Anda di halaman 1dari 15

Bab I

Kehidupan Masyarakat Indonesia pada Masa Islam


Islam yang diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-11 dan dibawa oleh para
pedagang dari Gujarat, India, pada akhirnya telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan
mayoritas pemeluk agama Islam terbesar di dunia dengan sekitar 85,2%. Meskipun Islam
menjadi agama mayoritas, tetapi Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam.
Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan
perdagangan di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar
Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk
Kesultanan Mataram di Jawa Tengah, dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku.
Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui jumlah penganut Hindu dan Buddh
sebagai agama dominan masyarakat di Jawa dan Sumatera pada saat itu. Sementara Bali tetap
mempertahankan mayoritas Hindu, dan pulau-pulau yang berada di wilayah Indonesia timur
sebagian besar tetap menganut animisme sampai abad 17 dan 18 ketika agama Kristen menjadi
dominan di daerah tersebut.
Berbagai teori perihal masuknya Islam ke Indonesia terus muncul sampai saat ini. Fokus
diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar pada tiga tema utama, yakni
tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Seperti banyak
diketahui jika daerah penghasil batu kapur yaitu Kota Barus, Sibolga di Sumatera Utara, sudah
digunakan oleh para firaun di mesir untuk proses pemakaman mumi firaun. Hal tersebut telah
membuktikan jika jauh sebelum Islam datang, masyarakat Nusantara sudah berhubungan dengan
dunia luar. Ada kemungkinan Islam sudah masuk di Nusantara terjadi pada masa Kenabian atau
masa hidupnya Nabi Muhammad S.A.W.
1) Kehidupan masyarakat Indonesia di masa Islam di bidang politik
Kerajaan bercorak Hindu-Budha sebenarnya telah berkembang jauh sebelum Islam
masuk di Indonesia. Namun ketika kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha itu mengalami
keruntuhan, maka peranannya pun mulai digantikan oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam,
seperti Samudra Pasai, Demak, Malaka, dan lainnya. Dalam sistem pemerintahan yang bercorak
Islam, Rajanya bergelar Sultan atau Sunan seperti halnya para wali. Jika Rajanya meninggal
maka tidak akan dimakamkan pada candi tetapi dimakamkan secara Islam.
2) Kehidupan masyarakat Indonesia di masa Islam di bidang sosial
Setelah sebelumnya terdapat aturan kasta yang diterapkan dalam sistem pemerintahan
kerajaan Hindu-Budha, maka dalam kebudayaan Islam, tidak ada lagi penerapan aturan kasta
dalam kehidupan masyarakatnya. Karena hal ini pula maka Islam mulai memberikan pengaruh
yang baik dan berkembang peat menjadi sebuah mayoritas dan menyebabkan aturan kasta
perlahan-lahan memudar dalam kehidupan sosial masyarakat.

Nama-nama berbau Arab pun mulai digunakan seperti Muhammad, Abdullah, Umar, Ali,
Musa, Ibrahim, Hasan, Hamzah, dan lainnya. Kosakata yang disadur dari bahasa Arab pun mulai
banyak digunakan, seperti: rahmat, berkah (barokah), rezeki (rizki), kitab, ibadah, sejarah
(syajaratun), majelis (majlis), hikayat, mukadimah, dan masih banyak lagi.
Begitu pula dengan sistem penanggalan. Jika sebelumnya masyarakat Indonesia
mengenal penanggalan Saka yang berasal dari kalender Hindu dan mulai digunakan pada tahun
78 M termasuk penggunaan nama-nama pasaran seperti: legi, pahing, pon, wage, dan kliwon,
maka setelah Islam berkembang, Sultan Agung dari Mataram pun menciptakan kalender Jawa
dengan menggunakan perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah.
3) Kehidupan masyarakat Indonesia di masa Islam di bidang pendidikan
Pendidikan tentang Islam mulai berkembang di pesantren-pesanten Islam. Sebenarnya,
sistem pesantren telah berkembang sebelum Islam masuk ke Indonesia dimana pada saat itu
pesantren telah menjadi tempat pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Setelah masuknya
Islam, maka mata pelajaran dan proses pendidikan di pesantren pun berubah menjadi pendidikan
Islam. Pesantren menjadi sebuah asrama tradisional pendidikan Islam dimana siswa tinggal
bersama untuk belajar ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang disebut Kiai.
4) Kehidupan masyarakat Indonesia di masa Islam di bidang sastra dan bahasa
Tidak adanya sistem kasta dalam Islam membuat persebaran bahasa Arab lebih cepat
dibandingkan persebaran bahasa Sanskerta. Mengapa demikian? karena semua orang mulai dari
Raja hingga rakyat jelata dapat mempelajari bahasa Arab. Walaupun pada mulanya memang
hanya kaum bangsawan yang pandai menulis dan membaca huruf dan bahasa Arab, namun
selanjutnya, rakyat kecil pun mampu membaca huruf Arab. Dalam perkembangannya, pengaruh
huruf dan bahasa Arab terlihat pada karya-karya sastra. Bentuk karya sastra yang berkembang
pada masa kerajaan-kerajaan Islam antara lain: hikayat, babad, dan syair.
5) Kehidupan masyarakat Indonesia di masa Islam di bidang arsitektur dan kesenian
Islam telah memperkenalkan tradisi baru dalam teknologi arsitektur seperti masjid dan
istana. Ada perbedaan antara masjid- masjid yang dibangun pada awal masuknya Islam ke
Indonesia dan masjid yang ada di Timur Tengah. Masjid di Indonesia tidak memiliki kubah di
puncak bangunan. Kubah digantikan dengan atap tumpang atau atap bersusun. Jumlah atap
tumpang itu selalu ganjil, tiga tingkat atau lima tingkat serupa dengan arsitektur Hindu.
Contohnya, Masjid Demak dan Masjid Banten. Islam juga memperkenalkan seni kaligrafi yaitu
suatu seni menulis aksara indah yang merupakan kata atau kalimat. Teks-teks dari Al-Quran
merupakan tema yang sering dituangkan dalam seni kaligrafi ini. Media yang sering digunakan
adalah nisan makam, dinding masjid, mihrab, kain tenunan, kayu, dan kertas sebagai pajangan.

