Di susun oleh
Kelompok 3 :
1. Wahyu Dwi Nurjanah (17150101)
2. Hasan (17150103)
3. Nur Ajid Anggoro Seto (17150105)
4. Nisa Rodliyah (17150111)
5. Annisa Nureka Ramadhani (17150124)
6. Vinka Berliana Putri (17150127)
7. Ferkristianto Kurniawan (17150134)
8. Chelvin Ferdianto (17150142)
9. Nurul Aryani (17150150)
10.M Luthfi Zafarullah (17150159)
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Nya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “TARI BEDHAYA
KETAWANG”.
Penulisan makalah merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah
Sejarah Seni Rupa dan Kebudayaan Indonesia.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang penulis miliki. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada :
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. semoga Allah memberikan imbalan
yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Tim
Penulis
DAFTAR ISI
A. LATAR BELAKANG
Maka dalam makalah ini kami mengambil sudut pandang “makna simbolik”
agar Bedhaya Ketawang ini bisa kita fahami secara mendalam.
Tari Bedhaya Ketawang adalah sebuah tarian sakral yang menceritakan kisah asmara
Panembahan Senopati (Mataram) dengan ratu Kencanasari (penguasa laut kidul),
biasanya dipertunjukan hanya pada saat peringatan kenaikan tahta raja, dan biasanya
hanya dinikmati oleh kalangan abdi dalam saja.
Banyak hal yang menarik untuk diamati dalam tarian sakral ini, sejarahnya yang
menarik, fungsi tujuannya yang kuat, serta konten yang terkandung di dalamnya. Ada
sebuah pepatah yang menyebutkan bahwa “tak kenal maka tak sayang” adalah benar
apabila kita ingin melestarikan sebuah warisan budaya maka kita harus tahu setidaknya
makna yang terkandung dalam budaya tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Mengapa jumlah penari dalam Bedhaya Ketawang harus 9 orang ?
C. TUJUAN
a. Mengetahui makna simbolik dari jumlah penari Bedhaya Ketawang
b. Mengetahui makna simbolik dari busana dan rias tari Bedhaya Ketawang
Menurut sejarahnya, tarian ini berawal pada saat Sultan Agung memerintah kesultanan
Mataram tahun 1613 sampai 1645. Pada suatu saat Sultan Agung melakukan ritual semedi,
ketika itu beliau mendengar suara senandung yang berasal dari arah langit, Sultan agung pun
terkesima dengan suara senandung tersebut. Lalu beliau memanggil para pengawalnya serta
mengutarakan apa yang terjadi. Dari kejadian itulah beliau menciptakan tarian yang diberi
nama dengan bedhaya ketawang ini. Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa pada saat
pertapaannya Panembahan Senapati bertemu dan lalu memadu kasih dengan si Ratu
Kencanasari atau Kangjeng Ratu Kidul yang kemudian menjadi cikal bakal tarian ini.
Namun setelah perjanjian Giyanti ditahun 1755, dilakukanlah pembagian harta warisan
kesultanan mataram kepada Pakubuwana III dan juga Hamengkubuwana I. Selain pembagian
wilayah, dalam perjanjian ini juga ada pembagian warisan budaya. Tari Bedhaya Ketawang
akhirnya diberikan kepada kasunanan Surakarta dan didalam perkembangannya tarian ini
tetap dipertunjukan pada saat penobatan dan juga upacara peringatan kenaikan tahta bagi
sunan Surakarta.
Tarian ini biasanya dimainkan oleh 9 (sembilan) penari wanita. Menurut kepercayaan
masyarakat setempat, setiap pertunjukan Tari Bedhaya Ketawang ini dipercaya akan hadirnya
kangjeng ratu kidul dan ikut menari sebagai penari yang kesepuluh.
