Anda di halaman 1dari 4

 Kasus Keamanan Pangan Susu Bayi

1. Pelanggaran yang di lakukan oleh IPB (Peneliti Susu Bayi) yang terkena bakteri :
a. Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar. Termuat dalam Pasal 4 UU Perlindungan
Konsumen tentang Hak-hak konsumen : Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.”. Point ini menjelaskan bahwa seorang Peneliti
yang dalam hal ini adalah Peneliti dari IPB harus memberikan informasi yang lengkap
tentang mana produk susu yang terkena virus bakteri dan mana produk susu yang tidak
terkena virus bakteri, agar konsumen tidak keliru dalam memilih produk susu, sebab sekarang
ini banyak sekali varian produk susu yang di tawarkan di Pasar Indonesia.
b. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu
dan tidak mengandung cacat tersembunyi. Point ini menjelaskan bahwa Peneliti dari IPB
seolah-olah menutupi kecacatan suatu produk (dengan tidak mengabarkan pada publik)
tentang mana-mana saja produk susu bayi yang berbahaya untuk di konsumsi bahkan untuk
di perjual belikan.
c. Kerugian materi atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen disebabkan oleh tidak
sempurnanya produk. Point ini menjelaskan bahwa produk susu bayi yang tidak diketahui
apakah mengandung bakteri yang mematikan atau tidak menyulitkan konsumen untuk
membeda-bedakan dengan produk susu bayi yang sama sekali tidak mengandung bakteri
yang berbahaya. Jika konsumen salah pilih, maka nyawa yang menjadi ancaman bagi para
konsumen khususnya Balita atau Bayi.
d. Setiap orang yang memasang merek, nama, atau memberi tanda khusus harus
mencantumkan pembeda produknya dengan produk orang lain yang dianggap cacat dan
membahayakan jiwa orang lain (konsumen). Point ini menjelaskan bahwa pentingnya
mengumumkan bahwa produk yang layak untuk di konsumsi itu yang mana dan mana produk
yang harus di tarik dari peredaran pasar. Sebab, jika di biarkan bisa-bisa konsumen
meninggal, apalagi Bayi.
e. IPB (Peneliti Susu Bayi) tidak memperhatikan Pasal 2 dalam UU Perlindungan
Konsumen, yaitu : Asas keamanan dan keselamatan konsumen. Asas ini dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.“. Pasal diatas
jelas, memberikan perlindungan kepada konsumen. Sebab, keamanan konsumen sangat di
butuhkan, mengingat produk susu bayi yang banyak serta keselamatan konsumen dalam
mengonsumsi susu bayi harus di perhatikan dengan cara mengumumkan mana-mana saja
produk susu bayi yang dilarang untuk di konsumsi.