Bab II
SEJARAH KERAJAAN KERAJAAN ISLAM DI
INDONESIA
A. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Sumatera
1. Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai yang merupakan
kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh Kabupaten Lhok Seumawe atau
Aceh Utara kini. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan awal atau pertengahan
abad ke-13 M, pendiri dan raja pertama kerajaan ini adalah Malik al-Saleh, sebagai hasil dari
proses islamisasi daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad
ke-7, ke-8 M, dan seterusnya. Daerah yang diperkirakan masyarakatnya sudah banyak yang
memeluk agama Islam adalah Perlak, sepeti yang kita ketahui berita dari Marco Polo yang
singgah di daerah itu pada tahun 1292.
Bukti berdirinya kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 M, itu didukung dengan
adanya nisan yang terbuat dari granit asal Samudra Pasai. Dari nisan itu dapat diketahui bahwa
raja pertama itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan
dengan tahun 1297 M. Nisan kuburan itu didapatkan di Gampong Samudera bekas kerajaan
Samudera Pasai tersebut.
Dari segi peta politik, munculnya kerajaan Samdra Pasai abad ke-13 M itu sejalan dengan
suramnya peranan maaritim kaearajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting
di kawasan Sumatera daan sekelilingnya.
Dalam hikayat Raja-raja Pasai disebutkan gelar Malik al-Saleh sebelum menjadi raja
adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia adalah putera Merah Gaajah, nama merah merupakan
gelar bangsawan yang lazim di Sumatera Utara. Selu berasal dari kata sungkala yang aslinya
berasal dari Sanskrit Chula. Merah Selu msuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail,
seorang utusan Syarif Mekah, yang kemudian memberikannya gelar Sultan Malik al-Saleh.[4]
Kepemimpinannya yang menonjol menempatkan dirinya menjadi raja.
Tempat pertama sebagai pusat kerajaan Samudera Pasai adalah Muara Sungai Peusangan,
sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai. Ada dua kota yang

terletak bersebrangan di Muara Sungai Peusangan yaitu Pasai dan Samudera. Kota Samudera
terletak agak lebih ke pedalamaan, sedangkan kota Pasai terletak lebih ke Muara. Ditempat yang
terakhir inilah terletak beberapa makam raja-raja.
Pendapat bahwa Islam sudah berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M, didukung
oleh berita Cina dan pendapat Ibn Batutah, seorang pengembara terkenal asal Maroko, yang pada
pertengahan abad ke-14 M (746 H/1345 M), mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya
dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudera Pasai diperintahkan oleh Sultan Malik al-Zahir, putera
Sultan Malik al-Saleh. Menurut sumber-sumber Cina, pada awal tahun 1282 M kerajaan kecil samu-ta-la (Samudera) mengirim kepada raja Cina duta-duta yang disebut dengan nama-nama
muslim yakni Husein dan Sulaiman. Ibn Batutah menyatakan bahwa Islam sudah hampir seabad
lamanya disiarkan di sana. Dan kerajaan Samudera Pasai pada saat itu merupakan pusat studi
agama Islam dan tempat berkumpul para ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk
berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.
Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan mariti ini tidak mempunyai basis agraris.
Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan pelayaran. Tome Pires menceritakan, di Pasai
ada mata uang dirham. Adanya mata uang itu membuktikan bahwa kerajaanini pada saat itu
merupakan kerajaan yang makmur. Mata uang dari Samudera Pasai tersebut pernah diteliti oleh
H.K.J. Cowan untuk menunjukkan bukti-bukti sejarah raja-raja Pasai. Mata uang tersebut
menggunakan nama-nama sultan Alauddin, Sultan Manshur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid dan
Abdullah. Pada tahun 1973 M, ditemukan lagi 11 mata uang dirham diantaranya bertuliskan
nama Sultan Muhammad Malik al-Zahir, Sultan Ahmad, Sultan Abdullah, semuanya adalah rajaraja Samudera Pasai pada abad ke-14 dan 15 M.
2. Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Samudra Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M kerajaan ini
ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 M
dianekasi oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya kerajaan Samudera Pasai di bawah
pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarng dikenal dengan nama Kabupaten Aceh
Besar. Di sini pula terletak ibu kotanya. Dan belum diketahui pasti kapan kerajaan ini berdiri.
Anas Machmud berpendapat, kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-puing

