Terbentuknya Simalungun
Pada kerajaan Nagur di atas, terdapat beberapa panglima (Raja Goraha) yaitu masing-masing
bermarga:
Saragih
Sinaga
Purba
Kemudian mereka dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan selanjutnya mendirikan kerajaankerajaan:
Silou (Purba Tambak)
Tanoh Djawa (Sinaga)
Raya (Saragih)
Selama abad ke-13 hingga ke-15, kerajaan-kerajaan kecil ini mendapatkan serangan dari
kerajaan-kerajaan lain seperti Singasari, Majapahit, Rajendra Chola (India) dan dari Sultan
Aceh, Sultan-sultan Melayu hingga Belanda.
Selama periode ini, tersebutlah cerita "Hattu ni Sapar" yang melukiskan kengerian keadaan saat
itu di mana kekacauan diikuti oleh merajalelanya penyakit kolera hingga mereka menyeberangi
"Laut Tawar" (sebutan untuk Danau Toba) untuk mengungsi ke pulau yang dinamakan Samosir
yang merupakan kependekan dari Sahali Misir (bahasa Simalungun, artinya sekali pergi).
Saat pengungsi ini kembali ke tanah asalnya (huta hasusuran), mereka menemukan daerah
Nagur yang sepi, sehingga dinamakanlah daerah kekuasaan kerajaan Nagur itu sebagai Simasima ni Lungun, bahasa Simalungun untuk daerah yang sepi, dan lama kelamaan menjadi
Simalungun. (M.D Purba, 1997)
Keempat marga ini merupakan hasil dari Harungguan Bolon (permusyawaratan besar) antara
4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani
hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).
Keempat raja itu adalah:
1. Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik
berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma,
agung/terhormat, paling cerdas).
Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12,
keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari India, yang
mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi
menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya:
Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja
Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar)
Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur,
Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola)
Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok)
Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja,
Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.
Perkerabatan Simalungun
Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal silsilah karena penentu partuturan di
Simalungun adalah hasusuran (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul
(kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara-acara adat). Hal ini bisa dilihat saat orang
Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya aha marga ni ham? (apa marga anda) tetapi
hunja do hasusuran ni ham (dari mana asal-usul anda)?"
Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija
pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun
tak berarti, asal penuh kasih). Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan
karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh
karena konsep perkawinan antara raja dengan puang bolon (permaisuri) yang adalah puteri
raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar
(Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, Raja Panei dari Putri
Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta
dari Putri Raja Raya atau Tongging.
Adapun Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai partuturan. Partuturan ini
menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam
beberapa kategori sebagai berikut:
Tutur Manorus / Langsung
Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri.
Tutur Holmouan / Kelompok
Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun
Tutur Natipak / Kehormatan
Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara
sebagai tanda hormat.
Pakaian Adat
Pakaian Adat Simalungun didominasi oleh Ulos. Penutup kepala lelaki disebut Gotong
sedangkan yang dikenakan perempuan disebut Suri-suri.
Sama seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun tidak terlepas dari
penggunaan kain Ulos (disebut Uis di suku Karo). Ulos pada mulanya identik dengan ajimat,
dipercaya mengandung "kekuatan" yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta
memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian
penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di
perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya.
Secara legenda ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber kehangatan bagi manusia (selain
Api dan Matahari), namun dipandang sebagai sumber kehangatan yang paling nyaman karena
bisa digunakan kapan saja (tidak seperti matahari, dan tidak dapat membakar (seperti api).
Selanjutnya orang Batak khususnya Simalungun memiliki kebiasaan mangulosi (memberikan
ulos) yang salah satunya melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada
penerima ulos.
Ulos dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup kepala, penutup badan
bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung dan lain-lain. Ulos dalam berbagai
bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda, misalnya ulos penutup
kepala wanita disebut suri-suri, ulos penutup badan bagian bawah bagi wanita disebut ragipane,
atau yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit.
Ulos dalam pakaian penganti Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang
disebut Dalihan Natolu, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan
tutup bagian bawah (sarung).