Anda di halaman 1dari 35

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum .Wr. Wb.

Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Kerajaan Pakuan
Padjajaran – Kerajaan Kota Kapur dan Kerajaan Tulang Bawang”.
Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk
menyelesaikan tugas mata pelajaran Sejarah di SMK Tri Mita 2 Cikaum
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki
kami. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini,
khususnya kepada semua pihak yang terlibat langsung dalam pembuatan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada
mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini
sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Cikaum, November 2015


Euis Anita P
Eva Oktaviani
Intan JS
Kartika Wasim
Yusuf Jaelani
Asep Sopian
Saeful Bahri

i
BAB I
KERAJAAN PADJADJARAN

Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan
Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7 hingga abad
ke-16) pernah berdiri di wilayah barat pulau Jawa. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di
wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang.
Kerajaan Pajajaran adalah sebuah kerajaan Hindu yang
diperkirakanberibukotanya di Pakuan (Bogor) di Jawa Barat. Dalam naskah-naskah
kunonusantara, kerajaan ini sering pula disebut dengan nama Negeri Sunda,Pasundan,
atau berdasarkan nama ibukotanya yaitu Pakuan Pajajaran. Beberapa catatan
menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang
disebutkan dalam prasasti SanghyangTapak.

A. Sejarah
Sejarah kerajaan ini tidak dapat terlepas dari kerajaan-kerajaan
pendahulunya di daerah Jawa Barat, yaitu Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan
Sunda dan Kerajaan Galuh, dan Kawali. Hal ini karena pemerintahan Kerajaan
Pajajaran merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dari catatan-
catatan sejarah yang ada, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain
mengenai ibukota Pajajaran yaitu Pakuan. Mengenai raja-raja Kerajaan Pajajaran,
terdapat perbedaan urutanantara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita
Parahiangan, dan Caritab Waruga Guru.
Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan
sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu, seperti: Prasasti Batu Tulis, Bogor
Prasasti
1. Batutulis Prasasti
Batutulis terletak di jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis,Kecamatan Bogor
Selatan, Kota Bogor.
Kompleks Prasasti Batutulis memiliki luas 17 x 15 meter. Batu Prasasti dan
benda-benda lain peninggalan kerajaan Sunda terdapat dalam komplek ini.
Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dengan huruf Sunda Kuno.

1
2. Isi Prasasti
“Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun,diwastu diya wingaran
prebu guru dewatapranadi wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu
hajj di pakwan pajajaranseri sang ratu dewatapun ya nu nyusuk na
pakwandiva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n)
curahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka
nusalarangya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida,
nyiyanlsa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca
pandawae(m) ban bumi”

Terjemahan Terjemahan bebasnya kira-kira seperti ini :


Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum Dinobatkan dia
dengan nama Prabu Guru Dewataprana,dinobatkan (lagi) dia dengan nama
Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.Dia putera Rahiyang Dewa
Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu
Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda
peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida
membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka
"Panca Pandawa Mengemban Bumi"

Lokasi hutan samida ini konon yang sekarang dipakai sebagai KebunRaya
Bogor. Ini adalah sangkala yang artinya adalah 5 5 4 1 atau kalau dibalik
adalah1455 Saka (1533 Masehi)Prasasti Sanghyang Tapak, SukabumiPrasasti
Kawali, CiamisPrasasti Astana GedePrasasti Astana Gede atau Prasasti
Kawali merujuk pada beberapa prasastiyang ditemukan di kawasan
Kabuyutan Kawali, kabupaten Ciamis, JawaBarat, terutama pada prasasti
"utama" yang bertulisan paling banyak (Prasasti Kawali I). Adapun secara
keseluruhan, terdapat enam prasasti.Kesemua prasasti ini menggunakan
bahasa dan aksara Sunda (Kaganga).Meskipun tidak berisi candrasangkala,
prasasti ini diperkirakan berasal dariparuh kedua abad ke-14 berdasarkan
nama raja.Berdasarkan perbandingan dengan peninggalan sejarah lainnya
sepertinaskah Carita Parahyangan dan Pustaka Rajya Rajya di Bhumi
Nusantara,dapat disimpulkan bahwa Prasasti Kawali I ini merupakan sakakala
atautugu peringatan untuk mengenang kejayaan Prabu Niskala Wastu
Kancana,penguasa Sunda yang bertahta di Kawali, putra Prabu Linggabuana
yanggugur di Bubat.

Isi teks Teks di bagian muka:


nihan tapa kawa-li nu sang hyang mulia tapa bha-gya par ĕbu raja
wastumangad ĕg di kuta ka-wali nu mahayuna kadatuansura wisesa nu
marigi sa-kuliling dayĕh. nu najur sakaladesa aja manu panderi pak ĕnagawe
ring hayu pak ĕn hebel jaya dina buana

Teks di bagian tepi tebal:


hayua diponah-ponah hayua dicawuh-cawuhinya neker inya anggerinya
ninycak inya rempag

2
Alih bahasa Teks di bagian muka:
Inilah jejak (tapak) (di) Kawali (dari) tapa beliau Yang Mulia Prabu
RajaWastu (yang) mendirikan pertahanan (bertahta di) Kawali, yang
telahmemperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan
disekeliling wilayah kerajaan, yang memakmurkan seluruh pemukiman.
Kepada yang akan datang, hendaknya menerapkan keselamatan
sebagailandasan kemenangan hidup di dunia.

Teks di bagian tepi tebal:


Jangan dimusnahkan! Jangang semena-mena!Ia dihormati, ia tetap.Ia
menginjak, ia roboh.

Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, JakartaTaman perburuan,


yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor.

B. Daftar Raja Pajajaran


1. Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521) Sri Baduga Maharaja
Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan zaman
Pajajaran, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521).
Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.Dalam prasasti
Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan duakali, yaitu yang
pertama ketika Jayadewata menerima Galuh dari ayahnya(Prabu Dewa
Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika
ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya,Susuktunggal. Dengan
peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dandinobatkan dengar gelar
Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan PajajaranSri Sang Ratu Dewata. Jadi
sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa
Barat kembali menyaksikan iring-iringanrombongan raja yang berpindah
tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga
kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran
2. Prabu Siliwangi
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.
Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun.
Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon
PrabuSiliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi
raja di Pakuan.

3
Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyaikekuasaan
yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) aliasPrabu Wangi
(menurut pandangan para pujangga Sunda).Menurut tradisi lama. orang segan
atau tidak boleh menyebut gelar rajayang sesungguhnya, maka juru pantun
mempopulerkan sebutan Siliwangi.
Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta
punmengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia
menulis:"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh
irawwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran.
Dadyekadudu ngaran swaraga nira".Indonesia: Hanya orang Sunda dan
orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi
raja Pajajaran. Jadi nama itu bukannama pribadinya. Biografi masa muda
waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas
bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul)
waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang
beragama Islam).
Dalam berbagai hal, orang sejamannyateringat kepada kebesaran mendiang
buyutnya (Prabu Maharaja LinggaBuana) yang gugur di Bubat yang digelari
Prabu Wangi.Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2
mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai
pengganti PrabuWangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi
sebagai berikut(artinya saja):"Di medan perang Bubat ia banyak
membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu
senjata dan mahir berperang, tidak maunegaranya diperintah dan dijajah orang
lain.Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh
sangPatih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung.
Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.Ia
senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hiduprakyatnya di
seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepadabeberapa negara di
pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yanglain. Kemashuran Sang
Prabu Maharaja membangkitkan (rasa banggakepada) keluarga, menteri-
menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat.
Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya iadi sebut
Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama PrabuSiliwangi.

4
Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".Perang BubatKesenjangan
antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarahseperti yang
diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung
jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwatokoh Prabu Wangi
adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat,sedangkan penggantinya
("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan WastuKancana (kakek Sri Baduga,
yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap
Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi
dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa NiskalaWastu Kancana itu
adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala(ayah Sri Baduga)
dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadipenguasa Galuh.
Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus"langsung" dari
Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I BhumiNusantara II/4, ayah dan
mertua Sri Baduga (Dewa Niskala danSusuktunggal) hanya bergelar Prabu,
sedangkan Jayadewata bergelarMaharaja (sama seperti kakeknya Wastu
Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh). Dengan demikian, seperti diutarakan
Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itudianggap sebagai "silih" (pengganti)
Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu
Wangisutah). "Silih" dalampengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad
yang kemudianditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah
kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu
Kancana.Kebijakan Sri Baduga dan Kehidupan SosialTindakan pertama yang
diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan
amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yangdisampaikan melalui ayahnya
(Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan
ini bisa ditemukan pada salah satuprasasti peninggalan Sri Baduga di
Kebantenan.
Isinya sebagai berikut(artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala WastuKancana.
Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada
Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran.
Harus menitipkan ibukotadi Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.Semoga
ada yang mengurusnya.

