Anda di halaman 1dari 4

Asal-usul Tari Bedhaya Ketawang

Asal mulanya tari Bedhaya Ketawang hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Dalam
perkembangan selanjutnya, tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari
yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang. Berbeda dengan tarian lainnya,
Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta
Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal
Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan).
Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya
Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati), Bedhaya gending Tejanata dan Sinom
(karya PB IX), Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB
V), dan lainnya. Siapa sebenarnya pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang
memang masih simpang siur. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa tarian ini sengaja
diciptakan langsung oleh Kanjeng Ratu Kidul khusus untuk raja-raja Jawa.

Bedoyo Ketawang misalnya menurut Sinuhun Paku Buwono X menggambarkan lambang cinta
kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati. Ini semua terlukis dalam gerak gerik
tangan, langkah kaki, dan seluruh bagian tubuh para penari. Namun semuanya tergambar
dengan begitu halus sehingga cukup sulit bagi orang awam untuk memahaminya. Segala gerak
dalam tarian ini melambangkan melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi. Walaupun dapat
dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap
di dasar samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana (Singgasana yang dititipkan
oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan). Sinuhun tidak mau menuruti kehendak Sang Ratu,
karena masih ingin mencapai “sangkan paran“, namun beliau masih mau memperistri Kanjeng
Ratu Kidul, turun temurun. Kemudian terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu
Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun
temurun atau raja-raja penerus. Sehingga siapa saja raja yang bertahta atas Jawa otomatis akan
beristri Kanjeng Ratu Kidul. Sebaliknya bahkan Kanjeng Ratu Kidul yang diminta datang ke
daratan untuk mengajarkan tarian Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesayangan Sinuhun.
Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati-Raja Mataram
pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Penembahan
Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari.
Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.

Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung
Anyakrakusuma (cucu Panembahan Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap
pencipta tarian ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram
bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan. Ceritanya, ketika Sultan Agung
sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar alunan sebuah gending. Kemudian Sultan Agung
berinisatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan alunan gending yang
pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan
dengan sempurna dan kemudian dinamakan tari Bedhaya Ketawang.

Mitologi dan Peraturan dalam Tari Bedhaya Ketawang

Tari bedhaya ketawang adalah sebuah tari yang amat disakralkan dan hanya dipentaskan pada
waktu-waktu tertentu saja. Bedhaya ketawang ada dua jenis, yaitu bedhaya ketawang alit yang
dipentaskan setiap tahun pada acara tingalan Jumenengan Dalem dan durasinya hanya 1,5 jam.
Satu lagi yaitu bedhaya ketawang ageng yang dipentaskan setiap 8 tahun sekali atau sewindu
sekali. Tari bedhaya ketawang ageng bisa berdurasi sekitar 5,5 jam dan berlangung hingga
pukul 01.00 pagi. Orang yang menyaksikannya pun adalah orang-orang tertentu yang telah
terpilih. Selama menyaksikan tari tersebut, hadirin harus dalam keadaan khusuk, semedi, dan
hening. Jadi hadirin tidak boleh berbicara atau makan, dan hanya boleh diam dan menyaksikan
gerakan demi gerakan sang penari.

Pada awalnya di keraton Surakarta Hadiningrat, tarian ini hanya diperagakan oleh tujuh wanita
saja. Namun karena tarian ini dianggap tarian khusus yang dianggap sakral, jumlah penari
kemudian ditambah menjadi sembilan orang. Sembilan penari terdiri dari delapan puteri yang
masih ada hubungan darah dan kekerabatan dari keraton dan seorang penari gaib yang
dipercaya sebagai sosok Nyai Roro Kidul. Konon, setiap kali bedhaya ketawang ditarikan, Nyai
Roro Kidul selalu hadir, ikut menari. Namun tidak setiap orang dapat melihatnya, hanya bagi
mereka yang peka saja Sang Ratu menampakkan diri. Tak heran jika kemudian muncul aturan
ketat bagi seluruh orang yang terlibat dalam tarian ini baik pada masa latihan maupun waktu
pementasan. Hal ini dikarenakan mereka akan bersentuhan langsung dengan Nyi Roro Kidul
yang dipercaya sebagai pencipta tarian tersebut. Bahkan, menurut orang yang percaya, Kanjeng
Ratu Kidul sendiri yang datang akan turun membetulkan apabila ada gerakan tari yang salah.
Ada juga yang percaya Dalam tari Bedaya Ketawang, Nyai Ratu Kidul menggandakan dirinya
menjadi namawatrika (sembilan dewi ibu alam semesta). (percaya tidak percaya, itu tergantung
diri kita masing-masing…)

Nah….sebelum dilaksanakan tarian ini ada beberapa laku atau aturan yang juga disebut juga
upacara ritus yang harus dipenuhi oleh keraton dan para penarinya. Adapun yang harus
dilakukan adalah sebagai berikut :
Ø Untuk Keraton harus melakukan upacara atau ritus Labuhan atau Larungan (persembahan
korban) yang berupa sesaji di 4 titik ujung/titik mata angin disekitar keraton. Disini keraton
diibaratkan sebagai pusat Kosmis dari dunia dan keempat titik penjuru melambangkan alam
semesta, letak geografis dan mitologis keempat titik tersebut adalah:

1. Di Bagian Utara terdapat Gunung Merapi dengan penguasa Kanjeng ratu Sekar,

2. Di Daerah Selatan terdapat Segoro Kidul atau laut kidul dengan penguasa Nyi Rara Kidul,

3. Bagian Barat terdapat Tawang Sari kahyangan ndlpih dengan penguasa Sang Hyang Pramori
(Durga di hutan Krendowahono),

4. Dibagian Timur terdapat Tawang Mangu dengan Argodalem Tirtomoyo sebagai penguasa dan
Gunung Lawu dengan Kyai Sunan lawu sebagai penguasanya.

