0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
133 tayangan52 halaman
1. Ki Padmasusastra adalah sastrawan produktif asal Surakarta yang banyak menghasilkan karya sastra Jawa, baik karya asli maupun saduran.
2. Karya besarnya antara lain Serat Bauwarna, Kawruh Basa, dan Layang Basa Sala yang membahas tentang bahasa dan sastra Jawa.
3. Beliau juga menulis karya cerita seperti Serat Kandhabumi dan Cariyos tentang perjalanannya ke Belanda
1. Ki Padmasusastra adalah sastrawan produktif asal Surakarta yang banyak menghasilkan karya sastra Jawa, baik karya asli maupun saduran.
2. Karya besarnya antara lain Serat Bauwarna, Kawruh Basa, dan Layang Basa Sala yang membahas tentang bahasa dan sastra Jawa.
3. Beliau juga menulis karya cerita seperti Serat Kandhabumi dan Cariyos tentang perjalanannya ke Belanda
1. Ki Padmasusastra adalah sastrawan produktif asal Surakarta yang banyak menghasilkan karya sastra Jawa, baik karya asli maupun saduran.
2. Karya besarnya antara lain Serat Bauwarna, Kawruh Basa, dan Layang Basa Sala yang membahas tentang bahasa dan sastra Jawa.
3. Beliau juga menulis karya cerita seperti Serat Kandhabumi dan Cariyos tentang perjalanannya ke Belanda
Ki Padmasusastra Deskripsi Biografi dan Karya-karyanya Ketika masih kanak-kanak dia bernama Suwardi, lahir di Sraten – Surakarta pada hari Jum’at Pon tanggal 21 Mulud tahun Alip 1771 Jawa, wuku Prangbakat atau 21 April 1843 Masehi. Beliau meninggal dunia pada hari Senin Wage 17 Rejeb tahun Be 1856 Jawa atau tanggal 1 Februari 1926 Masehi (umur 85 tahun/Jawa atau 83 tahun /Masehi). Dimakamkan di Gondolayu atau Kebonlayu-Surakarta. Ternyata beliau adalah keturunan dari Panembahan Senapati Mataram; secara singkat dapat diuraikan: Panembahan Senapati Mataram berputera Nyai Tumenggung Mayang – Tumenggung Wiraguna – Kyai Honggoyuda – Kyai Bangsayuda Panglawe di dusun Ngaran – Ngabei Bangsayuda – Ngabei Sindupraja - Ngabei Kartadirana yang kemudian berganti nama Bangsayuda - Ki Padmasusastra. Suwardi yang kemudian bernama Ki Padmasusastra, sejak kecil tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah alias tidak pernah merasakan pendidikan formal. Sejak umur 6 tahun, dia dibimbing oleh ayahandanya sendiri, untuk belajar menulis dan membaca sampai bisa. Umur 9 tahun diabdikan ke Keraton Surakarta, dan tidak lama mendapat kepercayaan dan diangkat sebagai mantri Gedhong Kiwa. Sudah selayaknya kehidupan di keraton, setiap orang menduduki kepangkatan akan mendapatkan nama baru, maka Suwardi yang berpangkat mantri dan sebagai mantri Gedhong Kiwa diberi nama Ngabei Kartadirana dengan panggilan Mas Gus Bei. Oleh karena ketaatan dan prestasinya, saat umur 19 tahun beliau naik pangkat menjadi Mantri Sadasa (Panewu Jaksa Anem) Gedhong Kiwa dengan nama Ngabei Bangsayuda; dan tidak berapa lama naik pangkat lagi menjadi Panewu Jaksa Sepuh dengan mengepalai Kantor Kriminal Surakarta, berganti nama Mas Ngabèi Kartipradata. Pada saat beliau berusia 42 tahun, dia digugat oleh seorang peranakan Cina terkait dengan hutang-piutang oleh karena tidak mampu membayar melunasi hutang-hutangnya, maka mengakibatkan beliau harus dikeluarkan dan diberhentikan dari kedudukannya sebagai Penewu Jaksa Sepuh sekaligus sebagai abdi dalem keraton. Dari kejadian inilah seorang Padmasusastra justru merasa tidak ada ikatan dengan