Anda di halaman 1dari 52

Sosiologi Kehidupan

Pengarang Prosa Jawa


Ki Padmasusastra
Deskripsi Biografi dan Karya-karyanya
Ketika masih kanak-kanak dia bernama Suwardi,
lahir di Sraten – Surakarta pada hari Jum’at Pon
tanggal 21 Mulud tahun Alip 1771 Jawa, wuku
Prangbakat atau 21 April 1843 Masehi.
Beliau meninggal dunia pada hari Senin Wage 17
Rejeb tahun Be 1856 Jawa atau tanggal 1
Februari 1926 Masehi (umur 85 tahun/Jawa atau
83 tahun /Masehi). Dimakamkan di Gondolayu
atau Kebonlayu-Surakarta.
Ternyata beliau adalah keturunan dari
Panembahan Senapati Mataram; secara singkat
dapat diuraikan: Panembahan Senapati Mataram
berputera Nyai Tumenggung Mayang –
Tumenggung Wiraguna – Kyai Honggoyuda –
Kyai Bangsayuda Panglawe di dusun Ngaran –
Ngabei Bangsayuda – Ngabei Sindupraja -
Ngabei Kartadirana yang kemudian berganti
nama Bangsayuda - Ki Padmasusastra.
Suwardi yang kemudian bernama Ki
Padmasusastra, sejak kecil tidak pernah
merasakan duduk di bangku sekolah alias tidak
pernah merasakan pendidikan formal. Sejak
umur 6 tahun, dia dibimbing oleh ayahandanya
sendiri, untuk belajar menulis dan membaca
sampai bisa.
Umur 9 tahun diabdikan ke Keraton Surakarta,
dan tidak lama mendapat kepercayaan dan
diangkat sebagai mantri Gedhong Kiwa. Sudah
selayaknya kehidupan di keraton, setiap orang
menduduki kepangkatan akan mendapatkan
nama baru, maka Suwardi yang berpangkat
mantri dan sebagai mantri Gedhong Kiwa diberi
nama Ngabei Kartadirana dengan panggilan
Mas Gus Bei.
Oleh karena ketaatan dan prestasinya, saat
umur 19 tahun beliau naik pangkat menjadi
Mantri Sadasa (Panewu Jaksa Anem) Gedhong
Kiwa dengan nama Ngabei Bangsayuda; dan
tidak berapa lama naik pangkat lagi menjadi
Panewu Jaksa Sepuh dengan mengepalai
Kantor Kriminal Surakarta, berganti nama Mas
Ngabèi Kartipradata.
Pada saat beliau berusia 42 tahun, dia digugat
oleh seorang peranakan Cina terkait dengan
hutang-piutang oleh karena tidak mampu
membayar melunasi hutang-hutangnya, maka
mengakibatkan beliau harus dikeluarkan dan
diberhentikan dari kedudukannya sebagai Penewu
Jaksa Sepuh sekaligus sebagai abdi dalem
keraton.
Dari kejadian inilah seorang Padmasusastra
justru merasa tidak ada ikatan dengan pihak
keraton, merasa merdeka tidak terikat
dengan jabatan, akhirnya ia giat menulis
buku-buku tentang kesusasteraan Jawa.
Sejak beliau umur 42 tahun ketika tidak lagi
mengabdi di keraton Kasunanan Surakarta,
dia merasa tidak ada ikatan resmi dengan
pihak keraton, maka dia lebih konsentrasi
dan fokus menulis naskah yang mayoritas isi
dan pesannya untuk khalayak umum. Maka
tidak berlebihan jika beliau menyebut dirinya
sebagai ”Tiyang mardika ingkang amarsudi
ing kasusastran Jawi”.
Selama 5 tahun berada di Betawi sebagai
pengajar bahasa Jawa bagi mahasiswa Belanda,
tetapi juga sekaligus belajar kepada sarjana
Belanda DF. van der Pant (seorang ahli bahasa
Jawa). Begitu pulang ke Solo, dia sebagai
redaktur Bramartani selama 3 tahun. Setelah itu
pernah ikut Dr. Nooy ke Belanda selama 1 tahun
dan sempat menerbitkan buku "Urap Sari".
