Anda di halaman 1dari 10

Ada beberapa legenda yang mengungkapkan pembentukan tarian ini.

[2] Suatu ketika, Sultan


Agung Hanyakrakusuma yang memerintah Kesultanan Mataram dari tahun 1613-1645,
sedang melakukan laku ritual semadi.[3] Konon, dalam keheningan sang raja mendengar suara
tetembangan (senandung) dari arah tawang atau langit.[3] Sultan Agung merasa terkesima
dengan senandung tersebut.[3] Begitu selesai bertapa, Sultan Agung memanggil empat orang
pengiringnya yaitu Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II,
dan Tumenggung Alap-Alap.[3] Sultan Agung mengutarakan kesaksian batinnya pada mereka.
[3]
Karena terilhami oleh pengalaman gaib yang ia alami, Sultan Agung sendiri menciptakan
sebuah tarian yang kemudian diberi nama Bedhaya Ketawang.[3] Menurut versi yang lain,
dikisahkan pula bahwa dalam pertapaanya, Panembahan Senapati bertemu dan bercinta
dengan Ratu Kencanasari atau yang dikenal juga dengan sebutan Kangjeng Ratu Kidul yang
kemudian menjadi cikal bakal tarian ini.[2]

Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Pakubuwana III bersama Hamengkubuwana I
melakukan pembagian harta warisan Kesultanan Mataram, yang sebagian menjadi milik
Kasunanan Surakarta dan sebagian lainnya menjadi milik Kesultanan Yogyakarta. Pada
akhirnya Tari Bedhaya Ketawang menjadi milik istana Surakarta, dan dalam
perkembangannya sampai sekarang ini Tari Bedhaya Ketawang masih tetap dipertunjukkan
saat penobatan dan upacara peringatan kenaikan tahta Sunan Surakarta.

Seputar Tarian dan Makna Filosofis di Dalamnya


Bedhaya Ketawang merupakan suatu tarian yang berfungsi bukan hanya sebagai hiburan,
karena tarian ini hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang sangat
resmi. Tari Bedhaya Ketawang menggambarkan hubungan asmara Kangjeng Ratu Kidul
dengan raja-raja Mataram. Semuanya diwujudkan dalam gerak-gerik tangan serta seluruh
bagian tubuh, cara memegang sondher dan lain sebagainya. Semua kata-kata yang tercantum
dalam tembang (lagu) yang mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan asmara
Kangjeng Ratu Kidul kepada sang raja.

Menurut kepercayaan masyarakat, setiap Tari Bedhaya Ketawang ini dipertunjukkan maka
dipercaya Kangjeng Ratu Kidul akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai penari ke
sepuluh. Tari Bedhaya Ketawang ini dibawakan oleh sembilan penari. Dalam mitologi Jawa,
sembilan penari Bedhaya Ketawang menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai
oleh sembilan dewa yang disebut dengan Nawasanga. Sebagai tarian sakral, ada beberapa
syarat yang harus dimiliki oleh penarinya. Syarat utama adalah penarinya harus seorang gadis
suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid maka penari tetap diperbolehkan menari dengan
syarat harus meminta izin kepada Kangjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya caos dhahar di
Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta. Syarat selanjutnya yaitu suci secara batiniah.
Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pergelaran.[2]
Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon kabarnya Kangjeng Ratu Kidul
akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan
berlangsung.[2]

Sembilan penari Bedhaya Ketawang memiliki nama dan fungsi masing-masing.[1] Tiap penari
tersebut memiliki simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya[2]:

