Anda di halaman 1dari 21

KEHIDUPAN DAN KEPRIBADIAN KH.

AHMAD
DAHLAN

Disusun Oleh:
MUHAMMAD KRISNA HIDAYATULLAH
1910111034

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
JEMBER
2021

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada tuhan semesta alam ALLAH SWT karena berkat
limpahan rahmat, hidayah dan taufiknya sehingga saya bisa menyelesaikan karya tulis ilmiah ini
dengan baik dan tepat waktu, dengan judul “Substansi Khiththah Muhammadiyah dalam
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Tahun 2002”.

Karya tulis yang saya kerjakan ini dalam rangka pemenuhan tugas mata kuliah AIK yaitu
Agama Islam Kemuhammadiyahan . Yang mana pengumpulan terakhirnya pada saat
pelaksanaan UAS. Maka dari itu saya berusaha mengerjakan sesuai dengan deadline dan sebaik
mungkin. Dengan harapan saya dapat menambah nilai untuk di kalkulasikan dengan nilai-nilai
tugas lainnya termasuk UAS, jadi saya mendapatkan nilai akhir yang maksimal.

Karya tulis ilmiah ini saya kerjakan dengan semaksimal mungkin menggunakan dari
berbagai sumber seperti buku-buku, artikel di internet dan lain-lainnya. Tapi terlepas dari itu
semua, saya sadar diri dengan kemampuan saya yang belum seberapa, sehingga karya tulis
ilmiah ini bisa dikatakan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu saya siap menerima segala
kritik dan sarannya agar saya bisa memperbaikinnya dimasa yang akan datang.

Saya berharap karya tulis ini dapat bermanfaat serta menambah wawasan pembaca dan
juga bisa menjadi pembelajaran bagi banyak orang. Semoga dengan karya tulis ilmiah ini bisa
membantu banyak orang dalam hal karya tulis ilmiah ini mudah dipahami , jadi pembaca dapat
menjadikan karya tulis ilmiah menjadi salah satau referensi dia untuk memahamin hal-hal
menganai kehidupan berbangsa dan bernegara.

                                                                                                            penulis
BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


K. H. Ahmad Dahlan merupakan yang sangat brilian. Dengan yang pembaru dalam
wacana pemikiran Islam pemikiran yang berilian itulah membawa umat dad wawasan
tradisional ke wawasan modern, dari wawasan feodalis menuju ke wawasan populis dan dari
wawasan desa(badui) ke wawasan kota (madani). Hal tersebut diakibatkan karena
bersentuhan dengan pemikir-pemikir kaliber Islam Timur Tengah pada waktu itu, seperti;
Ibnu Taimiyah, Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,1 dan lain
sebagainya. Hal inilah yang mewarnai corak pemikiran beliau dan atmosfer religius yang
kental, sehingga memiliki semangat yang tinggi lagi tangkas guna untuk menangkis segala
penyimpangan-penyimpangan (Rowsah asy-Syirik), 2 yang bertentangan dengan agama yang
di bawah oleh Rasulullah Saw.
Ketika meneropong suasana keberagamaan di Indonesia khususnya di Yogyakarta, yang
berada pada situasi kegersangan nilai-nilai spiritual yang sampai hampir kehilangan arah
moral dan intelektual karena tidak pandai berdialog dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.3
Perlu disadari, bahwa dalam perkembangan sejarah hidup manusia selalu mengalami pasang-
surut. Untuk itulah, manusia memebutuhkan dua pilar yang dijadikan elan vital kehidupan
yaitu agama dan ilmu. Kedua pilar tersebut sangat menetukan dalam membangun peradaban
manusia. Agama sebagai kompas hidup. Pemikiran keagamaan selalu cenderung berbalik
menelusuri tapak tilas ke belakang. Sedangkan ilmu sebagai alat untuk menggali sejarah
hidup manusia. Orientasi ilmu selalu melakuakan inovasi dan pengembaraan ke depan serta
tidak segan-segan membuang bangunan tradisi masa lalunya. Kedua pilar tersebut melekat di
dalam jiwa K. H. Muhammad Dahlan. Atas dasar itulah, sehingga beliau sangat antusias
dalam menata wawasan masa depan umat melalui instrumen pendidikan sosial dalam sebuah
lembaga yang dikenal dengan nama Muhammadiyah sebagai lokomotifnya.
Perlu diketahui bahwa peta umat manusia pada masa K. H. Ahmad Dahlan tampaknya
masih berada dalam proses awal untuk mengenal Tuhan setelah sekian lama dilupakan (sang
Pencipta). Dan pengenalan kembali akan Tuhan ini dirasa semakin mendesak setelah
kecenderungan antrophosentristis yang menuhankan manusia dan hasil perbuatan ternyata
telah membawa dunia kepada situasi yang pelik ganas tanpa kepastian.4 Umat Islam
mengklaim diri sebagai umat penengah (umathan wasthan). Dalam sejarah hidup manusia
belum dapat berbuat banyak dalam menyelamatkan situasi karena mereka pun sebenarnya
masih lupa diri. Islam mereka pada waktu itu, menurut penulis "Islam dekaden" atau "Islam
Minimal" sekedar maminjam istilah Ali Syariati dan Fazlur Rahman sehingga generasi waktu
itu tidak mampu memenuhi "logika persaingan".
Mencermati fenomena tersebut di atas secara konsepsional melalui hijrah otak yang
dicanangkan K. H. Ahmad Dahlan perlu di sorot makna kontekstual hijrah pemikiran sebagai
kontek dari segi input, proses dan autput yang berkaitan dengan wawasan sajarah keislaman
K. H. Ahmad Dahlan. Dengan demikian masalah pokok yang dapat dibenagmerahkan adalah
irnplementasi visi hijrah dan misi dakwah yang di bawah oleh K. H. Ahmad Dahlan yang
menah kodai Muhammadiyah.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apakah latar belakang dari K.H. Ahmad Dahlan dalam lintasan sejarah Indonesia?
2. Apa saja organisasi yang dinaungi oleh K.H. Ahmad Dahlan?
3. Apa saja peran K.H Ahmad Dahlan dalam Lintasan Sejarah

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui dan lebih mengenal siapakah K.H. Ahmad Dahlan dalam sejarah
Indonesia
2. Untuk mengetahui apa saja peran K.H Ahmad Dahlan dalam Lintasan Sejarah Indonesia
BAB II PEMBAHASAN