Sebagai tarian yang sakral, terdapat beberapa syarat yang harus dimiliki oleh setiap
penarinya. Syarat yang paling utama yakni para penari harus seorang gadis yang suci dan
tidak sedang haid. Jika sedang haid maka penari tersebut harus meminta ijin kepada
Kangjeng Ratu Kidul terlebih dahulu dengan melakukan caos dhahar di panggung sanga
buwana, di keraton Surakarta. Hal ini dilakukan dengan berpuasa selama beberapa hari pada
saat menjelang pertunjukan. Kesucian para penari sangat penting, konon katanya, pada saat
latihan berlangsung, Kangjeng Ratu Kidul ini akan datang menghampiri para penari jika
gerakan dalam menarinya masih salah.
Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian kebesaran yang hanya dipertunjukan ketika
penobatan dan peringatan kenaikan tahta sang raja di Kasunanan Surakarta. Tarian ini
merupakan tarian yang sakral serta suci bagi masyarakat dan juga Kasunanan Surakarta.
Nama Tari Bedhaya Ketawang ini diambil dari kata bedhaya yang artinya penari wanita di
istana, dan ketawang yang artinya langit, yakni yang identik sesuatu yang tinggi, kemuliaan
dan juga keluhuran.
B. Fungsi dan makna Tari Bedhaya Ketawang.
Selain berfungsi sebagai sarana hiburan, Tari Bedhaya Ketawang memiliki fungsi dan
makna khusus yang berhubungan dengan proses penciptaan tarian Bedhaya Ketawang itu
sendiri.
Setiap gerakan dari tarian ini bemakna hubungan asmara Kangjeng Ratu Kidul dengan
raja mataramterlihat dari gerakan tari yang sangat halus, gendhing yang dinyanyikan
swarawati serta tata rias dan tata busananya.Kata-kata yang terkandung dalam tembang
pengiring Tari Bedhaya Ketawang ini menggambarkan curahan hati dari Kangjeng Ratu
Kidul kepada sang raja.
Menurut kepercayaan masyarakat, setiap Tari Bedhaya Ketawang ini dipertunjukkan
maka dipercaya Kangjeng Ratu Kidul akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai
penari ke sepuluh. Dalam mitologi Jawa, sembilan penari Bedhaya Ketawang
menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan dewa yang disebut
dengan Nawasanga.
Versi lain menyebutkan bahwa jumlah penari yang sembilan orang merupakan lambang
dari Sembilan Wali atau Wali Songo.
Pada tari Bedhaya Ketawang, sembilan penari nya memiliki nama dan fungsi masing-masing.
Tiap penari tersebut memiliki simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya, yaitu:
1. Penari pertama disebut Batak yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa.
2. Penari ke dua disebut Endhel Ajeg yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau
nafsu.
3. Penari ke tiga disebut Endhel Weton yang disimbolkan sebagai tungkai kanan.
4. Penari ke empat disebut Apit Ngarep yang disimbolkan sebagai lengan kanan.
5. Penari ke lima disebut Apit Mburi yang disimbolkan sebagai lengan kiri.
6. Penari ke enam disebut Apit Meneg yang disimbolkan sebagai tungkai kiri.
7. Penari ke tujuh disebut Gulu yang disimbolkan sebagai badan.
8. Penari ke delapan disebut Dhada yang disimbolkan sebagai badan.
9. Penari ke sembilan disebut Buncit yang disimbolkan sebagai organ seksual. Penari ke
sembilan disini direpresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang yang merupakan
simbol tawang atau langit.
Tari Bedhaya Ketawang ditarikan oleh 9 orang penaridengan tata rias seperti pengantin
Jawa. Namun penari bedhaya ketawang bukanlah penari sembarangan, sebagai tarian sakral,
ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh penarinya. Syarat utama adalah penarinya harus
seorang gadis suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid maka penari tetap diperbolehkan
menari dengan syarat harus meminta izin kepada Kangjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya
caos dhahar di Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta. Syarat selanjutnya yaitu suci
secara batiniah.
Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pergelaran.
Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon kabarnya Kangjeng Ratu Kidul
akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan
berlangsung.
