambat melepaskan N2 dengan perlahan-lahan,
dan tubuh memerlukan 24 jam atau lebih untuk menghilangkan semua N2
yang berlebihan.
Jika dekompresi berlangsung terlalu cepat, maka N2 tidak dapat
meninggalkan jaringan dengan cepat dan teratur seperti yang dilukiskan
diatas. Tekanan yang tiba-tiba menurun tidak cukup untuk mempertahankan
kelarutan gas sehingga timbul gelembung, seperti fenomena yang kita lihat bila
tutup botol bir dibuka dengan tiba-tiba (Alias, 2013).
c. Frekuensi Penyelaman
Campbell mengemukakan beberapa faktor yang ditemukan dapat
meningkatkan kejadian penyakit dekompresi, yaitu menyelam berulang-ulang,
menyelam melebihi batas dekompresi, kehabisan udara, kecepatan naik ke
permukaan, melakukan penerbangan setelah menyelam dan menyelam
terlalu dalam.
Standart melakukan penyelaman ulang dengan istirahat di darat kurang
dari 10 menit (penyelaman tunggal). Kedalaman yang dihitung adalah
penyelaman yang terdalam, dan lama penyelaman yang pertama dan kedua harus
dijumlahkan. Kemudian dilihat tabel prosedur penyelaman benar atau salah.
kriteria melakukan penyelaman ulang dengan waktu istirahat di darat > 10 menit,
lama dan kedalaman tiap penyelaman di hitung.
d. Kecepatan naik kepermukaan
Kecepatan saturasi berbeda-beda untuk tiap gas secara individual. Untuk
26

kecepatan perfusi yang konstan, kecepatan saturasi terutama tergantung kepada


sifat fisika-kimia dari gas tersebut. Perbedaan dari kecepatan saturasi merupakan
hasil perbedaan dari koefisien daya larut dalam jaringan lemak dan jaringan
barier. Lemak mempunyai daya gabung nitrogen yang tinggi dan melarutkan 5x
lebih banyak nitrogen daripada air. Kecepatan superturasi gas di dalam darah dan
jaringan pada batas tertentu masih dianggap aman, bila tekanan lingkungan
diturunkan secara bertahap, dalam arti masih bisa memberikan kesempatan gas
untuk berdifusi keluar dari jaringan dan larut dalam darah, kemudian menuju
alveoli paru lalu keluar melalui pernafasan.
Bila batas maksimum kecepatan penurunan tekanan lingkungan diturunkan
secara bertahap, dalam arti masih bisa memberikan kesempatan gas untuk
berdifusi keluar dari jaringan dan larut dalam darah, kemudian menuju alveoli
paru lalu keluar melalui pernafasan. Bila batas maksimum kecepatan penurunan
tekanan lingkungan dilampaui, maka kondisi superturasi gas dalam darah dan
jaringan melewati batas krisis superturasi, sehingga menyebabkan gas nitrogen
tidak larut dan lebih cepat lepas dari jaringan dan darah dalam bentuk gelembung
gas nitrogen.ukuran gelembung gas tergantung dari volume gas yang disebabkan
oleh difusi O2, CO2 dan gas inert lainnya.
Pada peselam dengan mempergunakan udara sebagai media pernafasannya
untuk melakukan penyelaman, maka nitrogen merupakan bagian yang terbesar
yang berfungsi sebagai carier oksigen. Apabila peselam dalam melakukan
penyelaman dalam dan lama, akan semakin banyak gas nitrogen yang larut dalam
cairan darah serta tertimbun dalam jaringan dan apabila penyelam naik ke
permukaan terlalu cepat maka akan timbul gelembung gas dalam pembuluh darah
dan limfe. Untuk itu perlu prosedur tertentu bila naik kepermukaan agar tidak
terbentuk gelembung nitrogen tersebut. Dalam tabel dekompresi, standart laju
kecepatan naik ke permukaan adalah 60 feet/menit atau 1 feet / detik atau 18
meter/ menit (Whaley,2008)
e. Proses Adaptasi Tubuh
Penyelaman yang dilakukan berulang memungkinkan bagi tubuh untuk
melakukan proses adaptasi sehingga tubuh dengan sendirinya akan mengurangi
27

gelembung gas yang terbentuk. Namun tidak semua individu mampu melakukan
proses adaptasi ini.
f. Usia
Usia yang lebih tua lebih besar kemungkinannya untuk terkena penyakit
dekompresi karena sel-sel telah mengalami degenerasi.
g. Obesitas
Proses penyerapan gelembung gas pada individu yang memiliki kadar
lemak tinggi mengalami peningkatan hingga 4-5 kali lebih cepat.
h. Riwayat cedera
Pada bagian otot atau sendi yang teluka, proses pembentukan gelembung
gas akan menjadi lebih cepat.
i. Temperatur air
Temperatur yang telalu rendah membuat terbentuknya gelembung gas
menjadi lebih cepat. Suhu air di sekeliling menentukan kenyamanan penyelam
secara maksimal. Hampir semua suhu perairan lebih dingin dari suhu badan
0 0
yang normal yaitu 37 C atau 98 F. Oleh karena itu, seorang penyelam akan
kehilangan panas terhadap air karena konduksi.
Suhu air semakin berkurang secara nyata bersamaan dengan
bertambahnya kedalaman dan perubahan suhu terbesar yaitu pada kedalaman 10
m pertama. Hal ini disebabkan karena hilangnya sebagian besar panas matahari
pada kedalaman yang lebih yang menyebabkan suhu disekitar menjadi dingin.
Air yang dingin dapat menyebabkan gangguan-gangguan fisiologis yang gawat
seperti pusing/vertigo, dan sakit kepala.
Air dingin membuat vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah)
sehingga nitrogen sulit untuk dikeluarkan. Sedangkan air hangat menyebabkan
vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) dan posisi kepala di bawah
meningkatkan eliminasi nitrogen.
j. Alkohol dan narkoba
Pecandu alkohol dan narkoba rentan untuk mengalami penyakit
dekompresi, termasuk mengkonsumsi sebelum melakukan penyelaman. Zat yang
terkandung akan mempercepat timbulnya gelembung gas.
28

k. Kondisi fisik
Semakin tinggi energi yang dibutuhkan maka semakin besar laju aliran
darah yang disirkulasikan, sehingga apabila darah mengandung gelembung gas
maka organ akan semakin rentan mengalami penyakit dekompresi.
Dalam artikel yang ditulis Oleh Campbell (2010) yang berjudul
“Prevention of Decompression Accidents” mengkategorikan beberapa penyebab
terjadinya penyakit dekompresi, yaitu sebagai berikut :
a. Perbedaan fisiologis individu, seperti :
1) Dehidrasi: Ini mungkin yang paling penting dari faktor-faktor penyebab
dekompresi. Meminum air dalam jumlah yang cukup (8-10 gelas/hari). Hal
diperlukan untuk melawan efek pengeringan udara terkompresi dan
diuresis wajib bahwa semua penyelam dapatkan dari perendaman. Banyak
hal yang menyebabkan dehidrasi seperti kopi, alkohol, muntah dan diare.
2) Penyakit yang mempengaruhi paru-paru atau efisiensi sirkulasi yang sudah
ada: paru-paru bertindak sebagai penyaring untuk gelembung yang ada
dalam tubuh penyelam. Penyakit paru-paru kronis, gagal jantung keduanya
cenderung meningkatkan risiko penyakit dekompresi. Penurunan perfusi
dari sumber manapun dapat meningkatkan kemungkinan penyakit
dekompresi. Intracardiac defek septum (PFO) melewati efek penyaringan
dari paru-paru dan meningkatkan risiko gelembung.
3) Jaringan parut yang pernah cidera atau rusak.
4) Pernah mengalami penyakit dekompresi sebelumnya.
5) Jenis Kelamin; perempuan lebih mudah menderita penyakit dekompresi,
terutama selama menstruasi.
6) Obesitas: Beberapa studi telah dicurigai obesitas sebagai faktor dalam
meningkatkan risiko penyakit dekompresi. Menumpuknya lemak dalam
pembuluh darah dan penurunan perfusi (kemampuan untuk membuang
gas) dapat menyebabkan penyakit dekompresi. Nitrogen adalah gas yang
larut dalam lemak.
7) Kelelahan : banyak yang salah menduga bahwa kelelahan bukan faktor
yang menyebabkan penyakit dekompresi. Faktanya kelelahan juga
29

merupakan gejala halus dari penyakit dekompresi. Kelelahan disebabkan


oleh lama kerja ataupun beban kerja, bahwa semakin berat beban kerja
atau lama kerja maka semakin banyak pula energi dan nutrisi yang
diperlukan atau dikonsumsi oleh tubuh.
8) Umur: Semakin tua penyelam telah lama dianggap telah meningkatkan
kecenderungan untuk memiliki penyakit dekompresi.
9) Kondisi fisik yang buruk: kebugaran fisik yang baik akan meningkatkan
perfusi dan memastikan pertukaran gas yang baik.
b. Faktor lingkungan meliputi berikut :
1) Air dingin membuat vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah)
sehingga nitrogen sulit untuk dikeluarkan. Sedangkan air hangat
menyebabkan vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) dan posisi kepala
di bawah meningkatkan eliminasi nitrogen.
2) Pekerjaan berat. Pekerjaan pada kedalaman akan meningkatkan serapan
nitrogen dan dapat merugikan tubuh.
3) Kondisi laut yang berbahaya.
4) Pakaian selam yang panas dapat menyebabkan dehidrasi.
Penyelam yang telah kedinginan akibat penyelaman tingkat tinggi lalu
mandi dengan air panas atau hangat, dapat merangsang pembentukan gelembung
dalam tubuh. Campbell (2010) menambahkan pula beberapa faktor yang
ditemukan dapat meningkatkan kejadian penyakit dekompresi, yaitu menyelam
berulang-ulang, menyelam melebihi batas dekompresi, kehabisan udara,
kecepatan naik ke permukaan, melakukan penerbangan setelah menyelam dan
menyelam terlalu dalam.

2.3.8 Klasifikasi penyakit dekompresi


a. Tipe 1
Edmonds et al. (2015:150) menyatakan bahwa penyakit dekompresi
disebut juga “pain only bends” karena gejala utamanya adalah nyeri. Brown
(tanpa tahun), berpendapat salah satu penyebab rasa nyeri di tendon atau otot pada
daerah sekitar sendi adalah gejala umum dari penyakit dekompresi. Persendian
30

pada bahu adalah daerah yang paling sering mengalami nyeri dari pada
persendian pada siku, pergelangan tangan, pergelangan kaki, pinggul dan lutut.
Nyeri ini dapat terjadi pada dua sendi atau lebih selama sendi tersebut berdekatan
misalnya bahu dan siku di sisi yang sama.
Gejala awalnya di mulai dari ketidaknyamanan dari daerah sekitar sendi.
Rasa nyeri akan timbul 2 jam berikutnya seperti timbul rasa berdenyut-denyut.
Apabila tidak ditangani rasa nyeri akan berlanjut hingga beberapa hari sebelum
berlahan-lahan menghilang/mereda. Terkadang sulit membedakan antara penyakit
dekompresi dengan penyakit persendian lain seperti : arthritis/penyakit tegang
otot. Pada kondisi selanjutnya, pada daerah sekitar sendi biasanya muncul tanda-
tanda seperti bengkak dan berwarna kemerahan. Secara umum rasa nyeri disekitar
sendi setelah melakukan penyelaman berulang dan dilakukan lebih dari 10 meter
di asumsikan sebagai penyakit dekompresi sampai ditemukan gejala lain yang
menunjukkan bukan penyakit dekompresi
b. Tipe 2
Tipe ini adalah penyakit dekompresi yang serius, di mana bagian yang
terserang adalah sistem saraf pusat atau sistem kardiopolmuner. Gejala sistem
saraf pusat yang disebabkan oleh penyakit dekompresi mempengaruhi kinerja
otak, sumsum tulang belakang dan saraf tepi. Menurut Edmonds et al. (2015:151)
beberapa fungsi yang terganggu adalah sebagai berikut:

1) Panca Indera
Yang dimaksud fungsi panca indra disini meliputi pendengaran,
penglihatan, perasa, pengecap, penciuman, dan peraba.
2) Gerakan (Keseimbangan dan koordinasi tubuh)
Hal ini mencakup kemampuan untuk bergarak pada otot dan kekuatan
untuk menggerakkan atau mengkoordinasi tubuh.
3) Kesadaran dan intelektual
Gejala yang menggangu fungsi intelektual meliputi fungsi dari kesadaran,
kemampuan berfikir, dan memori.
4) Fungsi otonom
31

Akibat yang ditimbulkan adalah kegagalan fungsi jantung dan sistem


pernafasan yang dapat mengakibatkan kematian.
5) Reflek
Beberapa gejala pada bagian tubuh yang diakibatkan dari penyakit
dekompresi adalah sebagai berikut:
1) Otak
Pada otak gejala yang ditimbulkan dari penyakit dekompresi
adalah timbulnya gelembung udara di pembuluh darah atau sekitarnya
yang menyebabkan terhambatnya aliran darah dan memberikan tekanan
pada jaringan saraf. Gejala lain yang ditimbulkan adalah pembengkakan
pada otak yang diakibatkan peningkatan tekanan pada tengkorak. Bagian
otak yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan tubuh juga
terkena dampak.
2) Telinga
Akibat dari penyelaman pada kedalaman lebih dari 10 meter dan
berulang akan menyebabkan gangguan pada pendengaran khususnya pada
bagian koklea dan sistem keseimbangan yang terdapat pada telinga.
Gangguan yang disebabkkan adalah, suara bising atau dengung pada
telinga, vertigo, mual dan muntah.

3) Paru-paru
Gelembung nitrogen sering ditemukan didalam pembuluh darah
yang terdapat di paru-paru setelah malakukan penyelaman yang tidak
sesuai dengan prosedur penyelaman. Gelembung tersebut akan
terperangkap didalam paru-paru sehingga menghalangi aliran darah dan
mengakibatkan gangguan fungsi paru-paru (sesak nafas).
4) Hati dan jantung
Gelembung nitrogen yang terbentuk di pembuluh darah biasanya di
saring oleh paru-paru kondisi ini menyebabkan gangguan pada jantung
khususnya pada bagian katub yang berada diantara artium kanan dan kiri.
32

Ketika gelembung nitrogen masuk dan memenuhi paru-paru


mengakibatkan terjadinya tekanan balik pada atrium kanan lebih besar dari
pada atrium kiri. Kondisi tersebut membuat katub diantara atrium kanan
dan kiri terbuka dan mengalirkan gelembung dari atrium kanan ke atrium
kiri. Sebagai akibatnya gelembung nitrogen dipompa keseluruh bagian
tubuh. Gelembung nitrogen juga dapat menembus pembuluh arteri koroner
yang masuk kejantung sehingga dapat menghambat pasokan darah yang
masuk kedalam jantung. Kondisi tersebut mengakibatkan kerusakan pada
otot jantung. Gejala fisik yang ditimbulkan adalah nyeri dada dan sesak
nafas.
5) Sistem pencernaan
Bercampurnya gelembung nitrogen dalam darah dapat
mengakibatkan gangguan pada usus. Gejala yang ditimbulkan seperti sakit
perut, kram usus, dan muntah.
6) Kulit
Kondisi tersebut disebabkan karena adanya perubahan tekanan
didalam kulit.

2.3.9 Efek Tubuh Terhadap Pembentukan Gelembung Gas


Dari tulisan beberapa penelitian dalam U.S Navy chapter 3 (2016 : 46)
diketahui bahwa, gelembung gas N2 yang terbentuk terdapat pada intravaskuler
dan ekstravaskuler. Terbentuknya gelembung karena aliran darah vena dari
jaringan tersebut relatif lebih lambat sehingga menghambat kecepatan eliminasi
dari jaringan. Asal gelembung gas adalah dari jaringan kemudian masuk ke vena
lalu ke paru-paru dilanjutkan ke arteri. Paru-peru berfungsi efektif untuk
menyaring gelembung gas karena tekanan arteriol paru lebih rendah daripada
tekanan arteri sistemik. Gelembung gas yang terbentuk memberikan dua macam
akibat:
a. Efek langsung/mekanik
Ekspansi gelembung akan menimbulkan:
1) Distorsi jaringan / robekan jaringan
2) Sumbatan aliran darah
3) Kerusakan sel-sel sekitarnya
33

4) Pelepasan energi dalam bentuk panas yang berakibat pecahnya gelembung


gas
b. Efek tidak langsung/non mekanik
Dimulai dengan adanya perubahan yang terjadi pada permukaan
gelembung gas yang bersinggungan langsung dalam jaringan darah atau dalam
jaringan tubuh lainnya. Pada permukaan kedua bidang yang bersinggungan
terbentuk lapisan lipoprotein yang membatasi pertumbuhan gelembung gas yang
lebih lanjut. Lapisan protein ini mengalami perubahan/desaturasi sehingga lapisan
tipis tersebut menjadi kuat, selanjutnya pada permukaan ini timbul suatu gaya
elektrokinetik sebesar 40-100 amstrong, yang mempunyai kecenderunganuntuk
mengubah struktur lapisan protein tersebut. Perubahan struktur protein
mengakibatkan perubahan fungsi menjadi leofobik, yang mengakibatkan
peningkatan penggerombolan sel-sel tubuh. Aktivitas perubahan dari gelembung
gas ini menyebabkan penggerombolan trombosit dan penggumpalan butir darah
merah. Perubahan protein pada permukaan gas dan darah juga merangsang suatu
aktifitas permukaan dari gelembung gas tersebut selanjutnya terjadi dalam dua
jalur reaksi yaitu pengaktifan faktor ligamen dan pengaktifan faktor trombosit.
Menurut beberapa penulis, akibat tidak langsung atau perubahan sekunder
ini mirip suatu reaksi inflamasi akut. Iktisar tentang proses inflamasi akut
terutama bagian atau komponen dari proses inflamasi yang relevan pada interaksi
permukaan gelembung gas dengan darah dan jaringan tubuh pada penyakit
dekompresi:
1) Aktifitas penggumpalan trombosit (platelet agregasi) sampai proses
pembekuhan reologuban dan koagulasi darah dalam pembuluh darah
setempat.
2) Penggumpalan butir darah merah karena perubahan reologi dan
peningkatan viskositas.
3) Homo konsentrasi dan hipivolemia oleh karena permiabilitas dan
perubahan reologi serta meningkatnya zat vasoaktif
4) Hadirnya mediator dan zat vaksodiaktif seperti histamin, serotonin dan
bradikinin serta prostaglandin dalam proses inflamasi yang terjadi akibat
adanya gelembung ga dalam darah dan jaringan tubuh tersebut.
34