2. Pelanggaran yang di lakukan oleh IPB (Peneliti Susu Bayi) yang terkena Bakteri
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :
a. Pasal 204 ayat (1) menyatakan : “Barangsiapa menjual, menawarkan, menerimakan, atau
membagi-bagikan barang, sedang diketahuinya bahwa barang itu berbahaya bagi jiwa atau
keselamatan orang dan sifatnya yang berbahaya itu didiamkannya dihukum pernjara selama-
lamanya lima belas tahun.”
Ayat (2) dalam pasal ini menentukan : “Kalau ada orang mati lantaran perbuatan itu si
tersalah dihukum penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.”
b. Pasal 205 ayat (1) KUHPidana menyatakan : “Barangsiapa karena salahnya
menyebabkan barang yang berbahaya bagi jiwa atau kesehatan orang, terjual, diterimakan
atau dibagi-bagikan , sedang si pembeli atau yang memperolehnya tidak mengetahui akan
sifatnya yang berbahaya itu, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau kurungan
sel`ma-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,- (empat ribu lima
ratus rupiah).”
Penjelasan dari kedua Pasal tersebut : Pasal 204 dan 205 KUHPidana dimaksudkan adalah
jika pelaku usaha melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, sedang pelaku usaha itu
mengetahui dan menyadari bahwa barang-barang itu berbahaya bagi jiwa atau kesehatan si
pemakai barang dimana pihak pelaku usaha (produsen) tidak mengatakan atau menjelaskan
tentang sifat bahaya dari barang-barang tersebut, tapi jika pelaku usaha yang akan menjual
barang yang berbahaya bagi jiwa dan kesehatan, mengatakan terus terang kepada konsumen
tentang sifat berbahaya itu maka tidak dikenakan pasal ini dalam Undang-undang
Perlindungan Konsumen hal
ini tercantum dalam pasal 18. Barang-barang yang termasuk dalam pasal 204 dan 205
KUHPidana tersebut misalnya makanan, minuman, alat-alat tulis, bedak, cat rambut, cat bibir
dan sebagainya.
c. Pasal 386 ayat (1) menyatakan : “Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan
barang makanan atau minuman atau obat, sedang diketahuinya bahwa barang itu dipalsukan
dan kepalsuan itu disembunyikan, dihukum penjara selama lamanya empat tahun.”
Dan ayat (2) dari pasal ini menyebutkan : “Barang makanan atau minuman atau obat itu
dipandang palsu, kalau harganya atau gunanya menjadi kurang sebab sudah dicampuri
dengan zat-zat lain”.
Penjelasan dari kedua pasal tersebut : Pasal 386 adanya perbuatan yang dilakukan oleh
penjual dengan menjual barang palsu dan kepalsuan tersebut disembunyikan oleh pihak
penjual. Misalnya penjual memalsukan barang makanan atau minuman dengan cara
membuat barang lain yang hampir serupa.
d. Pasal 1365 KUHPerdata merumuskan bahwa “Setiap orang bertanggung jawab tidak
hany` untuk kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya tapi juga disebabkan oleh
kelalaiannya.”
Penjelasan dari Pasal diatas : Maka IPB sebagai peneliti susu bayi tersebut wajib bertanggung
jawab atas yang dialami oleh konsumen (kerugian) yang ditimbulkan akibat kesalahannya
dalam menyembunyikan produk susu bayi tersebut kepada publik. Baik itu kerugian karena
perbuatannya maupun kelalaiannya
 Pengaturan Miras dalam UU
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat dilaksanakan dan dipenuhi dengan jalan
pendidikan dan penyadaran tentangpembangunan kesehatan yang berkesinambungan,
menyeluruh, terarah, dan terpadu yang merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan
dari pembangunan nasional. Pemerintah melalui program pembangunan kesehatan memiliki
tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi- tingginya. Salah satu
upaya untuk mencapai tujuan ini adalah melalui pengaturan, pengendalian, dan pengawasan
minuman beralkohol.
Sudah beberapa kali pemerintah menerbitkan UU atau Peraturan untuk mengendalikan
produksi, distribusi dan konsumsi minuman beralkohol. Pengaturan mengenai minuman
beralkohol saat ini telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari
tingkat undang-undang sampai pada tingkat peraturan daerah. Di tingkat Undang-undang atau
Peraturan Pemerintah, pengaturan minuman beralkohol memang tidak disebutkan secara
spesifik dan tidak mendelegasikan pengaturan minuman beralkohol diatur lebih lanjut dengan
undang-undang, yakni hanya dikategorikan sebagai “minuman” atau “pangan olahan”,
misalnya dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Pasal 111 dan
112), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Pasal 86, 89, 90, 91, 97, 99,
dan 104), dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan
Gizi Pangan.
Pada tingkat peraturan di bawah UU telah ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun
2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol, Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 53/M DAG/ PER/12/2010 sebagai Perubahan Atas Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 43/M- DAG/PER/9/2009 tentang Ketentuan Pengadaan, Pengedaran,
Penjualan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, serta Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 71/M-IND/PER/7/2012 tentang Pengendalian dan Pengawasan Industri
Minuman Beralkohol (yang di dalamnya juga mengatur mengenai minuman beralkohol
tradisional). Pengaturan spesifik mengenai minuman beralkohol diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman
Beralkohol.

Peraturan Presiden ini diterbitkan menyusul Putusan Mahkamah Agung Nomor


42P/HUM/2012 tanggal 18 Juni 2013 yang menyatakan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol sebagai tidak sah, dan
tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam Perpres ini Minuman Beralkohol dikelompokkan
dalam 3 (tiga) golongan, yaitu: a. Minuman Beralkohol Golongan A adalah minuman yang
mengandung etil alkohol atau etanil (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan 5%; b.
Minuman Beralkohol golongan B adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol
dengan kadar lebih dari 5% - 20%; dan c. Minuman Beralkohol golongan C yaitu minuman
yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 20% - 55%.

Menurut Pepres ini, Minuman Beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri hanya
dapat diproduksi oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin usaha industry dari Menteri
Perindustrian. Adapun Minuman Beralkohol yang berasal dari impor hanya dapat diimpor
dari pelaku usaha yang memiliki izin impor dari Menteri Perdagangan. Peredararan Minuman
Beralkohol itu hanya dapat dilakukan setelah memiliki izin dari Kepala

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). “Minuman Beralkohol hanya dapat
diperdagangkan oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin memperdagangkan Minuman
Beralkohol dari Menteri Perdagangan,” bunyi Pasal 4 Ayat (4) Perpres ini. Ditegaskan dalam
Perpres ini, Minuman Beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri atau asal impor
harus memenuhi standar mutu produksi yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian, serta
standar keamanan dan mutu pangan yang ditetapkan oleh Kepala BPOM.

Melalui Perpres ini, Presiden memerintahkan Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah
Khusus Ibukota Jakarta melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap produksi,
peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol Tradisional untuk kebutuhan adat istiadat atau
upacara keagamaan di wilayah kerja masing-masing Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai
pengendalian dan pengawasan Minuman Beralkohol akan diatur oleh menteri/kepala lembaga
sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

Yang paling mutakhir adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-


DAG/PER/1/2015. Peraturan ini dibuat dengan tujuan mempersulit masyarakat terutama
anak-anak muda dalam menjangkau minuman keras. Namun demikian, peraturan tersebut
tidak menjawab realita atas keinginan anak-anak muda untuk mengonsumsi alkohol.

Anda mungkin juga menyukai