Anda di halaman 1dari 24

PRABU SILIWANGI

Di Jawa Barat, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.
 Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun.
 Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon
Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini
menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri
Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu
Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para
 pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja
yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi.
Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun
mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
“Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira
wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka
dudu ngaran swaraga
swaraga nira”.
Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa
Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan
nama pribadinya.

BIOGRAFI MASA MUDA


Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai ksatria pemberani dan
tangkas, bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura
(Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri
kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang
sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu
Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2
mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai

1
 pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi
sebagai berikut (artinya saja):
“Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena
Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak
mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang
Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia
 bersama semua pengiringnya
pengiringnya gugur tidak tersisa.
tersisa.
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup
rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemasyurannya sampai kepada
 beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang
lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga
kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat
Jawa Barat. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya
ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama
Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”.
PERANG BUBAT
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah
seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta,
 penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara,
Nusantara,  menganggap bahwa
tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat,
sedangkan penggantinya (“silih”nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu
Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut
 juga Prabu Wangisutah).
Wangisutah).
 Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga
menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu
Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa
 Niskala Wastu Kancana itu adalah “ seuweu”
 seuweu” Prabu Wangi. Mengapa
Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala
hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga
memang penerus “langsung” dari Wastu 
Wastu   Kancana. Menurut Pustaka

2
Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa
 Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar  Prabu,
 Prabu, sedangkan Jayadewata
 bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai
 penguasa Sunda-Galuh).
Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga
itu dianggap sebagai “silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana
(oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). “Silih” dalam
 pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian
ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak
sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.
KEBIJAKAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan
 jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang
disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi
mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu
 prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut
(artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu
Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya
kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan
ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”,
“calagra”,
“calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”.
don gdang”.
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut
 bea. Karena merekalah yang selalu berbakti
b erbakti dan membaktikan diri kepada
ajaran-ajaran.
ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda
Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak,
yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak  tenaga
(pajak  tenaga kolektif),
“kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dondang” (padi 1 gotongan).

3
Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”,
“panggeureus reuma”.
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi
(sekarang Bung bulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh carangka”
(10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng
timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi
tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada
 penguasa setempat.
“Pare dondang” disebut “panggeres reuma”. Panggeres adalah hasil lebih
atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi
yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan
kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak
raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti
“tempat tidur” persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk
memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau
 bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut “dondang”
(berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran
 pada selamatan atau arak-arakan.
arak-arakan. Oleh karena itu, “pare dongdang” atau
“penggeres reuma” ini lebih bersifat barang
baran g antaran.
Pajak yang benar- benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan
“calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti).
Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya :
menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di
ladang atau di “serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di
 peruntukkan bagi upacara
upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan “wwang tani bakti di wado” (petani tunduk
kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin
calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman
kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini
memanfaatkanna untuk “rodi”. Bentuk dasa diubah menjadi
“Heerendiensten” (bekerja di tanah milik
mil ik penguasa atau pembesar).
Calagara diubah menjadi “Algemeenediensten” (dinas umum) atau

4
“Campongdiesnten” (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan
umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan.
Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua
dilakuan dengan imbalan dan makan. “Preangerstelsel” dan
“Cultuurstelsel” yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan
tradisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19
ke-19 bentuknya berubah menjadi “lakon gawe” dan
 berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk
mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai
 peribahasa “puraga tamba kadengda” (bekerja sekedar untuk menghindari
hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di
desa ada kewajiban “gebagan” yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti
tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar
setempat.
Jadi “gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum
atas perintah kepala desa”, menurut
menu rut sejarahnya bukanlah gotong royong.
Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk
tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal
 pada masa Tarumanagara
Tarumanagara dalam abad
abad ke-5.
Piagam- piagam
 piagam Sri Baduga lainnya berupa “piteket” karena langsung
merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga
 penetapan batas- batas
 batas “kabuyutan” di Sunda Sembawa dan Gunung
Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” yang disebut juga desa
 perdikan, desa bebas
bebas pajak.
Sri Baduga Maharaja  (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan
zaman Pajajaran, yang memerintah selama 39 tahun (1482
1482--1521
1521)). Pada
masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam  prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua
kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan
Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala)
Niskala) yang kemudian bergelar Prabu
Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda
dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa
5
Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu
Haji di kerajaan Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi
dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat
kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah
tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga
kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran.
Pajajaran .
CARITA PARAHIYANGAN
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
" Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit.
Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi
dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".
siksa".
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan
musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di
utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah
tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat
Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.
PUSTAKA NAGARA KRETABHUMI PARWA I SARGA 2.
 Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan
Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti
yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif
Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh
uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di
Bumi Sunda (Jawa Barat)]
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima
(sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan
Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk
menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan
dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di
6
sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-
Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya
Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar
segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman
 pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki
Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana
(Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya
diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi
Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena
Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri
Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh
 penguasa Pajajaran].
Pajajaran].
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa
 pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian
kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat
angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi
tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-
kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40
ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton
dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya
(saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin
dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada
empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :
1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor .
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
4. Pangeran Bratakelana
Bratakelana dengan Ratu Ayu
A yu Wulan (Ratu Nyawa).

