Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH DISKUSI SENI BUDAYA

“TARI BEDHAYA KETAWANG”


Kelompok :

 Dewi susilowati
 Dheo rizky pratama
 M. aidil vikri
 Venni
 Melisa damayanti

XII IPA PLUS


SMA NURUL IMAN
PALEMBANG
2015/2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Makalah ini
dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Harapan kami semoga Makalah
ini dapat bermanfaat, dan semoga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
Makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi.
Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain
berkat bantuan, dorongan dan bimbingan yang diberikan, sehingga kendala-kendala
yang saya hadapi teratasi.

Palembang, 06 November 2015

KELOMPOK
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tari Bedhaya Ketawang adalah sebuah tarian sakral yang menceritakan kisah
asmara Panembahan Senopati (Mataram) dengan ratu Kencanasari (penguasa laut
kidul), biasanya dipertunjukan hanya pada saat peringatan kenaikan tahta raja, dan
biasanya hanya dinikmati oleh kalangan abdi dalam saja.

Banyak hal yang menarik untuk diamati dalam tarian sakral ini, sejarahnya yang
menarik, fungsi tujuannya yang kuat, serta konten yang terkandung di dalamnya. Ada
sebuah pepatah yang menyebutkan bahwa “tak kenal maka tak sayang” adalah
benar apabila kita ingin melestarikan sebuah warisan budaya maka kita harus tahu
setidaknya makna yang terkandung dalam budaya tersebut.

Maka dalam makalah ini kami mengambil sudut pandang “makna simbolik”
agar Bedhaya Ketawang ini bisa kita fahami secara mendalam.

1.2 Rumusan Masalah

A. Apa itu tari Bedhaya Ketawang?


B. Bagaimana sejarah terciptanya tari Bedhaya Ketawang?
C. Berapa jumlah penari dalam tari Bedhaya Ketawang? Dan apa makna
simbolik yang terkandung dalam jumlah penari tersebut?
D. Bagaimana tata busana dan tat arias yang dipakai seorang penari
Bedhaya Ketawang? Dan apa makna simboliknya?
E. Apa macam – macam gerakan dalam tari Bedhaya Ketawang?

1.3 Tujuan

A. Mengetahui info seputar tari Bedhaya Ketawang


B. Mengetahui sejarah terciptanya tari Bedhaya Ketawang
C. Mengetahui jumlah penari dalam tari Bedhaya Ketawang dan makna
simbolik yang terkandung dalam jumlah penari tersebut
D. Mengetahui tata busana dan tat arias yang dipakai seorang penari
Bedhaya Ketawang dan makna simboliknya
E. Mengetahui macam – macam gerakan dalam tari Bedhaya Ketawang?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sekilas tentang tari Bedhaya Ketawang

Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian sakral yang tertua (Nusjirwan, 1967:
31) Tari Bedhaya Ketawang merupakan pusaka kraton Kasunanan yang konon
dicipta oleh Sultan Agung (Soedarsono, 1991: 37-38). Pertunjukan Bedhaya
Ketawang diselenggarakan pada upacara Penobatan raja atau pada saat
Tingalan Jumenengan Dalem (ulang tahun penobatan raja). Pada saat ini kraton
Surakarta menyelenggarakan pertunjukan Bedhaya Ketawang dalam setahun
sekali, yaitu pada hari kedua bulan Ruwah. Tanggal ini merupakan tanggal ketika
Susuhunan Paku Buwana XII naik tahta.
Upacara Tingalan Jumenengan Dalem ini sifatnya agak tertutup dan pribadi.
Tempat pelaksanaannya di pendapa Sasanasewaka dan para putri duduk di
dalam Prabasuyasa. Berhubung sifatnya yang pribadi itu, maka sesudah upacara
resmi berakhir residen dan para tamu undangan lainnya segera meninggalkan
tempat pasamuan, sehingga tarian Bedhaya Ketawang itu hanya disaksikan oleh
Sunan bersama keluarga, kerabat, dan para abda dalem saja.
Tari Bedhaya Ketawang adalah salah satu tari putri gaya Surakarta yang
ditarikan oleh sembilan penari. Masing-masing penari mempunyai jabatan. Yaitu :
batak, gulu, dhadha, buncit, apit ngarep, apit mburi, apit meneng, endhel ajeg
dan endhel weton (babagan hawa sanga atau sembilan nafsu manusia).
Latihannya pun pada hari tertentu. Yaitu hari Selasa Kliwon (sesuai penanggalan
Jawa). Setiap latihan, harus ada penari cadangan. Karena saat hari H, jika ada
penari yang haid tidak diperkenankan menari. Sehingga penari cadangan tersebut
bisa menggantikannya.
Selain itu Bedhaya Ketawang juga merupakan simbol kesuburan. Hal itu terlihat
pada kostum dodot ageng warna hijau yang merupakan warna favorit Kanjeng
Ratu Kidul dengan motif alas-alasan. Tari Bedhaya Ketawang menceritakan
percintaan antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Jadi, Tari Bedhaya Ketawang (Bahasa Jawa: Tari Bedhoyo Ketawang) adalah
sebuah tarian kebesaran yang hanya dipertunjukkan ketika penobatan serta
Tingalandalem Jumenengan Sunan Surakarta (upacara peringatan kenaikan tahta
raja). Nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata bedhaya yang berarti
penari wanita di istana. Sedangkan ketawang berarti langit, identik dengan sesuatu
yang tinggi, keluhuran, dan kemuliaan. Tari Bedhaya Ketawang menjadi tarian
sakral yang suci karena menyangkut Ketuhanan, dimana segala sesuatu tidak akan
terjadi tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

