Anda di halaman 1dari 8

Dwy Fafuaningsih (08/267714/SP/23036)

Pidato Steve Jobs Dalam Wisuda Universitas Stanford


12 Juni 2005

Saya merasa terhormat bisa hadir hari ini dalam wisuda salah satu universitas terbaik di dunia ini. Saya sendiri tidak pernah lulus perguruan tinggi. Bahkan kenyataannya ini acara yang paling dekat dengan wisuda yang pernah saya datangi. Hari ini saya ingin menceritakan tiga kisah dari kehidupan saya. Cuma itu. Tiga cerita saja. Pertama tentang saling menghubungkan titik-titik dalam hidup. Saya drop out dari Reed College setelah kuliah selama 6 bulan, tapi kemudian tetap disana selama sekitar 18 bulan sebelum saya akhirnya benar-benar keluar. Kenapa saya keluar? Kisahnya berawal dari sejak saya belum lahir. Ibu kandung saya adalah seorang lulusan perguruan tinggi yang masih muda, tidak menikah, dan ketika itu ia memutuskan mengadopsikan saya kepada orang lain. Ia sangat ingin saya diadopsi oleh lulusan perguruan tinggi. Jadi saya memang sudah dipersiapkan untuk diadopsi begitu lahir oleh seorang pengacara dan istrinya. Tapi begitu saya lahir, di menit-menit terakhir, pasangan itu memutuskan mereka sangat menginginkan anak perempuan. Orangtua saya (yang kemudian mengadopsi Steve Jobs) saat itu sedang dalam daftar tunggu (untuk mendapatkan anak adopsi). Pada suatu tengah malam mereka mendapat telepon dan ditanya: Ini diluar perkiraan, tapi kami ada bayi laki-laki. Anda mau (mengadopsinya)? Mereka bilang: Tentu. Belakangan ibu kandung saya mengetahui kalau ibu (yang mengadopsi) saya sebenarnya tidak pernah lulus perguruan tinggi, dan ayah (yang mengadopsi) saya tidak pernah lulus SMA. Dia menolak menandatangani surat adopsi final. Tapi beberapa bulan kemudian ia akhirnya mengalah setelah orangtua (yang mengadopsi) saya itu berjanji bahwa suatu hari saya akan disekolahkan ke perguruan tinggi. 17 tahun kemudian saya memang masuk perguruan tinggi. Tapi saya dengan naifnya memilih perguruan tinggi yang biaya kuliahnya hampir semahal Stanford. Akhirnya semua tabungan orangtua saya -yang berasal dari kelas pekerja- pun habis untuk biaya kuliah. Setelah 6 bulan, saya tidak bisa lagi melihat manfaatnya. Waktu itu saya tidak tahu mau kemana arah hidup saya dan tidak tahu bagaimana perguruan tinggi bisa membantu mengetahui hal itu, sementara saya malah menghabiskan uang tabungan seumur hidup milik orangtua. Akhirnya

