Sebelum kita berbicara tentang prinsip-prinsip hukum islam sebagai yang menjadi pusat
kajian kita harus memahami terlebih dahulu makna Islam (sebagai agama) yang menjadi induk
hukum Islam itu sendiri. Kata Islam terdapat dalam Al-qur’an, kata benda yang berasal dari kata
kerja salima, arti yang dikandung kata Islam adalah kedamaian, kesejahteraan, keselamatan,
penyerahan (diri) dan kepatuhan.
Sedangkan arti Islam sebagai agama adalah Islam adalah agama yang telah diutuskan
oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk membahagiakan dan menguntungkan manusia.
Orang yang secara bebas memilih Islam untuk patuh atas kehendak Allah SWT
disebut Muslim, arti seorang muslim adalah orang yang menggunakan akal dan kebebasannya
menerima dan mematuhi kehendak atau petunjuk Tuhan. Seorang muslim yang
sudah baligh maka disebut mukallaf, yaitu orang yang sudah dibebani kewajiban dalam artian
menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangannya.
Ketentuan-ketentuan Allah SWT atas manusia terdapat dalam Syariah, sedangkan arti
dari syariah sendiri dari segi harfiah adalah jalan kesumber (mata) air yaitu jalan lurus yang
harus diikuti oleh setiap muslim. Sedangkan dari segi ilmu hukum adalah norma dasar yang
ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh seorang muslim.
Norma hukum dalam Islam terdiri dari dua kategori;
pertama, norma-norma hukum yang ditetapkan oleh Allah dan atau Rasulnya secara langsung
dan tegas. Norma-norma hukum jenis ini bersifat konstant dan tetap. Artinya, untuk
melaksanakan ketentuan hukum tersebut tidak membutuhkan penalaran atau tafsiran (ijtihad) dan
tetap berlaku secara universal pada setiap zaman dan tempat. Norma-norma hukum semacam ini
jumlahnya tidak banyak, dan dalam diskursus norma hukum (Islam), inilah yang disebut dengan
syariat dalam arti yang sesungguhnya.
Kedua, Norma-norma hukum yang ditetapkan Allah atau rasul-Nya berupa pokok-pokok atau
dasarnya saja. Dari norma-norma hukum yang pokok ini kemudian lahir norma hukum lain
melaui ijtihad para mujtahid dengan format yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Norma-norma yang terakhir inilah yang kemudian dinamai dengan fikih atau hukum
Islam. Tentu saja norma-norma ini tidak bersifat tetap, tetapi bisa saja berubah (diubah) sesuai
tuntutan ruang dan waktu. Cuma saja, dalam menetapkan format hukum baru untuk menjawab
persoalan-persoalan yang berkembang, para mujtahid dan badan legislasi Islam harus senantiasa
berpegang pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Di antara beberapa prinsip hukum Islam
yang patut disebutkan di sini adalah sebagai berikut:
Pengertian-pengertian Dasar
Hukum : Ialah Peraturan yang dibuat oleh penguasa atau adat yang berlaku bagi semua
orang di suatu masyarakat; Undang-undang, untuk mengatur pergaulan hidup manusia;
Patokan atau kaidah mengenai suatu peristiwa; keputusan yang ditetapkan oleh hak.
Hukum Islam aturan, patokan, kaidah, undang yang berasal dari Islam untuk kehidupan
manusia secara menyeluruh.
Hukum Islam ada dua macam:
1) Syariah, arti dasarnya adalah menuju air. Air adalah simbol kehidupan, artinya
setiap manusia memerlukan syariah. Syariah juga diartikan peraturan dari Allah
dan Rasulullah untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, mausia
dengan manusia lain, dan antara manusia dengan alam semesta. syariah
merupakan aturan yang mutlak benar tidak bisa dan tidak boleh diubah dan
diterima manusia atas dasar iman untuk dilaksanakan.
2) Fiqih, kata fiqih berasal dari kata faqah yang berarti paham atau mengerti.
Kumpulan pemahaman sistematis terhadap peraturan-peraturan Allah disebut
ilmu fiqih.
Hubungan Syariah dan Ilmu Fiqih
1) Pada abad I - II H, Syariah identik dengan fiqih, identik pula dengan ad-din.
2) Abad II H dan seterusnya Ilmu fikih merupakan salah satu bagian dari syariah.
Ilmu Fiqih merupakan aturan perilaku manusia dipandang dari salah satu dari
lima putusan hukum (ahkam al-khamsah)
Lima Putusan Hukum: Setelah seseorang mengaku memeluk Islam dengan inisiasi
syahadad, kapan pun ia tidak terlepas dari kontrol hukum yang lima: haram, makruh,
wajib, sunnah, dan mubah. Dalam sehari semalam, seorang muslim pasti keluar
masuk pada salah satu putusan hukum yang lima itu. Akan merugi besar kalau
seseorang terlalu lama berada di bilik hukum haram karena akibatnya adalah dosa
yang berlanjut pada azab atau siksaan. Akan beruntung besar kalau seseorang tidak
mau memasuki bilik haram karena akibatnya ia memperoleh pahala yang berlanjut
pada kenikmatan dan surga.
Terapan term Hukum Islam di Indonesia: Syariah atau disebut Islamic law dan fiqih
disebut Islamic jurisprudence.
1) Hukum Islam merupakan bagian dan sumber dari ajaran agama Islam
2) Berkaitan dengan bagian lain dalam Islam, yaitu aqidah dan akhlaq
3) Memiliki istilah kunci, yaitu syariah dan fiqih.