B. Sejarah terciptanya tari Bedhaya Ketawang

Ada beberapa legenda yang mengungkapkan pembentukan tarian ini. Suatu


ketika, Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memerintah Kesultanan Mataram dari
tahun 1613-1645, sedang melakukan laku ritual semedi. Konon, dalam keheningan
sang raja mendengar suara tetembangan (senandung) dari arah tawang atau
langit. Sultan Agung merasa terkesima dengan senandung tersebut. Begitu selesai
bertapa, Sultan Agung memanggil empat orang pengiringnya yaitu Panembahan
Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-
Alap. Sultan Agung mengutarakan kesaksian batinnya pada mereka.
Karena terilhami oleh pengalaman gaib yang ia alami, Sultan Agung sendiri
menciptakan sebuah tarian yang kemudian diberi nama Bedhaya Ketawang.
Menurut versi yang lain, dikisahkan pula bahwa dalam pertapaanya, Panembahan
Senapati bertemu dan bercinta dengan Ratu Kencanasari atau yang dikenal juga
dengan sebutan Kangjeng Ratu Kidul yang kemudian menjadi cikal bakal tarian ini.

Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Pakubuwana III bersama


Hamengkubuwana I melakukan pembagian harta warisan Kesultanan Mataram,
yang sebagian menjadi milik Kasunanan Surakarta dan sebagian lainnya menjadi
milik Kesultanan Yogyakarta. Pada akhirnya Tari Bedhaya Ketawang menjadi milik
istana Surakarta, dan dalam perkembangannya sampai sekarang ini Tari Bedhaya
Ketawang masih tetap dipertunjukkan saat penobatan dan upacara peringatan
kenaikan tahta Sunan Surakarta.

C. Jumlah penari dan makna simboliknya dalam tari Bedhaya Ketawang

Menurut kepercayaan masyarakat, setiap Tari Bedhaya Ketawang ini


dipertunjukkan maka dipercaya Kangjeng Ratu Kidul akan hadir dalam upacara
dan ikut menari sebagai penari ke sepuluh. Tari Bedhaya Ketawang ini dibawakan
oleh sembilan penari. Dalam mitologi Jawa, sembilan penari Bedhaya Ketawang
menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan dewa
yang disebut dengan Nawasanga. Versi lain menyebutkan bahwa jumlah penari
yang sembilan orang merupakan lambang dari Sembilan Wali atau Wali Songo.

Sebagai tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh penarinya.
Syarat utama adalah penarinya harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid.
Jika sedang haid maka penari tetap diperbolehkan menari dengan syarat harus
meminta izin kepada Kangjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya caos dhahar di
Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta. Syarat selanjutnya yaitu suci secara
batiniah. Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang
pergelaran. Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon
kabarnya Kangjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang
gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.

Sembilan penari Bedhaya Ketawang memiliki nama dan fungsi masing-masing.