kerajaan Lamuri, oleh Mujaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh
Darussalm.
Menurut H.J. de Graaf, Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini menjadi bagian
wilayah Aceh, dan pergantian agama diperkirakan terjadi padaa pertengahan abad ke-14 M.
Menurutnya kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh
Dar al-Kamal. Ia juga berpendapat raja pertamanya adalah Ali Mughayat Syah.
Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerja sama
dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangannya terhadap dua
kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur.
Untuk mengatur daerah Sumatera Timur, raja Aceh mengirimkan panglima-panglimanya, salah
satunya adalah Gocah pahlawan yang menurunkan sultan-sultan Deli dan Serdang.
Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar
al-Qahar. Dalam menghadapi balatentara Portugis, ia menjalin hubungan persahabatan dengan
kerajaan Utsmani di Turki dan negara-negara Islan di Indonesia. Puncak kekuasaan kerajaan
Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637). Pada masanya Aceh
menguasai seluruh pelabuhan di pesisir timur dan barat Sumatera. Dari Aceh, Tanah Gayo yang
berbatasan dengan diislamkan, juga Minangkabau. Hanya orang-orang kafir Batak yang berusaha
menangkis kekuatan-kekuatan Islam yang datang bahkan mereka sampai meminta bantuan
Portugis. Sultan Iskandar kemudian bekerjasama dengan musuh Portugis yaitu Belanda dan
Inggris.
Sultan Iskandar Muda memerintah dengan tangan besi, sedangkan pengantinya Iskandar
Tsani, bersikap lebih liberal, lembut dan adil. Pada masanya Aceh terus berkembang.
Pengetahuan agama maju dengan pesat. Akan tetapi, kemtiannyaa diikuti oleh masa-masa
bencana, tatkala beberapa sultan perempuan menduduki singgahsana pada tahun 1641-1699,
beberapa wilayah taklukannya lepas, dan kesultanan menjadi terpecah belah, sehingga menjelang
abad ke-18 M kesultanan Aceh merupakan bayangan belaka dari masa silam dirinya tanpa
kepemimpinan dan kacau balau.

B. Tumbuh dan Berkembangnya Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa


Masuknya pengaruh Islam pertama kalinya belum diketahui pasti. Namun kuburan batu
nisan Ftimah binti Maemun di Leran Gesik yang berangka 475 H (1028 M), barangkali bukti
nyata kedatangan Islam ke Jawa Timur.
Peoses islamisasi di Jawa Timur sudah terjadi semenjak kejayaan Majapahit. Hal ini
dapat diketahui dari penemuan puluhan nisan di Troloyo, Trowulan, Gresik, serta berita Ma-huan
tahun 1416 yang menceritakan orang-orang Muslim yang bertempat tinggal di Gresik. Berikut
adalah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
1. Kerajaan Demak
Perkembangan Islam di Jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya posisi Raja
Majapahit. Hal itu memberi peluang kepada pengusaha-pengusaha islam di pesisir untuk
membangun pusat kekuasaan yang independen.
Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta, wali songo bersepakat mengangkat Raaden
Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, dengan gelar
Senopati Jimbun Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidina Panatagama. Sebelumnya
Demak yang masih bernama Bintoro merupakan daerah vasal Majapahit yang diberikan Raja
Majapahit kepada Radeen Patah.
Pemerintahan Raden Patah berlangsung sekitar akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16.
Ia adalah seorang anak Raja Majapahit daribseorang ibu muslim keturunan Campa. Ia digantikan
oleh anaknya, Sambrang Lor dikenal juga dengan Pati Unus. Menurut Tome Pires, Pati Unus
berusia 17 tahun ketika menggantikan ayahnya sekitar tahun 1507. Menurutnya, tidak lama
setelah naik tahta ia merencanakan suatu serangan terhadap Malaka. Semangt perangnya
semakin memuncak ketika Malaka dikalahkan oleh Potugis pada tahun 1511. Akan teetapi
sekitar pergantian tahun 1512-1513, tentaranya mengalami kekalahan besar.
Pati Unus digantikan oleh Trenggono yang dilantik sebagai sultan oleh Wali Songo
Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia memerintah pada tahun 15241546. Pada msa sultan Demak ketiga inilah Islam dikembangkan keseluruh tanah Jawa, bahkan
sampai ke Kalimantan Selatan. Penaklukan Sunda Kelapa berakhir pada tahun 1527 yang
dilakukan oleh pasukan gabungan Demak dan Cirebaon di bawah pimpinan Fadhilah Khan.
Majapahit dan Tuban jatuh kekuasaan Krajaan Demak diperkirakan pada tahun 1527 itu juga.