7
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor  alias Yunus Abdul Kadir  dengan
Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan
laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon
Cirebon--Demak 
Demak inilah
inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga
di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa
menghubungi Panglima Portugis Alfonso d'Albuquerque di Malaka
(ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau Samudra Pasai)
Pasai).
Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap
menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek.
Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak
 berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor
 pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak
yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia
sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya,
Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya --
Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara --
diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka
masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya.
Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman
kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan
zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly
governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil;
mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke
kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000
 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem)
dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
 Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah
karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa
Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri
8
Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga
tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan
kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga
Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39
tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang
Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya
Rancamaya..

RADEN KIANSANTANG
Prabu Siliwangi, Raja Pejajaran mempunyai seorang permaisuri bernama
 Nyai Subang Larang. Nyai Subang Larang berasal
b erasal dari keluarga Muslim.
Ayahnya seorang syah bandar di Kerawang, bernama Kiai Tapa. Sejak
kecil Nyai Subang Larang belajar ilmu agama, atau nyantri di Pesantren
Quro milik Syeh Hasanuddin.
Buah pernikahanannya dengan Nyai Subang Larang, Prabu Siliwangi
mempunyai 2 orang  putra, dan satu orang putri yaitu Walang Sungsang,
atau dikenal dengan Pangeran Cakra Buana, lalu Lara Santang dan yang
ketiga bernama Kian Santang. Ketiga anak  ini dibesarkan dalam
 pengajaran islam sehingga tumbuh menjadi muslim dan muslimah yang
taat.
Sejak lahir Kian Santang sudah menampakkan keistimewaannya. Antara
lain, sejak kecil dia sudah pintar 
sudah  pintar  baca
 baca Al Qur’an, bisa membaca kejadian
yang akan datang, tahu apa yang ada di pikiran orang lain, suka menolong,
dan lebih dekat dengan masyarakat miskin katimbang kalangan istana.
 Namun, ada yang cemas dengan kelahiran Kian Santang, yaitu Nini
Durga,, tokoh aliran hitam. Tokoh ini sangat sakti, bisa menjelma jadi apa
Durga
saja. Dia juga punya banyak pengikut yang sangat setia, rela melakukan
apa saja yang diperintahkan Nini Durga.
Lahirnya Kian Santang sudah diramalkan oleh Nini Durga, bahwa anak itu
kelak bakal menjadi penghalang sepak terjangnya. Wanita penyihir yang
sakti ini lalu berusaha menyingkirkan Kian Santang dengan berbagai cara.

9
Dengan kesaktiannya dia menjelma apa saja untuk bisa mendekati Kian
Santang kecil. Tapi, usahanya selalu gagal karena Kian Santang sangat
cerdik. Di samping bisa membaca pikiran orang, juga banyak akal. Sering
kali ayah Kian Santang, Prabu Siliwangi muncul menolongnya juga
dengan menyamar. Syeh Hasanuddin, kakek gurunya juga kadang-kadang
muncul, mengajarkan mengaji atau ilmu-ilmu kesaktian lainnya.
Kiansantang  adalah Tokoh tasawuf dari tanah  pasundan yang ceritanya
melogenda khususnya di hati masarakat pasundan dan kaum tasawuf
ditanah air pada umumnya.
Tokoh kian-santang ini, pertama kali  berhembus di bumi pasundan
dikisahkan oleh raden CAKRABUANA atau pangeran walangsungsang
ketika menyebarkan islam di tanah cirbon dan pasundan. Pangeran
cakrabuana adalah anak dari  prabu siliwangi atau jaya dewata raja
 pajajaran, yang dilahirkan dari permisuri ketiga yang bernama Nyi Subang
Larang Subang-larang sendiri murid dari mubaliq kondang yaitu syeh
Maulana Hasanudin atau terkenal dengan Syeh Kuro krawang.
Bermula dari, Ketika raden Walangsungsang memilih untuk pergi
meninggalkan galuh pakuan atau pajajaran, yang di sebabkan oleh
keberbedaan haluan dengan keyakinan ayahnya yang memeluk agama
“shangyang”, pada waktu itu. Diriwayatkan beliau berkelana
mensyi’arkan islam bersama adiknya yaitu rara santang (ibu dari syarif
hidayatullah atau “sunan gunung jati “) dengan membuka perkampungan
perkampun gan
di pesisir utara dengan bantuan gendeg tapa atau kakeknya ayah dari nyi
subang larang dan perkampungan inilah yang akhirnya menjadi cikal
bakal kerajaan caruban 
caruban  atau kasunanan cirebon yang sekarang adalah
“kota madya cirebon”
 Legenda Kiansantang  sendiri
  sendiri diambil dari sebuah kisah nyata, dari tanah
 pasundan tempo dulu yang ceritanya pada waktu itu tersimpan rapi
 berbentuk buku di perpustakaan kerajaan pajajaran.
pajajaran .  Karena pajajaran
adalah hasil dari penyatuan dua kerajaan antara  galuh dan kerajaan
 sunda pura 
pura  yang dimana kerajaan galuh dan sundapura adalah dua
kerajaan pecahan dari taruma negara, yang di masa prabu PURNA-