2.3.10 Pengendalian
Pengendalian yang dapat dilakukan ketika seseorang melakukan sebuah
penyelaman menurut U.S Navy adalah sebagai berikut:
a. Pengendalian dalam keadaan darurat
Keadaan darurat selalu dimungkinkan terjadi pada setiap penyelaman,
betapapun sempurnanya persiapan untuk itu telah dilakukan. Cukup banyak
variabel yang dapat diidentifikasikan sebagai faktor penyebabnya. Kondisi
penyelaman, panik, cuaca, kedalaman, kerusakan peralatan dan seterusnya.
Keadaan ini bila tidak segera ditanggulangi secara tepat dan cepat sangat potensial
menjadi penyebab terjadinya kecelakaan penyelaman. Ironisnya sebagian besar
kecelakaan penyelaman justru terjadi pada saat seorang penyelam sudah mulai
merasa berpengalaman, merasa cukup mampu menangani masalah penyelaman.
Suatu keadaan yang cenderung membuat orang menjadi lengah dan ceroboh.
Kelengahan dan kecerobohan di sini mencakup fisik maupun mental.
Kelengahan mental menyebabkan “human error”, atau kekhilafan manusiawi yang
bila dihadapkan pada kondisi rawan dapat berakibat fatal. Human error/kekhilafan
manusiawi, itulah sebab utama terjadinya kecelakaan penyelaman. Karena itu
tetap relevan untuk dianjurkan agar para penyelam senantiasa bersedia melatih
diri, mempersiapkan diri, briefing, de-briefing, dive planning, check dan re-check
peralatan sebelum menyelam, mempelajari kembali prosedur-prosedur baku
dalam penyelaman dan sebagainya. Filosofinya, lebih baik belajar mengenali dan
menghindari bahaya sebelumnya daripada mengatasi bahaya setelah terjadi,
karena hasilnya sangat spekulatif.
b. Pengendalian dalam keadaan tanpa udara
Dari sekian banyak keadaan darurat yang dapat terjadi setiap kali
menyelam, situasi “tanpa udara” merupakan hal yang paling riskan
penanggulangannya. Bertahun-tahun orang memperdebatkan jalan atau cara apa
yang terbaik untuk dilakukan jika menghadapi keadaan“kehabisan udara”. Pada
kenyataannya, tidak ada satu carapun yang dapat disepakati sebagai cara yang
memuaskan dan memberikan jaminan keselamatan bagi pelakunya. Persatuan
Olah raga Selam Seluruh Indonesia, menawarkan beberapa cara atau prosedur
35

yang dianggap“layak” untuk mengatasi keadaan darurat tersebut. Cara


menghadapi keadaan darurat dapat dibedakan dalam 2 kategori, yaitu :
1) Dengan bantuan
Menghadapi keadaan darurat penyelaman dengan bantuan dibagi menjadi
2 ialah:
a) Octopus Assisted Ascent (OAA)
OAA dapat dilakukan dalam hal seorang penyelam memberikan bantuan
udara kepada mitranya yang kehabisan udara, melalui “extra second stage” yang
lazim disebut “octopus”. Cara ini relatif aman dan mudah pelaksanaannya karena
masing-masing penyelam bernapas melalui sebuah “second stage” tersendiri.
b) Buddy Breathing (BB)
Dilakukan dengan cara bergantian bernapas melalui satu “Second Stage”
dari satu regulator dari si penolong (Donor). Hendaknya terus menerus dilakukan
sambil naik ke permukaan secara terkendali, karena itu BB sering juga disebut
buddy breathing ascent (BBA).

2) Dengan “Berdikari”
Cara menghadapi keadaan darurat yang terjadi dalam penyelaman,
khususnya kehabisan udara, mungkin harus dilakukan sendiri oleh si penderita,
dalam hal tidak ada lagi mitra yang bisa dimintai bantuan.
Ada dua macam cara “berdikari” yang bisa dilakukan yaitu :
a) Emergency Swimming Ascent (ESA)
Emergency Swimming Ascent (ESA) adalah cara menghadapi keadaan
darurat secara berdikari yang terpenting, dimana si penyelam yang kehabisan
udara berenang ke permukaan secara terkendali sambil terus menerus
menghembuskan udara keluar, untuk menjaga agar tidak terjadi pengembangan
paru-paru yang berlebihan.
b) Buoyancy Ascent (BA)
Adalah prosedur ”Berdikari” pilihan terakhir. Dilakukan dengan cara
membuang weight belt dan menggunakan daya apung positif yang diperoleh
36

dengan mengembangkan BC di kedalaman. Buoyancy ascent dipraktekkan jika


penyelam serius meragukan bahwa ia tidak mungkin dapat mencapai permukaan
dengan berenang. Buoyancy ascent dari kedalaman sangat berbahaya karena ada
kemungkinan gerak laju ke permukaan menjadi tidak terkendali. Buoyancy ascent
ini sering disebut pula emergency / exhaling buoyancy ascent.
Apabila menghadapi keadaan darurat dalam arti kehabisan udara, cobalah
mengikuti prosedur di bawah ini melalui urutan teratas yaitu :
 Berhenti dan berpikir. Hentikan manuver dan berpikir secara wajar tentang
situasi yang sedang penyelam alami;
 Hembuskan udara lambat-lambat (kalau masih ada) dan perhatikan SGP
 Jika SGP masih menunjukkan :
- adanya tekanan udara, maka tekanlah tombol kuras;
- tidak ada tekanan udara, cek katup tabung, mungkin tombol katup
masih dalam posisi “off” yang biasanya terjadi pada awal penyelaman.
 Usahakan untuk menarik napas lagi kalau masih ada hantaran udara, beri
isyarat pada mitra dan jelaskan keadaannya. Bila tekanan udara pada posisi
cadangan, hentikan penyelaman dan naik saja kepermukaan.
 Bila tidak ada hantaran udara, mintalah mitra untuk melakukan OAA / BB.
Bila mitra telah jauh, pilih manuver ESA/EBA (sebagai alternatif terakhir).
 Bila mitra tidak bisa diajak komunikasi dan tidak mengerti siatuasi yang
dihadapi, maka lakukanlah ESA/EBA sebagai alternatif terakhir.
Latihan naik ke permukaan dalam keadaan darurat (apapun teknik /
prosedurnya) merupakan bagian vital dalam pendidikan dan pelatihan selam, demi
menghasilkan penyelam yang kompeten. Khusus tentang ESA perhatikanlah
beberapa prinsip di bawah ini :
1. Buang weight belt untuk memperoleh / meningkatkan daya apung
penyelam.
2. jika sedang melaju ke permukaan dengan menggunakan upaya renang
kendali.
3. Hembuskan udara keluar selagi melaju ke permukaan (karena menarik
napas juga tidak dimungkinkan).
37

c. Lingkungan Penyelaman
1) Dive Planning
Sebelum penyelaman dimulai, penyelam bisa menentukan siapa diantara
Buddy yang menjadi petunjuk jalan, kemana arah yang dituju, kedalaman berapa
yang akan dicapai serta dimana exit yang direncanakan. Hal ini sangat perlu
karena akan dapat diketahui berapa waktu yang aman untuk kegiatan penyelaman.
2) Mengenali medan penyelaman
Bagaimanapun juga (perencanaan penyelaman) dan latihan yang betul
membantu penyelaman menjadi aman, tidak perduli apakah penyelaman ini
dilakukan di laut, di danau besar/kecil, sungai, lubang galian (quarries), daerah
karang, dermaga, oil rig’s di laut. Jika penyelam berada di daerah yang asing,
sebaiknya berkonsultasi dengan penduduk setempat. Mereka biasanya akan
dengan senang hati memberikan keterangan tentang lokasi penyelaman yang
menarik serta tentang hal-hal yang mungkin harus penyelam hadapi.
3) Penyelaman dari pantai
Jika memungkinkan periksa dahulu daerah-daerah penyelaman dari suatu
ketinggian. Penyelam dapat mengamati kondisi air, menentukan daerah entry dan
exit yang baik dan aman. Persiapkan alat sebaik mungkin karena bisa jadi
penyelam harus melewati jalan setapak. Jika jarak diving area yang dituju dekat,
penyelam bisa memakai pakaian separuh lengkap dan mengangkat peralatan
selam sekali jalan.
4) Ombak dan Gelombang
Jika penyelaman hendak dilakukan di laut yang mempunyai dasar berpasir
dan bergelombang, maka hal pertama yang dapat dilakukan adala mengamati
tinggi gelombang dan frekuensi (kekerapan ombak besar). Gelombang besar
sangat berbahaya dan membuat jarak pandang / Visibilitas sangat kurang. Jangan
sekali-kali mencoba menyelam pada saat gelombang besar.
5) Rangkaian Gelombang
Ombak yang ditimbulkan di daerah yang berbeda letaknya dapat bertemu
dan membentuk satu alun yang besar dan menghasilkan gelombang lebih besar.
Inilah perlunya mengamati rangkaian ombak. Rangkaian ini dapat terdiri dari
38

pasangan tiga atau empat ombak normal dan kemudian disusul oleh satu ombak
yang lebih besar. Memilih waktu yang tepat adalah unsur terpenting dalam upaya
Entry Undertow (Arus bawah). Aliran air kembali ke laut akibat gelombang yang
memecah di pantai dinamakan Undertow dapat dengan mudah menjatuhkan
seorang penyelam yang berperlengkapan berat. Undertow ini mengalir kembali ke
laut dengan jarak pendek dan melalui bawah gelombang yang sedang menuju ke
pantai. Dengan sendirinya pantai yang agak curam mempunyai aliran Undertow
lebih besar. Foot Pocket Fins dengan mudah dapat terlepas di dalam Undertow
jika penyelam berdiri lama di garis gelombang (Surf line). Gunakanlah Heel Strap
Retainer (Ikat Tumit Khusus) untuk mencegah Fins jenis ini terlepas.
6) Medan Berbatu
Daerah berbetu-batu (Rock Areas), biasanya merupakan daerah
penyelaman yang lebih mempesona dan beragam panorama keindahannya.
Namun perlu diperhatikan beberapa langkah pengamanannya. Perhatikanlah
terutama jalan setapak yang biasanya hanya selebar jalan tikus, apalagi penyelam
sedang menggendong peralatan selam melalui daerah ini. Batu-batu yang terdapat
di pinggir garis air, biasanya akan licin karena tumbuhan lumut, renik-renik
kerang yang tajam dan algae. Pelindung kaki harus dipergunakan dan Entry dari
daerah batu-batuan, boots yang baik akan melindungi kaki penyelam.
d. Pengendalian APD
Penggunaan APD salah satu cara untuk mencegah terjadinya penyakit
dekompresi, Berikut merupakan jenis APD yang perlu digunakan pada
pekerjaan yang berhubungan dengan penyelaman scuba (U.S Navy vol 2 chapter
7,2016:30), yaitu:
1) Masker
Masker penyelam merupakan alat yang digunakan untuk membantu
melihat dengan jelas di dalam air dan melindungi mata dari iritasi. Masker
memberikan suatu rongga udara diantara mata dan air, ketika menyelam, masker
akan mengalami tekanan hidrostatis. Oleh karena itu pada saat keadaan seperti ini
haruslah diequalisasikan, dengan cara udara dihembuskan ke dalam masker
melalui hidung. Hal ini yang menyebabkan hidung harus diikut sertakan kedalam
39

masker dan dengan alasan ini mengapa googles perenang tidak dapat dipakai
untuk menyelam. Disamping kegunaan masker, terdapat pula efek yang
ditimbulkan yaitu kombinasi sudut bias dan indeks bias antara air, jarak kaca dan
udara dalam rongga masker akan menyebabkan benda-benda kelihatan lebih besar
dan lebih dekat. Adapun syarat-syarat sebuah masker penyelam yang baik yaitu:
a) Safety glass : Kaca harus terbuat dari bahan kaca tempered, bukan dari
plastic yang mudah tergores. Kaca/lensa harus terpasang kokoh pada
tempatnya.
b) Volume Kecil : Dengan volume sekecil mungkin akan memudahkan pada
saat equalizing ataupun mask clearing.
c) Penglihatan Luas : Kaca yang digunakan luas/lebar dan jaraknya sedekat
mungkin dengan mata
d) Nose Pocket : Sangat diperlukan ketika proses equalisasi
2) Snorkel
Snorkel adalah sebuah pipa untuk bernapas yang sederhana, dimana akan
berguna untuk skin diving atau beristirahat di permukaan air. Snorkel membuat
seorang penyelam bebas mengamati keadaan dibawah air secara terus menerus
tanpa harus menegakkan kepalanya keluar dari air pada saat berada di permukaan.
3) Fins
Tujuan utama memakai fins adalah memudahkan jelajah dan mendapat
daya dorong untuk bergerak maju dan konstan. Fins menambah efisiensi serta
mobilitas penyelam di dalam air serta menambah laju pergerakan dengan usaha
seminimal mungkin. Hal ini akan membuat taangan penyelam bebas melakukan
aktifitas lainnya daripada dipergunakan untuk berenang.
4) Tabung SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus)
Banyak yang mengatakan bentuk tabung ini mirip sebuah silnder bom,
ditambah lagi dengan berisikan tekanan udara tinggi. Tabung scuba dirancang
sedemikian rupa sehingga beratnya dapat mengkompensasi daya apung di dalam
air, sedangkan ketebalan dindingnya pun tidak terlalu tebal. Materialnya ada yang
terbuat dari bahan baja chrome molybdenum agar mampu menahan tekanan tinggi.
Tetapi ada juga yang terbuat dari aluminium, tabung yang terbuat dari aliminium
umumnya lebih disukai dibandingkan dengan yang terbuat dari baja. Tabung
40

selam yang lengkap akan terdiri dari katup udara (valve),penyangga punggung
(back pack) dan sepatu tabung (tank boots). Biasanya unit tabung scuba ada yang
terdiri dari satu (single) tabung, dua (double) tabung dan tiga tabung (triple).
5) Regulator
Peralatan pengatur ini bekerja untuk menyalurkan udara bertekanan tinggi
dengan mengurangi tekanannya secara otomatis agar dapat mensuplay kebutuhan
udara bagi penyelam. Ketika penyelam menarik napas, udara akan mengalir,
disaat menghembuskan, pengatur akan berhenti pula, persis layaknya sebuah
organ napas pada mausia. Regulator terbagi dua macam kategori yaitu selang
tunggal (single hose) dan selang ganda (double hose) dimana pengurangan
tekanan terjadi dua kali yaitu melalui bagian interkoneksi dan selang tekanan
menengah.
6) Tolak Ukur Tekanan dan Kedalaman
Setiap penyelam wajib memeriksa tekanan udara yang ada di dalam
tabung selamnya sebelum melakukan aktifitasnya. Semua tolak ukur yang ada
sekarang dirancang untuk mudah dioperasikan saat berada di dalam air. Peralatan
tolak ukur tersebut harus memiliki sifat anti air (waterproof). Disarankan untuk
menggunakan tolak ukur tekanan yang memiliki akurasi tinggi dan bekerja
dengan baik dan sempurna
7) Bouyancy Compensator Divice (BCD)
Penyelam harus mengatur daya apung dirinya termasuk dengan sabuk
pemberat hingga mencapai daya apung netral (netral buoyancy) agar dapat
bergerak dengan nyaman di air. Sekarang, penyelam akan lebih mudah mengatur
daya netral di berbagai kedalaman, tinggal mengisi dan membuang udara yang
dibutuhkan melalui unit pengatur (power infiator) yang tersambung dengan
regulator. Peralatan ini sangat diperlukan bagi penyelam pemula maupun yang
berpengalaman. Banyak kecelakaan penyelaman disebabkan karena tidak
memakai pelampung selam. Sebab itu, disarankan semua penyelam siapapun dia
untuk wajib menggunakan pelampung selam atau BC. Kegunaan pelampung BCD
untuk mengatur daya apung penyelam saat berada di dalam air. Kegunaan lain dari
pelampung BCD ini yaitu untuk melakukan istirahat dipermukaan, terutama pada
41

saat kasus-kasus keadaan darurat terjadi. Dibutuhkan latihan yang rutin untuk
mampu menggunakan BCD dengan baik dan benar. kecerobohan atau ketidak
hati-hatian dalam penggunaan BCD sangat berbahaya dan dapat menyebabkan
kecelakaan pada paru-paru karena tidak bisa mengatur jumlah udara yang masuk
kedalam BC tersebut.
8) Underwater Watch/Jam Tangan Selam
Jam selam dibutuhkan untuk menentukan serta menghitung waktu ketika
berada di bawah air. Selain itu, untuk menghindari agar tidak terkena penyakit
tekanan (decompression sickness). Berbagai macam tipe jam tangan selam,
ada yang dilengkapi dengan bezel untuk memudahkan untuk menghitung waktu
dibawah air.
9) Sarung Tangan
Setiap penyelaman harus menggunakan sarung tangan. Hal ini
menyebabkan penyelam harus berlatih dan mampu menangani masalah
perlengkapan selam selagi memakai sarung tangan.
10) Navigasi
Jika menggunakan kompas sebaiknya penyelam menyusuri dasar dan terus
menuju ke kedalaman. Menyusuri dasar yang landai untuk memudahkan usaha
Equalizing, dibandingkan menukik turun ke kedalaman dengan mengalami
perubahan tekanan air dengan cepat. Mengendalikan arah di bawah air adalah hal
yang amat penting, kompas digunakan untuk menentukan arah dari dan ke pantai,
sehingga menghindari setiap kali muncul ke permukaan air untuk mengecek arah.
Letakkan kompas di muka penyelam sedatar mungkin jika mengecek arah. Jarum
kompas datar dipengaruhi oleh kumpulan logam, maka jangan menggunakan
kompas terlalu dekat dengan tabung buddy. Jarak kompas tidak terpengaruh oleh
logam adalah minimum 2-3 feet. Deviasi (kesalahan) kompas dapat terjadi, hal ini
tergantung dari kekuatan magnetis dari jarum kompas itu sendiri. Tabung Scuba
yang terbuat dari aluminium tidak mempengaruhi kompas. Ada 3 jenis kompas
yang digunakan untuk navigasi :
a) Dome Type merupakan kompas yang penunjuk arahnya menghadap
terdekat kepada penyelam.
42

b) Flat atau Horizontal Type adalah kompas yang mempunyai jarum petunjuk
arah utara, dibaca melintasi muka kompas dan juga dilengkapi dengan
"garis bidik lurus" untuk mengendalikan arah dengan cara
mempertahankan jarum kompas tetap menunjukkan pada arah kompas
yang dituju.
c) Jenis ini merupakan kompas yang paling efisien untuk navigasi karena
dilengkapi dengan lingkaran tepi yang dapat diputar. Lingkaran ini diberi
tanda dan tanda ini dapat disetel hingga ditempatkan di atas jarum kompas
sebagai pengendali arah. Setiap saat arah penyelaman dapat dicek dengan
kompas jenis ini. Dengan memutar lingkaran tepi kompas atau membalik
arah penyelaman180o, penyelam dapat berenang kembali pada starting
point semula. Sudut tubuh merupakan faktor terpenting. Penyelam dapat
berenang selurus mungkin jika menggunakan kompas yang dipakai di
pergelangan tangan. Selain dengan kompas navigasi dapat dilakukan
dengan melihat bentuk dasar laut.
43

2.4 Kerangka Teori

FAKTOR-FAKTOR RESIKO PENYAKIT DEKOMPRESI

Pekerjaan Individu Lingkungan

Olah raga Alkoholisme Dehidrasi Meningkatnya kadar


Frekuensi Riwayat Usia Obesitas
CO2 Kondisi Fisik
penyelaman cedera yang
Lama (berulang) terjadi
penyelaman Sudah ada kerusakan
pembuluh darah

Seseorang
Dilakukan Penurunan Temperatur rendah
Penyelaman Penyelaman Card Elmond : kedinginan saat
N2 4-5 kali Temperatur tinggi Penyelaman
tidak singkat 10 menit perfusi hanya pada
lama dan dekompresi
lebih mudah jaringan dan
dan dalam dangkal nelayan
Terjadi larut dalam
Mening- Terjadi eliminasi gas kompresor
dehidrasi lemak
katnya penimbu- inert tekanan tinggi
Penimbunan N2 Mening- daripada air Kelarutan gas Fasokontriksi
produksi nan lemak Perfusi
katkan CO2 jaringan meningkat, perifer yang
dalam
Tubuh hasilkan aliran Absorbsi N2 perfusi
meningkat , mengakibatkan
jangka
pembebanan darah ke Terjadi meningkat jaringan
Pembebanan kelarutan gas pengeluaran gas
waktu lama
nitrogen jaringan perubahan menurun
nitrogen menurun inert menurun
meningkat pada otot perfusi lokal
meningkat pada sehingga gas inert
jaringan cepat
jaringan lambat Aliran darah banyak larut.