4) Terdiri atas dua bagian besar, ibadah dan muamalah. Ibadah merupakan aturan hubungan
antara manusia dengan Alla, dan muamalah merupakan aturan hubungan antara manusia
dengan manusia lain dan antara manusia dengan alam semesta
Ruang Lingkup
1. Hukum perdata, meliputi:
1) Mengatur masalah munakahat (perkawinan)
2) Mengatur masalah mawaris (waris-mewaris)
3) Mengatur masalah mu’amalah, yaitu tentang kebendaan, hak-ahak atas benda dan
tata hubungan antara manusia dengan manusia dan alam semesta.
2. Hukum pidana, meliputi:
1. Jinayat, yaitu aturan perbuatan yang diancam dengan hukuman atau pidana.
2. Al-ahkam as-sulthaniyyah, yaitu aturan tentang kenegaraan
3. Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk dan
negara lain.
4. Mukhashamat, mengatur tentang peradilan, kehakiman dan hukum acara.
Tujuan Hukum Islam:
1) memelihara agama
2) memelihara jiwa
3) memelihara akal
4) memelihara keturunan
5) memelihara harta
Sumber hukum Islam
1) Sumber hukum Islam ada tiga macam: Alquran, a-Sunnah, dan ijtihad.
2) Referensinya adalah Hadis Rasulullah terhadap Muaz bin Jabbal sebagai berikut:
Rasulullah : Bagaimana kamu akan memutuskan terhadap susuaru perkara yang
datang Kepadamu?
Muaz : Saya akan memutuskannya dengan kitabullah
Rasulullah : Kalau engkau tidak mendapatinya dalam kitabullah ?
Muaz : Saya akan memutuskannya berdasar sunnah Rasul
Rasulullah : Kalau dalam sunnah Rasul juga tidak ada ?
Muaz : akan mendasarkan pada pendapatku dan saya tidak akan lengah
Rasulullah : Alhamdulillah, Allah telah memberi taufi-Nya sesuai dengan apa Yang
diridai oleh-Nya dan Rasulnya.
Allah SWT.berfirman:
َ يُري ُد هَّللا ُ بِ ُك ُم الي
َ ُسر َوال يُري ُد بِ ُك ُم الع
ُسر
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
(Qs.2:185)
٢٨﴿ ضعيفًا َ ِ﴾يُري ُد هَّللا ُ أَن يُخَ فِّفَ عَن ُكم ۚ َو ُخل
ٰ ق ا ِإل
َ ُنسن
Allah hendak meringankan (kebertan)dari kamu,kerena manusiadi ciptakan lemah.
(Lihat surah 4:28).
e) Diciptakan Secara Bertahap ( تدريجيا )
Tiap-tiap masyarakat tentu mempunyai adat kebiasaan atau tradisi tersebut
merupakan tradisi yang baik maupun tradisi yang membahayakan mereka sendiri.
Bangsa arab, ketika Islam datang, mempunyai tradisi dan kesenangan sukar
dihilangkan dalam sekeja saja. Apabila di hilangkan sekaligus, akan menyebabkan
timbulnya konplik, kesulitan dan ketegangan batin.[2]
Dalam sosiologi ibnu Khaldun di nyatakan bahwa ”suatu masyakat (Tradisonal atau
tingkat inteliktualnya masih rendah) akan menetapkan apabila ada sesuatu yang baru
atau sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, lebih baik apabila
sesuatu yang baru tersebut bertentangan dengan tradisi yang ada“. Masyarakat akan
senantiasa memberikan respon apabila timbul sesuatu di tengah-tengah mereka.
Hukum Islam mengharamkan minuman keras dengan berangsur-angsur
(bervulusi).Mula-mula diturunkan firman Allah yang berbunyi:
4) Hadis yang boleh dijadikan sebagai sumber hukum hanya yang shahih dan hasan saja.
5) Fungsi hadis disamping memperjelas apa yang terdapat di dalam Alquran juga
menghasilkan hukum yang mandiri, contoh cara menghilangkan najis mughalad}ah.
Ijtihad sebagai sumber hokum
1) Ijtihad adalah usaha yang sunggusungguh dari seorang ulama untuk menemukan sesuatu
hukum atas sesuatu.
2) Ijtihad hanya terjadi pada bidang muamalah, ibadah ghairu mahd}ah, dan tidak
ditentukan secara eksplisit baik dalam Alquran maupun Alhadis.
3) Ulama yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Diantara mujtahid yang terkenal antara
lain: Imam Malik (714-798 M), Imam Abu Hanifah (699-767 M), Imam Syafi’i (767-854
M), Imam Ahmad bin Hanbal (780 – 855 M).
4) Keputusan hukum yang berasal dari ijtihad antara lain: Ijma’, qiyas, istihsan, dan
maslah}ah} mursalah.
5) Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid tentang hukum seseuatu peristiwa atau hal
yang belum ditetapkan hukumnya dalam Alquran maupun Alhadis.
Contoh-contoh
MUI (terdiri atas sejumlah ulama) bersepakat bahwa ajino moto haram hukumnya.
Ulama Tarjih Muhammadiyah menetapkan bahwa merokok hukumnya haram
Ulama Tarjih Muhammadiyah menetapkan bahwa dalam menetapkan hilal Ramad}an
maupun lebaran menggunakan metode hisab hakiki.
6) Qiyas adalah menetapkan sesuatu hukum atas sesuatu yang tidak disebutkan dalam
Alquran atau Alhadis dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang lain yang telah
ditetapkan dalam Alquran maupun Alhadis karena ada kesamaan sesuatu (‘illat, qarinah)
Qiyas merupakan istinbathul hukmi ciptaan Imam Syafi’i
Contoh-contoh
1) Dalam teks (QS. al-Maidah/5 : 90) disebutkan bahwa khamer itu haram
karena memabukkan. Di luar teks ada minuman yang disebut Cong yang,
vodka, wiski, irengan, ketan hitam, ciu, jenewer, tuak, dan manson). Antara
Khamer dan aneka minuman yang disebutkan ini dihukumi haram. Ketetapan
haram ini karena ada kesamaannya dengan khamer, yaitu memabukkan.