Pada awalnya tari Bedhaya Ketawang dilakukan selama 2,5 jam. Namun sejak zaman
Pakubuono X, tarian ini dilakukan dengan durasi 1,5 jam saja.
Selama pertunjukan, baik raja maupun penonton diijinkan untuk merokok, minum, atau
makan. Ini adalah kepercayaan tradisional yang kuat dari tari Bedhaya Ketawang. Hal ini
dianggap sebagai simbol penyatuan antara raja dan rakyatnya dan antara Tuhan dan ciptaan-
Nya (Manunggaling kawula Gusti).
Penari Bedhaya Ketawang adalah abdi dalem, yaitu para penari keputren yang telah dibina
sejak umur kurang lebih 12 tahun, sesudah remaja atau sudah dianggap mampu untuk
menarikan tari bedhaya, bila raja berkenan mereka diambil untuk dijadikan penari keraton.
Kehidupan para penari ditanggung oleh keraton.
Dalam persiapan pementasan, para penari harus mengikuti beberapa aturan dan upacara.
Persiapan ini persis seperti jika seseorang akan menikah. Malam sebelum pertunjukan, para
penari harus tidur di Panti Satria, daerah yang paling suci di istana di mana semua
peninggalan spiritual disimpan.
Latihan untuk tarian ini hanya diadakan setiap Selasa Kliwon. sekali dalam setiap 35 hari,
dan biasanya pelatihan intensif mulai 10 hari sebelum pertunjukan.
Bedhaya Ketawang dibagi menjadi tiga adegan (babak). Di tengah-tengah tarian, laras
(nada) gending berganti menjadi nada slendro selama dua kali, kemudian nada gending
kembali lagi ke laras pelog hingga tarian berakhir. Pada bagian pertama tarian diiringi dengan
tembang Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari
masuk kembali ke Dalem Ageng Prabasuyasa, alat gamelan yang dimainkan ditambah
dengan rebab, gender, gambang, dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah
keselarasan suasana.
1. Kain Dodot
Sebagaimana pengantin, maka dodot yang digunakan bermotif alas-alasan. Tarian ini
memiliki dua penari utama, yaitu batak dan endhel ajeg yang dapat dibedakan dari warna
dodot mereka. Meskipun memiliki motif yang sama yaitu alas-alasan, tetapi warnanya
berbeda. Batak dan endhel ajeg mengenakan dodot alas-alasan berwarna hijau gelap yang
disebut dodot gadung mlathi, sedangkan 7 penari lainnya mengenakan dodot alas-alasan
berwarna biru gelap yang disebut dodot bangun tulak.
Dalam batik motif semen, motif garuda merupakan motif yang paling tinggi
kedudukannya di antara motif lain. Garuda dipercaya sebagai burung dewa, kendaraan
Wisnu, dan sekaligus sebagai simbol matahari. Dalam konsep dewa raja, raja diposisikan
sebagai titisan Wisnu (dewa pemelihara), sehingga kendaraannya disejajarkan dengan
kendaraan Wisnu. Simbol garuda dapat meninggikan kedudukan raja yang berkuasa.
Kura-kura dipercaya sebagai lambang dunia bawah atau lambang bumi. Dalam agama
Hindu, kura-kura merupakan penjelmaan Wisnu yang diharapkan akan dapat menjalankan
tugasnya menjaga bumi bila bersatu dengan istrinya yaitu Dewi Sri atau Dewi Kesuburan.
Ular dianggap sebagai simbol perempuan dan merupakan bagian dari konsep
kesuburan, hujan, samudera, dan bulan. Sementara itu naga sebagai ular dewa merupakan
lambang air dan bumi. Watak tersebut dilambangkan sebagai Dewi Sri. Dalam pengertian
simbol, naga melambangkan dunia bawah, air, perempuan, bumi, dan yoni.
Burung merupakan lambang dunia atas yang menggambarkan elemen hidup dari
udara (angin) dan melambangkan watak luhur. Kadangkala burung menjadi lambang nenek
moyang yang telah meninggal atau dipakai sebagai kendaraan roh menuju Tuhannya.