Absorbsi N2 mudah
difusi gas vasodelatasi
N2 tidak hilang meningkat terganggu
meningkat pembuluh darah
pada pada jaringan
dan pengeluaran
penyelaman otot 69% Pembentukan panas
pertama dalam 10 Terjadi
gas mikronuclei
menit degenerasi
meningkat
pada
penyelman
atau 60 menit
Gambar 2.2 Kerangka Teori
permukaan
penyelaman. Pembentukan gas sendi
mikronuclei meningkat

Penyakit dekompresi
44

2.5 Kerangka Konsep

Faktor Individu
 Umur
 Masa Kerja
 Pengetahuan Penyelaman
 Obesitas
 Kebiasaan Olah raga
 Alkoholisme

 Meningkatnya Kadar CO2

Faktor Pekerjaan
Faktor Risiko Gejala
 Frekuensi Penyelaman
Penyakit Penyakit
 Lama Penyelaman
Dekompresi Dekompresi
 Kedalaman
 Kecepatan naik ke permukaan

Lingkungan

 Kondisi Fisik
 TemperaturTinggi
 Temperatur Rendah
 Seseorang kedinginan
saat dekompresi

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

: Variabel yang tidak diteliti


: Variabel yang diteliti

Penjelasan Kerangka Konsep


Salah satu penyakit akibat kerja adalah penyakit dekompresi. Edmonds et
al. (2015:150) menyatakan penyakit dekompresi adalah penyakit yang terjadi
pada penyelam dan penambang saat kembali dari lingkungan bertekanan udara
tinggi ke tekanan udara normal disebabkan terbentuknya formasi gelembung gas
45

pada darah dan cairan tubuh dengan berbagai tingkat keluhan dan gejala, yang
dapat mengenai seluruh sistem organ tubuh dengan penyebab yang sama yaitu
terbentuknya gelembung N2 dalam jaringan dan darah. Beberapa faktor penyebab
penyakit dekompresi antara lain adalah faktor individu (umur, masa kerja,
pendidikan, pengetahuan penyelaman, frekuensi penyelaman dan lama
penyelaman), faktor pekerjaan (Frekuensi Penyelaman dan Lama Selam).
Variabel-variabel tersebut akan dianalisis sesuai dengan tujuan peneliti, sehingga
dari penelitian ini akan didapatkan hasil yang dapat menunjukkan faktor risiko
gejala penyakit dekompresi.

2.6 Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan yang diterima secara sementara sebagai
suatu kebenaran, sebagaiamana adanya saat fenomena dikenal dan merupakan
dasar kerja serta panduan dalam verifikasi (Nazir, 2013: 151). Berdasarkan
kerangka konseptual dalam penelitian ini maka hipotesis yang dapat diuji adalah:
a. Ada hubungan antara faktor individu (umur, masa kerja, pendidikan,
pengetahuan penyelaman, obesitas, olahraga dan alkoholisme) dengan
terjadinya gejala penyakit dekompresi pada nelayan yang menggunakan
kompresor konvensional.
b. Ada hubungan antara faktor pekerjaan (frekuensi penyelaman, lama
penyelaman, kedalaman dan kecepatan naik ke permukaan) dengan
terjadinya gejala penyakit dekompresi pada nelayan yang menggunakan
kompresor konvensional.
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik
dengan cara pendekatan observasional. Penelitian analitik adalah penelitian yang
bertujuan untuk menguji hipotesis dan mengadakan interpretasi yang lebih dalam,
tentang hubungan-hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Data yang
dikumpulkan selanjutnya diolah dan disajikan untuk di interpretasikan sesuai
dengan tujuan penelitian (Notoatmodjo, 2012 : 145).
Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional. Cross Sectional
merupakan suatu penelitian yang bertujuan mencari hubungan dimana variabel
independen dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat (Notoatmodjo,
2012:146). Pada penelitian ini, peneliti meneliti variabel bebas (umur, masa
kerja, pengetahuan penyelaman, obesitas, olahraga, kebiasaan mengkonsumsi
alkohol, frekuensi penyelaman, lama penyelaman, kedalaman dan kecepatan naik
ke permukaan) dan terikat (gejala penyakit dekompresi) secara bersamaan.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Kelompok Nelayan “Samudra Bakti” di
Dusun Krajan, Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo Kabupaten
Banyuwangi. Kelompok Nelayan “Samudra Bakti” dipilih sebagai tempat
penelitian karena merupakan satu-satunya tempat pengepulan ikan hias yang para
nelayannya menggunakan kompresor konvensional yang beroperasi di Kabupaten
Banyuwangi.

3.2.2 Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan 21 februari 2017. Kegiatan ini dimulai
dengan persiapan penelitian yaitu studi pendahuluan, menyusun proposal,
pelaksanaan kegiatan, analisis hasil penelitian, penyusunan laporan sampai hasil

46
47

dapat diseminarkan.

3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi merupakan sejumlah besar subyek yang mempunyai kualitas
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti (Sastroasmoro, 2011:43).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nelayan yang mengunakan
kompresor konvensioal pada Kelompok Nelayan “Samudra Bakti” di Dusun
Krajan, Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi
sejumlah 44 orang.

3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu
hingga dianggap dapat mewakili populasi tersebut (Sugiyono, 2012:62). Untuk
menentukan jum lah sampel pekerja yang diperlukan untuk penelitian ini dapat
ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut:

Keterangan :
48

p = nilai proporsi sebesar 0,5


Z1- α/2 = nilai Z pada kurva normal untuk α = 0,05 = 1,96
N = besarnya populasi kelompok nelayan samudra bakti (N=44
pekerja)
n = besarnya sampel
d = degree of precission / derajat keputusan = 0,1
z = confidence coefficient 95% (z=1,96)

Hasil perhitungan:

n = (1,96)2 x 0,5 x 0,5 x 44


(0,1)2 (44-1) + (1,96)2 x 0,5 x 0,5
n= 42,2576
0,43+0.9604
= 42,2576
1,3904
= 30,3924051 ≈ 31

Berdasarkan perhitungan sampel di atas, total besar sampel yang diteliti


adalah 31 orang nelayan pencari ikan hias laut yang berada di Kelompok Nelayan
“Samudra Bakti” di Dusun Krajan, Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo
Kabupaten Banyuwangi. Kriteria inklusi dan ekslusi yang ditetapkan oleh
peneliti dalam sampel penelitian, diantaranya sebagai berikut :
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu
populasi terjangkau yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2010:130). Kriteria inklusi
pada penelitian ini adalah:
1. Penyelam ikan hias laut
2. Penyelam yang menggunakan kompresor konvensional untuk penyelaman
3. Bertempat tinggal di Banyuwangi
b. Kriteria eksklusi
49

Kriteria ekslusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang


tidak memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Notoatmodjo,
2010:130).
Kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah:
1. Menderita nyeri otot / sendi, gatal-gatal dengan kulit kemerahan, lumpuh,
tuli dan buta
2. Menolak mengikuti penelitian

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel


Teknik Pengambilan Sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan
sampel acak sederhana (simple random sampling). Ciri utama dari sampling
acakan atau random sampling adalah bahwa setiap unsur dari keseluruhan
populasi (kelompok sampel) mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih.
Cara pelaksanaan pengambilan sampel acak sederhana dapat dilakukan dengan
cara undian yaitu (1) dibuat daftar semua unit sampel, disusun dan diberi nomor
secara berurutan, (2) semua unit sampel ditulis pada gulungan kertas dengan
bentuk dan ukuran serta warna yang sama kemudian dimasukkan ke dalam kotak
dan diaduk, (3) gulungan kertas diambil sesuai dengan jumlah sampel yang
diinginkan kemudian dicocokkan dengan nomor urut daftar unit sampel
(Arikunto, 2010:180).

3.4 Variabel dan Definisi Operasional


3.4.1 Variabel Penelitian
Variabel merupakan sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran
yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang
dimiliki oleh kelompok yang lain (Notoatmodjo, 2010). Adapun Variabel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Variabel bebas (independent variabel)
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau sebab dari
variabel terikat (Notoatmodjo, 2010). Variabel dalam penelitian ini terdiri dari
variabel bebas yaitu faktor individu (umur, masa kerja, pengetahuan penyelaman,
50

obesitas, kebiasaan olahraga dan alkoholisme) dan faktor pekerjaan (frekuensi


penyelaman dan lama penyelaman).
b. Variabel terikat (dependent variabel)
Variabel terikat adalah variabel yang tergantung atas variabel lain.
(Notoatmodjo, 2010) Variabel terikat adalah gejala penyakit dekompresi.
51

3.4.2 Definisi Operasional


Definisi operasional merupakan pemberian definisi terhadap suatu variabel
penelitian secara operasional sehingga peneliti mampu melakukan pengumpulan
informasi yang dibutuhkan untuk melakukan analisis pada penelitian yang
dilaksanakan (Notoatmodjo, 2010:112). Pemberian definisi operasional yang tepat
pada suatu penelitian akan membantu peneliti dalam menentukan kesesuaian
variabel yang diperlukan di dalam penelitian.
Tabel 3.1 Definisi Operasional, Cara Pengumpulan Data, Skala dan Cara Pengukuran
Variabel yang Definisi operasional Metode Kategori penilaian Skala
diteliti dan pengukuran data
(A) (B) (C) (D) (E)
Variabel Terikat
1. Gejala Penyakit Gejala yang timbul setelah Observasi 0. Tidak Ordinal

Dekompresi melakukan penyelaman dan mengalami


(maksimal 48 jam setelah Wawancara penyakit
melakukan penyelaman). Gejala dekompresi ( jika
penyakit dekompresi adalah responden tidak
sebagai berikut: mengalami
 Nyeri sendi/otot (nyeri lokal) satupun gejala-
 Gatal dan kemerahan kulit gejala penyakit

 Kesemutan dekompresi)
1. Mengalami
 Anggota tubuh lemah s/d
penyakit
lumpuh
dekompresi
 Pendengaran berkurang
(minimal satu
 Mual dan muntah pingsan
atau lebih terkait
 Sakit pinggang gejala penyakit
 Kejang dekompresi)
(Whaley.2008)
Variabel Bebas
Umur Lama hidup responden saat wawancara Klasifikasi umur: Ordinal
dilakukan wawancara, terhitung 1. Umur 12 – 24 tahun
dari ulang tahun terakhir 2. Umur 25 – 40 tahun
3. Umur 41 – 65 tahun
4. Umur > 65 tahun
(WHO, 2013)
Masa kerja Dihitung dari saat nelayan mulai Wawancara Pengelompokan dibagi Ordinal
menggunakan kompresor menjadi 3 kategori:
konvensional untuk penyelaman. 0. < 1 tahun
1. 1-5 tahun
2. > 5 tahun
Variabel yang Definisi operasional Metode Kategori penilaian Skala
diteliti dan pengukuran data
52

(A) (B) (C) (D) (E)


Pengetahuan Pengetahuan nelayan seputar Wawancara Kategori pengetahuan Ordinal
penyelaman kegiatan penyelaman, meliputi: penyelaman (10
Teknik penyelaman, pemeriksaan pertanyaan) dibagi
badan, sikap nahkoda/dive master, menjadi 2:
pengetahuan tenteng kecelakaan. 0. Buruk, bila nilai ≤5
1. Baik, bila nilai >5
Obesitas Suatu kondisi yang Timbangan 0. Tidak Obesitas (IMT Ordinal
menggambarkan keadaan gizi berat badan <25,0)
1. Obesitas
dengan memperhitungkan indeks dan
(IMT ≥25,0)
massa tubuh (IMT) Staturmeter
(Depkes RI 1994)

Olahraga Salah satu aktivitas fisik maupun Wawancara Pengelompokan dibagi Nominal
psikis seseorang yang berguna menjadi 2 kategori:
untuk menjaga dan meningkatkan 0. Ya
kualitas kesehatan nelayan 1. Tidak
sebelum melakukan penyelaman (Whaley, 2008)

6. Kebiasaan minum Gangguan yang ditandai oleh Wawancara Pengelompokan dibagi Nominal

Alkohol konsumsi berlebihan dan menjadi 2 kategori:


ketergantungan pada alkohol 0. Tidak
1. Ya

Frekuensi Banyaknya penyelaman yang Wawancara Kategori frekuensi Ordinal


penyelaman dilakukan dalam satu hari penyelaman perhari
dibagi 2:
0. < 2x perhari
1. ≥ 2x perhari
(Whaley, 2008)

Lama penyelaman Lama penyelaman adalah waktu Wawancara Kategori lama Ordinal
yang nelayan habiskan dalam satu dan menyelam /kali dibagi
kali selam dengan minimal observasi menjadi 3:
kedalaman 10 meter 0. <30 menit
1. 30-59 menit
2. ≥60 menit
(Whaley, 2008)

Variabel yang Definisi operasional Metode Kategori penilaian Skala


diteliti dan pengukuran data
(A) (B) (C) (D) (E)
Kedalaman Jarak yang ditempuh nelayan dari Observasi Dalam penelitian ini di Ordinal
permukaan hingga kedalaman ambil faktor risiko > 30
tertentu meter, dengan kategori
53

kedalaman menyelam,
yaitu :
0. < 10 meter
1. 10-20 meter
2. 20-30 meter
3. > 30 meter
(Whaley, 2008)
10. Kecepatan naik Laju yang ditempuh Observasi Faktor resiko adalah bila Ordinal
kepermukaan nelayan saat sampai kecepatan naik < 18 / menit
kepermukaan Kategori kecepatan naik
kepermukaan dibagi
menjadi 2, yaitu :
0. < 18 m/menit
1. ≥ 18 m/menit
(Whaley, 2008)

3.5 Data dan Sumber Data Penelitian


Data adalah suatu bahan mentah yang jika diolah dengan baik melalui
berbagai analisis dapat melahirkan berbagai informasi (Usman dan Akbar, 2006).
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder, yaitu :
3.5.1 Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan secara langsung oleh peneliti
dari sumber dokumen utama (Notoatmodjo, 2012). Data primer dalam penelitian
ini adalah berupa informasi atau penjelasan dari hasil wawancara, observasi dan
studi dokumentasi langsung pada nelayan yan mengunakan kompresor
konvensioal pada Kelompok Nelayan “Samudra Bakti” di Dusun Krajan, Desa
Bangsring, Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi terkait gejala
penyakit dekompresi, riwayat pemyelaman, masa kerja, dan APD yang
digunakan.

3.5.2 Data Sekunder


Data sekunder adalah data yang tersusun dalam bentuk data yang telah
dikumpulkan dari data primer (Sugiyono, 2012). Menurut Bungin (2010), data
dan sumber sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber
54

sekunder dari data yang kita butuhkan. Data sekunder dalam penelitian ini adalah
data jumlah pekerja pada Kelompok Nelayan “Samudra Bakti” di Dusun Krajan,
Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi

3.6 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data


3.6.1 Teknik Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data, tiap responden dalam penelitian diberi
informed consent sebagai persetujuan responden untuk dijadikan subjek
penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini,
diantaranya:
a. Wawancara
Wawancara adalah suatu metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan
data, dimana peneliti mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari
seseorang sasaran penelitian (responden), atau bercakap-cakap berhadapan muka
dengan orang tersebut (Notoatmodjo, 2012). Jenis wawancara yang digunakan
dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah wawancara terpimpin yang
dilakukan berdasarkan pedoman-pedoman berupa kuesioner yang telah disiapkan
sebelumnya, sehingga interviewer tinggal membacakan pertanyaan-pertanyaan
kepada responden. Pertanyaan-pertanyaan dalam pedoman (kuesioner) tersebut
disusun sedemikian rupa sehingga mencakup variabel-variabel yang berkaitan
dengan hipotesisnya (Notoadmodjo, 2012).
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan wawancara
langsung kepada responden untuk memperoleh data-data mengenai karakteristik
responden.
b. Observasi
Observasi adalah suatu prosedur yang berencana, yang antara lain meliputi
melihat dan mencatat jumlah dan taraf aktivitas tertentu yang ada hubungannya
dengan masalah yang diteliti. Jadi di dalam melakukan observasi bukan hanya
“mengunjungi”, “melihat”, atau “menonton” saja, tetapi disertai keaktifan jiwa
atau perhatian khusus dan melakukan pencatatan-pencatatan (Notoatmodjo, 2005).
Observasi dalam penelitian ini merupakan observasi langsung yang dilakukan
55

untuk mengetahui keluhan penyakit dekompresi, faktor individu (umur, masa


kerja, pengetahuan penyelaman, obesitas, kebiasaan olahraga dan alkoholisme)
dan faktor pekerjaan (frekuensi penyelaman dan lama penyelaman).
c. Dokumentasi
Menurut Arikunto (2010 : 274), metode dokumentasi adalah metode
mencari data untuk mengetahui hal-hal atau variabel penelitian. Teknik
pengumpulan data ini mendasarkan pada catatan, transkrip, buku, surat kabar,
majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya. Teknik dokumentasi
dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data awal sebagai latar
belakang penelitian, serta dokumentasi dilakukan dengan pengambilan gambar
menggunakan alat berupa kamera handphone.