2) Meng-qada’ Salat yang ditinggalkan karena bepergian. Dalam Teks
Alquran maupun Alhadis tidak disebutkan tentang qada’ salat. Yang
ditentukan untuk qada’ antara lain adalah puasa Ramadhan (QS. al-
Baqarah/2:184). Diantara keduanya ada kesamaannya, yaitu sama-sama rukum
Isalam.
3) Di Indonesia, dari kelompok NU, atau umumnya penganut mazhab
Syafi’iyyah melaksanakan ketentuan hukum meng-qada’ salat.
Muhammadiyah tidak melaksanakan ketentuan ini. Dalam keadaan apa pun
selagi akal masih waras, salat harus dilaksanakan sesuai kemampuan
sebagaimana dijelaskan menurut syara’.
7) Istihsan adalah meninggalkan hukum sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan syara’
karena ada dalil lain yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Contoh. Perintah melakukan salat Jumat berlaku secara umum bagi setiap orang Islam
(QS. al-Jum’ah/62:9). Kemudian ada hadis yang mengcualikan: wanita, anak-anak, oarng
sakit, dan manula yang telah tidak mampu berjalan. Maka bagi mereka, tidak perlu
melakukan salat jumatan di masjid secara berjamaah. Mereka bisa salat jumat dua rakaat
di rumah atau salat luhur empat rakaat di rumah.
8) Maslahah mursalah adalah menetapkan sesuatu hukum yang tidak disebutkan baik dalam
Alquran maupun Alhadis karena secara umum dipandang baik, pantas, atau memiliki
nilai kemaslahatan yang luas.
Contoh: Pakaian yang digunakan untuk salat terkena darah dari seekor nyamuk. Darah
adalah najis, tetapi karena terlalu sedikit, maka tidak mengapa untuk salat.
Tujuan Hukum Islam bagi kehidupan masyarakat
1) ketertiban umum
2) melindungi orang-orang yang teraniaya.
3) mencapai ketenteraman dan kebahagian bersama dunia-akhirat.
4) setiap muslim harus mentaati dan melaksanakan hukum Islam sebaik-baiknya demi
kebahagiaan mereka sendiri.
Hukum Perjanjian
Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua atau beberapa orang untuk melakukan suatu
perbuatan hokum tertentu. Para pihak yang telah melakukan pernjanjian harus mempunyai itikad
baik untuk melaksanakan konsekuensi yang timbul. Ditegaskan dalam al Qur-an surat Al
Maidah/5 : 1.
ِين آ َم ُنو ْا أَ ْوفُو ْا ِب ْال ُعقُو ِد
َ َيا أَ ُّي َها الَّذ.١
ني ِ ُّ ِفَما است َقاموا لَ ُكم فَاست ِقيموا هَل م ۚ إِ َّن اللَّه حُي
َ ب الْ ُمتَّق َ ُْ ُ َ ْ ْ ُ َْ َ
…maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula)
terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. QS. At
Taubah/9 : 7
3. Jika ada kelancangan dan bukti pengkianatan
Apabila ada kelancangan dan bukti-bukti pengkhianatan terhadap apa yang yelah
dipernjanjikan maka pernjanjian yang telah ditetapkan tersebut menjadi batal QS Al
Anfal/8 : 58
نيِِ ُّ ِوإِ َّما خَتَافَ َّن ِمن َقوٍم ِخيانَةً فَانْبِ ْذ إِلَي ِهم علَى سو ٍاء ۚ إِ َّن اللَّه اَل حُي
َ ب اخْلَائن َ ََ ٰ َ ْ ْ َ ْ ْ َ
Artinya: “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan,
maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat”. QS Al Anfal/8 : 58
NIKAH
A. PENGERTIAN NIKAH
Sebagai salah satu ibadah yang mulia kedudukannya, menikah berikut prosesi yang
mendahului ataupun setelahnya juga memiliki rambu-rambu yang telah digariskan syariat.
Nikah sebagai kata serapan dari bahasa Arab bila ditinjau dari sisi bahasa maknanya
menghimpun, berkumpul dan menindas. Kata ini bisa dimutlakkan pada dua perkara yaitu akad
dan jima’ (“hubungan” suami istri). Menurut bahasa nikah indentik dengan kawin.
Menurut Istilah, berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang
bukan muhrom yang menimbulkan hal dan kewajiban antara keduannya.
Adapun pengertian nikah secara syar’i adalah seorang pria mengadakan akad dengan seorang
wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan si wanita, dapat beroleh
keturunan dan tujuan lain yang merupakan maslahat nikah.
Pengertian pernikahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan,
perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Akad nikah merupakan mitsaq (perjanjian) di antara sepasang suami istri. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
َخ ْذ َن ِمْن ُك ْم ِميثَاقًا َغلِيظًا
َ َوأ
“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian (para suami) perjanjian yang kuat.” (An-
Nisa`: 21)
Akad ini mengharuskan masing-masing dari suami dan istri memenuhi apa yang dikandung
dalam perjanjian tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ِ ياأَيُّها الَّ ِذين ءامنوا أَوفُوا بِالْع ُق
ود ُ ْ َُ َ َ َ َ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) kalian.” (Al-
Ma`idah: 1)
B. PERSYARIATAN NIKAH
Pensyariatan nikah ditunjukkan dalam Al-Qur`an, As-Sunnah dan ijma’ (kesepakatan
ulama). Dari Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ِّس ِاء
ن ال ن ِ فَانْ ِكحوا ما طَاب لَ ُكم
م
َ َ ْ َ َ ُ
“Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian senangi.” (An-Nisa`: 3)
ني ِم ْن ِعبَ ِاد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم إِ ْن يَ ُكونُوا ُف َقَراءَ يُ ْغنِ ِه ُم اهللُ ِم ْنِوأَنْ ِكحوا اْألَيامى ِمْن ُكم و َّ حِل
َ الصا َْ ََ ُ َ
ضلِ ِه
ْ َف
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri (belum menikah) di antara kalian, demikian
pula orang-orang yang shalih dari kalangan budak laki-laki dan budak perempuan kalian. Bila
mereka dalam keadaan fakir maka Allah akan mencukupkan mereka dengan keutamaan dari-
Nya.” (An-Nur: 32)
Dari As-Sunnah, sangat banyak kita dapatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, ataupun taqrir (persetujuan). Di antaranya yang
bisa kita sebutkan adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para pemuda:
اع ِمْن ُك ُم الْبَاءَ َة َف ْليََتَز َّو ْج ِ يا م ْع َشر الشَّب...