Sekembalinya dari Belanda ke Surakarta menjadi
redaktur ”Jawi Kandha”. Dia bergabung dengan
Paheman Radyapustaka, mulai dari masih
bernama R. Ng. Wirapustaka, sampai menjadi
pimpinan Radyapustaka dengan nama R. Ng.
Prajapustaka, dan terakhir hingga wafatnya
bernama Ki Padmasusastra.
Dari semua pengalaman dirinya inilah yang
menjadikan dasar untuk beliau berani
menempatkan diri dan menyebut dirinya sebagai
”Tiyang mardika ingkang tansah amarsudi
ing Kasusastran Jawi” seorang yang bebas
merdeka yang selalu mempedulikan
kesusasteraan Jawa.
Ki Padmasusastra dikenal sebagai sastrawan
yang produktif, banyak karya sastra yang
dihasilkan merupakan karya asli dia sendiri, dia
juga menerbitkan kembali karya milik orang lain
(Ranggawarsita, Mangkunagara IV), dan juga ia
membuat saduran dan penyempurnaan karya
pujangga sebelumnya yang kemudian
diterbitkan.
Karya-karya yang pernah ditulis oleh Ki
Padmasusastra antara lain Woordenlijst,
Urapsari (terbit tahun 1896 ditulis di Belanda),
Piwulang Nulis, Carakan Basa, Tata Sastra,
Layang Paramabasa ( terbit tahun 1897),
Zamenspraken (terbit tahun 1900), Serat
Carakabasa (terbit tahun 1904), Layang Carakan
(terbit tahun 1911), Serat Pathibasa (terbit
tahun 1912), Warna Sastra (terbit tahun 1920),
Serat Dasanama Kawi, Serat Campur Bawur
(terbit tahun 1893), Layang Bauwarna (terbit
tahun 1898), Layang Bausastra (terbit tahun
1899),
Serat Warna Basa (terbit tahun 1899), Serat
Bausastra Jawa-Kawi (terbit tahun 1903),
Kawruh Basa (terbit tahun 1925), Layang Basa
Sala (terbit tahun 1891), Layang Belletrie (terbit
tahun 1898), Madubasa (terbit tahun 1912),
Warnasari (terbit tahun 1925), Serat Tatacara
(terbit tahun 1911/1924), Serat Rangsangtuban
(terbit tahun 1912), Subasita (terbit tahun
1914), Maduwasita (terbit tahun 1918), Serat
Prabangkara (terbit tahun 1921), Serat
Kandhabumi (terbit tahun 1924), serta Serat
Kabarangin.
1. Layang Bauwarna
Serat Bauwarna (1898) merupakan salah satu
karya besar Ki Wirapustaka (Padmasusastra)
yang isinya dapat dikategorikan seperti
ensiklopedi Jawa. Sistem penulisannya
berdasarkan Dentawyanjana (urutan alphabet
Jawa). Karena banyaknya informasi yang
disampaikan, maka naskah ini ditulis menjadi
empat jilid, dengan rincian: jilid I meliputi aksara
ha-na-ca-ra-ka, jilid II aksara da-ta-sa-wa-la,
jilid III aksara pa-dha-ja-ya-nya, dan jilid IV
aksara ma-ga-ba-tha-nga.
Ki Wirapustaka sangat objektif dalam menulis
naskah ini, karena setiap kutipan selalu
dicantumkan sumbernya. Serat Bauwarna dalam
bentuk tulisan tangan yang ada sekarang
tersimpan di Museum Radyapustaka Surakarta.
Naskah ini dimungkinkan asli, sebab terdapat
banyak coretan akibat terulang penulisannya. Di
samping itu, ada tambahan kata yang disisipkan
dengan gaya tulisan yang sama dengan tulisan
naskahnya, sehingga menjadikan halaman tidak
urut.
2. Kawruh Basa.
Uraian bahasa Jawa tentang tingkat tutur ngoko,
madya, dan krama. Buku ini digunakan sebagai
buku bacaan pelajaran di sekolah-sekolah.