3.6.2 Instrumen Pengumpulan Data


Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang digunakan peneliti
untuk membantu peneliti memperoleh data yang dibutuhkan (Arikunto,
2010:265). Instrumen dalam penelitian ini yaitu:
a. Kuesioner
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden
untuk dijawabnya (Sugiyono, 2014:142). Kuesioner dalam penelitian ini berisi
pernyataan penyakit dekompresi, faktor individu (umur, masa kerja, pengetahuan
penyelaman, obesitas, kebiasaan olahraga dan alkoholisme) dan faktor pekerjaan
(frekuensi penyelaman dan lama penyelaman).
b. Alat Ukur Status Gizi
Menurut Supariasa (2013:60) dalam mengukur status gizi menggunakan
perhitungan Indeks Masa Tubuh (IMT) yaitu menggunakan rumus sebagai
berikut:

Menurut Ningtyas (2010), menyebutkan bahwa dalam pengukuran Berat


Badan (BB) menggunakan bathroomscale dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Jarum penunjuk berat badan harus menunjuk angka nol
56

2. Pakaian yang dikenakan diusahakan seminimal mungkin


3. Responden berdiri tegak diatas bathroomscale dan angka yang
ditunjuk oleh jarum timbangan adalah nilai berat badan responden.
Pengukuran Tinggi Badan (TB) menggunakan microtoise dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Microtoise ditempelkan dengan paku pada dinding yang lurus datar
setinggi 2 meter dari lantai yang datar. Angka pada microtoise
sebelum digunakan harus menunjukkan angka nol.
2. Alas kaki dilepas. Responden harus berdiri tegak yaitu kaki lurus
dengan tumit, pantat, punggung, dan kepala bagian belakang serta
menempel pada dinding. Pandangan responden harus lurus ke depan.
3. Microtoise diturunkan sampai menyentuh bagian kepala atas, siku
harus menempel pada dinding. Baca skala yang tertera pada
microtoise. Angka yang muncul adalah nilai tinggi badan responden
(Ningtyas, 2010).
c. Stopwatch
Digunakan untuk mencatat waktu dasar dan kecepatan naik kepermukaan.
Waktu dasar diukur pada saat peselam memulai masuk ke dalam laut sampai
penyelam naik kepermukaan. Kecepatan naik ke permukaan di ukur pada saat
penyelam memberi tanda dengan menggerak-gerakan selang sampai penyelam
naik ke darat.

3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data


3.7.1 Pengolahan Data
Seluruh data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan
diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a. Mengkode data (data coding)
Sebelum dimasukkan ke komputer, setiap variabel yang telah diteliti
diberi kode untuk memudahkan dalam proses pengolahan selanjutnya.
b. Menyunting data (data edit)
Data yang telah terkumpul diperiksa kelengkapannya terlebih dahulu,
yaitu kelengkapan jawaban kuesioner, konsistensi atas jawaban dan kesalahan
jawaban pada kuesioner. Data ini merupakan data input utama untuk penelitian
57

ini.
c. Memasukkan data (data entry)
Setelah dilakukan penyuntingan data, kemudian memasukkan data dari
hasil kuesioner yang sudah diberikan kode pada masing – masing variabel.
Setelah itu dilakukan analisis data dengan memasukkan data-data tersebut dengan
software statistik untuk dilakukan analisis univariat (untuk mengetahui
gambaran secara umum) serta bivariat dan multivariat (untuk mengetahui
variabel yang berhubungan).
d. Membersihkan data (data cleaning)
Tahap terakhir yaitu pengecekan kembali data yang telah dimasukkan
untuk memastikan data tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan
demikian data tersebut telah siap untuk dianalisis.

3.7.2 Analisis Data


a. Analisis Univariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan presentase
dari setiap variabel dependen dan independen (Notoatmodjo, 2010: 115). Variabel
tersebut adalah gejala penyakit dekompresi, karakteristik individu (umur, masa
kerja, pendidikan, pengetahuan penyelaman), frekuensi penyelaman, lama selam.
b. Analisis Bivariat
Analisis yang digunakan untuk mencari hubungan variabel bebas
(independen) dan variabel terikat (dependen) dengan uji statistik yang sesuai
dengan skala data yang ada (Notoatmodjo, 2010:183). Uji statistik yang
digunakan adalah Chi Square untuk menghubungkan variabel kategorik dengan
variabel kategorik. Uji Chi Square menggunakan derajat kepercayaan 95%. Jika P
value < 0.05, maka perhitungan secara statistik menunjukkan bahwa adanya
hubungan bermakna antara variabel independen dengan dependen. Jika P value >
0,05 maka perhitungan secara statistik menunjukkan bahwa tidak adanya
hubungan bermakna antara variabel independen dengan dependen.
58

3.8 Alur Penelitian


Alur penelitian disampaikan oleh peneliti agar diperoleh gambaran yang
jelas terkait proses penelitian. Alur penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

Memilih Masalah yaitu Faktor­
Survei pendahuluan Faktor yang Dapat
Menyebabkan Timbulnya gejala

Penyakit Dekompresi
Perumusan Masalah dan Tujuan Rumusan Masalah, Tujuan (umum
dan khusus) serta Manfaat (praktis
dan teoritis)

Penyusunan Kerangka Konseptual


Menyusun kerangka konsep
berdasar masalah, teori, dan
tinjauan pustaka

Penyusunan Desain Penelitian Jenis penelitian analitik dengan


pendekatan cross sectional

Menentukan dan Menyusun


Penyusunan kuisioner yang
Instrumen Penelitian
digunakan penelitian

Melakukan Wawancara dengan
Melakukan pengumpulan data
Lembar Kuesioner

Mengolah   dan   Menganalisis


Analisis dan Penyajian Data Data Hasil Penelitian 

Hasil dan pembahasan dirangkum


dalam bentuk simpulan dan saran
Kesimpulan dan Saran

Gambar 3.1 Alur Penelitian


BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian yang menjelaskan faktor-faktor yang
berhubungan dengan gejala penyakit dekompresi pada Kelompok Nelayan
“Samudra Bakti” di Dusun Krajan, Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo
Kabupaten Banyuwangi. Penelitian ini dilakukan pada nelayan yang melakukan
penyelaman menggunakan kompresor konvensional yang terdiri dari 31 nelayan
sebagai responden.

4.1.1 Distribusi Faktor Individu


a. Umur
Berdasarkan WHO tahun 2013, distribusi karakteristik umur nelayan
dalam penelitian ini dibedakan menjadi empat yaitu responden yang mempunyai
umur12-24 tahun, 25-40 tahun, 41-46 tahun, dan >65 tahun. Umur merupakan
lama hidup responden saat dilakukan wawancara, terhitung dari ulang tahun
terakhir. Distribusi karakteristik umur responden selengkapnya dapat dilihat pada
tabel dibawah 4.1 berikut:
Tabel 4.2 Distribusi Faktor Individu Berdasarkan Umur
Umur (Tahun) Jumlah Persentase (%)
12-24 1 3,2
25-40 13 41,9
41-65 12 38,7
>65 5 16,1
Total 31 100

Karakteristik demografi merupakan karakteristik yang menunjukkan umur


nelayan. Berdasarkan hasil analisis melalui kuesioner menunjukan bahwa
kelompok umur tertinggi nelayan pencari ikan hias laut yaitu berada pada umur
25-40 tahun sebanyak 13 responden (41,9%).

58
59

b. Masa Kerja

Masa kerja merupakan lama kerja yang dihitung sejak pertama bekerja
sebagai nelayan kompresor konvensional. Karakteristik responden berdasarkan
masa kerja disajikan pada tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Distribusi Faktor Individu Berdasarkan Masa Kerja


Masa Kerja (Tahun) Jumlah Persentase (%)
<1 11 35,5
1-5 16 51,6
>5 4 12,9
Total 31 100

Pada tabel 4.2 masa kerja dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa
masa kerja responden lebih dari setenganya berada pada kisaran 1-5 tahun yaitu
sebanyak 16 responden (51,6%).
c. Tingkat Pengetahuan Penyelaman
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pengetahuan nelayan yang
melakukan menggunakan kompresor konvensional disajikan pada tabel 4.3
berikut:
Tabel 4.3 Distribusi Faktor Individu Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Penyelaman
Tingkat Pengetahuan Penyelaman Jumlah Persentase (%)
Buruk 12 38,7
Baik 19 61,3
Total 31 100

Pada tabel 4.3 tingkat pengetahuan nelayan dalam penelitian ini dapat
diketahui bahwa sebagian besar nelayan kompresor memiliki pengetahuan baik
yaitu 19 responden (61,3%).
d. Obesitas
Obesitas merupakan Suatu kondisi yang menggambarkan keadaan gizi
dengan memperhitungkan indeks massa tubuh (IMT). Karakteristik responden
berdasarkan faktor obesitas disajikan pada tabel 4.4 berikut:
Tabel 4.4 Distribusi Faktor Individu Berdasarkan Obesitas
Obesitas Jumlah Persentase (%)
Tidak 19 61,3
Ya 12 38,7
Total 31 100
60

Pada tabel 4.4 masa kerja dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa
sebagian besar nelayan kompresor tidak menderita obesitas yaitu 19 responden
(61,3%).
e. Olahraga
Olahraga merupakan salah satu aktivitas fisik maupun psikis seseorang
yang berguna untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan nelayan
sebelum melakukan penyelaman. Karakteristik responden berdasarkan faktor
olahraga disajikan pada tabel 4.5 berikut:
Tabel 4.5 Distribusi Faktor Individu Berdasarkan Kebiasaan Olahraga
Olahraga Jumlah Persentase (%)
Tidak 15 48,4
Ya 16 51,6
Total 31 100

Pada tabel 4.5 olahraga dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa lebih
dari setengahnya melakukan kegiatan olahraga sebelum melakukan penyelaman
sebanyak 16 responden (51,6%).
f. Kebiasaan Minum Alkohol
Kebiasaan minum alkohol merupakan gangguan yang ditandai oleh
konsumsi berlebihan dan ketergantungan pada alkohol. Karakteristik responden
berdasarkan kebiasaan minum alkohol disajikan pada tabel 4.6 berikut:
Tabel 4.6 Distribusi Faktor Individu Berdasarkan Kebiasaan Minum Alkohol
Kebiasaan Minum Alkohol Jumlah Persentase (%)
Tidak 2 54,8
Ya 29 45,2
Total 31 100

Pada tabel 4.6 kebiasaan minum alkohol dalam penelitian ini dapat
diketahui bahwa mayoritas nelayan kompresor mempunyai kebiasaan
mengkonsumsi alkohol yaitu 29 responden (93,5%).
61

4.1.2 Distribusi Faktor Pekerjaan


a. Frekuensi Penyelaman
Frekuensi penyelaman merupakan banyaknya penyelaman yang dilakukan
dalam satu hari. Frekuensi penyelaman disajikan pada tabel 4.7 berikut:
Tabel 4.7 Distribusi Faktor Pekerjaan Berdasarkan Frekuensi Penyelaman
Frekuensi Penyelaman/Hari Jumlah Persentase (%)
<2 kali 16 51,6
≥2 kali 15 48,4
Total 31 100

Pada tabel 4.7 frekuensi penyelaman yang dilakukan nelayan diketahui


bahwa lebih dari setengahnya melakukan penyelaman <2 kali/hari yaitu sebanyak
16 responden (51,6,3%).
b. Lama Penyelaman
Lama penyelaman merupakan lama penyelaman adalah waktu yang
nelayan habiskan dalam satu kali selam dengan minimal kedalaman 10 meter.
Lama penyelaman nelayan kompresor disajikan pada tabel 4.8 berikut:
Tabel 4.8 Distribusi Faktor Pekerjaan Berdasarkan Lama Penyelaman
Lama Penyelaman/Menit Jumlah Persentase (%)
<30 12 38,7
30-59 16 51,6
≥60 3 9,7
Total 31 100

Berdasarkan tabel 4.8 dapat diketahui bahwa lebih dari setengahnya


membutuhkan lama penyelaman sekitar 30-59/menit yaitu sebanyak 16 responden
(51,6%).
c. Kedalaman
Kedalaman merupakan jarak yang ditempuh nelayan dari permukaan
hingga kedalaman tertentu. Kedalaman nelayan kompresor saat melakukan
penyelaman di Dusun Krajan Desa Bangsring Kecamatan Wongsorejo
Kabupaten Banyuwangi disajikan pada tabel 4.9 berikut:
62

Tabel 4.9 Distribusi Faktor Pekerjaan Berdasarkan Kedalaman


Kedalaman/Meter Jumlah Persentase (%)
<10 10 32,2
10-20 13 41,9
20-30 4 12,9
>30 4 12,9
Total 31 100

Pada tabel 4.9 dapat diketahui bahwa nelayan kompresor yang melakukan
penyelaman dengan kedalaman tertinggi yaitu pada kedalaman 10-20/meter yaitu
sebanyak 13 responden (41,9).
d. Kecepatan Naik Permukaan
Kecepatan naik permukaan merupakan laju yang ditempuh nelayan saat
sampai kepermukaan. Kecepatan naik ke permukaan nelayan kompresor saat
melakukan penyelaman di Dusun Krajan Desa Bangsring Kecamatan
Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi disajikan pada tabel 4.10 berikut:
Tabel 4.10 Distribusi Faktor Pekerjaan Berdasarkan Kecepatan Naik Permukaan
Jumlah Persentase (%)
Kecepatan Naik Permukaan/Menit
<18 15 48,4
≥18 16 51,6
Total 31 100

Pada tabel 4.10 dapat diketahui bahwa lebih dari setengahnya melakukan
penyelaman dengan kecepatan naik ke permukaan ≥18/menit yaitu sebanyak 16
responden (51,6%).

4.1.3 Gejala Penyakit Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional


Gejala penyakit dekompresi pada nelayan yang melakukan penyelaman
dengan menggunakan kompresor konvensional pada Kelompok Nelayan
“Samudra Bakti” di Dusun Krajan, Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo
Kabupaten Banyuwangi dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut:
Tabel 4.11 a. Distribusi Gejala Penyakit Dekompresi
Gejala Penyakit Dekompresi Jumlah Persentase (%)
Tidak dekompresi 15 48,4
Dekompresi 16 51,6
Total 31 100
63

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala penyakit dekompresi pada


nelayan yang tidak mengalami gejala dekompresi pada Kelompok Nelayan
“Samudra Bakti” di Dusun Krajan, Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo
Kabupaten Banyuwangi sebanyak 15 responden atau sebesar 48,4%, sementara
responden yang mengalami dekompresi sebanyak 16 responden atau sebesar
51,6%.
Dari hasil penelitian menggunakan kuisioner dan pemeriksaan fisik 16
responden yang terkena dekompresi (51,6%) diperoleh jenis keluhan / gejala
sebagai berikut :
Tabel 4.11 b. Distribusi Gejala Penyakit Dekompresi
Gejala Penyakit Dekompresi Prosentase (%)
a. Nyeri sendi / otot 87,5
b. Gatal dan kemerahan pada kulit 68,75
c. Kesemutan 37,5
d. Anggota tubuh lemah s/d lumpuh 12,5
e. Pendengaran berkurang 18,75
f. Mual dan muntah 56,25
g. Sakit pinggang 68,75
h. Kejang 0
64

4.1.4 Hubungan antara Faktor Individu dengan Gejala Penyakit


Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
a. Hubungan antara Umur dengan Gejala Penyakit Dekompresi pada Nelayan
Kompresor Konvensional
Tabel 4.12 Hubungan antara Umur dengan Gejala Penyakit Dekompresi
Gejala Penyakit Dekompresi
Umur Total
No Tidak Ya p-value
(Tahun)
N % N % N %
1 12-24 0 0 1 100 1 100
2 25-40 9 69,2 4 30,8 13 100
0,170
3 41-65 5 41,7 7 58,3 12 100
4 >65 1 20 4 80 5 100

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan


bahwa hubungan umur responden dengan gejala penyakit dekompresi pada
nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-value sebesar 0,170 (p>0,05),
artinya bahwa Ho diterima yaitu tidak ada hubungan antara umur dengan gejala
penyakit dekompresi pada nelayan konvensional.
b. Hubungan antara Masa Kerja dengan Gejala Penyakit Dekompresi pada
Nelayan Kompresor Konvensional

Tabel 4.13 Hubungan antara Masa Kerja dengan Gejala Penyakit Dekompresi
Gejala Penyakit Dekompresi
Masa Kerja Total
No Tidak Ya p-value
(Tahun)
N % N % N %
1 <1 5 45,5 6 54,5 11 100
2 1-5 10 62,5 6 37,5 16 100 0,080
3 >5 0 0 4 100 4 100
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara masa kerja dengangejala penyakit
dekompresi pada nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-value sebesar
0,080 (p>0,05), artinya bahwa Ho diterima yaitu tidak ada hubungan antara masa
kerja dengan gejala penyakit dekompresi pada nelayan konvensional.
65

c. Hubungan antara Pengetahuan Penyelaman dengan Gejala Penyakit


Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
Tabel 4.14 Hubungan antara Pengetahuan Penyelaman dengan Gejala Penyakit
Dekompresi
Gejala Penyakit Dekompresi
Pengetahuan Total
No Tidak Ya p-value
Penyelaman
N % N % N %
1 Buruk 4 33,3 8 66,7 12 100
0,183
2 Baik 11 57,9 8 42,1 19 100
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara pengetahuan penyelaman dengan gejala
penyakit dekompresi pada nelayan kompresor konvensionaldiperoleh nilai p-
value sebesar 0,183 (p>0,05), artinya bahwa Ho diterima yaitu tidak ada
hubungan antara pengetahuan penyelaman dengan gejala penyakit dekompresi
pada nelayan konvensional.
d. Hubungan antara Obesitas dengan Gejala Penyakit Dekompresi pada
Nelayan Kompresor Konvensional
Tabel 4.15 Hubungan antara Obesitas dengan Gejala Penyakit Dekompresi
Gejala Penyakit Dekompresi
Total
No Obesitas Tidak Ya p-value
N % N % N %
1 Tidak 7 36,8 12 63,2 19 100
0,106
2 Ya 8 66,7 4 33,3 12 100
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara obesitas dengangejala penyakit dekompresi
pada nelayan kompresor konvensionaldiperoleh nilai p-value sebesar 0,106
(p>0,05), artinya bahwa Ho diterima yaitu tidak ada hubungan antara obesitas
dengan gejala penyakit dekompresi pada nelayan konvensional.
66

e. Hubungan antara Olahraga dengan Gejala Penyakit Dekompresi pada


Nelayan Kompresor Konvensional
Tabel 4.16 Hubungan antara Olahraga dengan Gejala Penyakit Dekompresi
Gejala Penyakit Dekompresi
Total
No Olahraga Tidak Ya p-value
N % N % N %
1 Tidak 5 33,3 10 66,7 15 100
0,104
2 Ya 10 62,5 6 37,5 16 100