ْ اب َم ِن
َ َاستَط َ َ َ َ
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka
hendaknya ia menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060 dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud
radhiyallahu 'anhu)
Penetapan syariat banyak memberikan anjuran untuk melangsungkan pernikahan. Karena dalam
pernikahan banyak diperoleh maslahat yang agung yang kembalinya pada pasangan suami-istri,
anak-anak yang dilahirkan, masyarakat dan agama. Begitu pula dengan pernikahan akan tertolak
sekian banyak mafsadat.
َ, لِ َماهِلَا: ( تُْن َك ُح اَلْ َم ْرأَةُ أِل َْربَ ٍع: َو َع ْن أَيِب ُهَر ْيَرةَ رضي اهلل عنه َع ِن النَّيِب ِّ صلى اهلل عليه وسلم قَ َال
َّ َت يَ َد َاك ) ُمَّت َف ٌق َعلَْي ِه َم َع بَِقيَّ ِة ا
لسْب َع ِة ِ ِ ِ ِ هِل حِل
ْ َ فَاظْ َف ْر بِ َذات اَلدِّي ِن تَ ِرب, َولدين َها, َو َ َسبِ َها َوجِلَ َما َا
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya.
Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia." Muttafaq Alaihi dan Imam
Lima.
C. HUKUM NIKAH
Fuqaha menyebutkan bahwa pada nikah diberlakukan hukum yang lima. Sehingga bisa
jadi dalam satu keadaan hukumnya wajib, pada keadaan lain hukumnya mustahab/sunnah atau
hanya mubah, bahkan terkadang makruh atau haram.
Adapun hukum asal menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i,
dan riwayat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad. Sebagaimana hal ini merupakan
pendapat mayoritas ulama, menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyyah yang mengatakan wajib.
Nikah ini merupakan sunnah para rasul, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ِ
ًاجا َوذُِّريَّة َ َولََق ْد أ َْر َس ْلنَا ُر ُسالً ِم ْن َقْبل
ً ك َو َج َع ْلنَا هَلُ ْم أ َْز َو
“Sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri
dan anak turunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Utsman bin Mazh’un radhiyallahu 'anhu, seorang dari sahabat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, berkata, “Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkan
kami, niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar tidak memiliki syahwat terhadap wanita
sehingga tidak ada kebutuhan untuk menikah, pent.). Akan tetapi beliau melarang kami dari
hidup membujang (tidak menikah).” (HR. Al-Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 3390)
1. Wajib.
Bagi seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina bila tidak
menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadi wajib karena syahwatnya yang kuat.
Ditambah lagi bila di negerinya bebas melakukan hubungan zina. Hukum nikah baginya menjadi
wajib untuk menolak mafsadat tersebut. Karena meninggalkan zina hukumnya wajib, dan
kewajiban tersebut tidak akan sempurna penunaiannya kecuali dengan nikah.
2. Sunnah
Pernikahan hukumnya sunnah jika seseorang memiliki kemampuan untuk menikah atau
sudah siap untuk membangun rumah tangga akan tetapi ia dapat menahan dirinya dari sesuatu
yang mampu menjerumuskannya dalam perbuatan zina.dengan kata lain, seseorang hukumnya
sunnah untuk menikah jika ia tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan zina jika ia tidak
menikah. Meskipun demikian, agama islam selalu menganjurkan umatnya untuk menikah jika
sudah memiliki kemampuan dan melakukan pernikahan sebagai salah satu bentuk ibadah
3. Mubah
Hukumnya mubah bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan
harta. Mubah baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya. Bisa yanh hukumnya
mubah atau boleh dilaksanakan jika seseorang memiliki kemampuan untuk menikah namun ia
dapat tergelincir dalam perbuatan zina jika tidak melakukannnya. Pernikahan bersifat mubah jika
ia menikah hanya untuk memenuhi syahwatnya saja dan bukan bertujuan untuk membina rumah
tangga sesuai syariat islam namun ia juga tidak dikhwatirkan akan menelantarkan istrinya.
4. Makruh
Adapun orang yang tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan baginya. Karena ia
tidak punya kebutuhan untuk menikah dan ia akan menanggung beban yang berat. Namun
terkadang pada orang yang lemah syahwat atau tidak memiliki syahwat ini, karena usia tua atau
karena impoten misalnya, diberlakukan hukum makruh tanpa membedakan ia punya harta atau
tidak. Karena ia tidak dapat memberikan nafkah batin kepada istrinya, sehingga pada akhirnya
dapat memudaratkan si istri.