1. Apakah latar belakang dari K.H. Ahmad Dahlan dalam lintasan sejarah Indonesia?
a. Latar Belakang Keluarga
K.H.Ahmad Dahlan lahir pada tanggal 1 Agustus 1869 di kampong Kauman,
Yogyakarta dan wafat pada tanggal 23 Februari 1923 (Mulkhan, 2010:5). K.H.Ahmad
Dahlan adalah putra dari K.H.Abu Bakar bin K.H.Mas Sulaiman (seorang ulama yang
menjabat sebagai khatib di Masjid Agung Yogyakarta). Ibunya bernama Siti Aminah
binti K.H.Ibrahim (seorang penghulu besar di Kasultanan Yogyakarta) (Salam,
2009:56). Namanya semasa kecil adalah Muhammad Darwis dan mendapatkan nama
kehormatan Raden Ngabehi Ngabdul Darwis dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII
karena ayahnya memiliki kedudukan yang tinggi di Kesultanan Yogyakarta.
Namanya berganti menjadi Haji Ahmad Dahlan sekembalinya ia dari Mekah.
Kemudian gelar “kyai” ditambahkan pada namanya sebagai bentuk penghargaan dan
pengakuan secara umum atas pengetahuan agamanya yang mendalam dan keyakinan
masyarakat akan kesalehannya (Mulkhan, 1990:7). Adapun nama Kauman
yang merupakan tempat kelahiran K.H.Ahmad Dahlan berasal dari bahasa Arab,
qoimmuddin yang berarti penegak agama. Corak khas kampung Kauman terlihat pada
masyarakatnya yang merupakan keluaraga ulama dan memiliki pengetahuan serta
pemahaman agama yang cukup luas, sehingga semua anggota masyarakat sangat
menjunjung tinggi nilai dan ajaran agama Islam. Masyarakat Kauman taat dan rajin
melaksanakan kewajiban-kewajiban agama. Di samping itu, sejarah Kampung
Kauman juga berkaitan erat dengan keberadaan Masjid Agung Kesultanan yang
dibangun pada 29 Mei 1773 (Jatmika, 2010: 19) K.H.Ahmad Dahlan merupakan anak
keempat dari tujuh bersaudara, dengan rincian sebagai berikut: (1) Nyai Chatib Arum,
(2) Nyai Muhsinah (Nyai Nur), (3) Nyai H.Soleh, (4) Muhammad Darwis
(K.H.Ahmad Dahlan), (5) Nyai Abdurrahman, (6) Nyai H.Muhammad Faqih, (7)
Muhammad Basir (Anshoriy, 2010:37). K.H.Ahmad Dahlan lahir dan tumbuh dalam
lingkungan yang memiliki tingkat religiusitas tinggi. Lingkungan keluarga yang
agamis dan tenang telah membentuk kepribadian K.H Ahmad Dahlan menjadi sosok
yang memiliki budi pekerti dan akhlak yang baik serta memiliki semangat belajar
yang tinggi (Sudja‟, 2010:5).
Pada tahun 1890, K.H.Ahmad Dahlan dikirim ke Mekah untuk menunaikan
ibadah haji oleh ayahnya. K.H.Ahmad Dahlan tinggal sementara di bangunan khusus
yang bernama Rumah Mataram di Jeddah. Banguna tersebut disumbangkan oleh
Sultan Yogyakarta dan diperuntukkan bagi orang-orang Mataram yang pergi berhaji
atau tinggal disana. Rumah tinggal ini diasuh oleh tiga syekh, yaitu Syekh Muh.
Shadiq, Syekh Abdulgani, dan Abdullah Zalbani. Disamping menunaikan ibadah haji,
K.H.Ahmad Dahlan juga memperoleh kesempatan untuk menimba ilmu dari beberapa
ulama Nusantara yang ada disana. Adapun guru-gurunya pada ibadah haji yang
pertama ini diantaranya adalah Kyai Mahfudz Termas dan Syekh Ahmad Khatib
Minangkabau (Burhani, 2004:56). Disanalah kemudian ia berganti nama dari
Muhammad Darwis menjadi K.H.Ahmad Dahlan. Kemudian K.H.Ahmad Dahlan
menikahi Siti Walidah (terkenal dengan sebutan Nyai Ahmad Dahlan) binti Kyai Haji
Penghulu Haji Fadhil yang merupakan sepupunya sendiri. Dari pernikahannya dengan
Siti Walidah, K.H.Ahmad Dahlan dikaruniai enam orang anak, yaitu Djohanah,
Siradj Dahlan, Siti Busyro, Siti Aisyah, Djumhan (Irfan Dahlan), dan Siti
Zaharah (Mulkhan,1990:62). Setelah mendirikan organisasi Muhammadiyah,
K.H.Ahmad Dahlan menikah kembali dengan tiga orang perempuan. Pertama adalah
R.A.Y Soetidjah Windyaningrum yang dikenal dengan nama Nyai Abdulah menjadi
istri kedua K.H.Ahmad Dahlan. Pada pernikahan tersebut Akad
nikahnya dipimpin langsung oleh kakak dari Siti Walidah. Pernikahan antara Ray
Soetidjah Windyaningrum dengan K.H.Ahmad Dahlan didasari oleh permintaan dari
keraton, sebagai abdi dalem keraton K.H.Ahmad Dahlan tidak biasa menolaknya.
Pernikahan tersebut juga mangisyaratkan bahwa Sultan merestui usaha-usaha
pembaharuan yang sedang dilakukan oleh K.H.Ahmad Dahlan. Akan tetapi,
pernikahan keduanya tidak berlangsung lama karena Nyai Abdullah kemudian
diceraikan. Proses perceraian kedua pasangan ini sangat unik karena dilakukan
melalui surat yang dititipkan melalui kakak Siti Walidah. Pernikahan K.H.Ahmad
Dahlan dengan Nyai Abdullah dikaruniai seorang putra bernama R. Dhurie.
Selanjutnya, pernikahan K.H.Ahmad Dahlan yang ketiga dilakukan atas dasar
permintaan dari sahabatnya Kyai Munawar dari Krapyak, Yogyakarta. Ia
mengharapkan agar K.H.Ahmad Dahlan bersedia menikah dengan adiknya, Nyai
Rum. Adapun tujuan dari pernikahan ini adalah untuk memperkokoh kerjasama
antara Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah. Disamping itu, saat K.H.Ahmad Dahlan
mengadakan dakwah di Cianjur, ia juga diminta untuk menikahi Nyai Aisyah adik
penghulu ajengan atau penghulu bangsawan. Tujuan dari pernikahan tersebut adalah
Penghulu ajengan mengharapkan agar keturunan K.H.Ahmad Dahlan ada yang