5
Jangan memberatkannya dengan "dasa","calagra", "kapas timbang", dan
"pare dongdang".Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar
jangan memungutbea.
Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepadaajaran-
ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.Dengan tegas di
sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan SundaS embawa.
Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak,yaitu "dasa"
(pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif),"kapas timbang"
(kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan).Dalam kropak 630,
urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti","panggeureus reuma".

Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi


(sekarangBungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka"
(10carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng
timbang)sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak
dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada
penguasasetempat."Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres
adalah hasil lebihatau hasil cuma-cuma tanpa usaha.
Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padiyang tumbuh terlambat (turiang) di
bekas ladang setelah dipanen dankemudian ditinggalkan karena petani
membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan).
Dongdang adalah alat pikul seperti"tempat tidur" persegi empat yang diberi
tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan.
Dondang harus selalu digotong. Karena bertali ataubertangkai, waktu
digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang"(berayun).
Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaranpada
selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau"penggeres
reuma" ini lebih bersifat barang antaran.Pajak yang benar-benar hanyalah
pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan"calagra" (Di Majapahit disebut
"walaghara = pasukan kerja bakti).
Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya
:menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja diladang
atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya diperuntukkan
bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk
kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang
memimpincalagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah

6
jamankerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam
inimemanfaatkanna untuk "rodi".
Bentuk dasa diubah menjadi"Heerendiensten" (bekerja di tanah milik
penguasa atau pembesar).Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten"
(dinas umum) atau"Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut
kepentinganumum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan
keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis
keduadilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel"
dan"Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa
memanfaatkantradisi pajak tenaga ini.Dalam akhir abad ke-19 bentuknya
berubah menjadi "lakon gawe" danberlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat
pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya.
Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda"
(bekerja sekedar untuk menghindarihukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada
dasarnya tetap berlangsung. Didesa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di
sawah bengkok dan titingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para
pembesarsetempat. Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk
kepentingan umumatas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah
gotong royong.Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam
bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah
dikenalpada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
3. Surawisesa (1521 – 1535
4. Ratu Dewata (1535 – 1543)
5. Ratu Sakti (1543 – 1551)
6. Raga Mulya (1567 – 1579)
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena
langsungmerupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi
jugapenetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan
GunungSamaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga
desaperdikan, desa bebas pajak.

7
Gelar "Sripaduka" ( Sri Baduga ) pada zaman Pajajaran Nagara disandan
goleh 3 tokoh :
- Wastukancana / Rd. Pitara Wangisuta
Sri Padukamaharaja Prabu Guru Dewata Purana Ratu Haji Di Pakuan
Pajajaransang Ratu Karanten ( Kara Anten ) Rakeyan Layaran Wangi
/Sunanrumenggong (Rama Hyang Agung ) adik dari Dyah Pitaloka
Citraresmianak dari Rd. Kalagemet /Jayanagara II / Raja Sundayana di
Galuh /RatuGaluh di Panjalu / Maharaja Prabu Wangi dan merangkap Wali
NagariHujung Galuh ( Majapahit-Pajajaran Wetan / Jawa Pawatan / Galuh -
menjadiwali sang kakak Linggabuana/Jayanagara I/Maharaja Prabu
Diwastu ayahdari Hayam Wuruk /Hyang Warok /Rd. Inu Kertapati /Susuk
Tunggal/Prabumulih /Prabu Seda Keling /Sang Haliwungan /Pangeran
BorosNgora/Ra- Hyang Kancana )gugur pada "PERANG BUBAT"
dalampertempuran yang tidak "FAIR" atas "REKAYASA" Gajah Mada /
Guan Eng Cudan Nangganan /Ki Ageng Muntalarasa /Syekh BEN
TONG,dengan di keroyok.
- Mundinglayadikusumah / Rd. Samadullah Surawisesa
Sri Paduka Maharaja Prabu Guru Gantangansang Sri Jaya Dewata /Kebo
Kenongo /Arya Kumetir /Rd.Kumetir /Kiageng Pamanah Rasa / Sunan
Pagulingan Anak Dari Lingga Hyang /Lingga Wesi / Hyang Buni Swara
/Sri Sanggramawijayatuggawarman /Mahapati Anapaken ( Menak Pakuan )/
Rd. H. Purwaandayaningrat / Sunan Giri /Hyang Twah / Batara
Guruniskalawastu Di Jampang.
- Mundingwangi
Sri Paduka Maharaja Prabu Guru Dewatapranasang Prabu Guru Ratu
Dewata anak dari Wastukancana.Rakeyan MundinglayaSILIWANGI I Rd.
Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah Sri PadukaMaharaja Prabu
Guru Gantangan Sang Sri Jaya Dewata / Ki Ageng PamanahRasa / Sunan
Pagulingan / Kebo Kenongo / Rd. Kumetir / Layang KumetirRakeyan
MundingwangiSILIWANGI II Rd.Salalangu Layakusumah Sri Paduka
Maharaja Prabu GuruDewata Prana Sang Prabu Guru Ratu Dewata / Kebo
Anabrang Rakeyan Mundingsari /MundingkawatiSILIWANGI III
Tumenggung Cakrabuana Wangsa Gopa Prana Sang PrabuWalangsungsang

8
Dalem Martasinga Syekh Rachmat Syarif HidayatullahSunan Gunung Jati I
Ki Ageng Pamanahan / Kebo Mundaran.

C. Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian
:"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit.
Sukakreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi
dinaurang reya, ja loba di sanghiyang siksa".(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi
sehingga tidak akan kedatanganmusuh, baik berupa laskar maupun penyakit
batin.
Senang sejahtera diutara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera
hanyalah rumah tanggaorang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak
RakyatPajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.
RAKEYAN MUNDINGSARI/ MUNDINGKAWATI/TUMENGGUNG
CAKRABUWANAWANGSA GOPA PRANA SANG PRABU
WALANGSUNGSANG/DALEMMARTASINGA /SYEKH RACHMAT
SYARIF HIDAYATULLAH SUNAN GUNUNG JATII /KEBO ANABRANG ?
SILIWANGI III /SUNAN RACHMAT adalah anak dari Hyang Warok / Susuk
Tunggal /Sang Haliwungan Pustaka Nagara Kretabhumi parwa
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulanCaitra
tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upetiyang seharusnya
di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga
dari Lara Santang]. Ia dijadikan raja oleh uanya(Pangeran Cakrabuana) dan
menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]Ketika itu Sri
Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnyadi Surawisesa).
Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat
berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjagakemungkinan datangnya serangan
Pajajaran.Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang
dikirimkandari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak
disana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak
yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabayamenghamba
dan masuk Islam.

9
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar
segeradisiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan
itudapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa
Galih.[Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang)
darimertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya
KiGedeng Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum
menjadiSusuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana.
KarenaSyarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu
SriBaduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima olehpenguasa
Pajajaran.
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal
masapemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatiankepada
pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuatangkatan perang,
membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasitempur).
Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.Menurut
sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000
prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Dilaut, Pajajaran
hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton untuk kepentingan perdagangan
antar-pulaunya (saat it perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000
ekor/tahun.
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin
dikukuhkandengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak.
Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu : Pangeran Hasanudin dengan
Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang
Lor.Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.Pangeran Bratakelana dengan
Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu
Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut,Kerajaan
Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.Persekutuan Cirebon-
Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Badugadi Pakuan. Tahun 1512, ia
mengutus putera mahkota Surawisesamenghubungi Panglima Portugis Alfonso
d'Albuquerque di Malaka (ketikaitu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau
Samudra Pasai)

10
Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak
Demak.Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap
menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek.Oleh
karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke
arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektorpemerintahan.
Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu
akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak
membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang
muslimah dan ketiga anaknya --Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang,
dan Raja Sangara --diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).K arena
permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing
pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya.Demikianlah
pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita
Parahiyangan).
Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar
"The Kingdom of Sunda is justlygoverned; they are true men" (Kerajaan Sunda
diperintah dengan adil;mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai
kekepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar(1
bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannyacukup untuk
mengisi muatan 1000 kapal.Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan
Pancakaki Masalah karuhunKabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18
dalam bahasa Jawa danhuruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri
Baduga inidengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak
mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikankebesarannya
oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga
Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun
(1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng)
Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.

