Dewi susilowati
Dheo rizky pratama
M. aidil vikri
Venni
Melisa damayanti
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Makalah ini
dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Harapan kami semoga Makalah
ini dapat bermanfaat, dan semoga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
Makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi.
Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain
berkat bantuan, dorongan dan bimbingan yang diberikan, sehingga kendala-kendala
yang saya hadapi teratasi.
KELOMPOK
BAB I
PENDAHULUAN
Tari Bedhaya Ketawang adalah sebuah tarian sakral yang menceritakan kisah
asmara Panembahan Senopati (Mataram) dengan ratu Kencanasari (penguasa laut
kidul), biasanya dipertunjukan hanya pada saat peringatan kenaikan tahta raja, dan
biasanya hanya dinikmati oleh kalangan abdi dalam saja.
Banyak hal yang menarik untuk diamati dalam tarian sakral ini, sejarahnya yang
menarik, fungsi tujuannya yang kuat, serta konten yang terkandung di dalamnya. Ada
sebuah pepatah yang menyebutkan bahwa “tak kenal maka tak sayang” adalah
benar apabila kita ingin melestarikan sebuah warisan budaya maka kita harus tahu
setidaknya makna yang terkandung dalam budaya tersebut.
Maka dalam makalah ini kami mengambil sudut pandang “makna simbolik”
agar Bedhaya Ketawang ini bisa kita fahami secara mendalam.
1.3 Tujuan
PEMBAHASAN
Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian sakral yang tertua (Nusjirwan, 1967:
31) Tari Bedhaya Ketawang merupakan pusaka kraton Kasunanan yang konon
dicipta oleh Sultan Agung (Soedarsono, 1991: 37-38). Pertunjukan Bedhaya
Ketawang diselenggarakan pada upacara Penobatan raja atau pada saat
Tingalan Jumenengan Dalem (ulang tahun penobatan raja). Pada saat ini kraton
Surakarta menyelenggarakan pertunjukan Bedhaya Ketawang dalam setahun
sekali, yaitu pada hari kedua bulan Ruwah. Tanggal ini merupakan tanggal ketika
Susuhunan Paku Buwana XII naik tahta.
Upacara Tingalan Jumenengan Dalem ini sifatnya agak tertutup dan pribadi.
Tempat pelaksanaannya di pendapa Sasanasewaka dan para putri duduk di
dalam Prabasuyasa. Berhubung sifatnya yang pribadi itu, maka sesudah upacara
resmi berakhir residen dan para tamu undangan lainnya segera meninggalkan
tempat pasamuan, sehingga tarian Bedhaya Ketawang itu hanya disaksikan oleh
Sunan bersama keluarga, kerabat, dan para abda dalem saja.
Tari Bedhaya Ketawang adalah salah satu tari putri gaya Surakarta yang
ditarikan oleh sembilan penari. Masing-masing penari mempunyai jabatan. Yaitu :
batak, gulu, dhadha, buncit, apit ngarep, apit mburi, apit meneng, endhel ajeg
dan endhel weton (babagan hawa sanga atau sembilan nafsu manusia).
Latihannya pun pada hari tertentu. Yaitu hari Selasa Kliwon (sesuai penanggalan
Jawa). Setiap latihan, harus ada penari cadangan. Karena saat hari H, jika ada
penari yang haid tidak diperkenankan menari. Sehingga penari cadangan tersebut
bisa menggantikannya.
Selain itu Bedhaya Ketawang juga merupakan simbol kesuburan. Hal itu terlihat
pada kostum dodot ageng warna hijau yang merupakan warna favorit Kanjeng
Ratu Kidul dengan motif alas-alasan. Tari Bedhaya Ketawang menceritakan
percintaan antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Jadi, Tari Bedhaya Ketawang (Bahasa Jawa: Tari Bedhoyo Ketawang) adalah
sebuah tarian kebesaran yang hanya dipertunjukkan ketika penobatan serta
Tingalandalem Jumenengan Sunan Surakarta (upacara peringatan kenaikan tahta
raja). Nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata bedhaya yang berarti
penari wanita di istana. Sedangkan ketawang berarti langit, identik dengan sesuatu
yang tinggi, keluhuran, dan kemuliaan. Tari Bedhaya Ketawang menjadi tarian
sakral yang suci karena menyangkut Ketuhanan, dimana segala sesuatu tidak akan
terjadi tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh penarinya.
