Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS TARI BEDHAYA KETAWANG

Mata Kuliah : Analisis Gerak Tari


Dosen Pengampu : Dra. Nursilah, M.Si

Disusun Oleh :
Rejna Azhara Maharani
1207621024

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TARI


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2022
TARI BEDHAYA KETAWANG

Latar belakang
Tari bedhaya Ketawang merupakan satu tarian khusus yang dianggap sakral sebagai lambang
kebesaran raja. Tari Bedhaya Ketawang adalah tarian tradisional keraton yang sarat makna
dan erat hubungannya dengan upacara adat, sakral, religi, dan percintaan raja dengan
Kanjeng Ratu Kidul. Tari ini juga menjadi salah satu pusaka warisan leluhur yang dimiliki
raja dan merupakan konsep legitimasi raja. Gerakan dalam tarian ini mengandung makna
falsafah yang tinggi, sehingga masih berjalan sesuai dengan pakem.
Nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata bedhaya yang berarti penari wanita di
istana, adapun ketawang berasal dari kata tawang yang berarti langit atau mendung di langit.
Kata ketawang melambangkan suatu yang tinggi, suci, dan tempat tinggal para dewa.
Penarinya dilambangkan seperti letak bintang kalajengking yang jumlahnya sembilan.
Bedhaya Ketawang berarti tarian yang luhur dan sakral (Hadiwidjojo, 1981: 21). Tari
bedhaya merupakan tarian yang bernilai religius, sebagai simbol peribadatan kepada dewa
yang mempunyai nilai suci (sakral) di lingkungan kerajaan. Tari bedhaya mempunyai arti
penting bagi kerajaan, kondisi ini menegaskan tari bedhaya menjadi unsur signifikan dan
harus ditampilkan di dalam upacara penting keraton. Tari bedhaya dianggap sakral dan
religius oleh masyarakat Jawa maupun peneliti dari non-Jawa karena dipentaskan pada
upacara-upacara sakral di keraton (Soeratman, 1989: 152).
Tari bedhaya memiliki komposisi dengan jumlah penari tujuh sampai sembilan putri
berpakaian (kostum) yang sama dengan tema cerita yang dikreasikan tanpa dialog. Tari
bedhaya berideologi seperti cerita-cerita rakyat jawa kuno. Cerita yang dihadirkan dalam tari
bedhaya adalah cerita rakyat Jawa bersumber dari pernikahan Panembahan Senapati dengan
Kandjeng Ratu Kidul dan cerita berkembang pada cerita babad, sejarah ataupun epos
Mahabarata dan Ramayana. Tari bedhaya mempunyai cerita-cerita yang syarat dengan makna
dan nilai-nilai religius Tari bedlaya pernah menjadi salah satu aktivitas religius kaum ningrat
Jawa, karena latar belakang penyusunannya dipengaruhi oleh pola pikir Jawa Kuno yang
bersifat syiwaistis yang kenyataannya terwujud dalam sembilan penari dalam tari bedhaya
serta memiliki hubungan keberadaan sembilan wujud syakti dalam ajaran Hindu Sembilan
penari merupakan representasi dari ajaran Dewa Syiwa di Bumi Nusantara (Prihatini, 2007:
61)
Sembilan wujud yaku dalam ajaran Hindu menjadi latar belakang bagi gagasan raja dalam
menciptakan tari bedhaya, sehingga segala peninggalan dari bangunan keraton, senjata
hingga seni hiburan mari merupakan karya raja. Gagasan ini kemudian membangun sebuah
keyakinan bahwa karya raja bersifat agung. mistis, sakral, dan religius, sehingga rakyat
bahkan semua abdi dalem dan keluarga keraton meyakini peran dan kuasa raja sebagaimana
dewa. Tari bedhaya sebagai tari yang termasuk dalam ciptaan raja digunakan sebagai
legitimasi atas kedudukan dan wibawanya sebagai seorang pemimpin untuk tetap dihormati,
disanjung, dikagumi sehingga rakyat dan semua bawahan bahkan keluarga keraton senantiasa
mentataati perintah raja. Tari bedhaya dijadikan sebagai simbol kekuasaan raja agar rakyat
menghormati dan menghargai kedaulatan raja.
Sinopsis
Tari Bedhaya Ketawang adalah tarian kebesaran yang hanya di pertunjukan ketika penobatan
serta peringatan kenaikan tahta raja di Kasunanan Surakarta. Tarian ini merupakan tarian
sakral yang suci bagi masyarakat dan Kasunanan Surakarta. Nama Tari Bedhaya Ketawang
diambil dari kata bedhaya yang berarti penari wanita di istana, dan ketawang yang berarti
langit, yang identik sesuatu yang tinggi, kemuliaan dan keluhuran.

Menurut sejarahnya, tarian ini berawal ketika Sultan Agung memerintah kesultanan Mataram
tahun 1613 – 1645. Pada suatu saat Sultan Agung melakukan ritual semedi lalu beliau
mendengar suara senandung dari arah langit, Sultan agung pun terkesima dengan senandung
tersebut. Lalu beliau memanggil para pengawalnya dan mengutarakan apa yang terjadi. Dari
kejadian itulah Sultan Agung menciptakan tarian yang diberi nama bedhaya ketawang. Ada
pula versi lain yang mengatakan bahwa dalam pertapaannya Panembahan Senapati bertemu
dan memadu kasih dengan Ratu Kencanasari atau Kangjeng Ratu Kidul yang kemudian
menjadi cikal bakal tarian ini.