11
D. Keruntuhan Pajajaran
KeruntuhanKerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan
kerajaanSunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.
Berakhirnya jaman Pajajaranditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman
Sriwacana (singgahsanaraja), dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan
Maulana Yusuf.Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena
tradisipolitik agar di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru,
danmenandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Pajajaran yang
sahkarena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas
KeratonSurasowan di Banten. Orang Banten menyebutnya Watu Gigilang, berarti
mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.Saat itu diperkirakan
terdapat sejumlah punggawa istana yangmeninggalkan kraton lalu menetap di
daerah Lebak. Mereka menerapkantata cara kehidupan lama yang ketat, dan
sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.

12
BAB II
KERAJAAN TULANG BAWANG

A. Latar Belakang
Kerajaan Tulangbawang adalah salah suatu kerajaan hindu tertua di nusantara
yang pernah berdiri di Lampung. Kerajaan ini berlokasi di sekitar kabupaten tulang
bawang,lampung sekarang. Tidak banyak catatan sejarah yang memberikan keterangan
mengenai kerajaan ini. Musafir tiongkok yang pernah mengunjungi nusantara pada
abad VII, yaitu I Tsing yang merupakan seorang peziarah buddha (635-713) yang
berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti Tang) ke India, dan kembali lagi ke Tiongkok.
Ia tinggal di Kuil Xi Ming dan beberapa waktu pernah tingal di Chang’an. ia
menerjemahkan kitab agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina. dalam
catatannya menyatakan pernah singgah di To-Lang P'o-Hwang ("Tulangbawang"),
suatu kerajaan di pedalaman Chrqse (Pulau Sumatera). Namun demikian Tulangbawang
lebih merupakan satu Kesatuan Adat. Tulang Bawang yang pernah mengalami kejayaan
pada Abad ke VII M. Sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan pusat kerajaan
Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan
ini terletak di hulu Way Tulang Bawang (antara menggala dan Pagar dewa) kurang
lebih dalam radius 20 km dari pusat kota Menggala.
Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P'o Chie (Sriwijaya),
nama Kerajaan Tulang Bawang semakin memudar. ada yg mengatakan kerajaan tulang
bawang menyatu dengan kerajaan melayu dan terbentuklah kerajaan sriwijaya. di mana
pd masa kekuasaan kerajaan sriwijaya pengaruh agama hindu sangat kuat, mau tidak
mau rakyat harus menerima ajaran tersebut. kerajaan ini kemudian menjadi nama
sebuah kabupaten di lampung yg sekarang ini, yg pada waktu itu diresmikan tahun1997,
yg merupakan pecahan dari kab. lampung utara.

B. Sejarah Berdirinya Tulang Bawang


Keberadaan nama Kerajaan Tulang Bawang (To-La P’o-Hwang) sempat di kenal
di tanah air. Meski tidak secara terperinci menjelaskan, dari sejumlah riwayat sejarah
maupun catatan penziarah asal daratan Cina, mengungkap akan keberadaan daerah
kerajaan ini.

13
Prasasti (batu bertulis) Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang menyebut,
saat itu Kerajaan Sriwijaya (Che-Li P'o Chie) telah berkuasa dan ekspedisinya
menaklukkan daerah-daerah lain, terutama dua pulau yang berada di bagian barat
Indonesia. Sejak saat itu, nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang yang sempat
berjaya akhirnya lambat laun meredup seiring berkembangnya kerajaan maritim
tersebut. Banyak pertanyaan diajukan mengenai keberadaan Kerajaan Tulang Bawang.
Sejarah Indonesia dan keyakinan masyarakat Lampung menyatakan pada suatu masa
ada sebuah kerajaan besar di Lampung. Kerajaan itu sudah terlanjur menjadi identitas
Provinsi
Lampung dalam konteks Indonesia modern. Pertanyaan-pertanyaan yang
selanjutnya mengemuka adalah bagaimana asal mula Kerajaan Tulang Bawang, di
mana pusat kerajaannya, siapa raja yang memerintah dan siapa pula pewaris tahtanya
hingga sekarang.
Banyak sejarawan, antropolog maupun arkeolog, bahkan pemerintah Provinsi
Lampung pun, berusaha keras untuk menemukan kembali rangkaian sejarah yang
'hilang' tersebut. Meski hingga kini situs Kerajaan Tulang Bawang belum dapat dilacak
keberadaannya, namun usaha-usaha untuk meneliti dan menggali jejak-jejak
peninggalannya perlu terus dilakukan.
Dalam perjalanan dan perkembangan sejarah kebudayaan dan perdagangan di
Nusantara digambarkan, Kerajaan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan tertua
di Indonesia, di samping Kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai dan Tarumanegara.
Bahkan, Kerajaan Tulang Bawang yang pernah ada di Pulau Sumatera (Swarna Dwipa)
ini tercatat sebagai kerajaan tertua di Tanah Andalas. Hal itu dibuktikan dari sejumlah
temuan-temuan, baik berupa makam tokoh-tokoh serta beberapa keterangan yang
menyebut keberadaan kerajaan di daerah selatan Pulau Sumatera ini.
Kebudayaan Tulang Bawang adalah tradisi dan kebudayaan lanjutan dari
peradaban Skala Brak. Karena dari empat marganya, yaitu Buai Bulan, Buai Tegamoan,
Buai Umpu dan Buai Aji, di mana salah satu buai tertuanya adalah Buai Bulan, yang
jelas bagian dari Kepaksian Skala Brak Cenggiring dan merupakan keturunan dari Putri
Si Buai Bulan yang melakukan migrasi ke daerah Tulang Bawang bersama dua marga
lainnya, yakni Buai Umpu dan Buai Aji.
Dengan demikian, adat budaya suku Lampung Tulang Bawang dapat dikatakan
lanjutan dari tradisi peradaban Skala Brak yang berasimilasi dengan tradisi dan

14
kebudayaan lokal, yang dimungkinkan sekali telah ada di masa sebelumnya atau
sebelum mendapatkan pengaruh dari Kepaksian Skala Brak.
Kebudayaan Tulang Bawang yang merupakan penyimbang punggawa dari
Kepaksian Skala Brak adalah satu kesatuan dari budaya-budaya dan etnis Lampung
yang lainnya, seperti Keratuan Semaka, Keratuan Melinting, Keratuan Darah Putih,
Keratuan Komering, Sungkai Bunga Mayang, Pubian Telu Suku, Buai Lima Way
Kanan, Abung Siwo Mego dan Cikoneng Pak Pekon.
Pembagian dan pengaturan wilayah kekuasaannya diatur oleh Umpu Bejalan
Diway berdasarkan daerah-daerah yang dialiri oleh sungai/way. Secara harfiah Bu-Way
atau Buay berarti pemilik sungai/way atau pemilik daerah kekuasaan yang wilayahnya
dialiri oleh sungai.
Semasanya, daerah ini telah terbentuk suatu pemerintahan demokratis yang di
kenal dengan sebutan marga. Marga dalam bahasa Lampung di sebut mego/megou dan
mego-lo bermakna marga yang utama. Di mana pada waktu masuknya pengaruh Devide
Et Impera, penyimbang marga yang harus ditaati pertama kalinya di sebut dengan
Selapon. Sela berarti duduk bersila atau bertahta. Sedangkan pon/pun adalah orang
yang dimulyakan. Ketika syiar ajaran agama Hindu sudah masuk ke daerah Selapon,
maka mereka yang berdiam di Selapon ini mendapat gelaran Cela Indra atau dengan
istilah yang lebih populer lagi di kenal sebutan Syailendra atau Syailendro yang berarti
bertahta raja.
Mengenai asal muasal kata Tulang Bawang berasal dari beberapa sumber.
Keberadaan Tulang Bawang, dalam berbagai referensi, mengacu pada kronik perjalanan
pendeta Tiongkok, I Tsing. Disebutkan, kisah pengelana dari Tiongkok, I Tsing (635-
713). Seorang biksu yang berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti Tang) ke India dan
kembali lagi ke Tiongkok. Ia tinggal di Kuil Xi Ming dan beberapa waktu pernah
tinggal di Chang’an. Dia menerjemahkan kitab agama Budha berbahasa Sanskerta ke
dalam bahasa Cina.
Berdasarkan catatan dari I Tsing, seorang penziarah asal daratan Cina
menyebutkan, dalam lawatannya ia pernah mampir ke sebuah daerah di Tanah Chrise.
Di mana di tempat itu, walau kehidupan sehari-hari penduduknya masih bersipat
tradisional, tapi sudah bisa membuat kerajinan tangan dari logam besi yang dikerjakan
pandai besi. Warganya ada pula yang dapat membuat gula Aren yang bahannya dari
pohon Aren.

