AHMAD
DAHLAN
Disusun Oleh:
MUHAMMAD KRISNA HIDAYATULLAH
1910111034
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
JEMBER
2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada tuhan semesta alam ALLAH SWT karena berkat
limpahan rahmat, hidayah dan taufiknya sehingga saya bisa menyelesaikan karya tulis ilmiah ini
dengan baik dan tepat waktu, dengan judul “Substansi Khiththah Muhammadiyah dalam
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Tahun 2002”.
Karya tulis yang saya kerjakan ini dalam rangka pemenuhan tugas mata kuliah AIK yaitu
Agama Islam Kemuhammadiyahan . Yang mana pengumpulan terakhirnya pada saat
pelaksanaan UAS. Maka dari itu saya berusaha mengerjakan sesuai dengan deadline dan sebaik
mungkin. Dengan harapan saya dapat menambah nilai untuk di kalkulasikan dengan nilai-nilai
tugas lainnya termasuk UAS, jadi saya mendapatkan nilai akhir yang maksimal.
Karya tulis ilmiah ini saya kerjakan dengan semaksimal mungkin menggunakan dari
berbagai sumber seperti buku-buku, artikel di internet dan lain-lainnya. Tapi terlepas dari itu
semua, saya sadar diri dengan kemampuan saya yang belum seberapa, sehingga karya tulis
ilmiah ini bisa dikatakan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu saya siap menerima segala
kritik dan sarannya agar saya bisa memperbaikinnya dimasa yang akan datang.
Saya berharap karya tulis ini dapat bermanfaat serta menambah wawasan pembaca dan
juga bisa menjadi pembelajaran bagi banyak orang. Semoga dengan karya tulis ilmiah ini bisa
membantu banyak orang dalam hal karya tulis ilmiah ini mudah dipahami , jadi pembaca dapat
menjadikan karya tulis ilmiah menjadi salah satau referensi dia untuk memahamin hal-hal
menganai kehidupan berbangsa dan bernegara.
penulis
BAB I PENDAHULUAN
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui dan lebih mengenal siapakah K.H. Ahmad Dahlan dalam sejarah
Indonesia
2. Untuk mengetahui apa saja peran K.H Ahmad Dahlan dalam Lintasan Sejarah Indonesia
BAB II PEMBAHASAN
1. Apakah latar belakang dari K.H. Ahmad Dahlan dalam lintasan sejarah Indonesia?
a. Latar Belakang Keluarga
K.H.Ahmad Dahlan lahir pada tanggal 1 Agustus 1869 di kampong Kauman,
Yogyakarta dan wafat pada tanggal 23 Februari 1923 (Mulkhan, 2010:5). K.H.Ahmad
Dahlan adalah putra dari K.H.Abu Bakar bin K.H.Mas Sulaiman (seorang ulama yang
menjabat sebagai khatib di Masjid Agung Yogyakarta). Ibunya bernama Siti Aminah
binti K.H.Ibrahim (seorang penghulu besar di Kasultanan Yogyakarta) (Salam,
2009:56). Namanya semasa kecil adalah Muhammad Darwis dan mendapatkan nama
kehormatan Raden Ngabehi Ngabdul Darwis dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII
karena ayahnya memiliki kedudukan yang tinggi di Kesultanan Yogyakarta.
Namanya berganti menjadi Haji Ahmad Dahlan sekembalinya ia dari Mekah.
