Anda di halaman 1dari 31

PRINSIP-PRINSIP HUKUM ISLAM

Sebelum kita berbicara tentang  prinsip-prinsip hukum islam sebagai yang menjadi pusat
kajian kita harus memahami terlebih dahulu makna Islam (sebagai agama) yang menjadi induk
hukum Islam itu sendiri. Kata Islam terdapat dalam Al-qur’an, kata benda yang berasal dari kata
kerja salima,  arti yang dikandung kata Islam adalah kedamaian, kesejahteraan, keselamatan,
penyerahan (diri) dan kepatuhan.
Sedangkan arti Islam sebagai agama adalah Islam adalah agama yang telah diutuskan
oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk membahagiakan dan menguntungkan manusia.
Orang yang secara bebas memilih Islam untuk patuh atas kehendak Allah SWT
disebut Muslim, arti seorang muslim adalah orang yang menggunakan akal dan kebebasannya
menerima dan mematuhi kehendak atau petunjuk Tuhan. Seorang muslim yang
sudah baligh maka disebut mukallaf, yaitu orang yang sudah dibebani kewajiban dalam artian
menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangannya.
            Ketentuan-ketentuan Allah SWT atas manusia terdapat dalam Syariah, sedangkan arti
dari syariah sendiri dari segi harfiah adalah jalan kesumber (mata) air yaitu jalan lurus yang
harus diikuti oleh setiap muslim. Sedangkan dari segi ilmu hukum adalah norma dasar yang
ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh seorang muslim.
Norma hukum dalam Islam terdiri dari dua kategori;
pertama, norma-norma hukum yang ditetapkan oleh Allah dan atau Rasulnya secara langsung
dan tegas. Norma-norma hukum jenis ini bersifat konstant dan tetap. Artinya, untuk
melaksanakan ketentuan hukum tersebut tidak membutuhkan penalaran atau tafsiran (ijtihad) dan
tetap berlaku secara universal pada setiap zaman dan tempat. Norma-norma hukum semacam ini
jumlahnya tidak banyak, dan dalam diskursus norma hukum (Islam), inilah yang disebut dengan
syariat dalam arti yang sesungguhnya.
Kedua, Norma-norma hukum yang ditetapkan Allah atau rasul-Nya berupa pokok-pokok atau
dasarnya saja. Dari norma-norma hukum yang pokok ini kemudian lahir norma hukum lain
melaui ijtihad para mujtahid dengan format yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Norma-norma yang terakhir inilah yang kemudian dinamai dengan fikih atau hukum
Islam. Tentu saja norma-norma ini tidak bersifat tetap, tetapi bisa saja berubah (diubah) sesuai
tuntutan ruang dan waktu. Cuma saja, dalam menetapkan format hukum baru untuk menjawab
persoalan-persoalan yang berkembang, para mujtahid dan badan legislasi Islam harus senantiasa
berpegang pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Di antara beberapa prinsip hukum Islam
yang patut disebutkan di sini adalah sebagai berikut:

Pengertian-pengertian Dasar
 Hukum : Ialah Peraturan yang dibuat oleh penguasa atau adat yang berlaku bagi semua
orang di suatu masyarakat; Undang-undang, untuk mengatur pergaulan hidup manusia;
Patokan atau kaidah mengenai suatu peristiwa; keputusan yang ditetapkan oleh hak.
 Hukum Islam aturan, patokan, kaidah, undang yang berasal dari Islam untuk kehidupan
manusia secara menyeluruh.
 Hukum Islam ada dua macam:
1) Syariah, arti dasarnya adalah menuju air. Air adalah simbol kehidupan, artinya
setiap manusia memerlukan syariah. Syariah juga diartikan peraturan dari Allah
dan Rasulullah untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, mausia
dengan manusia lain, dan antara manusia dengan alam semesta. syariah
merupakan aturan yang mutlak benar tidak bisa dan tidak boleh diubah dan
diterima manusia atas dasar iman untuk dilaksanakan.
2) Fiqih, kata fiqih berasal dari kata faqah yang berarti paham atau mengerti.
Kumpulan pemahaman sistematis terhadap peraturan-peraturan Allah disebut
ilmu fiqih.
 Hubungan Syariah dan Ilmu Fiqih
1) Pada abad I - II H, Syariah identik dengan fiqih, identik pula dengan ad-din.
2) Abad II H dan seterusnya Ilmu fikih merupakan salah satu bagian dari syariah.
Ilmu Fiqih merupakan aturan perilaku manusia dipandang dari salah satu dari
lima putusan hukum (ahkam al-khamsah)
Lima Putusan Hukum: Setelah seseorang mengaku memeluk Islam dengan inisiasi
syahadad, kapan pun ia tidak terlepas dari kontrol hukum yang lima: haram, makruh,
wajib, sunnah, dan mubah. Dalam sehari semalam, seorang muslim pasti keluar
masuk pada salah satu putusan hukum yang lima itu. Akan merugi besar kalau
seseorang terlalu lama berada di bilik hukum haram karena akibatnya adalah dosa
yang berlanjut pada azab atau siksaan. Akan beruntung besar kalau seseorang tidak
mau memasuki bilik haram karena akibatnya ia memperoleh pahala yang berlanjut
pada kenikmatan dan surga.
 Terapan term Hukum Islam di Indonesia: Syariah atau disebut Islamic law dan fiqih
disebut Islamic jurisprudence.

Ciri-Ciri Hukum Islam

1) Hukum Islam merupakan bagian dan sumber dari ajaran agama Islam
2) Berkaitan dengan bagian lain dalam Islam, yaitu aqidah dan akhlaq
3) Memiliki istilah kunci, yaitu syariah dan fiqih.
4) Terdiri atas dua bagian besar, ibadah dan muamalah. Ibadah merupakan aturan hubungan
antara manusia dengan Alla, dan muamalah merupakan aturan hubungan antara manusia
dengan manusia lain dan antara manusia dengan alam semesta

Struktur sumber hukum Islam


1) Alquran
2) As-Sunnah
3) Hasil ijtihad ulama, seperti: qiyas, ijma’, maslahah mursalah.
4) Pelaksanaan dalam praktik dalam bentuk putusan hukumatas perbuatan manusia.
5) Macam-macam perbuatan hati mencakup perbuatan: hati, pikiran, perasaan, tangan,
hidung, kaki, telinga, lisan, dan kemaluan. Semua perbuatan ini mengandung hukum.
Karena itu harus tetap hati-hati agar perbuatan apa saja dalam diri kita tidak terjerumus
pada yang haram.
6) Mendahulukan yang wajib daripada yang hak atau yang halal.

Ruang Lingkup
1. Hukum perdata, meliputi:
1) Mengatur masalah munakahat (perkawinan)
2) Mengatur masalah mawaris (waris-mewaris)
3) Mengatur masalah mu’amalah, yaitu tentang kebendaan, hak-ahak atas benda dan
tata hubungan antara manusia dengan manusia dan alam semesta.
2. Hukum pidana, meliputi:
1. Jinayat, yaitu aturan perbuatan yang diancam dengan hukuman atau pidana.
2. Al-ahkam as-sulthaniyyah, yaitu aturan tentang kenegaraan
3. Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk dan
negara lain.
4. Mukhashamat, mengatur tentang peradilan, kehakiman dan hukum acara.
Tujuan Hukum Islam:
1) memelihara agama
2) memelihara jiwa
3) memelihara akal
4) memelihara keturunan
5) memelihara harta
Sumber hukum Islam
1) Sumber hukum Islam ada tiga macam: Alquran, a-Sunnah, dan ijtihad.
2) Referensinya adalah Hadis Rasulullah terhadap Muaz bin Jabbal sebagai berikut:
Rasulullah : Bagaimana kamu akan memutuskan terhadap susuaru perkara yang
datang Kepadamu?
Muaz : Saya akan memutuskannya dengan kitabullah
Rasulullah : Kalau engkau tidak mendapatinya dalam kitabullah ?
Muaz : Saya akan memutuskannya berdasar sunnah Rasul
Rasulullah : Kalau dalam sunnah Rasul juga tidak ada ?
Muaz : akan mendasarkan pada pendapatku dan saya tidak akan lengah
Rasulullah : Alhamdulillah, Allah telah memberi taufi-Nya sesuai dengan apa Yang
diridai oleh-Nya dan Rasulnya.

Alquran sebagai sumber Hukum


1. Alquran adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw melalui
perantara Malaikat Jibril untuk pedoman hidup manusia secara utuh, termasuk di
dalamnya mengenai hukum.
2. Asas hukum yang tercantu dalam Alquran adalah sebagai berikut:
a) Meniadakan yang berat
b) Menyedikitkan beban (QS. al-Baqarah/ : 286).
c) Berangsur-angsur dalam meberikan hukum sesuai dengan kebutuhan yang sedang
dihadapi umat.
d) Menyedikitkan Beban
Nabi melarang para sahabat memperbanyak pertanyaan tentang hukum yang belum
ada yang nanti nya akan memberatkan merika sendiri, Nabi SAW. Justru
menganjurkan agar merika memetik dari kaidah-kaidah  umum. Kita ingat bahwa
ayat-ayat al-Qur’an tentang hukum yang sedikit. Yang sedikit tersebut justru
memberikan lapangan yang luas bagi manusia untuk berijtihad, Dengan demikian
hukum Islam tidak lah kaku,keras,dan berat bagi ummat manusia.
Dugaan-dugaan atau sangka-sangkaan tidak boleh dijadikan dasar penetapan
hukum [1] Allah berfirman:
‫ٰيأَيُّهَا الَّذينَ ءا َمنوا ال تَسٔـََٔ\لوا عَن أَشيا َء إِن تُب َد لَ ُكم تَسُؤ ُكم\ َوإِن تَسٔـََٔ\لوا عَنها حينَ يُنَ َّز ُل القُرءانُ تُب َد‬
١٠١﴿ ‫﴾لَ ُكم َعفَا هَّللا ُ عَنها ۗ َوهَّللا ُ غَفو ٌر َحلي ٌم‬
Hay orang-orang beriman yang beriman : janganlah kamu bertanya-tanya tentang
suatu yang di terangkan kepadamu akan menyusahkanmu .tetapi kalau kamu
tanyakan (tentang ayat-ayat itu)pada waktu turun nya ,akan di terangkan
kepadamu ; Allah memanfaatkan kamu dan Allah Maha pengampun lagi penyabar’’.
(Lihat surah 5:101).