 Penari pertama disebut Batak yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa.[2][3]
 Penari ke dua disebut Endhel Ajeg yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau
nafsu.[2][3]
 Penari ke tiga disebut Endhel Weton yang disimbolkan sebagai tungkai kanan.[2][3]
 Penari ke empat disebut Apit Ngarep yang disimbolkan sebagai lengan kanan.[2][3]
 Penari ke lima disebut Apit Mburi yang disimbolkan sebagai lengan kiri.[2][3]
 Penari ke enam disebut Apit Meneg yang disimbolkan sebagai tungkai kiri.[2][3]
 Penari ke tujuh disebut Gulu yang disimbolkan sebagai badan.[2][3]
 Penari ke delapan disebut Dhada yang disimbolkan sebagai badan.[2][3]
 Penari ke sembilan disebut Buncit yang disimbolkan sebagai organ seksual. Penari ke
sembilan disini direpresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang yang merupakan
simbol tawang atau langit.

Busana yang digunakan oleh para penari Bedhaya Ketawang adalah dodot ageng atau disebut
juga basahan, yang biasanya digunakan oleh pengantin perempuan Jawa. Penari juga
menggunakan gelung bokor mengkurep, yaitu gelungan yang berukuran lebih besar daripada
gelungan gaya Yogyakarta,[4] serta berbagai aksesoris perhiasan yang terdiri atas centhung,
garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha (rangkaian bunga
melati yang dikenakan di gelungan yang memanjang hingga dada bagian kanan). Busana
penari Bedhaya Ketawang sangat mirip dengan busana pengantin Jawa dan didominasi
dengan warna hijau, menunjukkan bahwa Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang
menggambarkan kisah asmara Kangjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram.

Pada awalnya Bedhaya Ketawang dipertunjukkan selama dua setengah jam. Tetapi sejak
zaman Pakubuwana X diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi berdurasi satu
setengah jam. Gending atau musik yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut
Gending Ketawang Gedhe yang bernada pelog. Perangkat gamelan yang digunakan untuk
membawakan gending ini terdiri dari lima jenis, yaitu kethuk, kenong, kendhang, gong, dan
kemanak, yang sangat mendominasi keseluruhan irama gending. Bedhaya Ketawang dibagi
menjadi tiga adegan (babak). Di tengah-tengah tarian, laras (nada) gending berganti menjadi
nada slendro selama dua kali, kemudian nada gending kembali lagi ke laras pelog hingga
tarian berakhir. Pada bagian pertama tarian diiringi dengan tembang Durma, selanjutnya
berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari masuk kembali ke Dalem
Ageng Prabasuyasa, alat gamelan yang dimainkan ditambah dengan rebab, gender, gambang,
dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana.[5]
2.1 Sekilas Tentang Tari Bedhaya Ketawang
Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian sakral yang tertua (Nusjirwan, 1967: 31)
Tari Bedhaya Ketawang merupakan pusaka kraton Kasunanan yang konon dicipta oleh
Sultan Agung (Soedarsono, 1991: 37-38). Pertunjukan Bedhaya Ketawang diselenggarakan
pada upacara Penobatan raja atau pada saat Tingalan Jumenengan Dalem (ulang tahun
penobatan raja). Pada saat ini kraton Surakarta menyelenggarakan pertunjukan Bedhaya
Ketawang dalam setahun sekali, yaitu pada hari kedua bulan Ruwah. Tanggal ini merupakan
tanggal ketika Susuhunan Paku Buwana XII naik tahta.

Upacara Tingalan Jumenengan Dalem ini sifatnya agak tertutup dan pribadi. Tempat
pelaksanaannya di pendapa Sasanasewaka dan para putri duduk di dalam Prabasuyasa.
Berhubung sifatnya yang pribadi itu, maka sesudah upacara resmi berakhir residen dan para
tamu undangan lainnya segera meninggalkan tempat pasamuan, sehingga tarian Bedhaya
Ketawang itu hanya disaksikan oleh Sunan bersama keluarga, kerabat, dan para abda dalem
saja.