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan


bahwa tidak terdapat hubungan antara olahraga dengan gejala penyakit
dekompresi pada nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-value sebesar
0,104 (p>0,05), artinya bahwa Ho diterima yaitu tidak ada hubungan antara
olahraga dengan gejala penyakit dekompresi pada nelayan konvensional.
f. Hubungan antara Kebiasaan Minum Alkohol dengan Gejala Penyakit
Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
Tabel 4.17 Hubungan antara Kebiasaan Minum Alkohol dengan Gejala Penyakit
Dekompresi
Kebiasaan Gejala Penyakit Dekompresi
Total
No Minum Tidak Ya p-value
Alkohol N % N % N %
1 Ya 6 35,3 11 64,7 17 100
0,131
2 Tidak 9 64,3 5 35,7 14 100
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara kebiasaan minum alkohol dengangejala
penyakit dekompresi pada nelayan kompresor konvensionaldiperoleh nilai p-
value sebesar 0,106 (p>0,05), artinya bahwa Ho diterima yaitu tidak ada
hubungan antara kebiasaan minum alkohol dengan gejala penyakit dekompresi
pada nelayan konvensional.
67

4.1.5 Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Gejala Penyakit


Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
a. Hubungan antara Frekuensi Penyelaman dengan Gejala Penyakit
Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
Tabel 4.18 Hubungan antara Frekuensi Penyelaman dengan Gejala Penyakit
Dekompresi
Frekuensi Gejala Penyakit Dekompresi
Total
No Penyelaman/ Tidak Ya p-value
Hari N % N % N %
1 <2 kali 13 81,2 3 18,8 16 100
0,000
2 ≥2 kali 2 13,3 13 86,7 15 100
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara frekuensi penyelaman dengan gejala penyakit
dekompresi pada nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-value sebesar
0,000 (p>0,05), artinya bahwa Ho ditolak yaitu ada hubungan antara frekuensi
penyelaman dengan gejala penyakit dekompresi pada nelayan konvensional.
b. Hubungan antara Lama Penyelaman dengan Gejala Penyakit Dekompresi
pada Nelayan Kompresor Konvensional
Tabel 4.19 Hubungan antara Lama Penyelaman dengan Gejala Penyakit
Dekompresi
Lama Gejala Penyakit Dekompresi
Total
No Penyelaman Tidak Ya p-value
(Menit) N % N % N %
1 <30 3 25 9 75 12 100
2 30-59 11 68,8 5 31,2 16 100 0,062
3 ≥60 1 33,3 2 51,6 3 100
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara lama penyelaman dengangejala penyakit
dekompresi pada nelayan kompresor konvensionaldiperoleh nilai p-value sebesar
0,062 (p>0,05), artinya bahwa Ho diterima yaitu tidak ada hubungan antara lama
penyelaman dengan gejala penyakit dekompresi pada nelayan konvensional.
68

c. Hubungan antara Kedalaman dengan Gejala Penyakit Dekompresi pada


Nelayan Kompresor Konvensional
Tabel 4.20 Hubungan antara Kedalaman dengan Gejala Penyakit Dekompresi
Gejala Penyakit Dekompresi
Kedalaman Total
No Tidak Ya p-value
(Meter)
N % N % N %
1 <10 5 50 5 50 10 100
2 10-20 9 69,2 4 30,8 13 100
0,075
3 20-30 0 0 4 100 4 100
4 >30 1 25 3 75 4 100

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan


bahwa tidak terdapat hubungan antara kedalaman penyelaman dengan gejala
penyakit dekompresi pada nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-
value sebesar 0,075 (p>0,05), artinya bahwa Ho diterima yaitu tidak ada
hubungan antara kedalaman penyelaman dengan gejala penyakit dekompresi pada
nelayan konvensional.
d. Hubungan antara Kecepatan Naik Permukaan dengan Gejala Penyakit
Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
Tabel 4.21 Hubungan antara Kecepatan Naik Permukaan dengan Gejala Penyakit
Dekompresi
Kecepatan Gejala Penyakit Dekompresi
Total
No Naik Tidak Ya p-value
. Permukaan
(Menit) N % N % N %
1 <18 2 13,3 13 86,7 15 100
0,000
2 ≥18 13 81,2 3 18,8 16 100
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara kecepatan naik permukaan dengan gejala
penyakit dekompresi pada nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-
value sebesar 0,000 (p>0,05), artinya bahwa Ho ditolak yaitu ada hubungan antara
kecepatan naik permukaan dengan gejala penyakit dekompresi pada nelayan
konvensional.
69

4.2 Pembahasan
Menyelam merupakan suatu kegiatan yang dilakukan manusia dibawah
permukaan air atau di dalam air pada kedalaman tertentu dengan atau tanpa
menggunakan peralatan untuk mencapai tujuan. Kegiatan penyelaman merupakan
salah satu sumber penghasilan masyarakat yang bermukim di kawasan pesisir.
Penyelaman sudah dianggap sebagai mata pencaharian, dimana kegiatan
tersebut dilakukan setiap hari kecuali hari jumat atau cuaca buruk. Seperti yang
dilakukan masyarakat yang bermukim di desa bangsring, kegiatan yang dilakukan
antara lain penangkapan ikan hias laut seperti ikan nemo, ikan dori, ikan lion,
ikan mandarin dan lain lain.
Cara kerja penyelam tradisional di desa bangsring
a. Moro Ami
Yaitu penyelam untuk menjaring ikan hias laut.
1. Penyelaman pertama yang dilakukan dilakukan adalah meletakkan jaring
pada dasar laut dengan di beri pemberat pada bagian bawah dengan
menggunakan batu. Penyelaman ini dilakukan oleh 2-3 orang, kendala
yang biasa terjadi adalah menentang arus.
2. Penyelaman yang kedua adalah penyelaman yang dimaksudkan untuk
menggiring ikan kedalam jaring yang telah di pasang pada penyelaman
pertama. Kemudian dilanjutkan dengan menyaring ikan menggunakan
saringan yang berukuran kecil kemudian dimasukkan kedalam kantong
plastik yan berisi sedikit air laut dan udara.
3. Penyelaman yang ketiga adalah pengankatan jaring yang dipasang saat
penyelaman pertama. Pekerjaan ini akan semakin lama apabila ada jaring
yang tersangkut.
b. Mencari Biota Laut
Yaitu penyelaman untuk mencari biota laut. Pada saat mencari bioata laut
biasanya nelayan membawa alat-alat martil, ember, parang dan lain-lain.
Penyelaman dilakukan 2-3 kali/hari.kedalaman berkisar 15-45 meter dengan
durasi yang lama (1-2jam). Kemudian penyelam naik ke atas permukaan dengan
memberikan hasil yang diperoleh kepada temannya dengan memberikan kode
70

menggoyangkan selang. Kecepatan menarik selang sesuka hati penyelam biasanya


berkisar 20-40 detik tanpa melakukan decompression stop.

4.2.1 Distribusi Faktor Individu dan Faktor Pekerjaan


1. Distribusi Faktor Individu
a. Umur
Salah satu faktor demografi yang mempengaruhi persepsi dan kondisi
kesehatan tubuh seseorang adalah umur. Tidak ada batasan minimal seseorang
untuk menjadi seorang nelayan, namun pada kenyataannya di Desa Wongsorejo
batasan minimal seseorang menjadi nelayan adalah 15 tahun atau masa remaja,
dimana batasan seseorang sudah cukup kuat untuk melakukan penyelaman
sebagai nelayan. Semakin tinggi umur penyelam konvensional, semakin lebih
waspada akan bahaya penyelaman dan karena masa kerja yang dijalani tergolong
lama sehingga penyelam konvensional tergolong berpengalaman. Sehingga jika
dilihat dari analisa tersebut bahwa responden sebagian besar berada pada rentang
umur 25-40 tahun lebih banyak yaitu sebanyak 13 responden, sedangkan paling
sedikit terdapat pada rentang umur 12-24 tahun sebanyak 1 responden (3,2%)
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2011:13), kategori
umur produktif yaitu antara 15-54 tahun. Dalam penelitian ini umur 25-40 tahun
dapat dikategorikan sebagai kelompok umur yang produktif dan disamping itu
kebanyakan kelompok umur tersebut telah lama melakukan pekerjaan sebagai
nelayan dan menjadikan penyelaman sebagai sumber kehidupan mereka. Semakin
bertambahnya umur seseorang maka fungsi metabolisme akan menurun (Armen
et al., 2003:74). (Whaley,2008) berpendapat bahwa usia yang lebih tua lebih besar
kemungkinannya untuk terkena penyakit dekompresi karena sel-sel telah
mengalami degenerasi.
b. Masa Kerja
Dari tabel 4.3 hasil penelitian pada masa kerja dapat diketahui bahwa masa
kerja tertinggi yaitu 1-5 tahun sebanyak 16 responden sedangkan masa kerja <1
tahun sebanyak 11 responden dan >5 tahun sebanyak 4 responden. Dalam jurnal
yang ditulis Oleh (Prasetyo AT Soemantri JB & Lukmantya L,2012) disebutkan
71

bahwa Semakin lama seseorang bekerja sebagai peselam maka semakin besar
kemungkinan terpapar oleh lingkungan hiperbarik yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan hingga kelumpuhan (para- lysis). Masa kerja dapat
menentukan lamanya paparan seseorang terhadap faktor risiko, semakin lama
paparan berdasarkan masa kerja akan semakin besar kemungkinan seseorang
mendapatkan faktor risiko tersebut.
c. Tingkat Pengetahuan Penyelaman
Tingkat pengetahuan tentang penyelaman merupakan salah satu faktor
dalam tubuh (internal) yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit dekompresi.
Dalam kuesioner pengetahuan diberikan 10 pertanyaan dengan opsi jawaban
benar atau salah, yaitu tentang pengetahuan penyelaman, sedangkan kategori
pertanyaan yang diajukan adalah teknik penyelaman, peralatan penyelaman,
kedalaman, frekuensi, penggunaan APD, lama penyelaman.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di desa Bangsring,
kegiatan penyelaman yang biasa dilakukan hanya dengan menggunakan alat-alat
sederhana seperti kaos tangan panjang, celana pendek, sepatu karet, masker,
selang dengan regulator serta kompresor yang biasa digunakan untuk memompa
ban kendaraan bermotor. Kompresor yang digunakan sebagai penyuplai udara ke
penyelam dirancang secara khusus untuk digunakan menyelam. Sedangkan
keterampilan menyelam diperoleh secara alami dengan meniru cara penyelaman
terdahulu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak nelayan kompresor yang
memiliki pengetahuan baik yaitu 19 responden (61,3%) dan pengetahuan buruk
12 responden (38,7%). Tingkat pengetahuan tinggi belum tentu membuat
seseorang memiliki perilaku yang baik. Berdasarkan wawancara dengan penyelam
tradisional, kategori pengetahuan paling buruk adalah teknik penyelaman. Pada
kenyataannya meskipun pengetahuan terkait alat yang digunakan tergolong baik,
namun para nelayan tetep menggunakan kompresor konvensional untuk mencari
ikan hias laut karena penggunaan kompresor konvensional untuk penyelaman
tergolong lebih terjangkau dibandingkan penggunaan alat selam profesional.
Kompresor penyelaman, seharus dilengkapi dengan sistem penyaringan udara
72

yang tercantum dalam daftar NAVYA / 00C Authorized for Navy use (ANU) atau
kompresor yang bersertifikat. Penggunaan kompresor konvensional yang tidak
berfungsi untuk memompa udara pernapasan dapat menyebabkan kontaminasi
pasokan udara penyelam.
d. Obesitas
Dalam artikel yang ditulis Oleh Campbell (2010) yang berjudul
“Prevention of Decompression Accidents” berpendapat bahwa obesitas sebagai
faktor dalam meningkatkan risiko penyakit dekompresi. Menumpuknya lemak
dalam pembuluh darah dan penurunan perfusi (kemampuan untuk membuang gas)
dapat menyebabkan penyakit dekompresi karena nitrogen merupakan gas yang
mudah larut dalam lemak.
Jaringan lemak mempunyai sebuah daya gabung N2 yang tinggi
dan melarutkan banyak N2 daripada jaringan yang lainnya. Ketika penyelam
naik ke permukaan dan tekanan gas turun, terjadi kebalikan dari proses yang
memenuhi tubuh dengan N2. Tekanan parsial N2 yang rendah dalam paru-paru
selama naik menyebabkan darah melepaskan N2 kedalam paru-paru proses ini
berlangsung beberapa jam karena lambat melepaskan N2 dengan perlahan-lahan,
dan tubuh memerlukan 24 jam atau lebih untuk menghilangkan semua N2
yang berlebihan. Jika dekompresi berlangsung terlalu cepat, maka N2 tidak dapat
meninggalkan jaringan dengan cepat dan teratur seperti yang dilukiskan
diatas. Tekanan yang tiba-tiba menurun tidak cukup untuk mempertahankan
kelarutan gas sehingga timbul gelembung, seperti fenomena yang kita lihat bila
tutup botol bir dibuka dengan tiba-tiba (Alias, 2013). Proses penyerapan
gelembung gas pada individu yang memiliki kadar lemak tinggi mengalami
peningkatan hingga 4-5 kali lebih cepat. (Simanungkilat, 1997)
e. Kebiasaan Olahraga
Dari tabel penelitian olahraga dapat diketahui bahwa banyak nelayan
kompresor yang tidak melakukan olahraga sebelum penyelaman yaitu 15
responden (48,4%) dan yang olahraga sebanyak 16 responden (51,6%). Pada saat
penyelam melakukan olah raga sebelum kegiatan penyelaman dapat menyebabkan
terjadinya peningkatan aliran darah ke jaringan otot dan absorbsi N 2 meningkat
73

pada jaringan otot 69% dalam 10 menit penyelaman atau 60 menit penyelaman
dan di tandai dengan gejala nyeri pada pergelangan tangan dan kaki
(Simanungkilat,1997).
f. Kebiasaan Minum Alkohol
Dari tabel hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa banyak nelayan
kompresor yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol yaitu 17 responden
(54,8%) dan yang tidak mengkonsumsi alkohol sebanyak 14 responden (45,2%).
Pecandu alkohol dan narkoba rentan untuk mengalami penyakit dekompresi,
termasuk mengkonsumsi sebelum melakukan penyelaman. Zat yang terkandung
akan mempercepat timbulnya gelembung gas. timbulnya gelembung gas juga di
pengaruhi oleh temperatur. Temperatur yang telalu rendah membuat terbentuknya
gelembung gas menjadi lebih cepat. Suhu air di sekeliling menentukan
kenyamanan penyelam secara maksimal. Hampir semua suhu perairan lebih
dingin dari suhu badan yang normal yaitu 37 C atau 98 F. Oleh karena itu,
seorang penyelam akan kehilangan panas terhadap air karena konduksi.
Suhu air semakin berkurang secara nyata bersamaan dengan
bertambahnya kedalaman dan perubahan suhu terbesar yaitu pada kedalaman 10
m pertama. Hal ini disebabkan karena hilangnya sebagian besar panas matahari
pada kedalaman yang lebih yang menyebabkan suhu disekitar menjadi dingin.
Air yang dingin dapat menyebabkan gangguan-gangguan fisiologis yang gawat
seperti pusing/vertigo, dan sakit kepala. Air dingin membuat vasokonstriksi
(penyempitan pembuluh darah) sehingga nitrogen sulit untuk dikeluarkan.
Sedangkan air hangat menyebabkan vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) dan
posisi kepala di bawah meningkatkan eliminasi nitrogen.

4.2.2 Distribusi Faktor Pekerjaan


a. Frekuensi Penyelaman
Hasil penelitian pada tabel frekuensi menunjukkan bahwa jumlah nelayan
kompresor yang melakukan penyelaman <2 kali/hari yaitu sebanyak 16 responden
(51,6,3%) dan responden yang melakukan penyelaman ≥2 kali/hariyaitu sebanyak
15 responden (48,4%). Semakin sering seorang nelayan melakukan penyelaman
74

maka semakin banyak pula kandungan nitrogen yang diserap tubuh dan
mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti lemas didalam air, pusing
dan kedinginan. Pada kebanyakan kasus gejala penyakit penyelaman seperti
dekompresi terjadi setelah 6 jam, dan yang sering terjadi dalam 1 jam pertama
setelah melakukan penyelaman. Keluhan yang biasa terjadi seperti sakit pada
persendian, kulit kemerah-merahan, dada terasa sesak, pusing dan pada kasus
dekompresi yang berat menyebabkan kesulitan berbicara dan gemetar ketika
gelembung nitrogen menyerang otak kecil. Penelitian ini juga sejalan dengan
Alfred A. Bove tahun 2014 dalam artikelnya yang berjudul “Decompression
Sickness” bahwa lama waktu yang dihabiskan saat penyelaman dalam lingkungan
yang bertekanan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit gangguan
penyelaman terutama dekompresi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, frekuensi penyelaman di
Desa Bangsring Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi tergantung
dengan kondisi lingkungan seperti cuaca (ombak dan arus). Pada cuaca yang
bagus nelayan akan melakukan penyelaman lebih sering dengan frekuansi
penyelaman ≥2 kali/hari dibandingkan saat cuaca buruk. Hubungan kerja yang
berlaku pada penyelam tradisional sangat longgar, sistem yang di gunakan adalah
sistem bagi hasil antara anggota penyelam dengan pemilik perahu. Sistem upah
yang berlaku tergantung dari hasil penyelaman yang diperoleh. Oleh karena itu,
dengan alasan penghasilan, penyelam sering melakukan aktifitas penyelaman
secara berulang ulang tanpa memperhatikan kondisi tubuhnya. Hal inilah yang
menjadi faktor risiko yang sangat besar bagi penyelam untuk terkena penyakit-
penyakit akibat penyelaman, salah satunya yaitu dekompresi.
b. Lama Penyelaman
Hasil penelitian pada tabel lama penyelaman menunjukkan bahwa jumlah
yang melakukan <30/menit sebanyak 12 responden (38,7%), nelayan yang
melakukan lama penyelaman 30-59/menit yaitu sebanyak 16 responden (51,6%),
dan nelayan yang melakukan lama penyelaman ≥60/menit yaitu sebanyak 3
responden (9,7%). Air dingin membuat vasokonstriksi (penyempitan pembuluh
darah) sehingga nitrogen sulit untuk dikeluarkan. Sedangkan air hangat
75

menyebabkan vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) dan posisi kepala di bawah


meningkatkan eliminasi nitrogen. Campbell (2010)
Arfa (2012) dalam Alias (2013) berpendapat bahwa lama setiap kali
melakukan penyelaman juga berbeda tergantung dengan daya tahan tubuh dan
kebiasaan setiap masing-masing penyelam. Penyelam yang biasa mencari biota
laut yang bernilai seperti anemon, dapat bertahan selama 1-2 jam di dalam lautan.
Faktor waktu atau lama penyelaman adalah lama penyelam yang dihitung
sejak penyelam berenang turun selama di dasar sampai penyelam mulai mencapai
permukaan. Peranan waktu atau lama penyelaman dalam mempengaruhi frekuensi
gangguan kesehatan pada penyelam antara lain ditentukan oleh perubahan faktor
etiologi timbulnya keadaan sakit pada para penyelam yaitu karena adanya
perubahan tekanan udara yang tinggi. Penyelaman yang lama akan mempengaruhi
penyerapan dan pelepasan gas dalam jaringan tubuh dan darah, terutama adalah
gas nitrogen, yaitu berubahnya komposisi gas akan menimbulkan penyakit
dekompresi. Lama menyelam akan mempengaruhi tekanan yang diterima oleh
penyelam sesuai kedalamannya. Semakin lama dan semakin dalam menyelam
maka tekanan yang diterima oleh penyelam sesuai kedalamannya semakin besar
dan lama.
c. Kedalaman
Hasil penelitian pada tabel kedalaman menunjukkan bahwa jumlah
nelayan yang menyelam selama <10/meter yaitu sebanyak 10 responden (32,2%),
kedalaman penyelaman 10-20/meter yaitu sebanyak 13 responden (41,9%),
kedalaman penyelaman 20-30/meter yaitu sebanyak 4 responden (12,9%),
sementara nelayan yang melakukan penyelaman dengan kedalaman >30/meter
yaitu sebanyak 4 responden (12,9%).
Arfa (2012) dalam Alias (2013) menyatakan bila seseorang menggunakan
udara bertekanan tinggi sebagai media pernapasan untuk menyelam, maka
semakin dalam dan semakin lama nelayan menyelam akan semakin banyak gas
yang larut dan ditimbun dalam jaringan tubuh. Sesuai hukum Henry, volume gas
yang larut dalam suatu cairan sebanding dengan tekanan gas di atas cairan itu.
Karena oksigen (O2) dikonsumsi dalam jaringan tubuh, maka yang tinggal adalah
76