5. Haram
Dan haram hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan perkara-
perkara yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena, menikah disyariatkan semata-
mata untuk memberikan maslahat. Kalau ada tindakan aniaya seperti ini, akan hilanglah maslahat
yang diharapkan, terlebih lagi jika dia berbuat dosa dan melakukan perkara-perkara yang
diharamkan. Haram pula bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah
lagi namun dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
ِ فَِإ ْن ِخ ْفتُم أَالَّ َتع ِدلُوا َفو
اح َد ًة َ ْ ْ
“Maka apabila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil (bila memiliki lebih dari satu istri) maka
menikahlah dengan seorang wanita saja.” (An-Nisa`: 3)
D. PELAKSANAAN PERNIKAHAN
Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan
syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya
perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal
bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun
dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau
tidak lengkap.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya,
maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam:
Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
ِ
ُ ُالَ يُْنك ُح الْ ُـم ْح ِر ُم َوالَ يُْن َك ُح َوالَ خَي ْط
ب
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan
tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
3. Dua orang saksi laki-laki: Saksi dalam sebuah perkawinan diharapkan bertanggung jawab
atas keabsahan perkawinan. Saksi haruslah orang yang beragama Islam, baligh, berakal
dan adil.
ِ الَ نِ َكاح إِالَّ بِويِل وش
اه َد ْي َع ْد ٍل َ َ ٍّ َ َ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-
Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-
Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
4. Mahar (Mas kawin): Mahar adalah pemberian pihak laki-laki kepada pihak perempuan
pada saat pernikahan. Jumlah dan jenis mahar tidak ditentukan adalam ajaran Islam,
tetapi diajarkansesuai atau proporsional bagi laki-laki. Mahar pada akhirnya menjadi
pihak perempuan, kecuali terjadi perceraian sebelum terjadi duhuul (hubungan suami
istri) maka mahar dikembalikan kepada laki-laki dalam jumlah separuhnya.
5. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali.
Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau
dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan
Fulanah”).
6. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan
menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima
pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Ucapan ijab & qabul yang lazim digunakan di Indonesia antara lain sbb:
Wali: Ya Fulan Aku nikahkan anak perempuanku Fulanah dengan engkau dengan
maskawin ,,,,,,,,,,, secara tunai”
Mempelai laki-laki: “Aku terima nikahnya Fulanah binti,,,, dengan maskawin …….
Secara tunai”
E. TUJUAN/FAEDAH PERNIKAHAN
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya
semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah
karena tujuan-tujuan berikut ini:
1. Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
اع ِمْن ُك ُم الْبَاءَ َة َف ْليََتَز َّو ْج ِ يا م ْع َشر الشَّب...
ْ اب َم ِن
َ َاستَط َ َ َ َ
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah
maka hendaknya ia menikah….”
2. Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَِإيِّن ُم َكاثٌِر بِ ُك ُم اأْل َُم َم،َتَز َّو ُج ْوا الْ َو ُد ْو َد الْ َولُْو َد
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat
nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
Sebagaimana doa yang dicontohkan di dalam Al Quran (QS. Al Furqan/25 : 74) agar
mendapat pasangan dan keturunan yang menjadi cahaya mata
ۡ َربَّنَا ه َۡب لَنَا ِم ۡن أَ ۡز ٰ َو ِجنَا َو ُذرِّ ٰيَّتِنَا قُ َّرةَ أَ ۡعي ُٖن َو
ٱج َع ۡلنَا لِ ۡل ُمتَّقِينَ إِ َما ًما
74. Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa. (QS. Al Furqan/25 : 74)
3. Memperbanyak umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan keturunan yang
lahir dalam pernikahan sehingga menambah hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala
yang beriman, yang dengannya dapat mewujudkan keinginan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk membanggakan banyaknya umat beliau. Tentunya hal ini akan
membuat marah orang-orang kafir dengan lahirnya para mujahidin fi sabilillah yang akan
membela agamanya. Di samping juga akan ada saling membantu dalam melakukan
pekerjaan dan memakmurkan alam ini.
4. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan
pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
ك أ َْز َكى هَلُ ْم إِ َّن اهللَ َخبِريٌ مِب َا ِ ِ قُل لِْلمؤ ِمنِني يغُضُّوا ِمن أَب
َ وج ُه ْم َذلَ صا ِره ْم َوحَيْ َفظُوا ُف ُر
َْ ْ َ َ ُْ ْ
وج ُه َّن ر ف
ُ نْظ ف
َ حَيو نَّ ِ ضن ِمن أَبصا ِر
ه ض غ
ْ ي ِ َ وقُل لِْلم ْؤ ِمن.يصَنعو َن
ات
َ ُ َ َ ْ َ ْ ْ َ ْ ُ َ ُ ْ َ َُْ
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka
menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang
demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah
mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan
mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Dalam surah yang lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji orang-orang beriman yang
salah satu sifat mereka adalah menjaga kemaluan mereka kecuali kepada apa yang
dihalalkan:
ت أَمْيَانُ ُه ْم فَِإنَّ ُه ْم َغْي ُر ِ ِ ِ ِ ِ َّ
ْ إِالَّ َعلَى أ َْز َواج ِه ْم ْأو َما َملَ َك.ين ُه ْم ل ُف ُروج ِه ْم َحافظُو َن
َ َوالذ
ني ِ
َ َملُوم
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali terhadap istri-istri mereka atau
budak perempuan yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela.” (Al-Mu`minun: 5-6)
Dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
ص ُن لِْل َف ْر ِج ْ ص ِر َوأ
َ َح
ِ ُّ فَِإنَّه أَ َغ
َ َض ل ْلب ُ
“Karena dengan nikah akan lebih menundukkan pandangan (dari melihat yang haram)
dan lebih menjaga kemaluan (dari melakukan zina),” juga terkandung tujuan nikah.
Dengan pernikahan akan terjaga kemaluan lelaki dan perempuan, akan menundukkan
pandangan keduanya dari melihat apa yang tidak halal dan menjaga diri dari istimta’
(berlezat-lezat) dengan sesuatu yang haram, yang dengan ini akan merusak masyarakat
manusia.