Selanjutnya pada tahun 1529, Demak berhasil menundukkan Madiun, Blora (1530), Surabya
(1531), Pasuruan (1535), dan antara tahun 1541-1542 Lmongan, Blitar, Wirasaba dan Kediri
(1544). Palembang dan Banjarmasin mengakui kekuasaan Demak. Seamantara daerah Jawa
Tengah bagian selatan sekitar Gunung Merapi, Pengging dan Pajang berhasil dikuasai berkat
pemuka Islam Syekh Siti Jenar dan Sunan Tembayat. Pada tahun 1546, dalam penyerbuan ke
Blambangan,

Sultaan

Trenggono

terbunuh.

Ia

digantikan

adiknya

Prawoto.

Masa

pemerintahannya tidak berlangsung lama karena terjadi pemberontakan oleh adipati-adipati


sekitar keeajaan Demak. Sunan Prawoto sendiri kemudian dibunuh oleh Aria Penangsang
kemenakannya

dari

Jipang

(Bojonegoro

sekarangnya)

pada

tahun

1549.

Dengan

demikiankerajaan Demak berakhir, dan dilanjutkan oleh kerajaan Pajang di bawah oleh Jaka
Tingkir yang berhasil membunuh Aria Penangsang.
2. Kerajaan Pajang
Pajang adalah pelanjut atau sebagai pewaris kerajaan Demak. Sultan pertama kerajaan ini
adalah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging, di Lereng Gunung Merapi. Oleh raja Demak
ketiga Sultan Trenggono, Jaka Tingkir diangkat menjadi penguasa di Pajang, setelah dikawinkan
dengan anak perempuannya. Setelah Raja Demak meniggal dunia Jaka Tingkir memerintahkan
agar semua benda pusaka Demak dipindahkan ke Pajang. Setelah menjadi raja yang paling
berpengaruh di Pulau Jawa ia bergelar Sultan Adiwijaya.
Sultan Adiwijaya menghadiakan kota gede Yogyakarta dan mengangkat Ki Ageng
Pemanahan menjadi adipati di situ. Saat Ki Ageng Pemanahan meninggal, jabatan adipati
digantikan oleh anaknya, Sutawijaya. Sementara itu adipati Demak diserahkan kepada Pangeran
Aria Pangiri. Sutawijaya yang menjadi adipati di Mataram (Yogyakarta) ingin menjadi raja dan
berkuasa atas seluruh pulau Jawa.
Sultan Adiwijaya wafat pada tahun 1582, kedudukan digantikan putranya, Pangeran
Benowo. Saat Pangeran Benowo berkuasa, Aria Pangiri berusaha merebut kekuasaan di Pajang,
namun dapat digagalkan atas bantuan Sutawijaya.
Pangeran Benowo memang tidak sanggup menggantikan kedudukan ayahnya sebagai
Sultan Pajang, oleh karenanya ia menyerahkan tahta kerajaan kepada Sutawijaya sebagai rasa
terimakasihnya. Akan tetapi Sutawijaya menyatakan keinginannya untuk tetap tinggal di
Mataram dan ia hanya meminta pusaka Kerajaan Padang diantaranya Gong Kiai Skar Dlima,

Kendali Kiai Macan Guguh, dan Pelana Kiai Jatayu. Namun dalam tradisi Jawa penyerahan
benda-benda pusaka sama artinya dengan penyerahan kekuasaan. Setelah itu kerajaan Pajang
dipindahkan ke Mataram pada tahun 1586 oleh Sutawijaya. Dan berakhirlah riwayat Kerajaan
Pajang, dan berdiri kerajaan Mataram yang bercorak Islam di Yogyakarta.
3. Kerajaan Mataram
Setelah naik tahta kerajaan pada tahun 1586, Sutawijaya bergelar Panembahan Senapati
Ing Alaga Sayidin Panatagama. Kerajaan yang dipimpin oleh Sutajaya ini adalah kerajaan kedua
yang kini bercorak Islam, sementara yang dulu bercorak Hindu. Namun letak Mataram Islam
berada di bekas wilayah Kerajaan Mataram Hindu. Sementara itu, Pajang yang dulu menjadi
pusat kerajaan, msuk menjadi wilayah kekuasaan Mataram Islam, dan Pangeran Benowo sebagai
adipati Pajang.
Setelah Panembahan Senapati, berturut-turut yang menggantikan kedudukan Sultan
Mataram adalah Mas Jolang atau Pangeran Seda Krapyak (1601-1613), Mas Rangsang atau
Sultan Agung Hanyakrakusuma Senapati Ing Alaga Ngabdurrahman Khalifatullah (1613-1645).
Sultan Agung wafat pada tahun1645 dan dimakamkan di Imogiri. Semua keturunan
Sultan Agung baik dari Yogyakarta maupun Surakarta, juga dimakamkan di Imogiri. Setelah
Sultan Agung wafat, Mataram Islam mengalami kemunduran.
4. Kerajaan Cirebon
Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di daerah Jawa Barat. Kerajaan ini
didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ia diperkirakan lahir pada tahun 1448 M dan wafat pada tahun
1568 M, dalam usia 120 tahun. Kedudukannya sebagai Wali Songo mendapatkan penghormatan
dari raja-raja di Jawa, seperti Demak dan Pajang.
Setelah Cirebon resmi berdiri sebuah Kerajaan Islam yang merdeka dari kekuasaan Kerajaan
Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan Kerajaan Pajajaran yang belum menganut
ajaran Islam.
Dari Cirebon Sunan Gunung Jati, mengembnagkan ajaran Islam kedaerah-daerah lain seperti
Majalengka, Kuningan, Galuh, Sunda Kelapa dan Banten. Pada tahun 1525 M, ia kembali ke