Kemudian gelar “kyai” ditambahkan pada namanya sebagai bentuk penghargaan dan
pengakuan secara umum atas pengetahuan agamanya yang mendalam dan keyakinan
masyarakat akan kesalehannya (Mulkhan, 1990:7). Adapun nama Kauman
yang merupakan tempat kelahiran K.H.Ahmad Dahlan berasal dari bahasa Arab,
qoimmuddin yang berarti penegak agama. Corak khas kampung Kauman terlihat pada
masyarakatnya yang merupakan keluaraga ulama dan memiliki pengetahuan serta
pemahaman agama yang cukup luas, sehingga semua anggota masyarakat sangat
menjunjung tinggi nilai dan ajaran agama Islam. Masyarakat Kauman taat dan rajin
melaksanakan kewajiban-kewajiban agama. Di samping itu, sejarah Kampung
Kauman juga berkaitan erat dengan keberadaan Masjid Agung Kesultanan yang
dibangun pada 29 Mei 1773 (Jatmika, 2010: 19) K.H.Ahmad Dahlan merupakan anak
keempat dari tujuh bersaudara, dengan rincian sebagai berikut: (1) Nyai Chatib Arum,
(2) Nyai Muhsinah (Nyai Nur), (3) Nyai H.Soleh, (4) Muhammad Darwis
(K.H.Ahmad Dahlan), (5) Nyai Abdurrahman, (6) Nyai H.Muhammad Faqih, (7)
Muhammad Basir (Anshoriy, 2010:37). K.H.Ahmad Dahlan lahir dan tumbuh dalam
lingkungan yang memiliki tingkat religiusitas tinggi. Lingkungan keluarga yang
agamis dan tenang telah membentuk kepribadian K.H Ahmad Dahlan menjadi sosok
yang memiliki budi pekerti dan akhlak yang baik serta memiliki semangat belajar
yang tinggi (Sudja‟, 2010:5).
Pada tahun 1890, K.H.Ahmad Dahlan dikirim ke Mekah untuk menunaikan
ibadah haji oleh ayahnya. K.H.Ahmad Dahlan tinggal sementara di bangunan khusus
yang bernama Rumah Mataram di Jeddah. Banguna tersebut disumbangkan oleh
Sultan Yogyakarta dan diperuntukkan bagi orang-orang Mataram yang pergi berhaji
atau tinggal disana. Rumah tinggal ini diasuh oleh tiga syekh, yaitu Syekh Muh.
Shadiq, Syekh Abdulgani, dan Abdullah Zalbani. Disamping menunaikan ibadah haji,
K.H.Ahmad Dahlan juga memperoleh kesempatan untuk menimba ilmu dari beberapa
ulama Nusantara yang ada disana. Adapun guru-gurunya pada ibadah haji yang
pertama ini diantaranya adalah Kyai Mahfudz Termas dan Syekh Ahmad Khatib
Minangkabau (Burhani, 2004:56). Disanalah kemudian ia berganti nama dari
Muhammad Darwis menjadi K.H.Ahmad Dahlan. Kemudian K.H.Ahmad Dahlan
menikahi Siti Walidah (terkenal dengan sebutan Nyai Ahmad Dahlan) binti Kyai Haji
Penghulu Haji Fadhil yang merupakan sepupunya sendiri. Dari pernikahannya dengan
Siti Walidah, K.H.Ahmad Dahlan dikaruniai enam orang anak, yaitu Djohanah,
Siradj Dahlan, Siti Busyro, Siti Aisyah, Djumhan (Irfan Dahlan), dan Siti
Zaharah (Mulkhan,1990:62). Setelah mendirikan organisasi Muhammadiyah,
K.H.Ahmad Dahlan menikah kembali dengan tiga orang perempuan. Pertama adalah
R.A.Y Soetidjah Windyaningrum yang dikenal dengan nama Nyai Abdulah menjadi
istri kedua K.H.Ahmad Dahlan. Pada pernikahan tersebut Akad
nikahnya dipimpin langsung oleh kakak dari Siti Walidah. Pernikahan antara Ray
Soetidjah Windyaningrum dengan K.H.Ahmad Dahlan didasari oleh permintaan dari
keraton, sebagai abdi dalem keraton K.H.Ahmad Dahlan tidak biasa menolaknya.
Pernikahan tersebut juga mangisyaratkan bahwa Sultan merestui usaha-usaha
pembaharuan yang sedang dilakukan oleh K.H.Ahmad Dahlan. Akan tetapi,
pernikahan keduanya tidak berlangsung lama karena Nyai Abdullah kemudian
diceraikan. Proses perceraian kedua pasangan ini sangat unik karena dilakukan
melalui surat yang dititipkan melalui kakak Siti Walidah. Pernikahan K.H.Ahmad
Dahlan dengan Nyai Abdullah dikaruniai seorang putra bernama R. Dhurie.