Allah SWT.berfirman:
َ ‫يُري ُد هَّللا ُ بِ ُك ُم الي‬
َ ‫ُسر َوال يُري ُد بِ ُك ُم الع‬
‫ُسر‬
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
(Qs.2:185)
٢٨﴿ ‫ضعيفًا‬ َ ِ‫﴾يُري ُد هَّللا ُ أَن يُخَ فِّفَ عَن ُكم ۚ َو ُخل‬
ٰ ‫ق ا ِإل‬
َ ُ‫نسن‬
Allah hendak meringankan (kebertan)dari kamu,kerena manusiadi ciptakan lemah.
(Lihat surah 4:28).
e) Diciptakan Secara Bertahap      ( ‫تدريجيا‬  )
Tiap-tiap masyarakat tentu mempunyai adat kebiasaan atau tradisi tersebut
merupakan tradisi yang baik maupun tradisi yang membahayakan mereka sendiri.
Bangsa arab, ketika Islam datang, mempunyai tradisi dan kesenangan sukar
dihilangkan dalam sekeja saja. Apabila di hilangkan sekaligus, akan menyebabkan
timbulnya konplik, kesulitan dan ketegangan batin.[2]
Dalam sosiologi ibnu Khaldun di nyatakan bahwa ”suatu masyakat (Tradisonal atau
tingkat inteliktualnya masih rendah) akan menetapkan apabila ada sesuatu yang baru
atau sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, lebih baik apabila
sesuatu  yang baru tersebut bertentangan dengan tradisi yang ada“. Masyarakat akan
senantiasa memberikan respon apabila timbul sesuatu di tengah-tengah mereka.
Hukum Islam mengharamkan minuman keras dengan berangsur-angsur
(bervulusi).Mula-mula diturunkan firman Allah yang berbunyi:

َ َ‫اس َوإِث ُمهُما أَكبَ ُر ِمن نَف ِع ِهما ۗ َويَسٔـََٔ\لون‬


‫ك ماذا يُنفِقونَ قُ ِل‬ ِ ّ‫َمر َوال َمي ِس ِر ۖ قُل في ِهما إِث ٌم َكبي ٌر َو َم ٰنفِ ُع لِلن‬ِ ‫ك َع ِن الخ‬ َ َ‫يَسٔـََٔ\لون‬
٢١٩﴿  َ‫ت لَ َعلَّ ُكم تَتَفَ َّكرون‬ ِ ‫فو ۗ َك ٰذلِكَ يُبَيِّنُ هَّللا ُ لَ ُك ُم الءا ٰي‬َ ‫﴾ال َع‬

Merika bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.katakanlah:”Pada keduanya


terdapat dosa yang besardan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya”.(Liat:Qs.al-Baqarah/2:219).
f) Memperhatikan kemaslahatan Manusia
Hubungan sesama manusia merupakan manifestasi dari hubungan dan pencipta.Jika
baik hubungan dengan manusia lain, maka baik pula hubungan dengan penciptanya.
Karena itu hukum islam sangat menekankan kemanusiaan.
Ayat-ayat yang berhubungan dengan penetapan hukum tidak pernah meningalkan
masyakat sebagai bahan pertimbangan.
Dalam penetapan hukum senantiasa didasarkan pada tiga sendi pokok,yaitu:
g) Hukum-hukum di tetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat.
Dalam Kaidah Ushul Fiqh dinyatakan           :            
‫الحكم يدور مع علته وجوداوعدما‬
Ada dan tidaknya hukum itu bergantung kepada sebab(illatnya).
‫الينكر تغيراالحكم بتغير األزمان‬
Tidak di ingkari adanya perubahan hukum di sebabkan oleh berubahnya masa.
Namun, disamping itu, terbentuknya hukum islam disamping di durung oleh
kebutuhan-kebutuhan praktis, juga dicari dari kata hati untuk mengetahui yang
dibulihkan dan yang di larang. Tujuan Syara’ dalam menetapkan hukum di
antaranya:
h) Mewujudkan Keadilan yang Merika
Menurut syari’at  islam, semua. Tidak ada kelebihan seorang manusia dari yang lain
di hadapan hukum. Penguasa tidak terlindung oleh kekuasaannya ketika iya nerbuat
kezaliman. Orang kaya dan orang berpangkat tidak terlindung oleh harta dan pangkat
ketika yang bersangkutan dengan pengadilan. Dalam khutbah haji Wada’yang
pengikutnyahampir seluruhnya orang berkebangsaan Arab Rasul bersabda : Tidak
ada perbedaan antara orang Arab dan orang ‘ajam “.Firman Allah menyatakam :
ٰ َّ‫َلى أَاّل تَع ِدلُوا ۚ اع ِدلوا ه َُو أَق َربُ لِلت‬
‫قوى‬ ٍ َ‫جر َمنَّ ُكم َشنَـٔانُ ق‬
ٰ ‫وم ع‬ ِ َ‫ۖ وَال ي‬
Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum ,mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil.Berlaku adillah,kerna berlaku adil itu lebih dekat kepada taqwa.(Qs.al-
Maidah/5:8)
Hukum Islam bertitik tolak dari prinsip akidah islamiyah yaitu tauhid yang melandasi
semua kehidupan dalam Islam termasuk aspek hukumnya. Prinsip hukum Islam
selain hal tersebut adalah:
i) Prinsip Kebaikan dan Kesucian Jiwa
Prinsip ini merupakan nilai akhlak yang merupakan dasar lain dalam hubungan
antara manusia (perseorangan atau golongan) prinsip inipun ditetapkan terhadap
seluruh mahkluk Allah dimuka bumi yang tercermin dalam kasih sayang.
j) Prinsip Keselarasan
Ini menunjukkan bahwa seluruh hukum Islam yang terinci dalam berbagai bidang
hukum bertujuan meraih maslahat dan menolak keburukan. Kemaslahatan dan
keburukan dunia dapat diketahui dengan jelas.
k) Prinsip Persamaan
Manusia adalah umat yang satu yang termaktub dalam beberapa ayat al-Quran
seperti Qs. al-baqarah: 213, Qs. an-Nisa:1, Qs. al-A’raf:189, dan perbedaan itu
sebenarnya merupakan sunatullah dalam kejadian manusia Qs. ar-Rum: 22.
l) Prinsip Penyerahan
Prinsip ini menunjukkan keadilan yang tertinggi, keadilan adalah hak semua manusia
baik kawan maupun lawan. Orang baik atau jahat mendapat perlakuan yang adil dari
hakim. Islam menganggap keadilan terhadap musuh lebih dekat kepada taqwa (Qs.
an-Nahl:102, Qs. An-Nisa:135) semua rasul membawa tugas agar kehidupan
manusia berjalan dengan adil (Qs. al-Hadiid: 25). Islam tidak membenarkan
perlakuan sewenang-wenang terhadap si lemah.
m) Prinsip Toleransi
Toleransi atu tasamuh merupakan dasar pembinaan masyarakat dalam hukum Islam ,
tasamuh dalam Islam adalah toleransi yang bertitik tolak dari agamanya bukan
tasamuh karena kebutuhan temporal.
n) Prinsip Kemerdekaan dan Kebebasan
Kemerdekaan dan kebebasan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri dari
pengaruh hawa nafsu dan syahwat serta mengendalikannya di bawah bimbingan akal
dan iman. Banyak hadits yang menyerukan pengendalian nafsu oleh akal sehat dan
iman. Dengan demikian kebebasan bukanlah kebebasan mutlak melainkan kebebasan
yang bertanggung jawab terhadap Allah dan terhadap kehidupan yang melihat
dimuka bumi. Seperti alam Qs. al-Baqarah: 256, Qs. Yunus: 99, Qs. an-Naml: 60-
64.18
o) Prinsip Ta’awun
Berdasarkan prinsip ta ’awun insani (kerjasama kemanusiaan) Allah memerintahkan
kita membantu dan menolong di dalam kebijakan dan ketaqwaan serta melarangnya
di dalam kejelekan (dosa) dan permusuhan (Qs. al-Rahman: 2).[3]
Kaidah-kaidah umum yang harus diperhatikan dalam menerapkan hukum adalah:
1). Mewujudkan keadilan.
Kebanyakan filosof menganggap bahwa keadilan merupakan tujuan tertinggi dari
penerapan hukum .Hukum tanpa keadilan dan moralitas bukuanlah hukum dan
tidak bisa bertahan lama . Sistem hukum yang tidak punya akar substansial pada
keadilan dan moralitas akhirnya akan terpintal.
2).   Mendatangkan kesejah teraan dan kemakmuran masyarakat.
3).  Menetapkan hukum yang berpadanan dengan keadaan darurat.Apa yang tidak
dibolihkan dalam keadaan normal,dibolihkan dalam keadaan darurat.
4).   Pembalasan harus sesuai dengan dosa yang dilakukan.
5).   Tiap-tiap manusia memikiul dosanya sendiri.[4]
Di samping orientasi keadilan,hukum islam juga berorientasi pada moralitas.Nabi
saw.bersabda:
‫إنما بعثت ألتمم مكارماإلخال ق‬
Tidaklah aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak

Kandungan Hukum dalam Alquran


1) Hukum ibadah: thaharah, shalat, puasa, haji, zakat, sumpah, nazar dll.
2) Hukum-hukum muamalah seperti hukuman, jinayat, hukum perdata, hukum
pidana, hukum acara, perundang-undangan, perekonomian, dan kenegaraan.
As-Sunnah sebagai sumber hukum
1) As-sunnah dapat disamakan dengan hadis, ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
2) Menurut ulama’ Fiqih, as-Sunnah sebagai sumber hukum hanya yang berkaitan dengan
hukum saja.
3) Acuan bahwa as-sunnah sebagai acuan hukum adalah firman Allah(QS.al-Hasyr/59 : 7)
‫وما اتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوه‬

4) Hadis yang boleh dijadikan sebagai sumber hukum hanya yang shahih dan hasan saja.
5) Fungsi hadis disamping memperjelas apa yang terdapat di dalam Alquran juga
menghasilkan hukum yang mandiri, contoh cara menghilangkan najis mughalad}ah.
Ijtihad sebagai sumber hokum
1) Ijtihad adalah usaha yang sunggusungguh dari seorang ulama untuk menemukan sesuatu
hukum atas sesuatu.
2) Ijtihad hanya terjadi pada bidang muamalah, ibadah ghairu mahd}ah, dan tidak
ditentukan secara eksplisit baik dalam Alquran maupun Alhadis.
3) Ulama yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Diantara mujtahid yang terkenal antara
lain: Imam Malik (714-798 M), Imam Abu Hanifah (699-767 M), Imam Syafi’i (767-854
M), Imam Ahmad bin Hanbal (780 – 855 M).
4) Keputusan hukum yang berasal dari ijtihad antara lain: Ijma’, qiyas, istihsan, dan
maslah}ah} mursalah.
5) Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid tentang hukum seseuatu peristiwa atau hal
yang belum ditetapkan hukumnya dalam Alquran maupun Alhadis.
Contoh-contoh
MUI (terdiri atas sejumlah ulama) bersepakat bahwa ajino moto haram hukumnya.
Ulama Tarjih Muhammadiyah menetapkan bahwa merokok hukumnya haram
Ulama Tarjih Muhammadiyah menetapkan bahwa dalam menetapkan hilal Ramad}an
maupun lebaran menggunakan metode hisab hakiki.
6) Qiyas adalah menetapkan sesuatu hukum atas sesuatu yang tidak disebutkan dalam
Alquran atau Alhadis dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang lain yang telah
ditetapkan dalam Alquran maupun Alhadis karena ada kesamaan sesuatu (‘illat, qarinah)
Qiyas merupakan istinbathul hukmi ciptaan Imam Syafi’i
 Contoh-contoh
1) Dalam teks (QS. al-Maidah/5 : 90) disebutkan bahwa khamer itu haram
karena memabukkan. Di luar teks ada minuman yang disebut Cong yang,
vodka, wiski, irengan, ketan hitam, ciu, jenewer, tuak, dan manson). Antara
Khamer dan aneka minuman yang disebutkan ini dihukumi haram. Ketetapan
haram ini karena ada kesamaannya dengan khamer, yaitu memabukkan.
2) Meng-qada’ Salat yang ditinggalkan karena bepergian. Dalam Teks
Alquran maupun Alhadis tidak disebutkan tentang qada’ salat. Yang
ditentukan untuk qada’ antara lain adalah puasa Ramadhan (QS. al-
Baqarah/2:184). Diantara keduanya ada kesamaannya, yaitu sama-sama rukum
Isalam.
3) Di Indonesia, dari kelompok NU, atau umumnya penganut mazhab
Syafi’iyyah melaksanakan ketentuan hukum meng-qada’ salat.
Muhammadiyah tidak melaksanakan ketentuan ini. Dalam keadaan apa pun
selagi akal masih waras, salat harus dilaksanakan sesuai kemampuan
sebagaimana dijelaskan menurut syara’.

