Dosen Pengampu:
Zulkifli,MA
Oleh :
1. Rida Salamah (11190820000019)
2. Gumpita Nurul Haq (11190820000020)
3. Rachma Dini (11190820000139)
KELAS B
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.....................................................................................................2
PEMBAHASAN ...............................................................................................
1.Latar belakang berdirinya kerajaan Gowa –Tallo...........................................3
2. Letak kerajaan Gowa Tallo ..........................................................................4
3.Perkembangan kerajaan Gowa tallo...............................................................4
4. Kondisi kehidupan kerajaan gowa tallo diberbagai bidang .........................6
5. Silsilah Raja- Raja Kerajaan Gowa Tallo ....................................................8
6. Masa kejayaan kerajaan Gowa Tallo ..........................................................10
7. Hubungan antara Gowa tallo dengan VOC................................................. 12
8. Perang yang terjadi di kerajaan gowa tallo (perang makassar )...................15
9. Penyebab kehancuran .................................................................................19
10. Perjanjian Bongaya...................................................................................21
11. Peninggalan kerajaan.................................................................................25
2
PEMBAHASAN
1. .Latar belakang berdirinya kerajaan Gowa –Tallo
Gowa dan Tallo adalah dua kerajaan yang berdiri di daerah Sulawesi Selatan. Tahun 1605, raja
Gowa yang bernama Daeng Manrabia dan raja Tallo yang bernama Karaeng Matoaya memeluk
agama Islam. Kemudian keduanya menyatukan wilayah kedua kerajaan mereka dengan Daeng
Manrabia sebagai rajanya. Sementara, Karaeng Matoaya menjabat sebagai perdana menteri. Daeng
Manrabia mengganti namanya menjadi Sultan Alauddin dan Karaeng Matoaya mengganti namanya
menjadi Sultan Abdullah. Sebagai penganut Islam, kedua penguasa kerajaan tersebut dimusuhi oleh
himpunan pedagang Belanda di Hindia Timur (Vereenigde Oost Indische Compagnie = VOC) yang
ingin menguasai perdagangan di kawasan tersebut. Hingga wafatnya pada tahun 1639, Sultan
Alauddin tidak pernah mau menerima kapal-kapal Belanda di pelabuhan-pelabuhan milik Gowa–
Tallo.
Sepeninggal Alauddin, tahta raja diduduki oleh Sultan Muhammad Said. Seperti halnya ayahnya,
Sultan Muhammad Said tidak pernah mau berdamai dengan Belanda yang menurutnya licik dan suka
memaksa. Tahun 1653, Sultan Muhammad Said digantikan oleh putranya yang bernama
Hasanuddin. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin inilah perseteruan dengan VOC semakin
memuncak. Kondisi ini diperparah oleh terjadinya pemberontakan seorang bangsawan Bone yang
bernama Aru Palaka pada tahun 1660. VOC yang membenci Sultan Hasanuddin memberikan
bantuan pada Aru Palaka. Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian yang mengakui
monopoli VOC di wilayah kerajaannya. Isi perjanjian Bongaya adalah sebagai berikut.
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses
yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang
berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi bagian selatan. Wilayah kerajaan ini sekarang
berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya.
Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu
melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang
dibantu oleh Kesultanan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa (dinasti) Suku Bugis dengan rajanya,
Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari
kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang
Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya pada abad ke-17.
3
2. Letak kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan
sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di
daerah Sulawesi Selatan. Makassar sebenarnya adalah
ibukota Gowa yang dulu disebut sebagai
Ujungpandang. Secara geografis Sulawesi Selatan
memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan
jalur pelayaran perdagangan Nusantara.
Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertahta Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9,
bernama Tumapa’risi’ Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis berkomentar
bahwa “daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil”. Dengan melakukan perombakan besar-
besaran di kerajaan, Tumapa’risi’ Kallonna mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi
antar-komunitas yang longgar menjadi sebuah negara kesatuan Gowa.
Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian merekatkannya dengan sebuah
sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan
(ampasiewai) akan mendapat hukuman Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan
peperangan dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang
syahbandar untuk mendanai kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu
Gowa, masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan penangkapan
ikan banyak.
Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara
tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang kemudian berusaha
ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya pada abad ke-16 dan ke-17. Kerajaan-kerajaan yang
ditaklukkan oleh Tumapa’risi’ Kallonna diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta Kesultanan Bone,
walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh Tunipalangga.
4
Tunipalangga dikenang karena sejumlah pencapaiannya, seperti yang disebutkan dalam Kronik
(Cerita para pendahulu) Gowa, diantaranya adalah:
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, VOC berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi, tetapi belum berhasil menundukkan Kesultanan
Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik tahta, ia berusaha menggabungkan kekuatan
kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan VOC (Kompeni).
