Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Pakubuwana III bersama Hamengkubuwana I
melakukan pembagian harta warisan Kesultanan Mataram, yang sebagian menjadi milik
Kasunanan Surakarta dan sebagian lainnya menjadi milik Kesultanan Yogyakarta. Pada
akhirnya Tari Bedhaya Ketawang menjadi milik istana Surakarta, dan dalam
perkembangannya sampai sekarang ini Tari Bedhaya Ketawang masih tetap dipertunjukkan
saat penobatan dan upacara peringatan kenaikan tahta Sunan Surakarta.
Menurut kepercayaan masyarakat, setiap Tari Bedhaya Ketawang ini dipertunjukkan maka
dipercaya Kangjeng Ratu Kidul akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai penari ke
sepuluh. Tari Bedhaya Ketawang ini dibawakan oleh sembilan penari. Dalam mitologi Jawa,
sembilan penari Bedhaya Ketawang menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai
oleh sembilan dewa yang disebut dengan Nawasanga. Sebagai tarian sakral, ada beberapa
syarat yang harus dimiliki oleh penarinya. Syarat utama adalah penarinya harus seorang gadis
suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid maka penari tetap diperbolehkan menari dengan
syarat harus meminta izin kepada Kangjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya caos dhahar di
Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta. Syarat selanjutnya yaitu suci secara batiniah.
Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pergelaran.[2]
Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon kabarnya Kangjeng Ratu Kidul
akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan
berlangsung.[2]
Sembilan penari Bedhaya Ketawang memiliki nama dan fungsi masing-masing.[1] Tiap penari
tersebut memiliki simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya[2]:
Penari pertama disebut Batak yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa.[2][3]
Penari ke dua disebut Endhel Ajeg yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau
nafsu.[2][3]
Penari ke tiga disebut Endhel Weton yang disimbolkan sebagai tungkai kanan.[2][3]
Penari ke empat disebut Apit Ngarep yang disimbolkan sebagai lengan kanan.[2][3]
Penari ke lima disebut Apit Mburi yang disimbolkan sebagai lengan kiri.[2][3]
Penari ke enam disebut Apit Meneg yang disimbolkan sebagai tungkai kiri.[2][3]
Penari ke tujuh disebut Gulu yang disimbolkan sebagai badan.[2][3]
Penari ke delapan disebut Dhada yang disimbolkan sebagai badan.[2][3]
Penari ke sembilan disebut Buncit yang disimbolkan sebagai organ seksual. Penari ke
sembilan disini direpresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang yang merupakan
simbol tawang atau langit.
Busana yang digunakan oleh para penari Bedhaya Ketawang adalah dodot ageng atau disebut
juga basahan, yang biasanya digunakan oleh pengantin perempuan Jawa. Penari juga
menggunakan gelung bokor mengkurep, yaitu gelungan yang berukuran lebih besar daripada
gelungan gaya Yogyakarta,[4] serta berbagai aksesoris perhiasan yang terdiri atas centhung,
garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha (rangkaian bunga
melati yang dikenakan di gelungan yang memanjang hingga dada bagian kanan). Busana
penari Bedhaya Ketawang sangat mirip dengan busana pengantin Jawa dan didominasi
dengan warna hijau, menunjukkan bahwa Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang
menggambarkan kisah asmara Kangjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram.