15
Sewaktu pujangga Tionghoa I Tsing datang melawat dan singgah melihat daerah
Selapon, dari I Tsing inilah kemudian di sebut lahirnya nama Tola P’o-Hwang. Sebutan
Tola P’o-Hwang dari ejaan Sela-pon. Sedangkan untuk mengejanya, kata Selapon ini di
lidah I Tsing berbunyi So-la-po-un.
Berhubung orang Tionghoa itu berasal dari Ke’, seorang pendatang negeri Cina
yang asalnya dari Tartar dan dilidahnya tidak dapat menyebutkan sebutan so, maka I
Tsing mengejanya dengan sebutan to. Sehingga kata Selapon/Solapun disebutnya To-La
P’o-Hwang (Suara Pembangunan, 2005).
Memang hingga kini belum banyak catatan sejarah yang mengungkapkan
perkembangan kerajaan ini. Namun catatan Cina kuno menyebutkan pada pertengahan
abad ke 4 masehi seorang penziarah agama Budha bernama Fa-Hien (337-422) pernah
melawat ke Sumatera. Waktu itu, ketika Fa-Hien melakukan pelayaran ke India dan
Srilangka, tapi ia justru terdampar dan singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang
P'o-Hwang (Tulang Bawang), tepatnya di pedalaman Chrise (Sumatera). Catatan Fa-
Hien tersebut menjelaskan akan keberadaan wilayah Kerajaan Tulang Bawang. Namun
dia tidak menyebut di mana persisnya letak pusat pemerintahan kerajaan ini.
Menurut riwayat turun temurun yang dituturkan, mengenai penamaan Tulang
Bawang salah satu sumber menyebutkan bahwa sesuai dengan Kerajaan Tulang
Bawang yang hingga kini belum di dapat secara mutlak, baik keraton maupun rajanya,
demikian juga peninggalan-peninggalannya, bahkan abad berdirinya pun tidak dapat
dipastikan, sipat-sipat ini sama halnya dengan sipat bawang. Bentuk bawang, dikatakan
bertulang di mana tulangnya. Semakin dicari semakin hilang (kecil), sampai habis tak
bertemu dengan tulangnya.
Riwayat kedua, menurut cerita-cerita dahulu raja Tulang Bawang ini banyak
musuh. Semua musuh-musuhnya itu harus dibunuh. Karena tempat pembuangan mayat
ini di bawang atau lebak-lebak yang akhirnya tertimbunlah mayat-mayat tersebut
didalamnya, sampai tinggal tumpukan tulang-tulang manusia memenuhi bawang/lebak-
lebak di sungai ini, maka di sebut Sungai Tulang Bawang.
Riwayat ketiga, pada zaman raja Tulang Bawang yang pertama sekitar abad ke IV
masehi, dikisahkan permaisuri raja menghanyutkan bawang di sungai, yang sekarang di
kenal dengan sebutan Way (Sungai) Tulang Bawang. Kemudian Permaisuri itu
menyumpah-nyumpah “Sungai Bawang” lah ini. Semenjak itu, sungai tersebut
dinamakan Sungai Tulang Bawang atau Kerajaan Tulang Bawang (Hi. Assa’ih Akip,
1976).

16
Bila menggunakan pendapat Yamin, maka penamaan Tolang P’o-Hwang akan
berarti ”Orang Lampung” atau ”Utusan dari Lampung” yang datang ke negeri Cina
dalam abad ke 7 masehi. Yamin mengatakan, perbandingan bahasa-bahasa Austronesia
dapat memisahkan urat kata untuk menamai kesaktian itu dengan nama asli, yaitu tu (to,
tuh), yang hidup misalnya dalam kata-kata tu-ah, ra-tu, Tu-han, wa-tu, tu-buh, tu-
mbuhan dan lain-lain.
Berhubung dengan urat kata asli tu (tuh-to) menunjukkan zat kesaktian menurut
perbandingan bahasa-bahasa yang masuk rumpun Austronesia, maka baiklah pula
diperhatikan bahwa urat itu terdapat dalam kata-kata seperti to (orang dalam bahasa
Toraja), tu (Makasar dan Bugis). Dengan demikian, To-Lang P’o-Hwang berarti To=
orang dan Lang P’o-Hwang= Lampung. Sejak itu, orang-orang menyebut daerah ini
dengan sebutan Lampung (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lampung,
1977/1978).
Menurut tuturan rakyat, Kerajaan Tulang Bawang berdiri sekitar abad ke 4
masehi atau tahun 623 masehi, dengan rajanya yang pertama bernama Mulonou Jadi.
Diperkirakan, raja ini asal-usulnya berasal dari daratan Cina. Dari namanya, Mulonou
Jadi berarti Asal Jadi. Mulonou= Asal/Mulanya dan Jadi= Jadi. Raja Mulonou Jadi pada
masa kemudiannya oleh masyarakat juga di kenal dengan nama Mulonou Aji dan
Mulonou Haji.
Walaupun sudah sejak 651 masehi utusan dari Khalifah Usmar bin Affan, yaitu
Sayid Ibnu Abi Waqqas sudah bertransmigrasi ke Kyang Chou di negeri Cina dan
meskipun dikatakan utusan Tulang Bawang pernah datang ke negeri Cina dalam abad
ke 7 masehi, namun rupanya orang-orang Lampung kala itu belum beragama Islam.
Setelah memerintah kerajaan, berturut-turut Raja Mulonou Jadi digantikan oleh
putra mahkota bernama Rakehan Sakti, Ratu Pesagi, Poyang Naga Berisang, Cacat
Guci, Cacat Bucit, Minak Sebala Kuwang dan pada abad ke 9 masehi kerajaan ini di
pimpin Runjung atau yang lebih di kenal dengan Minak Tabu Gayaw.
Runjung (Minak Tabu Gayaw) memiliki 3 putra mahkota, masing-masing
bernama Tuan Rio Mangku Bumi, Tuan Rio Tengah dan Tuan Rio Sanak. Tuan Rio
Mangku Bumi pewaris tahta kerajaan di Pedukuhan Pagardewa, dengan hulubalang
Cekay di Langek dan Tebesu Rawang. Sedangkan Tuan Rio Tengah mempertahankan
wilayah Rantaou Tijang (Menggala) dan Tuan Rio Sanak mempertahankan wilayah
daerah Panaragan dengan panglimanya Gemol (Minak Indah).

17
Dalam tuturan itu dikatakan juga, untuk mengawasi daerah perbatasan, seperti
Mesuji, Teladas, Gedung Meneng, Gunung Tapa, Kota Karang Mersou, Gedung Aji,
Bakung dan Menggala, masing-masing tempat tersebut di jaga oleh para panglimanya
guna mengamankan wilayah dari serangan musuh, baik dari luar maupun dalam negeri
sendiri.
Pada masa Minak Patih Pejurit (Minak Kemala Bumi) terlihat benar susunan
struktur pertahanan ini. Tiap-tiap kampung dijaga oleh panglima-panglimanya. Seperti
di Kampung Dente Teladas, dijaga Panglima Batu Tembus dan Minak Rajawali, dengan
tugas pos pertahanan pertama dari laut.
Arah ke hulu, Kampung Gedung Meneng, Gunung Tapa dan Kota Karang,
dengan panglimanya bernama Minak Muli dan Minak Pedokou. Untuk pertahanan,
tempat ini dijadikan pusat pertahanan kedua. Sementara, Kampung Meresou atau
Sukaraja, dijaga Panglima Minak Patih Ngecang Bumi dan Minak Patih Baitullah, yang
bertugas memeriksa (meresou) setiap musuh yang masuk.
Minak Kemala Bumi atau di kenal Haji Pejurit merupakan keturunan raja
Kerajaan Tulang Bawang yang telah beragama Islam. Ia lahir dan wafat pada abad ke
16 masehi. Minak Kemala Bumi salah satu penyebar agama Islam di Lampung dan
keturunan ke sepuluh dari Tuan Rio Mangku Bumi, raja terakhir yang masih beragama
Hindu.
Haji Pejurit atau Minak Patih Pejurit atau Minak Kemala Bumi mendalami ajaran
agama Islam berguru dengan Prabu Siliwangi (Jawa Timur). Lalu ia memperistri putri
Prabu Siliwangi bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Anak cucu dari keturunan mereka
selanjutnya menurunkan Suku Bujung dan Berirung.
Selain catatan dan riwayat, bukti adanya Kerajaan Tulang Bawang, diantaranya
terdapat makam raja-raja seperti Tuan Rio Mangku Bumi yang dimakamkan di
Pagardewa, Tuan Rio Tengah dimakamkan di Meresou dan Tuan Rio Sanak
dimakamkan di Gunung Jejawi Panaragan. Selain itu, ada pula makam para panglima
yang berada di sejumlah tempat.
Tuturan rakyat lain mengatakan, raja Kerajaan Tulang Bawang bernama Kumala
Tungga. Tak dapat dipastikan dari mana asal raja dan tahun memerintahnya. Namun
diperkirakan Kumala Tungga memerintah kerajaan sekitar abad ke 4 dan 5 masehi
(Sumber: Drs. Dafryus FA, Menggala, 2009).
Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan pusat Kerajaan Tulang
Bawang. Tapi ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan, pusat kerajaan ini