5. Menjaga nasab, mengikat kekerabatan dan hubungan rahim sebagian mereka dengan
sebagian yang lain. Seandainya tidak ada akad nikah dan menjaga kemaluan dengan
pernikahan, niscaya akan tersia-siakan nasab dan keturunan manusia. Akibatnya
kehidupan di dunia ini menjadi kacau tiada beraturan. Tidak ada saling mewarisi, tidak
ada hak dan kewajiban, tidak ada ushul (asal muasal keturunan seseorang), dan tidak ada
furu’ (anak keturunan seseorang).
6. Pernikahan akan menumbuhkan kedekatan hati, mawaddah dan rahmah di antara suami
istri. Karena yang namanya manusia pasti membutuhkan teman dalam hidupnya yang
bisa menyertainya dalam suka duka dan bahagianya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya:
اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل َبْينَ ُك ْم َم َو َّد ًة ِ ِ ِِ ِ
ً َوم ْن آيَاته أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَْن ُفس ُك ْم أ َْز َو
ات لَِق ْوٍم َيَت َف َّك ُرو َنٍ ك آَل ي ِ ِ
َ َ َو َرمْح َةً إ َّن يِف َذل
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari
jenis kalian sendiri agar kalian merasa tenang dengannya dan Dia menjadikan mawaddah
dan rahmah di antara kalian. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang mau berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Cinta dan kasih sayang di antara suami-istri ini tidak dapat disamai dengan cinta dan
kasih sayang di antara dua orang yang berteman atau dua orang yang dekat hubungannya.
Karenanya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ِ مَلْ يَُر لِْل ُمتَ َحابَّنْي ِ ِمثْ ُل النِّ َك
اح
“Tidak terlihat hubungan yang demikian dekat di antara dua orang yang saling mencintai
yang bisa menyamai hubungan yang terjalin karena pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no.
1848, hadits ini dikuatkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dengan jalan yang
lain, lihat Ash-Shahihah no. 624)
6. Dengan terjalinnya hubungan pernikahan, akan berkumpul dua insan guna bersama
membina rumah tangga dan keluarga, di mana keluarga merupakan inti tegaknya
masyarakat dan kebaikan bagi masyarakat. Si suami menjaga, mengarahkan dan
membimbing istri serta anak-anaknya, dan ia bekerja untuk menafkahi mereka. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ض َومِبَا أَْن َف ُقوا ِم ْن أ َْم َواهِلِ ْم
ٍ ض ُه ْم َعلَى َب ْع
َ َّل اهللُ َب ْع ال َق َّوامو َن علَى الن ِ مِب
َ ِّساء َا فَض
َ َ ُ ُ الر َج ِّ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita dikarenakan Allah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) di atas sebagain yang lain (wanita) dan juga karena kaum
laki-laki telah menginfakkan sebagian dari harta-harta mereka.” (An-Nisa`: 34)
F. KHITBAH
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-
Qur’an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di
antaranya adalah:1. Khitbah (Peminangan) Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi
seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang
dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang
wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َحىَّت َيْتُر َك،الر ُج ُل َعلَى ِخطْبَ ِة أ َِخْي ِه
َّ ب ٍ ض ُك ْم َعلَى َبْي ِع َب ْع
َ ُ َوالَ خَي ْط،ض
ِ
ُ صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أَ ْن يَبِْي َع َب ْع
َ ُّ َن َهى النَّيِب
ِ ِ
بُ ب َقْبلَهُ أ َْو يَأْ َذ َن لَهُ اخْلَاط
ُ اخْلَاط.
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar
(untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang
sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat
mendorongnya untuk menikahi wanita itu.Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ فَِإ ِن استَطَاع أَ ْن يْنظُر ِمْنها إِىَل ما ي ْدعوه إِىَل نِ َك،إِذَا خطَب أَح ُد ُكم الْمرأََة
َفْلَي ْف َع ْل،اح َها ُ ُْ َ َ َ َ َ َ ْ َْ ُ َ َ َ
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa
yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” Hadits shahih: Diriwayatkan
oleh Ahmad (III/334, 360), Abu Dawud (no. 2082) dan al-Hakim (II/165), dari Shahabat Jabir
bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma
Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu pernah meminang seorang wanita, maka Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
ْ فَِإنَّهُ أ،أُنْظُْر إِلَْي َها
َحَرى أَ ْن يُ ْؤ َد َم َبْينَ ُك َما
“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara
kalian berdua.” adits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1087), an-Nasa-i (VI/69-70),
ad-Darimi (II/134) dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih
Sunan Ibni Majah (no. 1511).
Imam at-Tirmidzi rahimahullaah berkata, “Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini
bahwa menurut mereka tidak mengapa melihat wanita yang dipinang selagi tidak melihat apa
yang diharamkan darinya.”Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di
kalangan para ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh dilihat. Ada
yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat rambut,
betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Melihat apa yang
mendorongnya untuk menikahinya.” Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah melihat
muka dan kedua tangannya. Wallaahu a’lam.