pihak keraton, merasa merdeka tidak terikat dengan jabatan, akhirnya ia giat menulis buku-buku tentang kesusasteraan Jawa. Sejak beliau umur 42 tahun ketika tidak lagi mengabdi di keraton Kasunanan Surakarta, dia merasa tidak ada ikatan resmi dengan pihak keraton, maka dia lebih konsentrasi dan fokus menulis naskah yang mayoritas isi dan pesannya untuk khalayak umum. Maka tidak berlebihan jika beliau menyebut dirinya sebagai ”Tiyang mardika ingkang amarsudi ing kasusastran Jawi”. Selama 5 tahun berada di Betawi sebagai pengajar bahasa Jawa bagi mahasiswa Belanda, tetapi juga sekaligus belajar kepada sarjana Belanda DF. van der Pant (seorang ahli bahasa Jawa). Begitu pulang ke Solo, dia sebagai redaktur Bramartani selama 3 tahun. Setelah itu pernah ikut Dr. Nooy ke Belanda selama 1 tahun dan sempat menerbitkan buku "Urap Sari". Sekembalinya dari Belanda ke Surakarta menjadi redaktur ”Jawi Kandha”. Dia bergabung dengan Paheman Radyapustaka, mulai dari masih bernama R. Ng. Wirapustaka, sampai menjadi pimpinan Radyapustaka dengan nama R. Ng. Prajapustaka, dan terakhir hingga wafatnya bernama Ki Padmasusastra. Dari semua pengalaman dirinya inilah yang menjadikan dasar untuk beliau berani menempatkan diri dan menyebut dirinya sebagai ”Tiyang mardika ingkang tansah amarsudi ing Kasusastran Jawi” seorang yang bebas merdeka yang selalu mempedulikan kesusasteraan Jawa. Ki Padmasusastra dikenal sebagai sastrawan yang produktif, banyak karya sastra yang dihasilkan merupakan karya asli dia sendiri, dia juga menerbitkan kembali karya milik orang lain (Ranggawarsita, Mangkunagara IV), dan juga ia membuat saduran dan penyempurnaan karya pujangga sebelumnya yang kemudian diterbitkan. Karya-karya yang pernah ditulis oleh Ki Padmasusastra antara lain Woordenlijst, Urapsari (terbit tahun 1896 ditulis di Belanda), Piwulang Nulis, Carakan Basa, Tata Sastra, Layang Paramabasa ( terbit tahun 1897), Zamenspraken (terbit tahun 1900), Serat Carakabasa (terbit tahun 1904), Layang Carakan (terbit tahun 1911), Serat Pathibasa (terbit tahun 1912), Warna Sastra (terbit tahun 1920), Serat Dasanama Kawi, Serat Campur Bawur (terbit tahun 1893), Layang Bauwarna (terbit tahun 1898), Layang Bausastra (terbit tahun 1899), Serat Warna Basa (terbit tahun 1899), Serat Bausastra Jawa-Kawi (terbit tahun 1903), Kawruh Basa (terbit tahun 1925), Layang Basa Sala (terbit tahun 1891), Layang Belletrie (terbit tahun 1898), Madubasa (terbit tahun 1912), Warnasari (terbit tahun 1925), Serat Tatacara (terbit tahun 1911/1924), Serat Rangsangtuban (terbit tahun 1912), Subasita (terbit tahun 1914), Maduwasita (terbit tahun 1918), Serat Prabangkara (terbit tahun 1921), Serat Kandhabumi (terbit tahun 1924), serta Serat Kabarangin. 1. Layang Bauwarna Serat Bauwarna (1898) merupakan salah satu karya besar Ki Wirapustaka (Padmasusastra) yang isinya dapat dikategorikan seperti ensiklopedi Jawa. Sistem penulisannya berdasarkan Dentawyanjana (urutan alphabet Jawa). Karena banyaknya informasi yang disampaikan, maka naskah ini ditulis menjadi empat jilid, dengan rincian: jilid I meliputi aksara ha-na-ca-ra-ka, jilid II aksara da-ta-sa-wa-la, jilid III aksara pa-dha-ja-ya-nya, dan jilid IV aksara ma-ga-ba-tha-nga. Ki Wirapustaka sangat objektif dalam menulis naskah ini, karena setiap kutipan selalu dicantumkan sumbernya. Serat Bauwarna dalam bentuk tulisan tangan yang ada sekarang tersimpan di Museum Radyapustaka Surakarta. Naskah ini dimungkinkan asli, sebab terdapat banyak coretan akibat terulang penulisannya. Di samping itu, ada tambahan kata yang disisipkan dengan gaya tulisan yang sama dengan tulisan naskahnya, sehingga menjadikan halaman tidak urut. 2. Kawruh Basa. Uraian bahasa Jawa tentang tingkat tutur ngoko, madya, dan krama. Buku ini digunakan sebagai buku bacaan pelajaran di sekolah-sekolah. 