Anda di halaman 1dari 18

RESEPSI SASTRA KISAH GANDARI

DALAM PUISI INDONESIA MODERN

THE LITERARY RECEPTION GANDARI STORY


IN MODERN INDONESIAN POETRY

Puji Santosa
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta Timur, Indonesia
Telepon (021) 4896558, Faksimile (021) 4750407
Pos-el: puji.santosa@gmail.com

Naskah diterima: 10 Maret 2017; direvisi: 15 Mei 2017; disetujui: 5 Juni 2017

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengungkapkan dan memaknai resepsi sastra kisah Gandari
dalam puisi Indonesia modern yang dilakukan oleh Gunawan Maryanto, Djoko Saryono,
dan Goenawan Mohamad. Masalah penelitian adalah resepsi sastra kisah Gandari yang
digubah menjadi puisi Indonesia modern. Untuk memecahkan masalah dan mencapai tujuan
digunakan metode kualitatif yang ditopang dengan deskripsi, analisis isi, dan komparasi.
Hasil dan pembahasaan penelitian ini membuktikan bahwa resepsi sastra kisah Gandari
dalam puisi Indonesia modern melalui pemaknaan: (1) transformasi kisah Gandari dengan
kreativitas estetis sebagai proses kreatif penyair, (2) referensi gerak budaya sebagai pertanda
bahwa kisah Gandari itu dinamis, akulturatif, dan integratif menjadi lambang perjuangan
wanita yang menjadi korban kekuasaan, wibawa, dan cinta, serta (3) reaktualisasi filosofi
dan nilai budi pekerti perjuangan Gandari melawan suratan takdir dan nasib, meskipun
pada akhirnya kalah dan menyerah, sebagai suatu pembelajaran bahwa manusia diberi hak
untuk tetap berusaha sekuat kemampuan mencapai cita-cita dan harapannya. Dari hasil
penelitian itu dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra kisah Gandari dalam puisi Indonesia
modern menunjukkan adanya pemaknaan yang dinamis, kreatif, estetis, serta memberi roh
dan kehidupan mitos yang tidak dapat dipisahkan dari realitas sehari-hari.

Kata kunci: sastra, resepsi, puisi, referensi, reaktualisasi

Abstract
This research aims to reveal and interpret the literary reception of Gandari story in modern
Indonesian poetry performed by Gunawan Maryanto, Djoko Saryono, and Goenawan
Mohamad. The problem of the research is how the literary reception of Gandari story
composed into modern Indonesian poetry. To solve the problem and achieve the goal,
qualitative methods supported by description, content analysis, and comparison are used.
The result of the research proves that the reception of Gandari story in modern Indonesian
poetry through the meaning of: (1) the transformation of the Gandari story with aesthetic
creativity as the poet’s creative process; (2) the reference of cultural motion as a sign that
Gandari story is dynamic, acculturative, and integrative becomes the symbol of struggle
women, victims of power, authority, and love; and (3) the re-actualization of Gandari
philosophy and values ​​of the struggle against the destiny and fate, although ultimately
defeated and surrendered, as a learning that human beings are given the right to keep their

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 1
Resepsi Sastra Kisah Gandari dalam Puisi Indonesia Modern (Puji Santosa) Halaman 1 — 18

best - his hopes and expectations. From the results of this research, it can be concluded that
the literary reception of Gandari story in modern Indonesian poetry shows the meaning
of dynamic, creative, aesthetic, and give spirit and mythical life that can not be separated
from daily reality.

Keywords: literature, receptions, poetry, reference, reactualization

PENDAHULUAN Kuru­setra itu, tokoh Abima­nyu mendapatkan


Penulisan resepsi produktif yang berhi­pogram wejangan dari seekor katak tentang pengetahuan
pada dunia wayang dalam sastra Indonesia semesta dan hakikat penciptaan asal-mula
sudah dimulai pada tahun 1926 ketika pertama makhluk.
kali Rustam Effendi (1953) mengumumkan Penulisan dalam bentuk novel, cerita
sastra lakon Bebasari. Kisah lakon Bebasari ini wayang juga menjadi referensi dalam novel
berhipogram pada kisah Ramayana, yaitu cerita Anak Bajang Menggiring Angin (Sindhunata,
tentang Rama yang berusaha membebaskan 2007) dan Kitab Omong Kosong (Ajidarma,
kekasihnya Sinta dari tawanan Rahwana, raja 2006). Kedua novel tersebut meresepsi sas­
raksasa dari negeri Alengka. Sebagai lakon tra atas kisah Ramayana, epos India karya
simbolik yang merefleksikan cinta tanah air Walmiki, dan kedua novel tersebut telah dite­
(Santosa, 1991, hlm. 5), tokoh Bebasari yang liti oleh Santosa dan Jayawati (2010) dengan
berhipogram pada tokoh Sinta yang ditawan menggunakan kritik mitologi sebagai metode
Rahwana melambangkan tanah air yang dijajah memecahkan masalah dan tujuan penelitian.
oleh Belanda. Sementara itu, tokoh Bujangga Novel Anak Bajang Menggiring Angin dimulai
yang berhipogram pada tokoh Rama melambang­ dari kisah Sastra Jendra Hayuningrat atau
kan pahlawan bangsa yang membebaskan lebih dikenal dengan cerita lahirnya Rahwana,
negerinya dari penjajahan Belanda yang Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Gunawan
berhipogram pada tokoh Rahwana. Wibisana, serta diakhiri pada cerita gugurnya
Penulisan cerita pendek yang berhipo­gram Rahwana dan kembalinya Sita pada Rama.
pada cerita wayang sudah dimulai pada tahun Sementara itu, Kitab Omong Kosong dimulai
1950-an (Nurgiyantoro, 2003, hlm. 1), yaitu dari kisah Persembahan Kuda dan terusirnya
ketika Nh. Dini (1956) menulis cerita pendek Sita yang tengah mengandung Lawa dan Kusa
“Jatayu” yang mengambil latar tokoh pewa­ dari istana Ayodya hingga pada Pengakuan
yangan dari kisah Ramayana, seekor burung Togog atas Kitab Omong Kosong yang ditu­
bernama Jatayu yang terbang melang­lang dunia, lisnya.
seperti cita-cita dan harapan tokoh Prita (juga Selain dalam dua novel, Anak Bajang
berintertekstual pada tokoh Dewi Prita, nama Menggiring Angin dan Kitab Omong Kosong,
lain Dewi Kunthi ketika masih muda belia cerita wayang yang juga menjadi referensi
dalam kisah Mahabharata) men­jadi pramugari terdapat pada novel Amba karya Laksmi
pesawat terbang. Penulis ceri­ta pendek lainnya, Pamuntjak (2012) dan novel Pulang karya Laila
Danarto (1969) dengan ju­dul “Nostalgia”, men­ S. Chudori (2012). Kedua novel tersebut terdapat
dasarkan ceritanya pada kisah Mahabharata transformasi cerita wayang secara intensif pada
yang mengetengah­kan tentang kepahlawanan penokohan dan alur. Transfor­masi penokohan
tokoh Abimanyu keti­k a menjadi panglima mencakup tiga bentuk, yaitu hipogram nama
perang Bharatayuda di Padang Kurusetra dan dan karakakter, karakter tan­pa nama, dan nama
gugur di medan pepe­rangan tersebut. Ketika tanpa ka­rakter. Transfor­masi alur mencakup dua
malam menje­lang memim­pin perang di Padang ben­tuk, yaitu kisah cinta segitiga dan hubungan

2 , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 1 — 18 (Puji Santosa) The Literary Reception Gandhari Story in Modern Indonesian Poetry