Penggunaan ragam hias burung melambangkan bahwa manusia pada akhirnya akan kembali
ke asalnya, yaitu kepada Sang Pencipta.
Motif meru merupakan simbol gunung. Menurut paham Indonesia kuno, gunung
melambangkan unsur bumi atau tanah. Pada kebudayaan Jawa Hindu, puncak gunung yang
tinggi merupakan tempat bersemayam para dewa. Sementara itu pada pola batik, ragam hias
meru menyimbolkan tanah atau bumi yang menggambarkan proses hidup tumbuh di atas
tanah.
Burung bangau dipercaya memiliki umur yang sangat panjang bahkan dapat mencapai
ratusan tahun. Ia dianggap sebagai lambang penolakan keadaan yang tidak baik, sehingga
diharapkan dapat menghindari atau menjauhi bahaya apapun, supaya pada akhirnya dapat
meraih keselamatan dan berumur panjang.
Motif ini tersusun atas bentuk elips, yang dapat diinterpretasikan sebagai gambar
bunga lotus (teratai) dengan 4 lembar daun bunganya yang sedang mekar. Bunga ini
melambangkan umur panjang dan kesucian. Dewa juga dilambangkan dengan bunga teratai.
Berdasarkan hal tersebut, maka motif kawung menyimbolkan kedudukan raja sebagai pusat
kekuasaan mikrokosmos sejajar dengan dewa sebagai pusat kekuasaan makrokosmos.
Pada hakikatnya penggunaan kain dodot dengan motif alas-alasan tersebut memiliki
harapan yang baik sekaligus sebagai penolak bala. Hal ini sesuai dengan ornamen-ornamen
yang digambarkan pada lembaran kain tersebut.
2. Samparan
Namun sebelum dodot dipakai, terlebih dahulu dikenakan samparan, yaitu kain
panjang yang dikenakan sebagai pakaian dalam bagian bawah. Kain tersebut berukuran 2,5
kacu atau 2,5 kali lebar kain yang dikenakan dengan cara melilitkan kain dari kiri ke kanan.
Sisa kain yang biasanya digunakan sebagai wiron diurai ke bawah, di antara kedua kaki
mengarah ke belakang sehingga membentuk semacam ekor yang disebut seredan. Pemakaian
kain jenis ini disebut samparan.
Dalam suatu pagelaran, kain yang digunakan sebagai samparan adalah cindhe dengan
motif Cakaran berwarna merah.
3. Sondher
Dari uraian tersebut kita mengetahui bahwa para penari Bedhaya Ketawang mengenakan
beberapa helai kain yang dalam teknik pemakaiannya tidak memakai proses jahit dan
hanya dililitkan, diselipkan diantara lapisan-lapisan kain lainnya. Oleh karena itu, busana
tersebut rentan untuk rusak tatanannya selama menari, baik karena terinjak atau karena
sebab lain. Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, maka selama menari terdapat dua
orang abdi dalem yang bertugas mendampingi untuk membenahi busana para penari
apabila busana tersebut rusak ketika sedang menari. Ada suatu keunikan disini, karena
selama membetulkan busana tersebut, para penari tetap menari dan abdi dalem lah yang
menyesuaikan dengan gerakan penari supaya sang penari tetap konsentrasi menari dengan
baik karena sedang membawakan tari pusaka.