10
WARMAN yaitu raja ketiga dari kerajaan taruma negara, sengaja di pecah
menjadi dua yaitu tarumanegara yang berganti sundapura  dan ibukota
lama menjadi galuh pakuan. Dan jaya dewata menyatukan kembali dua
 pecahan kerajaan taruma negara menjadi pajajaran, dengan mengawini
dua putri dari kedua kerajaan tersebut. Sehingga secara otomatis kedua
kerajaan tersebut menjadi hak waris Jaya Dewata.
Di mana di kisahkan dalam buku tersebut, tersebutlah pada waktu itu yaitu
abad ke 4m atau tahun 450m pernah terdapat putra mahkota yang sakti
mandraguna bernama GAGAK LUMAYUNG yang dalam ceritanya “di
tataran sunda dan sekitarnya, tak ada yang mampu mengalahkan ilmu
kesaktiannya. hingga suatu saat datang pasukan dari dinasti TANG yang
hendak menaklukkan kerajaan tarumanegara. namun berkat gagak
lumayung, pasukan TANG dapat di halau dan tunggang-langgang
meninggalkan taruma negara.
semenjak itu raden gagak lumayung di beri sebutan “KI AN SAN TANG”
atau yang artinya “ penakluk pasukan tang ” Di ceritakan sang kiansantang
ini karena saking saktinya hingga dia rindu kepingin melihat darahnya
sendiri seperti apa
apa..  Hingga sampailah di suatu ketika sa’at dia mendapat
wangsit di tapabratanya bahwa di tanah Arab terdapat orang sakti
mandraguna yang tak terkalahkan. Konon… dengan ajian Napak
Sancang  nya raden kian santang mampu mengarungi lautan dengan
 berkuda saja.
“Di mana dalam ceritanya ketika sampai di pesisir beliau bertemu seorang
kakek, dan padanya dia minta untuk di tunjukan di mana orang sakti yang
Kian Santang maksud tersebut”. Dan dengan senang hati si -kakek tersebut
menyanggupi untuk menunjukkannya, namun sebelumnya dia mengajak
dahulu KianSantang untuk mampir ke rumahnya.
Al-kisah setelah sampai di rumahnya tongkat dari sang kakek tersebut
tertinggal di pesisir dan minta
mi nta kian santang untuk mengambilkanya, konon
dikisahkan kiansantang tak mampu mencabutnya sampai tanganya
 berdarah-darah,
 berdarah-darah, disitulah kiansantang baru sadar kalau kakek itu adalah
orang yang di carinya.