kekeluargaan. Alur kisah cinta segitiga dalam lalu yang diaktu­alkan kembali dalam kehidupan
novel Amba melibatkan tokoh Amba, Salwa, dan sekarang memberi pemahaman agar setiap insan
Bisma yang berhipogram pada cerita wayang yang hidup masa kini tidak tercerabut dari akar
dengan tokoh yang sama. Alur kisah cinta budaya bangsa.
segitiga novel Pulang melibatkan tokoh Dimas, Penyair sastra Indonesia modern yang juga
Surti, dan Hananto yang secara meta­f oris mengacu pada kisah wayang adalah W.S. Rendra
berhipogram pada kisah cinta Bima, Drupadi, (1975) menulis sajak “Rakyat Adalah Sumber
dan Arjuna (Nurgi­yantoro, 2016, hlm. 201). Ilmu” yang mengacu pada kisah perjuangan
Dengan referensi atau berhipo­gram pada cerita Arjuna yang bersatu dengan Kresna dalam
wayang dalam kedua novel tersebut menjadikan perang Bharatayuda, dan perjuangan Bima
penulis dan pembaca sastra memiliki kesadaran dalam usaha menemukan guru sejatinya Dewa
budaya akan akar tradisi yang membimbingnya Ruci (Santosa, 2016). Subagio Sastrowardojo
di tengah gerak budaya perubahan zaman yang (1995), menulis sajak “Parasu Rama”, “Garuda”,
berubah dan berganti. “Kayon”, “Wayang”, “Bima”, “Matinya
Selain cerita pendek dan novel, dalam genre Pandawa yang Saleh”, “Kayal Arjuna”,
puisi atau sajak, penulisan kembali cerita dan “Dalang”, “Asmaradana”, dan “Batara Kala”
tokoh wayang sebagai referensi gerak budaya yang berbicara tentang falsafah hidup dengan
dipelopori oleh Goenawan Mohamad (1992) referensi tokoh-tokoh wayang sebagai cerminan
dengan titimangsa 1963 menulis sajak berjudul kehidupan. Sapardi Djoko Damono (1982, 1983,
“Pariksit”, bertolak dari kisah Mahabharata 1994) pun menulis banyak puisi yang mengacu
tentang Raja Negeri Hastina yang tengah pada dunia wayang, baik yang bersumber
menunggu saat kema­tiannya oleh kutukan dari kisah Mahabharata maupun Ramayana,
Naga Taksaka karena karmanya. Selain itu, antara lain, sajak “Di Banjar Tunjuk, Tabanan”,
Goenawan Mohamad (1998) juga menulis sajak “Benih”, “Pesan”, “Telinga”, dan “Sita Sihir”.
“Persetubuhan Kunthi” yang mendasarkan pada Linus Suryadi A.G. (1997) menulis banyak puisi
kisah epos Mahabharata tentang masa remaja yang mengacu pada kisah wayang, antara lain,
Dewi Kunthi yang mampu menghadirkan dewa- “Arjuna di Padang Kurusetra”, “Mimpi Bisma”,
dewa dalam kehidupan asmaranya, seperti “Petruk Kumat”, “Srikandi Edan”, “Banowati
Dewa Surya, Dewa Darma, Dewa Bayu, dan dan Limbuk”, serta “Burisrawa Kasmaran”
Dewa Indra; dan juga Goenawan Mohamad yang telah diteliti Nurgiyantoro (2014, hlm.
(2007, 2013) menulis catatan pinggir Tempo 201—214) atas penggunaan ung­kapan bahasa
berjudul “Gandhari” dan sajak “Gandari” yang Jawanya. Darmanto Jatman (2002) menulis sajak
berkisah tentang kesetiaan dan ketegaran tokoh “Nasihat Begawan Wisrawa” yang mendasarkan
Gandari dalam mengahadapi badai kehidupan, kisah wayang Sastra Jendra Hayuningrat
meski seratus anaknya tidak ada yang tersisa, atau Lahirnya Rahwana. Wiyatmi (2012)
gugur di medan peperangan Bharatayuda, dan menulis kumpulan sajak “Pertanyaan Srikandi”
“Hikayat Sri Rama” yang berkisah tentang yang mendasar­k an kisah Dewi Srikandi
perjuangan tokoh Sri Rama untuk mendapatkan yang berperan kela­min ganda sebagai wanita
kembali istrinya, Dewi Sita, yang diculik oleh androgini atau kenya wandu (Santosa, 2016)
raja raksasa dari negeri Alengka, Rahwana. sebagai ben­tuk perlawanan gender. Kemudian
Mitologi wayang bagi Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto (2008, 2009, 2013, 2015)
tidak sekadar cerita masa lalu yang tidak menulis sajak “Gandari Berada di Kegelapan”,
ada relevansinya dengan kehidupan zaman “Gan­dari di Puncak Kegelapan”, “Gandari
sekarang, justru dengan kesadaran budaya masa Mema­suki Kegelapan”, “Gandari Mengutuk

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 3
Resepsi Sastra Kisah Gandari dalam Puisi Indonesia Modern (Puji Santosa) Halaman 1 — 18

Kegelap­an”, “Kunti”, “Amba”, “Satyawati”, buta hingga ajalnya tiba, yang menjadi ibu dari
“Parasura­m a”, “Renuka”, “Yamadagni”, para Kurawa bermusuhan dengan para Pandawa,
“Anjani”, “Su­praba”, “Sumbadra”, “Windradi”, dan yang kehilangan seratus anaknya dalam
“Alap-Alap Surtikanti”, “Gojali Suta”, dan perang besar Bharatayuda. Tokoh Gandari
“Sumba Juwing” yang menjadikan mitos tersebut diresepsi sastra secara produktif oleh
wayang sebagai sumber kreativitas, estetis, dan tiga penyair sastra Indonesia modern, yaitu
transformasi nilai-nilai budaya yang menjadi Gunawan Maryanto (2008; 2009, hlm. 23—25)
pendidikan karakter bangsa. Lalu, penyair dalam empat sajak naratif “Gandari Berada di
Djoko Saryono (2013, 2015) juga menulis sajak Kegelapan”, “Gandari di Puncak Kegelapan”,
yang meng­acu pada kisah wayang, Ramayana “Gandari Me­ma­suki Kegelapan”, dan “Gandari
dan Maha­bharata, antara lain, sajak “Suara Hati Mengutuk Kegelapan”, Djoko Saryono (2013,
Dewi Sukesi”, “Suara Hati Sarpakenaka 1 & hlm. 37—40) dalam dua sajak lirik “Kata Hati
2”, “Mimpi Sinta”, “Kekesalan Sinta”, “Kisah Gandari 1” dan “Kata Hati Gandari 2”, serta
Cinta Amba dan Bisma”, “Kata Hati Gandari Goenawan Mohamad (2013, hlm. 1—12)
1 & 2”, “Penyesalan Kunthi”, dan “Kata Hati dalam satu sa­jak naratif dan dramatik panjang,
Drupadi” dalam buku Kitab Puisi Arung Diri “Gandari”. Ketujuh sajak yang berkisah tentang
dan Himpunan Puisi Kemelut Cinta Rahwana. tokoh Gandari diresepsi sastra (direproduksi,
Bambang Widiatmoko (2016) selaku dire­interpretasi, dan direaktualisasi) oleh tiga
editor menghimpun lima belas penyair sastra penyair sastra Indo­n esia modern tersebut
Indonesia modern yang menulis puisi tentang menarik perhatian penulis sehingga ketujuh
wayang dalam buku kumpulan sajak Tancep sajak tersebut dijadi­kan sampel dan sekaligus
Kayon. Penerbitan antologi puisi wayang itu objek penelitian.
dilandasi pemikiran bahwa wayang adalah Berdasarkan latar belakang tersebut
karya yang adiluhung dan edipeni serta sarat masalah penelitian adalah bagaimana resepsi
dengan estetika, etika, dan falsafah hidup. sastra kisah Gandari yang digubah menjadi
Dari pagelaran wayang pun secara simbolik puisi Indonesia modern oleh tiga penyair sastra
mampu melahirkan tontonan, tuntunan, dan Indonesia, yaitu sajak “Gandari Berada di
tatanan dalam bermasyarakat, berbangsa, Kegelapan”, “Gandari di Puncak Kegelap­an”,
dan bernegara. Oleh karena itu, kehadiran “Gandari Memasuki Kegelapan”, “Gandari
puisi yang berintertekstual atau berhipogram Mengutuk Kegelapan” Gunawan Maryanto,
cerita wayang atau epos Mahabharata dan “Kata Hati Gandari 1”, “Kata Hati Gandari
Ramayana dalam sastra Indonesia modern 2” Djoko Saryono, dan “Gandari” Goenawan
mampu menghadirkan referensi gerak buda­ya Mohamad? Berdasarkan masalah tersebut
dengan maksud menyampaikan pesan kesadaran penelitian ini bertujuan mengungkapkan dan
budaya agar generasi masa kini tidak tercerabut memaknai resepsi sastra kisah Gandari dalam
dari akar budaya tradisi bangsanya. puisi Indonesia modern yang dilaku­kan oleh
Dari sekian banyak tokoh mitologi wayang Gunawan Maryanto, Djoko Saryono, dan
yang dijadikan referensi penulisan teks puisi Goenawan Mohamad.
Indonesia modern yang menarik perhatian Untuk memecahkan masalah dan menca­
penulis adalah tokoh Gandari, salah satu pai tujuan digunakanlah teori resepsi sastra.
tokoh wanita dalam kisah Mahabharata Resepsi sastra mendasarkan diri pada teori
(Sharma, 2013, hlm. 38—52) yang menutup bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu
matanya dengan selembar kain hitam selama mendapat resepsi atau tanggapan para pem­
mendampingi suaminya, Raja Drestarasta yang bacanya. Karya sastra merupakan struktur

