B. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Belakangan ini beberapa orang khususnya generasi muda menganggap karya
sastra itu kurang penting dan kurang menarik. Selain itu, mahasiswa sastra pun yang
setiap hari berkecimpung mempelajari karya sastra, banyak yang kurang memahami apa
itu karya sastra. Padahal jika diamati lebih dalam, karya sastra merupakan salah satu
aspek yang dapat membentuk karakter mahasiswa dan generasi muda. Salah satunya
yaitu, melalui kegiatan membaca, menulis, melihat karya sastra. Kegiatan tersebut, dapat
membentuk karakter yang tekun serta kritis. Salah satu karya sastra yang kurang diminati
para generasi muda adalah puisi jawa (geguritan).
Banyak sekali generasi muda yang kurang tertarik membaca atau bahkan menulis
geguritan. Hal ini disebabkan, karena kurangnya pemahaman dalam kosakata bahasa
jawa, serta kurangnya minat untuk mempelajari geguritan. Kedua hal tersebut menjadi
masalah yang mungkin sulit diselesaikan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan
kesadaran dari diri sendiri. Dengan begitu, generasi muda pada khususnya akan lebih
menghargai dan mengenal apa itu geguritan di dalam karya sastra, serta dapat
mengapresiasi geguritan itu sendiri. Dengan memahami teori strata norma menurut
Roman Ingarden, seseorang yang akan menulis dan membaca geguritan/ puisi, akan lebih
memahami dan memmaknai seuruh isi yang ada di dalam puisi/ geguritan tersebut.
Kesadaran dari diri sendiri sangat diperlukan , mengingat bahwa geguritan juga
merupakan karya sastra yang sudah ada sejak zaman dahulu. Maka dari itu, sebagai
generasi muda perlu dan penting akan melestarikan budaya dan karya sastra yang ada di
Indonesia.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara memaknai geguritan “koran” menurut Riffatere?
2. Bagaimana cara memaknai geguritan “bumiku” menurut Riffatere?
C. Kajian Teori
Geguritan “Koran”
I.Ketidaklangsungan ekspresi
Satra merupakan salah satu aktivitas berbahasa. Bahasa sastra berbeda dengan bahasa
sehari-hari. Bahasa sehari-hari bersifat mimetic, sedangkan bahasa sastra bersifat
semiotik. Karya sastra mengekspresikan konsep-konsep dan hal-hal melalui
ketidaklangsungan. Dengan kata lain, karya sastra menyatakan sesuatu dan mengandung
arti lain.
a. Pergeseran Makna (Displacing of Meaning)
Pergeseran makna terjadi apabila suatu tanda mengalami perubahan dari satu arti
ke arti yang lain, ketika suatu kata mewakili kata yang lain. Umumnya, penyebab
dan metonimi.
Dalam geguritan “Koran”, pergantia arti terdapat pada :
Baris ke-6 : mosak-masike donya, dimana kata “mosak-masike” memiliki makna
yang sebenarnya segala keriwehan, berantakan”
Baris ke-7 : maju mundure nagara, dimana kata “maju mundure” memiliki arti
kemajuan dan kemunduran (suatu perubahan).
Baris ke-7 : maju mundure nagara, disini memiliki makna yang dimaksud
penyair yaitu perkembangan suatu Negara entah maju atu mundurnya suatu
Negara, bukannya suatu Negara disuruh untuk berjalan maju atau mundur.
Baris ke-2 : saben dina ing omah ku, disini penyair memiliki maksud
yaitu setia hari Koran selalu dikirim ke rumah si aku setip hari, bukannya Koran
datang berknjung ke rumah si aku setiap hari untuk bertamu.
Baris ke-11 : mula ora katinggalan informasi, maksud penyair adalah
supaya dengan membaca Koran, kita tidak akan ketinggalan informasi mengenai
perkembangan Negara ini, bukannya kita ditinnggal pergi oleh informasi. Tidak
terdapat non-sense disini.