3. Layang Basa Sala. Variasi bahasa yang diilustrasikan dengan percakapan bahasa Jawa di Surakarta. Ilustrasi percakapan itu diberi judul: Nawu, Bentik, Ngantih, Tandur, Derep, Pari, Adang, Ngliwet, dan sebagainya 4. Sêrat Kandha Bumi. Kisah tentang dua orang bersaudara yang bernama Raden Sapartitala dan Endang Siti Pasir. Setelah kedua orang tuanya meninggal, mereka diasuh oleh Resi Rasatala di Lebu Pasir. Secara diam-diam Sapartitala meninggalkan Siti Pasir, mengabdi kepada Maha Prabu Sultan Mangkubumi di Bantala Rengka. Karena kepiawaiannya, maka ia dipercaya menjadi patih. Dalam usaha mencari kakaknya, Siti Pasir bertemu dengan Prabu Sultan Mangkubumi dan akhirnya diperistri, sekaligus bertemu dengan Raden Sapartitala. 5. Cariyos Lêlampahanipun Ki Padmasusastra Dhatêng Nagari Nèdêrlan Nalika Taun Masèhi 1891. Kisah perjalanan Ki Padmasusastra (1843-1926) ke Belanda. Berangkat dari Surakarta menuju Semarang naik kereta api, kemudian naik kapal laut,. Kepergian ke Belanda tersebut, atas undangan H. A. De Nooy, seorang pemeriksa pemerintah untuk pendidikan pribumi. Ki Padmasusastra berangkat tanggal 14 September 1891 dan tiba di Belanda (muara Amode) pada tanggal 3 November 1891. 6. Layang Madubasa I dan II. Daftar kata beserta uraian tentang ajaran moral para cerdik-cendekia pada masa lalu yang pantas untuk diteladani dan dilaksanakan. Ajaran itu disampaikan kembali oleh pengarang berdasarkan pengalamannya pada ciri-ciri kehidupan orang Jawa, Belanda, Cina, dan Islam. 7. Sêrat Maduwasita. Bermacam-macam ajaran yang harus ditaati tentang tindakan "nistha, madya, dan utama". Ajaran disampaikan dalam bentuk perumpamaan (pepindhan), cerita hewan, dan tumbuh- tumbuhan. Misalnya perumpamaan bagi sifat "nistha", ular yang mengandalkan bisanya, kijang yang mengandalkan kecepatan larinya, dan gajah yang mengandalkan badannya yang tinggi-besar, sebagai watak "adigang-adigung- adiguna". 8. Sêrat Prabangkara Kisah kepergian sampai kembalinya putra mahkota yang bernama Pangeran Adipati Prabangkara putra Prabu Andakara di negara Hindu. Akhirnya Pangeran Adipati Prabangkara menikah dengan Rara Apyu. Serat Prabangkara merupakan salah satu dari empat karya besar Padmasusastra (1843-1926), (Serat Prabangkara, Serat Kabar Angin, Serat Rangsang Tuban, dan Serat Kandhabumi). Serat ini adalah merupakan gambaran unsur api, bagian dari empat unsur alam yang dikemas dalam sebuah cerita atau kisah secara runtut. 9. Rangsang Tuban. Kisah kedua pangeran di kerajaan Tuban, bernama Pangeran Warihkusuma dan Pangeran Adipati Warsakusuma, oleh karena berebut isteri (Rara Endang) akhirnya harus perang dan meninggal. Serat ini merupakan petikan dari Serat Wedhaparaya karya Empu Manehguna di Lamongan. 