Anda di halaman 1dari 14

STRUKTUR KAYU

RUMAH JOGLO
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada masyarakat Jawa yang rural agraris, pengetahuan membangun rumah dilakukan secara
turun temurun (tradisi) dengan menggabungkan satu bahan dengan bahan lain dalam bentuk
konstruksi berdasarkan perhitungan rasional (tektonika) (Nasution, 2001). Pembangunan rumah
tersebut dilakukan dengan cara yang sederhana (teknologi lokal) dan menggunakan bahan alami
(lokal).
Rumah merupakan manifestasi dari kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos serta pandangan
hidup masyarakat Jawa. Pembagian ruangan pada bangunan Jawa didasarkan atas klasifikasi
simbolik yang diantaranya berdasarkan dua kategori yang berlawanan atau saling melengkapi
yang oleh Tjahjono (1990) disebut sebagai dualitas (duality). Selain itu, ada pemusatan
(sentralitas) dalam tata ruang bangunan.
Rumah Jawa yang ideal paling tidak terdiri dari dua atau tiga unit bangunan, yakni pendopo
(ruang untuk pertemuan), pringgitan (ruang untuk pertunjukan) dan dalem (ruang inti keluarga).
Dalem dibedakan menjadi bagian luar yang disebut dengan emperan serta bagian dalam yang
tertutup dinding. Bagian dalam terdiri dari dua bagian (depan dan belakang) atau tiga bagian
(depan, tengah dan belakang). Bagian belakang terdiri atas sentong kiwo, sentong tengen serta
sentong tengah. Orientasi bangunan adalah arah selatan.
Bangunan Tradisional Jawa, menurut Dakung (1987), dibedakan menjadi lima klasifikasi
menurut bentuk atapnya, yaitu: atap Panggang Pe, atap Kampung, atap Limasan, atap Joglo dan
atap Tajug. Dari klasifikasi tersebut terdapat hirarki kesempurnaan atau keutamaan dilihat dari
kompleksitas strukturnya, teknik pengerjaannya, jumlah material bangunan, biaya serta tenaga
yang digunakan. Menurut Tjahjono, perbedaan bentuk pada rumah Jawa menunjukkan status
sosial, sedangkan persamaan dalam susunan ruang menandakan adanya pandangan hidup yang
diwujudkan melalui aturan-aturan dalam kehidupan rumah tangga.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari makalah ini adalah seperti apakah konstruksi rumah Joglo?
C. TUJUAN
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui konstruksi rumah Joglo.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DESKRIPSI RUMAH JOGLO


Rumah adat joglo merupakan rumah peninggalan adat kuno dengan karya seni yang bermutu
dan memiliki nilai arsitektur tinggi sebagai wujud dari kebudayaan daerah yang sekaligus
sebagai wujud dari gaya seni bangunan tradisional.
Joglo merupakan kerangka bangunan utama dari rumah adat Kudus yang terdiri atas saka guru
berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang sanga (tumpang sembilan) atau tumpang
telu (tumpang tiga) di atasnya. Struktur joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur
utama rumah, juga sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk pencu.
Pada arsitektur bangunan rumah joglo, seni arsitektur bukan sekadar pemahaman seni
konstruksi rumah, tetapi juga merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya.
Kecintaan manusia pada cita rasa keindahan, bahkan sikap religiusitasnya direfleksikan dalam
berbagai bentuk rumah joglo. Berdasarkan bentuk keseluruhan tampilan dan bentuk kerangka,
bangunan joglo dapat dibedakan menjadi empat bagian:
Muda (nom): Joglo yang bentuk tampilannya cenderung memanjang dan meninggi (melar).
Tua (tuwa): Joglo yang bentuk tampilannya cenderung pendek (tidak memanjang) dan
atapnya tidak tegak / cenderung rebah (nadhah).
Laki-laki (lanangan): Joglo yang terlihat kokoh karena rangkanya relatif tebal.
Perempuan (wadon / padaringan kebak): Joglo yang rangkanya relatif tipis / pipih.
Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua
yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki
makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar, sementara dua
pintu di samping kanan dan kiri untuk besan.
Pada ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam
memimpin salat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral,
dan dikeramatkan. Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan
pada waktu-waktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-anaknya.