Typografi, yaitu tata huruf dalam puisi yang dapat menciptakan makna.
Dalam geguritan “Koran” , terdapat format penulisan rata kiri. Hal
tersebut mungkin pengarang mempunyai maksud tersendiri mengenai
format penulisan tersebut.
a. Pembacaan heuristic sering disebut dengan pembacaan tahap pertama. Pada tahap
inilah, kompetensi kebahasaan dan kesastraan memainkan peran penting. Melalui
kedua kompetensi tesebut, pembaca dapat mengenali adanya “keanehan-keanehan”
dalam sebuah karya sastra, baik dalam hal- hal yang berkaitan dengan strukturkarya
sastra secara keseluruhan. Puisi dibaca secara linier menurut struktuur normative
bahasa.
Koran, demikian judul geguritan tersebut. Koran adalah salah satu media masa yang
di dalamnya memuat infomasi terkini yang dicetak dan diterbitkan secara berkala.
Koran dan majalah sama-sama tergolong media masa yang memuat informasi. Hanya
saja, Koran dicetak dalam bentuk lembaran, sedangkan majalah dicetak dalam bentuk
buku.
Bait pertama pada geguritan “Koran” jika dibaca secara heuristic memiliki makna
sebagai berikut :
Taktunggu (tunggu) tekamu, Saben dina (ana) ing omahku, Kabar (mu) kang
daktunngu, (sing) saka awakmu, (sing) nambahi wawasanku, (babagan) mosak-
masike donya (iki), maju (lan mundure) Negara (iki), Minangnka (ana) warta, Koran
mingka alat (kanggo) komunikasi, Kang kudu diwerdi (isine), Mula ora (bakal)
ketinggalan informasi.
Pada proses pembacaan tahap kedua dikenali adanya matriks, model, varian-
varian. Karya sastra merupakan hasil transformasi matriks yaitu sebuah model
minimal yang harafiah, menjadi bentuk yang lebih panjang, kompleks dan tidak
harafiah. Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai
aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak
pernah muncul dalam teks.
Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk-bentuk varian
tersebut diatur oleh aktualisasi primer/ pertama, yang disebut sebagai model. Matriks,
model dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama. Kompleksitas teks
pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. D engan demikian, matriks
merupakan motor/generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata cara
pemerolehannya/pengembangannya.
Matriks dalam geguritan “Koran” yaitu kata Koran itu sendiri. Hal tersebut
merupakan kata kunci atau pokok dari isi geguritan itu sendiri.
Sedangkan model pada geguritan ini, terdapat pada baris ke-9 yaitu pada kata
“Koran alat komunikasi”.
Varian pada geguritan ini yaitu fungsi Koran sebagai alat komunikasi. Dengan
membaca Koran, penyair mengharapkan supaya si pembaca Koran dapat memperoleh
banyak wawasan dan informasi mengeni perkembangan (kemajuan dan kemunduan)
suatu Negara.
Geguritan “Bumiku”
I.Ketidaklangsungan ekspresi
Satra merupakan salah satu aktivitas berbahasa. Bahasa sastra berbeda dengan
bahasa sehari-hari. Bahas a sehari-hari bersifat mimetic, sedangkan bahasa sastra
bersifat semiotik. Karya sastra mengekspresikan konsep-konsep dan hal-hal melalui
ketidaklangsungan. Dengan kata lain, karya sastra menyatakan sesuatu dan
mengandung arti lain.
a. Pergeseran Makna (Displacing of Meaning)
Pergeseran makna terjadi apabila suatu tanda mengalami perubahan dari satu arti
ke arti yang lain, ketika suatu kata mewakili kata yang lain. Umumnya, penyebab
dan metonimi.