saya memutuskan untuk drop out saja dan meyakini bahwa semua pada akhirnya akan berakhir baik-baik saja. Saat itu saya cukup takut, tapi ketika (sekarang) menoleh kembali ke belakang, saya menyadari itu adalah keputusan terbaik yang pernah saya buat. Begitu drop-out saya bisa berhenti mengikuti kuliah-kuliah wajib yang tidak menarik bagi saya, dan mulai ikut mendengarkan perkuliahan-perkuliahan yang nampak menarik. Keadaan waktu itu tidak ada romantis-romantisnya. Saya tidak punya kamar di asrama, jadi saya tidur di lantai kamar kawan. Saya membeli makan dengan menukarkan botolbotol coca-cola untuk mendapatkan uang 5 sen, dan setiap Minggu malam saya harus berjalan kaki melintasi kota sejauh 7 mil (lebih dari 11 kilometer) untuk bisa mendapatkan makan malam yang layak di kuil Hare Krishna. Saya menyukainya. Banyak hal yang saya temui karena mengikuti rasa ingin tahu serta intuisi saya yang di kemudian hari terbukti sangat berharga. Saya beri satu contoh, Reed College waktu itu punya kelas membuat kaligrafi yang mungkin terbaik di seluruh negeri. Di seluruh kampus, setiap poster, setiap label di setiap laci, semuanya ditulis dengan kaligrafi yang indah. Karena saya sudah drop-out dan tidak harus mengikuti perkuliahan seperti biasa, saya putuskan ikut kelas belajar menulis kaligrafi. Saya jadi belajar tentang hurufhuruf serif dan sans serif, tentang variasi jarak antara berbagai kombinasi huruf, tentang seperti apa tipografi yang hebat itu. Kehalusan dan kerumitannya sedemikian indah, bersejarah dan artistik, dan ini sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh sains. Bagi saya itu sangat mengagumkan. Hal-hal seperti ini nampak tidak memiliki manfaat praktis bagi kehidupan saya ke depannya. Tapi sepuluh tahun kemudian, ketika kami sedang mendisain komputer Macintosh yang pertama, saya jadi teringat kembali (pada kelas kaligrafi itu). Kamipun memasukkannya semua ke dalam disain Mac. Mac adalah komputer pertama yang memiliki tipografi yang indah. Kalau saja saya tidak ikut dalam perkuliahan itu waktu di kampus dulu, Mac mungkin tidak akan pernah memiliki beragam jenis huruf atau huruf-huruf yang memiliki jarak proporsional. Karena Windows hanya meniru Mac, sepertinya tidak ada komputer pribadi yang memiliki hal seperti itu. Kalau saja saya tidak drop-out, saya tidak akan pernah ikut dalam kelas kaligrafi itu, dan komputer pribadi mungkin tidak akan memiliki tipografi yang indah seperti sekarang. Semasa masih di kampus, tentu saja mustahil untuk dapat saling menghubungkan semua titik-titik ini ke masa depan. Tapi 10 tahun kemudian, ketika saya menoleh ke belakang, semuanya nampak sangat.. sangat jelas.

Sekali lagi, kita tidak dapat saling menghubungkan titik-titik itu ke masa depan. Kita hanya bisa melihat hubungan antar titik itu dengan menoleh ke belakang. Jadi kita harus yakin bahwa entah bagaimana caranya titik-titik itu akan saling terhubung di masa depan kita. Kita harus punya keyakinan terahdap sesuatu, baik itu perasaan, takdir, kehidupan, karma, apa saja. Pendekatan seperti ini tidak pernah mengecewakan saya dan telah membuat hidup saya menjadi berbeda. Cerita saya yang kedua adalah tentang cinta dan kehilangan. Saya beruntung bisa menemukan sesuatu yang saya sukai di masa-masa awal hidup saya. Woz (Steve Wozniack, yang bersama Steve Jobs dan Ronald Wayne mendirikan Apple Computer di tahun 70-an) dan saya memulai Apple di garasi rumah orangtua saya saat saya masih berusia 20 tahun. Kami bekerja keras dan dalam 10 tahun Apple berkembang dari hanya kami berdua di dalam sebuah garasi menjadi sebuah perusahaan senilai 2 milyar dolar dengan lebih dari 4000 karyawan. Setahun sebelumnya kami baru saja meluncurkan ciptaan terbaik kami, Macintosh, dan waktu itu saya baru berusia 30 tahun. Lalu saya dipecat. Tapi bagaimana sampai bisa dipecat dari perusahaan yang saya dirikan sendiri? Begini, saat Apple berkembang, kami mempekerjakan seseorang yang waktu itu saya pikir sangat berbakat untuk menjalankan perusahaan bersama saya. Di tahun-tahun pertama semua berjalan lancar. Tapi kemudian visi masa depan kami mulai berbeda arah dan pada akhirnya kami bertengkar. Saat itu Dewan Direktur memihak kepadanya. Akhirnya saya keluar di usia 30 tahun. Benar-benar keluar secara terbuka. Apa yang selama ini menjadi fokus seluruh kehidupan masa dewasa saya hilang dan itu sangat menghancurkan saya. Selama beberapa bulan saya benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Saya merasa telah mengewakan generasi pebisnis sebelum saya karena saya telah menjatuhkan tongkat estafet yang diteruskan kepada saya. Waktu itu saya bertemu dengan David Packard (salah satu pendiri perusahaan terkenal Hewlett Packard) dan Bob Noyce (salah satu pendiri Intel dan penemu microchip yang merevolusi teknologi komputer) dan berusaha meminta maaf karena saya sangat membuat kesalahan. Saya benar-benar gagal di mata publik dan bahkan pernah terpikirkan untuk lari dari (Silicon) Valley (yang dikenal sebagai pusat bisnis dan pengembangan teknologi komputer hingga sekarang). Namun perlahan saya mulai menyadari sesuatu: saya masih mencintai apa yang saya lakukan. Perubahan yang terjadi di Apple sama sekali tidak mengubah apapun. Saya pernah ditolak, tapi saya masih mencintai apa yang saya lakukan. Jadi saya putuskan untuk memulai kembali.