Pada awalnya Bedhaya Ketawang dipertunjukkan selama dua setengah jam. Tetapi sejak
zaman Pakubuwana X diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi berdurasi satu
setengah jam. Gending atau musik yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut
Gending Ketawang Gedhe yang bernada pelog. Perangkat gamelan yang digunakan untuk
membawakan gending ini terdiri dari lima jenis, yaitu kethuk, kenong, kendhang, gong, dan
kemanak, yang sangat mendominasi keseluruhan irama gending. Bedhaya Ketawang dibagi
menjadi tiga adegan (babak). Di tengah-tengah tarian, laras (nada) gending berganti menjadi
nada slendro selama dua kali, kemudian nada gending kembali lagi ke laras pelog hingga
tarian berakhir. Pada bagian pertama tarian diiringi dengan tembang Durma, selanjutnya
berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari masuk kembali ke Dalem
Ageng Prabasuyasa, alat gamelan yang dimainkan ditambah dengan rebab, gender, gambang,
dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana.[5]
2.1 Sekilas Tentang Tari Bedhaya Ketawang
Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian sakral yang tertua (Nusjirwan, 1967: 31)
Tari Bedhaya Ketawang merupakan pusaka kraton Kasunanan yang konon dicipta oleh
Sultan Agung (Soedarsono, 1991: 37-38). Pertunjukan Bedhaya Ketawang diselenggarakan
pada upacara Penobatan raja atau pada saat Tingalan Jumenengan Dalem (ulang tahun
penobatan raja). Pada saat ini kraton Surakarta menyelenggarakan pertunjukan Bedhaya
Ketawang dalam setahun sekali, yaitu pada hari kedua bulan Ruwah. Tanggal ini merupakan
tanggal ketika Susuhunan Paku Buwana XII naik tahta.
Upacara Tingalan Jumenengan Dalem ini sifatnya agak tertutup dan pribadi. Tempat
pelaksanaannya di pendapa Sasanasewaka dan para putri duduk di dalam Prabasuyasa.
Berhubung sifatnya yang pribadi itu, maka sesudah upacara resmi berakhir residen dan para
tamu undangan lainnya segera meninggalkan tempat pasamuan, sehingga tarian Bedhaya
Ketawang itu hanya disaksikan oleh Sunan bersama keluarga, kerabat, dan para abda dalem
saja.
Tari Bedhaya Ketawang adalah salah satu tari putri gaya Surakarta yang ditarikan
oleh sembilan penari. Masing-masing penari mempunyai jabatan. Yaitu : batak, gulu, dhadha,
buncit, apit ngarep, apit mburi, apit meneng, endhel ajeg dan endhel weton (babagan hawa
sanga atau sembilan nafsu manusia). Latihannya pun pada hari tertentu. Yaitu hari Selasa
Kliwon (sesuai penanggalan Jawa). Setiap latihan, harus ada penari cadangan. Karena saat
hari H, jika ada penari yang haid tidak diperkenankan menari. Sehingga penari cadangan
tersebut bisa menggantikannya.
Selain itu Bedhaya Ketawang juga merupakan simbol kesuburan. Hal itu terlihat pada
kostum dodot ageng warna hijau yang merupakan warna favorit Kanjeng Ratu Kidul dengan
motif alas-alasan. Tari Bedhaya Ketawang menceritakan percintaan antara Panembahan
Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Tari bedhaya ketawang mengenakan dodot ageung bangun tulak sebagai salah satu
cirinya. Bentuk dodot bangun tulak ini merupakan perwujudan kesadaran akan perlindungan.
Ini tampak dengan warna khas pakaian dodot bangun tulak yaitu hijau biru tua dengan warna
putih merupakan symbol daya hidup, berkembangnya hidup dari kuasa Tuhan, merupakan
sinar putih sebagai asal mula hidup. Warna biru merupakan simbol keluhuran budi, arif
bijaksana, waspada, keimanan, keteguhan hati dalam perjuangan dan pengabdian. Motif alas-
alasan merupakan perwujudan dengan Tuhan. (Haryonagoro, 5 Oktober 2001 ).
Aksesoris
Dalam pertunjukannya, busana yang di gunakan penari dalam Tari Bedhaya Ketawang adalah busana
yang di gunakan oleh para pengantin perempuan jawa, yaitu Dodot Ageng atau biasa di sebut
Basahan. Pada bagian rambut menggunakan Gelung Bokor Mengkurep, yaitu gelungan yang
ukurannya lebih besar dari gelungan gaya Yogyakarta. Untuk aksesoris perhiasan yang di gunakan
diantranya adalah centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha
(rangkaian bunga yang di kenakan pada gelungan, yang memanjang hingga dada bagian kanan).
Properti
Tari Bedhaya Ketawang menggunakan Dodot Ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan
Iringan