Kesultanan Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa ke-1,
Tumanurung, hingga mencapai puncak keemasannya pada abad ke-17, hingga kemudian mengalami
masa penjajahan dibawah kekuasaan Belanda. Dalam pada itu, sistem pemerintahan mengalami
transisi pada masa Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir
Aidudin, menyatakan Kesultanan Gowa bergabung menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka
dan bersatu, dan berubah bentuk dari kerajaan menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Gowa.
Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa
terakhir dan sekaligus Bupati Kabupaten Gowa pertama.
5
4. Kondisi kehidupan kerajaan gowa tallo diberbagai bidang
a) Kehidupan Politik Kerajaan Gowa Tallo
Penyebaran islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato Ri
Bandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama islam brkembang pesat di Sulawesi
Selatan, bahkan raja Makasar memeluk agama islam adalah Sultan Alaudin. Sejak
pemerintahan Sultan Alaudin Kerajaan Gowa Tallo berkembang sebagai Keajaan maritim.
Kerajaan Gowa Tallo berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammada
Said (1639-1653). Kerajaan Gowa Tallo mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintah
Sultan Hasanudin (1653-1669). Pada masa pemerintahaannya Makasar berhasil memperluas
wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah
yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo,
Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makassar sampai Nusa Tenggara Barat.
Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut
dengan ade’ aloping loping bicaranna pabbalue, sehingga dengan adanya hukum niaga
tersebut, maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang
pesat.
6
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis mendorong para pedagang mencari daerah atau
pelabuhan yang menjual belikan rempah-rempah.
Halauan politik Mataram sebagai kerajaan agraris ternyata kurang memperhatikan
pemngembangan pelabuhan-pelabuhan di Jawa. Akibatnya dapat diambil alih oleh
Makasar.
Kemahiran penduduk Makasar dalam bidang pelayaran dan pembuatan kapal besar jenis
Phinisi dan Lambo.
Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan
dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak
jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun
masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan
hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka
anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama
Islam yang disebut pangadakkang. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-
norma tersebut.Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan
sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya
disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to
Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan
“Ata”.
7
Dinyatakan bahwa Mangkubumi kerajaan Gowa / Raja Tallo I Mallingkaeng Daeng
Manyonri mula-mula menerima dan mengucapkan kalimat Syahadat (Ia di beri gelar Sultan
Abdullah Awwalul Islam) dan sesudah itu barulah raja Gowa ke-14 Mangenrangi Daeng
Manrabia (Sultan Alauddin).
Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa-Tallo memeluk agama Islam berdasar atas
prinsip cocius region eius religio, dengan diadakannya shalat Jumat pertama di masjid Tallo
tanggal 9 November 1607 / 19 Rajab 1016 H. Adapun yang mengislamkan kedua raja
tersebut ialah Datu ri Bandang (Abdul Makmur Chatib Tunggal) seorang ulama datang dari
Minangkabau (Sumatera) ke Sulawesi Selatan bersama dua orang temannya yakni Datu
Patimang (Chatib Sulaeman) yang mengislamkan pula Raja Luwu La Pataware Daeng
Parabung dan Datu ri Tiro (Chatib Bungsu) yang menyebar Agama Islam di Tiro dan
sekitarnya.
Sekitar enam tahun kemudian, kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan pun menerima
Islam. Penyebarannya di dukung oleh Kerajaan Gowa sebagai pusat kekuatan pengislaman.
Kerajaan bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo dan Sidenreng, berhubung karena menolak,
akhirnya Raja Gowa melakukan perang, karena juga dianggap menentang kekuasaan Raja
Gowa. Setelah takluk, penyebaran Islam dapat dilakukan dengan mudah di Kerajaan Bugis.
8
12. I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565- 1590)
13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593)
14. Sultan Alaudin (1591-1629)
Bergelar I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin I Tuminanga ri Gaukanna, raja Gowa
Tallo ini mulai berkuasa pada tahun 1 sampai 1629. Dia wafat pada 15 Juni 1639. Yang perlu
kalian tahu adalah bahwa raja penguasa Gowa yang paling awal masuk Islam. Prestasi yang
ditorehkan oleh raja Gowa Tallo ini adalah tentang rintisan perdagangan dan pelayaran. Yang
dijula adalah komoditas sumber daya alam di Gowa Tallo. Pelayaran pun juga didukung
penuh karena letak kerajaan yang sangat strategis.
Raja Gowa Tallo yang memiliki gelar I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung
Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna ini mulai menunjukkan tanda-tanda masa
kejayaan Kerajaan Gowa Tallo. Sultan Muhammad Said ini lahir pada 11 Desember 1605 dan
wafat pada 6 November 1653. Semangat juang rakyat Gowa Tallo untuk memajukan
kehidupan dan mendukung perkembangan kerajaan pun semakin dipacu.
Nama asli Sultan Hasanuddin adalah I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto
Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla’pangkana. Dia lahir pada tanggal 12 Januari
1631. Di tangan beliaulah, masa kejayaan Kerajaan Gowa Tallo dapat terwujud. Perluasan
wilayah pun berjalan lancar dengan bukti penambahanwilayah kekuasaan seantero Sulawesi,
dan kehidupan ekonomi rakyat meningkat.
17. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu’ (1669
hingga 1674)
18. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara ( 1674 sampai 1677)
19. Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri
Lakiyung. (1677-1709)
20. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
21. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
22. I Manrabbia Sultan Najamuddin
23. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi; Menjabat untuk kedua kalinya
pada tahun 1735
9
24. I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
25. I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
26. Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
27. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-
1769)
28. I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging
(1770-1778)
29. I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
30. I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-
1825)
31. La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
32. I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri
Kakuasanna (1826 – 1893)
33. I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri
Kalabbiranna (1893 – 1895)
34. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri
Bundu’na (1895- 1906)
35. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur
Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)
36. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir
Aidudin (1946-1978)
Raja ini adalah raja terakhir dalam sejarah Kerajaan Gowa Tallo, karena kemudian kerajaan
ini menjadi kabupaten yang ada di Sulawesi tenggara setelah bergabung dengan wilayah
negara Indonesia.
Bahkan raja ini juga yang memutuskan untuk bergabung dengan Indonesia setelah melalui
pemikiran yang panjang. Jadi, Gowa Tallo sampai sekarang masih dirawat dan ada beberapa
acara warisan nenek moyang yang dilaksanakan.
10
Nusantara yang sangat terkenal pada abad ke-16 dan 17 Masehi dan mempunyai hubungan
diplomasi yang baik dengan kerajaan Ternate di Maluku.
Sebelum abad 16 M, raja-raja Makasar belum memeluk Islam, setelah kedatangan Dato’ Ri
Bandang, seorang penyiar Islam dari Sumatra, Makasar berkembang menjadi kerajaan Islam.
Sultan Alaudin adalah raja Makasar pertama yang memeluk agama Islam, yang berkuasa dari
tahun 1591 sampai 1638 M.Nama asli Sultan Alaudin adalah Karaeng Ma’towaya
Trumamenanga Ri Agamanna. Di bawah kekuasaannya Makasar tumbuh menjadi kerajaan
maritim. Para pelaut mengembangkan perahu jenis Pinisi dan Lambo.
Setelah Sultan Alaudin meninggal, digantikan oleh Muhammad Said pada tahun 1638 – 1653
M. Raja berikutnya adalah Sultan Hasanuddin yang berkuasa dari tahun 1653. Pada masa
pemerintahan Sultan Hasanuddin Makasar menjadi gemilang, majunya perdagangan dan
melakukan ekspansi.Kerajaan yang berhasil dikuasai Makasar di Sulawesi Selatan adalah
Lawu, Wajo, Soppeng dan Bone.
Sultan Hasanuddin berniat menguasai jalur perdagangan Indonesia bagian timur, sehingga
harus menghadapi VOC sebelum menguasai Maluku yang kaya akan lada.Keberanian
Hasanuddin melawan Belanda menyebabkan ia mendapatkan julukan Ayam Jantan dari
Timur. Kisah tentang keberanian Hasanuddin silahkan baca di artikel sejarah Sultan
Hasanuddin Ayam jantan dari timur. Pada tahun 1667 dengan bantuan Raja Bone, Belanda
berhasil menekan Makasar untuk menyetujui Perjanjian Bongaya.
Mengakui Aru Palaka sebagai raja Bone. Setelah Sultan Hasanuddin turun tahta pada tahun
1669 Map Somba putranya berusaha meneruskan perjuangan ayahnya melawan Belanda.
Belanda yang sangat menghargai tindakan kooperatif dari Mapa Somba harus
mempersiapkan armada perang.
Pelaut Makasar sangat tangguh ini ditunjang dengan keahlian mendesain berbagai kapal yang
kuat dan indah seperti Pinisi, Lambo dan Padewalang yang dapat mengarungi daerah
nusantara bahkan sampai ke India dan Cina.Makasar memiliki hukum perdagangan yang
11
disebut Ade Alloping Bicaranna Pabbahi’e, juga mengadopsi hukum-hukum Islam dan
menjalin kerjasama dengan Kerajaan Islam seperti Demak dan Malaka.
12
persenjataan yang beli dari Inggris, Denmark, dan Portugis, Makassar tenyata sulit untuk
ditaklukkan. VOC pun terpaksa mengadakan perdamaian dengan Makassar.
Sebenarnya perjanjian yang di buat VOC hanya sebagai taktik untuk menghimpun
kembali kekuatannya. Terbukti tatkala VOC dipimpin Gubernur Jenderal Maetsuijker (1653-
1678), VOC kembali mengirim armada militer di bawah pimpinan Johan van Dam.
Pertempuran diantara VOC dan Makassar kembali berkobar. Rakyat Makassar amat
bersemangat mempertahankan kedaulatan wilayahnya. Dalam pertempuran itu, VOC
memang sedikit memperoleh kemenangan, tetapi rakyat Makassar tetap menyalakan api
perlawanan di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin. Atas kegigihan dan keberanian
memimpin perjuangan menentang VOC, Sultan Hasanuddin dijuluki Ayam Jantan dari
Timur.
