Alat Musik Tradisional Bolaang Mongondow Utara berupa kulintago berupa enam buah
bonang barung yang disebut kulintango, sebuah gong kecil yang dinamai bandingo, serta dua
atau tiga gendang atau tambur yang disebut savua. Kulintango masih dimainkan hari ini kala
Bintauna disambangi bupati, gubernur, atau pejabat kenegaraan lain
Selain itu masih terdapat adat dan budaya yang masih dilaksanakan di Bolaang
Mongodow Utara ini antaralain Upacara keagamaan dimana upacara tersebut telah
berasimilasi dengan Budaya dan menjadi prosesi Adat yang dikenal dengan Haulo Opato,
atau Haul yang empat. Bahkan ungkapan tersebut telah dikenal sejak jaman dahulu di masa
Bolangitang yang merupakan cikal bakal Kabupaten Bolaang Mongondow Utara yakni
ungkapan “ Kuadato gu Ku Syara”, yang terkandung pengertian bahwa Hukum agama dan
Hukum adat merupakan dua unsur yang berintergrasi dan saling menopang sehingga tak
terpisahkan satu sama lainnya yang digambarkan dalam setiap pelaksanaan acara Adat atau
Agama.
Ada pun tradisi religi dan adat masyarkat Kaidipang Bolangitang, yang pelaksanaan
sering disebut dengan Haulo opato atau haul yang empat yaitu ;
1. MOHABARU AWALIA PUASA (Mengabarkan awal pelaksanaan puasa
ramadhan)
Ketika bulan ramadhan tiba, tepatnya dibulan sya’ban, masyarakat mengadakan acara
Moharua Hula atau mengenang dan mendoakan para arwah orang yang telah meninggal
dunia. Acara Moharua hula dilaksanakan oleh masyarakat baik oleh keluarga maupun
masyarakat secara umum di desa. Kegiatan pelaksanaan doa terhadap arwah ini dikenal
sebagai Hula Nonantobu koota noona mako, atau bulan memperingati orang atau leluhur
yang telah meninggal dunia.
Selanjutnya menjelang berakhirnya bulan sya’ban, lalu Sangadi (kepala desa)
mengutus Aparat desa, untuk mengundang Tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat
mengadakan pertemuan dengan Sangadi (Kepala Desa) guna membicarakan persiapan dalam
rangka menghadapi bulan ramadhan. Dalam pertemuan ini dibicarakan tentang pelaksanaan
Mohabaru atau mengabarkan kepastian tanggal satu ramadhan kepada Camat yang dalam
kapasitas adat sebagai kepala adat di tingkat Kecamatan atau disebut Ombu Ulea. Dalam
pertemuan ini, Sangadi menunjuk dua orang masyarakat yang mewakili unsur Ku syara gu
kuadato, menghadap Camat dalam rangka pelaksanaan mohabaru ini dengan maksud untuk
memohon kepastian tanggal satu ramadhan. Walaupun secara tekhnis penentuan tanggal 1
Ramadhan telah dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI, melalui hasil isbat
Maksud dari perjalanan kedua utusan adat dan utusan syara menghadap Camat
sebagai bentuk tradisi dari leluhur dalam rangka komunikasi dan silaturahmi antara rakyat
dengan pemimpinnya dalam rangka persiapan datangnya Bulan Suci Ramadhan.
Oleh camat atau Ombu Ulea, utusan tersebut juga disambut secara adat dengan beberapa
penyampaian dilanjutkan dengan petunjuk dari Camat tentang kepastian 1 Ramadan
menunggu penetapan dari tim hisab rukyat dan pengumuman resmi dari Menteri Agama.
Serta pesan untuk disampaikan kepada Pemerintah desa dan masyarakat agar tetap menjaga
persatuan dan kesatuan, para warga.
Adapun kegiatan adat ini dilaksanakan sebagai sebuah bentuk perwujudan integritas
dan penyatuan unsur agama dan adat yang tercermin sepenuhnya dalam ungkapan “Kusyara
gu Kuadato”, dimana pemerintah disamping sebagai penyelenggara Negara dalam bidang
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, juga mempunyai tanggung jawab besar
terhadap pelaksanaan kegiatan keagaman.