tinggal di wilayah Cianjur untuk meneruskan dakwahnya. Adapun dari pernikahan
yang keempat ini melahirkan seorang putri bernama Siti Dandanah K.H. Ahmad
Dahlan sangat memahami bahwa poligami adalah suatu hal yang menyakitkan bagi
perempuan, oleh karena itu ia sangat menjaga perasaan istrinya. Poligami yang
dilakukan oleh K.H.Ahmad Dahlan memang sebuah fakta sejarah yang tidak dapat
dipungkiri, namun yang harus dipahami adalah alasan dibalik dilakukannya poligami
tersebut.
Agama dan dakwah menjadi landasan utama K.H.Ahmad Dahlan sehingga ia
bersedia untuk melakukan poligami. Pernikahan K.H. Ahmad Dahlan selain dengan
Ibu Walidah (Nyai Ahmad Dahlan), dapat dikatakan kesemuanya alasan utamanya
adalah agama dan dakwah. Adapun hubungan Nyai Ahmad Dahlan dengan suami dan
anak anaknya yang lain sangatlah baik. Ia dapat berlaku adil dan selalu memberikan
dorongan kepada suaminya dalam melaksanakan perjuangan dan mendampingi
hingga beliau wafat (Salam, 1968:9).
Pada tahun 1896, K.H.Ahmad Dahlan diangkat sebagai Khatib dengan gelar
Khatib Amin (khatib yang dapat dipercaya) dalam usianya yang relative muda yakni
sekitar 28 tahun, menggantikan ayahnya. Salah satu tugas yang harus dilakukan oleh
seorang khatib adalah memimpin grebeg (upacara kerajaan), seperti Grebeg Mulud
(peringatan kelahiran Nabi Muhammad) dan Grebeg Besar (peringatan kelahiran
raja). Tugas yang diemban ini menjadi bagian dari tanggung jawabnya untuk
memimpin urusan agama Kerajaan. Peran ini juga membukakan jalan baginya untuk
dapat menjalin hubungan baik dengan Sultan Yogyakarta (Darban, 2010: 9-10).
Sultan Hamengkubuwono VII menyetujui gerak langkah K.H.Ahmad Dahlan dalam
memberikan kontribusi atau manfaat nyata untuk masyarakat yang langsung dapat
dirasakan (wawancara dengan bapak Budi pada tanggal 04 Maret 2019). Terdapat
satu peristiwa penting yang berkaitan erat dengan posisi K.H.Ahmad Dahlan sebagai
ulama dan seorang abdi dalem, yaitu ketika ia berpendapat bahwa arah kiblat Masjid
Agung Yogyakarta tidaklah tepat, sehingga ia menyarankan untuk dilakukan suatu
perubahan arah kiblat. Pandangannya mengenai perubahan arah kiblat berbenturan
dengan pandangan yang sudah sangat mengakar dan sudah mapan, sehingga
mengganggu para ulama termasuk pengulu keraton. Adapun reaksi terhadap
pandangan baru ini ternyata luar biasa, ia dicela, dicemooh dan puncaknya adalah
langgarnya dibongkar. Sehubungan dengan kejadian inilah SultanYogyakarta
mengirim K.H.Ahmad Dahlan ke Mekah lagi (Niel, 1984:85). K.H.Ahmad Dahlan
melakukan perjalanan kedua ke Mekah pada tahun 1903. Disana ia tinggal lebih lama
daripada perjalanan sebelumnya ketika pertama kali ke Mekah, yakni sekitar dua
tahun. Ia juga menghabiskan banyak waktunya untuk menuntut ilmu disana.
K.H.Ahmad Dahlan wafat pada tanggal 23 Februari tahun 1923 yakni bertepatan
dengan tanggal 7 Radjab 1340 H dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta. Pada
hari dimana ia wafat, sekolah-sekolah yang ada di Yogyakarta baik negeri maupun
swasta dengan sendirinya libur dalam rangka menghormati kepergian K.H.Ahmad
Dahlan. Kepergiannya juga dihantarkan oleh masyarakat secara berbondong-bondong
Terdapat tujuh (7) pokok pemikiran K.H. Ahmad Dahlan sebagaimana
dikelompokkan oleh K.R.H Hadjid (2008:7-29). Tujuh kerangka pemikiran tersebut
terbagi dalam tujuh pelajaran, meliputi: pertama, bahwa ulama adalah seseorang yang
berilmu dan hatinya hidup (kreatif), serta mengembangkan serta mengamalkan
ilmunya dengan ikhlas. Sebagaimana pesan yang pernah disampaikan olehnya “hidup
hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah.” Kedua,
dalam mencari kebenaran seseorang tidak boleh merasa paling benar sendiri. Oleh
karenanya, orang tersebut harus berani berdialog dan berdiskusi dengan semua pihak
termasuk dengan orang atau golongan yang bertentangan maupun berbeda pendapat
(Hajid, 2008:13 16). Hal tersebut dibuktikan oleh K.H Ahmad Dahlan ketika
berdiskusi masalah agama dengan pastor Van Lith (Hadikusuma, 1973: 107). Ketiga,
manusia dalam mengerjakan pekerjaan apapun harus berulang-ulang, sehingga
kemudian akan terbiasa. Setelah terbiasa, maka akan menjadi suatu kesenangan yang
dicintai serta sukar untuk diubah. Keempat, manusia harus menggunakan akal dan
pikirannya untuk mengetahui hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia. Kelima,
dalam membuat suatu keputusan hendaknya harus mempelajari beraneka ragam
fatwa, membaca beberapa sumber buku atau kitab,memperbincangkan dan
membandingkan terlebih dahulu. Keenam, mayoritas atau kebanyakan pemimpin
belum berani untuk mengorbankan harta benda dan jiwanya dalam perjuangan
mencapai suatu kebenaran. Ketujuh, ilmu terdiri dari pengetahuan teori dan juga amal
(praktek). Dalam mempelajari kedua ilmu tersebut haruslah dengan cara
bertingkat. Kalau setingkat saja belum bisa mengerjakan maka tidak perlu ditambah,
dan begitu seterusnya (Hajid, 2008:7-17).