7) Istihsan adalah meninggalkan hukum sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan syara’
karena ada dalil lain yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Contoh. Perintah melakukan salat Jumat berlaku secara umum bagi setiap orang Islam
(QS. al-Jum’ah/62:9). Kemudian ada hadis yang mengcualikan: wanita, anak-anak, oarng
sakit, dan manula yang telah tidak mampu berjalan. Maka bagi mereka, tidak perlu
melakukan salat jumatan di masjid secara berjamaah. Mereka bisa salat jumat dua rakaat
di rumah atau salat luhur empat rakaat di rumah.
8) Maslahah mursalah adalah menetapkan sesuatu hukum yang tidak disebutkan baik dalam
Alquran maupun Alhadis karena secara umum dipandang baik, pantas, atau memiliki
nilai kemaslahatan yang luas.
Contoh: Pakaian yang digunakan untuk salat terkena darah dari seekor nyamuk. Darah
adalah najis, tetapi karena terlalu sedikit, maka tidak mengapa untuk salat.
Tujuan Hukum Islam bagi kehidupan masyarakat
1) ketertiban umum
2) melindungi orang-orang yang teraniaya.
3) mencapai ketenteraman dan kebahagian bersama dunia-akhirat.
4) setiap muslim harus mentaati dan melaksanakan hukum Islam sebaik-baiknya demi
kebahagiaan mereka sendiri.

           
Hukum Perjanjian
Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua atau beberapa orang untuk melakukan suatu
perbuatan hokum tertentu. Para pihak yang telah melakukan pernjanjian harus mempunyai itikad
baik untuk melaksanakan konsekuensi yang timbul. Ditegaskan dalam al Qur-an surat Al
Maidah/5 : 1.
‫ِين آ َم ُنو ْا أَ ْوفُو ْا ِب ْال ُعقُو ِد‬
َ ‫ َيا أَ ُّي َها الَّذ‬.١

1. “Hai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janjimu…. QS Al Maidah/5 : 1


Janji yang dimaksud dari ayat diatas adalah janji yang dibuat manusia terhadap sesamanya dalam
pergaulan sehari-hari. Pernjanjian agar dapat syah harus memenuhi persyaratan tertentu.
Menurut sayyid Sabiq syarat yang harus dipenuhi dalam membuat perjanjian antara lain:
1. Tidak menyalahi syariat yang disepakati
Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para pihak bukanlah perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau melawan Syariah, jika bertentangan dengan Syariah
maka perjanijian tidak syah.
2. Harus ridho
Hal ini mengandung arti bahwa pernjanjian yang diadakan oleh para pihak harus
didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, masing-masing harus ridho akan
perjanjian tersebut.
3. Harus jelas dan gambling
Apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang mengenai apa yang mnenjadi isi
pernjanjian sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman diantara pihak
dikemudian hari.

Hal-hal yang dapat membatalkan suatu perjanjian diantaranya sbg:


1. Jangka waktunya telah berakhir
Biasanya suatu perjanjian selalu didasarkan pada jangka waktu tertentu dan apabila telah
sampai pada waktu yang telah ditentukan maka otomatis pernjanjian itu akan batal. QS
At Taubah/9:4
ِ ِ ِ ِ َّ ِ
‫َح ًدا‬
َ ‫صو ُك ْم َشْيئًا َومَلْ يُظَاهُروا َعلَْي ُك ْم أ‬ َ ‫اهدْمُتْ م َن الْ ُم ْش ِرك‬
ُ ‫ني مُثَّ مَلْ َيْن ُق‬ َ ‫إاَّل الذ‬
َ ‫ين َع‬
‫ني‬ ِ ‫ب الْمت‬
‫َّق‬ ُّ ِ‫فَأَمِت ُّوا إِلَي ِهم عه َدهم إِىَل ٰ م َّدهِتِم إِ َّن اللَّه حُي‬ 
َ ُ َ ْ ُ ْ ُ َْ ْ ْ
Artinya: kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan
mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak
(pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu
penuhilah janjinya sampai batas waktunya . Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertaqwa. QS At Taubah/9:4
2. Salah satu pihak menyimpang dari pernjanjian
Suatu pernjanjian dapat batal apabila salah satu pihak telah melakukan perbuatan
menyimpang. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT surat At Taubah/9 : 7

‫ني‬ ِ ُّ ِ‫فَما است َقاموا لَ ُكم فَاست ِقيموا هَل م ۚ إِ َّن اللَّه حُي‬
َ ‫ب الْ ُمتَّق‬ َ ُْ ُ َ ْ ْ ُ َْ َ
…maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula)
terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. QS. At
Taubah/9 : 7
3. Jika ada kelancangan dan bukti pengkianatan
Apabila ada kelancangan dan bukti-bukti pengkhianatan terhadap apa yang yelah
dipernjanjikan maka pernjanjian yang telah ditetapkan tersebut menjadi batal QS Al
Anfal/8 : 58
‫ني‬ِِ ُّ ِ‫وإِ َّما خَتَافَ َّن ِمن َقوٍم ِخيانَةً فَانْبِ ْذ إِلَي ِهم علَى سو ٍاء ۚ إِ َّن اللَّه اَل حُي‬
َ ‫ب اخْلَائن‬ َ ََ ٰ َ ْ ْ َ ْ ْ َ
Artinya: “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan,
maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat”. QS Al Anfal/8 : 58

NIKAH
A. PENGERTIAN NIKAH

Sebagai salah satu ibadah yang mulia kedudukannya, menikah berikut prosesi yang
mendahului ataupun setelahnya juga memiliki rambu-rambu yang telah digariskan syariat.

Nikah sebagai kata serapan dari bahasa Arab bila ditinjau dari sisi bahasa maknanya
menghimpun, berkumpul dan menindas. Kata ini bisa dimutlakkan pada dua perkara yaitu akad
dan jima’ (“hubungan” suami istri). Menurut bahasa nikah indentik dengan kawin.

Menurut Istilah, berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang
bukan muhrom yang menimbulkan hal dan kewajiban antara keduannya.

Adapun pengertian nikah secara syar’i adalah seorang pria mengadakan akad dengan seorang
wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan si wanita, dapat beroleh
keturunan dan tujuan lain yang merupakan maslahat nikah.
Pengertian pernikahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan,
perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Akad nikah merupakan mitsaq (perjanjian) di antara sepasang suami istri. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
‫َخ ْذ َن ِمْن ُك ْم ِميثَاقًا َغلِيظًا‬
َ ‫َوأ‬
“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian (para suami) perjanjian yang kuat.” (An-
Nisa`: 21)

Akad ini mengharuskan masing-masing dari suami dan istri memenuhi apa yang dikandung
dalam perjanjian tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ِ ‫ياأَيُّها الَّ ِذين ءامنوا أَوفُوا بِالْع ُق‬
‫ود‬ ُ ْ َُ َ َ َ َ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) kalian.” (Al-
Ma`idah: 1)

B. PERSYARIATAN NIKAH
Pensyariatan nikah ditunjukkan dalam Al-Qur`an, As-Sunnah dan ijma’ (kesepakatan
ulama). Dari Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
‫ِّس ِاء‬
‫ن‬ ‫ال‬ ‫ن‬ ِ ‫فَانْ ِكحوا ما طَاب لَ ُكم‬
‫م‬
َ َ ْ َ َ ُ
“Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian senangi.” (An-Nisa`: 3)
‫ني ِم ْن ِعبَ ِاد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم إِ ْن يَ ُكونُوا ُف َقَراءَ يُ ْغنِ ِه ُم اهللُ ِم ْن‬ِ‫وأَنْ ِكحوا اْألَيامى ِمْن ُكم و َّ حِل‬
َ ‫الصا‬ َْ ََ ُ َ
‫ضلِ ِه‬
ْ َ‫ف‬
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri (belum menikah) di antara kalian, demikian
pula orang-orang yang shalih dari kalangan budak laki-laki dan budak perempuan kalian. Bila
mereka dalam keadaan fakir maka Allah akan mencukupkan mereka dengan keutamaan dari-
Nya.” (An-Nur: 32)

Dari As-Sunnah, sangat banyak kita dapatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, ataupun taqrir (persetujuan). Di antaranya yang
bisa kita sebutkan adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para pemuda:
‫اع ِمْن ُك ُم الْبَاءَ َة َف ْليََتَز َّو ْج‬ ِ ‫يا م ْع َشر الشَّب‬...
ْ ‫اب َم ِن‬
َ َ‫استَط‬ َ َ َ َ
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka
hendaknya ia menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060 dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud
radhiyallahu 'anhu)

Penetapan syariat banyak memberikan anjuran untuk melangsungkan pernikahan. Karena dalam
pernikahan banyak diperoleh maslahat yang agung yang kembalinya pada pasangan suami-istri,
anak-anak yang dilahirkan, masyarakat dan agama. Begitu pula dengan pernikahan akan tertolak
sekian banyak mafsadat.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda memberi anjuran:


‫ فَِإيِّن ُم َكاثٌِر بِ ُك ُم اأْل َُم َم‬،‫َتَز َّو ُج ْوا الْ َو ُد ْو َد الْ َولُْو َد‬
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti)
aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.” (HR. Abu
Dawud no. 2050 dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu 'anhu, dishahihkan oleh guru kami Asy-
Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ash- Shahihul Musnad, 2/189)

َ, ‫ لِ َماهِلَا‬: ‫ ( تُْن َك ُح اَلْ َم ْرأَةُ أِل َْربَ ٍع‬: ‫َو َع ْن أَيِب ُهَر ْيَرةَ رضي اهلل عنه َع ِن النَّيِب ِّ صلى اهلل عليه وسلم قَ َال‬
َّ َ‫ت يَ َد َاك ) ُمَّت َف ٌق َعلَْي ِه َم َع بَِقيَّ ِة ا‬
‫لسْب َع ِة‬ ِ ِ ِ ِ ‫هِل‬ ‫حِل‬
ْ َ‫ فَاظْ َف ْر بِ َذات اَلدِّي ِن تَ ِرب‬, ‫ َولدين َها‬, ‫َو َ َسبِ َها َوجِلَ َما َا‬
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya.
Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia." Muttafaq Alaihi dan Imam
Lima.