VOC menyadari akan kegigihan perjuangan rakyat Makassar. Oleh karena itu, VOC
kemudian menempuh cara lain yang bisa dilakukannya, yaitu politik devide et impera. VOC
mencium kabar bahwa Raja Bone, Arung Palaka menaruh dendam kepada Sultan
Hasanuddin. Hal ini disebabkan Kerajaan Bone yang beraliansi dengan Kerajaan Sopeng
pernah dikalahkan Makassar. Berita ini memberi peluang kepada VOC untuk melakukan adu
domba kepada Arung Palaka dan Hasanuddin.
Arung Palakka (sering pula ditulis Aru Palaka) lahir pada 15 September 1634. Ia
adalah putra Raja Bone ke-XIII La Maddaremmeng Matinro’e Ri Bukaka. Meskipun
berstatus sebagai pangeran, bukan berarti Arung Palakka bisa menikmati hidup enak.
Sebaliknya, ia terlahir dalam suasana konflik antar-kerajaan di Sulawesi Selatan.
13
tiga kerajaan lainnya untuk menganut agama yang sama sekaligus meluaskan pengaruh
politiknya.
Tahun 1643, Bone benar-benar jatuh dan wilayahnya diperintah langsung oleh Sultan
Gowa. Peristiwa tersebut terjadi ketika Bone dipimpin Sultan La Maddaremmeng yang tidak
lain adalah ayahanda Arung Palakka. Takluknya Bone kepada Gowa membuat Arung
Palakka dan keluarganya dijadikan tawanan. Sejak umur 11, ia sudah merasakan bagaimana
pedihnya hidup tanpa kebebasan kendati perlakuan keluarga Kesultanan Gowa terhadapnya
tidak terlalu buruk. Menurut Palloge Petta Nabba dalam Sejarah Kerajaan Tanah
Bone (2006), Arung Palakka dan keluarganya dijadikan pelayan di kediaman Perdana
Menteri Gowa, Karaeng Pattinggaloang. Namun Pattinggaloang tetap menaruh respek kepada
keluarga Arung Palakka, dan Arung Palakka pun tumbuh menjadi seorang pemuda cerdas
dan gagah di bawah bimbingannya .
Hingga suatu ketika, Arung Palakka akhirnya bisa terbebas dari cengkeraman Gowa
setelah terjadi aksi pemberontakan orang-orang Bone yang dipimpin Tobala. Tobala
sebenarnya adalah orang Bone yang ditunjuk sebagai Regent atau Bupati Bone sebagai
kepanjangan tangan dari Gowa. Lari dari Gowa, Arung Palakka kemudian berlindung di
Kesultanan Buton. Selama tiga tahun tinggal di Buton yang saat itu dipimpin La Sombata
atau Sultan Aidul Rahiem, Arung Palakka bersiap untuk melakukan pembalasan.
Akhir 1660, dibantu beberapa mantan petinggi Kesultanan Bone yang masih setia,
Arung Palakka melancarkan serangan terhadap Gowa dan berhasil membebaskan orang-
orang Bone yang dipekerjakan paksa. Sayangnya, Tobala tewas dalam peperangan tersebut.
14
Di saat yang sama, VOC datang menawarkan bantuan. Kondisi ini sebenarnya
dilematis bagi Arung Palakka. Di satu sisi, ia muak dengan ambisi VOC. Namun di sisi lain,
ia memerlukan dukungan kaum penjajah itu jika ingin menuntaskan dendamnya sekaligus
menjadikan Bone sebagai pemerintahan yang berdaulat lagi.
Akhirnya, pada 1663, Arung Palakka dan para pengikutnya berlayar jauh ke Batavia,
tepat di mana pusat kekuasaan VOC berada. Selain untuk menyelamatkan diri dari kejaran
Gowa, Arung Palakka ternyata harus membuktikan terlebih dulu bahwa ia memang benar-
benar butuh bantuan VOC.
Pasukan Arung Palakka yang beranggotakan 400 orang semakin percaya diri berkat
bantuan VOC yang menyumbangkan 600 orang tentaranya dari Eropa yang paling terlatih.
Mereka berangkat dengan satu tujuan: mengalahkan Gowa yang saat itu dipimpin seorang
raja perkasa berjuluk Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin.