3
Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian,
sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga
satru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan
atau saka geder, selain sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai
pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan Tuhan.
Begitu juga di ruang dalam terdapat empat tiang utama yang disebut saka guru melambangkan
empat hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari sifat manusia.

B. KONSTRUKSI RUMAH JOGLO


Bagian konstruksi inti sekaligus ciri khas rangka atap pada bangunan rumah tradisional Joglo
adalah terletak pada susunan struktur rangka atap brunjung (bentuk piramida terbalik, yaitu
makin ke atas makin melebar dan terletak di atas ke-empat tiang saka guru disusun bertingkat
sampai dengan posisi dudur dan iga-iga) dan susunan rangka uleng (susunan rangka atap
berbentuk piramida yang disusun diatas ke-empat tiang saka guru ke arah bagian dalam). Kedua
struktur ini kita kenal dengan nama tumpangsari bagian dalam dan bagian luar.
Bangunan joglo memiliki empat buah saka guru (tiang utama) dan dua belas buah saka
pengarak. Ukuran saka guru harus lebih tinggi dan lebih besar dari tiang-tiang / saka-saka yang
lain. Ruang yang tercipta dari ke-empat saka guru disebut rong-rongan, yang merupakan
struktur inti joglo.

4
Gambar 1. Detail Sambungan Struktur Rong-rongan
Sumber: Leedam, 1969
Bagian atas saka guru saling dihubungkan oleh balok-balok penyambung / penghubung (blandar
pengeret dan sunduk kili) dan dihimpun-kakukan oleh brunjung yang bersifat jepit dan
menciptakan kekakuan sangat rigid yang melebar ke arah luar dan dalam. Pelebaran ke bagian
luar ini dinamakan elar. Sedangkan pelebaran ke bagian dalam disebut tumpangsari. Elar ini
menopang bidang atap, sementara tumpangsari menopang bidang langit-langit joglo
(pamidhangan).
Biasanya ornamen / ukiran terdapat di kedua ujung tiap tiang. Jumlah susunan dan jenis
ornamen yang dibuat berdasarkan dari keinginan sang pemilik rumah.

Berikut adalah detail dari rangka joglo:

Gambar 2. Detail Rangka Joglo


Sumber: Ismunandar, 2001

5
Keterangan:
1. Molo (mulo / sirah / suwunan), balok yang letaknya paling atas, yang dianggap sebagai
kepala bangunan.
2. Ander (saka gini), Balok yang terletak di atas pengeret yang berfungsi sebagai penopang
molo.
3. Geganja, konstruksi penguat / stabilisator ander.
4. Pengeret (pengerat), Balok penghubung dan stabilisator ujung-ujung tiang; kerangka
rumah bagian atas yang terletak melintang menurut lebarnya rumah dan ditautkan dengan
blandar.
5. Santen, penyangga pengeret yang terletak di antara pengeret dan kili.
6. Sunduk, stabilisator konstruksi tiang untuk menahan goncangan / goyangan.
7. Kili (sunduk kili), balok pengunci cathokan sunduk dan tiang.
8. Pamidhangan (midhangan), rongga yang terbentuk dari rangkaian balok / tumpangsari
pada brunjung.
9. Dhadha peksi (dhadha manuk), balok pengerat yang melintang di tengah-tengah
pamidhangan.
10. Penitih / panitih.
11. Penangkur.
12. Emprit ganthil, penahan / pengunci purus tiang yang berbentuk tonjolan; dudur yang
terhimpit.
13. Kecer, balok yang menyangga molo serta sekaligus menopang atap.
14. Dudur, balok yang menghubungkan sudut pertemuan penanggap, penitih dan penangkur
dengan molo.
15. Elar (sayap), bagian perluasan keluar bagian atas saka guru yang menopang atap.
16. Songgo uwang, konstruksi penyiku / penyangga yang sifatnya dekoratif.