Waktu itu saya tidak menyadarinya, tapi ternyata dipecat dari Apple adalah hal terbaik yang mungkin pernah terjadi dalam hidup saya. Beban menjadi sukses berganti menjadi rasa ringan karena kembali menjadi pemula yang tidak terlalu yakin tentang apapun. Ini membebaskan saya untuk dapat memasuki salah satu masa-masa paling kreatif dalam hidup saya. Selama lima tahun setelahnya, saya memulai sebuah perusahaan yang dikenal dengan nama NeXT, lalu perusahaan lain bernama Pixar, dan juga jatuh cinta dengan seorang wanita luar baisa yang kemudian menjadi istri saya. Pixar terus melaju dan kemudian menciptakan film animasi komputer pertama di dunia, Toy Story, dan kini merupakan studio animasi paling berhasil di dunia. Sebuah perkembangan tak terduga juga menyebabkan Apple membeli NeXT dan akhirnya saya kembali ke Apple. Teknologi yang kami kembangkan di NeXT pun menjadi pusat kebangkitan kembali Apple. Laurene dan saya juga membina keluarga yang indah bersama. Saya cukup yakin semua ini tidak akan terjadi kalau saja waktu itu saya tidak dipecat dari Apple. Itu benar-benar obat yang rasanya sangat tidak enak tapi sepertinya sangat diperlukan oleh si pasien. Kadang hidup seolah menghantam kepala kita dengan batu bata. Tapi janganlah hilang keyakinan. Saya telah diyakinkan bahwa satu-satunya yang membuat saya tetap bertahan adalah karena saya mencintai apa yang saya lakukan. Temukanlah apa yang kalian cintai. Itu berlaku untuk pekerjaan seperti halnya juga dalam percintaan. Kelak pekerjaan akan mengisi sebagian besar kehidupan kalian, dan satu-satunya cara untuk benar-benar merasa puas adalah dengan meyakini bahwa apa yang kalian lakukan itu adalah pekerjaan yang hebat. Dan satusatunya cara melakukan pekerjaan yang hebat adalah dengan mencintai apa yang kalian lakukan. Kalau kalian belum menemukannya, teruslah mencari. Jangan berhenti. Seperti hal-hal yang berkaitan dengan kata hati, kalian akan tahu ketika nanti sudah menemukannya. Dan seperti halnya sebuah hubungan luar biasa manapun, semuanya akan menjadi semakin baik dan lebih baik seiring perkembangan waktu. Jadi teruslah mencari sampai kalian menemukannya. Jangan berhenti. Cerita ketiga saya adalah tentang kematian. Sewaktu berusia 17 tahun, saya pernah membaca sebuah kutipan yang kurang lebih bunyinya begini: Jika kau menjalani setiap hari seolah itu hari terakhirmu, maka suatu saat nanti bisa jadi itu benar. Kutipan ini berkesan bagi saya, dan sejak itu, selama 33 tahun terakhir setiap pagi saya selalu menatap cermin dan bertanya