Selanjutnya, pernikahan K.H.Ahmad Dahlan yang ketiga dilakukan atas dasar
permintaan dari sahabatnya Kyai Munawar dari Krapyak, Yogyakarta. Ia
mengharapkan agar K.H.Ahmad Dahlan bersedia menikah dengan adiknya, Nyai
Rum. Adapun tujuan dari pernikahan ini adalah untuk memperkokoh kerjasama
antara Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah. Disamping itu, saat K.H.Ahmad Dahlan
mengadakan dakwah di Cianjur, ia juga diminta untuk menikahi Nyai Aisyah adik
penghulu ajengan atau penghulu bangsawan. Tujuan dari pernikahan tersebut adalah
Penghulu ajengan mengharapkan agar keturunan K.H.Ahmad Dahlan ada yang
tinggal di wilayah Cianjur untuk meneruskan dakwahnya. Adapun dari pernikahan
yang keempat ini melahirkan seorang putri bernama Siti Dandanah K.H. Ahmad
Dahlan sangat memahami bahwa poligami adalah suatu hal yang menyakitkan bagi
perempuan, oleh karena itu ia sangat menjaga perasaan istrinya. Poligami yang
dilakukan oleh K.H.Ahmad Dahlan memang sebuah fakta sejarah yang tidak dapat
dipungkiri, namun yang harus dipahami adalah alasan dibalik dilakukannya poligami
tersebut.
Agama dan dakwah menjadi landasan utama K.H.Ahmad Dahlan sehingga ia
bersedia untuk melakukan poligami. Pernikahan K.H. Ahmad Dahlan selain dengan
Ibu Walidah (Nyai Ahmad Dahlan), dapat dikatakan kesemuanya alasan utamanya
adalah agama dan dakwah. Adapun hubungan Nyai Ahmad Dahlan dengan suami dan
anak anaknya yang lain sangatlah baik. Ia dapat berlaku adil dan selalu memberikan
dorongan kepada suaminya dalam melaksanakan perjuangan dan mendampingi
hingga beliau wafat (Salam, 1968:9).
Pada tahun 1896, K.H.Ahmad Dahlan diangkat sebagai Khatib dengan gelar
Khatib Amin (khatib yang dapat dipercaya) dalam usianya yang relative muda yakni
sekitar 28 tahun, menggantikan ayahnya. Salah satu tugas yang harus dilakukan oleh
seorang khatib adalah memimpin grebeg (upacara kerajaan), seperti Grebeg Mulud
(peringatan kelahiran Nabi Muhammad) dan Grebeg Besar (peringatan kelahiran
raja). Tugas yang diemban ini menjadi bagian dari tanggung jawabnya untuk
memimpin urusan agama Kerajaan. Peran ini juga membukakan jalan baginya untuk
dapat menjalin hubungan baik dengan Sultan Yogyakarta (Darban, 2010: 9-10).
Sultan Hamengkubuwono VII menyetujui gerak langkah K.H.Ahmad Dahlan dalam
memberikan kontribusi atau manfaat nyata untuk masyarakat yang langsung dapat
dirasakan (wawancara dengan bapak Budi pada tanggal 04 Maret 2019). Terdapat
satu peristiwa penting yang berkaitan erat dengan posisi K.H.Ahmad Dahlan sebagai
ulama dan seorang abdi dalem, yaitu ketika ia berpendapat bahwa arah kiblat Masjid
Agung Yogyakarta tidaklah tepat, sehingga ia menyarankan untuk dilakukan suatu
perubahan arah kiblat. Pandangannya mengenai perubahan arah kiblat berbenturan
dengan pandangan yang sudah sangat mengakar dan sudah mapan, sehingga
mengganggu para ulama termasuk pengulu keraton. Adapun reaksi terhadap
pandangan baru ini ternyata luar biasa, ia dicela, dicemooh dan puncaknya adalah
langgarnya dibongkar. Sehubungan dengan kejadian inilah SultanYogyakarta
mengirim K.H.Ahmad Dahlan ke Mekah lagi (Niel, 1984:85). K.H.Ahmad Dahlan
melakukan perjalanan kedua ke Mekah pada tahun 1903. Disana ia tinggal lebih lama
daripada perjalanan sebelumnya ketika pertama kali ke Mekah, yakni sekitar dua
tahun. Ia juga menghabiskan banyak waktunya untuk menuntut ilmu disana.