Sekembalinya kedua utusan ini ke desa, langsung menghadap pada Sangadi,
menyampaikan amanat yang disampaikan oleh Camat untuk pemerintah desa dan
masyarakat. Selanjutnya menantikan pengumuman secara resmi dari Menteri agama.
Selanjutnya Sangadi kembali mengundang tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat
untuk menyampaikan hasil dari perjalanan kedua utusan ini, dan menjelang malam bulan satu
Ramadan, berkumpul dimesjid untuk bersiap menanti pengumuman 1 ramadhan.
Setelah dimulainya puasa ramadhan, Tokoh adat dan tokoh agama menghadap Sangadi
(kepala desa) untuk membicarakan tentang kegiatan Momulai Kuruani atau memulai Tadarus
Al qur’an, yang secara adat pembacaan Tadarus Al Qur’an ini disebut Kuruanii Sangadi
(Pembacaan Al qur’an) yang dilaksanakan sesudah shalat tarawih dan witir secara berjamaah
dimesjid dengan membaca 2 (dua) juz Alqur’an setiap malam, sehingga pada malam ke-15
yang sering disebut Gubiio nia kunuto, pembacaan Al qur’an telah selesai dibaca dan di
khatam pada malam ke-15 bertepatan dengan pembacaan doa qunut pada setiap rakaat
terakhir sholat witir, selanjutnya pembacaan Al Qur’an dimulai lagi pada malam ke-16, dan
kembali dikhatam pada malam terakhir bulan ramadhan atau disebut Malam takabiru atau
Malam takbiran menjelang 1 syawal atau hari raya idul fitri.
2. MOHABARU MO HARI RAYA (Mengabarkan pelaksanaan Hari raya idul
fitri atau idul adha)
Merupakan kegiatan menjelang akhir pelaksanaan puasa Ramadan untuk menyambut
hari raya idul fitri. Pelaksanaannya sama dengan pelaksanaan Mohabaru awalia puasa, yaitu
Sangadi (kepala desa) selaku kepala adat mengutus 2 (dua) orang kurir adat ke kecamatan
menghadap Camat. Namun yang berbeda dalam pelaksanaan ini yaitu materi penyampaian,
disamping mengabarkan pelaksanaan hari raya idul fitri, juga menyampaikan tentang
pelaksana yang akan bertugas ketika Shalat hari raya idul fitri, yaitu Imam, Khatib dan Bilal.
Penentuan tentang petugas ini dimusyawarahkan oleh seluruh masyarakat, selanjutnya hasil
musyawarah tersebut disahkan oleh Sangadi (kepala desa) dengan Keputusan. Lalu ketiga
nama ini dibawa dan disampaikan kepada Ombu Ulea atau Camat, kemudian dalam
perjalanan ini juga membawa amanat dari pemerintah dan masyarakat desa, untuk meminta
materi khutbah kepada camat, makanya seringkali kegiatan ini dinamakan Mai mogule
khutubah atau memohon khutbah, proses kepergian dan kembalinya kedua utusan utusan ini
sama halnya seperti pada awal puasa.
Setelah dilaksanakan hari raya, kemudian dilakukan kegiatan adat Mai mogunturu
khutubah atau mengantar khutbah, prosesi ini dilaksanakan karena pada saat menjelang hari
raya ada prosesi meminta khutbah, maka secara logika, sesuatu (khutbah) yang diminta tadi,
selesai pelaksanaan hari raya harus juga diantar pada yang memberi dalam hal ini camat.
Berbeda dengan mohabaru yang hanya mengutus 2 orang unsur kusyara dan kuadato, maka
dalam mogunturu khutubah ini disertai oleh seluruh tokoh agama, tokoh adat, dan pemerintah
desa dalam hal ini Sangadi (Kepala Desa), yang bermakna sebagai bentuk ketaatan dan
silaturahmi dari masyarakat dan pemerintah desa kepada jenjang pemimpin yang lebih tinggi,
setelah selesai melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Secara Nasional kegiatan ini
seperti pelaksanaan Open House di tingkat nasional oleh pemimpin Negara kepada rakyatnya.