SHALAT ISTOKHARAH
Shalat Istikharah Apabila seorang laki-laki telah nazhar (melihat) wanita yang dipinang serta
wanita pun sudah melihat laki-laki yang meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah,
maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk melakukan shalat istikharah dan berdo’a
seusai shalat. Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan kecocokan, serta memohon
kepada-Nya agar diberikan pilihan yang baik baginya. [7] Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir
bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengajari kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat
Al-Qur’an.” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian
mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah
(Istikharah) dua raka’at, kemudian membaca do’a:
َّك َت ْق ِد ُر َوالَ أَقْ ِد ُر َوَت ْعلَ ُم َوالَ أ َْعلَ ُم
َ ك الْ َع ِظْي ِم فَِإن
ِ ْ َاَللَّه َّم إِيِّن أَس ت ِخير َك بِعِْل ِم ك وأَس ت ْق ِدر َك بُِق ْدرتِك وأَس أَلُك ِمن ف
َ ضل ْ َ ْ َ َ َ ُ َْ َ َ ُْ َ ْ ُ
ِ
اش ْي َو َعاقبَ ِة أ َْم ِر ْي ِ
ِ َن ه َذا اْألَم ر (ويس ِّمى حاجتَ ه) خي ر يِل يِف دييِن ومع ِ ت َعالَّم الْغُي و
َ َ َ ْ ْ ْ ْ ٌ َْ ُ َ َ َ ُ َ َ ْ َ َّ ت َت ْعلَ ُم أ َ اَللَّ ُه َّم إِ ْن ُكْن.ب ْ ُ ُ َ َْوأَن
يِل يِف ِ يِن ِ ِ ِ ِِ ِ ِِ
ْ َْن َه َذا اْأل َْم َر َش ٌّر ْ ْ دي َ َوإِ ْن ُكْن، َعاجل ه َوآجل ه) فَاقْ ُد ْرهُ يِل ْ َويَ ِّس ْرهُ يِل ْ مُثَّ بَ ا ِر ْك يِل ْ فْي ه:(أ َْو قَ َال
َّ ت َت ْعلَ ُم أ
ِ يِن ِِ ِ ِِ ِ ِِ ِ
ْ ث َك ا َن مُثَّ أ َْرض ُ اص ِرفْيِن ْ َعْن هُ َواقْ ُد ْر يِل َ اخْلَْي َر َحْي ْ َ يِف ْ َعاجل ه َوآجل ه) ف:َو َم َعاش ْي َو َعاقبَة أ َْم ِر ْي (أ َْو قَ َال
ْ اص ِرفْهُ َعيِّن َو
بِِه
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku
memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu.
Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau
Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan
Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa
urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam
agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘..di dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah
jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa
persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya
kepada diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘…di dunia atau akhirat’) maka
singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah
kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu
kepadaku.’”
Dari kebebasan pilihan di atas terdapat larangan untuk melakukan hubungan perkawinan, baik
larangan yang bersifat mutlak atau larangan sementera karena keadaan tertentu:
a) Larangan Nasab, yaitu perkawinan dengan
1) Ibu dan seterusnya keatas
2) Anak perempuan dan seterusnya kebawah
3) Saudara perempuan sekandung seayah dan seibu
4) Bibi (saudara ibu baik sekandung atau perantaraan ayah atau ibu)
5) Bibi (saudara ayah baik sekandung atau perantaraan ayah atau ibu)
6) Anak perempuan dari saudara laki-laki terus kebawah
7) Anak perempuan dari saudara perempuan terus kebawah
b) Larangan karena sesusuan, yaitu perkawinan dengan
1) Ibu yang menyusui
2) Saudara perempuan sesusuan/yang mempunyai hubungan sesusuan
c) Larangan karena suatu perkawinan, yaitu perkawinan dengan
1) Ibu istri (mertua) dan seterusnya ke atas baik ibu dari keturunan maupun sesusuan
2) Anak tiri (anak istri yang dikawin dengan suami lain) jika telah campur (jima’) dengan
ibunya
3) Istri ayah dan seterusnya
4) Wanita-wanita yang telah dikawini ayah, kakek dan seterusnya ke atas
d) Larangan untuk sementara
1) Pertalian nikah yaitu perempuan yang masih berada dalam perkawinan orang lain
kecuali sudah dicerai
2) Talak bain kubra, yaitu perempuan yang ditalak dengan talak tiga, maka haram
dinikahi bekas suaminya kecuali ada huhallil (telah dinikahi orang lain dan dicerai)
3) Menghimpun dua perempuan bersaudara dalam satu perkawinan
4) Menghimpun istri lebih dari empat
5) Berlainan agama, kecuali telah masuk Islam
---000---
KEWARISAN DALAM ISLAM
Ilmu mawaris adalah salah satu cabang ilmu yang penting dalam Islam. Ilmu yang menyangkut
pembagian waris ini memberikan ketentuan mengenai pembagian harta waris agar dapat dapat
disalurkan kepada yang berhak menerima sekaligus mencegah kemungkinan terjadinya konflik
dalam keluarga maupun perselisihan dalam pembagian harta warisan tersebut. Dengan ilmu
mawaris ini, harta akan dibagikan secara adil dan tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan
(baca juga keluarga sakinah, mawadah dan warahmah).
Dari Abdullah Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan
ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini
pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih
dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang
dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. ” (HR Daruquthni)
A. PENGERTIAN
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras ()موارث, yang merupakan
mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa
adalah; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada
kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal
secara syar’i.
Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik
dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan
ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.
Sedangkan istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-siapa ahli
waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian
tertentu yang diterimanya.
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan warisan sebagai berikut; soal apakah dan
bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang oleh ulama
faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya.
Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian harta warisan telah ditentukan
siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak, dan jumlah (kadarnya)
yang akan diterima oleh ahli waris telah ditentukan
B. DALIL PERSYARIATANNYA
Hukum kewarisan bersumber pada al-Quran dan al-Hadis yang menjelaskan ketentuan hukum
kewarisan.
1. Al-Quran
a. Surat an-Nisa’/4 ayat 7 :
ٞ ص
يب ِ َيب ِّم َّما تَ َركَ ۡٱل ٰ َولِدَا ِن َوٱأۡل َ ۡق َربُونَ َولِلنِّ َسٓا ِء ن
ٞ صِ َيب ِّم َّما تَ َركَ ۡٱل ٰ َولِدَا ِن َوٱأۡل َ ۡق َربُونَ َولِلنِّ َسٓا ِء ن
ٞ صِ َلِّلرِّ َجا ِل ن
ٗ ك ۡٱل ٰ َولِدَا ِن َوٱأۡل َ ۡق َربُونَ َّم ۡفر
\ُوضا َ ِّم َّما تَ َر
Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit maupun
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An-Nisa’ : 7).