Ø Selain itu putri-putri yang ikut menari diwajibkan masih Perawan (belum menikah), tidak
dalam keadaan haid dan menjalankan puasa tertentu sebelum melakukan tarian. Ada sumber
yang menyebutkan bahwa khusus bagi anak raja boleh sudah menikah tetapi harus memasang
sesaji tertentu (caos dhahar), begitu juga bagi penari yang sedang haid boleh ikut menari
setelah memasang sesaji untuk Kanjeng Ratu Kidul.

Pada malam hari anggara kasih yaitu ke 9 penari termasuk nyai rara kidul yang diyakini
memasuki sitihinggil dengan arah Pradaksina disekitar sultan/raja, mereka itu perlambang
cakrawala dan membuat formasi nawagraha, perbintangan kartika : 2 + 5 + 2. Atas irama
gamelan para penari melambangkan peredaran tata tertip kosmis azali yang teratur : kemudian
bagaimana tata tertip tersebut menjadi kacau dan kemudian dipulihkan lagi. Tembang yang
dinyanyikan melambangkan Re-integrasi tata dunia dalam tata asli transendia dan lama tarian
yang dimainkan sekitar 5,5 jam kadang sampai jam 01:00 malam (pada bedhaya ketawang
ageng).

Pola bedhaya Ketawang berhubungan dengan astronomi, yaitu mengikuti pola perbintangan
(rasi bintang) yang dikenal dan dianut masyarakat Jawa untuk keperluan sehari-hari
(menentukan musim, bertani, dan sebagainya). Beberapa pola rasi bintang yang digunakan
adalah gubug penceng dan waluku.

Busana dalam tari bedhaya ketawang menggunakan dhodhot ageng pengantin Jawa yang
disebut basahan. Menggunakan gelung bokor mengkurep yang berukuran lebih besar daripada
gaya Yogyakarta. Penyajian tari tersebut diawali dari pembukaan (15 menit), bagian inti (60
menit), dan penutup (15 menit). Pertama bagian pembukaan, menceritakan kala Kanjeng Ratu
Kidul keluar dari istana dan bertemu Panembahan Senopati, yang memintanya membantu
kerajaan yang kalut. Ia mau membantu dengan syarat Senopati harus menjadi suaminya. Kedua
bagian inti, menceritakan adegan percintaan Penembahan Senopati dan Ratu Kidul, yang
sempat mengabaikan negeri walau akhirnya diingatkan Ki Juru Martani (penasihat kerajaan)
untuk kembali ke Mataram. Ketiga bagian penutup, menceritakan tangisan atas kerinduan
mendalam dan ungkapan cinta Kanjeng Ratu Kidul, yang bersumpah tidak akan mencari laki-laki
lain, kecuali Raja Mataram. Dia juga berjanji mengabdi dan menjadi istri Raja Mataram hingga
turun-temurun, hingga kini.

Bedhaya ketawang tidak menggunakan iringan gamelan lengkap. Instrumen yang digunakan
hanya kethuk, kenong, kendhang ageng, ketipung, dan kemanak. Gerongan ketawang ageng
menjadi bagian pokok dalam pengiring. Gerongan ini disajikan secara koor (dibawakan oleh
lebih dari satu sindhen dan dinyanyikan bersama-sama). Ada satu instrumen unik yang
mendapat perhatian khusus, yaitu kemanak. Kemanak adalah instrumen yan berbentuk seperti
pisang, tetapi berlubang bagian tengahnya (bayangkan lobang pada kenthongan), berjumlah
sepasang. Dimainkan dengan cara dipukul secara bergantian. Suasana yang ditimbulkan oleh
perpaduan antara kemanak dan gerongan berkesan tintrim, wingit, dan angker. Walaupun
instrumen pengiring bedhaya Ketawang sederhana, namun tidak mudah untuk dimainkan.

Permainan keseluruhan instrumen membutuhkan konsentrasi tinggi. Hal ini disebabkan karena
permainan gendhing ini berkesan monoton meskipun ada perubahan irama dari lambat menuju
cepat, sehingga menyebabkan para pengrawit mengantuk dan akibatnya akan mengacaukan
permainan gendhing tersebut.

Demikianlah salah satu kekayaan tarian di Indonesia khususnya di Jawa. Mengenai


kepercayaan-kepercayaan yang ada dalam tarian itu tergantung dari pembaca semua boleh
percaya atau tidak. Yang pasti itulah salah satu khasanah budaya yang harus kita jaga bersama
agar tidak sampai punah atau ditinggalkan oleh generasi penerus.

Anda mungkin juga menyukai