Cirebon dan menyerahkan Bnten kepada anaknya yang bernama Sultan Hasanuddin. Sultan
inilah yang meruntuhkan raja-raja Banten.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, ia digantikan oleh cicitnya yang bergelar Pangeran Ratu
atau Panembahan Ratu. Panembahan wafat pada tahun 1650 M dan digantikan oleh putranya
yang bernama Panembahan Girilaya. Sepeninggalannya, Kesultanan Cirebon dipecah menjadi
dua pada tahun 1697 dan dipentahkan oleh dua orang putranya, yaitu Martawijaya atau
Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau Panembahan Anom. Penembahan Sepuh memimpin
Kesultanan Kasepuhan yang bergelar Syamsuddin, semeentara Panembahan Anom memimpin
Kesultanan Kanoman yang bergelar Badruddin.
5. Kerajaan Banten
Sunda Kelapa adalah pelabuhan yang pentig di Muara Sungai Ciliwung. Kedudukannya lebih
penting dari pada dua kota pelabuhan Pajajaran lainnya, yakni Banten dan Cirebon.
Setelah Sunan Gunung Jati menaklukan Banten pada tahun 1525 M. Ia menyerahkan
kekuasaan kepada putranya yang bernama Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin kemudian
menikah dengan Putri Demak dan diresmikam menjadi Panembahan Bnten pda tahun 1552 M. Ia
meneruskan usaha ayahnya dalam meluaskan daerah Islam, yaitu Kelampung dan Sumatera
Selatan. Pada tahun 1527 M, ia berhasil menaklukan Sunda Kelapa.
Pada tahun 1568 M, ketika kekuasaan Demak beralih menjadi Pajang, Sultan Hasanuddin
memerdekakan Banten, oleh karena itu ia dianggap sebagai Raja Islam pertama di Banten. Ktika
ia meninggal pada tahun 1570 M, kedudukannya digantikan oleh putaranya, yaitu Pangeran
Yusuf. Ia menaklukan Pakuan pada tahun 1579 M, sehingga banyak bangsawan sunda yang
masuk Islam.
Setelah Panerag Yusuf meninggal pada tahun1580 M, Ia digantikan puteranya yang bernama
Muhammad, yang masih muda belia. Selam selama itu kekuasaan dipegang oleh Qadi bersama
empat pembesar istana lainnya. Muhammad meninggal pada tahun 1596 M, dalam usia 25 tahun.
Setelah itu kedudukannya digantikan oleh anaknya yang masih kecil yang bernama Abdul
Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Ia memerintah secara resmi pada tahun 1638 M dan mendapat
gelar Sultan dari Mekah.
Pada masa pemerintahan Sultsn Abdulfatah (1652-1659 M), terjadi beberapa peperangan
dengan VOC yang berakhir dengan perdamaiaan pada tahun 1659 M.

C. Tumbuh dan Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Kalimantan, Maluku

dan

Sulawesi
1. Kalimantan
Kalimantan terlalu luas untuk berada pada satu kekuasaan pada waktu datangnya Islam.
Daerah Barat Laut menerima Islam dari Malaya, daerah Timur dari Makasar dan wilayah Selatan
dari Jawa. Berikut adalah kerajaan-kerajaan di Kalimantan :
a. Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan
Pada abad ke-16, di pedaleman Kalimantan terdapat Kerajaan Nagaradaha (Kerajaan Daha).
Banjarmasin merupakan slah satu wilayah kekuasaan kerajaan tersebut. Adipai Banjarmasi yang
bernama Raden Samudera berhasil menaklukan kerajaan Nagaradaha dengan bantuan Kerajaan
Demak. Akhirnya berdirilah Kerajaan Banjar dengan Raden Samudera sebagai rajanya. Setelah
masuk Islam ia bergelar Sultan Suryanullah. Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Daha yang beragama Hindu yang dipimpin oleh Raja Sukarama.
Ketika Surynullah, naik tahta beberapa daerah sekitarnya sudah mengakui keuasaannya,
yakni daerah Sambas, Batanglawai, Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Mendawi, dan
Sambangan.
Sultan Suryanullah digantikan oleh putera tertuanya yang bergelar Sultan Rahmatullah. Rajaraja Banjar berikutnya adalah Sultan Hidayatullah (putera Sultan Rahmatullah) dan Mahrum
Panambahan yang dikenal dengan Sultan Mustainullah. Pada masa Mahrum Panambahan, ibu
kota kerjaan dipindahkan beberapa kali. Pertama ke Amuntai, kemudian ke Tambangan dan
Batang Banju, dan akhirnya ke Amuntai kembali. Terjadinya perpindahan ibu kota tersebut
karena datangnya pihak Belanda ke Banjar dan menimbulkan hura-hura.
b. Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur
Menurut risalah Kutai, dua orang penyebar Islam tiba di Kutai pada masa pemerintahan Raja
Mahkota, yaitu Tuan di Bandang, yang dikenal dengan Dato Ri Bandang dari Makasar dan yang
satunya adalah Tuan Tunggang Parangan. Setelah pengislaman itu Dato Ri Bandang kembali ke
Makasar, sementara Tuan Tunggang Parangan tetap di Kutai. Raja Mahkota tunduk kepada