4 , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 1 — 18 (Puji Santosa) The Literary Reception Gandhari Story in Modern Indonesian Poetry

estetik yang terdiri atas tanda-tanda estetik sas­tra, ahli estetika, dan kritikus berpendapat
yang dipan­car­kan ke pembacanya. Di dalam tidak ada satu pun sebuah nilai yang benar
metode resepsi sastra yang perlu diperha­tikan sebab tidak terdapat nilai estetika yang benar
bukan hanya eksistensi sebuah karya sastra, se­hing­ga tidak ada sebuah evaluasi saja. Se­buah
melainkan juga resepsi pembacanya. Resepsi karya sastra merupakan sebuah subjek untuk
sastra juga ditentukan oleh peneri­maan estetik, berma­cam-macam evaluasi dalam ben­tuknya
interpretasi, dan evaluasi pem­bacanya (Vodicka, sebagai konkretisasi pada perubahan yang tetap
1976, hlm. 71). Resep­si sastra adalah sebuah (Vodicka, 1976, hlm. 78—79).
meto­de kritik sastra yang menitikberatkan pada Resepsi sastra sebagai sebuah metode
peranan pembaca yang memperhatikan karya melihat karya sastra sebagai objek estetik
sastra sebagai sebuah struktur. Di satu pihak yang memiliki keragaman nilai dalam per­
pembaca me­miliki nilai-nilai yang berubah. Di kembangan nilai-nilai estetikanya. Sementara
lain pihak karya sastra sebagai sebuah struktur itu, karya sastra juga merupakan sebuah ob­
menen­tang struktur karya sebelum­nya. Resepsi jek estetik yang menciptakan dialog dengan
melihat nilai sastra sebagai sebuah konsep pembacanya sesuai dengan sifatnya yang poly
dari perubahan yang tetap, bergantung pada interpretable (banyak tafsir). Di dalam hal
sistem norma pembaca­nya (Segers, 1978, hlm. ini resepsi sastra menempatkan karya sastra
49). Metode resepsi sastra merupakan sebuah sebagai bagian perkembangan struktur. Resepsi
kejutan untuk evaluasi kesusastraan guna sastra merupakan salah satu titik to­lak dari
melengkapi perbedaan pandangan dari konsep perkembangan sejarah sastra dengan tidak
“nilai kesusastraan”. Hal tersebut di­sebabkan mengabaikan struktur dalamnya.
oleh selama ini struktural diang­gap melepaskan Metode resepsi sastra meneliti resepsi-
nilai-nilai sastra dari pemba­canya (Segers, 1978, resepsi setiap periode, yaitu tanggapan-tang­
hlm. 49). gapan sebuah karya sastra oleh para pemba­canya
Karya sastra bukan merupakan sebuah objek sehingga mem­bentuk jalinan sejarah. Pembaca
yang berdiri sendiri dan memiliki wajah yang yang dimaksud adalah pembaca yang cakap, ahli
sama pada setiap pembaca pada masing-masing sastra, ahli sejarah, ahli estetika, bukan orang
periode. Karya sastra bukan merupakan sebuah awam, dan dapat sebagai kritikus sastra, peneliti,
monumen yang tidak memi­liki rival di dalam serta dapat juga sastrawan atau pengarang sastra.
pembicaraannya. Karya sastra lebih menyerupai Para ahli sastra di setiap periode memberikan
sebuah orkes­trasi yang selalu menampilkan komentar-komentar, tulisan, tanggapan ber­
paduan nada baru bagi pembacanya, pembaca dasarkan kon­kretisasinya terhadap karya sastra
bebas untuk mensubsitusikan kata-kata di dalam yang bersangkutan. Istilah “konkret­isasi” yang
karya sastra dan membuat makna yang banyak dikemukakan oleh Vodicka ini berasal dari
pada waktu yang sama. Kata-kata di dalam karya Roman Ingarden (Vodicka, 1976, hlm. 79),
sastra merupakan suatu kreasi yang dilakukan yang berarti ‘pengonkretan makna karya sastra
pengarangnya, misalnya dengan perubahan atas dasar pembacaan dengan tujuan estetik’
urutan untuk meng­enakkan pen­dengaran. Karya (Pradopo, 1995, hlm. 210). Jadi, metode resepsi
sastra harus dimengerti se­bagai sebuah kreasi sastra itu seperti yang dikemukakan Segers
suatu penciptaan dialog dan kepakaran filologi (1978, hlm. 49) meli­puti: (1) merekonstruksi
harus didasarkan pada pembacaan kembali bermacam-macam konkret­isasi sebuah karya
teks sastra secara terus menerus, bukan hanya sastra dalam masa sejarahnya, dan (2) penelitian
didasarkan pada fak­ta-fakta belaka (Jauss, 1974, hubungan di antara konkretisasi-konkretisasi itu
hlm. 14). Dengan demikian, para ahli sejarah di satu pihak dan penelitian hubungan di antara

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 5
Resepsi Sastra Kisah Gandari dalam Puisi Indonesia Modern (Puji Santosa) Halaman 1 — 18

karya sastra dengan konteks kesejarahan (his­ METODE


toris) yang memiliki konkretisasi-kon­kretisasi Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
itu di lain pihak. yang ditopang dengan deskripsi, analisis isi,
Resepsi sastra dapat dikatakan sebagai dan komparasi dalam kaitannya menelaah
penelitian kritik pragmatik, yaitu penelitian sajak-sajak yang memuat resepsi sastra kisah
kritik sastra yang menitikberatkan pera­nan Gandari. Penelitian kualitatif memerlukan
pembaca sebagai penyambut dan penghayat ketajaman analisis, objektivitas, sistematik, dan
karya sastra. Luxemburg et al. (1984, hlm. sistemik sehingga diperoleh ketepatan dalam
79–80) menyatakan bahwa ada sembilan sumber menginterpretasi data (San­tosa, 2016c, hlm.
ter­penting yang dapat dijadikan ob­jek kritik 88, kolom 2). Metode kuali­tatif yang digunakan
sastra dengan metode resepsi sas­tra, yaitu: (1) dalam penelitian ini diperluas menjadi metode
laporan resepsi dari pembaca nonpro­fesional: kualitatif interpretatif (Rat­na, 2010, hlm. 305—
catatan dalam buku catatan harian, catatan 311). Interpretasi terha­dap teks sajak “Gandari
di pinggir buku, laporan dalam autobiografi, Berada di Kegelap­an”, “Gandari di Puncak
dan lain-lain; (2) laporan profesional; (3) Kegelapan”, “Gandari Memasuki Kegelapan”,
terjemahan dan saduran; (4) saduran di dalam “Gandari Mengutuk Kegelapan” Gunawan
sebuah medium lain; misal­nya film atau sinetron Maryanto, “Kata Hati Gandari 1”, “Kata Hati
yang berdasarkan se­buah novel atau cerpen; Gandari 2” Djoko Saryono, dan “Gandari”
(5) resepsi produk­tif: unsur-unsur dari sebuah Goenawan Mohamad ini melibatkan deskripsi,
karya sastra diolah dalam sebuah karya baru; analisis isi, dan komparasi. Deskripsi, analisis
(6) resensi; (7) pengolahan dalam buku-buku isi, dan kom­p arasi dilakukan dengan cara
sejarah sastra, ensiklopedi, dan lain-lain; (8) mendeskrip­sikan fakta-fakta yang kemudian
dimuat­nya sebuah fragmen dalam sebuah bunga disusul de­ngan analisis isi teks dan bandingan
rampai, buku teks untuk sekolah, daftar bacaan (Ratna, 2008, hlm. 53). Sesuai dengan bahan
wajib bagi pelajar dan maha­siswa; dan (9) yang menjadi objek kajian penelitian, puisi
laporan mengenai angket, penelitian sosiologis yang memuat resepsi sastra kisah Gandari akan
dan psikologis. Endras­wara (2013, hlm. 110) dikaji secara resepsi produktif setelah ter­lebih
menyimpulkan bahwa resepsi sas­tra itu sebuah dahulu dideskripsikan data fakta-faktanya, lalu
teori kritik sastra yang me­muat dua hal, yaitu dianalisis isi dan dibandingkan dengan yang
(1) resepsi teks, yang memunculkan teks-teks terdapat dalam Mahabharata dalam berbagai
baru hingga hadir interteks dan (2) resepsi versinya.
pembaca, yang me­mun­culkan respon pembaca Analisis konten adalah penelitian yang
terha­dap teks. Kedua bentuk resepsi sastra itu berusaha menganalisis dokumen untuk dike-
juga berkait­an dengan respon pembaca. Hanya tahui isi dan makna yang terkandung di da­lam
saja, resepsi teks biasanya merupakan respon dokumen tersebut (Wuradji dalam Jabro­him,
pengarang (pembaca menuliskan kembali teks 2001, hlm. 6). Dalam analisis konten ini terdapat
yang dibacanya) terhadap teks-teks sebelumnya, dua macam analisis, yaitu analisis isi laten
lalu muncul kritik teks dan sastra bandingan. dan analisis isi komunikasi (Ratna, 2008, hlm.
Adapun resepsi pembaca, biasanya berkaitan 48—49). Analisis isi laten akan menghasilkan
seberapa jauh pengaruh teks terhadap pembaca. arti teks, sedangkan analisis isi komunikasi
Kedua bentuk resepsi sastra tersebut digunakan akan menghasilkan makna teks. Sebagaimana
dalam penelitian terhadap resepsi sastra kisah halnya metode kualitatif, dasar metode analisis
Gandari dalam puisi Indonesia modern. konten adalah penafsiran atau interpretasi teks.
Ketujuh teks puisi yang memuat resepsi sastra