Tari Bedhaya Ketawang  adalah salah satu tari putri gaya Surakarta yang ditarikan
oleh sembilan penari. Masing-masing penari mempunyai jabatan. Yaitu : batak, gulu, dhadha,
buncit, apit ngarep, apit mburi, apit meneng, endhel ajeg dan endhel weton (babagan hawa
sanga atau sembilan nafsu manusia). Latihannya pun pada hari tertentu. Yaitu hari Selasa
Kliwon (sesuai penanggalan Jawa).  Setiap latihan, harus ada penari cadangan. Karena saat
hari H, jika ada penari yang haid tidak diperkenankan menari. Sehingga penari cadangan
tersebut bisa menggantikannya.

Selain itu Bedhaya Ketawang juga merupakan simbol kesuburan. Hal itu terlihat pada
kostum dodot ageng warna hijau yang merupakan warna favorit Kanjeng Ratu Kidul dengan
motif alas-alasan. Tari Bedhaya Ketawang menceritakan percintaan antara Panembahan
Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul.

2.2 SIMBOL JUMLAH PENARI


Tari Bedhaya Ketawang yang dilakukan oleh Sembilan orang penari banyak
mengandung makna simbolis yang selalu terkait dengan pandangan filsafat masyarakat yang
mendukungnya. Maka dapat dikatakan bahwa dalam tari Bedhaya Ketawang ada keterkaitan
dengan kultur zamannya. Jumlah Sembilan yang dipilih adalah jumlah bilangan terbesar
menurut pandangan orang Jawa. Hal ini selalu dikaitkan dengan perwujudan makrokosmos,
sehingga jumlah bilangan penari pada tarian Bedhaya Ketawang merupakan perwujudan
makrokosmos dan mikrokosmos.
Hal ini tidak terlepas pada kepercayaan masyarakat Jawa di masa itu yang meyakini
tentang kesejajaran jagat raya yaitu dunia manusia. Menurut kepercayaan ini, manusia
senantiasa berada pada penjuru mata angin, bintang-bintang dan planet. Jumlah Sembilan
penari pada tari Bedhaya Ketawang merupakan simbol mikrokosmos (jagat raya) yang
ditandai dengan sembilan arah mata angin yaitu : tengah (sebagai poros), utara, selatan,
timur, barat, timur laut, barat laut, tenggara, dan barat daya. Dalam kitab Wedhapariksama
dijelaskan bahwa sembilan arah mata angin dilambangkan dengan bentuk cakra dengan pusat
lingkaran di tengah. Kesembilan arah itu disebut nawa-dhara atau sembilan jenis sikap. Dari
nawa-dhara lahirlah sembilan jenis sakti yang disebut nawa-natha (sembilan penari).
Selain itu jumlah sembilan tersebut juga merupakan simbol alam semesta dengan
segala isinya yang mencakup : bintang, bulan, matahari, angkasa (langit), bumi (tanah), air,
api, angin, dan makhluk yang ada di dunia.
Dalam tari Bedhaya Ketawang, jumlah sembilan penari masing-masing mempunyai
peran sebagai :  batak, endhel, ajeg, gulu, dhadha, apit ngarep, apit mburi, apit meneng,
endhel, endhel weton dan bucit. Makna dan latar belakang penyusunan tari Bedhaya
Ketawang berkaitan dengan nilai kaum ningrat, bertitik tolak dari simbol kehidupan religo-
magis Hindu-Jawa seperti uraian berikut ini.
Makna simbolik dalam tari Bedhaya Ketawang yang disebut makna simbolik nilai
dualisme dapat dilihat dan dihayati pada bentuk kemanunggalan antar batak dan endel ajeg
dalam hubungannya dengan Rwa-Binedha (Proyek Sarana Budaya Bali, 1975/1976:60-61).
Pada formasi perangan, endhel ajeg dan batak memegang peran utama, sedangkan ketujuh
penari lainnya berperan sebagai penari kelompok. Dalam formasi peranan ini dilukiskan
bahwa endhel ajeg berusaha menaklukan batak, tapi tidak ada satupun yang menang atau
kalah.