Tiap penari tersebut memiliki simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya, yang
terdiri atas :

1. Penari pertama, disebut Batak yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa.
2. Penari ke dua, disebut Endhel Ajeg yang disimbolkan sebagai keinginan hati
atau nafsu.
3. Penari ke tiga, disebut Endhel Weton yang disimbolkan sebagai tungkai kanan.
4. Penari ke empat, disebut Apit Ngarep yang disimbolkan sebagai lengan kanan.
5. Penari ke lima, disebut Apit Mburi yang disimbolkan sebagai lengan kiri.
6. Penari ke enam, disebut Apit Meneg yang disimbolkan sebagai tungkai kiri.
7. Penari ke tujuh, disebut Gulu yang disimbolkan sebagai badan.
8. Penari ke delapan, disebut Dhada yang disimbolkan sebagai badan.
9. Penari ke Sembilan, disebut Boncit yang disimbolkan sebagai organ seksual.
Penari ke sembilan disini direpresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang
yang merupakan simbol tawang atau langit.
D. Tata busana dan tata rias yang dipakai oleh penari Bedhaya Ketawang serta
makna simbolik yang terkandung

Sajian tari Bedhaya Ketawang selain menampilkan keindahan susunan tarinya


diperindah lagi oleh tata busana dan tata rias sebagai salah satu medium
bantunya. Bentuk busana dodot bangun tulak serta rias wajah dengan paes (rias
pengantin Jawa putri) adalah salah satu cirri dari Bedhaya Ketawang.
Tata busana dan tata rias yang dikenakan penari dalam pagelaran tari
Bedhaya Ketawang adalah layaknya pengantin putri Kraton Surakarta. Hal tersebut
dikarenakan tari Bedhaya Ketawang merupakan reaktualisasi pernikahan
Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul, sehingga busana yang dikenakan
haruslah busana pengantin, yang lazim disebut sebagai Basahan. Busana tersebut
meliputi kain dodot, samparan, serta sondher. Dodot merupakan kain yang memiliki
ukuran 2 atau 2,5 kali kain panjang biasa, hingga panjang dodot bisa mencapai
3,75 hingga 4 meter. Pada masa lalu, kain ini hanya dikenakan oleh raja dan
keluarga serta kaum ningrat untuk upacara tertentu, sepasang pengantin keraton,
serta penari Bedhaya dan Serimpi.
Sebagaimana pengantin, maka dodot yang digunakan bermotif alas-alasan.
Tarian ini memiliki dua penari utama, yaitu batak dan endhel ajeg yang dapat
dibedakan dari warna dodot mereka. Meskipun memiliki motif yang sama yaitu
alas-alasan, tetapi warnanya berbeda. Batak dan endhel ajeg mengenakan dodot
alas-alasan berwarna hijau gelap yang disebut dodot gadung mlathi, sedangkan 7
penari lainnya mengenakan dodot alas-alasan berwarna biru gelap yang disebut
dodot bangun tulak.
Kata bangun tulak berasal dari kata bango dan tulak. Bango merupakan nama
sejenis burung yang dipercaya memiliki umur yang sangat panjang. Sementara itu
tulak berarti mencegah bala atau kejahatan. Versi lain kain alas-alasan adalah
gadhung mlathi yang memiliki lapisan bawah berwarna hijau sesuai dengan makna
gadhung dan lapisan tengah berwarna putih sebagaimana warna bunga melati.
Kain tersebut dikenakan sebagai bentuk penghormatan pada Kanjeng Ratu Kidul,
karena dipercaya beliau sangat menyukai warna hijau. Selain itu hijau merupakan
simbol kemakmuran, ketentraman, dan rasa ketenangan. Lembaran kain dodot
tersebut dihiasi dengan motif alas-alasan, yang berarti rimba raya. Penamaan ini
berkaitan dengan elemen-elemen yang membentuk motif tersebut, yaitu
penggambaran seisi belantara yang meliputi aneka jenis hewan dan tumbuhan,
yaitu:

a. Ragam hias garuda


Dalam batik motif semen, motif garuda merupakan motif yang paling tinggi
kedudukannya di antara motif lain. Garuda dipercaya sebagai burung dewa,
kendaraan Wisnu, dan sekaligus sebagai simbol matahari. Dalam konsep dewa
raja, raja diposisikan sebagai titisan Wisnu (dewa pemelihara), sehingga
kendaraannya disejajarkan dengan kendaraan Wisnu. Simbol garuda dapat
meninggikan kedudukan raja yang berkuasa.