Menurut ayat kewarisan tersebut baik laki-laki maupun perempuan berhak mewarisi harta
yang ditinggalkan ibu-bapa maupun kerabatnya. Hal tersebut menghapuskan tradisi yang
berlaku pada masa jahiliyah, yang berhak menerima warisan hanya laki-laki yang dewasa
saja.
b. Surat al-Ahzab/33 ayat 6 :
2. ASAS BILATERAL
1) Asas bilateral dalam kewarisan Islam, berarti bahwa seseorang menerima warisan
dari kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat garis keturunan laki-laki
maupun perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat an-Nisa’ ayat 7.
2) Amir syarifuddin menyatakan, bahwa seorang laki-laki berhak menerima warisan
dari pihak ayahnya juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak
mendapat warisan dari kedua pihak orang tuanya.
3) Demikian pula dapat dilihat dari surat an-nisa’ ayat 12, bahwa baik duda maupun
janda saling mewarisi, saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-laki dan saudara
perempuannya. Kemudian sebagaimana termuat dalam surat an-Nisa’ ayat 33,
menurut Hazairin bahwa, cucu baik laki-laki maupun perempuan mewarisi
menggantikan ibu atau bapaknya.
3. ASAS INDIVIDUAL
Asas individual artinya ialah, dalam system hukum kewarisan Islam, harta peninggalan
yang ditinggalkan dibagi secara individual secara pribadi langsung kepada masing-
masing. Asas individual dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat pada surat an-nisa’
ayat 11, yaitu ;
a) Bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian anak perempuan
b) Bila anak perempuan itu dua orang atau lebih baginya dua pertiga dari harta
peninggalan
c) Dan jika perempuan itu hanya seorang saja maka baginya seperdua harta
peninggalan.
Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan
sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan manjalankan
kewajiban, yang dalam istilah ushul fiqih disebut “ahliyat al-wujub”. Akan tetapi
berlaku pula ketentuan lain yaitu kecakapan untuk bertindak yang dalam ushul fiqih
disebut “ahliyatul ada”. Dalam artian pembagian harta tersebut diberikan kepada
seseorang secara individual, dengan catatan adanya kecakapan orang tersebut.
3. BERLAINAN AGAMA
Terhadap orang yang berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam menjadi
penghalang mewarisi. Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta
peninggalan orang yang beragama non Islam.
Adapun dasar hukumnya adalah hadis rasulullah SAW. : Orang Islam tidak
mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.
Kemudian hadis riwayat Ashab Al-Sunan (Imam Abu daud, Al-Tirmizi, Al-Nasai,
dan Ibnu majah) :
Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda. Dalam
hal ini nabi Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman beliau,
Abu Thalib, orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW. yang
meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan
kepada anak-anaknya yang masih kafir, yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan
terhadap anak-anaknya yang sudah masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak diberi
bagian.
Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua yaitu : Ashhabul furudh dan Ashobah.
1. Ashabul furudh yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari
a. Yang dapat bagian ½ harta.
1) Anak perempuan kalau sendiri
2) Cucu perempuan kalau sendiri
3) Saudara perempuan kandung kalau sendiri
4) Saudara perempuan seayah kalau sendiri
5) Suami
b. Yang mendapat bagian ¼ harta
1) Suami dengan anak atau cucu
2) Isteri atau beberapa kalau tidak ada (anak atau cucu)
c. Yang mendapat 1/8
Isteri atau beberapa isteri dengan anak atau cucu.
d. Yang mendapat 2/3
1) dua anak perempuan atau lebih
2) dua cucu perempuan atau lebih
3) dua saudara perempuan kandung atau lebih
4) dua saudara perempuan seayah atau lebih
e. Yang mendapat 1/3
1) Ibu jika tidak ada anak, cucu dari grs anak laki-laki, dua saudara kandung/seayah
atau seibu.
2) Dua atau lebih anak ibu baik laki-laki atau perempuan
f. Yang mendapat 1/6
1) Ibu bersama anak lk, cucu lk atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau
perempuan seibu.
2) Nenek garis ibu jika tidak ada ibu dan terus keatas
3) Nenek garis ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas
4) Satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan
kandung
5) Satu atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan
kandung.
6) Ayah bersama anak lk atau cucu lk
7) Kakek jika tidak ada ayah
8) Saudara seibu satu orang, baik laki-laki atau perempuan.
2. Ahli waris ashobah yaitu para ahli waris tidak mendapat bagian tertentu tetapi mereka dapat
menghabiskan bagian sisa ashhabul furud. Ashobah terbagi tiga jenis yaitu ashabah binafsihi,
ashobah bighairi dan ashobah menghabiskan bagian tertentu
a. Ashobah binafsihi adalah yang ashobah dengan sendirinya. Tertib ashobah binafsihi
sebagai berikut:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah
3) Ayah
4) Kakek dari garis ayah keatas
5) Saudara laki-laki kandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung sampai kebawah
8) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah sampai kebawah
9) Paman kandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki paman kandung sampai kebawah
12) Anak laki-laki paman seayah sampai kebawah
13) Laki-laki yang memerdekakan yang meninggal
b. Ashobah dengan dengan saudaranya
1) Anak perempuan bersama anak laki-laki atau cucu laki.
2) Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
3) Saudara perempkuan kandung bersama saudara laki-laki kandung atau saudara laki-
laki seayah.
4) Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
c. Menghabiskan bagian tertentu
1) Anak perempuan kandung satu orang bersama cucu perempuan satu atau lebih (2/3).
2) Saudara perempuan kandung bersama saudara perempuan seayah (2/3)
---000---