    Gambar Formasi perangan


Pada formasi ini batak dan endhel ajeg berdiri, sedangkan yang lain duduk.
Makna yang bisa diambil dari adegan ini adalah figur permusuhan atau dalam istilah
Jawa dikenal dengan loro-loroning atunggal. Akan tetapi loro-loroning atunggal ini
senantiasa diawali dengan proses yang melambangkan percintaan.
Di dalam tari Bedhaya Ketawang yang menunjukan suatu kaitan dengan sifat Rwa-
Bineda secara jelas menunjukan adanya hubungan dengan berlangsungnya upacara-upacara
kesuburan. Ini sesuai denga tema tari ini yang melambangkan kesuburan yaitu
menggambarkan hubungan seksual antara panembahan Senopati beserta keturunannya
dengan Kanjeng Ratu Kencana Sari, yang ditransformasikan dengan gerak gerak percintaan
yang halus secara abstrak.
Kembali kepada penari yang berjumlah Sembilan yang merupakan symbol
makrokosmos (jagading manungsa) ditandai dengan adanya Sembilan lubang yang ada pada
manusia (lubang hawa nafsu) yaitu : dua mata, dua lubang hidung, dua lubang telinga, satu
mulut, satu anus, dan satu organ seks. Semua terwakili dalam peran penari Bedhaya
Ketawang masing-masing : penari batak sebagai kepala atau akal, penari endhel ajeg sebagai
semua nafsu dan keinginan hati, penari jangga mewujudkan bagian leher, penari dhadha
menunjukan bagian dada, penari apit ngarep muwujudkan bagian lengan kanan, penari apit
mburi mewujudkan bagian lengan kiri, penari endhel waton mewujudkan bagian organ seks,

Tari bedhaya ketawang mengenakan dodot ageung bangun tulak sebagai salah satu
cirinya. Bentuk dodot bangun tulak ini merupakan perwujudan kesadaran akan perlindungan.
Ini tampak dengan warna khas pakaian dodot bangun tulak yaitu hijau biru tua dengan warna
putih merupakan symbol daya hidup, berkembangnya hidup dari kuasa Tuhan, merupakan
sinar putih sebagai asal mula hidup. Warna biru merupakan simbol keluhuran budi, arif
bijaksana, waspada, keimanan, keteguhan hati dalam perjuangan dan pengabdian. Motif alas-
alasan merupakan perwujudan dengan Tuhan. (Haryonagoro, 5 Oktober 2001 ).