Inilah rangkaian kegiatan adat saat pelaksanaan ibadah puasa ramadhan sejak dari awal,
pertengahan dan sesupah ramadhan atau hari raya idul fitri. Kegiatan Mohabaru mo hari raya
dan Mogunturu hutubah ini, juga dilaksanakan pada hari raya Idul Adha atau hari raya
Qurban. Di Bolaang Mongondow Utara, Kegiatan Mohabaru dilaksanakan secara berjenjang
(Hierarki) pada tingkatan yang lebih tinggi, dalam hal ini pemerintah dan tokoh masyarakat
kecamatan kepada pemerintah kabupaten (Bupati).
3. MO MALUDU ( Pelaksanaan Maulid Nabi SAW)
Pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW dilaksanakan oleh sebagian besar umat
Islam di Dunia, Termasuk Umat Islam di Indonesia.
Pada Kecamatan Bolangitang dan Kaidipang, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara,
Kegiatan keagamaan maulid ini diisi dengan pelaksanaan adat sebagai perwujudan dari
asimilasi atau pembauran antara ajaran agama dan aturan adat. Secara garis besar ada dua
jenis perayaan ini, yaitu dilaksanakan secara Nasional dan secara Tradisional. Secara
Nasional, pelaksanaannya seremonial pada umumnya dengan kemasan acara resmi, diadakan
ceramah untuk memberikan pencerahan keagamaan dan siraman rohani kepada umat islam,
yang dikemas dengan sambutan pemerintah (Yang tertinggi hadir saat acara)
Berbeda halnya kalau dilaksanakan secara tradisional, maka akan diatur secara adat oleh para
pemangku adat dibawah arahan pemerintah setempat. Sesuai tradisi akan diadakan acara Mo
Zikilo atau berzikir di Masjid sepanjang malam sampai pada keesokan harinya. sedangkan
yang dibaca adalah kitab “Khusus” yang memuat tentang riwayat hidup Nabi SAW, yang
dibaca dan dilagukan sedemikian rupa.
Pada saat ini, orang yang ahli dalam membaca kitab zikilo ini sudah langka,
kebanyakan hanyalah orang-orang yang sudah tua, bahkan di Kecamatan Bolangitang sendiri
hanya ada beberapa desa yang terdapat orang-orang yang ahli melafazkan dan melagukan
zikilo ini,
Para pembaca Zikilio ini mereka solid dalam satu kelompok disatu desa, dimana
dalam kelompok ini terdapat seorang yang disebut Ahalulu/orang yang dianggap sebagai
pemimpin dalam kelopmpok, Ahalulu ini bertanggung jawab mengarahkan para pembaca
agar seirama dalam melagukannya, bahkan Ahalulu ini mempunyai suara yang merdu
sehingga bisa mengguggah orang yang mendengar bacaan lafaz zikir ini.
Dalam acara Mozikilo ini dimulai pada jam 21.00 WIB, sampai dengan keesokan
harinya pukul 10.00 WIB. Sebelum dimulainya acara mozikilo ini, terlebih dahulu diawali
dengan penyampaian kata-kata adat oleh pemangku adat yang disebut Mogukato maksuudu.
Perayaan maulid dengan cara adat ini, diadakan pembuatan Palelato/hidangan makanan yang
dirangkai secara apik, berbentuk seperti kubah mesjid yang berisi beraneka ragam makanan,
kemudian dihiasi dengan aneka kreasi dipasang bendera kecil dari kertas yang bertuliskan
nama Nabi SAW dan para sahabat Beliau, kemudian Palelato ini diletakkan di hadapan para
pembaca zikir dan hanya akan dibuka setelah selesai pembacaan zikilo, bahkan membuka
rangkaian ini juga dengan ritual adat. Setelah selesai acara zikir maulid ini, diakhiri dengan
pembacaan doa. Namun oleh karena keterbatasan para ahli dalam membaca zikilo ini, maka
acara Mozikilo tidak dilakukan, akan tetapi tetap membaca kitab barzanji.