b. Ragam hias kura-kura


Kura-kura dipercaya sebagai lambang dunia bawah atau lambang bumi.
Dalam agama Hindu, kura-kura merupakan penjelmaan Wisnu yang diharapkan
akan dapat menjalankan tugasnya menjaga bumi bila bersatu dengan istrinya
yaitu Dewi Sri atau Dewi Kesuburan.
c. Ragam hias ular
Ular dianggap sebagai simbol perempuan dan merupakan bagian dari konsep
kesuburan, hujan, samudera, dan bulan. Sementara itu naga sebagai ular dewa
merupakan lambang air dan bumi. Watak tersebut dilambangkan sebagai Dewi Sri.
Dalam pengertian simbol, naga melambangkan dunia bawah, air, perempuan,
bumi, dan yoni.

d. Ragam hias burung


Burung merupakan lambang dunia atas yang menggambarkan elemen hidup
dari udara (angin) dan melambangkan watak luhur. Kadangkala burung menjadi
lambang nenek moyang yang telah meninggal atau dipakai sebagai kendaraan
roh menuju Tuhannya. Penggunaan ragam hias burung melambangkan bahwa
manusia pada akhirnya akan kembali ke asalnya, yaitu kepada Sang Pencipta.

e. Ragam hias Meru


Motif meru merupakan simbol gunung. Menurut paham Indonesia kuno, gunung
melambangkan unsur bumi atau tanah. Pada kebudayaan Jawa Hindu, puncak
gunung yang tinggi merupakan tempat bersemayam para dewa. Sementara itu
pada pola batik, ragam hias meru menyimbolkan tanah atau bumi yang
menggambarkan proses hidup tumbuh di atas tanah.

f. Ragam hias Pohon Hayat


Melambangkan kesatuan dan ke-Esaan. Bahwa Tuhan yang menciptakan alam
semesta

g. Ragam hias Ayam Jantan


Di Indonesia dipandang sebagai symbol keberanian dan tanggung jawab

h. Ragam hias kijang


Kijang adalah lambang kelincahan dan kebijaksanaan yang menyimbolkan
kelincahan dalam berfikir dan mengambil tindakan serta keputusan.

i. Ragam hias gajah


Merupakan lambang kendaraan raja yang melambangkan kedudukan luhur,
mengandung arti sesuatu yang paling tinggi, paling besar, dan paling baik agar
menjadi manusia sempurna.

j. Ragam hias burung bangau


Burung bangau dipercaya memiliki umur yang sangat panjang bahkan dapat
mencapai ratusan tahun. Ia dianggap sebagai lambang penolakan keadaan yang
tidak baik, sehingga diharapkan dapat menghindari atau menjauhi bahaya
apapun, supaya pada akhirnya dapat meraih keselamatan dan berumur panjang.

k. Ragam hias harimau


Melambangkan keindahan yang disertai wibawa dan tangguh dalam
menghadapi lawan

l. Ragam hias motif kawung


Motif ini tersusun atas bentuk elips, yang dapat diinterpretasikan sebagai
gambar bunga lotus (teratai) dengan 4 lembar daun bunganya yang sedang
mekar. Bunga ini melambangkan umur panjang dan kesucian. Dewa juga
dilambangkan dengan bunga teratai.
Berdasarkan hal tersebut, maka motif kawung menyimbolkan kedudukan raja
sebagai pusat kekuasaan mikrokosmos sejajar dengan dewa sebagai pusat
kekuasaan makrokosmos.