11
Dan akhirnya dengan membaca kalimah syahadat yang di ajarkan sang
kakek tadi “yang akhirnya menjadi guru spiritualnya” tongkat tersebut
dapat di cabut. Dan siapakah kakek tersebut? ya dia adalah taklain dan tak
 bukan syaidina ali r.a menantu dari baginda nabi Muhammad
Muhammad s.a.w.
Cerita tersebut membumi sekali sampai saat sekarang. Dan yang aneh,
kebanyakan orang menduga kalau kiansantang itu adalah raden walang
sungsang. Padahal banyak sekali cerita yang sepadan dengan kisah raden
walang sungsang tersebut. Yang sesungguhnya dialah yang mengisahkan
 justru dialah yang di kira pelaku (raden walang sungsang atau pangeran
cakrabuana) sebagai tokoh yang diceritakan itu. Tujuannya adalah hanya
sebagai media dakwah dan penyebaran islam di bumi cirbon dan
sekitarnya. Sehingga sampai sekarang banyak kalangan yang menyangka
raden walangsungsang adalah kian santang   bahkan ada yang
menafikan kian santang adalah adik cakrabuana  dan kakak dari  rara
santang. Tentu hal ini akan membuat bingung karena saydina ali hidup
antara tahun: 500-650an sedang raden walang sungsang atau babad tanah
cirbon itu sekitar tahun 1400 an.
Raden walangsungsang mengambil cerita ini dari perpustakaan kerajaan
 pajajaran dengan pertimbangan karena kisah itu mirip dengan kisahnya,
Yang di mana kian santang setelah pulang dari arab dia ingin meng-
islamkan ayahnya prabu purnawarman namun di tolaknya dan kian
santang memilih meninggalkan istana dan tahtanya di berikan adiknya
yaitu darmayawarman begitu  pula raden walang sungsang  yang pernah
merantau ke arab dan meningkahkan adiknya rara santang yang di ambil
istri oleh putra kerajaan mesir waktu itu dan pernikahan berlangsum di
mesir yang dari perkawinan inilah nanti akan lahirlah raden syarif
hidayatullah atau sunan gunung jati. Keinginan Walangsungsang untuk
meng-islamkan prabu siliwangi ditolak mentah-mentah dan ayahnya tidak
ingin bertarung dengan anaknya maka dia memilih mensucikan diri atau
 bertapa, konon beliau menjelma
menjelma macan putih.
Pengambilan kisah penokohan dalam sebuah ceritra seperti ini sebenarnya
 pernah pula terjadi pada era sebelum raden walang sungsang yang
tepatnya dilakukan oleh raja jaya-baya (raja islam pertama di tanah jawa)
12
dari kerajaan panjalu atau kediri, di mana suaktu masih di pegang raja
airlangga kerajaan tersebut bernama kerajaan KAHURIPAN dan karena
kedua anaknya semua meminta tahta maka kahuripan di bagi dua yaitu
 panjalu dan jenggala. Sepanjang perkembangan dua kerajaan tersebut
selalu bermusuhan dan pada masa kerajaan panjalu dirajai oleh jaya baya,
 panjalu mampu menaklukkan jenggala dan di satukan lagi antara jenggala
dan panjalu.
Pada waktu panjalu menaklukkan jenggala rajanya jaya-baya meminta
empu sedha dan empu panuluh untuk mengutip naskah dari india yang
 judulnya maha barata. namun di ferifikasi dengan gaya jawa. Sebagai
 perlambang atas kemenangan perang saudara panjalu atas jenggala. Yang
akhirnya kitab tersebut di beri judul barata-yuda. Dan dalam kisah klasik
 jawa ini banyak kalangan masarakat yang mengira bahwa jaya baya
adalah kelanjutan dari trah barata yaitu cicit dari parikesit putra abimanyu
dan kakek dari angling darma, padahal itu hanya fiksi.
Juga kisah lainnya yang serupa pernah pula hadir kemasarakat yang
tujuannya waktu itu sebagai media dakwah untuk melindungi rongrongan
ajaran syariat terhadap kaum sufi.maka ketika bergerak menyebarkan
islam WALI SONGO menurt banyak kalangan membuat cerita al-halaj
dalam fersi indonesia yaitu cerita syeh siti  jenar. Yang menurut doktor
simon dari UGM berdasarkan
berdasarkan temuannya karya-karya besar berupa naskah
suluk dari Sunan Kalijaga dan lain sebagainya. Dapat di pastikan tokoh
siti jenar adalah imajener hanya untuk media dakwah dan melindungi
islam agar tetap pada ajaran ahlusunah wa jamaah.
Dan sampai saat ini pendapat itu masih simpang siur dan menjadi
 perdebatan dan polemik panjang oleh para ahli
ahli sejarah di tanah air.
“Niat ingsun amatek ajiku si suket kalanjana, aji pengawasan soko sang
hyang pramana, byar padhang jumengglang paningalingsun, sakabehing
sipat podho katon saking kersaning Allah”
Aji suket kalanjana adalah ilmu yang tercipta dari  pengaruh islam dan
aliran kepercayaan masyarakat jawa-sunda. Ajian ini pernah dikuasi oleh
Prabu Kian Santang  (putra Prabu Siliwangi) dan Syeh Siti Jenar.
J enar. Ajian
13
ini merupakan ilmu yang sangat tinggi dan untuk mendapatkannya pun
tidak mudah karena harus punya niat yang baik dan tekad yang membaja.
Konon ajian ini merupakan ajian yang langka dikuasai orang. Ia termasuk
tingkatan paling tinggi diantara ilmu kejawen lainnya. Namun begitu,
mereka yang menginginkan ajian ini bisa saja mendapatkannya tentu
dengan laku tirakat dan tahu kunci amalan rahasianya.
Ajian ini awalnya merupakan ilmu terawangan alam gaib , dan kemudian
 berkembang sebagai ilmu yang dapat digunakan untuk meraga sukma dan
menggerakan benda tanpa menyentuh (telekinetik). Intinya berfungsi
mengaktifkan seluruh panca indera. Bereaksi terhadap gejala alam, baik
alam sadar maupun alam mimpi. Versi para guru spiritual yang
menguasainya menyebut ajian ini merupakan ilmu yang didasarkan pada
gerakan rumput tertiup angin. Ia bisa bergerak kemana saja, tapi tetap
 pada tempatnya semula. Artinya, orang yang menguasai ilmu ini bisa
memasuki dimensi gaib atau berada di alam lain tapi jasadnya tetap pada
tempatnya.
Adapun legenda ajian suket kalanjana ini terdapat berbagai versi. Diyakini
ajian ini sudah adal sebelum islam masuk ke tanah jawa. Sumber
kontroversinya mengatakan ajian ini ada ketika islam masuk ke tanah
 pasundan. Tepatnya pada pemerintahan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran.
Dan konon, dari sinilah ajian ini bermula.
Pada masa itu memang pengaruh islam di kerajaan pajajaran belum
meluas, sehingga ilmu-ilmu kesaktian para pendekan jaman pajajaran
merupakan ilmu yang tiada banding dan banyak jenisnya. Ada yang
mampu terbang, menghilang dan lain lain.
Mitos yang berkaitan dengan kegaiban pun terbukti. Misal, sampai kini
makam prabu siliwangi tidak pernah ditemukan. Itu sebabnya masyarakat
 pasundan mempercayai bahwa prabu siliwangi moksa (menghilang) dari
 bumi dan berubah wujud menjadi harimau. HalH al ini bisa dilacak dari cerita
rakyat garut. Konon prabu siliwangi tidak mau masuk islam. Ia lebih baik
keluar dari keraton daripada mengikuti ajakan prabu kean santang,
anaknya untuk masuk agama islam.