K.H.Ahmad Dahlan wafat pada tanggal 23 Februari tahun 1923 yakni bertepatan
dengan tanggal 7 Radjab 1340 H dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta. Pada
hari dimana ia wafat, sekolah-sekolah yang ada di Yogyakarta baik negeri maupun
swasta dengan sendirinya libur dalam rangka menghormati kepergian K.H.Ahmad
Dahlan. Kepergiannya juga dihantarkan oleh masyarakat secara berbondong-bondong
Terdapat tujuh (7) pokok pemikiran K.H. Ahmad Dahlan sebagaimana
dikelompokkan oleh K.R.H Hadjid (2008:7-29). Tujuh kerangka pemikiran tersebut
terbagi dalam tujuh pelajaran, meliputi: pertama, bahwa ulama adalah seseorang yang
berilmu dan hatinya hidup (kreatif), serta mengembangkan serta mengamalkan
ilmunya dengan ikhlas. Sebagaimana pesan yang pernah disampaikan olehnya “hidup
hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah.” Kedua,
dalam mencari kebenaran seseorang tidak boleh merasa paling benar sendiri. Oleh
karenanya, orang tersebut harus berani berdialog dan berdiskusi dengan semua pihak
termasuk dengan orang atau golongan yang bertentangan maupun berbeda pendapat
(Hajid, 2008:13 16). Hal tersebut dibuktikan oleh K.H Ahmad Dahlan ketika
berdiskusi masalah agama dengan pastor Van Lith (Hadikusuma, 1973: 107). Ketiga,
manusia dalam mengerjakan pekerjaan apapun harus berulang-ulang, sehingga
kemudian akan terbiasa. Setelah terbiasa, maka akan menjadi suatu kesenangan yang
dicintai serta sukar untuk diubah. Keempat, manusia harus menggunakan akal dan
pikirannya untuk mengetahui hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia. Kelima,
dalam membuat suatu keputusan hendaknya harus mempelajari beraneka ragam
fatwa, membaca beberapa sumber buku atau kitab,memperbincangkan dan
membandingkan terlebih dahulu. Keenam, mayoritas atau kebanyakan pemimpin
belum berani untuk mengorbankan harta benda dan jiwanya dalam perjuangan
mencapai suatu kebenaran. Ketujuh, ilmu terdiri dari pengetahuan teori dan juga amal
(praktek). Dalam mempelajari kedua ilmu tersebut haruslah dengan cara
bertingkat. Kalau setingkat saja belum bisa mengerjakan maka tidak perlu ditambah,
dan begitu seterusnya (Hajid, 2008:7-17).
Disamping itu, K.H Ahmad Dahlan juga aktif dalam beberapa organisasi
diantaranya adalah Jami‟yatul khair, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi
Muhammad saw. K.H.Ahmad Dahlan mendirikan sekolah pertamanya, yaitu madrasah
ibtidaiyah (setingkat SD) antara tahun 1908-1909. Sekolah ini diselenggarakan di ruang
tamu rumahnya yang berukuran 2,5 x 6 m, sekolah tersebut dikelola secara modern
dengan menggunakan papan tulis, meja dan kursi. Pengajaran dilakukan dengan sistem
klasikal. Pada awalnya sekolah tersebut hanya memiliki enam orang, namun setengah
tahun kemudian meningkat menjadi 20 orang Adapun anggaran dasar Muhammadiyah
yang paling awal menyebutkan bahwa tujuan dari didirikannya Muhammadiyah adalah:
1) Menyebarkan pengajaran Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumiputera dalam
residensi Yogyakarta (pada 1921 diubah menjadi Hindia Belanda
2) Memajukan perihal agama kepada anggota-anggotanya (Salam, 109).