6 , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 1 — 18 (Puji Santosa) The Literary Reception Gandhari Story in Modern Indonesian Poetry

kisah Gandari diinter­pretasikan maknanya Mengutuk Kege­lapan” Gunawan Maryanto,


berdasarkan peng­alaman penulis. Komparasi (5) “Kata Hati Gandari 1” Djoko Saryono, (6)
adalah memban­dingkan dua hal atau lebih objek “Kata Hati Gandari 2” Djoko Saryono, dan
penelitian dari pelbagai aspek (Santosa, 2015, (7) “Gandari” Goenawan Mohamad. Resepsi
hlm. 21). Sebagai sampel dan sekaligus objek sas­tra ini ditelaah dari proses kreatif penyair
peneli­tian ini adalah teks sajak “Gan­dari Berada men­transformasi kisah Gandari, yakni dari
di Kegelapan”, “Gandari di Pun­cak Kegelapan”, kisah Gandari yang terdapat dalam Mahabha­
“Gandari Memasuki Kegelap­an”, “Gandari rata (berbagai versi yang telah disebut di atas)
Mengutuk Kegelapan” Gunawan Maryanto, ke dalam puisi Indonesia modern melalui: (1)
“Kata Hati Gandari 1”, “Kata Hati Gandari transformasi kisah Gandari, (2) referensi gerak
2” Djoko Saryono, dan “Gandari” Goenawan budaya, dan (3) reaktualisasi filosofis dan nilai
Mohamad. Teknik pengumpulan data dilaku­kan budi pekerti.
dengan cara studi pustaka. Teknik peng­ambilan
sampel dilakukan de­ngan cara ber­dasarkan Transformasi Kisah Gandari
purposive sampling, yaitu peng­ambilan sampel Resepsi sastra kisah Gandari yang digubah
yang didasarkan pada tujuan penelitian. Teknik menjadi tujuh puisi Indonesia modern oleh tiga
analisis data dilakukan dengan teknik analisis penyair sastra Indonesia itu sejatinya merupakan
konten atau analisis isi teks yang melibatkan bentuk kreativitas estetis sebagai transformasi
interteks dan perban­dingan. Agar lebih jelas, budaya dalam proses kreatif penyair. Penafsiran
ber­ikut dipaparkan hasil analisis terhadap sajak kembali kisah Gandari melalui penulisan puisi
“Gandari Berada di Kegelapan”, “Gandari Indo­nesia modern tentu berpengaruh terhadap
di Puncak Kegelap­an”, “Gandari Memasuki penerimaan, tanggapan, sambutan, dan atau
Kegelapan”, “Gandari Mengutuk Kegelapan” resepsi pembaca yang hidup dalam suasana
Gunawan Maryanto, “Kata Hati Gandari 1”, kekinian. Hal itu berarti resepsi pembaca
“Kata Hati Gandari 2” Djoko Saryono, dan terhadap kisah Gandari dalam epos Maha­bharata
“Gandari” Goenawan Mohamad tersebut. pada hakikatnya dijembatani oleh resepsi aktif
pengarang, dalam hal ini tiga penyair sastra
HASIL DAN PEMBAHASAN Indonesia, yaitu Gunawan Maryanto, Djoko
Kisah Gandari yang terdapat dalam kisah Saryono, dan Goenawan Mohamad. Dengan
Mahabharata, baik Mahabharata versi India demikian, pembacaan terhadap karya sastra
(Rajagopalachari, 2008; Sharma, 2013), versi yang berunsur kisah tradisional dan atau
Bali (Pendit, 2009), versi Jawa (Riantiarno, berunsur mitologi akan melibatkan dua macam
2016), mau­pun versi wayang Jawa (Sudjarwo penerimaan, yaitu penerimaan terhadap karya itu
dkk. 2013), versi babon cerita wayang Jawa sendiri sebagai karya sastra Indonesia modern,
Pustaka Raja Purwa (R.Ng. Ranggawarsita), dan sekaligus juga penerimaan terhadap unsur
Serat Purwakandha (Hamengkubuwana V) mitos kisah Gandari yang termuat di dalam epos
dan Serat Pedhlangan Ringgit Purwa (Mang­ Mahabharata.
kunegara VII) menjadi dasar acuan resepsi Transformasi kisah Gandari ke dalam
produtif tiga pe­nyair sastra Indonesia dalam bentuk puisi Indonesia modern tentu melalui
menulis puisi Indone­sia modern, yaitu sajak proses: (1) pengamatan, (2) peniruan, dan
(1) “Gandari Berada di Kegelapan” Gunawan (3) penggubahan dengan kreativitas estetis.
Maryanto, (2) “Gan­dari di Puncak Kegelapan” Mardjuki (dalam Harefa, 2003, hlm. 31—34)
Gunawan Maryan­to, (3) “Gandari Memasuki merujuk pada pemikiran Ki Hadjar Dewan­
Kegelapan” Guna­wan Maryanto, (4) “Gandari tara yang menyebut proses kreatif itu dengan

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 7
Resepsi Sastra Kisah Gandari dalam Puisi Indonesia Modern (Puji Santosa) Halaman 1 — 18

teori N-3, yaitu Niteni, Nirokke, dan Nambahi sebagai istri. Pilihan Pangeran yang buta ini
(lihat juga Subagya 2010). Pada proses tatar­an jatuh pada Dewi Gandari, putri Raja Subala,
Niteni atau mengamati, ke­tiga penyair me­ dari Kerajaan Gandara atau negeri Plasajenar.
lakukan pengamatan dengan membaca, men­ Karena kecewa, tidak menjadi istri Pandu, Dewi
dengar, melihat atau menon­ton pertunjukan Gandari lalu menu­tup mata dengan selembar
kisah Gandari dari epos Mahabharata atau kain hitam agar tidak dapat menikmati keindahan
kisah-kisah pewayangan Jawa dengan berba­gai dunia, berpartisipasi mengikuti jejak suaminya
versinya. Melangkah pada tataran Nirokke atau yang buta, dengan berikrar: “Seumur hidup aku
menirukan, ketiga penyair melakukan peniruan tidak akan membuka kain hitam ini” (Rian­tiarno,
terhadap kisah Gandari yang ter­dapat di dalam 2016, hlm. 28). Hasil dari perkawinan dengan
epos Mahabharata dalam ber­b agai versi Drestarasta terse­but, Dewi Gan­dari melahirkan
tersebut. Peniruan yang dilakukan oleh ketiga seratus putra, disebut Kurawa, dan seorang putri
penyair sastra Indonesia tersebut tidak sekadar bernama Dursila­wati. Keseratus putra Gandari
menjiplak atau menyalin apa adanya, karena ada terse­but se­muanya terbunuh di medan pertem­
unsur ketiga Nambahi atau menggubah dengan puran melawan saudara sepupu mereka, para
kreativitas estetis. Dengan demikian, proses Pandawa, dalam perang Bharatayuda.
kreatif transformasi resepsi sastra dari teks Seusai perang besar Bharatayuda selama
hipogram, yaitu teks yang menjadi referensi, delapan belas hari di padang Kurusetra, Gan­
ke teks versi sastra hasil ciptaan baru, tujuh dari meratapi kematian seratus putra-putra­
puisi Indonesia modern, terdapat hal-hal yang nya. Kemudian Gandari menghujat Kresna
dipertahankan dan ada juga hal penyimpangan yang membiarkan perang besar Bharatayuda
dengan kre­ativitas estetis. itu terjadi. Seharusnya perang besar itu dapat
Kisah Gandari dalam epos Mahabharata dicegah oleh Kresna dan menyelamatkan
tidak diceritakan secara khusus dan tidak anak-anaknya. Karena kecewa yang luar biasa
juga dibuat dalam satu episode tertentu. Pada itu, lalu Gandari mengutuk Kresna bah­wa
awalnya dikisahkan Pandu memenangkan wangsa Wresni akan binasa saling mem­bantai
sayembara memanah di Kerajaan Mandura sesamanya. Tiga puluh enam tahun kemudian
dan berhak memboyong Dewi Kunthi ke istana kutukan Gandari tersebut menjadi kenyataan.
Hastina. Akan tetapi, Narasoma yang datang Gandari sendiri menemui ajal kematian bersama
terlambat mengikuti sayembara me­nantang suami, Drestarasta, dan juga dengan Dewi
Pandu untuk bertarung mendapat­kan Dewi Kunthi, dilalap api yang membakar hutan tempat
Kunthi tersebut. Akhirnya, Naraso­ma kalah dan tinggalnya di masa tua.
menyerahkan adiknya, Dewi Madrim, kepada Transformasi kisah Gandari dari epos
Pandu untuk diperistri. Di tengah perjalanan Mahabharata ke dalam tujuh puisi Indonesia
kembali ke Hastina, Pandu dicegat oleh modern tersebut meliputi transformasi ceri­ta,
Sangkuni atau Harya Suman yang sedianya juga tokoh, dan peristiwa. Pada hakikatnya ki­sah
ingin mengikuti sayem­bara di Mandura, tetapi Gandari dalam epos Mahabharata seperti
terlambat datang. Sangkuni pun menantang yang dipaparkan di atas, dalam ketujuh puisi
perang pada Pandu dengan berkesudahan kalah Indonesia modern tersebut tidak mengalami
serta menyerah­kan kakaknya, Dewi Gandari, perubahan yang berarti. Pada empat puisi
kepada Pandu untuk diperistri juga. karya Gunawan Maryanto, “Gandari Mema­
Sesampainya di istana Hastina, atas sa­ran suki Kegelapan” mengisahkan awal Gandari
Resi Bhisma, ketiga putri boyongan terse­but menutup mata karena bersuamikan Drestarasta
salah satunya harus dipilih Pangeran Drestarasta yang buta. Setelah mendengar kabar Kunthi