4. Tata Rias
Untuk mendukung tata busana penari Bedhaya Ketawang, maka wajah para penari
tersebut juga dirias selayaknya pengantin. Untuk itu pada bagian dahi dilukiskan beberapa
bentuk, yaitu:
a. Gajahan
Bentuk seperti setengah bulatan telur bebek, letak di tengah-tengah dahi ± 3 cm di atas
kedua pangkal alis dengan lebar pada pangkal dahi ± 4 cm. apabila ditarik garis lurus pada
ujungnya secara vertical tepat pada ujung hidung. Merupakan lambang kendaraan raja yang
menyimbolkan kedudukan luhur, sesuatu yang paling tinggi, paling besar, dan paling baik
agar menjadi manusia sempurna.
b. Pengapit
Berbentuk ngudup kanthil yaitu seperti kuncup bunga kanthil. Bentuk ini terletak pada
dahi, mengapit di kanan kiri bentuk gajahan. Kedua ujung pengapit jika ditarik dengan garis
lurus akan bertemu di suatu titik antara kedua pangkal alis. Titik yang merupakan pusat dari
semua unsur bentuk paes dan disebut cihna. Lebar pengapit pada pangkal dahi ± 2 cm.
Merupakan pendamping kiri-kanan, yang menyimbolkan bahwa meskipun sudah menjadi
manusia sempurna harus selalu waspada terhadap sifat buruk pendamping kiri. Pendamping
kanan sebagai pemomong akan selalu setia mengingatkan melalui suara hati agar tetap kuat
dan teguh imannya.
c. Penitis
Berbentuk seperti setengah bulatan telur ayam pada bagian ujung. Bentuk ini mempunyai
ukuran lebih kecil dari pada gajahan. Ada dua penitis seperti halnya pengapit, bentuk ini
terletak pada bagian luar dari pengapit kanan dan pengapit kiri. Ujung penitis menghadap ke
ujung alis. Merupakan symbol kearifan dan harapan agar mempunyai tujuan yang tepat.
d. Godheg
berbentuk seperti kudhup atau kuncup bunga turi dengan ukuran mirip dengan
pengapit. Bentuk ini berada di dekat telinga kanan dan kiri. Pembuatan godheg dimulai dari
atas telinga turun melengkung sampai di depan telinga. Melambangkan bahwa manusia
harus mengetahui asal usul dari mana ia datang dan ke mana harus pergi. Manusia
diharapkan dapat kembali ke asal dengan sempurna.
e. Alis
berbentuk menyerupai tanduk kijang bercabang satu atau disebut menjangan ranggah.
Melambangkan bahwa agar dapat mengatasi segala serangan buruk dari beberapa arah harus
selalu waspada dan bijaksana atau “tanggap ing sasmita”.
Gajahan
Pengapit
Penitis
Alis
Godheg
Sebagaimana pengantin, maka rambut para penari Bedhaya Ketawang juga disanggul,
yang disebut sebagai sanggul bokor mengkurep. Disebut demikian karena bentuknya yang
menyerupai bokor yang tengkurap. Sanggul ini ditutup dengan rajutan melati dan
dihias dengan bunga tiba dhadha yang dibuat dari roncean melati berbentuk bulat panjang
sampai tengah paha. Keanggunan dan keagungan tata busana dan rias tersebut ditunjang
dengan pemakaian seperangkat perhiasan yang biasa dikenakan pengantin, yang disebut raja
keputren, meliputi cundhuk jungkat, centhung, subang, 9 buah cundhuk mentul, garuda
mungkur, kalung, kelat bahu, slepe, serta cincin.
A. Kesimpulan
Tari bedaya ketawang merupakan salah satu kebudayaan yang bersufat sakral dan
wajib ditarikan pada saat pelantikan raja, peringatan hari jadi raja, dan hari kelahiran raja.
Pakaian dan riasan penari bedaya ketawang seperti mempelai perempuan asal jawa tengah.
Penarinya juga memiliki criteria tersendiri agar diperbolehkan menarikan tarian ini
B. Saran
Kita sebagai penerus bangsa seharusnya mampu melestarikan dan memahami budaya
kita sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.tradisikita.my.id/2016/12/tari-bedhaya-ketawang-dari-surakarta.html
http://www.kamerabudaya.com/2016/12/tari-bedhaya-ketawang-tarian-kebesaran-di-kasunanan-
surakarta.html
http://marienthahera.blogspot.co.id/2013/12/tari-bedhaya-ketawang.html