Nitrogen (N2) yang merupakan gas inert (tidak aktif). Seperti kita ketahui tekanan
udara di permukaan laut adalah 1 Atmosfer Absolut (ATA) dan setiap kedalaman
10 meter maka tekanan akan bertambah 1 ATA. Jadi bila 1 liter N2 terlarut didalam
tubuh seseorang penyelam pada permukaan, maka pada kedalaman 20 meter (3
ATA) ia akan menyerap 3 liter N 2. N2 yang berlebihan ini akan didistribusikan
oleh darah ke dalam jaringan-jaringan sesuai dengan kecepatan aliran darah ke
jaringan tersebut serta daya gabung jaringan terhadap N 2. Jaringan lemak
mempunyai daya gabung N2 yang tinggi dan melarutkan banyak N2 daripada
jaringan yang lainnya. Ketika penyelam naik ke permukaan dan tekanan gas turun,
terjadi kebalikan dari proses yang memenuhi tubuh dengan N2. Tekanan parsial N2
yang rendah dalam paru-paru selama naik menyebabkan darah melepaskan N2 ke
dalam paru-paru. Proses ini berlangsung beberapa jam karena jaringan lambat
melepaskan N2 dengan perlahan-lahan, dan tubuh memerlukan 24 jam atau lebih
untuk menghilangkan semua N2 yang berlebihan. Jika dekompresi berlangsung
terlalu cepat, maka N2 tidak dapat meninggalkan jaringan dengan cepat dan teratur
seperti yang dilukiskan diatas. Tekanan yang tiba-tiba menurun tidak cukup untuk
mempertahankan kelarutan gas sehingga timbul gelembung, seperti fenomena
yang kita lihat bila tutup botol bir dibuka dengan tiba-tiba.
Hukun Boyle mengatakan, makin dalam air laut makin besar tekanan,
sehingga volum udara yang dikonsumsi juga berubah yang akhirnya dapat
menimbulkan dekompresi. Setiap pertambahan 10 meter terjadi kenaikan tekanan
1 ATA. Seorang penyelam semakin dalam menyelam maka semakin besar tekanan
atmosfir yang diterima, dengan bertambahnya kedalaman, kemungkinan terkena
penyakit dekompresi semakin besar.
Kegiatan penyelaman dilakukan sampai dengan beberapa puluh meter (15-
45 meter) dibawah laut dikarenakan terdapat banyak variasi jenis ikan didasar laut
dan mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi (semakin dalam variasi ikan
semakin banyak dan indah).
d. Kecepatan Naik Permukaan
Hasil penelitian pada tabel kecepatan naik ke permukaan menunjukkan
bahwa jumlah nelayan yang melakukan penyelaman <18/menit yaitu sebanyak 15
77

responden (48,4%), sementara nelayan kompresor yang melakukan penyelaman


dengan kecepatan naik ke permukaan yang ≥18/menit yaitu sebanyak 16
responden (51,6%). Hasil wawancara di lapangan diperoleh keterangan dari
nelayan penyelam ikan hias bahwa nelayan kompresor masih kurang
memperhatikan prosedur keselamatan dengan naik ke permukaan secara cepat dan
tidak berhenti pada stasiun pemberentian (safety stop). safety stop merupakan
waktu berhenti, dimana pada kedalaman tertentu penyelam harus tetap berada
selama jangka waktu tertentu selama pendakian dengan tujuan untuk mengurangi
perubahan tekanan yang nantinya dapat menyebabkan peningkatan penimbunan
gas N2 dalam darah. Para penyelam di Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo
Kabupaten Banyuwangi hanya mengandalkan perasaan saat naik, ini dilakukan
karena masih sedikit informasi yang mereka ketahui tentang bahaya penyelaman.
Kebanyakan penyelam langsung kembali melakukan aktivitas penyelamannya,
penyelam tidak mau membuang waktu terlalu lama di permukaan. Selagi
penyelam sehat, penyelam akan melakukan penyelaman sampai memperoleh hasil
yang memuaskan. Kurangnya pengetahuan terkait teknik penyelaman dan hanya
mengandalkan pengetahuan yang turun menurun dari penyelam sebelumnya
membuat mereka kurang mengerti tentang keamanan dalam penyelaman. Pada
saat nelayan menggunakan prosedur kecepatan naik ke permukaan dengan benar,
setelah menyelesaikan penyelamannya. Pada tubuh penyelam masih terdapat sisa
nitrogen dalam jumlah yang tidak membahayakan. Sisa nitrogen tersebut setelah
12 jam dipermukaan dianggap bersih dari tubuh karena telah dikeluarkan lewat
udara pernafasan. Bila kurang dari 12 jam dari penyelaman pertama maka
dilakukan penyelaman kedua, maka terjadi kelebihan nitrogen dalam tubuh
penyelam yang oleh darah di distribusikan ke jaringan sesuai degan kecepatan
dalam darah dan daya apung N2 (Simanungkilat1997).

4.2.3 Gambaran Gejala Penyakit Dekompresi pada Nelayan Kompresor


Konvensional
Berdasarkan hasil penelitian dari 31 responden didapatkan sebanyak 15
responden atau sebesar 48,4%, sementara responden yang mengalami dekompresi
78

sebanyak 16 responden atau sebesar 51,6%. Pada kebanyakan kasus gejala terjadi
setelah 6 jam, dan yang tersering terjadi dalam 1 jam pertama setelah melakukan
penyelaman. Keluhan yang paling banyak dirasakan oleh responden yaitu pusing,
nyeri otot/sendi ngilu, dan lengan dan atau tungkai lemah atau kesemutan dan
yang paling sedikit yaitu keluhan kejang dan responden. Hal tersebut sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Prasetyo (2015) dengan judul hubungan
perilaku menyelam dengan kejadian penyakit dekompresi pada penyelam
tradisional di Pulau Lae-lae kota Makassar bahwa keluhan yang dirasakan oleh
setelah melakukan penyelaman seperti kulit kemerah-merahan, dada terasa sesak,
pusing dan pada kasus dekompresi yang berat menyebabkan kesulitan berbicara
dan gemetar (tremor) ketika gelembung-gelembung nitrogen menyerang otak
kecil.
Walaupun memiliki tingkat risiko bahaya yang sangat tinggi, namun
masih saja ada penyelam yang beranggapan bahwa keluhan-keluhan yang terjadi
setelah melakukan penyelaman adalah hal yang biasa ketika melakukan
penyelaman dan bukan menjadi sesuatu yang harus di khawatirkan, ketika
keluhan dirasakan sangat parah, barulah para penyelam melakukan
pemeriksaan ke fasilitas-fasilitas kesehatan yang tersedia.

4.2.4 Hubungan antara Faktor Individu dengan Gejala Penyakit


Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
a. Hubungan antara Umur dengan Gejala Penyakit Dekompresi pada Nelayan
Kompresor Konvensional
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa hubungan umur responden dengan gejala penyakit dekompresi pada
nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-value sebesar 0,170 (p>0,05),
artinya bahwa Ho diterima yaitu tidak ada hubungan antara umur dengan gejala
penyakit dekompresi pada nelayan konvensional. Umur yang dimaksud adalah
lama hidup responden. Umur responden dihitung sejak lahir sampai penelitian
dilakukan dalam satuan tahun. Dari hasil uji, tidak ada hubungan umur responden
dengan gejala penyakit dekompresi pada nelayan kompresor konvensional. Secara
79

kuantitas, karakteristik umur responden memberikan informasi bahwa faktor


perbedaan umur tidak berpengaruh secara signifikan terhadap gejala penyakit
dekompresi pada nelayan kompresor konvensional. Hal tersebut karena umur
tidak berkaitan langsung dengan gejala penyakit dekompresi pada nelayan
kompresor konvensional, melainkan berhubungan dengan sikap dan perilaku saat
melakukan penyelaman, sehingga berapapun umur responden memungkinkan
tidak mengalami gejala penyakit dekompresi pada nelayan kompresor
konvensional apabila perilaku saat melakukan menyelaman sesuai dengan standart
acuan yang benar.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Rahmadayanti, 2016) yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan penyakit dekompresi
pada penyelam tradisional di Karimunjawa Jepara (p-value = 0,079). Tidak
adanya perbedaan yang signifikan antara umur yang muda dengan umur yang tua
menjadikan tidak adanya hubungan dengan gangguan akibat penyelaman. Kondisi
fisiologi yang produktif membuat para penyelam tradisional merasa tubuhnya
sehat sehingga dapat menjalankan aktifitasnya sebagai penyelam tradisional
padahal mereka sedang menimbun penyakit-penyakit yang berakibat fatal di
kemudian hari akibat kesalahan mereka dalam teknik penyelaman. Banyak
penyelam muda yang terkena dekompresi di umur-umur 20 tahunan.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian (Amir etc, 2006) yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan penyakit dekompresi
pada penyelam tradisional di pulau Lea lea (p=0,353)
b. Hubungan antara Masa Kerja dengan Gejala Penyakit Dekompresi pada
Nelayan Kompresor Konvensional
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara masa kerja dengan gejala penyakit
dekompresi pada nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-value sebesar
0,080 (p>0,05), artinya bahwa Ho diterima yaitu tidak ada hubungan antara masa
kerja dengan gejala penyakit dekompresi pada nelayan konvensional. Pada
dasarnya insiden penyakit dekompresi meningkat dengan bertambahnya masa
kerja. Hal ini terjadi karena pengalaman para penyelam konvensional cenderung
80

terlupakan bahkan lalai sebab para penyelam konvensional ingin mendapatkan


hasil yang sebanyak-banyaknya dalam waktu yang singkat. Masa kerja hanya
menggambarkan lama kerja subjek penelitian sebagai penyelam konvensional
tidak otomatis menggambarkan munculnya penyakit.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian (Rahmadayanti, 2016)
yang menyatakan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan penyakit
dekompresi pada penyelam tradisional di Karimunjawa Jepara (p-value = 0,001).
Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa semakin lama masa kerja maka
kandungan nitrogen yang tertimbun dalam darah semakin besar sehingga
mempengaruhi gejala penyakit dekompresi pada nelayan konvensional.
c. Hubungan antara Pengetahuan Penyelaman dengan Gejala Penyakit
Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara pengetahuan penyelaman dengan gejala
penyakit dekompresi pada nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-
value sebesar 0,183 (p>0,05). Kesadaran akan pengetahuan pada penyelam
konvensional tergolong tinggi, meskipun tergolong tinggi banyak nelayan yang
sering kali mengabaikan prosedur penyelaman. Hal tersebut terjadi karena para
penyelam konvensional ingin mendapatkan hasil yang lebih banyak dalam waktu
yang singkat. Dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti menyatakan bahwa
tingkat pengetahuan penyelaman tidak berhubungan dengan adanya penyakit
dekompresi, dikarenakan tingkat pengetahuan para penyelam di tempat penelitian
mayoritas sudah tinggi, selain itu pembinaan dan pemantauan oleh kelompok
nelayan juga sering dilakukan, namun pelanggaran-pelangaran terhadap prosedur
penyelaman tetap saja dilanggar demi mendapatkan hasil yang lebih tinggi, serta
mengabaikan kesehatan mereka demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.
d. Hubungan antara Obesitas dengan Gejala Penyakit Dekompresi pada
Nelayan Kompresor Konvensional
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara obesitas dengan gejala penyakit dekompresi
pada nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-value sebesar 0,106
81

(p>0,05), artinya bahwa Ho diterima yaitu tidak ada hubungan antara obesitas
dengan gejala penyakit dekompresi pada nelayan konvensional.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian (Rahmadayanti, 2016)
yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara IMT dengan penyakit
dekompresi pada penyelam tradisional di Karimunjawa Jepara (p-value = 0,868).
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian (Amir etc, 2006) yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara indeks massa tubuh dengan
penyakit dekompresi pada penyelam tradisional di pulau Lea Lea (p=1,000).
Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hagberg
& Ornhagen (2003) yang menyatakan bahwa penyelam dan
instruktur yang kelebihan berat badan (BMI ≥ 25) mempunyai
faktor risiko terkena penyakit dekompresi sebesar 0,74 kali
dibanding dengan penyelam dan instruktur dengan berat badan normal (BMI <
25).
Walaupun masa kerja penyelam konvensional tergolong lama tapi karena
memiliki tubuh yang ideal, artinya tidak ada penyelam yang memiliki tubuh
obesitas, mayoritas dari para penyelam tersebut memiliki postur tubuh yang ideal,
sehingga hal ini mendukung bahwa obesitas tidak berhubungan dengan adanya
penyakit dekompresi. Selain itu karena penyelaman tergolong dalam kategori
olahraga, sehinga adanya rutinitas dari penyelaman ini juga mendukung tidak
terjadinya obesitas dalam diri nelayan, kecuali para ABK (Anak Buah Kapal) ada
beberapa ABK yang mengalami obesitas, tetapi mereka hanya pembantu dalam
proses penyelaman, mereka hanya mejaga kesetabilan dari tekanan angin pada
kompresor, mengatur slang udara agar tidak terbelit dan mengalami sumbatan,
serta menjaga kapal dan hasil tangkapan.
Indeks masa tubuh penyelam tradisional tidak mempengaruhi kesehatan
mereka selama melakukan penyelaman. Namun dalam hal penyelaman obesitas
atau gemuk berpengaruh pada ruang ventilasi paru-paru karena pada saat proses
kontraksi dan bukaan diagfragma terutama pada proses pernafasan perut tidak
terjadi ruang ventilasi yang maksimal karena bukaan diagragma terhalang oleh
timbunan lemak dalam tubuh sehingga kapasitas vital paru mengalami penurunan
82

yang nyata. Para responden rata-rata mempunyai indeks massa tubuh yang normal
dan kurus, maka itu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan
gangguan akibat penyelaman. (Rahmadayanti, 2017)
e. Hubungan antara Olahraga dengan Gejala Penyakit Dekompresi pada
Nelayan Kompresor Konvensional
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara olahraga dengan gejala penyakit
dekompresi pada nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-value sebesar
0,104 (p>0,05), artinya bahwa Ho diterima yaitu tidak ada hubungan antara
olahraga dengan gejala penyakit dekompresi pada nelayan konvensional. Dari
hasil observasi diketahui bahwa rata-rata penyelam melakukan pemanasan ringan
untuk meregangkan otot sebelum melakukan penyelaman, hal ini mereka lakukan
agar tidak terjadi kram pada saat menyelam, baik kram pada kaki, kram pada
perut, maupun bagian tubuh lainya. Berdasarkan hasil penelitian, olahraga tidak
berhubungan dengan adanya penyakit dekompres karena semakin sering nelayan
melakukan olahraga, daya tahan tubuh nelayan akan semakin baik dan tidak
rentan, sehingga semakin kuat daya tahan tubuh seorang nelayan, maka intensitas
terjadinya penyakit dekompresi juga semakin kecil
f. Hubungan antara Kebiasaan Minum Alkohol dengan Gejala Penyakit
Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara kebiasaan minum alkohol dengan gejala
penyakit dekompresi pada nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-
value sebesar 0,108 (p>0,05), artinya bahwa Ho diterima yaitu tidak ada
hubungan antara kebiasaan minum alkohol dengan gejala penyakit dekompresi
pada nelayan konvensional. Dari hasil penelitian dan observasi yang dilakukan
oleh peneliti diketahui bahwa beberapa dari penyelam mengkonsumsi alkohol,
tetapi para nelayan tersebut bukan pecandu, mereka hanya meminum alkohol
apabila mereka merasa kedinginan setelah melakukan penyelaman, namun alkohol
yang diminum kadar dan kuantitasnya tidak banyak, biasanya mereka meminum
anggur kolesom hanya satu atau dua sloki, atau kisaran 30ml – 40ml dengan kadar
83

alkohol hanya 4% dalam 800ml anggur. Hal ini yang menyebabkan konsumsi
alkohol tidak berhubungan. Penelitian yang dilakukan oleh Hagberg &
Ornhagen (2003) tentang insiden dan faktor risiko gejala
penyakit dekompresi pada penyelam dan instruktur pria dan
wanita menunjukkan bahwa penyelam dan istruktur yang
mengkonsumsi alkohol mempunyai faktor risiko terkena penyakit
dekompresi sebesar 1,56 kali dibanding dengan penyelam dan
instruktur yang tidak mengkonsumsi alkohol.