14
Prabu siliwangi  akhirnya lari menuju hutan sancang. Maka untuk
menjaga hal-hal yang akan terjadi prabu kean santang membendung
larinya prabu
prabu siliwangi beserta pengikutnya yang telah menjadi harimau.
harimau.
Dan harimau jejadian itu kemudian digiring menuju sebuah gua di pantai
selatan kawasan hutan sancang, garut selatan. Ketika itulah prabu kean
santang mengerahkan aji suket kalanjana dan berhasil mengalahkan
ayahnya yang juga terkenal sakti itu. Kemudian prabu siliwangi akhirnya
mendapat hidayah dari Allah dan masuk islam.
 Namun sampai sekarang ilmu sakti ini mengalami perkembangan seiring
 banyaknya minat kalangan keraton pajajaran menuntut ilmu. Dan prabu
kean santang adalah orang yang paling suka mempelajari segala macam
ilmu agama, kesatriaan maupun ilmu gaib.
Menurut versi lain, aji suket kalanjana juga dimiliki oleh syeh dari tanah
 jawa. Dari syeh inilah ajian diturunkan kepada murid-muridnya. Syeh ini
dikenal dengan sebuatn syeh lemah abang alias syeh siti jenar. Pada masa
mudanya, siti jenar juga mendalami ilmu kebatinan. Setelah mendalami
 bidang agama melalui Syarif Hidayatullah atau sunan gunung jati,
semakin bertambah tinggilah ilmu kesaktiannya. Tidak heran jiak banyak
 pemuda berguru kepada
kepada syeh siti jenar.
Ajian suket kalanjana  dapat dikuasai siapa saja sepanjang orang tersebut
mampu mensucikan dirinya dan mampu melakoni apa yang
dipersyaratkan, antara lain harus mampu menjalani puasa 40 hari dan
makan hanya boleh dilakukan jam 12 malam. Selain itu juga harus
ngrowot (hanya makan umbi-umbian) dan tidak boleh makan jenis lainnya
selama 40 hari. Hal lain yang harus dilakukan adalah menjalankan tapa
kungkum (berendam) di dalam suangi selama 7 malam berturu-turut, dan
yang paling berat harus pati geni yaitu tidak makan,minum,tidur dan
 bersemedi di ruang gelap selama 7 hari 7 malam. Selama ritual itu pula
harus membaca mantra khusus yang harus dihapalnya. Bila ingin melihat
alam gaib, mantra ini dibaca tiga kali sambil membuka telapak tangan lalu
diusap ke mata.

15
KERAJAAN PAJAJARAN
Pajajaran adalah sebutan pengganti atas bersatunya kerajaan Galuh dengan
kerajaan Sunda, yang dipegang oleh satu penguasa : Sri Baduga Maharaja
Ratu Haji di Pakuan Pajajaran atau Sri Sang Ratu Dewata.
Penggantinya adalah Prabu Sanghyang Surawisesa, yang berkuasa di
 belahan barat Jawa barat, karena di sebelah timur sudah berdiri kerajaan
Islam Pakungwati Cirebon, yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana
Cakrabuana atau
Haji Abdullah Iman. Dia adalah putra sulung Sri Baduga Maharaja dari
Subanglarang yang beragama Islam. Subanglarang adalah murid Syekh
Quro Hasanudin Pura Dalem Karawang.
Tahta kerajaan Pajajaran berlangsung turun-temurun : Ratu Dewata; Ratu
Sakti, Prabu Nilakendra dan yang terakhir Prabu Ragamulya
Suryakancana.
Di pihak Cirebon sendiri, putera Susuhunan Jati Cirebon, yaitu Pangeran
Sabakingkin, telah berhasil mendirikan kerajaan bercorak Islam
Surasowan Wahanten (Banten) dan melakukan beberapa kali penyerbuan
ke Pajajaran.
Pakuan Pajajaran direbut dan dimusnahkan oleh Maulana Yusuf, putra
Maulana Hasanudin.
Pajajaran sirna ing bhumi, atau Pajajaran lenyap dari muka bumi pada
tanggal 11 bagian terang bulan wasaka tahun 1511 Saka atau 11 Rabi’ul
Awal 978 hijriah atau tanggal 8 mei 1579 M.
Sebagai tunas-tunas Pajajaran, muncullah 3 kerajaan Islam di tatar Sunda :
1. Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon;
2. Kerajaan Islam Surasowan Banten; dan
3. Kerajaan Islam Sumedanglarang.
SEJARAH
Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno,
maupun catatan bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara

16
lain mengenai wilayah kerajaan dan ibukota Pakuan Pajajaran. Mengenai
raja-raja Kerajaan Sunda yang memerintah dari ibukota Pakuan Pajajaran,
terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita
Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.
Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan
sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu, seperti:
  Prasasti Batu Tulis, Bogor 
  Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
Sukabumi
  Prasasti Kawali, Ciamis
 Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
 Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor.
Daftar Raja Pajajaran
 Sri Baduga Maharaja (1482  –   1521), bertahta di Pakuan (Bogor
 sekarang)
 Surawisesa (1521 –  1535),
 1535), bertahta di Pakuan
  Ratu Dewata (1535 –  1543),
 1543), bertahta di Pakuan
  Ratu Sakti (1543 –  1551),
 1551), bertahta di Pakuan
  Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena
 serangan Hasanudin dan anaknya,
anaknya, Maulana Yusuf 
  Raga Mulya (1567  –   1579), dikenal sebagai Prabu Surya
 Kencana, memerintah
memerintah dari Pandeglang.
Keruntuhan Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan
Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran
ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana
raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan  di Banten oleh
 pasukan Maulana Yusuf .
Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi
 politik agar di Pakuan Pajajaran
P ajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru,
dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang
sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan
17
 bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya
Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata
Sriman.
Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang
meninggalkan istana lalu menetap di daerah Lebak. Mereka menerapkan
tata cara kehidupan mandala yang ketat, dan sekarang mereka dikenal
sebagai orang Baduy.
PAKUAN BOGOR ADALAH IBUKOTA KERAJAAN
SUNDA
Tarusbawa naik tahta kerajaan dalam tahun 669 M sebagai penguasa
Tarumanagara. Setahun kemudian ia mengganti nama negaranya menjadi
SUNDA, lalu ia harus berbagi kekuasaan dengan Wretikandayun, pendiri
Kerajaan Galuh. Walau pun demikian, dalam tahun 669 M dia masih
sempat berkirim surat kepada raja-raja tetangga sahabat yang memberikan
 penobatan dirinya sebagai penguasa Tarumanagara yang baru,
menggantikan mertuanya, Maharaja Linggawarman. Itulah sebabnya
dalam sumber-sumber  berita Cina tercatat bahwa kedatangan duta
Tarumanagara yang terakhir ke negeri tersebut terjadi tahun 669 M.
Mudah dipahami karena sejak tahun 670 M Tarumanagara sudah dipecah
menjadi dua kerajaan yaitu : SUNDA dan GALUH dengan Sungai
Citarum sebagai batas kekuasaan masing-masing.
Tindakan lain yang dilakukan Tarusbawa ialah pemindahan ibukota
kerajaannya dari daerah Bekasi ke daerah pedalaman. Hal ini dapat kita
ketahui dari berita Kropak 406 yang kadang-kadang disebut Carita
Parahiyangan bagian II atau fragmen Carita Parahiyangan. Naskah
tersebut memberitakan pembangunan istana baru.
Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan
Bima-Punta-Narayana-Madura-
Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati.
Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku
Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah.
Disiar ka hulu Cipakancilan, katimu Bagawat Sunda Mayajati, ku
Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa. (Di
18
sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri
Kedatuan Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati. Setelah selesai
dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga
Sedamanah.
Dicari ke hulu Cipakancilan, ditemuilah di sana Bagawati Sunda Mayajati
oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.)
Dari Carita Parahiyangan kita mengetahui bahwa istana yang eranama
demikian (kelak) ditempati oleh Sri Baduga Maharaja yang terkenal
dengan julukan Ratu Sunda atau Ratu Pakuan dalam naskah-naskah yang
lebih muda. Lokasinya pun tidak akan jauh dari hulu Cipakancilan. Nama
keraton dan lokasinya menunjukkan bahwa keraton yang didirikan oleh
Maharaja Tarusbawa ini terletak di kawasan Kelurahan Batutulis di sudut
 bagian tenggara kota
kota Bogor sekarang.
Berita serupa kita temukan dalam Pustaka Nusantara II/3 halaman
204/205. Di sana diberitakan, “Hana Pwanung mangadekna
manga dekna Pakwan
Pajajaran lawan kadatwan Sang Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati
Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati
ya ta Sang Prabhu Tarusbawa” (Ada pun yang mendirikan Pakuan
Pajajaran beserta keraton Sang Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati
adalah Maharaja Tarusbawa).
Kedua sumber itu menunjukan bahwa Tarusbawa telah memindahkan
 pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman atau lebih tepatnya lagi ke
lokasi kampung Batutulis yang sekarang termasuk Wilayah Kotamadya
Bogor. Kata Pakuan dalam bahasa Sunda kuno berarti Istana. Ada
 bermacam-macam
 bermacam-macam tafsiran dari para ahli tentang arti Pakuan Pajajran. Ini
(uraian lengkap tentang hal ini terdapat dalam buku “Sejarah Bogor”,
1983).
Pakuan Pajajaran menurut Poerbatjaraka (1921) berarti istana yang
 berjajar (“aanrijen staande hoven”). Bila dilihat nama
nama istana yang cukup
 panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri itu dapat
diambil kesimpulan bahwa istana tersebut rupa-rupanya terdiri atas lima
 buah bangunan yang masing-masing bernama Bima, Punta, Narayana,
Madura dan Suradipati. Itulah yang biasa disebut panca persada (5
19
 bangunan keraton) dalam satra klasik. Dalam naskah-naskah Wangsakerta
nama yang panjang itu sering disingkatkan menjadi Sang Bima atau Sri
Bima saja.
 Nama Keraton sering meluas menjadi nama ibukota bahkan akhirnya
sering menjadi nama negara. Contoh nyata adalah; Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat yang sebenarnya nama-nama
keraton sekarang meluas menjadi nama ibukota dan juga nama wilayah.
Pakuan Pajajaran pun demikian halnya. Nama itu selain nama rangkuman
untuk keraton juga menjadi nama dayeuh dan negara (kerajaan).
Dalam prasasti-prasasti tembaga peninggalan Sri Baduga yang ditemukan
di daerah Bekasi, ada tiga versi nama yang digunakan, yaitu Pakuan
Pajajaran (lengkap), Pakuan (tanpa Pajajaran) dan Pajajaran (tanpa
Pakuan). Orang Sunda yang kemudian cenderung menggunakan kata
Pakuan untuk nama ibukota dan Pajajaran untuk nama negara (Kerajaan).
Dalam tulisan ini pun akan ditempuh penggunaan seperti itu sedangkan
untuk menyingkatkan nama keraton akan digunakan
digunakan nama “Sri Bima”.
Pakuan didirikan oleh Maharaja Tarusbawa (669  – 723
723 M). Hal ini dapat
kita artikan bahwa Pakuan adalah ibukota Kerajaan Sunda, dan didirikan
dalam kwartal pertama abad ke-8 Masehi. Bangunan keraton tentu akan
diperbaharui beberapa kali oleh beberapa orang penguasa sekali pun
namanya tidak berubah. Kropak 406 menunjukkan bahwa keraton itu
 pernah dipunar (diperbaharui) oleh Prabuguru Darmasiksa dan Prabu
Susuktunggal.
Lokasi Keraton ini terletak pada lahan lemah-duwur (lahan datar di atas
 bukit) yang diapit oleh tiga batang sungai berlereng curam yaitu;
Cisadane, Ciliwung dan Cipaku (anak Cisadane). Sebagai berkah di
tengah-tengah mengalir Cipakancilan yang ke bagian hulu sungainya
 bernama Ciawi). Pakuan terlindung oleh lereng terjal pada ke
k e tiga sisinya.
Hanyalah pada sisi tenggara kota itu berbatas dengan lahan yang datar.
Karena itu pada bagian inilah terdapat benteng atau kuta yang paling besar
dengan lebar dasar 7 meter dan tingginya 4 meter serta pada bagian
atasnya diperkuat dengan batu. Seperti di Karang Kamulyan (bekas