8 , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 1 — 18 (Puji Santosa) The Literary Reception Gandhari Story in Modern Indonesian Poetry

dan Madrim melahir­kan anak-anak yang elok kala di taman hati yang dikepung patriarki
rupawan, “Gandari Berada di Kegelapan”, begitu lama. “Tersebab Drestarasta buta, aku
karena harapan darah keturun­annya yang akan pun menutup mata/ lipatan kacu hitam kube­
menduduki singga­sana Hastina sia-sia. Karena batkan mata sepanjang usia/ menampik pen­
hilang kesabaran dan murka, “Gandari di dar cahaya, menolak terang dunia/ menying­
Puncak Kegelapan” dengan memukuli rahimnya kirkan keindahan yang menyihir kepala:/ ini
sangat keras sehingga lahirlah segumpal darah. tanda cinta suci atau tindak hilang asa?/ ini
Sedianya gumpalan darah itu akan dibuang oleh bukti bela cinta atau kecewa tak terkata?”
Gan­dari, tetapi dicegah Abiyasa, lalu gumpalan (Saryono, 2013, hlm. 38). “Tapi, takdir dan
darah itu dipotong-potongnya menjadi sera­ celaka tak bisa ditunda, Pandu mangkat usia
tus satu dan ditempatkan pada seratus satu muda/ Drestarasta naik tahta, meski semen­tara,
guci yang berisi mentega murni. Dua tahun hingga Pandawa dewasa/ Tatkala Pan­dawa
kemudian, guci yang berisi potongan gumpal­an dewasa, Duryadana duduki tahta, tanpa restu
darah dan mentega murni itu berubah menjadi tetua:/ bukankah aku lelaki sempurna, tak cacat
seratus putra dan satu putri. Akhir­nya, “Gandari mata seperti ayahanda/ kenapa ga­ris tahta
Mengutuk Kegelapan” karena seratus putranya harus ikut keturunan paman Pandu Dewanata/
binasa semua tidak tersisa di medan peperangan padahal dia anak kedua, adik ayahanda, meski
Bharatayuda. Dengan empat puisinya itu berlainan ibunda/ mestinya dikembalikan
Gunawan Maryanto dapat merangkai cerita kepada Duryudana, sulung trah Kurawa/ Maka
Gandari dari awal menutup mata hingga wangsa Kuru pun terperang­kap simalakama,
mengutuk kegelapan karena meratapi kematian terundung malapetaka:/ sesaudara menggelar
seratus putranya. Bharatayuda, mempe­re­b utkan tahta fana/
Dua puisi karya Djoko Saryono, “Kata Hati Maka kekuasaan pun goyah, kesempurnaan
Gandari 1” dan “Kata Hati Gandari 2” bercerita terbelah, kebenaran tak absah:/ karna palsu
tentang ungkapan hati Gandari yang kecewa belaka, tebal rias pura-pura, dan sarat nafsu
luar biasa atas terpilih dirinya sebagai istri dursila” (Saryono, 2013, hlm. 39—40). Sejak
Drestarasta. Pada awalnya Gandari menerima menginjakkan ka­kinya di istana Hastina pertama
dirinya dipersembahkan ayahandanya, raja kali hingga ajalnya tiba, Gandari menderita
Subala, kepada Pangeran Pandu atau Drestarasta sepanjang hidupnya hanya karena menjalani
dari wangsa Kuru di negeri Hastina agar temali suratan takdir atau nasib yang digariskan oleh
kekuasaan kokoh tidak tertandingi oleh siapa Dewa.
pun. Akan tetapi, ketika berada di istana Hastina Satu puisi naratif yang panjang karya
itu Resi Bhisma dengan bijak menawarkan Goenawan Mohamad, “Gandari”, bercerita
kepada Pengeran Drestarasta yang buta agar tentang ‘rekaman lima hari sebelum ibu para
memilih salah satu dari putri boyongan Pandu. Kurawa itu membalut matanya dengan sehelai
Gandari pun mencari daya upaya agar tidak kain hitam, mendampingi suaminya, raja buta
dipilih Drestarasta, padahal Pandu paling itu, sampai kelak, beberapa detik sebelum ajal’
dicintai Gandari. Meskipun Gandari telah (Mohamad, 2013, hlm. 1). Gandari tidak ingin
berbalur amis tiada kira, bau ikan, tetap saja melihat lagi gemerlapnya dunia yang penuh
Drestarasta memilih Gandari karena roh naga warna-warni. Dilandasi oleh rasa putus asa dan
Kowara membawa mustika sasraludira lalu amarah, Gandari memutuskan untuk benar-benar
menyusup ke dalam dada Gandari. Akhirnya, menutup mata terhadap apa yang terjadi di sekeli­
Gandari lumpuh daya, diam bertudung duka, ling­nya. Sosok Gandari merupakan perwujudan
hujan kesedihan, seketika menderas berkala- dari ketidakadilan masyarakat patriarkat yang

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 9
Resepsi Sastra Kisah Gandari dalam Puisi Indonesia Modern (Puji Santosa) Halaman 1 — 18

menjadikan perempuan sebatas alat untuk Jasadipoera II, Ranggawarsita, Pakoe Boewa­
membentuk aliansi politik yang menguntung­ na III, IV, V, VII, dan Mangkoenegara VII
kan melalui ikatan perkawinan, kendatipun atas kiprah kreativi­tas agung mereka sehingga
perkawinan tersebut akan meruntuhkan im­ mendorong dirinya menuliskan kembali Ma­
pian seorang gadis muda yang siap memasuki habharata. Selain mereka, juga ada R.A. Kosa­
pintu pernikahannya. Bagi Gandari tidak ada sih, Ardisoma, para dalang wayang (purwa,
lagi yang indah untuk dilihat, dipandang, dan beber, menak, cinajawa, wong, kayu, krucil,
atau ditonton dengan mata kepalanya. Anu­ klitik, kulit, golek), baik pakem, ca­rangan,
gerah dewata dengan seratus putra pun, yang maupun sempalan, yang telah sangat meng­
akhirnya kesemuanya tewas di medan pepe­ ilhaminya menuliskan Mahabha­rata Jawa,
rangan Bharatayuda, hanya berarti ejekan, dengan salah satu tokohnya adalah Gandari.
olok-olokan, dan sarkasme bagi diri Gandari Tentu dengan referensi gerak buda­ya seperti
yang tidak mampu melawan suratan takdir yang itulah Riantiarno memberi sesuatu yang sangat
telah ditentukan oleh dewata. Nasib Gandari berharga kepada khalayak pembaca.
memang tragis, sepanjang kisah tidak ada satu Demikian halnya dengan referensi gerak
pun yang menyenangkan. Dari awal sudah budaya yang dilakukan oleh ketiga penyair
menjadi putri boyongan akibat adiknya, Harya sastra Indonesia modern, yaitu Gunawan
Sangkuni, kalah bertanding dengan Pangeran Maryanto. Djoko Saryono, dan Goenawan
Pandu. Bersuami Pangeran yang buta, tidak Mohamad, dalam sajak-sajaknya tentang Gan­
sesuai dengan harapannya. Meski dikaruniai dari. Sebagai referensi gerak budaya kisah
seratus putra dan satu putri, anak-anaknya Mahabharata yang menghadirkan tokoh Gan­
bebal, dan seratus putranya binasa di medan dari dalam puisi Indonesia modern sengaja
pertempuran. Akhir hidup Gandari pun tragis diambil oleh tiga penyair sastra Indonesia
dengan terusir dari istana Hastina, hidup di tersebut untuk dipergunakan sebagai lam­bang
hutan bersama suami yang buta, lalu menemui gerak kehidupan dan memberi roh kehidupan
ajal dengan dilalap api yang membakar hutan pada karakter tokoh Gandari. Kisah dan tokoh
tempat tinggalnya. wayang Gandari sengaja dijadikan sebagai salah
satu referensi gerak budaya dalam penulisan
Referensi Gerak Budaya puisi Indone­s ia modern karena dipandang
Suatu kebudayaan senantiasa bergerak, bersifat masih relevan dalam kehidupan dewasa ini
dinamis, sesuai dengan gerak lang­kah kehidupan kendatipun harus dilakukan secara kontekstual
manusia dari satu masa ke masa berikutnya. sesuai dengan latar belakang kehidupan
Kisah Gandari yang pada awalnya diciptakan masyarakat dewasa ini. Hal itu dilakukan oleh
dan digubah oleh Viyasa sebagai salah satu ketiga penyair sastra Indonesia modern tersebut
tokoh perempuan dalam Mahabharata (Sharma, dengan menampilkan masalah pokok perso­
2013, hlm. 38—52), ratus­an tahun yang lalu, alan gender dengan pelbagai masalah yang
menjadi sebuah fe­nomena atau pertanda adanya dihadapinya.
gerak budaya dari satu masa ke masa, dan hal itu Tokoh Gandari oleh Gunawan Maryanto
terus berlanjut hingga kini. Riantiarno (2016, dilambangkan sebagai tokoh wanita ambisius
hlm. iv) menyata­kan terima kasih yang tidak yang kecewa akibat dunia tidak berpihak
terhingga kepada Viyasa, Walmiki, Sendok, kepadanya. Hal ini beralasan bahwa “Kututup
Kanwa, Sedah, Panoeloeh, Prapantja, Darma­ mataku karena dunia menutup matanya ke­
wangsa Tegoeh, Airlangga, Djajabaja, Soenan padaku/ Kututup mataku agar aku tak tahu
Kalidjaga, Soenan Bonang, Jasadipoera I, bagaimana mereka melihatku// Pandu, kuca­ri