Namun setelah perjanjian Giyanti pada tahun 1755, dilakukan pembagian harta warisan
kesultanan mataram kepada Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I. Selain pembagian
wilayah, dalam perjanjian tersebut juga ada pembagian warisan budaya. Tari Bedhaya
Ketawang akhirnya di berikan kepada kasunanan Surakarta dan dalam perkembangannya
tarian ini tetap dipertunjukan pada saat penobatan dan upacara peringatan kenaikan tahta
sunan Surakarta.

Tari Bedhaya Ketawang ini menggambarkan hubungan asmara Kangjeng Ratu Kidul dengan
raja mataram. Semua itu diwujudkan dalam gerak tarinya. Kata – kata yang terkandung
dalam tembang pengiring tarian ini menggambarkan curahan hati Kangjeng Ratu Kidul
kepada sang raja. Tarian ini biasanya di mainkan oleh sembilan penari wanita. Menurut
kepercayaan masyarakat, setiap pertunjukan Tari Bedhaya Ketawang ini dipercaya akan
kehadiran kangjeng ratu kidul hadir dan ikut menari sebagai penari kesepuluh.

Sebagai tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus di miliki setiap penarinya. Syarat yang
paling utama yaitu para penari harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid. Jika sedang
haid maka penari harus meminta ijin kepada Kangjeng Ratu Kidul lebih dahulu dengan
melakukan caos dhahar di panggung sanga buwana, keraton Surakarta. Hal ini di lakukan
dengan berpuasa selama beberapa hari menjelang pertunjukan. Kesucian para penari sangat
penting, karena konon katanya, saat latihan berlangsung, Kangjeng Ratu Kidul akan datang
menghampiri para penari jika gerakannya masih salah.

Nama Gerak
Tari Bedhaya Ketawang memiliki Gerakan
1. kapang-kapang : dimana tangan berada disamping dan jari-jarinya membentuk
posisi ngiting.
2. Sembahan : dengan gerakan gemulai para penari mulai bergerak mengambil
posisi sembahan yang melambangkan manusia harus menghormati Tuhan sebagai
Sang Pencipta dan melakukan sembahan jengkeng kepada Sultan sebagai penguasa
keraton,
3. Mendhak : lalu setelah melalukan sembahan para penari berdiri dan mulai melakukan
posisi mendhak dan mulai ngleyek sambil menari secara pelan dan sambil bergerak
melakukan trisik, kengsersering kali posisi mereka bergantian sesuai gerak dan
formasi yang telah ditetapkan misalnya saja dari formasi rakit awitan berubah
menjadi rakit ajeng-ajengan lalu setelah itu berubah menjadi  rakit iring-iringan atau
kadang-kadang membentuk formasi rakit tigo-tigo kadang-kadang mereka melakukan
gerak ombak banyu.
Tari Bedhaya menggunakan pola lantai :
1. Gawang motor mabur
2. Gawang perang
3. Gawang jejer wayang
4. Gawang urut kacang
5. Gawang kalajengking
6. Gawang tiga-tiga

Konsep Pendukung Tarian


1. Busana/kostum yang digunakan adalah busana yang di gunakan penari dalam Tari
Bedhaya Ketawang adalah busana yang di gunakan oleh para pengantin perempuan
jawa, yaitu Dodot Ageng atau biasa di sebut Basahan. Pada bagian rambut
menggunakan Gelung Bokor Mengkurep, yaitu gelungan yang ukurannya lebih besar
dari gelungan gaya Yogyakarta. Untuk aksesoris perhiasan yang di gunakan
diantranya adalah centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul,
dan tiba dhadha (rangkaian bunga yang di kenakan pada gelungan, yang memanjang
hingga dada bagian kanan).

2. Alat musik yang digunakan adalah gamelan. Gamelan yang digunakan antara lain
adalah :
1) Gong,
2) Kendhang,
3) Kenong Gong,
4) Kemanak dan
5) Kethuk.
Pada pertunjukkannya Tari Bedaya Ketawang diiringi dengan Gendhing Ketawang
Gede dengan Nada pelog dan terbagi dalam 3 babak. ). Di tengah tarian nada
gendhing berganti menjadi slendro selama 2x. Setelah itu nada gending kembali lagi
ke nada pelog hingga tarian berakhir. Selain di iringi oleh musik gending, Tari
Bedhaya Ketawang di iringi oleh tembang (lagu) yang menggambarkan curahan hati
kangjeng ratu kidul kepada sang raja. Pada bagian pertama tarian diiringi dengan
tembang Durma, kemudian di lanjutkan dengan Ratnamulya. Pada saat penari masuk
kembali ke dalem ageng prabasuyasa, instrument musik di tambahkan dengan
gambang, rebab, gender dan suling untuk menambah keselarasan suasana

Musik dan Video


https://youtu.be/Ah6tIWDnMKs
Daftar Pustaka

Sari, S. R. (2010). Bedhaya Ketawang (Studi Nilai Filosofis Tari Bedhaya Ketawang).

(2021). Adahobi.com. https://adahobi.com/tari-bedhaya-ketawang/

Anda mungkin juga menyukai