2.3 KOSTUM DAN TATA RIAS TARI BEDHAYA KETAWANG


Sajian tari Bedhaya Ketawang selain menampilkan keindahan susunan tarinya
diperindah lagi oleh tata busana dan tata rias sebagai salah satu medium bantunya. Bentuk
busana dodot bangun tulak serta rias wajah dengan paes (rias pengantin Jawa putri) adalah
salah satu cirri dari Bedhaya Ketawang.
Tata rias dan busana tari ini dibedakan menjadi dua yaitu kirab (gladi resik) yakni
latihan terakhir dengan pengawasan raja yang telah duduk di dhampar kencana dan pada saat
upacara jumenengan raja atau tinggalan jumenengan raja. Pada saat kirab para penari berhias
wajah tipis dan sangat sederhana tetapi telah dikerik ( rambut bagian depan dibentuk paes )
dengan sanggul ageng bangun tulak, mereka mengenakan sampur putih tidak menggunakan
slepe (sabut untuk menari), kain samparan bermotif parang klithik, dengan perhiasan hanya
subang.
Tata rias dan busana pada saat pagelaran para penari dirias seperti pengantin jawa.
Gambar paes terdiri dari empat bagian, yaitu : gajah, pangapit, panitis, dan godheg. Yang
disebut gajah berbentuk seperti potongan telur itik bagian ujung letaknya di tengah dahi.
Gajah ini melambangkan tuhan yang maha kuasa karena bentuknya paling besar. Gambar
pangapit terletak dikanan kiri gajah, berbentuk kuncup bunga kanthil (cempaka) yang
melambangkan wanita. Sedangkan panitis berjumlah dua, terletak kiri pangapit kiri dan
kanan pangapit kanan, berbentuk seperti potongan telur ayam bagian ujung. Panitis ini
merupakan perlambang pria yang bertugas menurunkan benih. Godheg berjumlah dua,
berbentuk kuncup kuncup bungaturi terletak di depan kedua telinga. Godheg melambangkan
cita-cita perkawinan atau bersatunya pria dan wanita, yang diharapkan dapat memberikan
keturunan. (Koes Sri Hartati, 18 Oktober 2001). Dengan demikian paes tari Bedhaya
Ketawang mempunyai makna kesuburan dibawah kekuasaan tuhan.
Ujung gajah, pangapit, dan panitis mengarah kesatu titik yaitu ujung hidung. Ini
merupakan tuntunan bersemedi serta tunduknya manusia yang sedang mengheningkan cipta
untuk pendekatan kepada tuhan. Maka tari ini bisa dikatakan sebagai sarana pendekatan
kepada tuhan (sangkan paraning dumadi). Banyaknya makna simbolik yang memang sulit
dipisah dalam tari Bedhaya Ketawang dan sangat kompleks. Maka masyarakat Jawa
khususnya Surakarta masih meyakini kesakralan tari Bedhaya Ketawang.
Rambut disanggul berbentuk bokor mengkureb ditutup dengan bunga melati sebagai
rajut yang berbentuk kawungan. Bentuk bokor sebagai wadah yang masih kosong, sedang
bunga melati menggambarkan kesucian. Ini menyatakan bahwa penari Bedhaya harus masih
gadis dan suci. Bunga melati yang berbentuk kawungan melambangkan menyatunya kawula
ian gusti dalam suatu wadah.(Kebadayaan Jawi keraton Surakarta : 19). Bunga tiba dhadha
berbentuk kawungan dikenakan pada sanggul bagian kanan terjuntai melewati dada sebelah
kanan sampai tengah paha.
Para penari Bedhaya Ketawang pada waktu pentas mengenakan dodot ageng bangun
talak (hitam putih) ini bermakna penolakan makhluk kasar ataupun halus . kain cindhe merah
bermotif cakar mempunyai makna penghematan, yaitu manusia dituntut harus selalu hemat
dan bekerja. Sampur cindhe merah bermotif cakar sebagai pengikat pinggang agar para
penari dapat mengendalikan diri dengan ikatan yang kuat. Kelat bahu terbuat dari swasa
(perak dicampur tembaga) dikenakan pada lengan atas kiri dan kanan sebagai tanda bahwa
pemakainya masih gadis. Slepe berwarna kuning dan thothok (tempat mengaitkan slepe )
untuk menambah keindahan warna busana.
Perhiasan yang dikenakan kecantikan para penari antara lain : cundhuk mentul (bunga
goyang) berjumlah Sembilan, garudha mungkur terbuat dari swasa bertabur intan, dipasang
dibawah sanggul bokor mengkureb. Giwang berbentuk wulan tumanggal (bulan sabit)
merupakan lambang murah sandang pangan. Selain itu dikenakan gelang, cincin, bros untuk
menambah keindahan busana (Yosodipuro,tt : 24).
Hiasan buntal yang dilingkarkan pada panggul penari dari daun kroton, bunga kenikir atau
biasa disebut dewa-ndaru, daun beringin sengkeran dari pohon yang dikurung di alun-alun
yang biasa dipakai untuk menghias kembang mayang pengantin. Pohon beringin ini disebut
Kalpataru dan  Dewantaru yang mempunyai makna kesuburan yang abadi membawa
kesejahteraan dan ketentraman masyarakat Jawa. (Siti Suharti, 18 Oktober 1993). Dan
semakin jelas apabila tari Bedhaya Ketawang sangat kesakralannya.