4.2.5 Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Gejala Penyakit


Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
a. Hubungan antara Frekuensi Penyelaman dengan Gejala Penyakit
Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara frekuensi penyelaman dengan gejala penyakit
dekompresi pada nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-value sebesar
0,000 (p>0,05), artinya bahwa Ho ditolak yaitu ada hubungan antara frekuensi
penyelaman dengan gejala penyakit dekompresi pada nelayan konvensional.
Ketika nelayan mencari ikan dengan frekuensi yang tergolong sering, akan
meningkatkan potensi menderita penyakit dekompresi. Hal ini disebabkan karena
kadar nitrogen yang terkandung dalam darah belum normal, tetapi harus kembali
terpapar nitrogen. Secara teoritis, nitrogen yang terkandung dalam darah akibat
penyelaman akan kembali normal setelah 24 jam setelah menyelam. Bila nitrogen
belum normal dalam tubuh dan harus terpapar lagi maka akan menimbulkan
chokes atau bends yang akan berakibat parah. Semakin sering seseorang
menyelam maka kondisi tubuh juga akan semakin berkurang diakibatkan tubuh
manusia tidak bisa berada terus-menerus di dalam air. Hal ini berhubungan
dengan daya tahan tubuh penyelam konvensional dan keinginan mereka untuk
mendapatkan hasil yang lebih banyak. Karena keinginan memperoleh hasil yang
lebih banyak inilah banyak penyelam konvensional yang melakukan penyelaman
lebih dari 2 kali dan berpindah-pindah lokasi penyelaman.
84

Hal ini sejalan dengan penelitian Ekawati (2005) yang menunjukkan


bahwa ada hubungan yang signifikan antara frekuensi rata-rata menyelam per hari
dengan kejadian dekompresi pada penyelam tradisional di Kecamatan Semarang
Utara Kota Semarang dengan p-value 0,003. Hasil penelitian ini juga sesuai
dengan penelitian (Rahmadayanti, 2016) yang menyatakan bahwa ada hubungan
antara frekuensi penyelaman dengan penyakit dekompresi pada penyelam
tradisional di Karimunjawa Jepara (p-value = 0,02). Frekuensi menyelam
mempengaruhi kejadian dekompresi pada penyelam.
Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian (Amir etc,
2006) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan frekuensi menyelam dengan
penyakit dekompresi pada penyelam tradisional di pulau Lea Lea (p=0,062). Hasil
penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian (Sukmajaya, 2010) yang
menyatakan bahwa ada hubungan frekuensi menyelam dengan penyakit
dekompresi pada penyelam tradisional di Gili Matra Kabupaten Lombok Utara
Propinsi NTB (OR 4,46, 95%CI 1,421-13,999)
b. Hubungan antara Lama Penyelaman dengan Gejala Penyakit Dekompresi
pada Nelayan Kompresor Konvensional
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara lama penyelaman dengan gejala penyakit
dekompresi pada nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-value sebesar
0,062 (p>0,05), artinya bahwa Ho diterima yaitu tidak ada hubungan antara lama
penyelaman dengan gejala penyakit dekompresi pada nelayan konvensional.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian (Rahmadayanti, 2016)
yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara waktu penyelaman dengan
penyakit dekompresi pada penyelam tradisional di Karimunjawa Jepara (p-value =
0,481). Lama tiap kali melakukan penyelaman juga tidak sama, tergantung daya
tahan dan kebiasaan mereka. Mereka yang mencari ikan hias laut dengan harga
yang mahal akan bertahan lebih lama dibandingkan dengan yang mencari ikan
hias laut dengan harga yang relatif murah. Karena sebagian besar nelayan
menggunakan metode moroami maka penyelaman hanya dilakukan dalam jangka
waktu yang relatif singkat.
85

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian (Amir etc, 2006) yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara lama menyelam dengan penyakit
dekompresi pada penyelam tradisional di pulau Lea Lea (p=0,001). Hasil
penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian (Sukmajaya, 2010) yang
menyatakan bahwa ada hubungan lama penyelaman dengan penyakit dekompresi
pada penyelam tradisional di Gili Matra Kabupaten Lombok Utara Propinsi NTB
(OR 4,46, 95%CI 1,421-13,999)
c. Hubungan antara Kedalaman dengan Gejala Penyakit Dekompresi pada
Nelayan Kompresor Konvensional
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara kedalaman penyelaman dengan gejala
penyakit dekompresi pada nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-
value sebesar 0,075 (p>0,05), artinya bahwa Ho diterima yaitu tidak ada
hubungan antara kedalaman penyelaman dengan gejala penyakit dekompresi pada
nelayan konvensional. Pada dasarnya ketika seorang nelayan semakin dalam
melakukan penyelaman maka semakin tinggi pula risiko untuk terkena
dekompresi sedangkan berdasarkan hasil penelitian justru yang paling banyak
terkena dekompresi terdapat pada kategori <10 meter, hal ini disebabkan karena
nelayan yang melakukan penyelaman <10 meter frekuensi penyelamannya lebih
dari 2x sehingga lebih banyak nitrogen yang terperangkap dalam darah
dibandingkan nelayan yang menyelamnya >30 meter tapi frekuensi
penyelamannya hanya 1x dalam sehari.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian (Rahmadayanti, 2016)
yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kedalaman dengan penyakit
dekompresi pada penyelam tradisional di Karimunjawa Jepara (p-value = 0,001).
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian (Amir etc, 2006) yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara kedalaman penyelaman dengan penyakit
dekompresi pada penyelam tradisional di pulau Lea Lea (p=0,041)
d. Hubungan antara Kecepatan Naik Permukaan dengan Gejala Penyakit
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-Square menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara kecepatan naik permukaan dengan gejala
86

penyakit dekompresi pada nelayan kompresor konvensional diperoleh nilai p-


value sebesar 0,000 (p>0,05), artinya bahwa Ho ditolak yaitu ada hubungan antara
kecepatan naik permukaan dengan gejala penyakit dekompresi pada nelayan
konvensional.hal ini terjadi karena penurunan tekanan yang begitu cepat sehingga
nitrogen yang larut berubah menjadi gelembung. Nelayan peselam tradisional di
Dusun Krajan, Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo Kabupaten
Banyuwangi menggunakan kompressor untuk membantu pernapasan dalam
melakukan penyelaman dalam air. Penyelaman dengan menggunakan kompresor,
akan sangat membahayakan keselamatan nyawa peselam, udara yang dihirup oleh
peselam tergantung kepada kestabilan mesin kompresor yang di atas kapal. Lama
penyelaman menggunakan kompresor ban yang tidak terukur, akan memperbesar
kemungkinan peselam terkena DCS yang akan membuat peselam berhalunisasi
dan seperti merasa mabuk kemudian tahap berikutnya akan membuat tidak
sadarkan diri. N2 yang terlalu banyak terakumulasi di tubuh akan mengganggu
pasokan O2 ke jaringan otak yang akan menyebabkan peselam seperti orang
mabuk dan berhalunisasi. Selama ini waktu acuan para peselam kompresor adalah
lebih cenderung mengukur pada target hasil tangkapan. Waktu penyelaman
bukanlah ukuran nelayan, asal dirasa tubuhnya masih mampu memburu ikan,
maka nelayan akan terus bekerja sampai target hasil tangkapan terpenuhi. Apabila
peselam merasa udara yang dihirup semakin tipis atau tidak ada sama sekali
karena selang terlipat, macet atau matinya mesin pemompa, maka dalam situasi
ini, nelayan akan naik ke permukaan dengan cepat tanpa mengindahkan safety
stop, dan tentu akan membahayakan keselamatan. Kondisi ini akan menyebabkan
terjadinya DCS. safety stop adalah waktu berhenti, dimana pada kedalaman
tertentu penyelam harus tetap berada selama jangka waktu tertentu selama
pendakian.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian (Rahmadayanti, 2016)
yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kecepatan naik ke permukaan
dengan penyakit dekompresi pada penyelam tradisional di Karimunjawa Jepara
(p-value = 0,001).
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya mengenai faktor risiko gejala
penyakit dekompresi pada nelayan pencari ikan hias laut di kabupaten
banyuwangi, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
a. Pada faktor individu, mayoritas umur nelayan pencari ikan hias yang
menggunakan kompresor konvensional adalah 25-40 tahun, masa kerja
tertinggi 1-5 tahun, tergolong memiliki pengetahuan penyelaman yang
baik, tidak obesitas, rata-rata melakukan kebiasaan olahraga sebelum
melakukan penyelaman dan penyelam termasuk pengkonsumsi alkohol
yang tinggi.
b. Faktor pekerjaan, mayoritas frekuensi penyelaman nelayan kurang dari 2x,
lama penyelaman berkisar 30-59 menit, dengan kedalaman 10-20 m dan
kecepatan naik ke permukaan lebih dari sama dengan 18 per menit.
c. Gejala penyakit dekompresi pada penyelam pencari ikan hias laut yang
menggunakan kompresor konvensional pada Kelompok Nelayan
“Samudra Bakti” di Dusun Krajan, Desa Bangsring, Kecamatan
Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi sebanyak 51,6%, dari beberapa
gejala yang ada, pegal linu dan kemerahan pada kulit merupakan gejala
yang sering dirasakan.
d. Pada faktor individu, tidak terdapat hubungan antara umur, masa kerja,
pengetahuan penyelaman, obesitas, kebiasaan olahraga dan kebiasaan
minum alkohol dengan terjadinya gejala penyakit dekompresi pada
nelayan yang menggunakan kompresor.
e. Faktor pekerjaan, tidak terdapat hubungan antara lama penyelaman dan
kedalaman dengan terjadinya gejala penyakit dekompresi pada nelayan
yang menggukanakan kompresor, sementara frekuensi penyelaman dan
kecepatan naik ke permukaan berhubungan dengan terjadinya gejala
penyakit dekompresi pada nelayan yang menggunakan kompresor.

88
89

5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan maka saran mengenai hal-
hal yang perlu dilakukan dalam penelitian adalah :
a. Bagi nelayan pencari ikan hias laut
1. Bagi penyelam yang sudah berusia lebih dari 40 tahun agar mengurangi
frekuensi dan lama menyelamnya.
2. Bagi penyelam yang sering menyelam (≥2 kali/hari) sebaiknya
mengurangi frekuensi menyelam.
3. Penyelam sebaiknya melakukan kegiatan penyelaman ≥10 meter
disesuaikan dengan lama menyelam sesuai dengan prosedur
penyelaman yang benar dan di anjurkan menggunakan tabel
dekompresi.
4. Pada kedalaman yang sangat dalam sebaiknya penyelam naik ke
permukaan secara perlahan-lahan dan tidak dianjurkan untuk tergesa-
gesa / panik.
5. Penyelam yang mempunyai riwayat penyakit harus rajin memeriksakan
kesehatannya dan memperhatikan frekuensi menyelam.
6. Petugas kesehatan harus lebih aktif lagi menanggulangi kejadian gejala
yang timbul sejak dini dan memberi lebih banyak penyuluhan kepada
nelayan peselam.

b. Penelitian Selanjutnya
1. Dapat dijadikan bahan bacaan untuk melanjutkan penelitian mengenai
analisis statistik yang lebih mendalam mengenai faktor risiko gejala
penyakit dekompresi pada nelayan pencari ikan hias laut di kabupaten
banyuwangi.
DAFTAR PUSTAKA

Alias, S. 2013. Karakteristik Pasien Caisson Disease yang di Rawat di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo. Makassar: Universitas Hasanuddin.[SerialOnline].
https://www.scribd.com/document/236010132/Decompression-Sickness

Amir, D.P. et al.2006.Faktor yang berhubungan dengan penyakit dekompresi


pada penyelam tradisional di pulau lea-lea. Makassar:Universitas
Hasanuddin.
[SerialOnline].http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/15
406/DENI%20PRASETYA%20AMIR_K11111381_K3.pdf?sequence=1.

Arikunto. 2010.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka


Cipta

Bove, Alfred. 2014. Diving Medicine. Philadelphia: Temple University School of


Medicine.
[SerialOnline].http://www.atsjournals.org/doi/pdf/10.1164/rccm.20130916
62CI

Brown J.R & Antunano, M.J.prepare by:Faderal Aviation Administration Civil


Aerospace Medical Institute Aeromedical Education.Brochure.Session
Presented at FAA Civil Aerospace Medical Institude.Oklahama City.
[SerialOnline].https://www.faa.gov/pilots/safety/pilotsafetybrochures/medi
a/dcs.pdf.

Budiono, S. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan KK. Edisi ke-2. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.

Cahyono A. 2004. Keselamatan Kerja Bahan Kimia di Industri. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.

Campbell, E. 2010. Prevention of Decompression Accidents.[Serial Online].


www.scuba-doc.com/DCSPartII.pdf

90
91

Depkes RI. 2000. Pedoman Pemantauan Konsumsi Gizi. Katalog. Jakarta: Depkes
RI.

Depkes.2013.Risiko Kesehatan Para Nelayan dalam Upaya Pemenuhan


Kebutuhan.Makassar:Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal
Kementerian Kesehatan RI.[Serial
Online].http://www.depkes.go.id/development/site/jkn/index.php?
view=print&cid=2236&id=risiko-kesehatan-para-nelayan-dalam-upaya-
pemenuhan-kebutuhan

Dharmawirawan, D.A, & Moedjo, R. 2012. Identifikasi Bahaya Keselamatan dan


Kesehatan Kerja pada Penangkapan Ikan Nelayan Muroami. Jurnal
kesehatan Masyarakat Nasional Vol.6. No.4.[Serial Online].
https://media.neliti.com/media/publications/39772-ID-identifikasi-bahaya-
keselamatan-dan-kesehatan-kerja-pada-penangkapan-ikan-nelaya.pdf.

Edmonds, Mckenzie, Thomas dan pennefather.2015.Diving Medicine for Scuba


Divers.Australia:ocean_royale.
[SerialOnline].https://www.abebooks.com/book-search/title/diving-
medicine-scuba/author/carl-edmonds/.
Efendi, Ferry dan Makhfudil.2009.Keperawatan Kesehatan Komunitas : Teori
dan Praktik dalam Keperawatan.Jakarta:Salemba Medika.

Ekawati, Tuti. 2005. “Analisis Faktor Risiko Barotrauma Membrana Timpani


pada Nelayan Penyelam Tradisional di Kecamatan Semarang Utara Kota
Semarang”.Semarang:PascasarjanaUniversitasDiponegoro.Tesis.
[SerialOnline]. http://eprints.undip.ac.id/14995/.

Hagberg M. & Ornhagen H.2003.Incidence and risk factors for symptoms of


decompression sickness among male and female dive masters and
instructors retrospective cohort study. Sweden:departemen of occupational
and enviromental medicine sahlgranska academy and univercity hospital,
goteborg university, Undersea & Hyperbaric Medicine.UHM 2003, Vol.
30(2):93-102 DCS Symphtoms mong dives masters and instructor. .
[serialonline].https://pdfs.semanticscholar.org/d287/7a3a862a2590398e94d
aaed7a03cee770b4b.pdf

Kementrian Kesehatan.2013.Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan


Lingkungan tahun 2012. Jakarta: Kementrian Kesehatan
92

Massi, Kemal A. 2005. Analisis Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan Kerja


Penyelam Tradisional. Bogor : Falsafah Sains

Mitchel Doolette, Chairmen Wachholz dan Vann.2005.Management Of Mind or


Marginal Decompression Illness in Remote Location. Durham,NC : Divers
AlertNetwork.
[SerialOnline].https://www.diversalertnetwork.org/files/RemoteWrkshpFin
al05.pdf

Nazir. 2013. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Ningtyas, F. 2010. Penentuan Status Gizi Secara Langsung. Jember: Jember


University Press

Noltkamper, D. F. 2012. Scuba Diving: Barotrauma and Decompression Sickness.


.
[SerialOnline].https://www.emedicinehealth.com/barotraumadecompressio
n_sickness/article_em.htm.

Notoatmodjo, S. 2012. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Prasetyo AT. Soemantri JB. & Lukmantya L.2012.Pengaruh Kedalaman Dan


Lama Menyelam Terhadap Ambang-Dengar Penyelam Tradisional Dengan
Barotrauma Telinga.Malang:Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana. Vol. 42 no2. .[SerialOnline].
file:///C:/Users/LENOVO/Downloads/Documents/21-41-1-SM.pdf

Paskarini, Indriati. Dkk.(2012).Accident and Health Problems of Traditional Diver


and the Factors That Affect the District
Seram,Maluku.Surabaya:universitas Airlangga.University Indonesian
Journal of Occupational Safety and Health volume 1 .
[SerialOnline].http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=17835&val=1095.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 1 tahun 1981 tentang
kewajiban melapor PAK
93

Perhimpunan Kesehatan Hiperbarik Indonesia (PKHI). 2000. Pengantar Ilmu


Kesehatan Penyelam. Jakarta

Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI). 2000. Pengetahuan


akademis

Rahmadayanti. 2016. Faktor risiko gangguan akibat penyelaman tradisional di


karimun jawa jepara. Jurnal kesehatan masyarakat (e-Journal) Volume 5,
Nomor 1, Januari 2017 (ISSN:2356-3346).[SerialOnline].http://ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/jkm

Sabrina. 2007. “Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian keluhan


dekompresi pada penyelam tradisional Pulau Karanrang Kec.Liukang
Tupabbiring Kab.Pangkajene dan Kepulauan”.Skripsi. Makassar : Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.

Santoso, Gempur.2004. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan


Kerja.Surabaya : Prestasi Pustaka Publisher

Sastroasmoro, S. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta:


Sagung Seto

Setyawati, L. 2011. Selintas tentang Kelelahan Kerja. Yogyakarta: Amara Books.

Simanungkalit, Susan H. 1997. “Analisis Faktor Risiko Penyakit Dekompresi


pada Penyelam Alam yang Menggunakan Kompresor Konvensional di
Kelurahan P. Panggang”.Tidak Dipublikasikan.Tesis.Depok:Universitas
Indonesia.[SerialOnline].http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-78975.pdf.

Sugiyono.2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan


RD.Bandung:Alfabeta.

Sukmajaya, A.2010.”Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Dekompresi


Pada Penyelam Profesional dan Penyelam Tradisional di Gili Mantra
Kabupaten Lombok Utara propinsi NTB”.Tidak
Dipublikasikan.Tesis.Yogyakarta:UniversitasGadjahMada.
[SerialOnline].http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?
94

mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku
_id=45449.