b. Latar Belakang Pendidikan


K.H.Ahmad Dahlan tidak pernah mengenyam pendidikan formal dengan
memasuki jenjang atau tingkatan sekolah tertentu. Ia mempelajari berbagai ilmu
dengan cara berguru kepada para ulama, para ahli dan membaca buku serta kitab-
kitab. Kemampuan dasar membaca dan menulis didapatkannya dari lingkungan
keluarga, khususnya ayahnya yang menjadi tempat belajar pertama bagi K.H Ahmad
Dahlan tentang agama, selanjutnya membentuk kepribadian. Semangat belajar yang
tinggi ia tunjukkan dengan kegemarannya membaca, dan semangatnya untuk belajar
serta mendalami ilmu agama di Mekah. Pada saat itulah K.H.Ahmad Dahlan
mengalami pergolakan dengan pemikiran-pemikiran pembaharu Islam Memasuki usia
dewasa yaitu sekitar tahun 1870, K.H.Ahmad Dahlan mulai belajar ilmu agama Islam
tingkat lanjut. Diantara ilmu yang ia pelajari adalah ilmu fikih dari K.H.Muhammad
Saleh dan ilmu nahwu shorof dari K.H.Muhsin. Selanjutnya guru-gurunya yang lain
adalah K.H.Muhammad Nur, K.H.Abdul Hamid, R.Ng, Sosro Soegondo, dan R.
Wedana Dwijosewoyo. Sebelum menunaikan ibadah haji yang pertama, K.H.Ahmad
Dahan banyak mempelajari kitab kitab Ahlussunah wal Jamaah yang mengandung
pemikiran filosofis, khususnya dalam ilmu aqaid dan ilmu kalam K.H.Ahmad Dahlan
pernah menuntut ilmu dari beberapa guru dan kyai selama berada di Mekah. Ia pergi
haji pada usia 15 tahun dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada masa tersebut,
K.H. Ahmad Dahlan banyak belajar dengan pemikiran-pemikiran para pembaharu
Islam, sepertiMuhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu
Taimiyah. Disanalah kemudian ia berganti nama menjadi K.H.Ahmad Dahlan Model
pendidikan yang dikembangkan oleh K.H.Ahmad Dahlan adalah konsep pendidikan
yang berelevansi dengan lingkungan kehidupan. Konsep ini melahirkan prinsip ilmu
amaliah dan amal ilmiah. Maksudnya adalah ilmu akan menjadi bermanfaat ketika
diamalkan untuk kepentingan masyarakat banyak Salah seorang murid K.H.Ahmad
Dahlan yaitu Haji Hajid menyatakan bahwa kitab-kitab yang ditelaah oleh K.H.
Ahmad Dahlan merupakan kumpulan kitab yang juga dipelajari oleh kebanyakan
ulama di Indonesia dan ulama di Mekah. Misalnya dalam ilmu aqidah yang
ditelaahnya adalah kitab-kitab beraliran Ahlu al sunnah wa al jama‟ah. Ilmu fiqih
dari madzhab al-Syafi‟yah dalam ilmu tasawuf menurut Imam al Ghazali. Disamping
itu, K.H.Ahmad Dahlan juga mempelajari tafsir al-Manar karangan Rasyid Ridla dan
tafsir juz „amma karangan Muhammad Abduh serta menelaah kitab al „Urwat al
Wutsqa karangan Jamaluddin Al-Afgani. Haji Hajid juga menyebutkan beberapa
kitab yang dilihatnya sewaktu belajar kepada K.H.Ahmad Dahlan, antara lain
(Majelis pustaka:211):
1) Kitab Tauhid, Muhammad Abduh
2) Tafsir Jus „Amma, Muhammad Abduh
3) Kitab Kanzul „ulum
4) Dairatul Ma‟arif, FaridWajdi
5) Kitab-kitab tentang bid‟ah, antara lain Al-Tawassul wa alwasilah dan Ibnu
Taimiyah
6) Kitab Al-Islamwa Nasraniyah, Muhammad Abduh
7) Kitab Idharat Al-Haq, Rahmatullah Hindi
8) Kitab-kitab Hadits karangan ulama Madzhab Hambali.