Dan terjadilah pertempuran legendaris itu. Gowa pada akhirnya menyerah, dan
tanggal 18 November 1667 Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya
yang menandai kemenangan VOC dan Arung Palakka walaupun selama beberapa tahun
berikutnya serpihan pasukan Gowa masih melakukan perlawanan.Pada 21 Desember 1666,
perang pecah kembali. Kali ini VOC bersekutu dengan Arung Palaka. VOC mengirim bala
15
tentara yang didukung 21 buah kapal perang di bawah pimpinan Cornelis Speelman. Benteng
Sombaopu, Panakukang, dan Makassar ditembaki meriam VOC. Arena pertempuran pecah
pula di perairan Buton. Pertempuran semakin hebat pada 7 Juli 1667. Peta kekuatan menjadi
semakin tidak seimbang. Pasukan Hasanuddin harus melawan persekutuan VOC-Arung
Palaka. Sedikit demi sedikit pasukan Hasanuddin terdesak hingga terpaksa ia menerima
tawaran VOC untuk berdamai di Desa Bungaya pada 18 November 1667. Perjanjian Bungaya
menetapkan keputusan sebanyak 30 pasal dan keputusan yang terpenting yaitu sebagai
berikut :
Perjanjian Bongaya pada 1667 menjadi rangkaian babak akhir peperangan antara
Kesultanan Gowa melawan VOC yang sudah berlangsung sejak awal 1660. Sultan
Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian setelah Gowa menelan beberapa kali
kekalahan dari Belanda.
16
Dikutip dari Sejarah Maritim Indonesia (2006) karya Agus Supangat dan kawan-
kawan, banyak pasal yang merugikan Gowa dalam isi Perjanjian Bongaya dan terpaksa harus
diterima Sultan Hasanudin. Belanda sangat diuntungkan dengan perjanjian itu sebagai
legitimasi untuk menguasai, mendominasi, bahkan memonopoli perniagaan di kawasan
Sulawesi Selatan. Pasal 6, misalnya, menyebutkan bahwa tidak ada bangsa Eropa yang
diperkenankan masuk atau melakukan perdagangan di Gowa.
Tak hanya bangsa Eropa yang tidak boleh berniaga di wilayah Gowa. Pasal 7
menyebutkan bahwa orang Moor (Muslim India), Siam (Thailand), Aceh, Jawa, hingga
Melayu dilarang memasarkan barang-barang dari Cina. Pelaku pelanggaran akan dijatuhi
sanksi dan VOC berhak menyita barang-barang dagangannya. Intinya, seluruh penguasaan
serta akses perdagangan di Gowa dan sekitarnya diambilalih sepenuhnya oleh kompeni.
Bahkan, sebagaimana yang tertera di Pasal 8, VOC dibebaskan dari pajak dan bea impor
maupun ekspor. Gowa tentu saja amat dirugikan. Bahkan, VOC menjadi pihak yang
mengatur roda perekonomian kesultanan pimpinan Sultan Hasanuddin itu. Seperti diungkap
Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008), Pasal 12
mengatur bahwa mata uang yang berlaku di Gowa adalah koin Belanda seperti yang
digunakan di Batavia.
Otoritas VOC juga berhak melarang warga Gowa melakukan pelayaran. Hanya
beberapa tempat yang diperbolehkan untuk dituju, yakni sebagian Jawa, Bali, Batavia,
Banten, Jambi, Palembang, Kalimantan, dan Johor; itu pun harus meminta izin terlebih dulu
kepada komandan kompeni yang berwenang di Gowa. Apabila dilanggar, maka si pelaku
akan dianggap dan diperlakukan sebagai musuh, demikian bunyi Pasal 9. Terkait kerugian
yang diderita selama perang, demikian disebut dalam Pasal 5, Kesultanan Gowa wajib
membayar ganti rugi seluruhnya kepada VOC. Selain itu, tercantum di Pasal 13, Sultan
Hasanuddin dan para bangsawan Gowa harus mengirimkan uang senilai 1.000 budak pria dan
wanita ke Batavia.
Sementara Benteng Ujung Pandang akan diserahkan kepada VOC beserta tanah dan
desa-desa di sekitarnya. Selain itu, dikutip dari Sosiologi Hukum dalam Perubahan(2009)
17
suntingan Antonius Cahyadi dan Donny Danardono, kompeni diperbolehkan membangun
Benteng Rotterdam. Adapun Pasal 3 menegaskan, kompeni berhak mengambil seluruh alat-
alat sisa perang, seperti meriam, senjata, amunisi, dan sejenisnya. Sedangkan di Pasal 4 diatur
mengenai penyerahan semua orang Gowa yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang
Belanda di berbagai tempat. Mereka akan dijatuhi hukuman sesuai keputusan pengadilan
VOC.
Perjanjian Bongaya mewajibkan pula kepada Kesultanan Gowa untuk siap sedia
membantu kompeni menghadapi musuh-musuhnya yang datang dari dalam maupun ancaman
dari luar, begitu bunyi Pasal 23. Kesultanan Gowa juga harus melepaskan pengaruhnya atas
Bone dan Luwu. Pada 1672, takhta Bone diserahkan kepada Arung Palakka yang ikut
membantu VOC mengalahkan Gowa. Menurut Edward Poelinggomang dalam Makassar
Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim (2002), Arung Palakka bahkan
diberi keleluasaan oleh VOC untuk meluaskan wilayahnya. Kompeni mengatur pula
kehidupan masyarakat Gowa, juga hubungan dengan kerajaan-kerajaan atau wilayah-wilayah
(bekas) taklukkannya, termasuk Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Soppeng, Turatea, Layo,
Bajing, Bima, dan negeri-negeri lainnya.