keimanan Islam, setelah itu segera dibanun sebuah masjid dan pengajaran agama Islam dapat
dimulai. Yang pertama mengikuti pengajaran itu adalah Raja Mahkota sendiri, kemudian
pangeran, para mentri, panglima dan hulubalang dan akhirnya rakyat biasa.
Sejak itu Raja Mahkota berusaha keras menyebarkan Islam dengan pedang. Proses Islamisasi
di Kutai dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi pada tahun 1575. Penyabaran lebih jauh
daerah-daerah pedalaman dilakukan terutama pada waktu puteranya Aji di Langgar, dan
pengganti-penggantinya meneruskan perang ke daerah Muara Kaman.
2. Maluku
Di Maluku terdapat empat kerajaan yang terkenal yaitu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo.
Maluku ialah pulau yang menghasilkan cengkeh, yang terletak di sebelah barat pulau Halmahera.
Dari pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur, rempah-rempah diangkut ke pantai Malabar di India,
kemudian diteruskan kenegeri Arab dan dari sana dijual kepada para pedagang Itali. Para
saudagar Islam dari Jawa Timur itulah yang menyebarkan Islam di Maluku.
a. Kerajaan Ternate
Kerajaan Ternate berdiri pada abad ke-13 di Maluku Utara, dengan ibu kotanya di Sampalu.
Rajanya bernama Sultan Zaenal Abidin, ia belajar agama Islam di Gegesik. Kerajaan Ternate
merupakan penghasil rempah-rempah yang besar di Nusantara. Pada abad ke-15, kerajaan ternate
menjadi kerajaan terpenting di Maluku.
Kerajaan Ternate mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Baabullah. Pada
waktu itu wilayah kekuasaan Ternate sampai ke Philipina Selatan. Untuk menjaga wilayah
keamanannya, ia memiliki 100 kapal kora-kora untuk menjaga wilayahnya. Kerajaan Ternate
merupakan kerajaan Maritim.
Pada masa itu Sultan Baabullah mendapat gelar seabagai Yang Dipertuan di 72 pulau. Ia
juga dikenal sebagai pahlawan yang gigih menentang penjajahan Portugis. Dengan kegigiannya
ia bersama rakyatnya nerhasil mengusir Portugis dari Maluku pada tahun 1795.
b. Kerajaan Tidore
Seperti halnya Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore pun merupakan penghasil cengkeh yang
besar. Berkat hasil cengkehnya itu kerajaan Tidore menjadi kerajaan yang maju.