10 , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 1 — 18 (Puji Santosa) The Literary Reception Gandhari Story in Modern Indonesian Poetry

kamu dalam kegelapan ini/ Kuburu kema­na atau Drestarasta/ biar temali kekuasaan ko­
pun larimu/ Kumulai perseteruan kita dari koh tak tertandingi sesiapa.” (Saryono, 2013,
kegelapan ini/ Tak ada lagi cahaya yang hlm. 37). Kekuasaan dan wibawa negeri
tersisa/ Untukmu, juga untukku” (Maryanto, Has­tina yang mampu menguasai dunia meng­
2009, hlm. 23). Gandari menutup mata kare­na abaikan tenaga mental yang berwujud cinta,
dunia juga menutup mata atas dirinya. Pandu dan Gandari pun menjadi korban: “Tersebab
yang dicintainya, ternyata membo­hongi dan Drestarasta buta, aku pun menutup mata/
tidak berpihak kepadanya. Atas kekecewa­ lipatan kacu hitam kubebatkan mata sepan­
annya itu Gandari pun mengutuk dunia yang jang usia/ menampik pendar cahaya, meno­lak
tidak berpihak kepadanya: “Tapi sekarang, terang dunia/ menyingkirkan keindahan yang
dalam kegelapan ini, aku sama sekali tak menyihir kepala:/ ini tanda cinta suci atau
bisa merelakan kematian seluruh anakku. tindak hilang asa?/ ini bukti bela cinta atau
// Aku tahu kau tersenyum, Kresna. Aku tak kecewa tak terkata?// Tersebab Dresta­rasta
melihatnya tapi aku bisa merasakan­nya. Inilah buta, aku pun menutup mata/ bukan­kah cinta
akhir yang sejak lama memang kau bayangkan. tak butuh mata, hati jalan sempur­na/ bukankah
Karena bangsa Wresni tak bisa mati maka kau asmara tak damba raga, rasa paling utama/
memburu kematian sam­pai di sini. Baiklah, bukankah hasrat tak syaratkan hasta, raba
kukabulkan keinginanmu. Tiga puluh enam sumber perdana/ ini tanda hor­mat atau rasa
tahun dari hari ini, bangsa Wresni akan hilang jijik menguasai dada?/ ini bukti menerima
dari muka bumi. Kalian akan saling bunuh. cinta atau laku serba mendua?// Tersebab
Demikianlah kalian akan berkenalan dengan Drestarasta buta, hatiku bergelora samudra
kematian. Lalu tanah yang kalian pijak akan saat bercinta:/ kendati tak saling tatap mata tak
tenggelam ke dasar lautan. Tak ada lagi jejak saling puja raga.// Tersebab Drestarasta buta,
bangsa Wresni di muka bumi ini. Kalian akan rasaku berombak saat me­madu asmara:/ berkat
hilang dan terlu­pakan. Apalagi yang lebih dengus gairah kama­s utra gairah erotika”
menyedihkan dari­pada hilang dan terlupakan. (Saryono, 2013, hlm. 38). Gandari yang
Terimalah, Kresna. Tersenyumlah jika kamu menjadi korban akibat kekuasaan, wibawa,
masih bisa tetap tersenyum. Tapi tiga puluh dan cinta menjadi kepribadian terbelah dan
enam tahun lagi kau akan menyesalinya” dilematik. Pada satu sisi Gandari harus setia
(Maryanto, 2009, hlm. 24—25). Siapa pun dan patuh kepada suaminya, Drestarasta yang
orang yang kecewa akibat dunia tidak berpihak buta, senasib dan sepenanggungan, dan pada
kepada­nya (mendapat­kan suami buta yang sisi yang lain gelora api asmara membuatnya
tidak sesuai dengan harapannya, dan seratus berontak serta memburu Pandu ke mana pun
anaknya pun tewas tidak tersisa dalam medan perginya: “Tersebab berita dibawa Bisma,
pertempuran Bharatayuda), sudah barang aku pun mencari upaya/ biar tak dipilih
tentu akan mengutuk dunia yang dianggapnya Drestarasta, padahal Pandu paling kucinta/
angkuh dan acuh tak acuh kepadanya. Meski berbalur amis tiada kira, memilihku juga
Sementara itu, Djoko Saryono memer­ Drestarasta/ karna naga Kowara bawa mustika
sepsi tokoh Gandari sebagai tokoh wanita sasraludira menyusup dada:/ aku lumpuh
yang menjadi korban akibat kekuasaan, daya, aku pun diam bertudung duka/ hujan
wibawa, dan cinta. Hal ini beralasan bahwa kesedihan seketika menderas berkala-kala/
“Tersebab kuasa dan wibawa wangsa Kuru di taman hati yang dikepung patriarki begitu
di dunia:/ aku pun dipersembahkan ayahanda lama” (Saryono, 2013, hlm. 37). Su­djarwo
bagi mereka/ menjadi istri pangeran Pandu dkk. (2013, hlm. 701) menyebutkan bahwa

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 11
Resepsi Sastra Kisah Gandari dalam Puisi Indonesia Modern (Puji Santosa) Halaman 1 — 18