Pemasangan keseluruhan balok kayu rangka ini dengan menggunakan sistem cathokan atau
saling berkaitan dengan sistem tarik, sehingga fungsinya mengikat konstruksi secara rigid.
Sistem pengunci pada bagian rangka brunjung atau tumpangsari bagian atas adalah dengan
sistem sunduk dengan emprit ganthil. Posisi pengunci terletak pada tumpangsari terakhir yang
juga merupakan tempat menopang dudur dan iga-iga untuk menopang konstruksi rangka usuk

6
dan reng atap. Emprit ganthil ini terkadang dibentuk polosan atau diukir dengan bentuk
ornamen jenis nanasan. Pada bagian uleng terdapat dhadha peksi atau dhadha manuk, yaitu
balok melintang yang terletak di tengah pamidhangan. Dhadha peksi ini biasanya diberi ukiran
yang indah untuk memberikan kesan indah dan mempunyai makna-makna tertentu berdasarkan
kepercayaan orang jawa. Struktur atap ini terkadang menggunakan ander pada posisi tengah
diatas dhadha peksi untuk membantu menopang konstruksi molo, tetapi jika pada bagian tengah
uleng sudah menggunakan penutup berupa empyak, maka konstruksi atap ini tidak lagi
menggunakan ander. Kestabilan dan nyawa konstruksi bangunan joglo ini terletak pada
keseluruhan konstruksi atapnya, sebab jika dilihat dari susunannya dapat terlihat dengan jelas
bahwa teori beban konstruksi dengan mengikuti sifat gravitasi bumi yang diratakan dengan
beban berat pada bagian konstruksi atap akan mengakibatkan konstruksi keseluruhan rumah
menjadi stabil dan rigid.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembuatan konstruksi:

1. Jenis kayu

Jenis kayu menentukan dalam pembuatan konstruksi bangunan rumah jawa. Hal ini
karena kualitas kayu berpengaruh langsung terhadap kualitas bangunan. Baik dilihat dari
kekuatannya maupun estetikanya. Ada banyak jenis kayu yang dapat digunakan dalam
pembuatan gebyok, tiang-tiang konstruksi maupun balok konstruksi serta jenis-jenis
ukiran dalam pembuatan rumah limasan dan rumah joglo. Jenis kayu yang sering dipakai
biasanya kayu jati, kayu nangka, kayu sono keling, kayu akasia dan kayu lainnya yang
mempunyai serat padat dan kuat. Selain itu, umur kayu dan ketahanan terhadap cuaca
juga perlu diperhatikan.

2. Sistem struktur

Orang menganggap joglo berstruktur rangka karena memang terlihat batang-batang kayu
yang disusun membentuk rangka. Struktur joglo menerapkan sistem tenda atau tarik. Hal
ini didasarkan pada sistem dan sifat sambungan kayu yang digunakan (cathokan dan ekor

7
burung), semuanya bersifat mengantisipasi gaya tarik. Sistem struktur tarik inilah yang
membuat joglo bersifat fleksibel sehingga dapat tanggap terhadap gaya-gaya gempa.
Bangunan joglo dapat meredam gempa karena memiliki keterkaitan antarstruktur dan
materialnya, sambungan antarkayu yang tidak kaku sehingga fleksibel dan memiliki
toleransi tinggi terhadap gempa.

3. Sistem tumpuan dan sambungan

Sistem tumpuan bangunan joglo menggunakan umpak yang bersifat sendi. Hal ini untuk
mengimbangi perilaku struktur atas yang bersifat jepit. Sistem sambungannya yang tidak
memakai paku, tetapi menggunakan sistem lidah alur, memungkinkan toleransi terhadap
gaya-gaya yang bekerja pada batang-batang kayu. Toleransi ini menimbulkan friksi
sehingga bangunan dapat akomodatif menerima gaya-gaya gempa.

Pondasi umpak diletakan di atas tanah yang telah padat atau keras. Kesederhanaan sistem
konstruksi rumah adat jawa ini ternyata mempunyai fungsi yang sangat hebat, bahwa
pondasi ini membentuk rigitifitas struktur yang dilunakkan, sehingga sistem membuat
bangunan dapat menyelaraskan goyangan-goyangan yang terjadi pada permukaan tanah,
sehingga bangunan tidak akan patah pada tiang-tiangnya jika terjadi gempa besar. Hal ini
dapat terjadi jika kayu-kayu yang digunakan mempunyai kualitas yang baik.

