Anda di halaman 1dari 7

ADAT SIMALUNGUN

Pakaian Adat Batak Toba


Pakaian adat tradisional Batak Toba biasanya memiliki ciri khas penggunaan Ulos, kain tenun
tradisional dari Suku Batak. Busana Tradisional Batak ini kerap digunakan ketika menghadiri
upacara atau ritual adat seperti pernikahan dan pesta. Meski demikian, Pakaian Adat Batak Toba
disuatu daerah dengan daerah lain (suku yang sama) juga berbeda. Seperti Pakaian Adat di
Tapanuli Utara akan jelas berbeda dengan pakaian Adat di Kabupaten Samosir.

Asal-usul suku simalungun


Terdapat berbagai sumber mengenai asal usul Suku Simalungun, tetapi sebagian besar
menceritakan bahwa nenek moyang Suku Simalungun berasal dari luar Indonesia.
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang:
1. Gelombang pertama (Proto Simalungun), diperkirakan datang dari Nagore (India
Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri
Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan
mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.
2. Gelombang kedua (Deutero Simalungun), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun
yang bertetangga dengan suku asli Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa
rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak
dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah
sampai Batubara.
Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran Toba dan
Samosir.

Terbentuknya Simalungun
Pada kerajaan Nagur di atas, terdapat beberapa panglima (Raja Goraha) yaitu masing-masing
bermarga:
Saragih
Sinaga
Purba
Kemudian mereka dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan selanjutnya mendirikan kerajaankerajaan:
Silou (Purba Tambak)
Tanoh Djawa (Sinaga)
Raya (Saragih)
Selama abad ke-13 hingga ke-15, kerajaan-kerajaan kecil ini mendapatkan serangan dari
kerajaan-kerajaan lain seperti Singasari, Majapahit, Rajendra Chola (India) dan dari Sultan
Aceh, Sultan-sultan Melayu hingga Belanda.
Selama periode ini, tersebutlah cerita "Hattu ni Sapar" yang melukiskan kengerian keadaan saat
itu di mana kekacauan diikuti oleh merajalelanya penyakit kolera hingga mereka menyeberangi
"Laut Tawar" (sebutan untuk Danau Toba) untuk mengungsi ke pulau yang dinamakan Samosir
yang merupakan kependekan dari Sahali Misir (bahasa Simalungun, artinya sekali pergi).
Saat pengungsi ini kembali ke tanah asalnya (huta hasusuran), mereka menemukan daerah
Nagur yang sepi, sehingga dinamakanlah daerah kekuasaan kerajaan Nagur itu sebagai Simasima ni Lungun, bahasa Simalungun untuk daerah yang sepi, dan lama kelamaan menjadi
Simalungun. (M.D Purba, 1997)

Kehidupan masyarakat Simalungun


Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan jagung, karena padi
adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak
mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek.
"Marga" memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika dibandingkan dengan
keadaan Simalungun dengan suku Batak yang lainnya sudah jauh berbeda. Di Tapanuli sudah
berdiri sekolah-sekolah, rumah sakit, dan sekolah-sekolah keterampilan lainnya sehingga sistem
kehidupan Tapanuli lebih maju.
Marga-Marga
Harungguan Bolon
Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu:
Sinaga
Saragih
Damanik
Purba

Keempat marga ini merupakan hasil dari Harungguan Bolon (permusyawaratan besar) antara
4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani
hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).
Keempat raja itu adalah:
1. Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik
berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma,
agung/terhormat, paling cerdas).
Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12,
keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari India, yang
mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi
menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya:
Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja
Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar)
Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur,
Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola)
Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok)
Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja,
Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.

2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih


Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur,
susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau
pemegang undang-undang.
Keturunannya adalah:
Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya.
Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang.
Saragih Garingging kemudian pecah menjadi 2, yaitu:

Dasalak, menjadi raja di Padang Badagei


Dajawak, merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.
Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada 2 keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman Tuan
Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari Saragih
(berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok,
Sidabukke, Simanihuruk.
Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini
berasal dari daerah Samosir.

Rumah Bolon Raja Purba di Pematang Purba, Simalungun.


3. Raja Banua Purba bermarga Purba
Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat
masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana.
Keturunannya adalah: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir).
Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya. Pada abad
ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di
Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi
Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.
4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga atau Tanduk Banua (terletak di perbatasan Simalungun
dengan tanah Karo)
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penyebab
Gempa dan Tanah Longsor.
Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan
Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi yang dipimpin
Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah
Sinaga.
Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa
dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga
Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon).Tideman, 1922
Beberapa Sumber mengatakan bahwa Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari India,
salah satunya adalah menrurut Tuan Gindo Sinaga keturunan dari Tuan Djorlang Hatara.
Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah
Nagaland (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan Myanmar yang memang
memiliki banyak persamaan dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta
bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya.
Marga-marga perbauran
Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya di Pulau Samosir, Silalahi,
Karo, dan Pakpak menimbulkan marga-marga baru. Marga-marga tersebut yaitu:
Saragih: Sidauruk, Sidabalok, Siadari, Simarmata, Simanihuruk, Sidabutar, Munthe dan
Sijabat