Aksesoris
Dalam pertunjukannya, busana yang di gunakan penari dalam Tari Bedhaya Ketawang adalah busana
yang di gunakan oleh para pengantin perempuan jawa, yaitu Dodot Ageng atau biasa di sebut
Basahan. Pada bagian rambut menggunakan Gelung Bokor Mengkurep, yaitu gelungan yang
ukurannya lebih besar dari gelungan gaya Yogyakarta. Untuk aksesoris perhiasan yang di gunakan
diantranya adalah centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha
(rangkaian bunga yang di kenakan pada gelungan, yang memanjang hingga dada bagian kanan). 

KOSTUM DAN TATA RIAS TARI BEDHAYA


KETAWANG

Sajian tari Bedhaya Ketawang selain menampilkan keindahan susunan tarinya


diperindah lagi oleh tata busana dan tata rias sebagai salah satu medium bantunya.
Bentuk busana dodot bangun tulak serta rias wajah dengan paes (rias pengantin
Jawa putri) adalah salah satu cirri dari Bedhaya Ketawang.
Tata rias dan busana tari ini dibedakan menjadi dua yaitu kirab (gladi resik)
yakni latihan terakhir dengan pengawasan raja yang telah duduk di dhampar
kencana dan pada saat upacara jumenengan raja atau tinggalan jumenengan raja.
Pada saat kirab para penari berhias wajah tipis dan sangat sederhana tetapi telah
dikerik ( rambut bagian depan dibentuk paes ) dengan sanggul ageng bangun tulak,
mereka mengenakan sampur putih tidak menggunakan slepe (sabut untuk menari),
kain samparan bermotif parang klithik, dengan perhiasan hanya subang.
Tata rias dan busana pada saat pagelaran para penari dirias seperti pengantin
jawa. Gambar paes terdiri dari empat bagian, yaitu : gajah, pangapit, panitis, dan
godheg. Yang disebut gajah berbentuk seperti potongan telur itik bagian ujung
letaknya di tengah dahi. Gajah ini melambangkan tuhan yang maha kuasa karena
bentuknya paling besar. Gambar pangapit terletak dikanan kiri gajah, berbentuk
kuncup bunga kanthil (cempaka) yang melambangkan wanita. Sedangkan panitis
berjumlah dua, terletak kiri pangapit kiri dan kanan pangapit kanan, berbentuk
seperti potongan telur ayam bagian ujung. Panitis ini merupakan perlambang pria
yang bertugas menurunkan benih. Godheg berjumlah dua, berbentuk kuncup
kuncup bungaturi terletak di depan kedua telinga. Godheg melambangkan cita-cita
perkawinan atau bersatunya pria dan wanita, yang diharapkan dapat memberikan
keturunan. (Koes Sri Hartati, 18 Oktober 2001). Dengan demikian paes tari Bedhaya
Ketawang mempunyai makna kesuburan dibawah kekuasaan tuhan.
Ujung gajah, pangapit, dan panitis mengarah kesatu titik yaitu ujung hidung.