“Dewi Gandari mempunyai sifat kejam, bengis, dilihat hanyalah kekacauan, kehancuran,
dan pendendam. Dendam dan kebenciannya malapetaka, dan bencana, lebih enak tidak
terhadap Pandu menjadi pe­n yebab utama melihat dan juga tidak mendengar apa pun
permusuhan Kurawa dan Pan­dawa.” Per­ubahan karena yang dilihat dan yang didengar setiap
watak atau karakter tokoh Gandari dari semula hari hanya kebohongan dan kepalsuan. Hal itu
ketika masih gadis muda belia begitu setia, semua ada di sekitar kita sekarang ini, tentu
patuh, dan hormat, ber­ubah menjadi bengis, dengan cerdas cendekia ditemukan Goenawan
kejam, dan pendendam akibat kecewa yang Mohamad pada tokoh Gandari.
tidak berkesudahan. Kisah Gandari sesungguhnya merupakan
Goenawan Mohamad memberi roh dan dongeng yang melegenda dan sudah beratus
menghidupkan tokoh Gandari sebagai tokoh tahun dikisahkan dalam cerita Mahabharata di
wanita yang setia mendampingi suami dan India, lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia,
tegar menghadapi badai kehidupan hingga termasuk ke Indonesia, serta kini dihadirkan
ajal tiba. Hal itu beralasan bahwa “Rekaman kembali oleh Gunawan Maryanto, Djoko
lima hari sebelum ibu para Kurawa itu Saryono, dan Goenawan Mohamad melalui
membalut matanya dengan/ sehelai kain tujuh sajak Indonesia modern. Dalam ketujuh
hitam, mendampingi suaminya, raja buta itu, sajak tersebut diangkat dan diberi konteks baru
sampai kelak,/ beberapa detik sebelum ajal…// karena sebenarnya semua mitos dan semua
Ia, yang tak ingin lagi melihat dunia, sore dongeng itu tidak hanya bercerita tentang masa
itu/ menengok ke luar jendela buat terakhir lalu begitu saja, tetapi juga tentang pola hidup
kalinya:” (Mohamad, 2013, hlm. 1). Melalui yang berulang dalam kehidupan manusia.
sajak “Gandari” ini Goenawan Moha­m ad Ketiga penyair sastra Indonesia tersebut dengan
telah memberi roh dan menghidupkan cerita cemerlang melihat celah itu dan membuat
lakon wayang yang biasanya dipisah­kan dari jembatan antara dongeng dan realitas hidup.
realitas hidup sehari-hari. Kisah Gandari Gandari sebagai seorang ibu yang setiap
menjadi relevan dengan realitas ke­hidupan hari mendengar anak-anaknya, para Kurawa,
masa kini. Dalam cerita Mahabha­rata digam­ kalah perang melawan Pandawa. Perempuan
barkan seorang ibu, Gandari, kehilangan itu memilih menutup matanya kepada dunia.
seratus anaknya, Kurawa. Setiap hari Gandari Dunia yang dapat dilihat dengan mata diang­
mendengar kabar yang disam­paikan Sanjaya gap Gandari penuh kepalsuan dan kebohong­an
bahwa anaknya satu per satu tewas karena sehingga dia lebih memilih mendengar daripada
perang. Meski demikian, sete­lah perang besar melihat. Mendengar baginya lebih nyata tanpa
Bharatayuda tersebut Gan­d ari menghujat ada kegemerlapan, silap maya pesona dunia,
habis-habisan (mengutuk) Kresna (Rajago­ yang terlihat lewat indra mata tersebut sejatinya
palachari, 2008, hlm. 451; Pendit, 2009, hlm. sebuah tipuan dan kebo­hongan. Kenyataan
365; Kapalaye, 2010, hlm. 152; Sharma, 2013, bahwa kehadiran tujuh sajak tentang Gandari itu
hlm. 51; dan Riantiarno, 2016, hlm. 231) yang sebagai referensi gerak budaya menjadi suatu
tidak dapat mencegah terjadinya perang yang pertanda bahwa kisah Gandari itu dinamis,
membina­sakan ratus­an ribu orang dan binatang akulturasi, dan terintegrasi menjadi lambang
pun ikut tewas mengenaskan. Kemudian, perjuangan wanita yang menjadi korban
Goenawan Moha­mad dalam puisinya “Gandari” kekuasaan, wibawa, dan cinta. Oleh sebab itu,
tersebut menganalogikan kisah Gandari dengan bagi masyarakat masa kini menjadi sebuah
kehi­dupan masa kini bahwa sebenarnya orang pembelajaran untuk lebih berhati-hati memi­
lebih enak tidak melihat apa-apa karena yang lih jalan hidup yang diyakini akan membawa

12 , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 1 — 18 (Puji Santosa) The Literary Reception Gandhari Story in Modern Indonesian Poetry

kita pada keberuntungan, keten­teraman, ke­se­­ Ternyata kekuasaan nasib begitu luar biasa,
jahteraan, dan kebahagiaan. bersifat adikodrati, begitu susah ditaklukkan
oleh siapa pun. Meskipun Gandari berusaha
Reaktualisasi Filosofi dan Nilai Budi dengan sekuat kemampuan untuk melawan
Pekerti nasib dan suratan takdir, akhirnya kalah, pasrah,
Penulisan kembali unsur cerita wayang, dalam dan menyerah.
hal ini kisah Gandari, menjadi bentuk puisi Filosofi hidup dan nilai budi pekerti yang
Indonesia modern oleh ketiga penyair sastra terungkap dalam kisah Mahabharata atau
Indonesia modern tersebut dilakukan juga pertunjukan wayang Jawa tersebut telah ber­
sebagai upaya reaktualisasi filosofi dan nilai- geser maknanya ketika memahami dengan
nilai budi pekerti yang terkandung dalam kisah saksama ketujuh sajak tentang Gandari yang
Mahabharata atau pertunjukan wayang Jawa. diekspresikan oleh tiga penyair sastra Indo­
Dalam pertunjukan wayang mengandung filosofi nesia modern tersebut. Gunawan Maryanto
dan nilai-nilai—etika dan moral (Suyami, 2006, menandai filosofi kehidupan itu menjadi
hlm. 47—57) serta pendidikan budi pekerti ‘puncak kegelapan’ yang diderita Gandari:
(Solichin dkk. 2011, hlm. 127—175)—yang
dapat dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi, “Tak ada siapa-siapa di sini/ Tak ada apa-apa
moral keutamaan hidup, identitas bangsa, di sini/ Mungkin tak ada yang pernah berada
di sini/ Di puncak kegelapan ini// Hanya aku
kesejahteraan hidup, sarana pendidikan, dan citra
dan segumpal daging/ Aku dan segumpal pe­
bangsa. Kisah Gandari pada awalnya, seperti rasaan asing// Lalu kuiris gumpalan daging itu
yang dikisah­kan dalam Mahabharata atau dunia jadi seratus iris/ Kutiris dan kutanam dalam
pertun­jukan wayang Jawa, mengajarkan filosofi seratus pot tanah// Dan dari puncak kegelapan
hidup untuk menerima suratan takdir dan nasib ini/ Kutunggui daging-daging itu tumbuh/
yang telah digariskan Tuhan Yang Maha Esa. Menjadi anak-anakku/ Anak-anak kegelapan/
Dengan filosofi hidup seperti itu kisah Gandari Dan pada saatnya nanti sebagai­mana malam/
Mereka akan turun menyeli­muti dunia/ Dan
mengajarkan budi pekerti agar setiap manusia
pada saatnya nanti dunia akan menjadi gelap/
untuk senantiasa bersyukur, tawakal, dan
sepenuhnya/ dunia akan penuh dengan diriku//
menerima dengan legawa (tulus ikhlas) apa pun seratus anakku/ segeralah tumbuh kalian,
yang terjadi sudah sesuai dengan suratan takdir segeralah besar kalian, jadilah jemari ibumu,
dan nasib tersebut. Oleh karena itu, Goenawan jadilah jemari kegelapan// Pandu, tunggulah!/
Mohamad (2007) dalam catatan pinggir Tempo Kini aku punya seratus jari yang menuding
menuliskan: ke arahmu/ Seratus jari yang akan mengejar/
seluruh darah yang mengalir dari mata
“Gandari dapat diselamatkan dari para airmu// Seratus jari yang bergetar ini tak akan
penujum, tetapi dapatkah Gandari dibela dari berhenti bergetar/ sedetik pun hingga darah
nasib? Sejak Raja Subala mendengar ramalan menggenang di padang kuru/ entah darahku
buruk tentang nasib dan kehidupan putrinya atau darahmu.” (Maryanto, 2008).
itu, beliau perintahkan agar siapa pun yang
hendak membaca masa depan anaknya tidak Puncak kegelapan hati Gandari itu diawali
diperkenankan masuk ke istana Gandara. dari rasa kecewa yang mendalam terhadap
Baginda tidak akan lupa ucapan brahmana Pandu yang semula dijanjikan menjadi istrinya,
yang datang di musim semi itu—penujum tetapi setelah sampai di istana Hastina dirinya
terakhir yang diantar dengan bergegas ke luar
diberikan kepada kakaknya, Drestarasta yang
balairung: ”Kelak, putri Paduka akan hidup
dalam gelap, mungkin karena getir.” Tentu saja
buta, dan yang tidak dicintainya. Gandari
Gandari tidak mendengar kata-kata itu.” merasa dibohongi oleh Pandu, dibohongi yang

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 13
Resepsi Sastra Kisah Gandari dalam Puisi Indonesia Modern (Puji Santosa) Halaman 1 — 18