18
terletak di hulu Way Tulang Bawang, yaitu antara Menggala dan Pagardewa, kurang
lebih dalam radius 20 kilometer dari pusat ibukota kabupaten, Kota Menggala.
Meski belum di dapat kepastian letak pusat pemerintahan kerajaan ini, namun
berdasarkan riwayat sejarah dari warga setempat, pemerintahannya diperkirakan
berpusat di Pedukuhan, di seberang Kampung Pagardewa. Kampung ini letaknya berada
di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, yang sekarang tempat itu merupakan sebuah
kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat, pemekaran dari Kabupaten Tulang
Bawang.
Mengenai pusat pemerintahan kerajaan ini, pada sekitar tahun 1960 terjadi
peristiwa mistis yang dialami salah seorang warga Kampung Pagardewa bernama
Murod. Kejadian yang dialaminya itu seakan menjadi sebuah ‘petunjuk’ akan
keberadaan kerajaan yang sampai kini letak pusat pemerintahannya belum juga
ditemukan secara pasti.
Waktu itu, Murod tengah mencari rotan di Pedukuhan. Kemudian ia ‘tersesat’ ke
sebuah tempat yang masih asing baginya. Di tempat tersebut, Murod melihat rumah
yang atapnya terbuat dari ijuk dan dipekarangannya terdapat taman. Di dalam rumah
itu, dilihatnya ada kursi kerajaan terbuat dari emas, gong serta perlengkapan lainnya.
(Hi. Assa’ih Akip, 1976 dan Hermani, SP, Pagardewa, 2009).
Meningkatnya kekuasaan Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke 7 masehi, di
sebut dalam sebuah inskripsi batu tumpul Kedukan Bukit dari kaki Bukit Seguntang, di
sebelah barat daya Kota Palembang mengatakan bahwa pada tahun 683, Kerajaan
Sriwijaya telah berkuasa, baik di laut maupun di darat. Dalam tahun tersebut berarti
kerajaan ini sudah mulai meningkatkan kekuasaannya.
Pada tahun 686, negara tersebut telah mengirimkan para ekspedisinya untuk
menaklukkan daerah-daerah lain di Pulau Sumatera dan Jawa. Oleh karenanya,
diperkirakan sejak masa itu Kerajaan Tulang Bawang sudah dikuasai oleh Kerajaan
Sriwijaya, atau daerah ini tidak berperan lagi di pantai timur Lampung.
Seiring dengan makin berkembangnya Kerajaan Che-Li P'o Chie (Sriwijaya),
nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang sedikit demi sedikit semakin pudar.
Akhirnya, dengan bertambah pesatnya kejayaan Sriwijaya yang di sebut-sebut pula
sebagai kerajaan maritim dengan wilayahnya yang luas, sulit sekali untuk mendapatkan
secara terperinci prihal mengenai catatan sejarah perkembangan Kerajaan Tulang
Bawang.

19
Sumber lain menyebutkan, Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan
antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Pada masa
kekuasaan Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat. Orang Melayu yang
tidak dapat menerima ajaran tersebut menyingkir ke Skala Brak. Namun, ada sebagian
orang Melayu yang menetap di Megalo dengan menjaga dan mempraktekkan
budayanya sendiri yang masih eksis. Pada abad ke 7 masehi, nama Tola P'ohwang
diberi nama lain, yaitu Selampung, yang kemudian di kenal dengan nama
Lampung. (Dikutif dari eBook dan buku Akhmad Sadad, "Kerajaan Tulang Bawang,
Rangkaian Sejarah yang Hilang", Penerbit Lulu Publishing, 2014). Dilarang mengutuif
tanpa menyebutkan sumber tulisan ini.

C. Peninggalan Kerajaan
Peninggalan-peniggalan Kerajaan Tulang Bawang ini tidak seperti Peninggalan-
peninggalan Kerajaan-kerajaan lain, seperti Batu-batu bertulis, Keris, Babat lama,
Benda-benda purba tidak ada kesemuanya dan inilah yang menyebabkan kesukaran-
kesukaran kita menggali Kerajaan ini dalam memberikan penemuan yang sebenarnya,
dan inilah sebabnya penulis pada pembukaan Cerita Riwayat Sejarah Kerajaan ini,
mengatakan ia mempunyai sifat-sifat khas ketentuan-ketentuan khusus.
Kalau memang Kerajaan ini seperti Kerajaan Hindu lainnya yang mempunyai
pembuktian-pembuktian, peninggalan-peninggalan, tentu penulis tidak kebagian seperti
ini, telah didahului oleh ahli-ahli sejarah untuk mengungkapnya lagi kalau memang
sudah terungkap seperti itu. Peninggalan-peninggalan yang ditinggalkannya berupa:
1. Tanah atau daerah
Segala tanah yang didiami oleh keempat marga di daerah Tulang Bawang
itu adalah tanah bekas Kerajaan Tulang Bawang, oleh karena itu keluar ia
mempunyai batas-batas tertentu, lebih jelas lagi batas-batas itu digariskan
oleh apa yang dinamakan PAKSI EMPAT ( 4 Paksi ) oleh Pemuka-pemuka
Adat Pepadun yang ada di Lampung Utara.
Pembagian ini bukan suatu hal yang baru, ia sudah ditetapkan sebelum Adat
Pepadun ada, karena ketetapan pada Zaman Hindu itu sama-sama, maka
setelah adanya Adat Pepadun yang diperkirakan menjelang abad ke XVIII
atau pada abad ke XVIII, ke samaran batas-batas ini ditetapkan oleh Paksi 4
sebagai berikut:

20
- Pagar Dewa
- Negeri Jungkarang
- Negeri Besar
- Kota Bumi.
Batas-batas dari keempat daerah ini ada pada ketentuan-ketentuan
Kota/Kampung ini masing-masing (Lebih jelas tanyakan pada Pemuka-
pemuka Adatnya).
2. Tulisan atau Aksara lampung :
Surat Lampung ini kalau kita teliti dan selidiki dari bentuk gambar
hurufnya, maka tulisan ini berasal dari tulisan huruf Pallawa Hindu (Lebih
jelas tanyakan pada para sarjana-sarjana tulisan Purba).
Tulisan ini kebanyakan ditulis oleh nenek moyang kita diatas kulit kayu
Jeluang, dan di Pagar dewa di atas kulit kayu alim yang kayu ini tumbuhnya
disekitar danau Lambo sebelah ujung kampung Pagar Dewa.
3. Animisme:
Sungguhpun kita telah dididik diajar digembleng dan diresapi oleh Agama
Islam yang sudah berabad-abad lamanya ini, namun pengaruh Animisme
Hindu nampaknya sampai pada dewasa ini masih belum juga dapat dikuras
habis.
Dimana-mana lebih-lebih di Kampung-kampung dan dipedalaman hal ini
masih dipraktekkan oleh Rakyat disana. Mereka masih meyakinkan bahwa
Roh-roh itu masih aktif, masih bekerja masih tetap mengawasi anak-
cucunya dimana saja berada.
Mereka masih meyakinkan bahwa kayu-kayu besar, gunung-gunung besar
mempunyai penunggu dan penjaganya, inilah yang dinamakan Animisme.
4. Adat dan kebudayaan :
Dalam hal ini penulis tidak berani mengungkapkan panjang lebar
tentang Adat dan Kebudayaan Tulang Bawang khususnya dan Adat
Lampung pada umumnya, yang akan penulis uraikan yang ada
hubungannya dengan peninggalan Hindu.
Diatas telah kita katakan bahwa pembagian itu dibagi menjadi 4
bagian oleh apa yang dinamakan PAKSI EMPAT. Pembagian empat (4) ini
sudah lama kita kenal jauh sebelum Adat Pepadun ada orang Hindu telah
memulai dengan pembagian 4 lebih dahulu, yaitu :