pada diri sendiri: Kalau hari ini adalah hari terakhir hidup saya, akankah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini? Kalau jawabannya terus menerus Tidak selama berharihari, saya tahu ada sesuatu yang harus saya ubah. Mengingat bahwa saya akan mati adalah cara terpenting yang pernah saya temui dalam membantu membuat keputusan-keputusan besar dalam hidup. Karena nyaris semuanya, -entah itu harapan dari luar, kebanggaan, ketakutan untuk maju atau gagal- semuanya akan sirna di hadapan kematian dan hanya menyisakan apa yang benarbenar penting saja. Mengingat kita akan mati adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindari jebakan pemikiran bahwa kita akan kehilangan sesuatu. Kita sudah telanjang. Tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati. Sekitar setahun lalu saya didiagnosa terkena kanker. Saya menjalani proses scanning pada pukul 7.30 pagi dan hasilnya jelas menunjukkan ada tumor di bagian pankreas. Saya bahkan tidak tahu apa itu pankreas. Para dokter mengatakan, ini hampir pasti sejenis kanker yang tidak bisa disembuhkan dan hidup saya tidak akan lebih dari 3 hingga 6 bulan. Dokter menyarankan untuk pulang dan menyelesaikan semua urusan saya. Ini seperti isyarat dari dokter untuk mempersiapkan kematian. Ini artinya berusaha menceritakan kepada anak-anak kita apa yang seharusnya disampaikan dalam masa 10 tahun, dalam masa hanya beberapa bulan. Ini artinya memastikan adanya persiapan agar semuanya menjadi semudah mungkin bagi keluarga. Ini artinya mengucapkan selamat tinggal. Seharian saya terus memikirkan diagnosa dokter itu. Malam harinya saya menjalani biopsi, sebuah proses dimana sebuah endoskop dimasukkan lewat tenggorokan, terus masuk ke perut melewati usus, lalu pankreas saya ditusuk dengan jarum untuk mengambil sejumlah sel dari tumor yang ada disana. Selama proses itu saya dibius, tapi menurut istri saya yang juga hadir, ketika mengamati sel itu di bawah mikroskop, para dokter mulai menangis karena ternyata itu adalah jenis kanker pankreas yang sangat langka dan bisa disembuhkan lewat operasi. Sayapun menjalani operasi itu dan kini sudah sehat. Ini adalah kondisi paling dekat dengan kematian yang pernah saya hadapi, dan semoga ini kondisi terdekat untuk beberapa dekade lagi. Setelah melalui semua itu, kini saya bisa dengan lebih yakin mengatakan kepada kalian bahwa ketika kematian merupakan sebuah konsep yang berguna tapi murni intelektual. Tidak seorang pun mau mati. Bahkan orang-orang yang ingin masuk surgapun tidak mau mati untuk bisa sampai ke sana. Tapi tetap saja kematian adalah sebuah tujuan yang akan kita semua tuju. Tidak ada yang pernah bisa lolos dari kematian, dan

seperti itulah seharusnya, karena kematian kemungkinan besar adalah temuan terbaik dari hidup. Kematian adalah agen perubahan dari hidup. Ia menyingkirkan semua yang sudah tua guna membuka jalan bagi yang baru. Saat ini yang baru itu adalah kalian. Tapi suatu hari nanti, tidak lama dari sekarang, perlahan kalian akan menjadi tua dan juga disingkirkan. Maaf kalau saya jadi sangat dramatis, tapi ini ada benarnya. Waktu kalian terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain. Jangan terjebak oleh dogma, yakni menjalani hidup dengan hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan kegaduhan dari pendapat orang lain menenggelamkan suara dari dalam diri kalian sendiri. Dan yang paling penting beranilah untuk mengikuti kata hati dan intuisi kalian. Karena entah bagaimana caranya, kata hati dan intuisi itu sudah tahu kalian ingin benar-benar menjadi apa nantinya. Yang lainnya tidak terlalu penting. Waktu saya masih muda, ada sebuah penerbitan yang bernama The Whole Earth Catalog. Bisa dikatakan ini adalah salah satu kitab dari generasi saya. Katalog ini diciptakan tidak jauh dari sini, di Menlo Park, oleh seseorang bernama Stewart Brand. Ia menghidupkan katalog itu dengan sentuhan puitisnya. Ini terjadi di tahun 1960-an, sebelum era komputer dan desktop publishing. Jadi semuanya dibuat dengan mesin ketik, gunting dan kamera polaroid. Ini semacam Google dalam bentuk buku bersampul tipis yang hadir 35 tahun sebelum Google ada. Katalog ini sangat idealis, sarat dengan produk-produk yang bagus dan pemikiran-pemikiran yang hebat. Stewart dan timnya menerbitkan beberapa edisi The Whole Earth Catalogue hingga akhirnya mereka menerbitkan edisi terakhir. Ini terjadi di pertengahan tahun 1970-an dan saya masih seusia kalian. Di sampul belakang edisi terakhir katalog itu ada sebuah foto suasana jalan pedesaan di pagi hari, semacam suasana ketika kalian yang punya rasa petualangan biasa menyetop mobil untuk ditumpangi. Di bawah tulisan itu ada kata-kata: Stay Hungry. Stay Foolish. Ini adalah pesan perpisahan mereka. Stay Hungry. Stay Foolish. Tetaplah Lapar. Tetaplah Bodoh. Ini selalu menjadi harapan untuk diri saya sendiri. Dan sekarang, saat kalian lulus dan memulai sesuatu yang baru, sayapun berharap ini untuk kalian.