2. Apa saja organisasi yang dinaungi oleh K.H. Ahmad Dahlan?

K.H.Ahmad Dahlan adalah seorang organisator, yaitu seseorang yang senang


dengan dunia organisasi atau dengan kata lain senang berorganisasi. Hal tersebut sedikit
banyak ia dapatkan dari hasil petualangannya dan pengalamannya dari menuntut ilmu di
Mekah. K.H.Ahmad Dahlan banyak belajar dari hasil karya tokoh pembaru Islam seperti
Sayid Jamaluddin alAfghani. Di samping itu, banyak pula tokoh Ulama Indonesia yang
turut menjadi inspirasi salah satunya yaitu Syaikh Jamil Jambek dari Bukit Tinggi. Oleh
karena itu, tidak heran setelah ia banyak mendapat pelajaran dan ilmu pengetahuan baik
dari dalam negeri maupun dari luar negeri, ia segera mendirikan sebuah organisasi yang
diberi nama Muhammadiyah. Organisasi ini merupakan perwujudan atau tindak lanjut
dari buah pemikirannya. Sebelum mendirikan Muhammadiyah. K.H Ahmad Dahlan telah
melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Pada tahun 1906, ia diangkat
sebagai khatib besar dengan gelar khatib amin. Satu tahun kemudian ia mempelopori
musyawarah alim ulama, dan dalam forum ersebut disampaikannya pendapat bahwa arah
kiblat Masjid Agung kurang tepat. Dari situlah kemudian arah kiblat Masjid Agung
digeser agak ke kanan oleh para muridnya dan bertahan sampai dengan sekarang.
K.H.Ahmad Dahlan merasa bahwa perlu untuk mendirikan suatu organisasi sesuai
dengan perintah agama sebagaimana tercantum dalam Qur‟an Surat Al-Imran: 104
“waltakunminkum ummatun yad'uuna ilaa lkhayri waya'muruuna bilma'ruufi
wayanhawna 'ani lmunkari waulaa-ika humu lmuflihuun” Dan hendaklah diantara kamu
ada segolongan umat yang menyeru pada kebajikan/kebaikan, menyuruh kepada yang
ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar, sesungguhnya merekalah orang-orang yang
beruntung.
Kemudian yang menjadi menarik lagi adalah ketika ia mendirikan
Muhammadiyah, murid-muridnya yang pada awalnya ikut merintis justru tidak duduk
menjadi anggota kepengurusan, akan tetapi justru tokoh-tokoh ulama sepuh Kauman,
karena mereka adalah sosok yang harus dihormati, seperti haji Djaelani, haji sjarkawi.
Murid-murid yang awalnya ikut merintis Muhammadiyah tidak langsung cemburu atau
merasa tidak terima, disinilah letak kecerdasan K.H.Ahmad Dahlan dalam menghandle
segala sesuatunya dengan baik. Anak-anak muda yang merupakan muridnya itulah yang
menjadi agen penggerak, jadi antara ulama sepuh dan anak-anak muda murid K.H.Ahmad
Dahlan saling bersinergi. Ulama sepuh tidak merasa dilompati, dan yang muda pun
memahami serta ikut bergerak. Dalam mengembangkan gagasannya, K.H.Ahmad Dahlan
tidak segan-segan untuk berdiskusi dengan kaum pergerakan. Pada saat itu ia banyak
belajar dari organiasasi Budi Utomo (wawancara dengan Bapak Budi pada tanggal 04
Maret 2019). K.H Ahmad Dahlan adalah sosok yang memiliki rasa ingin tahu tinggi,
termasuk salah satunya untuk mempelajari tata organisasi. Ia kemudian bergabung
dengan perkumpulan Budi Utomo dan menjadi salah seorang pengurus di dalamnya.
K.H.Ahmad Dahlan diperkenalkan dengan organisasi ini oleh Mas Djojosumarto, yang
juga seorang anggota dan teman dekat Dr. Wahidin Sudirohusodo. Ia mempunyai
beberapa kerabat di Kauman dan sering berkunjung ke sana. Setelah mendapatkan
beberapa informasi dari Djojosumarto, berkawan dengan beberapa anggota Boedi
Oetomo, dan menghadiri pertemuan-pertemuannya, K.H.Ahmad Dahlan merasa bahwa
organisasi ini adalah organisasi yang bias sepenuh hati ia dukung (Suja‟,1989: 15-16).
Dari situlah ia banyak mendapatkan ilmu dan pengalaman sekaligus mempunyai
kesempatan untuk berdakwah mengenai agama Islam dan akhlak mulia di perkumpulan
tersebut (hadikoesoemo, 1973:64). .H.Ahmad Dahlan merupakan sosok yang terbuka,
toleran, dan plural, sehingga memberikan kesan yang bagus di mata para anggota Budi
Utomo. Di samping itu, etika dan prinsipnya untuk menggunakan akal sebagai alat
terpenting dalam melihat dan memahami agama, adalah dua alasan lain mengapa Budi
Utomo tidak keberatan bila K.H.Ahmad Dahlan mengajar di sekolah-sekolah pemerintah
(Sudja‟,1989:15-16). Seorang pegawai Belanda yaitu Rinkes, menggambarkan karakter
dan kepribadian Melalui keikutsertaannya sebagai anggota di dalam budi utomo juga
member kesempatan untuk mengajarkan tentang agama Islam kepada siswa-siswa yang
belajar di berbagai Sekolah Belanda. Sekolah-sekolah tersebut antara lain:
1) Kweekschool di jetis setiap hari sabtu dan minggu
2) OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsch Ambtenaren atau sekolah
pamongpraja) di Magelang.

Disamping itu, K.H Ahmad Dahlan juga aktif dalam beberapa organisasi
diantaranya adalah Jami‟yatul khair, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi
Muhammad saw. K.H.Ahmad Dahlan mendirikan sekolah pertamanya, yaitu madrasah
ibtidaiyah (setingkat SD) antara tahun 1908-1909. Sekolah ini diselenggarakan di ruang
tamu rumahnya yang berukuran 2,5 x 6 m, sekolah tersebut dikelola secara modern
dengan menggunakan papan tulis, meja dan kursi. Pengajaran dilakukan dengan sistem
klasikal. Pada awalnya sekolah tersebut hanya memiliki enam orang, namun setengah
tahun kemudian meningkat menjadi 20 orang Adapun anggaran dasar Muhammadiyah
yang paling awal menyebutkan bahwa tujuan dari didirikannya Muhammadiyah adalah:
1) Menyebarkan pengajaran Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumiputera dalam
residensi Yogyakarta (pada 1921 diubah menjadi Hindia Belanda
2) Memajukan perihal agama kepada anggota-anggotanya (Salam, 109).
Muhammadiyah bartujuan untuk meraih cita-citanya dengan melakukan langkah-
langkah berikut (Nakamura, 1993: 47-49):
 Mendirikan sekolah-sekolah yang memadukan antara ilmu agama dan
pengetahuan umum yang diajarkan secara bersamaan
 Menyelenggarakan pengajian ajaran Islam di sekolah pemerintah, swasta, dan luar
sekolah.
 Mendirikan langgar dan masjid.
 Menerbitkan dan membantu penerbitan buku-buku,surat-surat, selebaran, brosur,
dan koran yang berisi tentang keagamaan

Berikut ini adalah susunan pengurus Muhammadiyah secara lengkap pada saat awal
berdirinya dan saat disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda:
Ketua : K.H Ahmad Dahlan
Sekretaris : Haji Abdullah Siradj
Anggota :
1. Haji Ahmad
2. Haji Abdurrahman
3. R. Haji Sjarkawi
4. Haji Mohammad
5. R. Haji Djaelani
6. Haji Anis
7. Haji Moehammad Faqih