C. HUKUM NIKAH
Fuqaha menyebutkan bahwa pada nikah diberlakukan hukum yang lima. Sehingga bisa
jadi dalam satu keadaan hukumnya wajib, pada keadaan lain hukumnya mustahab/sunnah atau
hanya mubah, bahkan terkadang makruh atau haram.
Adapun hukum asal menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i,
dan riwayat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad. Sebagaimana hal ini merupakan
pendapat mayoritas ulama, menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyyah yang mengatakan wajib.

Nikah ini merupakan sunnah para rasul, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ِ
ً‫اجا َوذُِّريَّة‬ َ ‫َولََق ْد أ َْر َس ْلنَا ُر ُسالً ِم ْن َقْبل‬
ً ‫ك َو َج َع ْلنَا هَلُ ْم أ َْز َو‬
“Sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri
dan anak turunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Utsman bin Mazh’un radhiyallahu 'anhu, seorang dari sahabat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, berkata, “Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkan
kami, niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar tidak memiliki syahwat terhadap wanita
sehingga tidak ada kebutuhan untuk menikah, pent.). Akan tetapi beliau melarang kami dari
hidup membujang (tidak menikah).” (HR. Al-Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 3390)
1. Wajib.
Bagi seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina bila tidak
menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadi wajib karena syahwatnya yang kuat.
Ditambah lagi bila di negerinya bebas melakukan hubungan zina. Hukum nikah baginya menjadi
wajib untuk menolak mafsadat tersebut. Karena meninggalkan zina hukumnya wajib, dan
kewajiban tersebut tidak akan sempurna penunaiannya kecuali dengan nikah.
2. Sunnah
Pernikahan hukumnya sunnah jika seseorang memiliki kemampuan untuk menikah atau
sudah siap untuk membangun rumah tangga akan tetapi ia dapat menahan dirinya dari sesuatu
yang mampu menjerumuskannya dalam perbuatan zina.dengan kata lain, seseorang hukumnya
sunnah untuk menikah jika ia tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan zina jika ia tidak
menikah. Meskipun demikian, agama islam selalu menganjurkan umatnya untuk menikah jika
sudah memiliki kemampuan dan melakukan pernikahan sebagai salah satu bentuk ibadah
3. Mubah
Hukumnya mubah bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan
harta. Mubah baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya. Bisa yanh hukumnya
mubah atau boleh dilaksanakan jika seseorang memiliki kemampuan untuk menikah namun ia
dapat tergelincir dalam perbuatan zina jika tidak melakukannnya. Pernikahan bersifat mubah jika
ia menikah hanya untuk memenuhi syahwatnya saja dan bukan bertujuan untuk membina rumah
tangga sesuai syariat islam namun ia juga tidak dikhwatirkan akan menelantarkan istrinya.
4. Makruh
Adapun orang yang tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan baginya. Karena ia
tidak punya kebutuhan untuk menikah dan ia akan menanggung beban yang berat. Namun
terkadang pada orang yang lemah syahwat atau tidak memiliki syahwat ini, karena usia tua atau
karena impoten misalnya, diberlakukan hukum makruh tanpa membedakan ia punya harta atau
tidak. Karena ia tidak dapat memberikan nafkah batin kepada istrinya, sehingga pada akhirnya
dapat memudaratkan si istri.
5. Haram
Dan haram hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan perkara-
perkara yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena, menikah disyariatkan semata-
mata untuk memberikan maslahat. Kalau ada tindakan aniaya seperti ini, akan hilanglah maslahat
yang diharapkan, terlebih lagi jika dia berbuat dosa dan melakukan perkara-perkara yang
diharamkan. Haram pula bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah
lagi namun dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
ِ ‫فَِإ ْن ِخ ْفتُم أَالَّ َتع ِدلُوا َفو‬
‫اح َد ًة‬ َ ْ ْ
“Maka apabila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil (bila memiliki lebih dari satu istri) maka
menikahlah dengan seorang wanita saja.” (An-Nisa`: 3)

D. PELAKSANAAN PERNIKAHAN
Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan
syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya
perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal
bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun
dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau
tidak lengkap.

Rukun nikah adalah sebagai berikut:


1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk
menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan
misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki
karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam
masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir,
sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya wali bagi calon istri
Wali adalah orang yang bertanggung jawab mengawinkan seorang perempuan baik
sebagai wali nasab maupun sebagai wali hakim.
Wali Nasab adalah wali yanh mempunyai hubungan darah dengan perempuan yang akan
dinikahkan. Adapun yang berhak menjadi wali nasab adalah sebagaimana urutan berikut:
1) Ayah Kandung
2) Kakek laki-laki dari ayah
3) Saudara laki-laki seibu seayah
4) Saudara laki-laki seayah
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu seayah
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
7) Saudara laki-laki seibu seayah dari ayah
8) Saudara laki-laki seayah dari ayah
9) Anak laki-laki dari Saudara laki-laki seibu seayah dari ayah
10) Anak laki-laki dari Saudara laki-laki seayah dari ayah

Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya,
maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam:

ُ‫الس ْلطَا ُن َويِل ُّ َم ْن الَ َويِل َّ لَه‬


ُّ َ‫ف‬
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu
Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi
Dawud)
Keharusan adanya wali bagi perempuan dalam sebuah pernikahan ditegaskan sebagaiman
sabda Nabi SAW

ٍّ ‫اح إِالَّ بَِويِل‬ ِ


َ ‫الَ ن َك‬
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839)

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:


ِ ‫ فَنِ َكاحها ب‬،‫اطل‬
‫اط ٌل‬ ِ ‫أَمُّيَا امرأ ٍَة نَ َكحت بِغَ ِ إِ ْذ ِن موالِيها فَنِ َكاحها ب‬
ِ ‫ فَنِ َكاحها ب‬،‫اطل‬
َ َُ ٌ َ َُ ٌ َ َُ َ ْ ََ ‫َ ْ رْي‬ َْ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya
batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)

Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
ِ
ُ ُ‫الَ يُْنك ُح الْ ُـم ْح ِر ُم َوالَ يُْن َك ُح َوالَ خَي ْط‬
‫ب‬
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan
tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
3. Dua orang saksi laki-laki: Saksi dalam sebuah perkawinan diharapkan bertanggung jawab
atas keabsahan perkawinan. Saksi haruslah orang yang beragama Islam, baligh, berakal
dan adil.
ِ ‫الَ نِ َكاح إِالَّ بِويِل وش‬
‫اه َد ْي َع ْد ٍل‬ َ َ ٍّ َ َ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-
Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-
Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
4. Mahar (Mas kawin): Mahar adalah pemberian pihak laki-laki kepada pihak perempuan
pada saat pernikahan. Jumlah dan jenis mahar tidak ditentukan adalam ajaran Islam,
tetapi diajarkansesuai atau proporsional bagi laki-laki. Mahar pada akhirnya menjadi
pihak perempuan, kecuali terjadi perceraian sebelum terjadi duhuul (hubungan suami
istri) maka mahar dikembalikan kepada laki-laki dalam jumlah separuhnya.
5. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali.
Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau
dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan
Fulanah”).
6. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan
menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima
pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Ucapan ijab & qabul yang lazim digunakan di Indonesia antara lain sbb:
Wali: Ya Fulan Aku nikahkan anak perempuanku Fulanah dengan engkau dengan
maskawin ,,,,,,,,,,, secara tunai”
Mempelai laki-laki: “Aku terima nikahnya Fulanah binti,,,, dengan maskawin …….
Secara tunai”

E. TUJUAN/FAEDAH PERNIKAHAN
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya
semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah
karena tujuan-tujuan berikut ini:
1. Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
‫اع ِمْن ُك ُم الْبَاءَ َة َف ْليََتَز َّو ْج‬ ِ ‫يا م ْع َشر الشَّب‬...
ْ ‫اب َم ِن‬
َ َ‫استَط‬ َ َ َ َ
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah
maka hendaknya ia menikah….”
2. Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
‫ فَِإيِّن ُم َكاثٌِر بِ ُك ُم اأْل َُم َم‬،‫َتَز َّو ُج ْوا الْ َو ُد ْو َد الْ َولُْو َد‬
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat
nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
Sebagaimana doa yang dicontohkan di dalam Al Quran (QS. Al Furqan/25 : 74) agar
mendapat pasangan dan keturunan yang menjadi cahaya mata
ۡ ‫َربَّنَا ه َۡب لَنَا ِم ۡن أَ ۡز ٰ َو ِجنَا َو ُذرِّ ٰيَّتِنَا قُ َّرةَ أَ ۡعي ُٖن َو‬
‫ٱج َع ۡلنَا لِ ۡل ُمتَّقِينَ إِ َما ًما‬
74. Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa. (QS. Al Furqan/25 : 74)
3. Memperbanyak umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan keturunan yang
lahir dalam pernikahan sehingga menambah hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala
yang beriman, yang dengannya dapat mewujudkan keinginan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk membanggakan banyaknya umat beliau. Tentunya hal ini akan
membuat marah orang-orang kafir dengan lahirnya para mujahidin fi sabilillah yang akan
membela agamanya. Di samping juga akan ada saling membantu dalam melakukan
pekerjaan dan memakmurkan alam ini.
4. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan
pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
‫ك أ َْز َكى هَلُ ْم إِ َّن اهللَ َخبِريٌ مِب َا‬ ِ ِ ‫قُل لِْلمؤ ِمنِني يغُضُّوا ِمن أَب‬
َ ‫وج ُه ْم َذل‬َ ‫صا ِره ْم َوحَيْ َفظُوا ُف ُر‬
َْ ْ َ َ ُْ ْ
‫وج ُه َّن‬ ‫ر‬ ‫ف‬
ُ ‫ن‬ْ‫ظ‬ ‫ف‬
َ ‫حَي‬‫و‬ ‫ن‬َّ ِ ‫ضن ِمن أَبصا ِر‬
‫ه‬ ‫ض‬ ‫غ‬
ْ ‫ي‬ ِ َ‫ وقُل لِْلم ْؤ ِمن‬.‫يصَنعو َن‬
‫ات‬
َ ُ َ َ ْ َ ْ ْ َ ْ ُ َ ُ ْ َ َُْ
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka
menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang
demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah
mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan
mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Dalam surah yang lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji orang-orang beriman yang
salah satu sifat mereka adalah menjaga kemaluan mereka kecuali kepada apa yang
dihalalkan:
‫ت أَمْيَانُ ُه ْم فَِإنَّ ُه ْم َغْي ُر‬ ِ ِ ِ ِ ِ َّ
ْ ‫ إِالَّ َعلَى أ َْز َواج ِه ْم ْأو َما َملَ َك‬.‫ين ُه ْم ل ُف ُروج ِه ْم َحافظُو َن‬
َ ‫َوالذ‬
‫ني‬ ِ
َ ‫َملُوم‬
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali terhadap istri-istri mereka atau
budak perempuan yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela.” (Al-Mu`minun: 5-6)
Dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
‫ص ُن لِْل َف ْر ِج‬ ْ ‫ص ِر َوأ‬
َ ‫َح‬
ِ ُّ ‫فَِإنَّه أَ َغ‬
َ َ‫ض ل ْلب‬ ُ
“Karena dengan nikah akan lebih menundukkan pandangan (dari melihat yang haram)
dan lebih menjaga kemaluan (dari melakukan zina),” juga terkandung tujuan nikah.