10. Sêrat Subasita. Uraian tentang sikap sopan santun orang Jawa mencakup hal-hal yang masih pantas untuk dilestarikan dan dilakukan serta hal-hal yang harus dihindari. Serat Subasita ini menjadi dasar sopan santun orang Jawa. 11. Sêrat Tatacara. Uraian tentang budaya, adat-istiadat, upacara tradisi (sejak seorang ibu mengandung, melahirkan, khitan, nikah, sampai kematian), permainan, dan kesenian orang Jawa yang dikemas dalam bentuk cerita. Aplikasi dari cerita itu digambarkan dalam siklus kehidupan manusia mulai dari dalam kandungan, lahir, menikah, sampai meninggal dunia. Buku ini telah diterbitkan oleh Commissie voor de Volkslectuur Jakarta. Buku ini dikutip oleh J. Kats dimasukkan dalam buku "Warna Sari" sebagai bacaan di sekolah para calon guru pada tahun 1929. 12. Layang Têmbung Bêcik. Kumpulan kata indah yang diurutkan berdasarkan alfabet Jawa (Dentawyanjana), yang dipakai dalam bahasa sastra dan disertai deskripsi penggunaannya. 13. Sêrat Urapsari. Paramasastra, khususnya tingkat tutur ngoko, ngoko andhap: antyabasa, ngoko andhap: basa antya, krama: wredha krama, mudha krama, krama inggil, krama desa, basa kadhaton, madya ngoko, madya krama, madyantara disertai bacaan berupa gancaran seperti Sêrat Kabar Jiwakandha, Kaindhakaning Sêsêrêpan, Indhaking Kasagêdan, Jampi, Raosing Manah, Sêrat Ajisaka, dan Gancaran Cariyos Rama. 14. Sêrat Wedhamadya. Perayaan ulang tahun Pakubuwana X yang ke-33 di Surakarta dengan mengundang tamu dari keraton Ngayogyakarta, Pakualam, Mangkunagaran, maupun tamu asing. Dalam suasana kemeriahan itu terdengar kabar bahwa Kangjeng Ratu Timur, nenek PB X meninggal dunia. 15. Kabar angin Kisah raja dari kerajaan Marutamanda yang bernama Prabu Sindung Aliwawar. Dia mempunyai anak bernama Prabu Timur. Prabu Timur mempunyai dua anak bernama Raden Prakempa dan Dewi Bantarangin. Raden Prakempa tidak patuh pada aturan ayahnya, dia menjadi pedagang dengan mengarungi samudra. Akhirnya Raden Prakempa dirampok oleh bajag laut, setelah hartanya dirampas lalu dijual sebagai budak kepada Juragan Bayubajra. Raden Prakempa akhirnya bertobat, merasa berdosa kepada orang tuanya. Karena kepandaian dan kebaikannya, Raden Prakempa dinikahkan dengan putrinya yang bernama Dewi Erawati. Adapun saudara Dewi Erawati yang bernama Jaka Erawana mengabdi ke kerajaan Marutamanda, yang akhirnya dijadikan menantu oleh raja, dinikahkan dengan saudara Raden Prakempa yang bernama Dewi Bantarangin. Dalam pelayarannya, Jaka Erawana dan Raden Prakempa dirampok oleh bajag laut, namun mereka berhasil meloloskan diri. Akhirnya setelah menyusun kekuatan, berhasil menaklukkan bajag laut. Kemudian mendirikan kerajaan baru di pulau tersebut. Raden Prakempa beserta seluruh rakyat akhirnya musnah karena gunung yang ada di pulau tersebut meletus. 16. Sêrat Pustakaraja-purwa Menceritakan ketika Pulau Jawa, Sumatra dan Madura mulai dihuni manusia sampai tahun 309, asli karya R. Ng. Ronggowarsito, kemudian diperbaiki bahasa dan sastranya dan disahkan serta diterbitkan oleh Ki Padmasusastra. Buku ini diterbitkan di penerbit H. Buning Yogyakarta. 17. Sêrat Pathibasa Pengetahuan bahasa yang menerangkan penggunaan kosakata jawa yang memiliki arti sama atau hampir sama (seperti dasanama / sinonim) secara tepat. Buku ini juga digunakan sebagai bku ajar di sekolahan, diterbitkan di penerbit ”Papyrus” Jakarta oleh ”Commissie voor de Volkslectuur” pada tahun 1916, dengan tebal 413 halaman. 