Secara garis besar dapat dirunut bahwa periode tahun 1912-1923, merupakan
masa peletakan dasar gerakan Muhammadiyah. Pada periode ini, Muhammadiyah
langsung berada di bawah kepemimpinan K.H.Ahmad Dahlan. Perkembangan
Muhammadiyah terjadi beriringan dengan perkembangan amal usaha Muhammadiyah.
Adapun amal usaha yang pertama adalah sekolah dan pengajian, kemudian meluas
meliputi bidang kesehatan dan kesejahteraan ekonomi. Amal usaha yang lainnya ialah
pembentukan organisasi kaum wanita, hal ini dipertegas dengan pendapat Kutoyo (1998:
152) bahwa pada masa K.H. Ahmad Dahlan, mulai dibentuk organisasi kaum wanita,
yaitu Sapatresna pada tahun 1914 yang kemudian berkembang menjadi Aisyiyah.
Selanjutnya, pada tahun 1918 juga dibentuk kepanduan Hisbul Wathan (HW) yang
merupakan bentuk kepanduan pertama di kalangan masyarakat Islam di Indonesia.
Gagasan pembentukan HW datang dari K.H.Ahmad Dahlan sendiri, sedangkan nama
Hisbul Wathan berasal dari usul Raden Haji Hadjid sebagai pengganti Nam Padvinders
Muhammadiyah (Padvinders, artinya pandu, penunjuk jalan).

3. Apa saja peran K.H Ahmad Dahlan dalam Lintasan Sejarah


Dalam lintasan sejarah Indonesia, K.H.Ahmad Dahlan memilih aspek pendidikan,
sosial dan agama sebagai medan baktinya dalam berjuang untuk kepentingan masyarakat
dan agama. Berikut ini secara lebih rinci mengenai kedua aspek tersebut.
a. Pemikiran K.H Ahmad Dahlan dalam Bidang Pendidikan
Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan mengenai pendidikan tidak terlepas dari
keprihatinannya akan kondisi masyarakat pada saat itu dan kondisi bangsa yang
terjajah oleh pemerintah kolonial. Pada tahun 1912 masyarakat Indonesia berada
dalam kondisi yang memprihatinkan terutama dari sisi pendidikannya, hampir lebih
dari 90% masyarakat mengalami buta huruf, terutama kaum perempuan (Salam,
1968:18). Disamping itu kondisi sosial masyarakat tenggelam dalam kekakuan
(stagnasi), kebodohan dan keterbelakangan, jumud (beku) pikiran dan jiwanya yang
disebabkan oleh adat istiadat yang tidak masuk akal yang terkadang menjurus kepada
syirik (menduakan Tuhan). Banyak ajaran agama yang tidak dimengerti dan dipahami
secara baik dan benar, ibadah hanya dilaksanakan formalitas dan terbatas pada Sholat,
Puasa dan Haji. Sedangkan ajaran Islam yang berkenan dengan kemasyarakatan dan
kemajuan tidak banyak diajarkan (Syaifullah,1997:72).
K.H.Ahmad Dahlan memiliki suatu keyakinan bahwa jalan yang harus ditempuh
atau upaya strategis dalam rangka menyelamatkan masyarakat Indonesia khususnya
umat Islam dari pola berpikir yang statis adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu,
K.H.Ahmad Dahlan menaruh perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan.
Pendidikan pada masa kolonial belanda tidak sungguh-sungguh ingin mencerdaskan
bangsa Indoensia, akan tetapi demi kepentingan mereka sendiri. Penyelenggaraan
pendidikan hanya untuk menciptakan pegawai atau tenaga terampil yang dapat
dibayar murah (Nasution, 2001:4).
Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial belanda di Indoensia
sejak abad XIX berjalan sanggat lambat dan diskriminatif. Sikap diskriminatif
pemerintah kolonial terlihat pada perbedaan pelaksanaan pendidikan bagi pribumi dan
orang-orang Belanda sendiri. Sangat kecil kesempatan bagi anak indonesia untuk
mengeyam bangku pendidikan (Kumalasari, 2016: 106). Politik etis yang secara
teoritis diharapkan mampu meningkatkan taraf kehidupan dan pendidikan
pribumipun, pada kanyataannya hanya memprioritaskan pendidikan yang bersifat
elitis. Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu
masih terbatas pada pendidikan untuk melahirkan tenaga yang terampil (calon-calon
pamon praja). Adapun prinsip-prinsip yang digunakan oleh pemerintah kolonial
Belanda sebagai dasar kebijakan dalam bidang pendidikan yaitu (Sucipto, 2010: 106):
1. Menjaga jarak atau tidak memihak pada salah satu agama tertentu
2. Sistem pendidikan diatur berdasarkan pembedaan lapisan social khususnya
yang ada di Jawa
3. Pendidikan bertujuan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat
dimanfaatkan sebagai alat pendukung kebijakan politik ekonomi pemerintah
colonial. Sekolah tersebut menggunakan model sekolah Barat yaitu system
klasikal dengan menggunakan meja, kursi dan papan tulis. Disamping itu yang
terpenting adalah diberi pelajaran pengetahuan umum dan pelajaran agama di
dalam kelas. Pada waktu itu anak-anak santri Kauman masih merasa asing
pada pelajaran dengan system sekolah klasikal. K.H.Ahmad Dahlan
mengadakan modernisasi dalam bidang pendidikan Islam, dari sistem pondok
yang melulu diajar pelajaran agama Islam dan diajar secara perseorangan
menjadi sistem klasikal dan ditambah dengan pelajaran
pengetahuan umum. Dalam lintasan sejarah dapat dikatakan bahwa pelopor
pendidikan modern pribumi yang paling awal dan berpengaruh adalah
Muhammadiyah (Noer, 1994:84; Pringgodigdo, 1986:91-94). K.H.Ahmad
Dahlan bukan hanya pendiri Muhammadiyah, dan bukan hanya dikenal
sebagai “pembaharu” dalam keagamaan, tapi ia adalah perintis pendidikan
Indonesia seperti halnya Ki Hajar Dewantara (Prodjokusumo, 1989: 30).
Makna penting dari kehadiran Muhammadiyah dalam bidang pendidikan dan
pergerakan nasional dapat dilihat dalam dua sudut pandang. Pertama,
pendidikan pada masa pergerakan kebangsaan menjadi memiliki basis luas
dan berakar kuat dalam masyarakat pribumi. Kedua, semangat dan nilai-nilai
keagamaan (Islam) ikut mewarnai dan menjadi basis pergerakan kebangsaan
(Kuntoro, 2006:136). Perluasan basis gerakan kebangsaan ini memiliki makna
yang sangat strategis, sebab bagi penduduk pribumi dapat dijadikan sebagai
alat untuk melawan penjajah yang berbeda agama (Kahin, 1995:50).
Sistem pendidikan yang dibangun oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah sistem
pendidikan modern, yakni menggunakan sistem klasikal. Pada masa itu,
sistem klasikal ini masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan
Islam. Ide atau pemikiran K.H.Ahmad Dahlan dalam pendidikan dihadapkan
pada kondisi pendidikan masa kolonial belanda yang bersifat dualistis, yaitu
pendidikan di sekolah belanda yang sekuler dan pendidikan pesantren yang
hanya mengajarkan pengetahuan agama saja.