Pada hakikatnya penggunaan kain dodot dengan motif alas-alasan tersebut


memiliki harapan yang baik sekaligus sebagai penolak bala. Hal ini sesuai dengan
ornamen-ornamen yang digambarkan pada lembaran kain tersebut.
Namun sebelum dodot dipakai, terlebih dahulu dikenakan samparan, yaitu kain
panjang yang dikenakan sebagai pakaian dalam bagian bawah. Kain tersebut
berukuran 2,5 kacu atau 2,5 kali lebar kain yang dikenakan dengan cara melilitkan
kain dari kiri ke kanan. Sisa kain yang biasanya digunakan sebagai wiron diurai ke
bawah, di antara kedua kaki mengarah ke belakang sehingga membentuk
semacam ekor yang disebut seredan. Pemakaian kain jenis ini disebut samparan.
Dalam suatu pagelaran, kain yang digunakan sebagai samparan adalah cindhe
dengan motif Cakaran berwarna merah.
Selanjutnya dikenakan sondher, yaitu kain panjang menyerupai selendang yang
dikenakan untuk menari. Kain tersebut biasanya memiliki panjang 3 meter dan lebar
50 cm, yang disebut sampur atau udhet. Dalam suatu pagelaran, sondher yang
dikenakan bermotif cindhe sekar warna merah, ujungnya berhias gombyok atau
rumbai warna emas.
Dari uraian tersebut kita mengetahui bahwa para penari Bedhaya Ketawang
mengenakan beberapa helai kain yang dalam teknik pemakaiannya tidak
memakai proses jahit dan hanya dililitkan, diselipkan diantara lapisan-lapisan kain
lainnya. Oleh karena itu, busana tersebut rentan untuk rusak tatanannya selama
menari, baik karena terinjak atau karena sebab lain. Untuk mengantisipasi
kemungkinan tersebut, maka selama menari terdapat dua orang abdi dalem yang
bertugas mendampingi untuk membenahi busana para penari apabila busana
tersebut rusak ketika sedang menari. Ada suatu keunikan disini, karena selama
membetulkan busana tersebut, para penari tetap menari dan abdi dalem lah yang
menyesuaikan dengan gerakan penari supaya sang penari tetap konsentrasi
menari dengan baik karena sedang membawakan tari pusaka.
Untuk mendukung tata busana penari Bedhaya Ketawang, maka wajah para
penari tersebut juga dirias selayaknya pengantin. Untuk itu pada bagian dahi
dilukiskan beberapa bentuk, yaitu:

1. gajahan, bentuk seperti setengah bulatan telur bebek, letak di tengah-


tengah dahi ± 3 cm di atas kedua pangkal alis dengan lebar pada pangkal dahi ±
4 cm. apabila ditarik garis lurus pada ujungnya secara vertical tepat pada ujung
hidung. Merupakan lambang kendaraan raja yang menyimbolkan kedudukan
luhur, sesuatu yang paling tinggi, paling besar, dan paling baik agar menjadi
manusia sempurna.
2. pengapit, berbentuk ngudup kanthil yaitu seperti kuncup bunga kanthil.
Bentuk ini terletak pada dahi, mengapit di kanan kiri bentuk gajahan. Kedua ujung
pengapit jika ditarik dengan garis lurus akan bertemu di suatu titik antara kedua
pangkal alis. Titik yang merupakan pusat dari semua unsur bentuk paes dan disebut
cihna. Lebar pengapit pada pangkal dahi ± 2 cm. Merupakan pendamping kiri-
kanan, yang menyimbolkan bahwa meskipun sudah menjadi manusia sempurna
harus selalu waspada terhadap sifat buruk pendamping kiri. Pendamping kanan
sebagai pemomong akan selalu setia mengingatkan melalui suara hati agar tetap
kuat dan teguh imannya.
3. penitis berbentuk seperti setengah bulatan telur ayam pada bagian ujung.
Bentuk ini mempunyai ukuran lebih kecil dari pada gajahan. Ada dua penitis seperti
halnya pengapit, bentuk ini terletak pada bagian luar dari pengapit kanan dan
pengapit kiri. Ujung penitis menghadap ke ujung alis. Merupakan symbol kearifan
dan harapan agar mempunyai tujuan yang tepat.
4. godheg berbentuk seperti kudhup atau kuncup bunga turi dengan ukuran
mirip dengan pengapit. Bentuk ini berada di dekat telinga kanan dan kiri.
Pembuatan godheg dimulai dari atas telinga turun melengkung sampai di depan
telinga. Melambangkan bahwa manusia harus mengetahui asal usul dari mana ia
datang dan ke mana harus pergi. Manusia diharapkan dapat kembali ke asal
dengan sempurna.
5. alis penari berbentuk menyerupai tanduk kijang bercabang satu atau disebut
menjangan ranggah. Melambangkan bahwa agar dapat mengatasi segala
serangan buruk dari beberapa arah harus selalu waspada dan bijaksana atau
“tanggap ing sasmita”.