21
- Brahmana,
- Kesatria,
- Waisya,
- Syudra
Pembagian Paksi 4 adalah pembagian Teritorial, pembagian daerah,
sedangkan pembagian 4 Zaman Hindu ini adalah pembagian
Kasta/Golongan, namun pembagian 4 memang sudah ada sejak Zaman
Hindu.
Lain dari ini pengaruh lebih banyak lagi tentang nama, lebih-lebih di
Jawa kelihatan sekali yang terdapat pada wayang-wayang, istilah-istilah
seperti PANCA, TRICATUR, NIRWANA, JAYALOKA, PENDAWA
LIMA dsb nya.
Disamping pembagian 4 dan istilah seperti disebutkan tadi, pengaruh
Hindu ini banyak sekali mempengaruhi dibidang Adat kita lebih kelihatan
sekali dalam upacara Adat Perkawinan, misalnya :
Lambang burung Garuda yang dipergunakan waktu mau arak-arakan,
apa sebab Lambang ini sudah menjadi kebiasaan dipakai menjadi tradisi
Adat, karena menurut pengertian orang-orang Lampung, bahwa burung
Garuda itu adalah suatu burung yang terkuat dan ada cerita sejarahnya
waktu terjadinya SKALA BERAK. Disamping itu malahan ini yang
sebenarnya asli dari Zaman Hindu Purba bahwa ke 3 Dewa yang dipuja puji
orang Hindu yaitu :
DEWA BRAHMA, DEWA SYIWA, DEWA WYSNU yang sebut
TRIMURTI mempunyai pakaian kendaraannya masing-masing.
Brahma memakai kendaraan yang disebut GANSA, Wysnu memakai
kendaraan burung Garuda, sedangkan Syiwa memakai kendaraan NANDHI.
Lain dari pada ini tatkala mempelai laki-laki akan membawa
mempelai perempuan kerumahnya (ngakuk) mempelai laki-laki memegang
tombak bagian muka, mempelai perempuan memegang bagian belakang,
diatas gagang tombak itu digantungi kelapa tumbuh, padi, pisang, kapas dan
sebagainya.
Ini adalah perlambangan Hindu, lebih-lebih padi adalah kekuasaan
Dewi Sri istrinya Dewa Wysnu.

22
Dalam pembuatan rumah kita lihat waktu akan memasang
bubunga/atap, diatasnya digantungi Sang Merah Putih, Setandan Pisang,
botol yang berisi air, bukankah ini perlambangan Hindu kesemuanya.
Demikian juga dalam membuka tanah, untuk membuat huma/ladang,
kelihatan benar pengaruh Hindu disini, sebelum digarap tanah itu di gali
dulu, dibaca mantera-mantera diadakan sesajen dan sebagainya untuk
mengusir iblis, setan dan sebagainya.
5. Alat Pertanian Dan Senjata Dari Besi
Semua alat-alat pertanian seperti : pacul, gobek, kapak, dibuat dari
besi, demikian juga alat senjata : tombak, badik, keris dan sebagainya
bukankah ini dari besi? diatas telah penulis singgung pada tahun 671
Pendeta Tiongkok I TSING pernah mengadakan pencatatan-pencatatan
tentang Kerajaan Tulang Bawang, bahwa didapatinya Rakyat disana sudah
maju, pandai membuat gula dan membuat besi.
Jelas disini gula aren yang kita minum sekarang, demikian juga
senjata-senjata dari besi adalah dari Zaman Hindu dari Kerajaan Tulang
Bawang asalnya, malahan di Pagar Dewa sekarang ini masih ada pandai
besi (tukang membuat senjata) badik, keris, dan sebagainya. Malahan
menurut keterangan Batu Tempaan Kuno ada pada orang tersebut, orang
Kalianda mengakui atas kebenaran ini, mereka punya bahannya (besi
segelungan), Pagar Dewa punya tepaannya.bahkan di Lampung pembuatan
sarung-sarung dari pada senjata-senjata ini yang dikenal hanya Pagar
Dewalah tempat pembuatan sarung badik yang terbaik, berita ini sampai
sekarang masih disebut-sebut.
6. Benda-benda kuno :
Benda-benda kuno dan benda-benda yang dapat dijadikan pembuktian
seperti yang pernah didapati oleh ahli-ahli Purbakala di daerah-daerah
Kerajaan Hindu lainnya penulis kira di Tulang Bawang ini ADA.
Dimana benda-benda tersebut inilah perlu kita gali dan kita selidiki,
benda-benda tersebut di Kerajaan ini masih terpendam semuanya.
Kalau ada tetap ada, buktinya ada, sejak abad ke XIX barang-barang
ini berangsur-angsur dinampakan atau ditampakkan oleh yang empunya,
siapa yang punya jelas poyang-poyang yang menjadikan Kerajaan ini

23
Dimana-mana terdapat dan terdengar barang-barang yang terpendam
di Kerajaan ini misalnya di Kampung Gedung Aji, pernah penulis
mendengar disini didapati piring, di Pagar Dewa pada awal permulaan abad
ke XIX didapati 3 guci, karena guci ini sangat ganjil pandai berkata-kata
minta dipulangkan lagi, maka terpaksa oleh yang menemukannya
dipulangkan kedalam sungai Tulang Bawang di BUMI RATA PAGAR
DEWA.
Beberapa tahun yang lalu penduduk asli Pagar Dewa pernah
menemukan sebuah kobokan Purba dan sampai sekarang benda tersebut ada
di tangannya.
Terang bagi kita bahwa barang-barang kuno ini ada di kerajaan
Tulang Bawang, hanya menunggu siapa-siapa yang akan memulai
mengadakan penyelidikan dan penggalian barang-barang yang masih
terpendam ini.

D. Tulang Bawang Setelah Islam


Ketika Islam mulai masuk ke bumi Nusantara sekitar abad ke-15, menggala dan
alur sungai Tulang Bawang yang kembali marak dengan aneka komoditi, mulai kembali
di kenal Eropa. menggala dengan komoditi andalannya Lada Hitam, menawarkan harga
yang jauh lebih murah dibandingkan dengan komoditi sejenis yang didapat VOC dari
Bandar Banten. Perdagangan yang terus berkembang, menyebabkan denyut nadi Sungai
Tulang Bawang semakin kencang, dan pada masa itu kota menggala dijadikan dermaga
"BOOM", tempat bersandarnya kapal-kapal dari berbagai pelosok nusantara,
termasuk Singapura.
Perkembangan politik Pemerintahan Belanda yang terus berubah, membawa
dampak dengan ditetapkanya Lampung berada dibawah pengawasan langsung
Gubernur Jenderal Herman Wiliam Deandles mulai tanggal 22 November 1808. Hal ini
berimbas pada penataan sistem pemerintahan adat yang merupakan salah satu upaya
Belanda untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Pemerintahan adat mulai ditata sedemikian rupa, sehingga terbentuk
pemerintahan Marga yang dipimpin oleh kepala Marga (Kebuayan). Wilayah Tulang
bawang sendiri dibagi dalam 3 kebuayan, yaitu Buay Bulan, Buay Tegamoan dan buay
Umpu (tahun 1914, menyusul dibentuk Buay Aji).

24
Sistem Pemerintahan Marga tidak berjalan lama, dan pada tahun 1864 sesuai
dengan Keputusan Kesiden Lampung No. 362/12 tanggal 31 Mei 1864, dibentuk sistem
Pemerintahan Pesirah. Sejak itu pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan
kolonial Belanda mulai dilakukan termasuk di Kabupaten Tulang Bawang.Dimana
seluruh kota di Lampung telah bezet oleh Belanda, maka serdadu-serdadu kita
dipusatkan di Menggala dan setelah Menggala bezet pada hari raya, tentara-tentara kita
di Pagar Dewa.
Di Pagar Dewa Baru / Penumangan, mati sekaligus sebanyak 18 orang pemuka-
pemuka/pemimpin-pemimpin kampung ini dibunuh oleh Geligis serdadu sewaan
belanda, hal ini terjadi tatkala serdadu belanda akan menggempur Pagar Dewa, yang
belum begitu lama dari situ terjadi perletakan senjata. Sampai sekarang ke 18 orang
pemuka-pemuka Kampung Penumangan ini menjadi Pahlawan-pahlawan Revolusi
yang belum di resmikan.
Perlu dijelaskan disini, bahwa pasukan-pasukan tentara republik yang berstaf di
Pagar Dewa di bawah Pimpinan Kapten IBRAHIM dan dibantu oleh Letnan A.
DJOHANASYAH, Letnan RA. MANAF, Letnan RUSLI, dan letnan A. BURMAWI.
Para pemimpin pejuang kemerdekaan tersebut termasuk didalamnya Bapak
Ki.Hi UMAR MURAD menjadi buronan belanda pada waktu itu. Pada zaman
pendudukan Jepang, tidak banyak perubahan yang terjadi di daerah yang dijuluki "Sai
Bumi Nengah Nyappur” ini. Dan akhirnya sesudah Proklamasi kemerdekaan RI, saat
Lampung ditetapkan sebagai daerah Keresidenan dalam wilayah Propinsi Sumatera
Selatan, Tulang Bawang dijadikan wilayah Kewedanaan.