Muhammadiyah bartujuan untuk meraih cita-citanya dengan melakukan langkah-
langkah berikut (Nakamura, 1993: 47-49):
Mendirikan sekolah-sekolah yang memadukan antara ilmu agama dan
pengetahuan umum yang diajarkan secara bersamaan
Menyelenggarakan pengajian ajaran Islam di sekolah pemerintah, swasta, dan luar
sekolah.
Mendirikan langgar dan masjid.
Menerbitkan dan membantu penerbitan buku-buku,surat-surat, selebaran, brosur,
dan koran yang berisi tentang keagamaan
Berikut ini adalah susunan pengurus Muhammadiyah secara lengkap pada saat awal
berdirinya dan saat disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda:
Ketua : K.H Ahmad Dahlan
Sekretaris : Haji Abdullah Siradj
Anggota :
1. Haji Ahmad
2. Haji Abdurrahman
3. R. Haji Sjarkawi
4. Haji Mohammad
5. R. Haji Djaelani
6. Haji Anis
7. Haji Moehammad Faqih
Secara garis besar dapat dirunut bahwa periode tahun 1912-1923, merupakan
masa peletakan dasar gerakan Muhammadiyah. Pada periode ini, Muhammadiyah
langsung berada di bawah kepemimpinan K.H.Ahmad Dahlan. Perkembangan
Muhammadiyah terjadi beriringan dengan perkembangan amal usaha Muhammadiyah.
Adapun amal usaha yang pertama adalah sekolah dan pengajian, kemudian meluas
meliputi bidang kesehatan dan kesejahteraan ekonomi. Amal usaha yang lainnya ialah
pembentukan organisasi kaum wanita, hal ini dipertegas dengan pendapat Kutoyo (1998:
152) bahwa pada masa K.H. Ahmad Dahlan, mulai dibentuk organisasi kaum wanita,
yaitu Sapatresna pada tahun 1914 yang kemudian berkembang menjadi Aisyiyah.
Selanjutnya, pada tahun 1918 juga dibentuk kepanduan Hisbul Wathan (HW) yang
merupakan bentuk kepanduan pertama di kalangan masyarakat Islam di Indonesia.
Gagasan pembentukan HW datang dari K.H.Ahmad Dahlan sendiri, sedangkan nama
Hisbul Wathan berasal dari usul Raden Haji Hadjid sebagai pengganti Nam Padvinders
Muhammadiyah (Padvinders, artinya pandu, penunjuk jalan).
3.1 KESIMPULAN
Beradasarkan uraian tersebut di atas maka penulis mengambil kesimpulan secara umum
sebagai isi pokok dari makalah ini adalah K. H. Ahmad Dahlan memiliki wawasan dan
semangat juang yang tinggi disebabkan dengan pengembaraan intelektual dan atmosfir
spiritual yang kental dapat mengakomodir dari segala bentuk penyimpangan sehinggah ide-
idenya yang di sebabkan kebodohan masyarakat pada waktu itu.
Pemikiran dalam Misi K. H. Ahrmd Dahlan, menjadikan Islam sebagai way of life untuk
itu suatu keharusan memurnikan dari sinkritime. Pada kenyataannya Beliau suatu kenyataan
beliu memilik karakteristik perpaduan yang canggih sesuai dengan sasaran dan tujuannva
yang ingin dicapai dalarn rangka merespons kebutuhan zaman
Pemahaman dan pengalarnan Islam K. H. Ahmad Dahlan adalah rasional fungsional
dalam arti menelaah sumber utama ajaran Islam dengan kebebasan ajaran akal pikiran dan
kejernihan akal murni, sekaligus rnembiarkan al-Quran berbicara tentang dirinya sendiri
dalam aril tafsir ayat dengan ayat. Fungsional, dalam pengertian kelanjutan dan tuntunan
hasil pemahaman tersebut adalah aksi sosial vaitu perbaikan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpertasi Untuk Aksi, Cet V; Bandung : Mizan, 1993
Philby , John, Gerakan Wahabiyah, Saudi Arabiah, New York Preger, 1955 Rahman,
azlur, Islamic Metolologi History Islamabad. Islami Research Institute, 1984