Bentuk-bentuk tersebut dioles dengan lotha yaitu ramuan berwarna hijau yang
dibuat dari campuran malam kote, minyak jarak, dan daun dhandhang gula. Pada
jaman dahulu ramuan tersebut dibuat dari daun yang berbau wangi, disebut daun
dhandhang gendhis, sehingga rias wajah penari tersebut disebut paes dhandhang
gendhis.
Sebagaimana pengantin, maka rambut para penari Bedhaya Ketawang juga
disanggul, yang disebut sebagai sanggul bokor mengkurep. Disebut demikian
karena bentuknya yang menyerupai bokor yang tengkurap. Sanggul ini ditutup
dengan rajutan melati dan dihias dengan bunga tiba dhadha yang dibuat dari
roncean melati berbentuk bulat panjang sampai tengah paha. Keanggunan dan
keagungan tata busana dan rias tersebut ditunjang dengan pemakaian
seperangkat perhiasan yang biasa dikenakan pengantin, yang disebut raja
keputren, meliputi cundhuk jungkat, centhung, subang, 9 buah cundhuk mentul,
garuda mungkur, kalung, kelat bahu, slepe, serta cincin.
Keseluruhan tata busana dan rias pengantin yang dikenakan oleh para penari
Bedhaya Ketawang tersebut seolah mereaktualisasikan perjanjian antara
Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Bahwasanya Kanjeng Ratu
Kidul akan senantiasa menjaga dan melindungi Kerajaan Mataram, salah satunya
dengan ia akan selalu memperbaharui pernikahannya dengan raja – raja
Mataram. Oleh karena itu Sunan biasanya akan mengangkat salah satu penari
Bedhaya Ketawang sebagai selirnya. Hal ini dilakukan untuk mereaktualisasikan
pernikahannya dengan Kanjeng Ratu Kidul yang dipercaya selalu hadir setiap tari
ini dibawakan. Kanjeng Ratu Kidul dipercaya akan masuk ke tubuh salah satu
penari, yang kemudian diangkat sebagai selir oleh raja. Oleh karena itu para
penarinya haruslah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

E. Gerakan – gerakan dalam tarian Bedhaya Ketawang

Tari Bedhaya Ketawang memiliki gerakan kapang-kapang dimana tangan


berada disamping dan jari-jarinya membentuk posisi ngiting. Dengan gerakan
gemulai para penari mulai bergerak mengambil posisi sembahan yang
melambangkan manusia harus menghormati Tuhan sebagai Sang Pencipta dan
melakukan sembahan jengkeng kepada Sultan sebagai penguasa keraton, lalu
setelah itu para penari berdiri dan mulai melakukan posisi mendhak dan mulai
ngleyek sambil menari secara pelan dan sambil bergerak melakukan trisik, kengser
sering kali posisi mereka bergantian sesuai gerak dan formasi yang telah ditetapkan
misalnya saja dari formasi rakit awitan berubah menjadi rakit ajeng-ajengan lalu
setelah itu berubah menjadi rakit iring-iringan atau kadang-kadang membentuk
formasi rakit tigo-tigo kadang-kadang mereka melakukan gerak ombak banyu.
Pola lantai yang digunakan pada tari Bedhaya Ketawang seperti gawang
montor mabur, gawang jejer wayang, gawang urut kacang, gawang kalajengking,
gawang perang, dan gawang tiga-tiga. Bentuk sajian tari Bedhaya Ketawang
terdiri dari tiga bagian, yaitu: maju beksan, beksan pokok, dan mundur beksan.
Maju beksan dimulai dari penari berjalan kapang-kapang, yaitu berbari satu per
satu dengan jarak kira-kira satu meter dari Dalem Prabasuyasa menuju Pendapa
Sasana Sewaka kemudian membentuk gawang rakit montor mabur tepat di bawah
lampu robyong besar. Jalan penari menuju pendapa harus sesuai raja (arah jarum
jam), yaitu lewat sebelah kiri tempat duduk raja.
Urutan masuk para penari sebagai berikut: endhel ajeg, batak, endhel weton,
apit ngarep, apit mburi, gulu, apit meneng, dhadha, buncit. Kapang-kapang ini
diiringi dengan suluk Pathetan Pelog Lima Ageng oleh kelompok vokal laki-laki
dengan iringan beberapa instrumen gamelan berupa gender, gambang, rebab,
dan suling. Setelah sampai di hadapan raja tepat di tengah-tengah Pendapa
Sasana Sewaka membentuk gawang rakit montor mabur kemudian menyembah.
Formasi nawagraha, perbintangan kartika : 2 + 5 + 2. Atas irama gamelan para
penari melambangkan peredaran tata tertib kosmis azali yang teratur, kemudian
bagaimana tata tertib tersebut menjadi kacau dan kemudian kembali seperti
semula lagi.
BAB III

GAMBAR TARI BEDHAYA KETAWANG

Anda mungkin juga menyukai