4. MO MERAJI (Perayaan Isra dan Mi’raj Nabi SAW)
Isra dan mi’raj Nabi Muhammad SAW adalah sebuah persistiwa historis dalam
sejarah peradaban islam, sebuah perjalanan suci, perintah langsung dari Allah SWT yang
diabadikan dan didokumentasikan secara tertulis dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Perayaan secara tradisional inilah yang dilaksanakan dengan adat, yaitu dibacakan
riwayat isra mi’raj oleh seseorang yang memiliki keahlian dalam melafalkan dan melagukan
riwayat ini. Dalam istilah tradisionalnya disebut Moriwayato atau meriwayatkan.Pembacaan
riwayat ini dari seorang tua yang ahli dan meniliki kitab riwayat ini, “Kitab khusus” ini
berbahasa Melayu lama dan berhuruf Arab melayu yang disebut huruf begon, bertuliskan
huruf arab, tapi berbahasa Melayu lama. Konon kitab yang sudah usang dimakan usia ini
adalah warisan dari para pegawai syar’i yang diwariskan dari generasi ke generasi
dilaksanakan dimesjid, dihadiri oleh seluruh jamaah mesjid untuk mendengarkan pembacaan
riwayat isra mi’raj. Riwayat dengan versi melayu ini, yang pembacaannya harus dilagukan,
sejak sesudah shalat isya sampai pukul 02.00 WIB yang dibacakan oleh 2 (dua) orang secara
bergantian. Sebelum pembacaan riwayat ini dimulai, didahului dengan pembukaan dengan
kata-kata adat oleh pemangku adat, yang akan membuka acara, memaparkan maksud acara
yang disebut Mogukato Maksuudu yang akan mengantarkan prosesi pembacaan riwayat dari
kitab khusus. Setelah selesai pembacaan riwayat ini, dilanjutkan dengan pembacaan doa,
yang diawali dengan Modoa Bulangita atau pembacaan doa dalam bahasa
Bolangitang/Kaidipang, yang disampaikan secara adat, dilanjutkan dengan pembacaan doa
penutup dipimpin oleh pegawai syar’i dengan diikuti oleh seluruh jamaah yang hadir.
Sebelumnya rombongan pejabat yang datang disambut payung adat kebesaran, irama
kulintang yang terbuat dari perunggu, tarian ‘Tinggulu dan Tobugu’ sebuah tarian perang.
Lalu disambut dengan ‘Sasamoto’ atau kata-kata jemputan mengandung makna puji-pujian
serta harapan kepada pemimpin. Kemudian Prosesi adat yang kusyuk ketika pejabat yang
datang dibersihkan dengan air bersih ditaburi ramu-ramuan untuk menjadikan diri pemimpin
bersahaja, berwibawa, berkarisma, memiliki daya supranatural, dan dijauhkan dari
malapetaka. Ritual sakral ini disebut ‘Kiombu Ai Tabonga’. Dan prosesi ‘Sinuloka’ sebagai
rangkaian upacara tabongo, bermakna penolakan diri dari segala angkara murka yang bisa
menimpa saat menjalankan tugas. Selanjutnya pejabat dikalungkan kain selendang.
Tradisi Mo Learo
Learo adalah salah satu dari sembilan rangkaian adat dalam ketentuan lakar adat
perkawinan pada masyarakat Kecamatan Sangkub, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.
Learo adalah proses menggosok gigi yang dilakukan kepada calon pengantin perempuan oleh
keluarga dari calon mempelai laki-laki yang dilakukan di rumah si perempuan tersebut.
Sebelumnya learo didahului dengan diduyunnya hantaran berupa baki yang berisikan
beberapa macam jenis yang akan digunakan dalam prosesi learo dan beberapa peralatan yang
akan digunakan oleh si perempuan dengan catatan perempuan yang melaksanakan tradisi ini
adalah penduduk asli Bolaang Mongondow Utara dan belum pernah menikah serta tidak
hamil di luar nikah.
Demikian sekelumit tentang adat dan budaya dari Kabupaten Bolaang Mongondow
Utara, semoga tulisan ini bisa memberi sedikit wawasan bagi kita semua tentang adat dan
budaya Bolaang Mongondow Utara, yang merupakan hasil budaya kearifan lokal yang
diajarkan oleh nenek moyang mereka.