Purba: Manorsa, Simamora, Sigulang Batu, Parhorbo, Sitorus dan Pantomhobon


Damanik: Malau, Limbong, Sagala, Gurning dan Manikraja
Sinaga: Sipayung, Sihaloho, Sinurat dan Sitopu
Selain itu ada juga marga-marga lain yang bukan marga Asli Simalungun tetapi kadang
merasakan dirinya sebagai bagian dari suku Simalungun, seperti Lingga, Manurung, Butar-butar
dan Sirait.
Zaman raja-raja Simalungun, orang yang tidak jelas garis keturunannya dari raja-raja disebut
jolma tuhe-tuhe atau silawar (pendatang). Zaman dahulu mereka ini akibat hukum marga
yang keras di Simalungun menyatukan dirinya dengan marga raja-raja agar mendapat hak hidup
di Simalungun.
Demikianlah sehingga makin bertambah banyak marga di Simalungun. Tetapi meski demikian
sejak dahulu hanya ada empat marga pokok di Simalungun yakni Sisadapur : Sinaga, Saragih,
Damanik dan Purba.
Setelah raja-raja dikuasai Belanda sejak ditandatanganinya Korte Verklaring (Perjanjian Pendek)
tahun 1907 dan dihapuskannya kerajaan/feodalisme dalam aksi Revolusi Sosial tanggal 3 Maret
1946 sampai April 1947, peraturan tentang marga itu hapus di Simalungun. Masing-masing
marga kembali lagi ke marga aslinya dan ke sukunya semula.
Penambahan Marga
Pada tahun 1930, Pdt. J. Wismar Saragih pernah menuliskan surat permohonan pada kumpulan
Raja-Raja Simalungun yang berkumpul di Pematang Siantar yang meminta agar Raja-Raja
tersebut menetapkan marga-marga baru sebagai tambahan kepada marga resmi Simalungun
dengan maksud agar semakin banyak marga Simalungun seperti pada suku lain. Walaupun ide
tersebut diterima oleh Raja-Raja tersebut namun permohonan J. Wismar Saragih belum disetujui
karena belum tepat waktunya.
Karena alasan tersebut di atas, sebagian orang berpandangan bahwa masih ada kemungkinan
bertambahnya Marga-marga di Simalungun. Hal ini senada dengan apa yang pernah dituliskan
mengenai asal-usul beberapa Marga. Semisal Marga Saragih Garingging, yang disebut beberapa
sumber berasal dari keturunan Pinangsori, dari Ajinembah (sebuah daerah di Kabupaten Karo)
dan bermigrasi ke Raya sehingga bertemu dengan Raja Nagur dan dijadikan marga Saragih
Garingging. Begitupun marga Purba Tambak, disebutkan berasal dari penduduk daerah
Pagaruyung yang bermigrasi ke daerah Natal, kemudian ke Singkel, hingga tiba di daerah
Tambak, Simalungun. Keturunannya kemudian menikah dengan keturunan Raja Nagur dan
mereka dijadikan sebagai bagian dari Purba, yaitu Purba Tambak. Marga Damanik juga disebut
sebagai pendatang yang menikah dengan keturunan Tuan Silampuyang yang bermarga Saragih
dan kemudian diberi marga.

Perkerabatan Simalungun
Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal silsilah karena penentu partuturan di
Simalungun adalah hasusuran (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul
(kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara-acara adat). Hal ini bisa dilihat saat orang
Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya aha marga ni ham? (apa marga anda) tetapi
hunja do hasusuran ni ham (dari mana asal-usul anda)?"

Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija
pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun
tak berarti, asal penuh kasih). Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan
karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh
karena konsep perkawinan antara raja dengan puang bolon (permaisuri) yang adalah puteri
raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar
(Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, Raja Panei dari Putri
Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta
dari Putri Raja Raya atau Tongging.
Adapun Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai partuturan. Partuturan ini
menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam
beberapa kategori sebagai berikut:
Tutur Manorus / Langsung
Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri.
Tutur Holmouan / Kelompok
Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun
Tutur Natipak / Kehormatan
Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara
sebagai tanda hormat.

Pakaian Adat

Pakaian Adat Simalungun didominasi oleh Ulos. Penutup kepala lelaki disebut Gotong
sedangkan yang dikenakan perempuan disebut Suri-suri.
Sama seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun tidak terlepas dari
penggunaan kain Ulos (disebut Uis di suku Karo). Ulos pada mulanya identik dengan ajimat,
dipercaya mengandung "kekuatan" yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta
memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian
penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di
perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya.
Secara legenda ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber kehangatan bagi manusia (selain
Api dan Matahari), namun dipandang sebagai sumber kehangatan yang paling nyaman karena
bisa digunakan kapan saja (tidak seperti matahari, dan tidak dapat membakar (seperti api).
Selanjutnya orang Batak khususnya Simalungun memiliki kebiasaan mangulosi (memberikan

ulos) yang salah satunya melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada
penerima ulos.
Ulos dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup kepala, penutup badan
bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung dan lain-lain. Ulos dalam berbagai
bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda, misalnya ulos penutup
kepala wanita disebut suri-suri, ulos penutup badan bagian bawah bagi wanita disebut ragipane,
atau yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit.
Ulos dalam pakaian penganti Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang
disebut Dalihan Natolu, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan
tutup bagian bawah (sarung).

Anda mungkin juga menyukai