b. Pemikiran K.H Ahmad Dahlan dalam Bidang Sosial


Peranan K.H.Ahmad Dahlan dalam bidang sosial dimulai dengan
menyederhanakan praktik sosial yang dianggapnya rumit dan menjadi beban bagi
masyarakat. Seperti halnya acara slametan yang bila dilaksanakan akan membutuhkan
modal yang cukup banyak (Sanusi, 2013:91). K.H. Ahmad Dahlan mengembangkan
aksi sosial dan kebudayaaan karena didasari konsepnya tentang kebenaran dan
kebaikan yang berkesesuaian antara teks dan konteks. Selanjutnya, dalam aspek sosial
gerakan Muhammadiyah yang dipelopori dan didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan
banyak memberikan kontribusi bagi pengembangan umat dan bangsa. Diantaranya
Muhammadiyah memelopori pendirian Panti Asuhan dan Rumah Sakit. Bahkan
Lembaga Haji (Badan Penolong Haji) pun dirintis murid KH Ahmad Dahlan, yaitu
Haji Sudja‟ yang mengusahakan usaha perkapalan untuk jamaah haji pada tahun 1921
(Slamet, 2007). Tujuan organisasi Muhammadiyah yang dipelopori oleh K.H. Ahmad
Dahlan secara umum lebih ditekankan pada amal, karya dan gerak dakwah. Ruang
lingkup amal usaha Muhammadiyah meliputi empat pokok persoalan, yaitu: aqidah,
aklak, ibadah dan muamalah. Sebagai gerakan dakwah amar ma‟ruf nahi munkar,
Muhammadiyah lebih menitikberatkan peratian dakwahnya dalam bidang sosial dan
sebagian kecil ekonomi, disamping bidang-bidang pengkajian dan pendalaman
keislaman (Mulkhan, 1990: 107). Tahun 1920 merupakan tahun kreativitas
Muhammadiyah periode awal. Pada tahun itu dibentuk berbagai lembaga, badan
pembantu serta amal usaha.
Di tahun itu juga dikembangkan sistem pengumpulan dan pembagian zakat.
Gerakan modernisasi pengelolaan zakat tersebut diawali oleh warga Muhmmadiyah
sendiri yang memang wajib zakat. Seterusnya hal tersebut kemudian diikuti oleh
masyarakat yang mempercayakan pembagian zakatnya kepada Muhammadiyah untuk
diteruskan kepada orang orang yang berhak untuk menerimanya. Salah satu wujud
kepekaan Muhammadiyah dalam permasalahan kehidupaan sosial adalah
didirikannya panti asuhan. Panti asuhan merupakan rumah khusus yang menampung
anak anak yatim piatu, dibentuk pada tahun 1920.
Disamping panti asuhan, pada waktu itu Muhammadiyah juga mendirikan Rumah
Penampungan fakir miskin. Selanjutnya pada tahun 1921, terdapat satu pembentukan
badan lain yaitu Bagian Penolong Haji. Pembentukan bagian ini, di kemudian hari
memberi inspirasi Departemen Agama RI membentuk salah satu unit kerja yang
bertanggungjawab mengurus perjalanan haji di Indonesia di bawah satu Dirjen yakni
Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji (Mulkhan, 1990: 34-35). Di bidang
sosial didirikan poliklinik dan rumah anak yatim. Ia juga memberikan pendidikan
bagi para pemuda dan para wanita yang dianggapnya sebagai tiang negara, sebab di
tangan wanita lah terletak nasib pendidikan anak anak. Dalam memperjuangkan cita
citanya, K.H. Ahmad Dahlan tidak pernah bersifat agresif, melainkan dengan
menunjukkan sikap sebagai seorang pendidik yang bijaksana (Salam, 1968:23).
Pendekatan pendidikan K.H Ahmad Dahlan bersifat dialogis dan mengajukan
pertanyaan untuk merangsang berpikir dengan cara baru. Muhammadiyah memiliki
majelis-majelis (departemen) yang terdiri dari (Salam, 1968:34): (1) Majelis Tardjih,
(2) Majelis Hikmah, (3) Majelis Aisyiah, (4) Majelis Hizbul Wathan, (5) Majelis
Pemuda, (6) Majelis Pengajaran, (7) Majelis Taman Pustaka, (8) Majelis Tabligh, (9)
Majelis Penolong Kesengsaraan Umum (P.K.U), (10) Majelis Ekonomi, (11) Majelis
Wakaf dan Kehartabendaan. Nama-nama seperti Ibnu Taimiyah, Jamaludin al
Afghani dan Muhammad Abduh, di kalangan umat Islam dikenal sebagai ulama
penggerak pembaharuan. Gagasan dan pikiran K.H.Ahmad Dahlan banyak
dipengaruhi oleh ulama-ulama tersebut, sehingga banyak pakar yang menyatakan
K.H.Ahmad Dahlan sebagai tokoh pembaharu dan Muhammadiyah dinyatakan
sebagai gerakan pembaharuan (Majelis Pustaka Muhammadiyah:211-2012). Etika dan
semangat kewelasasihan kepada sesama ditunjukkan dengan sikap K.H.Ahmad
Dahlan yang gencar menggerakkan masyarakat membela mereka yang tertindas,
terlantar dan gelandangan. Sikap terbuka, toleran dan membela yang menderita dari
K.H.Ahmad Dahlan itulah yang membuat dokter Soetomo, elit priyayi Jawa,
pemimpin Budi Utomo tertarik pada gerakan Muhammadiyah. Dokter Soetomo
menyebut fokus, asas dan etos utama gerakan itu adalah ke-welas-asih-an pada
sesama, terutama rakyat kecil yang tertindas. Oleh karena itu, Soetomo kemudian
bersedia menjadi advisor HB (Hooft Bestuur) Muhammadiyah bidang kesehatan
(Mulkan, 2011: 17).
Gagasan dan aksi sosial K.H.Ahmad Dahlan mengacu pada landasan tentang
kesesuaian natural tafsir Al-Qur‟am, pengalaman kemanusiaan universal, dan temuan
iptek. Adapun penafsiran K.H.Ahmad Dahan dalam surat Al-Ma‟un (1-7) secara
substansif mengandung beberapa pesan. Pertama, orang yang acuh tak acuh terhadap
kaum dhu‟afa, tergolong si pendusta agama. Kedua, ibadah shalat sebagai ibadah
mahdhah memiliki dimensi sosial yang tidak diragukan sedikitpun. Ibadah shalat
menjadi kurang lengkap dan kurang berfaedah jika tidak dibarengi dengan ibadah
sosial. Ketiga, melakukan amal shalih tidak boleh riya, seperti ingin mencari nama
atau popularitas atau berudang dibalik batu demi uang. Keempat, tidak sedikit orang
yang terjerembab ke dalam egosime sehingga enggan mengulurkan pertolongan
(material dan imaterial) terhadap kaum mustadh‟afin.