Sultan Hasanuddin rupanya sudah tidak tahan dengan ketidakadilan yang dilakukan
VOC dengan Perjanjian Bongaya. Maka, dengan segenap kekuatan yang tersisa, raja berjuluk
Ayam Jantan dari Timur itu melakukan perlawanan lagi terhadap kompeni meskipun harus
melanggar kesepakatan.
Beberapa benteng yang sudah diruntuhkan dibangun lagi secara diam-diam. Angkatan
perang Gowa juga mendapat bantuan dari beberapa laskar yang digalang oleh adik Sultan
Hasanuddin, I Ata Tojeng Daeng Tulolo. Namun, upaya ini diketahui VOC. Kali ini, tidak
ada ampunan lagi. Ahmad Massiara Daeng Rapi dalam Menyingkap Tabir Sejarah Budaya di
Sulawesi Selatan (1988) memaparkan, VOC mengerahkan seluruh pasukan gabungan,
termasuk bantuan dari Bone, Ambon, dan Batavia, untuk menyerang Benteng Sombaopu
pada 12 Juni 1669 .
18
Takluknya Benteng Sombaopu dibarengi dengan tertangkapnya Sultan Hasanuddin
yang kemudian terpaksa turun takhta pada 29 Juni 1669. Pada 12 Juni 1670, penguasa
pembawa kejayaan sekaligus keruntuhan Kesultanan Gowa ini meninggal dunia dalam usia
39.
Karaeng Karunrung dan Karaeng Galesong, dua abdi setia Sultan Hasanuddin yang
memiliki ribuan pengikut, mencoba memberikan perlawanan terhadap VOC. Namun upaya
tersebut gagal sehingga keduanya mengalihkan armada mereka ke Jawa untuk bergabung
dengan Trunojoyo yang juga sedang menghadapi Belanda.
Kesultanan Gowa memang tidak sepenuhnya runtuh, bahkan mampu bertahan lama.
Namun, secara politik, pengaruh Kesultanan Gowa sudah tidak kuat lagi setelah
ditandatanganinya Perjanjian Bongaya, terlebih setelah wafatnya Sultan Hasanuddin.
Cengkeraman Belanda di Gowa yang sangat kuat baru usai ketika pemerintahan Hindia
Belanda runtuh pada 1942. Riwayat Kesultanan Gowa pun berakhir setelah Indonesia
merdeka dan menggabungkan diri dengan Republik.
9. Penyebab kehancuran
Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat
dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi
asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC
yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di
Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut
19
maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan
terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Kesultanan Gowa terdesak karena dijepit oleh pasukan gabungan lawan. VOC
menyerang dari laut sekaligus memblokir jalur perdagangan, sementara urusan darat
dikerjakan sepenuhnya dengan sangat baik oleh Arung Palakka. Situasi yang amat tidak
menguntungkan ini membuat Sultan Hasanuddin terpaksa menyerah dan bersedia diajak
berunding. Perundingan itu dilakukan pada 18 November 1667 dan dikenal dengan nama
20
Perjanjian Bungaya. Setidaknya ada 30 poin penting yang termaktub dalam perundingan itu
dan hampir seluruhnya sangat merugikan Gowa .
Sultan Hasanuddin menyerah dan terpaksa meletakkan takhta. Pada 12 Juni 1670,
tepat setahun setelah kekalahan telak itu, ia meninggal dunia dalam usia yang masih cukup
muda, yakni 39 tahun. Sepeninggal Sultan Hasanuddin, perlawanan terhadap VOC memang
beberapa kali dilancarkan, meskipun dalam skala yang kecil dan nyaris selalu bisa
dipatahkan. Namun, Kesultanan Gowa tidak pernah lagi mencapai kejayaan seperti yang
pernah dinikmati pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin. Pada 12 Juni 1670, tepat
setahun setelah kalah dengan VOC, Sultan Hasanudin meninggal dunia.
21
Isi Perjanjian Bongaya
Gowa pada saat itu menjadi kerajaan besar yang menguasai lalu lintas perdagangan di
Indonesia bagian Timur dengan bahan perdagangan utama yaitu rempah – rempah. Kondisi
tersebut membuat VOC menganggap kerajaan Gowa adalah rintangan dalam melakukan
monopoli. Sementara Gowa menganut kebebasan perdagangan yang artinya mereka
berdagang dengan siapa saja. VOC yang melarang Gowa berdagang dengan bangsa Eropa
lainnya diabaikan. Aru Palaka juga memberontak terhadap Gowa dan berpihak ke VOC.