Raja yang terkenal di Kerajaan Tidore adalah Sultan Nuku. Pada masanya, kekuasan Tidore
meliputi Halmahera, Seram, Kai, dan Irian Jaya.
Pada mulanya kerajaan Ternate dengan Kerajaan Tidore hidup damai berdampingan. Namun
sejak kedatangan Portugis , kedua kerajaan ini di adudombakan, setelah mengetahui bahwa
Portugis ingin menguasai Maluku, akhirnya dua kerajaan ini bersatu dan mengusir Bangsa
Portugis dari Maluku.
3. Sulawesi (Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu)
Kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan yang kembar yang saling berbatasan, biasanya disebut
kerajaan Makasar. Kerajaan ini terletak di Semenanjung Barat Daya Pulau Sulawesi.
Gowa-Tallo adalah kerajaan yang berpusat pemerintahan di Makasar (sekarang Ujung
Padang), yaitu di Simbaopu (Makasar). Selain itu pula terdapat kerajaan lain seperti Bone,
Sopeng, Wajo dan Luwu.
Kerajaan Makasar merupakan kerajaan yang pertama di Sulawesi. Sementara itu Bone,
Waajo, dan Soppeng bersatu yang disebut Tellum Pottjo (Tiga Kerajaan). Penguasa Kerajaan
Gowa-Tallo pada tahun 1605 masuk agama Islam. Raja Tallo yaitu Kraeng Matoaya sebagai
Mangkubumi Kerajaan Gowa (Makasar), ia bergelar Sultan Abdullah. Sedangkan penguasa
Gowa yaitu Daeng Manrabia sebagai raja Gowa bergelar Sultan Alaudin (1605-1639). Mereka
berdua giat menyebarkan agama Islam. Mereka berdua berusaha memperluas daerah
kekuasaannya. Pada awalnya mereka mengajak Raja Bone, Sopeng dan Wajo untuk memeluk
agama Islam. Karena ditolak maka ketiga kerajaan tersebut diperanginya dan akhirnya masuk
Islam.
Sultan Alauudin, sangat menentang tindakan Belanda secara terang-terangan. Ia meninggal
pada tahun 1639, dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Muhammad Said. Ia
mengirimkan armada laut ke Maluku untuk melawan Belanda. Ia meninggal pada tahun 1653.
Perlawanan Makasar terhadap Belanda memuncak pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin
(1653-1669). Hasanuddin merupakan Raja Makasar yang paling berani melawan Belanda,
sehingga mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur. Ia sering melakukan penyerangan
terhadap kapal-kapal Belanda, yang sangat merugikan VOC (Belanda).
Bone pada tahun 1660 melakukan pemberontakan ingin melepas diri dari Makasar.
Pemberontakan ini dibawah pimpinan seorang bangsawan Sopeng-Bone yang bernama Aru
Palaka. Kemudian Sultan Hasanuddin mengerahkan seluruh pasukan untuk menghantam Aru

Palaka. Usaha beliau tidak berhasil karena Aru Malaka dibantu oleh Belanda. Makasar diserang
dari lautan oleh armada laut Belanda, dari darat oleh Aru Palaka. Akhirnya Gowa harus
mengakui keunggulan Belanda, dan menyerah. Pada tahun 1667, ditandatangani Perjanjian
Bongaya yang isinya sebagai berikut :
Belanda memperoleh hak monopoli dagang di Makasar
Belanda diizinkan mendirikan benteng di Makasar
Gowa harus melepaskan Bone dan pulau-pulau lainnya
Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone
Beberapa bulan kemudian Hasanuddin kembali menyerang Belanda. Setelah Benteng Somba
Opu hancur dan jatuh ketangan Belanda. Sultan Hasanuddin menyerahkan tahtanya kepada
puteranya yang bernama Mappasomba. Namun akhirnya Gowa dikuasai Belanda.
2.2. Situasi Serta Kondisi Sosial Budaya Masa Kedatangan Islam
Di Indonesia pada masa kedatangan dan penyebaran Islam terdapat beraneka ragam suku
bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi dan sosial budaya. Dan pada saat itu belum
banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa, struktur sosial,ekonomi, dan budayanya agak
statis dibandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah pesisir.
Di Sumatera terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu, di Jawa terdapat Majapahit dan
Sunda-Pajajaran, di Kalimantan terdapat Kerajaan Negara-Daha dan Kutai. Di Bali kerajaan
yang bercorak Hindu masih terus sampai abad ke-20. Pada waktu itu di beberapa daerah lainnya
masih terdapat kerajaan tidak mendapat pengaruh dari kerajaan Hindu tersebut. Kerajaan di
Sulawesi ialah Gowa-Tallo, Wajo, Bone, Sompeng dan Luwu. Yang di beritakan oleh Tome
Pires (1512-1515) di sana kurang lebih 50 kerajaan yang subur tapi masih berhala.
Kerajaa-kerajan di Sulawesi tersebut tidak menunjukkan pengaruh India atau IndonesiaHindu. Dari berita Tome Pires, bahwa di daerah Sumatera di samping sudah banyak kerajaan
yang bercorak Islam juga banyak yang belum karena itu seringkali disebut cafre. Mungkin
diantaranya banyak tidak memperoleh banyak pengaruh budaya Hindu. Tome Pires
menyebutkan bahwa di Banda sepanjang pantai terdapat pedagang-pedagang Muslim, tapi di
pedalamannya terdapat banyak yang menganut berhala, dan mereka tidak mempunyai kerajaan
tetapi desa-desanya yang diperintah oleh cabila dan orang tua-tua. Struktur pemerintahan seperti
diberitakan oleh Tome Pires itu diperkuat lagi oleh Antonio Galvao yang menyebukan bahwa di

Maluku, setiap tempat merdeka dengan daerah dan batas-batasnya sendiri. Penduduknya hidup
bersama

dalam

masyarakat-masyarakat

yang

memenuhi

keperluannya

sendiri-sendiri.