Gambar 3. Pondasi Umpak

8
Sumber: Ismunandar, 2001

Sambungan konstruksi susunan tiang rangka joglo bagian atas berupa sistem cathokan dan
sistem purus. Sistem purus merupakan sistem konstruksi knockdown berupa tonjolan dan
lubang yang saling terkaitkan / saling mengunci satu sama lain.

Sistem sambungan tiang / saka pada umpak pada dasarnya juga berupa sistem purus
(sistem yang sama seperti yang digunakan pada sambungan ander dan sunduk). Kata
purus secara harafiah berarti alat kelamin pria. Purus dipandang sebagai lambang laki-
laki / pria, sementara umpak-nya dipandang sebagai lambang wanita. Jadi konstruksi
purus ini mengandung makna serupa seperti metafora lingga-yoni (Tjahjono 1989).
Sistem konstruksi purus ini memudahkan ketika bangunan akan dibongkar untuk
dipindahkan. Dalam tradisi Jawa memang dikenal istilah bedhol-omah yaitu
membongkar rumah untuk kemudian dipindahkan ke lokasi lain (Dakung, 1982).

Gambar 4. Sambungan Cathokan dan Purus

Sumber: Ismunandar, 2001

9
Gambar 5. Sambungan Ekor Burung

10
Gambar 6. Sambungan Lidah Alur

4. Bahan bangunan

Penggunaan kayu untuk dinding (gebyok) dan genteng tanah liat untuk atap disebabkan
material ini bersifat ringan sehingga relatif tidak terlalu membebani bangunan.

Bangunan didominasi oleh material yang mudah didapat dari Solo, Sragen dan
sekitarnya, antara lain :
> Dinding Kayu Bakar yang dapat ditemukan di Jaten, Karanganyar
> Batubata, bambu palupuh, ranting pohon yang dapat di peroleh dimana saja
> Plester tanah liat yang dapat diperoleh di dalam site kawasan
> Baja bekas yang dapat dipesan di Klithikan Semanggi, Surakarta
Dengan pemakaian material lokal akan mendorong pertumbuhan ekonomi di sekitar lahan

11
12
BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan tersebut di atas, kami menarik kesimpulan sebagai berikut:


1. Bentuk rumah joglo pada mulanya hanya berbentuk persegi (kotak) yang memiliki empat saka
guru (tiang penyangga utama). Namun, seiring perkembangan zaman rumah ini mengalami
banyak sekali perubahan / penambahan, baik dalam bentuk maupun fungsi. Oleh karena itu,
lahir banyak sekali jenis-jenis rumah joglo, diantaranya: joglo jompongan, joglo kepuhan
lawakan, joglo kepuhan limolasan, joglo ceblokan, joglo sinom apitan, dsb.
2. Dalam arsitektur rumah joglo selalu terdapat saka guru (tiang penyangga utama) yang berfungsi
sebagai tiang penyangga atap utama, yaitu atap limasan. Dalam hal ini, atap limasan merupakan
atap segi tiga bangunan tersebut. Saka guru mempunyai filosofi tersendiri, yaitu melambangkan
empat hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari sifat manusia.
Selain itu, tumpangsari juga menjadikan arsitektur joglo semakin terasa keunikannya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal:
Budi Sardjono, Agung. 2009. Konstruksi Rumah Tradisional Kudus. Jurnal Arsitektur .
(unpublished)
P. Prihatmaji, Yulianto. 2007. Perilaku Rumah Tradisional Jawa Joglo Terhadap Gempa. Dimensi
Teknik Arsitektur. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Kristen Petra. Surabaya.

Website:
http://blog.unsri.ac.id/kaskuserr/nais-inpo-gan/rancangan-rumah-joglo-yang-tahan-
gempa/mrdetail/6430/
http://www.gebyok.com/
http://kibagus-homedesign.blogspot.com/2011/01/konstruksi-joglo-rumah-adat-jawa-tengah.html
http://xdesignmw.wordpress.com/category/konstruksi-kayu/page/
http://cruzindoartwork.wordpress.com/artikel/hunian-konsep-joglo/
http://kibagus-homedesign.blogspot.com/2011/01/konstruksi-sambungan-tiang-rangka-joglo.html

14

Anda mungkin juga menyukai