Dengan pernikahan akan terjaga kemaluan lelaki dan perempuan, akan menundukkan
pandangan keduanya dari melihat apa yang tidak halal dan menjaga diri dari istimta’
(berlezat-lezat) dengan sesuatu yang haram, yang dengan ini akan merusak masyarakat
manusia.
5. Menjaga nasab, mengikat kekerabatan dan hubungan rahim sebagian mereka dengan
sebagian yang lain. Seandainya tidak ada akad nikah dan menjaga kemaluan dengan
pernikahan, niscaya akan tersia-siakan nasab dan keturunan manusia. Akibatnya
kehidupan di dunia ini menjadi kacau tiada beraturan. Tidak ada saling mewarisi, tidak
ada hak dan kewajiban, tidak ada ushul (asal muasal keturunan seseorang), dan tidak ada
furu’ (anak keturunan seseorang).
6. Pernikahan akan menumbuhkan kedekatan hati, mawaddah dan rahmah di antara suami
istri. Karena yang namanya manusia pasti membutuhkan teman dalam hidupnya yang
bisa menyertainya dalam suka duka dan bahagianya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya:
‫اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل َبْينَ ُك ْم َم َو َّد ًة‬ ِ ِ ِِ ِ
ً ‫َوم ْن آيَاته أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَْن ُفس ُك ْم أ َْز َو‬
‫ات لَِق ْوٍم َيَت َف َّك ُرو َن‬ٍ ‫ك آَل ي‬ ِ ِ
َ َ ‫َو َرمْح َةً إ َّن يِف َذل‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari
jenis kalian sendiri agar kalian merasa tenang dengannya dan Dia menjadikan mawaddah
dan rahmah di antara kalian. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang mau berpikir.” (Ar-Rum: 21)

Cinta dan kasih sayang di antara suami-istri ini tidak dapat disamai dengan cinta dan
kasih sayang di antara dua orang yang berteman atau dua orang yang dekat hubungannya.
Karenanya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ِ ‫مَلْ يَُر لِْل ُمتَ َحابَّنْي ِ ِمثْ ُل النِّ َك‬
‫اح‬
“Tidak terlihat hubungan yang demikian dekat di antara dua orang yang saling mencintai
yang bisa menyamai hubungan yang terjalin karena pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no.
1848, hadits ini dikuatkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dengan jalan yang
lain, lihat Ash-Shahihah no. 624)
6. Dengan terjalinnya hubungan pernikahan, akan berkumpul dua insan guna bersama
membina rumah tangga dan keluarga, di mana keluarga merupakan inti tegaknya
masyarakat dan kebaikan bagi masyarakat. Si suami menjaga, mengarahkan dan
membimbing istri serta anak-anaknya, dan ia bekerja untuk menafkahi mereka. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
‫ض َومِبَا أَْن َف ُقوا ِم ْن أ َْم َواهِلِ ْم‬
ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى َب ْع‬
َ ‫َّل اهللُ َب ْع‬ ‫ال َق َّوامو َن علَى الن ِ مِب‬
َ ‫ِّساء َا فَض‬
َ َ ُ ُ ‫الر َج‬ ِّ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita dikarenakan Allah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) di atas sebagain yang lain (wanita) dan juga karena kaum
laki-laki telah menginfakkan sebagian dari harta-harta mereka.” (An-Nisa`: 34)

Sementara si istri mengatur rumahnya, mendidik anak-anaknya dan mengurusi perkara


mereka. Dengan semua ini akan luruslah keadaan dan teraturlah segala urusan. (Al-
Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/274, Taudhihul Ahkam, 5/210)

F. KHITBAH
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-
Qur’an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di
antaranya adalah:1. Khitbah (Peminangan) Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi
seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang
dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang
wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ َحىَّت َيْتُر َك‬،‫الر ُج ُل َعلَى ِخطْبَ ِة أ َِخْي ِه‬
َّ ‫ب‬ ٍ ‫ض ُك ْم َعلَى َبْي ِع َب ْع‬
َ ُ‫ َوالَ خَي ْط‬،‫ض‬
ِ
ُ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أَ ْن يَبِْي َع َب ْع‬
َ ُّ ‫َن َهى النَّيِب‬
ِ ِ
‫ب‬ُ ‫ب َقْبلَهُ أ َْو يَأْ َذ َن لَهُ اخْلَاط‬
ُ ‫اخْلَاط‬.
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar
(untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang
sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.

Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat
mendorongnya untuk menikahi wanita itu.Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫ فَِإ ِن استَطَاع أَ ْن يْنظُر ِمْنها إِىَل ما ي ْدعوه إِىَل نِ َك‬،‫إِذَا خطَب أَح ُد ُكم الْمرأََة‬
‫ َفْلَي ْف َع ْل‬،‫اح َها‬ ُ ُْ َ َ َ َ َ َ ْ َْ ُ َ َ َ
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa
yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” Hadits shahih: Diriwayatkan
oleh Ahmad (III/334, 360), Abu Dawud (no. 2082) dan al-Hakim (II/165), dari Shahabat Jabir
bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma

Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu pernah meminang seorang wanita, maka Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
ْ ‫ فَِإنَّهُ أ‬،‫أُنْظُْر إِلَْي َها‬
‫َحَرى أَ ْن يُ ْؤ َد َم َبْينَ ُك َما‬
“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara
kalian berdua.” adits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1087), an-Nasa-i (VI/69-70),
ad-Darimi (II/134) dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih
Sunan Ibni Majah (no. 1511).

Imam at-Tirmidzi rahimahullaah berkata, “Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini
bahwa menurut mereka tidak mengapa melihat wanita yang dipinang selagi tidak melihat apa
yang diharamkan darinya.”Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di
kalangan para ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh dilihat. Ada
yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat rambut,
betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Melihat apa yang
mendorongnya untuk menikahinya.” Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah melihat
muka dan kedua tangannya. Wallaahu a’lam.

SHALAT ISTOKHARAH
Shalat Istikharah Apabila seorang laki-laki telah nazhar (melihat) wanita yang dipinang serta
wanita pun sudah melihat laki-laki yang meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah,
maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk melakukan shalat istikharah dan berdo’a
seusai shalat. Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan kecocokan, serta memohon
kepada-Nya agar diberikan pilihan yang baik baginya. [7] Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir
bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengajari kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat
Al-Qur’an.” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian
mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah
(Istikharah) dua raka’at, kemudian membaca do’a:
‫َّك َت ْق ِد ُر َوالَ أَقْ ِد ُر َوَت ْعلَ ُم َوالَ أ َْعلَ ُم‬
َ ‫ك الْ َع ِظْي ِم فَِإن‬
ِ ْ َ‫اَللَّه َّم إِيِّن أَس ت ِخير َك بِعِْل ِم ك وأَس ت ْق ِدر َك بُِق ْدرتِك وأَس أَلُك ِمن ف‬
َ ‫ضل‬ ْ َ ْ َ َ َ ُ َْ َ َ ُْ َ ْ ُ
ِ
‫اش ْي َو َعاقبَ ِة أ َْم ِر ْي‬ ِ
ِ ‫َن ه َذا اْألَم ر (ويس ِّمى حاجتَ ه) خي ر يِل يِف دييِن ومع‬ ِ ‫ت َعالَّم الْغُي و‬
َ َ َ ْ ْ ْ ْ ٌ َْ ُ َ َ َ ُ َ َ ْ َ َّ ‫ت َت ْعلَ ُم أ‬ َ ‫ اَللَّ ُه َّم إِ ْن ُكْن‬.‫ب‬ ْ ُ ُ َ ْ‫َوأَن‬
‫يِل يِف ِ يِن‬ ِ ِ ِ ِِ ِ ِِ
ْ ْ‫َن َه َذا اْأل َْم َر َش ٌّر ْ ْ دي‬ َ ‫ َوإِ ْن ُكْن‬،‫ َعاجل ه َوآجل ه) فَاقْ ُد ْرهُ يِل ْ َويَ ِّس ْرهُ يِل ْ مُثَّ بَ ا ِر ْك يِل ْ فْي ه‬:‫(أ َْو قَ َال‬
َّ ‫ت َت ْعلَ ُم أ‬
‫ِ يِن‬ ِِ ِ ِِ ِ ِِ ِ
ْ ‫ث َك ا َن مُثَّ أ َْرض‬ ُ ‫اص ِرفْيِن ْ َعْن هُ َواقْ ُد ْر يِل َ اخْلَْي َر َحْي‬ ْ َ‫ يِف ْ َعاجل ه َوآجل ه) ف‬:‫َو َم َعاش ْي َو َعاقبَة أ َْم ِر ْي (أ َْو قَ َال‬
ْ ‫اص ِرفْهُ َعيِّن َو‬
‫بِِه‬
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku
memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu.
Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau
Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan
Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa
urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam
agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘..di dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah
jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa
persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya
kepada diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘…di dunia atau akhirat’) maka
singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah
kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu
kepadaku.’”