3. Layang Basa Sala.
Variasi bahasa yang diilustrasikan dengan
percakapan bahasa Jawa di Surakarta. Ilustrasi
percakapan itu diberi judul: Nawu, Bentik,
Ngantih, Tandur, Derep, Pari, Adang, Ngliwet,
dan sebagainya
4. Sêrat Kandha Bumi.
Kisah tentang dua orang bersaudara yang
bernama Raden Sapartitala dan Endang Siti
Pasir. Setelah kedua orang tuanya meninggal,
mereka diasuh oleh Resi Rasatala di Lebu Pasir.
Secara diam-diam Sapartitala meninggalkan Siti
Pasir, mengabdi kepada Maha Prabu Sultan
Mangkubumi di Bantala Rengka. Karena
kepiawaiannya, maka ia dipercaya menjadi
patih. Dalam usaha mencari kakaknya, Siti Pasir
bertemu dengan Prabu Sultan Mangkubumi dan
akhirnya diperistri, sekaligus bertemu dengan
Raden Sapartitala.
5. Cariyos Lêlampahanipun Ki
Padmasusastra Dhatêng Nagari Nèdêrlan
Nalika Taun Masèhi 1891.
Kisah perjalanan Ki Padmasusastra (1843-1926)
ke Belanda. Berangkat dari Surakarta menuju
Semarang naik kereta api, kemudian naik kapal
laut,. Kepergian ke Belanda tersebut, atas
undangan H. A. De Nooy, seorang pemeriksa
pemerintah untuk pendidikan pribumi. Ki
Padmasusastra berangkat tanggal 14 September
1891 dan tiba di Belanda (muara Amode) pada
tanggal 3 November 1891.
6. Layang Madubasa I dan II.
Daftar kata beserta uraian tentang ajaran moral
para cerdik-cendekia pada masa lalu yang
pantas untuk diteladani dan dilaksanakan.
Ajaran itu disampaikan kembali oleh pengarang
berdasarkan pengalamannya pada ciri-ciri
kehidupan orang Jawa, Belanda, Cina, dan
Islam.
7. Sêrat Maduwasita.
Bermacam-macam ajaran yang harus ditaati
tentang tindakan "nistha, madya, dan utama".
Ajaran disampaikan dalam bentuk perumpamaan
(pepindhan), cerita hewan, dan tumbuh-
tumbuhan. Misalnya perumpamaan bagi sifat
"nistha", ular yang mengandalkan bisanya,
kijang yang mengandalkan kecepatan larinya,
dan gajah yang mengandalkan badannya yang
tinggi-besar, sebagai watak "adigang-adigung-
adiguna".
8. Sêrat Prabangkara
Kisah kepergian sampai kembalinya putra
mahkota yang bernama Pangeran Adipati
Prabangkara putra Prabu Andakara di negara
Hindu. Akhirnya Pangeran Adipati Prabangkara
menikah dengan Rara Apyu. Serat Prabangkara
merupakan salah satu dari empat karya besar
Padmasusastra (1843-1926), (Serat
Prabangkara, Serat Kabar Angin, Serat
Rangsang Tuban, dan Serat Kandhabumi). Serat
ini adalah merupakan gambaran unsur api,
bagian dari empat unsur alam yang dikemas
dalam sebuah cerita atau kisah secara runtut.
9. Rangsang Tuban.
Kisah kedua pangeran di kerajaan Tuban,
bernama Pangeran Warihkusuma dan Pangeran
Adipati Warsakusuma, oleh karena berebut isteri
(Rara Endang) akhirnya harus perang dan
meninggal. Serat ini merupakan petikan dari
Serat Wedhaparaya karya Empu Manehguna di
Lamongan.
10. Sêrat Subasita.
Uraian tentang sikap sopan santun orang Jawa
mencakup hal-hal yang masih pantas untuk
dilestarikan dan dilakukan serta hal-hal yang
harus dihindari. Serat Subasita ini menjadi
dasar sopan santun orang Jawa.
11. Sêrat Tatacara.
Uraian tentang budaya, adat-istiadat, upacara tradisi (sejak
seorang ibu mengandung, melahirkan, khitan, nikah,
sampai kematian), permainan, dan kesenian orang Jawa
yang dikemas dalam bentuk cerita. Aplikasi dari cerita itu
digambarkan dalam siklus kehidupan manusia mulai dari
dalam kandungan, lahir, menikah, sampai meninggal dunia.