Syarat utama adalah penarinya harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid.
Jika sedang haid maka penari tetap diperbolehkan menari dengan syarat harus
meminta izin kepada Kangjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya caos dhahar di
Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta. Syarat selanjutnya yaitu suci secara
batiniah. Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang
pergelaran. Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon
kabarnya Kangjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang
gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.
1. Penari pertama, disebut Batak yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa.
2. Penari ke dua, disebut Endhel Ajeg yang disimbolkan sebagai keinginan hati
atau nafsu.
3. Penari ke tiga, disebut Endhel Weton yang disimbolkan sebagai tungkai kanan.
4. Penari ke empat, disebut Apit Ngarep yang disimbolkan sebagai lengan kanan.
5. Penari ke lima, disebut Apit Mburi yang disimbolkan sebagai lengan kiri.
6. Penari ke enam, disebut Apit Meneg yang disimbolkan sebagai tungkai kiri.
7. Penari ke tujuh, disebut Gulu yang disimbolkan sebagai badan.
8. Penari ke delapan, disebut Dhada yang disimbolkan sebagai badan.
9. Penari ke Sembilan, disebut Boncit yang disimbolkan sebagai organ seksual.
Penari ke sembilan disini direpresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang
yang merupakan simbol tawang atau langit.
D. Tata busana dan tata rias yang dipakai oleh penari Bedhaya Ketawang serta
makna simbolik yang terkandung
Bentuk-bentuk tersebut dioles dengan lotha yaitu ramuan berwarna hijau yang
dibuat dari campuran malam kote, minyak jarak, dan daun dhandhang gula. Pada
jaman dahulu ramuan tersebut dibuat dari daun yang berbau wangi, disebut daun
dhandhang gendhis, sehingga rias wajah penari tersebut disebut paes dhandhang
gendhis.
Sebagaimana pengantin, maka rambut para penari Bedhaya Ketawang juga
disanggul, yang disebut sebagai sanggul bokor mengkurep. Disebut demikian
karena bentuknya yang menyerupai bokor yang tengkurap. Sanggul ini ditutup
dengan rajutan melati dan dihias dengan bunga tiba dhadha yang dibuat dari
roncean melati berbentuk bulat panjang sampai tengah paha. Keanggunan dan
keagungan tata busana dan rias tersebut ditunjang dengan pemakaian
seperangkat perhiasan yang biasa dikenakan pengantin, yang disebut raja
keputren, meliputi cundhuk jungkat, centhung, subang, 9 buah cundhuk mentul,
garuda mungkur, kalung, kelat bahu, slepe, serta cincin.
Keseluruhan tata busana dan rias pengantin yang dikenakan oleh para penari
Bedhaya Ketawang tersebut seolah mereaktualisasikan perjanjian antara
Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Bahwasanya Kanjeng Ratu
Kidul akan senantiasa menjaga dan melindungi Kerajaan Mataram, salah satunya
dengan ia akan selalu memperbaharui pernikahannya dengan raja – raja
Mataram. Oleh karena itu Sunan biasanya akan mengangkat salah satu penari
Bedhaya Ketawang sebagai selirnya. Hal ini dilakukan untuk mereaktualisasikan
pernikahannya dengan Kanjeng Ratu Kidul yang dipercaya selalu hadir setiap tari
ini dibawakan. Kanjeng Ratu Kidul dipercaya akan masuk ke tubuh salah satu
penari, yang kemudian diangkat sebagai selir oleh raja. Oleh karena itu para
penarinya haruslah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dijelaskan sebelumnya.