20
Ibukota Galuh), pada tepi bagian luar benteng tersebut terdapat parit yang
merupakan bentuk negatif dari benteng itu. Tanah galian parit inilah yang
dijadikan bagan pembangunan benteng.
Pakuan sebagai ibukota Sunda   tercatat pula dalam “The Suma
Oriantal”  yang berisi catatan perjalanan Tome Pires (1513). Ia
menyebutkan bahwa ibukota kerajaan Sunda yang disebut Dayo (Dayeuh)
itu terletah sejauh dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa. Menurut
laporan-laporan VOC, perjalanan dari bekas benteng Pakuan ke muara
Ciliwung tempat benteng mereka memakan waktu dua hari. Jadi, sejak
Maharaja Tarusbawa sampai abad ke-16 ibukota sunda tetap berada di
kawasan kota Bogor yang sekarang. Di badingkan dengan usia keraton
Galuh, pakuan lebih muda kira-kira satu abad. Yang jelas ialah : pendapat
yang mengemukakan bahwa Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Baduga
Maharaja tidak cocok bahkan bertentangan dengan sumber-sumber
sumber -sumber sejarah
yang ada.
SEJARAH PASUNDAN 130  –  1579
 1579 M
Berikut ini adalah beberapa siklus sejarah pasundan, yang di ambil dari
karangan Yoseph Iskandar.
Purwacarita
Pengertian sejarah secara tradisi adalah beberapa kisah dongeng,
legenda, babad, tambo dan lain-lain . Sesungguhnya hal itu berada
dibawah disiplin ilmu sastra
sastra,,  sedangkan sejarah, pembuktiannya harus
 berdasarkan disiplin ilmu : filologi (ilmu yang mempelajari naskah kuna),
epigrafi (ilmu yang mempelajari aksara prasasti), arkeologi (ilmu yang
mempelajari artefak-artefak peninggalan sejarah), dan geografi (ilmu yang
mempelajari permukaan bumi).
Karya sastra bisa diuji dan dikaji oleh disiplin ilmu sejarah sejauh karya
sastra yang bernilai sejarah itu dapat menunjang temuan sejarah itu
sendiri. Sebaliknya hasil penelitian sejarah dapat disusun menjadi karya
sastra yang sering kita sebut roman sejarah. Naskah Pangeran
Wangsakerta, menurut Edi S. Ekadjati dan menurut Ayat Rohaedi, adalah