Undang-undang No 1 tentang Keselamatan Kerja tahun 1970

Undang-undang No 31 tentang Perikanan tahun 2004

Undang-undang No 32 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja tahun 1992

Dean, michael. Dkk.Association of Diving School (ADS).2016.U.S.Navy Diving


Manual revision 7, 1 desember 2016.
[SerialOnline].http://www.navsea.navy.mil/Portals/103/Documents/UPSA
LV/Diving/US%20DIVING%20MANUAL_REV7.pdf?ver=2017-01-11-
102354-393
94
95

Lampiran A. Lembar Permohonan

SURAT PERMOHONAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Devi Asri Saraswati
NIM : 112110101120
Pekerjaan : Mahasiswa
Peneliti bermaksud akan mengadakan penelitian dengan judul “ Faktor
Risiko Gejala Penyakit Dekompresi Pada Nelayan Pencari Ikan Hias Laut Di
Kabupaten Banyuwangi”. Penelitian ini tidak akan menimbulkan kerugian bagi
Saudara maupun keluarga Saudara sebagai responden. Kerahasiaan semua
informasi akan dijaga dan dipergunakan untuk penelitian. Jika anda tidak bersedia
menjadi responden, maka tidak akan mengancam bagi Saudara dan keluarga. Jika
Saudara bersedia untuk menjadi responden, maka saya mohon kesediaan untuk
menandatangani lembar persetujuan yang saya lampirkan dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang saya sertakan. Atas perhatian dan kesediaannya
menjadi responden saya ucapkan terima kasih.

Hormat Saya

Devi Asri Saraswati


NIM 112110101120
96

Lampiran B : Lembar Persetujuan

SURAT PERSETUJUAN
Setelah saya membaca dan memahami isi dan penjelasan pada lembar
permohonan pada lembar permohonan menjadi responden, saya yang bertanda
tangan di bawah ini :
Nama :
Alamat :
Menyatakan bersedia turut berpartisipasi sebagai responden dalam
penelitian yang akan dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Jember, yaitu:
Nama : Devi Asri Saraswati
NIM : 112110101120
Pekerjaan : Mahasiswa
Judul : Faktor Risiko Gejala Penyakit Dekompresi Pada Nelayan
Pencari Ikan Hias Laut Di Kabupaten Banyuwangi
Saya memahami bahwa penelitian ini tidak membahayakan dan merugikan
saya maupun keluarga saya, sehingga saya bersedia menjadi responden dalam
penelitian ini.

Jember,...................2017

(..................................)
97

Lampiran C. Kuesioner Penelitian


FAKTOR RISIKO GEJALA PENYAKIT DEKOMPRESI PADA NELAYAN
PENCARI IKAN HIAS LAUT DI KABUPATEN BANYUWANGI

A. Identitas Responden
1. Nama :
2. Usia :
3. Jenis kelamin :
4. Alamat :
5. Masa kerja :

B. OBESITAS
8. Berat bandan / BB :
9. Tinggi badan :

C. Penyakit Dekompresi
10. Apakah anda mengalami masalah kesehatan setelah menyelam selama 48
jam?
a. tidak
b. ada

11. bila ada keluhan, apa keluhannya? (jawaban yang dianggap benar dengan
memberi tanda { √ } )
Rincian : Ya Tidak
i. Nyeri sendi / otot
j. Gatal dan kemerahan pada kulit
k. Kesemutan
l. Anggota tubuh lemah s/d
lumpuh
m. Pendengaran berkurang
n. Mual dan muntah
o. Sakit pinggang
p. Kejang
98

12. Bila ada keluhan tersebut, pertolongan apa yang diberikan?


Rincian Ya Tidak
a. Dibawa ke puskesmas/rumah sakit
b. Dibawa kedukun / mantri
c. Menyelam kembali
d. Makan obat sendiri &
dikerok/pakai koyo
e. Dibiarkan saja

13. Berapa kali rata-rata mengalami masalah kesehatan akibat penyelaman


selama 4 minggu terakhir?
a. 1x
b. 2-4x
c. >4x

14. Pernahkah berkonsultasi dengan dokter dan memeriksakan badan sebelum


dan sesudah menyelam?
a. Tidak pernah
b. Pernah 1x
c. Sering

D. Pengetahuan Penyelaman
NO. RINCIAN SALAH BENAR
15 Kompresor merupakan peralatan penyelaman
16 Teknik penyelaman yang benar adalah saat naik ke
permukaan tidak tahan nafas
17 Teknik penyelaman yang benar adalah waktu naik pelan-
pelan, ada tahap berhenti
18 Ketika melakukan penyelaman dengan kedalaman 20
meter, diperbolehkan menyelam kembali sebanyak 3x /
lebih
19 APD (Alat Pelindung Diri) merupakan suatu perangkat
yang digunakan oleh penyelam demi melindungi dirinya
dari potensi bahaya serta kecelakaan kerja yang
kemungkinan dapat terjadi saat menyelam.
20 Masker, snorkel, fins, tabung SCUBA, regulator dan
jam tangan termasuk APD penyelaman.
21 Lebih baik melakukan penyelaman seorang diri
22 Jika semakin lama menyelam, risiko terkena penyakiti
semakin kecil.
23 Ketika melakukan penyelaman diharuskan menggunakan
peralatan selam seperti baju selam, snorkel, tabung, dll
24 Mengganti kompresor dengan alat penyelam standar
dapat mencegah/mengurangi risiko terkena penyakit
dekompresi
99

E. Olahraga
25. Apakah anda melakukan olahraga sebelum melakukan pekerjaan?
a. Ya
b. Tidak
F. Alkoholisme
26. Apakah anda minum-minuman beralkohol?
a. Tidak
b. Ya
G. Frekuensi penyelaman
27. Berapa kali pekerja melakukan pencarian ikan hias perhari ?
a. < 2x perhari
b. ≥ 2x perhari
H. Lama penyelaman
28. Berapa lama penyelaman anda saat mencari ikan hias?
a. <30 menit
b. 30-59 menit
c. ≥60 menit
I. Kedalaman dan Kecepatan Naik ke Permukaaan
Penyelam Kedalaman Lama selam (jam) / Kecepatan Naik
Penyelaman Waktu Dasar ke Permukaan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
DST
100

Lampiran D. Dokumentasi

Persiapan sebelum melakukan ABK menyiapkan selang ketika


penyelaman
penyelam hendak melakukan
penyelaman

Kompresor konvensional Alat penyelaman yang digunakan


101

Proses penyelaman Peneliti melekukan wawancara


kepada responden

Hasil ikan hias yang diperoleh Pengukuran tinggi badan


102

Lampiran E. Hasil Analisis Data


a. Gejala Penyakit Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional

Statistics gejala penyakit dekompresi


Nyeri Gatal dan Kesemutan Anggota Pendengaran Mual Sakit Kejang
sendi/otot kemerahan kulit tubuh berkurang dan pinggang
Gejala lemah muntah
penyakit sampai
dekompresi dengan
lumpuh
N Valid 16 16 16 16 16 16 16 16
Missing 0 0 0 0 0 0 0 0
s
u 14 11 6 2 3 9 11 0
m

Frequency table
Nyeri sendi/otot
Frequency Percent Valid percent Cumulative Percent
Tidak 2 12,5 12,5 12,5
Valid Iya 14 87,5 87,5 100,0
Total 16 100,0 100,0

Gatal dan kemerahan kulit


Frequency Percent Valid percent Cumulative Percent
Tidak 5 31,3 31,3 31,3
Valid Iya 11 68,8 68,8 100,0
Total 16 100,0 100,0

Kesemutan
Frequency Percent Valid percent Cumulative Percent
Tidak 10 62,5 62,5 62,5
Valid Iya 6 37,5 37,5 100,0
Total 16 100,0 100,0

Anggota tubuh lemah sampai dengan lumpuh


Frequency Percent Valid percent Cumulative Percent
Tidak 14 87,5 87,5 87,5
Valid Iya 2 12,5 12,5 100,0
Total 16 100,0 100,0

Pendengaran berkurang
Frequency Percent Valid percent Cumulative Percent
Tidak 13 81,3 81,3 81,3
Valid Iya 3 18,8 18,8 100,0
Total 16 100,0 100,0

Mual dan muntah


Frequency Percent Valid percent Cumulative Percent
Tidak 7 43,8 43,8 43,8
Valid Iya 9 56,3 56,3 100,0
Total 16 100,0 100,0

Sakit pinggang
Frequency Percent Valid percent Cumulative Percent
Tidak 5 31,3 31,3 31,3
Valid Iya 11 68,8 68,8 100,0
Total 16 100,0 100,0

Kejang
Frequency Percent Valid percent Cumulative Percent
Valid Tidak 16 100,0 100,0 100,0
103

b. Hubungan antara Faktor Individu dengan Gejala Penyakit Dekompresi


pada Nelayan Kompresor Konvensional

1. Hubungan antara Umur dengan Gejala Penyakit Dekompresi pada Nelayan


Kompresor Konvensional

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Gejala Penyakit 31 100.0% 0 0.0% 31 100.0%
Dekomresi *Umur

Gejala Penyakit Dekompresi * Umur Crosstabulation

Umur Total
12-24 25-40 41-65 >65
Gejala Penyakit Dekompresi Count 1 4 7 4 16
Dekompresi % within Umur 100.0% 30.8% 58.3% 80.0% 51.6%
Tidak Count 0 9 5 1 15
Dekompresi % within Umur 0.0% 69.2% 41.7% 20.0% 48.4%
Total Count 1 13 12 5 31
% within Umur 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Significance (2-sided)
Pearson Chi-Square 5.029a 3 .170
Likelihood Ratio 5.590 3 .133
Linear-by-Linear Association 2.063 1 .151
N of Valid Cases 31
a. 8 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .48.

2. Hubungan antara Masa Kerja dengan Gejala Penyakit Dekompresi pada


Nelayan Kompresor Konvensional
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Gejala Penyakit 31 100.0% 0 0.0% 31 100.0%
Dekomresi *Masa
Kerja
104

Gejala Penyakit Dekompresi * Masa Kerja Crosstabulation

Masa Kerja
Total
<1 1-5 >5
Gejala Penyakit Dekompresi Count 6 6 4 16
Dekompresi % within Masa Kerja 54.5% 37.5% 100.0% 51.6%
Tidak Count 5 10 0 15
Dekompresi % within Masa Kerja 45.5% 62.5% 0.0% 48.4%
Total Count 11 16 4 31
% within Masa Kerja 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Significance (2-sided)
Pearson Chi-Square 5.064a 2 .080
Likelihood Ratio 6.615 2 .037
Linear-by-Linear Association .751 1 .386
N of Valid Cases 31
a. 2 (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.94.
cells

3. Hubungan antara Pengetahuan Penyelaman dengan Gejala Penyakit


Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Gejala Penyakit Dekomresi 31 100.0% 0 0.0% 31 100.0%
*Pengetahuan penyelaman

Gejala Penyakit Dekompresi * Pengetahuan Penyelaman Crosstabulation

Pengetahuan Penyelaman
Total
Baik Buruk
Gejala Penyakit Dekompresi Count 8 8 16
Dekompresi % within Pengetahuan Penyelaman 66.7% 42.1% 51.6%
Tidak Count 4 11 15
Dekompresi % within Pengetahuan Penyelaman 33.3% 57.9% 48.4%
Total Count 12 19 31
% within Pengetahuan Penyelaman 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Exact Sig. (2-sides) Exact Sig. (1-
Value df Asymptotic Significance (2-sided) sided)
Pearson Chi-Square 1.777a 1 .183
Continuity correction b .929 1 .335
Likelihood Ratio 1.803 1 .151
Fisher’s Exact Test .273 .168
Linear-by-Linear Association 1.719 1 .190
N of Valid Cases 31
b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.81.
c. Computed only for a 2x2 table

4. Hubungan antara Obesitas dengan Gejala Penyakit Dekompresi pada


Nelayan Kompresor Konvensional
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Gejala Penyakit 31 100.0% 0 0.0% 31 100.0%
Dekomresi *Obesitas

Gejala Penyakit Dekompresi *Obesitas Crosstabulation


Obesitas
Total
Tidak Ya
Dekompresi Count 12 4 16
105

Gejala Penyakit % within Obesitas 63,2.0% 33.3% 51.6%


Dekompresi Tidak Count 7 8 15
Dekompresi % within Obesitas 36.8% 66.7% 48.4%
Total Count 19 12 31
% within Obesitas 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic Significance (2- Exact Sig. Exact Sig. (1-
Value df sided) (2-sides) sided)
Pearson Chi-Square 2.620a 1 .106
Continuity correction b 1.561 1 .211
Likelihood Ratio 2.658 1 .103
Fisher’s Exact Test .149 .106
Linear-by-Linear Association 2535 1 .111
N of Valid Cases 31
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.81.
b. Computed only for a 2x2 table

5. Hubungan antara Olahraga dengan Gejala Penyakit Dekompresi pada


Nelayan Kompresor Konvensional
Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Gejala Penyakit 31 100.0% 0 0.0% 31 100.0%
Dekomresi *Olahraga

Gejala Penyakit Dekompresi *Olahraga Crosstabulation

Olahraga
Total
Tidak Ya
Gejala Penyakit Dekompresi Count 10 6 16
Dekompresi % within Olahraga 66.7.0% 37.5% 51.6%
Tidak Count 5 10 15
Dekompresi % within Olahraga 33.3% 62.5% 48.4%
Total Count 15 16 31
% within Olahraga 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic Significance (2- Exact Sig. Exact Sig. (1-
Value df sided) (2-sides) sided)
Pearson Chi-Square 2.637a 1 .104
Continuity correction b 1.599 1 .206
Likelihood Ratio 2.677 1 .102
Fisher’s Exact Test .156 .103

Linear-by-Linear Association 2552 1 .110

N of Valid Cases 31
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.26.
b. Computed only for a 2x2 table
106

6. Hubungan antara Kebiasaan Minum Alkohol dengan Gejala Penyakit


Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Gejala Penyakit 31 100.0% 0 0.0% 31 100.0%
Dekomresi *kebiasaan
minum alkohol

Gejala Penyakit Dekompresi *Kebiasaan minum alkohol Crosstabulation

Kebiasaan minum alkohol


Total
Tidak Ya
Gejala Penyakit Dekompresi Count 11 5 16
Dekompresi % within Kebiasaan minum 64.7.0% 35.7% 51.6%
alkohol
Tidak Count 6 9 15
Dekompresi % within Kebiasaan minum 35.3% 64.3% 48.4%
alkohol
Total Count 17 14 31
% within Kebiasaan minum 100.0% 100.0% 100.0%
alkohol

Chi-Square Tests
Asymptotic Significance (2- Exact Sig. Exact Sig. (1-
Value df sided) (2-sides) sided)
Pearson Chi-Square 2.584a 1 .108
Continuity correction b 1.553 1 .213
Likelihood Ratio 2.619 1 .106
Fisher’s Exact Test .156 .106
Linear-by-Linear Association 2.501 1 .114
N of Valid Cases 31
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.77.
b. Computed only for a 2x2 table

c. Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Gejala Penyakit


Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
a. Hubungan antara Frekuensi Penyelaman dengan Gejala Penyakit
Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Gejala Penyakit 31 100.0% 0 0.0% 31 100.0%
Dekomresi *frekuensi
penyelaman

Gejala Penyakit Dekompresi * Frekuensi penyelaman Crosstabulation


Frekuensi Penyelaman
Total
<2 ≥2
Gejala Penyakit Dekompresi Count 3 13 16
Dekompresi % within Frekuensi Penyelaman 18.8% 86.7% 51.6%
Tidak Count 13 2 15
Dekompresi % within Frekuensi Penyelaman 81.3% 13.3% 48.4%
Total Count 16 15 31
% within Frekuensi Penyelaman 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
107

Asymptotic Significance (2- Exact Sig. Exact Sig. (1-


Value df sided) (2-sides) sided)
Pearson Chi-Square 14.299a 1 .000
Continuity correction b 11.709 1 .001
Likelihood Ratio 15.720 1 .000
Fisher’s Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 13.838 1 .000
N of Valid Cases 31
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.26.
b. Computed only for a 2x2 table

b. Hubungan antara Lama Penyelaman dengan Gejala Penyakit Dekompresi


pada Nelayan Kompresor Konvensional
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Gejala Penyakit 31 100.0% 0 0.0% 31 100.0%
Dekomresi *Lama
Penyelaman

Gejala Penyakit Dekompresi *Lama Penyelaman Crosstabulation


Lama Penyelaman
Total
<30 30-59 ≥60
Gejala Penyakit Dekompresi Count 9 5 2 16
Dekompresi % within Lama 75.0% 31.3% 66.7% 51.6%
Penyelaman
Tidak Count 3 11 1 15
Dekompresi % within Lama 25.0% 68.8% 33.3% 48.4%
Penyelaman
Total Count 12 16 3 31
% within Lama 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
Penyelaman

Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Significance (2-sided)
Pearson Chi-Square 5.557a 2 .062
Likelihood Ratio 5.753 2 .056
Linear-by-Linear Association 1.735 1 .188
N of Valid Cases 31

a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 1.45.

c. Hubungan antara Kedalaman dengan Gejala Penyakit Dekompresi pada


Nelayan Kompresor Konvensional
Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Gejala Penyakit 31 100.0% 0 0.0% 31 100.0%
Dekomresi
*Kedalaman
108

Gejala Penyakit Dekompresi * Kedalaman Crosstabulation


Kedalaman
Total
<10 10-20 20-30 >30
Gejala Penyakit Dekompresi Count 5 4 4 3 16
Dekompresi % within Kedalaman 100.0% 30.8% 58.3% 80.0% 51.6%
Tidak Count 5 9 0 1 15
Dekompresi % within Kedalaman 0.0% 69.2% 41.7% 20.0% 48.4%
Total Count 10 13 4 4 31
% within Kedalaman 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymptotic Significance (2-sided)


Pearson Chi-Square 6.898a 3 .075
Likelihood Ratio 8.533 3 .036
Linear-by-Linear Association 2.042 1 .153
N of Valid Cases 31

a. 5 cells (62.5%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 1.94.
b. Computed only for a 2x2 table

d. Hubungan antara Kecepatan Naik Permukaan dengan Gejala Penyakit


Dekompresi pada Nelayan Kompresor Konvensional
Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Gejala Penyakit 31 100.0% 0 0.0% 31 100.0%
Dekomresi *Kecepatan
naik permukaan

Gejala Penyakit Dekompresi * Kecepatan naik permukaan Crosstabulation

Kecepatan naik permukaan


Total
<18 ≥18
Gejala Penyakit Dekompresi Count 13 3 16
Dekompresi % within Kecepatan naik 86.7% 18.8% 51.6%
permukaan
Tidak Count 2 13 15
Dekompresi % within Kecepatan naik 13.3% 81.3% 48.4%
permukaan
Total Count 15 16 31
% within Kecepatan naik 100.0% 100.0% 100.0%
permukaan

Chi-Square Tests
Asymptotic Significance (2- Exact Sig. Exact Sig. (1-
Value df sided) (2-sides) sided)
Pearson Chi-Square 14.299a 1 .000
Continuity correction b 11.709 1 .001
Likelihood Ratio 15.720 1 .000
Fisher’s Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 13.838 1 .000
N of Valid Cases 31
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.26.
b. Computed only for a 2x2 table

Anda mungkin juga menyukai