Setelah beberapa kali usaha Belanda menyerbu Gowa berhasil digagalkan, dengan kekuatan
penuh dan bantuan Aru Palaka VOC berhasil mengalahkan kerajaan Gowa dan menawarkan
perjanjian untuk mengakhiri perang . Sebagian isi perjanjian Bongaya yaitu:
Semua pemimpin dan rakyat VOC Eropa yang dulu kabur dan masih berada di
wilayah Makassar segera diserahkan kepada Laksamana.
Semua peralatan baik senjata dan non senjata yang diambil dari kapal Leeuwin di Don
Duango dan kapal Walvisch di Selayar dikembalikan kepada VOC.
Siapa saja yang membunuh orang Belanda akan diadili dan dihukum oleh perwakilan
Belanda.
Siapa saja termasuk raja dan bangsawan Makassar segera melunasi hutang dan
membayar ganti rugi jika terbukti merusak milik VOC.
Semua orang Eropa lain di Makassar harus segera diusir dan tidak diizinkan masuk
atau melakukan transaksi jual beli di Makassar.
VOC harus bebas dari biaya dan pajak ekspor impor perdagangan.
Hanya kompeni yang boleh berdagang dengan bebas di Makassar. Orang India, Moor
(muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, Siam tidak diizinkan memasarkan kain dan barang –
barang dari Tiongkok. Pelanggar akan dihukum dan barang dagangannya disita kompeni.
Benteng Ujung Pandang harus diserahkan dalam kondisi yang baik kepada Belanda
bersama dengan tanah wilayahnya.
22
Urusan Bima dan sekitarnya tidak boleh lagi dicampuri oleh Raja dan bangsawan
Makassar. Ketahui juga mengenai silsilah kerajaan Bima.
Raja Bima dan Karaeng Bontomaranu diserahkan kepada Belanda untuk dihukum.
Sultan Ternate harus mengembalikan orang – orang dari Kepulauan Sula sekaligus
meriam dan senapannya.
Wilayah wajo, Bulo Bulo dan Mandar harus ditinggalkan oleh pemerintah Kerajaan
Gowa dan tidak lagi diperbolehkan untuk membantu dalam bentuk apapun.
Orang Bugis dan Turatea yang akan menikah harus mendapatkan izin pihak
berwenang.
Pemerintah Kesultanan Gowa harus menutup negerinya dari semua bangsa kecuali
Belanda.
Perjanjian Bongaya menjadi tahap akhir perlawanan dari Kesultanan Gowa terhadap VOC
yang sudah berlangsung sejak tahun 1660. Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani
perjanjian tersebut setelah berada dalam posisi terdesak karena Gowa mengalami beberapa
kali kekalahan dari VOC. Dampak perjanjian Bongaya adalah sebagai berikut ini:
23
Kalimantan dan Johor. Sebelum berlayar, rakyat Gowa harus meminta izin kepada komandan
yang berwenang. Pelanggarnya akan dianggap musuh.
8. Kesultanan Gowa wajib membayar ganti rugi selama perang kepada VOC dan
mengirimkan uang senilai 1000 orang budak ke Batavia atau senilau 2,5 tael atau 40 mas
emas Makassar per orangnya. Setengahnya dikirim pada bulan Juni dan sisanya pada musim
berikutnya.
9. Seluruh alat – alat sisa perang diambil oleh Kompeni.
10. Kesultanan Gowa wajib membantu VOC dari ancaman manapun.
Kondisi Setelah Perjanjian Bongaya
Lama kelamaan Sultan Hasanuddin tidak tahan dengan dampak perjanjian Bongaya
yang merugikan rakyat. Ia kemudian melakukan perlawanan kembali dengan segenap
kekuatan yang tersisa walaupun itu artinya melanggar kesepakatan. Beberapa benteng yang
sudah diruntuhkan kembali dibangun dengan diam – diam. Angkatan perang Gowa juga
mendapat bantuan dari beberapa laskar, salah satunya yang dibentuk oleh adik Sultan
Hasanuddin yaitu I Ata Tojeng Daeng Tulolo.
Akan tetapi upaya perlawanan ini diketahui oleh VOC, sehingga mereka
mengerahkan seluruh pasukan gabungan dari Bone, Ambon dan Batavia untuk menyerang
Benteng Somba Opu pada 12 Juni 1669. Benteng Somba Opu kemudian jatuh dan Sultan
Hasanuddin ditangkap hingga dipaksa turun tahta pada 29 Juni 1669. Ia meninggal dunia
dalam usia 39 tahun pada 12 Juni 1670. Kelak Sultan Hasanuddin diakui jasa – jasanya dalam
perjuangan melawan penjajah dan diangkat sebagai pahlawan nasional dari Sulawesi oleh
pemerintah RI.
Perlawanan tidak berhenti setelah Sultan Hasanuddin, sang Ayam Jantan Dari Timur
meninggal dunia. Karaeng Karunrung dan Karaeng Galesong, dua abdi setia Sultan
Hasanuddin yang memiliki ribuan orang pengikut mencoba melawan VOC. Akan tetapi,
usaha perlawanan tersebut gagal sehingga mereka beralih ke Jawa dan bergabung dengan
Trunojoyo yang juga sedang melawan VOC. Kemudian masih ada Sultan Abdul Jalil (1677 –
1709) yang memimpin Kesultanan Gowa sebagai generasi ketiga setelah Sultan Hasanuddin,
yang menggugat beberapa pasal dalam perjanjian Bongaya tersebut. Namun gugatannya yang
dikabulkan hanya mengenai penghapusan hutang atau ganti rugi kepada Belanda.