25
BAB III
KERAJAAN KOTA KAPUR

Jika dilihat dai hasil temuan dan penelitian tim arkeologi yang dilakukan di Kota
Kapur, Pulau Bangka, yaitu pada tahun 1994, dapat diperoleh suatu petunjuk mengenai
kemungkinan adanya sebuah pusat kekuasaan di daerah tersebut bahkan sejak masa
sebelum kemunculan Kerajaan Sriwijaya.
Pusat kekuasaan tersebut meninggalkan banyak temuan arkeologi berupa sisa-sisa
dari sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) yang terbuat dari batu lengkap dengan
arca-arca batu, di antaranya yaitu dua buah arca Wisnu dengan gaya mirip dengan arca-
arca Wisnu yang ditemukan di daerah Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan
Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi.
Sebelumnya, di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari
Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula
peninggalan - peninggalan lain yaitu di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca
Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut
nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa,
seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.
Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa
benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari
timbunan tanah, masingmasing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan
ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa
antara tahun 530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun
sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi
ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke-7.
Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya
inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang
isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau
Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai
pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak
dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan
awal yang ada di Pulau Bangka.

26
A. Latar Belakang Keraajaan Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur adalah prasasti Śrīwijaya yang pertama kali ditemukan, jauh
sebelum Prasasti Kedukan Bukit yang baru ditemukan di Palembang pada tanggal 29
November 1920, dan Prasasti Talang Tuwo yang ditemukan beberapa hari sebelumnya
yaitu pada tanggal 17 November 1920. Berdasarkan prasasti ini Sriwijaya diketahui
telah menguasai bagian selatan Sumatera, Pulau Bangka dan Belitung hingga Lampung.
Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer
untuk menghukum "Bhumi Jawa" yang tidak berbakti (tidak mau tunduk) kepada
Sriwijaya. Peristiwa ini cukup bersamaan waktunya dengan perkiraan
runtuhnya Taruma di Jawa bagian barat dan Holing (Kalingga) di Jawa bagian tengah.
Ada kemungkinan hal tersebut akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan
berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut
Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Prasasti Kota Kapur ini, beserta penemuan-penemuan arkeologi lainnya di daerah
tersebut, merupakan peninggalan masa Sriwijaya dan membuka wawasan baru tentang
masa-masa Hindu-Budha di masa itu. Prasasti ini juga membuka gambaran tentang
corak masyarakat yang hidup pada abad ke-6 dan abad ke-7 dengan latar belakang
agama Buddha.
Prasasti tersebut ditemukan oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892
. Selanjutnya, prasasti ini pertama kali dianalisis oleh H. Kern, seorang ahli epigrafi
bangsa Belanda yang bekerja padaBataviaasch Genootschap di Batavia. Replika
prasasti dapat dilihat di Museum Timah Indonesia. Situs ini terletak di Desa Kota
Kapur, Kec. Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Sebelum Sriwijaya, kelompok
masyarakat yang menghuni pemukiman di dalam lingkungan benteng tanah adalah
penganut ajaran Hindu Waisnawa seperti yang berkembang di Asia tenggara daratan
dan Pantai Utara Jawa. Dari pemukiman itu dipasarkan Kapur Sirih.

B. Letak Geografis Kerajaan Kota Kapur


Terletak di Desa Kota Kapur Kecamatan Mendo, Kabupaten Bangka, Provinsi
Bangka Belitung. Situs ini terletak di pinggir Sungai Mendo yang bermuara di selat
Bangka.
Untuk mencapai lokasi, dapat mengambil transportasi umum dari jantung
Kabupaten Bangka Barat - Kecamatan Mendo . Sayangnya, akses ke Desa Kota

27
Kapur melalui Kecamatan Mendo sulit dijangkau. Oleh karena itu, lebih efisiens jika
mengendarai mobil pribadi sendiri untuk mencapai lokasi tersebut

C. Sejarah Terbentuknya Kerajaan Kota Kapur


Jika dilihat dai hasil temuan dan penelitian tim arkeologi yang dilakukan di Kota
Kapur, Pulau Bangka, yaitu pada tahun 1994, dapat diperoleh suatu petunjuk mengenai
kemungkinan adanya sebuah pusat kekuasaan di daerah tersebut bahkan sejak masa
sebelum kemunculan Kerajaan Sriwijaya.
Pusat kekuasaan tersebut meninggalkan banyak temuan arkeologi berupa sisa-sisa
dari sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) yang terbuat dari batu lengkap dengan
arca-arca batu, di antaranya yaitu dua buah arca Wisnu dengan gaya mirip dengan arca-
arca Wisnu yang ditemukan di daerah Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan
Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi.
Sebelumnya, di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu
dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan
pula peninggalan - peninggalan lain yaitu di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah
arca Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut
nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa,
seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.
Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa
benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari
timbunan tanah, masingmasing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan
ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa
antara tahun 530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun
sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi
ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke-7.
Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya
inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang
isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau
Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai
pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak
dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan
awal yang ada di Pulau Bangka.

28
D. Peninggalan Kerajaan Kota Kapur
Di daerah ini meninggalkan temuan temuan arkeologiberupa sisa sisa sebuah
bangunan candi hindu (wisnawa) terbuat dari batu bersama dengan arca arca batu,
diantaranya dua buah arca wisnu dengan gaya gaya seperti arca arca wisnu yang
ditemukan di lembah mekhing, semenanjung malaka, dan cibuaya, jawa barat, yang
berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi. Sebelumnya di situs kota kapur
selain telah ditemukan sebuah inkripsi batu dari kerajaan sriwijaya yang berangka tahun
608 saka (=686 masehi), telah ditemukan pula peninggalan peninggalan yang lain
diantaranya sebuah arca wisnu dan sebuah arca durga mahisasuramardhini. Dari
peninggalan peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di pulau bangka
pada waktu itubercorak hindu-waisnawa, seperti hal nya di kerajaan tarumanegara di
jawa barat.
Temuan lain dari situs kota kapur ini adalah peninggalan berupa benteng
pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah,
masing masing panjangnya sekitar 350 m dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2-
3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukan masa antara tahun 530 m
sampai 870 m. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar pertengahan
abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi ekspansi sriwijaya
ke pulau bangka menjelang akhir abad ke-7.

E. Isi Prasasti Kota Kapur


Prasasti Kota Kapur adalah salah satu dari lima buah batu prasasti kutukan yang
dibuat oleh Dapunta Hyang, seorang penguasa dari Kadātuan Śrīwijaya. Inilah isi
lengkap dari Prasasti Kota Kapur, seperti yang ditranskripsikan dan ditejemahkan oleh
Coedes:

Naskah Asli
1. Siddha titam hamba nvari i avai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu
lavan tandrun luah makamatai tandrun luah vinunu paihumpaan hakairum
muah kayet ni humpa unai tunai.
2. Umentern bhakti ni ulun haraki. Unai tunai kita savanakta devata
mahardika sannidhana. Manraksa yan kadatuan çrivijaya. Kita tuvi
tandrun luah vanakta devata mulana yan parsumpahan.
3. Paravis. Kadadhi yan uran didalanna bhami paravis hanun. Samavuddhi
lavan drohaka, manujari drohaka, niujari drohaka talu din drohaka. Tida
ya.