Buku ini telah diterbitkan oleh Commissie voor de
Volkslectuur Jakarta. Buku ini dikutip oleh J. Kats
dimasukkan dalam buku "Warna Sari" sebagai bacaan di
sekolah para calon guru pada tahun 1929.
12. Layang Têmbung Bêcik.
Kumpulan kata indah yang diurutkan
berdasarkan alfabet Jawa (Dentawyanjana),
yang dipakai dalam bahasa sastra dan disertai
deskripsi penggunaannya.
13. Sêrat Urapsari.
Paramasastra, khususnya tingkat tutur ngoko, ngoko
andhap: antyabasa, ngoko andhap: basa antya,
krama: wredha krama, mudha krama, krama inggil,
krama desa, basa kadhaton, madya ngoko, madya
krama, madyantara disertai bacaan berupa gancaran
seperti Sêrat Kabar Jiwakandha, Kaindhakaning
Sêsêrêpan, Indhaking Kasagêdan, Jampi, Raosing
Manah, Sêrat Ajisaka, dan Gancaran Cariyos Rama.
14. Sêrat Wedhamadya.
Perayaan ulang tahun Pakubuwana X yang ke-33
di Surakarta dengan mengundang tamu dari
keraton Ngayogyakarta, Pakualam,
Mangkunagaran, maupun tamu asing. Dalam
suasana kemeriahan itu terdengar kabar bahwa
Kangjeng Ratu Timur, nenek PB X meninggal
dunia.
15. Kabar angin
Kisah raja dari kerajaan Marutamanda yang bernama
Prabu Sindung Aliwawar. Dia mempunyai anak
bernama Prabu Timur. Prabu Timur mempunyai dua
anak bernama Raden Prakempa dan Dewi
Bantarangin. Raden Prakempa tidak patuh pada
aturan ayahnya, dia menjadi pedagang dengan
mengarungi samudra. Akhirnya Raden Prakempa
dirampok oleh bajag laut, setelah hartanya dirampas
lalu dijual sebagai budak kepada Juragan Bayubajra.
Raden Prakempa akhirnya bertobat, merasa berdosa
kepada orang tuanya. Karena kepandaian dan
kebaikannya, Raden Prakempa dinikahkan dengan
putrinya yang bernama Dewi Erawati. Adapun
saudara Dewi Erawati yang bernama Jaka Erawana
mengabdi ke kerajaan Marutamanda, yang akhirnya
dijadikan menantu oleh raja, dinikahkan dengan
saudara Raden Prakempa yang bernama Dewi
Bantarangin.
Dalam pelayarannya, Jaka Erawana dan Raden
Prakempa dirampok oleh bajag laut, namun
mereka berhasil meloloskan diri. Akhirnya
setelah menyusun kekuatan, berhasil
menaklukkan bajag laut. Kemudian mendirikan
kerajaan baru di pulau tersebut. Raden
Prakempa beserta seluruh rakyat akhirnya
musnah karena gunung yang ada di pulau
tersebut meletus.
16. Sêrat Pustakaraja-purwa
Menceritakan ketika Pulau Jawa, Sumatra dan
Madura mulai dihuni manusia sampai tahun 309,
asli karya R. Ng. Ronggowarsito, kemudian
diperbaiki bahasa dan sastranya dan disahkan
serta diterbitkan oleh Ki Padmasusastra. Buku ini
diterbitkan di penerbit H. Buning Yogyakarta.
17. Sêrat Pathibasa
Pengetahuan bahasa yang menerangkan
penggunaan kosakata jawa yang memiliki arti
sama atau hampir sama (seperti dasanama /
sinonim) secara tepat. Buku ini juga digunakan
sebagai bku ajar di sekolahan, diterbitkan di
penerbit ”Papyrus” Jakarta oleh ”Commissie voor
de Volkslectuur” pada tahun 1916, dengan tebal
413 halaman.
18. Sêrat Paramayoga,
Menceritakan kisah Kangjêng Nabi Adam serta
silsilah para Dewa yang merupakan karangan
Radèn Ngabèi Ronggowarsito, disahkan dan
diedit menurut tatabahasa yang kemudian
diterbitkan oleh ”H. Buning" Yogyakarta tahun
1912.