Masyarakat-masyarakat tersebut diperintah oleh orang tua yang dianggap lebih baik dari pada
yang lain.
Teori Brandes dan H. Kern yang didasarkan atas ilmu bahasa dan teori R. Von HeineGeldren dan P.V. Van Stein Callenfels yang didasaarkan atas peninggalan alat-alat prasejarah,
sebelum pengaruh budaya India, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal budaya yang
tinggi. J.C. Van Leur, menekankan hal-hal yang penting diantara budaya bangsa Indonesia
sebelum pengaruh Hindu yaitu mengenai organisasi politik, pertanian dengan irigasi, pelayaran
dan pengolahan logam.
Berdasarkan beberapa bukti dari unsur bentuk-bentuk ini maka masyarakat-masyarakat
pra Hindu agaknya sudah memiliki tingkat hidup yang sama dengan apa yang terdapat
dalamstruktur sosial dan kehidupan sosial-ekonomi bangsa Indonesia di berbagai daeerah pada
masa sekarang.
Menurut Antonio Galovao, pada abad-abad kedatangan dan penyebaran Islam , di daerah
Maluku masih terdapat beberapa kelompok masyarakat yang membuat patung-patung dari kayu
atau batu dengan wajah orang laki-laki, anjing, kucing, dan binatang-binatang yang mereka
sukai, yang bertujuan untuk menghormati para bapak dan nenek moyang. Mereka memuja
benda-benda langit, matahari, bulan dan bintang-bintang. Dari berita tersebut bahwa pemuja
yang digambarkan bukanlah bercorak Hindu-Budha, tetapi kepercayaan kepada kekuatankekuatan alam. Kepercayaan tersebut juga masih terdapat di Kalimantan, antaralain pada upacara
Tiwah.
Sebelum dan masa kedatangan serta penyebaran Islam, kepulauan Indonesia sangaat
beranekaragam bahasanya, misalnya di Jawa bahasa yang dipergunakan ialah Jawa Kuno, Sunda
Kuno dan di daerah-daerah Sumatera dan Semenanjung Melayu dipergunakan bahasa Melayu.
Terdapat bahasa-bahasa daerah lain seperti bahaasa Batak, Kubu, Nias, Minangkabau, Padang
dan sebagainya. Hampir setiap suku bangsa memakai bahasanya sendiri. Demikian pula di
Kalimantan terdapat bahasa Banjar, Melayu, dan Dayak, di Sulawesi bahasa Bugis, Makasar, dan
di Maluku juga terdapat bermacam-macam bahasa. Antonio Galvao pada pertengahan abad ke-16
menceritakan bahwa di daerah tersebut masyarakat yang bertetangga jarang sekali saling

mengerti. Disamping itu raja-raja, putera-putera dan orang-orang yang dekat padanya
mempunyai cara berbicara sendiri yang tidak dapat dimengerti oleh orang-orang lain.
Bahasa sangsakerta yang biasanya hanya dipakai oleh golongan kecil, kaum Brahmana
dan beberapa prasasti yang digunakan oleh raja-raja, mungkin sejak kerajaan-kerajaan Indonesia
Hindu yang terakhir, seoerti Majapahit, Sund Pajajaran, Sriwijaya, Melayu, sudah tidak
dipergunakan lagi.
2.3. Konsep Kekuasaan di Kerajaan-Kerajaan Islam
Jika masa Hindu-Budha, konsep kekuasaanya diwarnai oleh nilai-nilai religius HinduBudha sehingga muncul kultur Dewa Raja maka pada masa kerajaan Islam, konsep kekuasan
juga diwarnai dengan nilai religius, yakni Islamisme.
Raja pada masa kerajaan Islam menggunakan gelar Sultan atau Susuhunan. Sultan adalah
istilah dari bahasa Arab yang artinya Raja yakni penguasa kerajaan. Susuhunan dari kata suhun
yang artinya terhormat, dipuji.
Jika pada masa Hindu-Budha para Brahmana berperan sebagai penasehat raja, maka pada
masa Islam yang menjadi penasehat raja adalah para wali/sunan, atau kiai. Raja pada masa Islam
juga memiliki kekuasaan yang besar seperti pada masa karajaan Hindu-Budha. Bahkan untuk
raja-raja Jawa umumnya dan Mataram Islam khususnya, muncul konsep Keagung-Binatharaan.
Dalam dunia pewayangan kekuasaan yang besar itu digambarkan sebagai Gung Binathara Bau
Dhendha Nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum,dan penguasa dunia). Raja
tidak hanya berkuasa di bidang politik, tetapi juga di bidang agama sehingga muncul gelar
Sayidin Panatagama.
Raja yang dikatan baik adalah raja yang menjalankan kekuasaannya dalam keseimbangan
antara keweenangannya yang besar dan kewajibannya yang besar juga. Kosep itulah yang
disebut Keagung-Binatharaan, yakni berbudi bawa leksana, ameg adil para marta (meluap budi
luhur mulia dan sikap adilnya terhadap sesama). Selain itu juga tugas raja adalah anjaga tata titi
tentreming praja (menjaga keteraturan dan ketentraman kehidupan rakyat) supaya tercapai
suasana karta tuwin raharja (aman dan sejahterah). Jika diibaratkan sama dengankonsep HinduBudha berupa astabrata. Selanjutnya, untuk pembinaan kekuasaan dilakukan dengan menyusun
silsilah (silsilah politik) sebagai garis keturunan yang berhak menggntikan tahta kerajaan.

Anda mungkin juga menyukai