29
4. Marppadah tida ya bhakti. Tida yan tatvarjjawa diy aku. Dngan diiyan
nigalarku sanyasa datua. Dhava vuathana uran inan nivunuh ya sumpah
nisuruh tapik ya mulan parvvanda datu çriwi-
5. Jaya. Talu muah ya dnan gotrasantanana. Tathapi savankna yan vuatna
jahat. Makalanit uran. Makasuit. Makagila. Mantra gada visaprayoga. Udu
tuwa. Tamval.
6. Sarambat. Kasihan. Vacikarana.ityevamadi. Janan muah ya sidha. Pulan
ka iya muah yan dosana vuatna jahat inan tathapi nivunuh yan sumpah talu
muah ya mulam yam manu-
7. Ruh marjjahati. Yan vatu nipratishta ini tuvi nivunuh ya sumpah talu, muah
ya mulan. Saranbhana uran drohaka tida bhakti tatvarjjava diy aku, dhava
vua-
8. Tna niwunuh ya sumpah ini gran kadachi iya bhakti tatvjjava diy aku.
Dngan di yam nigalarku sanyasa dattua. Çanti muah kavuatana. Dngan
gotrasantanana.
9. Samrddha svasthi niroga nirupadrava subhiksa muah vanuana paravis
chakravarsatita 608 din pratipada çuklapaksa vulan vaichaka. Tatkalana
10. Yan manman sumpah ini. Nipahat di velana yan vala çrivijaya kalivat
manapik yan bhumi java tida bhakti ka çrivijaya.

Terjemahan
1. Keberhasilan ! (disertai mantra persumpahan yang tidak dipahami artinya)
2. Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan
melindungi Kadātuan Śrīwijaya ini; kamu sekalian dewa-dewa yang
mengawali permulaan segala sumpah !
3. Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadātuan ini
akan ada orang yang memberontak yang bersekongkol dengan para
pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan
kata pemberontak;
4. Yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak
takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya
diangkat sebagai datu; biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-
perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi untuk
melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa datu
Śrīwijaya, dan biar mereka
5. Dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua
perbuatannya yang jahat; seperti mengganggu :ketenteraman jiwa orang,
membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun,
memakai racun upas dan tuba, ganja,
6. Saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan
sebagainya, semoga perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan
menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu; biar
pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang menghasut
orang
7. Supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati
juga kena kutuk; dan dihukum langsung. Biar para pembunuh,
pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak setia pada saya, biar
pelaku perbuatan tersebut

30
8. Mati kena kutuk. Akan tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan
kepada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, maka moga-moga
usaha mereka diberkahi, juga marga dan keluarganya
9. Dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana,
kelimpahan segalanya untuk semua negeri mereka ! Tahun Śaka 608, hari
pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Februari 686 Masehi), pada
saat itulah
10. Kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara
Śrīwijaya baru berangkat untuk menyerang bhūmi jāwa yang tidak takluk
kepada Śrīwijaya.
11. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi
dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm
pada bagian puncak.

Prasasti Kota Kapur adalah temuan arkeologi prasasti Sriwijaya yang ditemukan
di pesisir barat Pulau Bangka. Prasasti ini dinamakan menurut tempat penemuannya
iaitu sebuah dusun kecil yang bernama "Kota kapur". Tulisan pada prasasti ini ditulis
dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuno, serta merupakan salah
satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini ditemukan oleh J.K. van der
Meulen pada bulan Desember 1892.

F. Bagaimana Tradisi Asia Tenggara di Kota Kapur


Temuan papan perahu kuno di situs Kota Kapur segera dapat diidentifikasi lewat
teknik pembuatannya. Lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi
papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi
papan merupakan teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan
kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug technique).
Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan
mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arenga pinnata).
Tali ijuk dimasukkan pada lubang di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan
perahu yang ditemukan di Sungai Kupang terlihat ujung pasak kayu yang patah masih
terpaku di dalam lubang. Biasanya, penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan
tali ijuk.
Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di wilayah perairan Asia
Tenggara. Bukti tertua penggunaan teknik gabungan teknik ikat dan teknik pasak kayu
dijumpai pada sisa perahu di situs Kuala Pontian di Malaysia yang berasal dari antara
abad ke-3 dan abad ke-5 Masehi.

31
Penelitian Sriwijaya yang intensif di Sumatera tahun 1980-1990 juga menemukan
banyak sisa perahu kuno tradisi Asia Tenggara seperti yang ditemukan di lokasi situs
prasasti kota kapur ini. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di situs
Samirejo, Mariana (Kabupaten Banyuasin), di situs Kolam Pinisi (Palembang), dan di
situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Di Jambi ditemukan pula papan
perahu sejenis di situs Lambur (Kabupaten Tanjung Jabung Timur).
Selain papan-papan perahu, ditemukan pula kemudi perahu dari kayu besi yang
diduga bagian dari teknologi tradisi Asia Tenggara, yaitu di Sungai Buah (Palembang)
dan situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin).
Papan-papan perahu dari situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi telah dianalisis
laboratorium dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari
situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi,
sedangkan papan dari situs Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi
(Lucas Partanda Koestoro, 1993).
Sisa-sisa perahu kuno situs Kota Kapur boleh jadi berasal dari masa yang tidak
jauh dengan masa perahu di situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi. Hasil penelitian
arkeologi sebelumnya di situs Kota Kapur menunjukkan, tempat kuno itu telah dihuni
oleh komunitas yang telah mapan sekurang-kurangnya sejak abad ke-6 Masehi,
kemudian berkembang menjadi salah satu ke-"datu"-an Sriwijaya pada abad ke-7
Masehi. Permukiman kuno itu terus berlanjut pada abad ke-10 hingga ke-15 Masehi.
Pada bagian dalam benteng tanah di kota kapur ini terdapat sisa-sisa tiga
bangunan candi yang menempati dataran yang lebih tinggi. Lokasi tempat tinggal dan
hunian di situs prasasti kota kapur ini terdapat pada lembah antara dua bukit dan di
bantaran Sungai Mendo dan Sungai Kupang, yang kini berupa rawa-rawa. Di lokasi itu
banyak ditemukan pecahan tembikar kasar dengan hiasan sederhana mirip tembikar

masa prasejarah.

32
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah kita mengikuti Risalah kecil ini tentang Riwayat Sejarah Kerajaan Tulang
Bawang, maka kita dapat mengambil suatu Kesimpulan sebagai berikut :
1. Tempat Keraton Kerajaan Tulang Bawang diperkirakan disekitar Pendukuhan.
2. Raja Tulang Bawang yang pertama diperkirakan MAULANO AJI/ MAULANA
HAJI Tahun 623 M.
3. Raja Tulang Bawang yang terakhir adalah MINAK PATI PEJURIT gelar
MINAK KEMALA BUMI.
4. Adat Imigrasi / Transmigrasi sudah ada sejak zamannya Kerajaan Tulang
Bawang.
5. Demokrasi dan Hak Azazi Manusia sudah ada sejak Zamannya Minak Kemala
Bumi.
6. Penyebaran Agama Islam di Lampung adalah MINAK KEMALA BUMI.
7. Hubungan antara Lampung dengan Banten, Lampung dengan Palembang, Pagar
Dewa Tulang Bawang dengan Kedamaian Balau sudah ada sejak zamannya
MINAK KEMALA BUMI.
8. Pulau Pejurit didekat Tanjung Tua diperkirakan berasal dari nama MINAK
PATI PEJURIT.
9. Kampung Mesir, Jeddah, dan Madinah adalah MINAK PATI PEJURIT
pendirinya dan yang menamainya ( Menurut Buku Kewarganegaraan Negara
Karangan Basati dkk )
10. Penyampaiannya cita-cita Minak Kemala Bumi pada abad ke XX dibidang
Demokrasi melalui Adat adalah Raja Tegamo’an dan di bidang Agama Islam
melalui pendidikan adalah Kiyai Hi. UMAR MURAD.

33
DAFTAR PUSTAKA

http://tulangbawangkab.go.id/index.php?pilih=hal&id=3
http://history.melayuonline.com/?a=a1Z1L29QTS9VenVwRnRCb20%3D=&l=kerajaa
n-tulang-bawang)
http://hendrinunyai.blogspot.com/2011/12/kerajaan-tulang-bawang-sebelum-islam.html
bahtiar dede: makalah kerajaan kota kapur
hirasawa.tabah: MAKALAH KERAJAAN KOTA KAPUR
makalah tentang kerajaan kota kapur - Penelusuran Google
http://awanjingga43.blogspot.com/2013/06/kerajaan-pajajaran_6697.html
http://contohmakalah4.blogspot.com/2013/08/sejarah-kerajaan-pajajaran.html

34

Anda mungkin juga menyukai