Stay Hungry. Stay Foolish. Terimakasih banyak, semuanya

Analisis Terhadap Naskah Pidato


Pidato yang disampaikan Steve Jobs dalam wisuda di Universitas Stanford diakui sebagai salah satu pidatonya yang terkenal dan sarat akan pelajaran hidup. Dalam pidatonya, Steve jobs lebih menceritakan pengalaman hidupnya yang dirangkum menjadi tiga bagian. Pertama tentang bagaimana Steve Jobs menghubungkan berbagai peristiwa dalam hidupnya hingga ia bisa menjadi seperti sekarang. Ia menyebutnya sebagai Connecting The Dots atau menghubungkan titik-titik dalam hidupnya. Dimulai dari kisah ketika beliau lahir hingga akhirnya sampai pada tahap di-drop-out-nya Steve Jobs dari bangku kuliah. Bagian kedua mengenai cinta dan kehilangan. Cerita bagaimana awal mula Apple didirikan hingga akhirnya dia didepak dari perusahaannya sendiri. Hingga akhirnya bangkit kembali menjadi Steve Jobs yang baru dengan karir yang lebih cemerlang dari sebelumnya. Dan terakhir adalah bagian ketiga yang bias dibilang merupakan kesimpulan Steve Jobs atas pemaknaan perjalanan hidupnya. Dimulai dari kanker pancreas yang hamper mendekatkan dirinya dengan kematian hingga sampai pada petikan kalimat, stay hungry, stay foolish, yang beliau dapat dari sampul belakang sebuah majalah atau katalog yang terkenal di masa mudanya. Cukup menggugah dan menjadi sebuah retorika yang menarik perhatian dunia. Menurut Aristoteles, ada tiga cara untuk mempengaruhi audiens. Pertama, pembicara harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa ia memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, pembicara harus menyentuh hati khalayak, perasaan, emosi, harapan, kebencian, dan kasih sayang mereka (pathos) yang kemudian oleh para ahli retorika modern disebut sebagai imbauan emosional atau emostional appeals. Ketiga, pembicara meyakinkan pendengar/khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Disini pendekatan yang dipakai adalah melalui otak dari khalayak (logos). Selain ketiga hal tadi, Aristoteles juga menyebutkan dua hal lain yang efektif untuk mempengaruhi pendengar. Yakni Entimem (enthymeme) dan Contoh (example ) (Griffin, 2006: 321). Entimem adalah berasal dari bahasa Yunani : en artinya di dalam dan thymos artinya pikiran. Ini adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Dalam bukunya, Em Griffin mengatakan Enthymeme as the strongest of the proofs. Disebut tidak lengkap karena sebagian premis dihilangkan. Selain entimem, contoh adalah cara lainnya. Disampaikan dengan mengemukakan beberapa contoh. Secara induktif pembicara membuat kesimpulan umum.

Berdasarkan tiga bagian dari naskah pidato Steve Jobs di Stanford, pidato beliau telah memenuhi syarat tiga cara untuk mempengaruhi audiens. Dari segi ethos, Steve Jobs adalah pribadi yang hebat dengan pemikirannya yang cerdas hingga akhirnya melahirkan Apple sebagai produk software yang mendunia. Sedangkan dari segi pathos, pidato yang dibawakan oleh Steve Jobs telah menarik perhatian dunia, hingga akhirnya menjadi salah satu pidatonya yang memeberi kesan mendalam terhadap para pendengarnya. Isi pidatonya yang penuh dengan optimisme dan sikap positif yang tinggi menjadikannya sebagai pidato penuh motivasi terutama bagi para generasi muda. Ini terlihat pada kutipan yang diucapkan oleh Steve Jobs, Stay Hungry, Stay Foolish. Selalu lapar dan selalu bodoh untuk belajar dan bertransformasi menjadi pribadi yang semakin lebih baik. Dan yang terakhir adalah dari segi logos, disini Steve Jobs bukan hanya bercerita panjang lebar selayaknya dongeng sebelum tidur, namun beliau memberikan sebuah bukti tentang hasil pemikiran dan pengalaman yang didapatnya yakni, menjadi salah satu seseorang yang mengubah dunia dalam sistem informasi melalui Apple. Ketiga cara tersebut membentuk sebuah keyakinan atau entimem bahwa apa saja dapat terjadi didunia ini asalkan kita memiliki mimpi dan harapan serta terus berjuang untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Steve Jobs adalah contoh real atas semua itu.

Referensi
Griffin E. 2000. A First Look at Communication Theory (3 rd edition). New York: Mc Grow Hill.

Anda mungkin juga menyukai