Ini merupakan tuntunan bersemedi serta tunduknya manusia yang sedang
mengheningkan cipta untuk pendekatan kepada tuhan. Maka tari ini bisa dikatakan
sebagai sarana pendekatan kepada tuhan (sangkan paraning dumadi). Banyaknya
makna simbolik yang memang sulit dipisah dalam tari Bedhaya Ketawang dan
sangat kompleks. Maka masyarakat Jawa khususnya Surakarta masih meyakini
kesakralan tari Bedhaya Ketawang.
Rambut disanggul berbentuk bokor mengkureb ditutup dengan bunga melati
sebagai rajut yang berbentuk kawungan. Bentuk bokor sebagai wadah yang masih
kosong, sedang bunga melati menggambarkan kesucian. Ini menyatakan bahwa
penari Bedhaya harus masih gadis dan suci. Bunga melati yang berbentuk kawungan
melambangkan menyatunya kawula ian gusti dalam suatu wadah.(Kebadayaan Jawi
keraton Surakarta : 19). Bunga tiba dhadha berbentuk kawungan dikenakan pada
sanggul bagian kanan terjuntai melewati dada sebelah kanan sampai tengah paha.
Para penari Bedhaya Ketawang pada waktu pentas mengenakan dodot ageng
bangun talak (hitam putih) ini bermakna penolakan makhluk kasar ataupun halus .
kain cindhe merah bermotif cakar mempunyai makna penghematan, yaitu manusia
dituntut harus selalu hemat dan bekerja. Sampur cindhe merah bermotif cakar
sebagai pengikat pinggang agar para penari dapat mengendalikan diri dengan ikatan
yang kuat. Kelat bahu terbuat dari swasa (perak dicampur tembaga) dikenakan pada
lengan atas kiri dan kanan sebagai tanda bahwa pemakainya masih gadis. Slepe
berwarna kuning dan thothok (tempat mengaitkan slepe ) untuk menambah
keindahan warna busana.
Perhiasan yang dikenakan kecantikan para penari antara lain : cundhuk
mentul (bunga goyang) berjumlah Sembilan, garudha mungkur terbuat dari swasa
bertabur intan, dipasang dibawah sanggul bokor mengkureb. Giwang berbentuk
wulan tumanggal (bulan sabit) merupakan lambang murah sandang pangan. Selain
itu dikenakan gelang, cincin, bros untuk menambah keindahan busana
(Yosodipuro,tt : 24).
Hiasan buntal yang dilingkarkan pada panggul penari dari daun kroton, bunga
kenikir atau biasa disebut dewa-ndaru, daun beringin sengkeran dari pohon yang
dikurung di alun-alun yang biasa dipakai untuk menghias kembang mayang
pengantin. Pohon beringin ini disebut Kalpataru dan  Dewantaru yang mempunyai
makna kesuburan yang abadi membawa kesejahteraan dan ketentraman masyarakat
Jawa. (Siti Suharti, 18 Oktober 1993). Dan semakin jelas apabila tari Bedhaya
Ketawang sangat kesakralannya.