21
naskah sejarah. Sistematika dan pengungkapannya sudah dalam bentuk
sejarah, menggunakan referensi atau sumber-sumber tertulis lainnya.
Purwayuga
Sejarah Sunda dimulai dari masa Purwayuga (jaman purba) atau dari masa
 Nirleka (silam), yang terbagi
terbagi atas :
1. Prathama Purwayuga (jaman purba pertama), dengan kehidupan
manusia hewan Satwapurusa, antara 1 jt s.d. 600 rb th silam
2. Dwitiya Purwayuga (jaman purba kedua), dengan kehidupan manusia
yaksa, antara 500 rb sampai 300 rb tahun silam
3. Tritiya Purwayuga (jaman purba ketiga), dengan kehidupan manusia
kerdil (wamana purusa), antara 50 rb sampai 25 rb tahu silam.
Dukuh Pulasari Pandeglang
menurut naskah Pangeran Wangsakerta, kehidupan masyarakat Sunda
 pertama di pesisir barat ujung pulau Jawa, yaitu pesisir Pandeglang.
Dipimpin oleh seorang kepala suku (panghulu) Aki Tirem Sang Aki Luhur
Mulya. Sistem religi mereka adalah Pitarapuja, yaitu pemuja roh leluhur,
dengan bukti sejumlah menhir seperti Sanghiyang Dengdek, Sanghiyang
Heuleut, Batu Goong, Batu Cihanjuran, Batu Lingga Banjar, Batu Parigi,
dll. Refleksi dukuh Pulasari dapat kita lihat di kehidupan masyarakat
Sunda Kanekes (Baduy).
Salakanagara
Putri Aki Tirem yaitu Pohaci Larasati, menikah dengan seorang duta niaga
dari Palawa (India Selatan) bernama Dewawarman. Ketika Aki Tirem
wafat, Dewawarman menggantikannya sebagai penghulu dukuh Pulasari.
Dewawarman mengembangkan Dukuh Pulasari hingga menjadi kerajaan
corak Hindu pertama di Nusantara, yang kemudian diberi nama
Salakanagara. Salaka berarti Perak dan Nagara berarti negara atau negeri.
Oleh ahli dari Yunani, Claudius Ptolomeus, Salakanagara dicatat sebagai
Argyre. Dalam berita China dinasti Han, tercatat  pula
 pula bahwa
 bahwa raja Yehtiao
 bernama Tiao-Pien mengirimkan duta keChina tahun 132 M. menurut
Ayat Rohaedi, Tiao berarti Dewa, dan Pien berarti Warman.

22
Salakanagara didirikan tahun 130 M, dengan raja pertamanya
Dewawarman I dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji
Rakja Gpura Sagara. memerintah hingga tahun 168 M. Wilayahnya
meliputi propinsi banten sekarang ditambah Agrabintapura (Gunung
Padang Cianjur) dan Apuynusa (Krakatau).
Raja Terakhir (ke-8) Dewawarman VIII bergelar Prabu Darmawirya
Dewawarman
Dewawarman (348-363 M).
Tarumanagara
Didirikan oleh Jayasingawarman pada 358 M dengan nobat
Jayasingawarman Gurudarmapurusa.
Penerusnya adalah Purnawarman yang memindahkan pusat pemerintahan
dari Jayasingapura (mungkin Jasinga) ke tepi kali Gomati (bekasi) yang
diberi nama Sundapura (kota Sunda), bergelar Harimau Tarumanagara
(Wyagraha ning tarumanagara), dan disebut pula Sang Purandara
Saktipurusa (manusia sakti penghancur benteng) dan juga Panji Segala
Raja. Sedangkan nama nobatnya adalah Sri Maharaja Purnawarman Sang
Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati. Raja
terakhir Sang Linggawarman sebagai raja ke-12
Kerajaan Sunda
Tarumanagara dirubah namanya menjadi Kerajaan Sunda oleh Tarusbawa,
 penerus Linggawarman. Akibatnya belahan timur Tarumanagara dengan
 batas sungai Citarum memerdekakan
memerdekakan diri menjadi Kerajaan
Kerajaan Galuh.
Kerajaan Sunda berlangsung hingga tahun 1482 M, dengan 34 raja.
Prabu Maharaja Linggabuana dinobatkan menjadi raja di kerajaan Sunda
 pada 22 februari 1350 M. Ia gugur bersama putrinya, Citraresmi, dalam
tragedi Palagan Bubat akibat ulah Mahapatih Gajahmada. Peristiwa itu
terjadi pada 4 September 1357 M.
Mahaprabu Niskala Wastu Kancana menggantikan posisi Linggabuana
 pada usia 9 tahun. Dia membuat Prasasti Kawali di Sanghiyang
Linggahiyang atau Astana Gede Kawali. Dia juga yang membuat filsafat

23
hidup :” Tanjeur na Juritan, Jaya di Buana” (unggul dalam perang, lama
hidup di dunia).
Wastukancana memerintah selama 103 tahun 6 bulan dan 15 hari dalam
keadaan damai.
Sri Baduga Maharaja adalah putra Prabu Dewa Niskala, cucu dari Prabu
Wastukancana. Ia adalah pemersatu kerajaan Sunda, ketika Galuh kembali
terpisah. Kerajaan ini lebih dikenal dengan sebutan Pajajaran. Dialah raja
 pertama yang mengadakan perjanjian dengan bangsa Eropa, yaitu
Portugis. Ia berkuasa dari tahun 1482 s.d. 1521M.
Kerajaan Galuh
 Pendirinya adalah Prabu Wretikandayun 
Wretikandayun  pada 612 M.
Prabu Sanjaya Harisdarma. Ia disebut Taraju Jawadwipa, dan sempat
menjadi Maharaja di tiga kerajaan :
1. Kalingga
2. Galuh
3. Sunda.
Sang Manarah yang dalam dongeng disebut Ciung Wanara. Ia putera
Prabu Premana Dikusumah dari Naganingrum.

24

Anda mungkin juga menyukai