Gowa dan Tallo pra-Islam merupakan kerajaan kembar milik dua bersaudara. Berawal di pertengahan
abad ke-16, pada masa pemerintahan Gowa IV Tonatangka Lopi, ia membagi wilayah Kerajaan menjadi
dua bagian untuk dua putranya, Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero. Hal ini dikarenakan kedua
putranya sama-sama ingin berkuasa.
Batara Gowa melanjutkan kekuasaan sang ayah yang meninggal dunia dengan memimpin Kerajaan Gowa
sebagai Raja Gowa VII. Sedangkan adiknya, Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru bernama Tallo.
Dalam perjalanannya, dua kerajaan bersaudara ini dilanda peperangan bertahun-tahun. Hingga kemudian
pada masa Gowa dipimpin Raja Gowa X, Kerajaan Tallo mengalami kekalahan. Kedua kerajaan kembar itu
pun menjadi satu kerajaan dengan kesepakatan “Rua Karaeng se’re ata” (dua raja, seorang hamba).
Sejak keduanya menyepakati perjanjian maka siapa pun yang menjabat sebagai Raja Tallo, menjabat
sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa. Para sejarawan kemudian menamakan kedua kerajaan Gowa dan
Tallo dengan Kerajaan Makassar.
Ketika kerajaan Gowa – Tallo memperluas wilayah dan pada saat yang sama banyak pedagang dari
kepulauan nusantara yang menetap di Makassar. Mereka terdiri atas pedagang Melayu dari Pahang,
Patani, Johor, Campa, Minangkabau, dan Jawa.
Berdasarkan Lontara Pattorioloang (Lontara Sejarah), pada masa pemerintahan Raja Gowa X
Tonipalangga, terdapat sebuah perkampungan Muslim di Makassar. Penduduk kampung Muslim terdiri
atas para pedagang Melayu tersebut. Bahkan, pada masa pemerintahan raja berikutnya, Tonijallo (1565-
1590 M), berdiri sebuah masjid di Manggallekanna, tempat para pedagang itu bermukim.
Inisiatif untuk mendatangkan mubaligh khusus ke Makassar sudah ada sejak Anakkodah Bonang
(Nahkodah Bonang 3), seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang, berada di Gowa pada 1525.
Akan tetapi, baru berhasil setelah memasuki awal abad 17 dengan kehadiran tiga orang mubaligh yang
bergelar datuk dari Minangkabau.
Para mubaligh yang datang ke Makassar disebut dengan Dalto Tallu (Tiga Dato) atau sumber lain
menyebut Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar). Ketiganya bersaudara dan berasal dari Kota
Tengah, Minangkabau. Mereka, yakni Dato’ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal), Dato’ri
Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), Dato’ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu).
Prof Andi Zainal dalam Sejarah Sulawesi Selatan menuturkan, ketiga ulama tersebut tidak datang serta-
merta langsung mendakwahkan Islam kepada para raja. Mereka terlebih dahulu mempelajari kebudayaan
Bugis-Makassar di Riau dan Johor.Pasalnya, di dua tempat tersebut banyak etnis Bugis-Makassar
bermukim. Baru setelah sampai di Makassar, mereka menemui para pedagang Melayu yang tinggal di
sana. Dari keterangan merekalah diketahui bahwa raja yang paling dihormati adalah Datuk Luwu’,
sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa. Maka, tiga raja itulah yang
menjadi objek dakwah para ulama Melayu tersebut.
Pada awalnya para mubaligh tersebut berhasil mengislamkan Raja Luwu, yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng
Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 1013 H atau 4-5 Februari 1605 M.
Kemudian, mereka pun berhasil mengislamkan Kerajaan Gowa-Tallo.
Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan
syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M. Ia pun kemudian bergelar
Sultan Abdullah. Selanjutnya, Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia mengucapkan syahadat
pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M. Secara resmi, raja dari kerajaan Gowa-Tallo
memeluk agama Islam.
Kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Indonesia
bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor :
a. Letak yang strategis,
b. Memiliki pelabuhan yang baik
c. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-pedagang
yang pindah ke Indonesia Timur.
Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak disinggahi
oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk
berdagang di Makasar.
Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak disinggahi
oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk
berdagang di Makasar.
Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan ADE’
ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka
perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat.
Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga menguasai
daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.
Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan
Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat
menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan
Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat. Daerah kekuasaan Makasar
luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal
sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan
monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia
(pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan
kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan
menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-
porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas
keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam
Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan
melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja
Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk
melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk
menghancurkan Makasar.
Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara
terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun
1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung.
Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan
melawan Belanda.Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya
secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar
mengalami kehancurannya.
Masjid Katangka
Masjid Katangka atau kini disebut masjid Al-Hilal adalah masjid
peninggalan Kerajaan Gowa Tallo yang diperkirakan dibangun
pada tahun 1603. Masjid ini secara administratif kini terletak di
Desa Katangka, Kec. Somba Opu, Gowa, tak jauh dari
kompleks pemakaman Sultan
Hassanudin. Nama Katangka
diyakni berasal dari nama
bahan pembuatannya yaitu
kayu Katangka.
Batu pallantikang
Batu pallantikang atau batu
pelantikan adalah sebuah batu andesit yang diapit batu kapur.
Batu peninggalan Kerajaan Gowa Tallo ini dipercaya memiliki
tuah karena dianggap sebagai batu dari khayangan. Karena
anggapan tersebut, sesuai namanya batu ini digunakan
sebagai tempat pengambilan sumpah atas setiap raja atau
penguasa baru di kerajaan Gowa Tallo. Batu ini masih insitu
atau berada di tempat aslinya, yakni di tenggara kompleks
pemakaman Tamalate.