24
Setelah kematian Sultan Hasanuddin, Kesultanan Gowa memang tidak sepenuhnya
mengalami keruntuhan. Akan tetapi, dampak perjanjian Bongaya membuat pengaruh politik
Kesultanan Gowa habis tidak bersisa. Gowa mulai mengalami kemunduran secara perlahan
namun pasti terutama setelah Sultan Hasanuddin tidak lagi memerintah. Gowa baru bisa
melepaskan diri dari cengkeraman Belanda pada tahun 1942 ketika Jepang menyerbu
Indonesia. Kesultanan Gowa berakhir setelah Indonesia merdeka dan bergabung dengan
Republik Indonesia. Ketahui juga mengenai sejarah museum Balla Lompoa, sejarah museum
kota Makassar dan sejarah museum La Galigo Makassar.
2. Masjid Katangka
25
Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948), dan Andi Baso, Pabbicarabutta Gowa (1962) sangat sulit
mengidentifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Penempatan balok batu pasir itu semula tanpa memper¬gunakan perekat. Perekat
digunakan Proyek Pemugaran. Bentuk bangunan
jirat dan kubah pada kompleks ini kurang lebih
serupa dengan bangunan jirat dan kubah dari
kompleks makam Tamalate, Aru Pallaka, dan
Katangka. Pada kompleks ini bentuk makam
dominan berciri abad XII Masehi.
26
Batu pallantikang atau disebut juga batu pelantikan adalah batu
andesit yang diapit oleh batu kapur. Peninggalan bersejarah kerajaan
Gowa Tallo ini dianggap oleh beberapa orang sebagai
keberuntungan karena diyakini sebagai batu dari surge.
Menurut informasi dari masyarakat setempat, masjid ini adalah masjid ketiga yang
didirikan oleh kerajaan Gowa selain masjid Jami ‘Nurul Mu’minin dan masjid Katangka.
Arsitektur ketiga masjid ini hampir sama karena masih dibangun oleh keturunan raja Gowa.
Tujuan pembangunan masjid ini adalah karena perpindahan pusat kerajaan Gowa dari
wilayah Katangka ke Jongayya.
27
8. Makam Sheikh Yusuf Tajul Khalwati
Sheikh Yusuf Tajul Khalwati atau dikenal juga
dengan Sheikh Yusuf Almaqassari Al-Bantani
adalah seorang ilmuwan hebat yang lahir di
Gowa pada 3 Juli 1926. Dia adalah keturunan
dari pasangan Abdullah dan Aminah. Saat
kelahirannya, Sultan Alauddin memberinya
kehormatan memberinya nama langsung, nama
yang diberikan adalah Muhammad Yusuf.
Sheikh Yusuf memiliki pengaruh besar pada penduduk Gowa Tallo terhadap para penjajah.
Dengan pengaruhnya yang besar yang mengganggu para penyerbu, ia kemudian diasingkan
ke Sri Lanka, India, pada bulan September 1684, kemudian ke Cape Town, Afrika Selatan.
Ketika dia meninggal, jenazahnya dipulangkan ke wilayah asalnya, Makassar dan tepatnya ke
dataran rendah Menung, sebelah barat masjid Katangka.
Kemudian pada 1990-an sebelum benteng dibangun kembali sehingga terlihat lebih baik dari
sebelumnya. Tempat ini sekarang telah menjadi kunjungan bersejarah karena ada rumah-
rumah tradisional dan ada juga museum yang berisi benda-benda bersejarah dari kerajaan ini.
Tidak kalah menariknya, di tempat ini juga ditemukan sebuah meriam dengan panjang 9
meter dan berat kisaran 9.500 kilogram.
28
Sumber Data
https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/sejarah-perjanjian-bongaya-cara-
belanda-lemahkan-kesultanan-gowa-c951
https://www.google.com/amp/s/wawansafrudin.wordpress.com/2017/01/18/kera
jaan-gowa-tallo/amp/
https://www.respublika.id/2017/10/18/kemunduran-kerajaan-islam-di-
indonesia/
https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/arung-palakka-di-antara-gelar-
pahlawan-dan-pengkhianat-cmej
https://www.gurupendidikan.co.id/sejarah-kerajaan-makassar/
https://taldebrooklyn.com/kerajaan-gowa-tallo/
https://www.berpendidikan.com/2019/07/kerajaan-gowa-tallo.html
https://pendidikanmu.com/2020/02/kerajaan-gowa-tallo.html
https://pendidikanmu.com/2020/02/peninggalan-kerajaan-gowa-tallo.html
29