Properti

Tari Bedhaya Ketawang menggunakan Dodot Ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan

Sajian tari Bedhaya Ketawang selain menampilkan keindahan susunan tarinya


diperindah lagi oleh tata busana dan tata rias sebagai salah satu medium bantunya.
Bentuk busana dodot bangun tulak serta rias wajah dengan paes (rias pengantin
Jawa putri) adalah salah satu cirri dari Bedhaya Ketawang.
Tata rias dan busana tari ini dibedakan menjadi dua yaitu kirab (gladi resik)
yakni latihan terakhir dengan pengawasan raja yang telah duduk di dhampar
kencana dan pada saat upacara jumenengan raja atau tinggalan jumenengan raja.
Pada saat kirab para penari berhias wajah tipis dan sangat sederhana tetapi telah
dikerik ( rambut bagian depan dibentuk paes ) dengan sanggul ageng bangun tulak,
mereka mengenakan sampur putih tidak menggunakan slepe (sabut untuk menari),
kain samparan bermotif parang klithik, dengan perhiasan hanya subang.
Tata rias dan busana pada saat pagelaran para penari dirias seperti pengantin
jawa. Gambar paes terdiri dari empat bagian, yaitu : gajah, pangapit, panitis, dan
godheg. Yang disebut gajah berbentuk seperti potongan telur itik bagian ujung
letaknya di tengah dahi. Gajah ini melambangkan tuhan yang maha kuasa karena
bentuknya paling besar. Gambar pangapit terletak dikanan kiri gajah, berbentuk
kuncup bunga kanthil (cempaka) yang melambangkan wanita. Sedangkan panitis
berjumlah dua, terletak kiri pangapit kiri dan kanan pangapit kanan, berbentuk
seperti potongan telur ayam bagian ujung. Panitis ini merupakan perlambang pria
yang bertugas menurunkan benih. Godheg berjumlah dua, berbentuk kuncup
kuncup bungaturi terletak di depan kedua telinga. Godheg melambangkan cita-cita
perkawinan atau bersatunya pria dan wanita, yang diharapkan dapat memberikan
keturunan. (Koes Sri Hartati, 18 Oktober 2001). Dengan demikian paes tari Bedhaya
Ketawang mempunyai makna kesuburan dibawah kekuasaan tuhan.
Ujung gajah, pangapit, dan panitis mengarah kesatu titik yaitu ujung hidung.
Ini merupakan tuntunan bersemedi serta tunduknya manusia yang sedang
mengheningkan cipta untuk pendekatan kepada tuhan. Maka tari ini bisa dikatakan
sebagai sarana pendekatan kepada tuhan (sangkan paraning dumadi). Banyaknya
makna simbolik yang memang sulit dipisah dalam tari Bedhaya Ketawang dan
sangat kompleks. Maka masyarakat Jawa khususnya Surakarta masih meyakini
kesakralan tari Bedhaya Ketawang.
Rambut disanggul berbentuk bokor mengkureb ditutup dengan bunga melati
sebagai rajut yang berbentuk kawungan. Bentuk bokor sebagai wadah yang masih
kosong, sedang bunga melati menggambarkan kesucian. Ini menyatakan bahwa
penari Bedhaya harus masih gadis dan suci. Bunga melati yang berbentuk kawungan
melambangkan menyatunya kawula ian gusti dalam suatu wadah.(Kebadayaan Jawi
keraton Surakarta : 19). Bunga tiba dhadha berbentuk kawungan dikenakan pada
sanggul bagian kanan terjuntai melewati dada sebelah kanan sampai tengah paha.
Para penari Bedhaya Ketawang pada waktu pentas mengenakan dodot ageng
bangun talak (hitam putih) ini bermakna penolakan makhluk kasar ataupun halus .
kain cindhe merah bermotif cakar mempunyai makna penghematan, yaitu manusia
dituntut harus selalu hemat dan bekerja. Sampur cindhe merah bermotif cakar
sebagai pengikat pinggang agar para penari dapat mengendalikan diri dengan ikatan
yang kuat. Kelat bahu terbuat dari swasa (perak dicampur tembaga) dikenakan pada
lengan atas kiri dan kanan sebagai tanda bahwa pemakainya masih gadis. Slepe
berwarna kuning dan thothok (tempat mengaitkan slepe ) untuk menambah
keindahan warna busana.
Perhiasan yang dikenakan kecantikan para penari antara lain : cundhuk
mentul (bunga goyang) berjumlah Sembilan, garudha mungkur terbuat dari swasa
bertabur intan, dipasang dibawah sanggul bokor mengkureb. Giwang berbentuk
wulan tumanggal (bulan sabit) merupakan lambang murah sandang pangan. Selain
itu dikenakan gelang, cincin, bros untuk menambah keindahan busana
(Yosodipuro,tt : 24).
Hiasan buntal yang dilingkarkan pada panggul penari dari daun kroton, bunga
kenikir atau biasa disebut dewa-ndaru, daun beringin sengkeran dari pohon yang
dikurung di alun-alun yang biasa dipakai untuk menghias kembang mayang
pengantin. Pohon beringin ini disebut Kalpataru dan  Dewantaru yang mempunyai
makna kesuburan yang abadi membawa kesejahteraan dan ketentraman masyarakat
Jawa. (Siti Suharti, 18 Oktober 1993). Dan semakin jelas apabila tari Bedhaya
Ketawang sangat kesakralannya.

Iringan

Anda mungkin juga menyukai