Dari kebebasan pilihan di atas terdapat larangan untuk melakukan hubungan perkawinan, baik
larangan yang bersifat mutlak atau larangan sementera karena keadaan tertentu:
a) Larangan Nasab, yaitu perkawinan dengan
1) Ibu dan seterusnya keatas
2) Anak perempuan dan seterusnya kebawah
3) Saudara perempuan sekandung seayah dan seibu
4) Bibi (saudara ibu baik sekandung atau perantaraan ayah atau ibu)
5) Bibi (saudara ayah baik sekandung atau perantaraan ayah atau ibu)
6) Anak perempuan dari saudara laki-laki terus kebawah
7) Anak perempuan dari saudara perempuan terus kebawah
b) Larangan karena sesusuan, yaitu perkawinan dengan
1) Ibu yang menyusui
2) Saudara perempuan sesusuan/yang mempunyai hubungan sesusuan
c) Larangan karena suatu perkawinan, yaitu perkawinan dengan
1) Ibu istri (mertua) dan seterusnya ke atas baik ibu dari keturunan maupun sesusuan
2) Anak tiri (anak istri yang dikawin dengan suami lain) jika telah campur (jima’) dengan
ibunya
3) Istri ayah dan seterusnya
4) Wanita-wanita yang telah dikawini ayah, kakek dan seterusnya ke atas
d) Larangan untuk sementara
1) Pertalian nikah yaitu perempuan yang masih berada dalam perkawinan orang lain
kecuali sudah dicerai
2) Talak bain kubra, yaitu perempuan yang ditalak dengan talak tiga, maka haram
dinikahi bekas suaminya kecuali ada huhallil (telah dinikahi orang lain dan dicerai)
3) Menghimpun dua perempuan bersaudara dalam satu perkawinan
4) Menghimpun istri lebih dari empat
5) Berlainan agama, kecuali telah masuk Islam

---000---
KEWARISAN DALAM ISLAM
Ilmu mawaris adalah salah satu cabang ilmu yang penting dalam Islam. Ilmu yang menyangkut
pembagian waris ini memberikan ketentuan mengenai pembagian harta waris agar dapat dapat
disalurkan kepada yang berhak menerima sekaligus mencegah kemungkinan terjadinya konflik
dalam keluarga maupun perselisihan dalam pembagian harta warisan tersebut. Dengan ilmu
mawaris ini, harta akan dibagikan secara adil dan tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan
(baca juga keluarga sakinah, mawadah dan warahmah).
Dari Abdullah Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan
ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini
pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih
dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang
dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. ” (HR Daruquthni)

A. PENGERTIAN
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (‫)موارث‬, yang merupakan
mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa
adalah; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada
kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal
secara syar’i.
Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik
dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan
ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.
Sedangkan istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-siapa ahli
waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian
tertentu yang diterimanya.
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan warisan sebagai berikut; soal apakah dan
bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang oleh ulama
faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya.
Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian harta warisan telah ditentukan
siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak, dan jumlah (kadarnya)
yang akan diterima oleh ahli waris telah ditentukan

B. DALIL PERSYARIATANNYA
Hukum kewarisan bersumber pada al-Quran dan al-Hadis yang menjelaskan ketentuan hukum
kewarisan.
1. Al-Quran
a. Surat an-Nisa’/4 ayat 7 :
ٞ ‫ص‬
‫يب‬ ِ َ‫يب ِّم َّما تَ َركَ ۡٱل ٰ َولِدَا ِن َوٱأۡل َ ۡق َربُونَ َولِلنِّ َسٓا ِء ن‬
ٞ ‫ص‬ِ َ‫يب ِّم َّما تَ َركَ ۡٱل ٰ َولِدَا ِن َوٱأۡل َ ۡق َربُونَ َولِلنِّ َسٓا ِء ن‬
ٞ ‫ص‬ِ َ‫لِّلرِّ َجا ِل ن‬
ٗ ‫ك ۡٱل ٰ َولِدَا ِن َوٱأۡل َ ۡق َربُونَ َّم ۡفر‬
\‫ُوضا‬ َ ‫ِّم َّما تَ َر‬
Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit maupun
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An-Nisa’ : 7).
Menurut ayat kewarisan tersebut baik laki-laki maupun perempuan berhak mewarisi harta
yang ditinggalkan ibu-bapa maupun kerabatnya. Hal tersebut menghapuskan tradisi yang
berlaku pada masa jahiliyah, yang berhak menerima warisan hanya laki-laki yang dewasa
saja.
b. Surat al-Ahzab/33 ayat 6 :

ِ َ‫ض فِي ِك ٰت‬


َ‫ب ٱهَّلل ِ ِمن‬ َ
ٖ ‫ض\هۡ\ُم أ ۡولَ ٰى بِبَ ۡع‬ ُ ‫\ام بَ ۡع‬ \ْ \ُ‫ٱلنَّبِ ُّي أَ ۡولَ ٰى بِ ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِينَ ِم ۡن أَنفُ ِس ِهمۡۖ َوأَ ۡز ٰ َو ُج ٓۥهُ أُ َّم ٰهَتُهُمۡۗ َوأُوْ ل‬
\ِ \‫\وا ٱأۡل َ ۡر َح‬
\‫ورا‬ٗ ُ‫ب َم ۡسط‬ ِ َ‫ك فِي ۡٱل ِك ٰت‬ َ ِ‫ُوفۚ\ا َكانَ ٰ َذل‬
ٗ ‫ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِينَ َو ۡٱل ُم ٰهَ ِج ِرينَ إِٓاَّل أَن ت َۡف َعلُ ٓو ْا إِلَ ٰ ٓى أَ ۡولِيَٓائِ ُكم\ َّم ۡعر‬
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari mereka sendiri dan isteri-
isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu
sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang
mukmin dan orang-orang muhajirin kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-
saudaramu (seagama), adalah yang demikian itu telah tertulis dalam kitab (Allah). (Al-
Ahzab : 6).
Berdasarkan ayat tersebut, orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan lebih
berhak mewarisi harta seseorang yang meninggal dunia daripada orang lain. Tetapi tidak
menutup kemungkinan, jika mau berbuat baik kepada orang lain (seagama) dengan melalui
hibah atau wasiat.
c. Surat an-Nisa’ ayat 11 dan 12 :
‫\ر ۖكَ َوإِن َك\\ان َۡت‬ َ \َ‫ق ۡٱثنَت َۡي ِن فَلَه َُّن ثُلُثَ\\ا َم\\ا ت‬ َّ ِ‫صي ُك ُ\م ٱهَّلل ُ فِ ٓي أَ ۡو ٰلَ ِد ُكمۡۖ ل‬
\َ ‫لذ َك ِر ِم ۡث ُل َحظِّ ٱأۡل ُنثَيَ ۡي ۚ ِن فَإِن ُك َّن نِ َس\ٓاءٗ فَ\ ۡ\و‬ ِ ‫يُو‬
َّ َّ ۚ
ُ‫\د َو َو ِرثَ ٓۥه‬ٞ \َ‫\د فَ\إِن لمۡ يَ ُكن ل ۥهُ َول‬ٞ \َ‫ك إِن َك\\انَ لَ ۥهُ َول‬ ۡ َ
َ ‫صفُ وَأِل بَ َو ۡي ِه لِ ُك ِّل ٰ َو ِح ٖد ِّمنهُ َما ٱل ُّس ُدسُ ِم َّما تَ\ َر‬ ۚ ۡ ِّ‫ٰ َو ِحد َٗة فَلَهَا ٱلن‬
ۚ ُ ۚ
ُ ُ‫أَبَ َواهُ فَأِل ُ ِّم ِه ٱلثُّل‬
‫ُوصي بِهَٓا أَ ۡو د َۡي ۗ ٍن َءابَ\\ٓا ُؤ ُكمۡ َوأَ ۡبنَ\\ٓا ُؤ ُكمۡ اَل‬ ِ ‫صي َّٖة ي‬ ِ ‫ة فَأِل ِّم ِه ٱل ُّس ُدسُ ِم ۢن بَ ۡع ِد َو‬ٞ ‫ث فَإِن َكانَ لَ ٓۥهُ إِ ۡخ َو‬
‫\ركَ أَ ۡز ٰ َو ُج ُكمۡ إِن‬ َ \َ‫ف َم\\ا ت‬ \ُ ‫ص‬ ۡ ِ‫۞ولَ ُكمۡ ن‬ َ ‫ض ٗة ِّمنَ ٱهَّلل ۗ ِ إِ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلِي ًما َح ِك ٗيما‬ َ ‫ت َۡدرُونَ أَيُّهُمۡ أَ ۡق َربُ لَ ُكمۡ ن َۡفعٗ ۚا فَ ِري‬
‫ُوص \ينَ بِهَ\\ٓا أَ ۡو د َۡي ۚ ٖن َولَه َُّن ٱلرُّ بُ \ ُع‬ ِ ‫ص \ي َّٖة ي‬ ِ ‫د فَلَ ُك ُم ٱلرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َر ۡك ۚنَ ِم ۢن بَ ۡع ِد َو‬ٞ َ‫ۚد فَإِن َكانَ لَه َُّن َول‬ٞ َ‫لَّمۡ يَ ُكن لَّه َُّن َول‬
‫صي َّٖة تُوصُونَ بِهَ\\ٓا أَ ۡو د َۡي ٖۗن‬ ِ ‫د فَلَه َُّن ٱلثُّ ُمنُ ِم َّما ت ََر ۡكتُمۚ ِّم ۢن بَ ۡع ِد َو‬ٞ َ‫ۚد فَإِن َكانَ لَ ُكمۡ َول‬ٞ َ‫ِم َّما تَ َر ۡكتُۡ\م إِن لَّمۡ يَ ُكن لَّ ُكمۡ َول‬
ۡ‫سُ فَإِن َكانُ ٓو ْا أَ ۡكثَ َر ِمن ٰ َذلِكَ فَهُم‬ ۚ ‫ت فَلِ ُك ِّل ٰ َو ِح ٖد ِّم ۡنهُما ٱل ُّس ُد‬ٞ ‫ة َولَ ٓۥهُ أَ ٌخ أَ ۡو أُ ۡخ‬ٞ َ‫ث َك ٰلَلَةً أَو ٱمۡ َرأ‬
َ ِ ُ ‫ُل يُو َر‬ٞ ‫َوإِن َكانَ َرج‬
‫يم‬ٞ ِ‫صي َّٗة ِّمنَ ٱهَّلل ۗ ِ َوٱهَّلل ُ َعلِي ٌم َحل‬ ِ ‫ضٓا ۚ ٖ ّر َو‬ َ ‫ص ٰ\ى بِهَٓا أَ ۡو د َۡي ٍن غ َۡي َر ُم‬ ِ ‫ث ِم ۢن بَ ۡع ِد َو‬
َ ‫صي َّٖة يُو‬ ِ ۚ ُ‫ُش َر َكٓا ُء فِي ٱلثُّل‬
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan, dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.
(An-Nisa’ : 11).
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
naka, maka para isteri meperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika
seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara
perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (An-Nisa’ : 12).
Kedua ayat tersebut menjelaskan secara rinci bagian-bagian ahli waris baik yang termasuk
ashabul furudl maupun ashabah.
2. Al-Hadis
a. Riwayat Bukhari dan Muslim.
ِ ِ ٍ َّ‫َع ِن ابْ ِن َعب‬
َ ‫ “أَحْل ُقوا اَلْ َفَرائ‬:- ‫ول اهلل – صلى اهلل عليه وسلم‬
‫ض‬ ُ ‫ قَ َال َر ُس‬:‫اس – رضي اهلل عنهما – قَ َال‬
‫ألوىَل َر ُج ٍل ذَ َك ٍر‬ ِ ِ ِ
ْ ‫ فَ َما بَق َي َف ُه َو‬،‫بأ َْهل َها‬
Dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Berikanlah faraidh (bagian-bagian
yang telah ditentukan) kepada yang berhak, dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari
keturunan laki-laki yang terdekat.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
b. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim

َ َ‫َن اَلنَّبِ َّي صلى اهلل عليه وسلم ق‬


ُ ‫ ( اَل يَ ِر‬: ‫ال‬ َّ ‫ أ‬-‫ضي اَللَّهُ َع ْن ُه َما‬ ِ ٍ
‫ث‬ َ ‫ َر‬- ‫ُس َامةَ بْ ِن َزيْد‬ َ ‫َ َو َع ْن أ‬
‫ ُمَّت َف ٌق َعلَْي ِه‬ ) ‫ث اَلْ َكافِ ُر اَل ُْم ْسلِ َم‬
ُ ‫ َواَل يَ ِر‬,‫اَل ُْم ْسلِ ُم اَلْ َكافِ َر‬
Dari Usamah Ibnu Zaid Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Orang muslim tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi
harta orang muslim." (H.R. Bukhari dan Muslim).
c. Riwayat Bukhari dan Muslim dari Sa’ad ibn Abi Waqqas tentang batas maksimal
pelaksanaan wasiat.
Rasulullah SAW. datang menjengukku pada tahun haji wada’ diwaktu aku menderita
sakit keras. Lalu aku bertanya kepada beliau,” wahai Rasulullah, aku sedang menderita
sakit keras, bagaimana pendapatmu, aku ini orang berada sementara tidak ada yang akan
mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan, apakah aku sedekah (wasiat) kan dua
peretiga hartaku? “Jangan” jawab Rasul. Aku bertanya “setengah”? “jangan” jawab
Rasul. Aku bertanya “sepertiga”? Rasul menjawab “sepertiga” sepertiga adalah banyak
atau besar, sungguh kamu jika meninggalkan ahli warismu dalam keadaan yang cukup
adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-
minta kepada orang. (H.R. Bukhari dan Muslim).
C. TUJUAN KEWARISAN ISLAM
Adapun tujuan kewarisan dalam Islam dapat kita rumuskan sebagai berikut :
1. Penetapan bagian-bagian warisan dan yang berhak menerima secara rinci dan jelas,
bertujuan agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikan antara ahli waris. Karena dengan
ketentuan-ketentuan tersebut, masing-masing ahli waris harus mengikuti ketentuan
syariat dan tidak bisa mengikuti kehendak dan keinginan masing-masing.
2. Baik laki-laki maupun perempuan mendapat bagian warisan (yang pada masa jahiliyah
hanya laki-laki yang berhak) sebagai upaya mewujudkan pembagian kewarisan yang
berkeadilan berimbang. Dalam artian masing-masing berhak menerima warisan sesuai
dengan porposi beban dan tanggung jawabnya.
D. SEBAB-SEBAB ADANYA KEWARISAN MENURUT ISLAM
Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada tiga, yaitu; hubungan
kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena sebab al-wala’.
1) HUBUNGAN KEKERABATAN
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang
mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab memperoleh
hak mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure causalitas adanya
seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan perkawinan, jika perkawinan
telah putus (cerai) maka dapat hilang.
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7).
Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75 : …Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)
didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).
2). HUBUNGAN PERKAWINAN
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah perkawinan
yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam hal ini,
terpenuhinya rukun dan syarat secara agama. Tentang syarat administrative masih
terdapat perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di Indonesia, memberikan kelonggaran
dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan bukan secara
administrasi (hukum positif, Pen.) tetapi ketentuan agama.
Disebagian negara muslim, seperti Pakistan, perkawinan yang tidak dicatat dapat
dihukum penjara atau denda atau bahkan kedua-duanya. Di Indonesia hendaknya ini
menjadi perhatian, karena perkawinan yang tidak terpenuhinya secara administrative
(hukum positif) akan dapat menimbulkan kemudlaratan, seperti penyangkalan terhadap
suatu perkawinan karena tidak adanya bukti tertulis (secara administratif).
Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan
yang masih utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan perkawinan yang
dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai
pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan
tersebut dianggap masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk
isterinya tanpa memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa
menghadirkan dua orang saksi dan wali.
Sehingga isteri yang sedang berada dalam masa iddah talak raj’i, apabila suaminya
meninggal ia berhak mewarisi harta suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami berhak
mewarisi harta isterinya.

3). HUBUNGAN KARENA SEBAB AL-WALA’


Wala’ dalam pengertian syariat adalah ;
1) Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak
emansipasi) budak.
2) Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong
dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain.
Wala’ yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab
telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika laki-laki
dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut dengan walaul-
muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong dengan
yang lain melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang berkata kepada orang lain; wahai
fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah mati dan dapat mengambil diyat
(denda) untukku bila aku dilukai seseorang, demikian pula aku dapat mewarisi hartamu
dan menagambil diyat karenamu. Kemudian orang lain tersebut menerima perjanjian itu.
Pihak pertama disebut al-mawali dan pihak kedua disebut al-mawala.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam)
dari harta peninggalan. Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur ulama demikian pula
Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah melalui surat al-Anfal ayat 75 :
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.

E. ASAS KEWARISAN ISLAM


Berdasarkan nash baik al-Quran maupun al-Hadis, maka kita dapat merumuskan asas-asas
kewarisan Islam sebagai berikut :
1. ASAS IJBARI
Dalam hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang
masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam berlaku
secara ijbari. Kata ijbari secara etimologis mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu
melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri.
Hal tersebut berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal kepada ahli
warisnya berlangsung dengan sendirinya berdasarkan ketetapan Allah, tanpa bergantung
kepada kepada ahli waris atau pewaris.
Adapun asas ijbari dalam kewarisan Islam terjadi dalam hal :
a. Segi peralihan harta
b. Segi jumlah pembagian
c. Segi kepada siapa harta itu beralih.

2. ASAS BILATERAL
1) Asas bilateral dalam kewarisan Islam, berarti bahwa seseorang menerima warisan
dari kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat garis keturunan laki-laki
maupun perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat an-Nisa’ ayat 7.
2) Amir syarifuddin menyatakan, bahwa seorang laki-laki berhak menerima warisan
dari pihak ayahnya juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak
mendapat warisan dari kedua pihak orang tuanya.
3) Demikian pula dapat dilihat dari surat an-nisa’ ayat 12, bahwa baik duda maupun
janda saling mewarisi, saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-laki dan saudara
perempuannya. Kemudian sebagaimana termuat dalam surat an-Nisa’ ayat 33,
menurut Hazairin bahwa, cucu baik laki-laki maupun perempuan mewarisi
menggantikan ibu atau bapaknya.
3. ASAS INDIVIDUAL
Asas individual artinya ialah, dalam system hukum kewarisan Islam, harta peninggalan
yang ditinggalkan dibagi secara individual secara pribadi langsung kepada masing-
masing. Asas individual dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat pada surat an-nisa’
ayat 11, yaitu ;
a) Bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian anak perempuan
b) Bila anak perempuan itu dua orang atau lebih baginya dua pertiga dari harta
peninggalan
c) Dan jika perempuan itu hanya seorang saja maka baginya seperdua harta
peninggalan.
Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan
sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan manjalankan
kewajiban, yang dalam istilah ushul fiqih disebut “ahliyat al-wujub”. Akan tetapi
berlaku pula ketentuan lain yaitu kecakapan untuk bertindak yang dalam ushul fiqih
disebut “ahliyatul ada”. Dalam artian pembagian harta tersebut diberikan kepada
seseorang secara individual, dengan catatan adanya kecakapan orang tersebut.

4. AZAZ KEADILAN BERIMANG


Hak waris yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya merupakan pelanjutan
tanggung jawab pewaris kepada keluarganya (ahli waris), sehingga kadar yang diterima
oleh ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab seseorang.
Seorang laki-laki memikul tanggung jawab yang lebih berat dari perempuan, sehingga
suatu hal yang wajar jika bagiannya dua kali bagian perempuan. Tanggung jawab
tersebut dari ayat al-Quran :
1) Al-Baqarah 23 :
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang ma’ruf. (Q.S. Al-Baqarah : 23).
2) An-Nisa’ 34 :
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihi sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena itu mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….(Q.S. An-
Nisa’ : 34).
3) Ath-Thalaq 6 :
Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu….(Ath-Thalaq : 6).

F. UNSUR-UNSUR DAN SYARAT KEWARISAN


1) UNSUR KEWARISAN
Dalam kewarisan Islam terdapat tiga unsur (rukun), yaitu :
1. Maurus.
Maurus atau miras adalah harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya
perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal
ini yang diamaksdukan hal tersebut adalah :
a. Kebendaan yan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya
benda-benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati, diyat
wajibah (denda wajib) yang dibayarkan kepadanya.
b. Hak-hak kebendaan, seperti monopoli untuk mendayagunakan dan menarik
hasil dari suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi dan lain
sebagainya.
c. Benda-benda yang bukan kebendaan, seperti hak khiyar dan hak syuf’ah,
hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan sebagainya.
d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda yang
sedang digadaikan, benda yang telah dibeli oleh si mati sewaktu masih hdup
yang sudah dibayar tetapi barang belum diterima.
2. Muwaris.
Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang
mewariskan hartanya.
3. Waris.
Waris, adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan muwaris karena
mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan
sebab perkawinan atau akibat memerdekakan hamba sahaya.
2) SYARAT KEWARISAN
Adapun syarat-syarat terjadinya pembagian harta warisan dalam Islam adalah ;
1. Matinya muwaris.
Kematian muwaris dibedakan kepada tiga macam yaitu :
a. Mati haqiqy.
Mati haqiqy, ialah kematian seseorang yang dapat disaksikan oleh panca
indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
b. Mati hukmy.
Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan adanya vonis hakim.
Misalnya orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak
diketahui domisilinya, maka terhadap orang yang sedemikian
hakim dapat memvonis telah mati. Dalam hal ini harus terlebih dahulu
mengupayakan pencarian informasi keberadaannya secara maksimal.
c. Mati taqdiry (menurut dugaan).
Mati taqdiry, yaitu orang yang dinyatakan mati berdasarkan dugaan yang
kuat. Semisal orang yang tenggelam dalam sungai dan tidak
diketemukan jasadnya, maka orang tersebut berdasarkan dugaan kuat
dinyatakan telah mati. Contoh lain, orang yang pergi kemedan
peperangan, yang secara lahiriyah mengancam jiwanya. Setelah
sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dapat melahirkan
dugaan kuat bahwa ia telah meninggal.
2. Hidupnya waris.
Dalam hal ini, para ahli waris yang benar-benar hiduplah disaat kematian
muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan.
3. Tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi.