19. Paramabasa,
Memuat pengetahuan bahasa, pernah dicetak
dan diterbitkan pada tahun 1883, tidak jelas di
percetakan mana tidak diketahui.
20. Sêrat Erang-erang
Berisi dongeng dan cerita yang maknanya cenderung berupa
ungkapan perasaan marah, dan mencemooh orang yang suka
minum candu, minum alkohol yang berakibat mabuk. Buku ini
telah diterbitkan oleh Commissie voor de Volkslectuur di Jakarta.
Buku ini sempat dikutip oleh J. Kats dalam buku "Pêpêthikan"
yang digunakan untuk bacaan pada sekolah para calon guru
tahun 1922.
21. Layang Basa Jawa
Sesuai dengan judulnya yakni berisi tentang
pengetahuan berbahasa Jawa. Seperti buku atau
Serat Erang-erang, buku ini juga diterbitkan oleh
Commissie voor de Volkslectuur Jakarta, dan
oleh J. Kats buku ini dikutip dimasukkan dalam
buku "Pêpêthikan" untuk bacaan di sekolah
calon guru juga pada tahun 1922.
22. Sêrat kancil tanpa sêkar
Berisi cerita Kancil yang lucu. Buku ini juga
diterbitkan oleh Commissie voor de Volkslectuur
Jakarta tahun 1922, dan oleh J. Kats buku ini
dikutip dimasukkan dalam buku "Pêpêthikan"
untuk bacaan di sekolah. Kweekschool dan
Normaalschool. Bahkan buku ini pada tahun
1911 telah menjadi bacaan yang menarik di
perpustakaan (taman pustaka).
23..Sêrat Urapsari
Merupakan dialog yang berisi penjelasan
secara terperinci tentang struktur bahasa Jawa
menurut unggah-ungguh tatakrama. Buku ini
oleh J. Kats dikutip dan dibukukan dalam
"Sêrat Warna Sari" pada tahun 1929.
24 Durcara Arja
Berisi petuah kebaikan, perbuatan jelek dan
akibatnya, begitu pula jika berbuat baik akan
mendapatkan kebaikan. Buku ini sebagian
dikutip dalam sêrat "Warnasari" terbitan 1929.
.
25. Piwulang bêcik
Berisi ajaran baik, kalimatnya pendek-pendek
berupa ajakan untuk berbuat baik. Penyajiannya
diurutkan sesuai alphabet (dentawyanjana),
buku ini telah diterbitkan oleh Commissie voor
de Volkslectuur Jakarta, dan dicetak di
percetakan H. A. Benjamin di Sêmarang tahun
1911.
26. Kawruh klapa
Buku ini lebih bercerita tentang bagaimana cara
menanam kelapa, pemeliharaannya, sampai
pada manfaat tanaman kelapa. Bahkan dia
berharap Pulau Jawa dapat menjadi pusat
perdagangan kelapa. Buku ini telah diterbitkan
oleh Commissie voor de Volkslectuur, Jakarta
pada tahun1911.
27. Sopanalaya
Berisi tentang ajaran kesempurnaan hidup,
pengarang aslinya adalah R.Ng. Ronggowarsito.
Ki Padmosusastro menyempurnakan kebenaran
bahasa disesuaikan dengan tatabahasa Jawa,
kemudian diterbitkan di Kediri.
28. Warnabasa
Berisi uraian tentang bahasa Jawa, jenis
kata, dan unggah-ungguh. Buku ini telah
terbit pada tahun 1914.
29. Bêlêtri
Buku khusus berisi kata-kata dan kalimat indah
atau susastra yang diambil dari bacaan buku-
buku kuno yang diurutkan secara alphabetis.
Buku ini telah diterbitkan oleh "H. Buning"
Yogyakarta pada tahun 1914.
30. Hariwara
Berupa pawukon yang merupakan perhitungan
hari, windu, tahun, bulan, wuku, watak hari
pasaran, perhitungan hari baik-buruk untuk
suatu hajad penting. Buku ini dikarang pada
tahun 1890 dan diterbitkan oleh Tan Khoen
Swie, Kêdhiri. .
Terima Kasih

mtu/nuwun\

Anda mungkin juga menyukai