c. Pemikiran K.H Ahmad Dahlan dalam Bidang Keagamaan


K.H.Ahmad Dahlan berusaha keras untuk menghilangkan stigma kaum penjajah
bahwa agama Islam itu kolot dan bodoh, karena itu umat Islam perlu diberikan
pencerahan ilmu dan iman. K.H.Ahmad Dahlan memegang teguh semangat “amar
makruf nahi munkar” (Muthi‟, dkk, 2015:206-207). Salah satu tindakan yang
dilakukan oleh K.H.Ahmad Dahlan adalah berusaha untuk membenarkan arah kiblat
Masjid Agung yang belum tepat mengarah pada kiblat. Akan tetapi usahanya tersebut
ternyata mendapatkan tanggapan yang tidak baik, bahkan sebagai konsekuensi dari
usahanya tersebut adalah Kanjeng penghulu mengambil sikap tegas. Tepatnya pada
bulan Ramadhan, setelah selesai sholat tarawih datanglah beberapa orang suruhan
Kanjeng Penghulu untuk meruntuhkan dan menghancurkan surau K.H.Ahmad Dahlan
(Aqib, 1983:24).
Disamping itu, aktivitas dakwah yang dilakukan oleh K.H.Ahmad
Dahlan dinilai sebagai pelanggaran karena menentang pendapat kepala penghulu,
sehingga K.H. Ahmad Dahlan dijatuhi hukuman yaitu diberhentikan sebagai khatib di
Masjid Agung Kauman (Nugraha, 2009: 31). Akan tetapi, Hukuman ini tidak
mengendurkan aktivitas dakwah Kyai Haji Ahmad Dahlan. Ia terus meluaskan
wilayah dakwahnya Pengamalan nilai-nilai agama yang dilakukan oleh K.H.Ahmad
Dahlan selalu dilandasi oleh rasa ikhlas. Menurutnya, “Manusia itu semua mati
(perasaannya) kecuali para ulama (orang-orang yang berilmu). Ulama itu dalam
kebingungan, kecuali mereka yang beramal, mereka yang beramalpun semuanya
khawatir kecuali mereka yang ikhlas dan bersih”.
Spirit keagaaman K.H.Ahmad Dahlan tercermin dari nama perkumpulan yang
didirikannya yaitu Muhammadiyah. Muhammadiyah bukan perkumpulan politik,
karena itu bidang kegiatannya meliputi bidang keagamaan, pendidikan, dan
kemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan tujuan organisasi yang meliputi
(Salam, 1968: 57-58):
1) Mengembalikan dasar kepercayaan umat islam kepada Al Qur‟an dan Hadist.
2) Menafsirkan ajaran islam secara modern.
3) Mengamalkan ajaran-ajaran islam dalam kehidupan bermasyarakat.
4) Memperbaharui sistem pendidikan Islam secara modern sesuai dengan
kehendak dan tuntutan zaman.
5) Mengitensifkan ajaran-ajaran Islam ke dalam, serta mempergiat usaha dakwah
ke luar.
6) Membebaskan manusia dari ikatan-ikatan tradisionalisme, konservatisme, dan
formalisme yang membelenggu kehidupan masyarakat Islam sebelumnya.
7) Menegakkan hidup dan kehidupan setiap pribadi, keluarga dan masyarakat
islam sesuai tuntutan agama.
BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Beradasarkan uraian tersebut di atas maka penulis mengambil kesimpulan secara umum
sebagai isi pokok dari makalah ini adalah K. H. Ahmad Dahlan memiliki wawasan dan
semangat juang yang tinggi disebabkan dengan pengembaraan intelektual dan atmosfir
spiritual yang kental dapat mengakomodir dari segala bentuk penyimpangan sehinggah ide-
idenya yang di sebabkan kebodohan masyarakat pada waktu itu.
Pemikiran dalam Misi K. H. Ahrmd Dahlan, menjadikan Islam sebagai way of life untuk
itu suatu keharusan memurnikan dari sinkritime. Pada kenyataannya Beliau suatu kenyataan
beliu memilik karakteristik perpaduan yang canggih sesuai dengan sasaran dan tujuannva
yang ingin dicapai dalarn rangka merespons kebutuhan zaman
Pemahaman dan pengalarnan Islam K. H. Ahmad Dahlan adalah rasional fungsional
dalam arti menelaah sumber utama ajaran Islam dengan kebebasan ajaran akal pikiran dan
kejernihan akal murni, sekaligus rnembiarkan al-Quran berbicara tentang dirinya sendiri
dalam aril tafsir ayat dengan ayat. Fungsional, dalam pengertian kelanjutan dan tuntunan
hasil pemahaman tersebut adalah aksi sosial vaitu perbaikan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpertasi Untuk Aksi, Cet V; Bandung : Mizan, 1993

Maarif,, A. Syafii, Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesi,Bandung: Mizan, 1993


Mulkhan, Abdul Munir, K. H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah: dalam

Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1990

Philby , John, Gerakan Wahabiyah, Saudi Arabiah, New York Preger, 1955 Rahman,
azlur, Islamic Metolologi History Islamabad. Islami Research Institute, 1984

Anda mungkin juga menyukai