H. SEBAB-SEBAB YANG MENJADI PENGHALANG KEWARISAN


Hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang terhalang untuk mewarisi ada tiga macam,
yaitu : 1. Perbudakan, 2. Pembunuhan, 3. Berlainan Agama
1. PERBUDAKAN
Perbudakan menjadi penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk
umum yang menyatakan budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan
hukum. Hal ini berdasarkan surat al-Anfal ayat 75 :Allah membuat perumpamaan
dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap
sesutupun…(Q.S. Al-Anfal : 75). Mafhum ayat tersebut menjelaskan bahwa
budak itu tidak cakap untuk mengurusi hak milik kebendaan dengan jalan apa
saja. Hak-hak kebendaannya sepenuhnya berada ditangan tuannya. Dan status
kekerabatan dengan keluarganya sudah putus.
2. PEMBUNUHAN
Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap al-muwarris
menyebabkannya tidak dapat mewarisi hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas
(jumhur) ulama. Hal tersebut merupakan hal yang cukup beralasan, karena tidak
menutup kemungkinan untuk menguasai harta seseorang membunuh orang lain.
Karena motivasi yang tidak baik tersebut, maka terhadap orang yang membunuh
tidak diperkenankan dan tidak berhak mewarisi harta peninggalannya.
Terhadap masalah ini, golongan khawarij, yang memisahkan diri dari Ali bin Abi
Thalib dan Muawiyah, menentang pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat al-
Quran bersifat umum dan tidak mengecualikan si pembunuh. Karena ayat-ayat
kewarisan hanya memberi petunjuk umum, sehingga keumuman ayat-ayat
tersebut harus diamalkan.
Dalam hal ini mereka hanya mengacu pada keumuman ayat-ayat kewarisan.
Padahal dalam hadis nabi Muhammad SAW. adanya pengecualian terhadap
pembunuh. Adapun dasar hukum yang dipergunakan oleh mayoritas (jumhur)
ulama yang menyatakan pembunuh terhalang untuk mewarisi adalah;
 Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas :
Rasulullah SAW. bersabda : Barang siapa membunuh seseorang korban,
maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli
waris selain dirinya. (Begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya
atau anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan.
(H.R. Ahmad).
 Riwayat An-Nasai :
Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi. (H.R. An-Nasai).
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, maka secara jelas dinyatakan pembunuh
terhalang untuk mewarisi harta orang yang dibunuhnya. Hal tersebut,
walaupun tidak ada ahli waris lain selain dirinya, ataupun yang dibunuhnya
orang tua atau anaknya. Yang menjadi permasalahan adalah, mengingat
banyaknya jenis dan macam pembunuhan.
Apakah secara keseluruhan pembunuhan menjadi penghalang untuk mewarisi.
Dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu :

3. BERLAINAN AGAMA
Terhadap orang yang berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam menjadi
penghalang mewarisi. Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta
peninggalan orang yang beragama non Islam.
Adapun dasar hukumnya adalah hadis rasulullah SAW. : Orang Islam tidak
mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.
Kemudian hadis riwayat Ashab Al-Sunan (Imam Abu daud, Al-Tirmizi, Al-Nasai,
dan Ibnu majah) :
Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda. Dalam
hal ini nabi Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman beliau,
Abu Thalib, orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW. yang
meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan
kepada anak-anaknya yang masih kafir, yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan
terhadap anak-anaknya yang sudah masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak diberi
bagian.

I. AHLI WARIS, HARTA YANG HARUS DIKELUARKAN, HAJIB DAN MAHJUB


 AHLI WARIS
Ahli Waris ialah orang yang berhak menerima warisan, ditinjau jenisnya dapat dibagi
dua, yaitu zawil furud dan ashobah.
Penggolongan ahli waris ahli waris ada dua jenis lelaki dan perempuan .
1. Ahli Waris lelaki terdiri dari.
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki sampai keatas dari garis anak laki-laki.
3) Ayah
4) Kakek sampai keatas garis ayah
5) Saudara laki-laki kandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Saudara laki-laki seibu
8) Anak laki-laki saudara kandung sampai kebawah.
9) Anak laki-laki saudara seayah sampai kebawah.
10) Paman kandung
11) Paman seayah
12) Anak paman kandung sampai kebawah.
13) Anak paman seayah sampai kebawah.
14) Suami
15) Laki-laki yang memerdekakan
2. Ahli Waris wanita terdiri dari
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan sampai kebawah dari anak laki-laki.
c. Ibu
d. Nenek sampai keatas dari garis ibu
e. Nenek sampai keatas dari garis ayah
f. Saudara perempuan kandung
g. Saudara perempuan seayah
h. Yang Saudara perempuan seibu.
i. Isteri
j. Wanita yang memerdekakan

Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua yaitu : Ashhabul furudh dan Ashobah.
1. Ashabul furudh yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari
a. Yang dapat bagian ½ harta.
1) Anak perempuan kalau sendiri
2) Cucu perempuan kalau sendiri
3) Saudara perempuan kandung kalau sendiri
4) Saudara perempuan seayah kalau sendiri
5) Suami
b. Yang mendapat bagian ¼ harta
1) Suami dengan anak atau cucu
2) Isteri atau beberapa kalau tidak ada (anak atau cucu)
c. Yang mendapat 1/8
Isteri atau beberapa isteri dengan anak atau cucu.
d. Yang mendapat 2/3
1) dua anak perempuan atau lebih
2) dua cucu perempuan atau lebih
3) dua saudara perempuan kandung atau lebih
4) dua saudara perempuan seayah atau lebih
e. Yang mendapat 1/3
1) Ibu jika tidak ada anak, cucu dari grs anak laki-laki, dua saudara kandung/seayah
atau seibu.
2) Dua atau lebih anak ibu baik laki-laki atau perempuan
f. Yang mendapat 1/6
1) Ibu bersama anak lk, cucu lk atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau
perempuan seibu.
2) Nenek garis ibu jika tidak ada ibu dan terus keatas
3) Nenek garis ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas
4) Satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan
kandung
5) Satu atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan
kandung.
6) Ayah bersama anak lk atau cucu lk
7) Kakek jika tidak ada ayah
8) Saudara seibu satu orang, baik laki-laki atau perempuan.

2. Ahli waris ashobah yaitu para ahli waris tidak mendapat bagian tertentu tetapi mereka dapat
menghabiskan bagian sisa ashhabul furud. Ashobah terbagi tiga jenis yaitu ashabah binafsihi,
ashobah bighairi dan ashobah menghabiskan bagian tertentu
a. Ashobah binafsihi adalah yang ashobah dengan sendirinya. Tertib ashobah binafsihi
sebagai berikut:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah
3) Ayah
4) Kakek dari garis ayah keatas
5) Saudara laki-laki kandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung sampai kebawah
8) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah sampai kebawah
9) Paman kandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki paman kandung sampai kebawah
12) Anak laki-laki paman seayah sampai kebawah
13) Laki-laki yang memerdekakan yang meninggal
b. Ashobah dengan dengan saudaranya
1) Anak perempuan bersama anak laki-laki atau cucu laki.
2) Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
3) Saudara perempkuan kandung bersama saudara laki-laki kandung atau saudara laki-
laki seayah.
4) Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
c. Menghabiskan bagian tertentu
1) Anak perempuan kandung satu orang bersama cucu perempuan satu atau lebih (2/3).
2) Saudara perempuan kandung bersama saudara perempuan seayah (2/3)

 Harta yang harus dikeluarkan


Harta yang harus dikeluarkan sebelum dibagikan kepada ahli waris:
1. Biaya jenazah
2. Utang yang belum dibayar
3. Zakar yang belum dikeluarkan
4. Wasiat
 Hijab dan mahjub
Hijab adalah halangan yang merintangi untuk mendapatkan warisan bagi sebagian ahli
waris, karena ada ahli waris lain yang lebih dekat hubungannya dengan yang meninggal
dunia, Sedang ahli waris yang terhalang disebut Mahjub.
Adapun ahli waris yang terhalang oleh sebagian ahli waris lin yang lebig dekat:
1. Nenek dari garis ibu gugur haknya karena adanya ibu.
2. Nenek dari garis ayah gugur haknya karena adanya ayah dan ibu
3. Saudara seibu gugur haknya baik laki-laki ataupun perempuan oleh:
a. anak kandung laki/perempuan
b. cucu baik laki-laki/perempuan dari garis laki-laki
c. bapak
d. kakek
4. Saudara seayah baik laki-laki/perempuan gugur haknya oleh :
a. ayah
b. anak laki-laki kandung
c. cucu laki-laki dari garis laki-laki
d. Saudara laki-laki kandung
5. Saudara laki-laki/perempuan kandung gugur haknya oleh:
a. anak laki-laki
b. cucu laki-laki dari garis anak laki-laki
c. ayah
6. Jika semua ahli waris itu laki-laki yang dapat bagian ialah.
a. suami
b. ayah
c. anak laki-laki
7. Jika semua ahli waris itu semuanya perempuan dan ada semua, maka yang dapat
warisan ialah:
a. Isteri
b. Anak perempuan
c. Cucu perempuan
d. Ibu
e. Saudara perempuan kandung
8. Urutan pembagian antara saudara laki-laki kandung/saudara laki-laki seayah sampai
kebawah dan urutan paman kandung / paman seayah sampai kebawah.
a. Saudara laki-laki kandung menggugurkan saudara seayah (L/P)
b. Saudara laki-laki seayah menggugurkan anak lk saudara kandung
c. Anak laki-laki saudara kandung menggugurkan anak lk saudara seayah
d. Anak laki-laki saudara seayah menggugurkan cucu lk saudara kandung.
e. Cucu laki-laki saudara kandung menggugurkan cucu lk saudara seayah dts
f. Cucu laki-laki saudara seayah menggugurkan Paman kandung
g. Paman kandung menggugurkan paman seayah
h. Paman seayah menggugurkan anak laki-laki paman kandung
i. Anak laki-laki paman kandung menggugurkan anak lk paman seayah
j. Anaklaki-laki paman seayah menggugurkan cucu lk paman kandung
k. Cucu laki-laki paman kandung menggugurkan cucu lk paman seayah.
b. demikian seterusnya.

J. CARA MENGHITUNG, MEMBAGIKAN WARISAN


Contoh Kasus
1. Pertanyaan :
Seseorang Meninggal dunia meninggalkan harta warisan senilai
Rp 66.000.000.00. Ahli waris terdiri dari kakek, bapak, dan 2 anak laki-laki. Berapa
bagian masing-masing?
Jawab :
Bapak mendapatkan bagian 1/6
penyelesainnya adalah 1 x Rp 66.000.000.00 / 6 = Rp 11.000.000.00 jadi bapak
mendapatkan bagian sejumlah Rp 11.000.000.00, sedangkan 2 Anak laki-laki adalah
asobah/sisa, maka Penyelesainnya Rp 66.000.000.00 - Rp 11.000.000.00 = Rp
55.000.000.00, seorang anak laki-laki adalah Rp 55.000.000.00 / 2 = Rp 27.500.000.00

---000---

Anda mungkin juga menyukai