Dalam geguritan “Bumiku”, pergeseran makna terdapat pada :
Baris ke-5 : ana ing sawah anggarap siti, dimana kata “anggarap siti”
mempunyai maksud yang sesungguhnya yaitu mengerjakan / garap lemah
(bertani)
Baris ke-8 : koyo-koyo wis ora ijo-ijoan meneh, disini memiliki arti yang
sesungguhnya yaitu bahwa di bumi ini, banyak pepohonan yang ditebang secara
liar. Padahal dahulu kala, banyak pepohonan hijau yang ada di bumi ini.
Typografi, yaitu tata huruf dalam puisi yang dapat menciptakan makna.
Dalam geguritan “Koran” , terdapat format penulisan rata kiri. Hal
tersebut mungkin pengarang mempunyai maksud tersendiri mengenai
format penulisan tersebut.
Bait pertama pada geguritan “Bumiku” jika dibaca secara heuristic memiliki makna
sebagai berikut :
Bumiku
(Oh) Bumiku…
Kabentang (kabeh) indahe bumiku
Tan katon (kabeh) ijo royo-royo
Para kewan pada manut mring ndarane (dewe-dewe)
(Padha) Ana ing sawah anggarap siti
Nanging, saiki (wis) ora koyo mbiyen
Nanging, saiki bumiku (iki) wis (padha) rusak
(Lan ) Koyo-koyo wis ora ana ijo-ijoan meneh
Karono ulahe manungsa (ne)
Leno marang wektu (iki)
Lan nglirwakake kewajiban (iki)
Marang (ngarsanipun) gusti
Sing akaryo jagad (iki)
III. Hipogram
Hipogram merupakan sebuah sistem tanda yang berisi setidaknya sebuah
pernyataan yang bisa saja sebesar sebuah teks, bisa hanya sebuah potensi
sehingga terihat dalam tataran kebahasaan, atau bisa juga actual sehingga
terdapat dalam teks sebelumnya. Pencairan hipogram adalah pencairan latar
belakang penciptaan teks yang diperbandingkan dengan teks yang lain,
sehingga dapat ditemukan teks yang menjadi dasar seorang penyair
menuliskan sebuah karya sastra berupa geguritan (Riffaterre, 1987 :23).
Tujuan dari pencairan hipogram adalah untuk menemukan pemaknaan secara
utuh.
Hipogram atau hubungan intertekstual antara geguritan “Koran” dan
“bumiku”, yaitu tidak ditemukannya hipogram disini.
D. Penutupan
I.Kesimpulan
Berdasarkan teori Riffatere, memaknai puisi seperti donat, ada 4 hal di dalamnya yaitu
ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan heuristik dan hermeneutic, matrik model dan
varian,serta hipogram atau pembacaan intertekstual.
Pada geguritan Koran dijelaskan bahwa dengan membaca Koran, kita akan mengetahui
perkembangan dunia, sehingga tidak ketinggalan informasi. Sedangkan pada geguritan
bumiku, menceritakan bahwa bumi saat ini tak sindah dulu. Dahulu masih banyak
pepohonan hijau, namun sekarang jumlah pepohonan semakin sedikit, akibat ulah
manusia terlena oleh waktu dan ;upa akan kewajiban kepada Tuhan. Dengan memahami
teori Riffatere, maka kita dapat memaknai puisi dalam berbagai sudut pandang.
E. Lampiran
Koran
Dening : Harum Sunya Iswara
Nambahi wawasanku
Mosak-masike donya
Maju mundure Negara
Tak tunggu tekamu
Saben dina ing omahku
Kabar kang dak tunggu
Saka awakmu
Minangka warta
Koran minangka alat komunikasi
Kang kudu diwerdi
Mula ora katinggalan informasi
Bumiku
Bumiku…
Kabentang indahe bumiku
Tan katon ijo royo-royo
Para kewan pada manut mring ndarane
Ana ing sawah anggarap siti
Nanging, saiki ora koyo mbiyen
Nanging, saiki bumiku wis rusak
Koyo-koyo wis ora ana ijo-ijoan meneh
Karono ulahe manungsa
Leno marang wektu
Lan nglirwakake kewajiban
Marang gusti,
Sing akaryo jagad