18. Sêrat Paramayoga, Menceritakan kisah Kangjêng Nabi Adam serta silsilah para Dewa yang merupakan karangan Radèn Ngabèi Ronggowarsito, disahkan dan diedit menurut tatabahasa yang kemudian diterbitkan oleh ”H. Buning" Yogyakarta tahun 1912. 19. Paramabasa, Memuat pengetahuan bahasa, pernah dicetak dan diterbitkan pada tahun 1883, tidak jelas di percetakan mana tidak diketahui. 20. Sêrat Erang-erang Berisi dongeng dan cerita yang maknanya cenderung berupa ungkapan perasaan marah, dan mencemooh orang yang suka minum candu, minum alkohol yang berakibat mabuk. Buku ini telah diterbitkan oleh Commissie voor de Volkslectuur di Jakarta. Buku ini sempat dikutip oleh J. Kats dalam buku "Pêpêthikan" yang digunakan untuk bacaan pada sekolah para calon guru tahun 1922. 21. Layang Basa Jawa Sesuai dengan judulnya yakni berisi tentang pengetahuan berbahasa Jawa. Seperti buku atau Serat Erang-erang, buku ini juga diterbitkan oleh Commissie voor de Volkslectuur Jakarta, dan oleh J. Kats buku ini dikutip dimasukkan dalam buku "Pêpêthikan" untuk bacaan di sekolah calon guru juga pada tahun 1922. 22. Sêrat kancil tanpa sêkar Berisi cerita Kancil yang lucu. Buku ini juga diterbitkan oleh Commissie voor de Volkslectuur Jakarta tahun 1922, dan oleh J. Kats buku ini dikutip dimasukkan dalam buku "Pêpêthikan" untuk bacaan di sekolah. Kweekschool dan Normaalschool. Bahkan buku ini pada tahun 1911 telah menjadi bacaan yang menarik di perpustakaan (taman pustaka). 23..Sêrat Urapsari Merupakan dialog yang berisi penjelasan secara terperinci tentang struktur bahasa Jawa menurut unggah-ungguh tatakrama. Buku ini oleh J. Kats dikutip dan dibukukan dalam "Sêrat Warna Sari" pada tahun 1929. 24 Durcara Arja Berisi petuah kebaikan, perbuatan jelek dan akibatnya, begitu pula jika berbuat baik akan mendapatkan kebaikan. Buku ini sebagian dikutip dalam sêrat "Warnasari" terbitan 1929. . 25. Piwulang bêcik Berisi ajaran baik, kalimatnya pendek-pendek berupa ajakan untuk berbuat baik. Penyajiannya diurutkan sesuai alphabet (dentawyanjana), buku ini telah diterbitkan oleh Commissie voor de Volkslectuur Jakarta, dan dicetak di percetakan H. A. Benjamin di Sêmarang tahun 1911. 26. Kawruh klapa Buku ini lebih bercerita tentang bagaimana cara menanam kelapa, pemeliharaannya, sampai pada manfaat tanaman kelapa. Bahkan dia berharap Pulau Jawa dapat menjadi pusat perdagangan kelapa. Buku ini telah diterbitkan oleh Commissie voor de Volkslectuur, Jakarta pada tahun1911. 27. Sopanalaya Berisi tentang ajaran kesempurnaan hidup, pengarang aslinya adalah R.Ng. Ronggowarsito. Ki Padmosusastro menyempurnakan kebenaran bahasa disesuaikan dengan tatabahasa Jawa, kemudian diterbitkan di Kediri. 28. Warnabasa Berisi uraian tentang bahasa Jawa, jenis kata, dan unggah-ungguh. Buku ini telah terbit pada tahun 1914. 29. Bêlêtri Buku khusus berisi kata-kata dan kalimat indah atau susastra yang diambil dari bacaan buku- buku kuno yang diurutkan secara alphabetis. Buku ini telah diterbitkan oleh "H. Buning" Yogyakarta pada tahun 1914. 30. Hariwara Berupa pawukon yang merupakan perhitungan hari, windu, tahun, bulan, wuku, watak hari pasaran, perhitungan hari baik-buruk untuk suatu hajad penting. Buku ini dikarang pada tahun 1890 dan diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kêdhiri. . Terima Kasih