menyakitkan hati, meski itu juga buah karma naga dan kelewang. Hati ibu mana yang tidak akan
Kowara bawa mustika sasraludira menyusup hancur, ketika seratus orang putra yang per­
dada Gandari. Kekecewaan berikutnya ketika nah dibesarkannya dengan kasih seluruhnya
menyaksikan Pandu berbahagia dengan dua tewas terbantai dalam pertempuran. Pada
istrinya, Kunthi dan Madrim, telah melahir­kan hari yang kedelapan belas dari perang besar
anak-anak yang elok rupawan. Semen­tara itu, itu tinggal Duryudana, sang putra sulung,
dirinya hanya mampu melahirkan segumpal sejahat apa pun anaknya ini, Gandari sungguh
daging dan segumpal perasaan asing: tidak ingin kehilangan putranya yang tersisa
itu. Ia lalu menyuruh Duryudana membuka
“Aku hanya mendengar suara-suara/ yang bajunya, Gandari ingin memberikan kekuatan
terus menjauh, meninggalkanku/ sen­dirian dari kesetiaannya mendampingi suaminya
dalam malam dendam/ sebagai­mana dulu
hidup dalam gelap. Gandari pun membuka
aku meninggalkan gandhara/ demi me­
menuhi dharmaku sebagai isteri raja/ kau ikatan yang menutup matanya sejak kaul itu
tahu kemudian, bukan raja yang kudapatkan/ ia ucapkan. Gandari telah murtad dari sum­
melainkan kegelapan// pandu telah menje­ pahnya. Ia pun memberi Duryudana sebuah
bakku/menjadi isteri seorang pangeran bu­ta/ kekuatan kasih dari seorang ibu. Duryudana
yang gagal menjadi raja karena buta// aku menjadi begitu kuat dan tangguh setelahnya.
hanya mendengar suara-suara/ putra-putra Apa yang lebih besar dan yang lebih kuat di
pandu telah lahir/ mendahului janin yang
bumi setelah kasih Tuhan? Kasih ibu, karena
lebih dulu/ mendekam dalam perutku/ apa
pada seorang ibu-lah Tuhan mewakilkan diri-
aku harus gagal untuk sekian kalinya?/ jika
ayahnya gagal menjadi raja/ apa anaknya Nya. Seorang ibu adalah representasi dari cinta
juga harus demikian?/ abiyasa, di mana ka­ kasih Tuhan di muka bumi. Walaupun di akhir
mu?/ kau bilang aku akan punya seratus anak/ kisah, Duryudana tetap gugur karena gada sakti
mana? tak satu pun anak keluar dari perutku/ Bima menghancurkan pahanya. Duryudana
perutku hanya terus membesar/ sekadar tidak membuka seluruh kain penutup dirinya
membesar/ dan tak menjadi apa-apa/ cuma saat Gandari memberi kekuatan linuwih-nya.
daging tumbuh/ dan dendam/ yang semakin
Duryudana yang jahat, bebal, dan dengki pun
penuh” (Maryanto, 2008).
masih harus merasa menjaga kehormatan ibunya
Dari satu kekece­waan ke kekecewaan dengan tidak melihatnya telanjang bulat. Orang
yang terus-menerus, seolah tidak berhenti, boleh menghakimi Gandari, sebagai seorang ibu
seperti itulah yang membuat Gandari berubah yang naif, tidak setia, kejam, dan pendendam:
perangai menjadi ambisius, kejam, bengis, dan
“Inikah akhir yang kau bayangkan, Kresna?
penden­dam. Sementara di tangan­mu/ kau masih meng­
Puncak dari segala kekecewaan hati genggam kemungkinan-kemungkinan yang
Gandari setelah perang besar Bharatayuda. lain./ Kau bisa saja membuat perang ini
Gandari sebagai seorang ibu dari para Kurawa, tak terjadi sebagaimana kau bisa/ membuat
setiap hari harus meratap dan berduka. Tidak perang ini jauh lebih mengerikan lagi. Aku tak
henti-hentinya Gandari mendapat kabar yang tahu apa/ yang berlangsung dalam kepalamu.
Apakah ini yang kau sebut dengan/ merawat
menyedihkan dan menyakitkan dari padang
dunia? Atau jika memang perang ini sudah
Kurusetra. Satu persatu putranya tewas dalam seharusnya terjadi/ sepatutnyakah kau men­
pertempuran. Satu persatu darah dagingnya jadi kusir Pandawa dengan menggenggam/
terkapar bersimbah darah. Satu persatu anak- seluruh rahasia kematian anak-anakku? Dan
anak yang pernah tumbuh di dalam rahimnya apakah ini perangmu?/ Apa urusanmu di sini,
meregang nyawa diterjang panah, tombak, Bangsa Wresni? Ini perkara darah Bharata,

14 , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 1 — 18 (Puji Santosa) The Literary Reception Gandhari Story in Modern Indonesian Poetry

tak/ ada sangkut pautnya denganmu sama ”Dengar­kan Emban, derap perang besar itu,
sekali. Biarlah anak-anakku dan/ anak-anak seakan-akan ada garis yang lurus yang jelas
Pandu yang menyelesaikannya. Siapa pun yang antara yang adil dan tidak. Tapi benarkah?
menang/ pada akhirnya aku rela meng­akui­nya. Cahaya memang menerangi dunia, tapi ia tak
Tapi sekarang, dalam kegelapan ini,/ aku sama pernah memperjelas dirinya sendiri. Aku ingin
sekali tak bisa merelakan kematian seluruh hidup tanpa cahaya” (Mohamad, 2007).
anakku” (Maryanto, 2009, hlm. 24).
Garis lurus yang jelas antara adil dan tidak
Hujat­an, kutukan, dan sumpah serapah itu adalah “takdir”, nasib getir yang telah dinu­
Gan­dari yang tidak terkendali itu menyasar jumkan Raja Subala dari Kerajaan Gandara
pada diri Kresna yang dianggap sebagai biang ketika Gandari masih gadis muda belia.
keladi kehancuran seluruh Kurawa, anak-anak Gandari memang harus menjalani surat­an
yang dicintainya. takdir dan garis nasib yang telah dinujum­kan oleh
Siapakah yang dapat meng­hakimi “kasih”. ayahandanya, Raja Subala. Para penujum istana
Siapa yang dapat menghakimi “cinta”. Siapa itu dapat dibungkam untuk tidak mengatakan
yang dapat ikut merasakan perih pedihnya hal sebenarnya yang terjadi. Akan tetapi, takdir
“kehilangan” mereka yang amat sangat dan nasib itu tidak dapat dibungkam, takdir
disayanginya, serupa kehilangan seorang ibu dan nasib tidak dapat dilawan dengan pelbagai
atas putranya, anak-anak ayam kehilangan induk cara, serta takdir dan nasib buruk itu selalu
semangnya. Mereka yang tidak mempunyai mendatang­kan penderitaan, kekecewaan yang
seseorang yang sangat amat dicintainya, tidak tidak ber­kesudahan, dan kegelapan jalan yang
mempunyai hak menjadi hakim atas cinta kasih ditem­puh. Djoko Saryono dalam sajaknya “Kata
seorang ibu seperti Gandari. “Kasih” yang murni Hati Gandari 2” menyatakan:
dan sedalam-dalamnya adalah cinta kasih yang
tulus sungguh tidak menghakimi. Goenawan “Tapi, takdir dan celaka tak bisa ditunda, Pandu
Mohamad melalui sajaknya “Gandari” menya­ mangkat usia muda/ Drestarasta naik tahta,
takan: “Katakan kepada saya,/ apakah yang meski se­mentara, hingga Pandawa dewasa//
Tatkala Pandawa dewasa, Duryadana duduki
paling menyakitkan/ dari perang, kekalah­an?/
tahta, tanpa restu tetua:/ bukankah aku lelaki
Ataukah kebencian?” (Mohamad, 2013, hlm. sempurna, tak cacat mata seperti ayahanda/
12). Kedua-duanya memang memilukan dan kenapa garis tahta harus ikut keturunan
menyakitkan sekali bagi Gandari yang telah paman Pandu Dewanata/ padahal dia anak
bersusah payah berusaha melawan suratan takdir kedua, adik ayahanda, meski berlainan ibun­
dan nasib. Pada akhir perang besar Bharatayuda da/ mestinya dikembalikan kepada Duryu­
itu memang kemarahan Gandari dapat reda dana, sulung trah Kurawa// Maka wangsa
Kuru pun terperangkap simalakama, terun­
akibat nasihat bijak Sang Abiyasa sehingga
dung malapetaka:/ sesaudara menggelar
kemarahan Gandari yang mempunyai kekuatan
Bharatayudha, memperebutkan tahta fana//
besar tersebut dapat berubah memaafkan para Maka kekuasaan pun goyah, kesempurnaan
Pandawa yang juga anak-anaknya. Gandari tahu terbelah, kebenaran tak absah:/ karna palsu
ada kata yang tidak pernah dapat dilawan, ada belaka, tebal rias pura-pura, dan sarat nafsu
kata yang seolah terasa kejam ketika semua dursila.// [Marcapada pun serasa mengerut –
sampai padanya, dan Gandari dipercaya adalah menanggung laku tak patut/ Makhluk-makh­luk
jawaban dari segala hal, yaitu “takdir”, nasib bermimik kecut – menggendong aib ber­larut-
larut]”(Saryono, 2013, hlm. 40).
dan keberun­tungan telah digariskan oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Goenawan Mohamad menutup
Sejati­nya, kehancuran keluarga Bharata
catatan pinggirnya tentang Gandari:
itu salah satunya juga atas andil Gandari yang

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 15
Resepsi Sastra Kisah Gandari dalam Puisi Indonesia Modern (Puji Santosa) Halaman 1 — 18

melahir­kan seratus anaknya, para Kurawa, yang mencapai cita-cita dan harapannya, meskipun
begitu bebal, serakah, dengki, iri, pen­dendam, kandas dan pada akhirnya semua itu Tuhan yang
serta haus kekuasaan, wibawa, dan cinta. menentukan peta perjalanan hidup manusia.
Gandari memang tidak menggugat ke-
kuasaan patriarkat yang melekat pada kelu­ SIMPULAN
arga Bharata. Sejatinya Gandari menjadi pe­ Resepsi sastra kisah Gandari yang digubah
lengkap penderita dalam epos Mahabharata menjadi puisi Indonesia modern oleh tiga
justru mengungkap banyak persoalan. Ketika penyair sastra Indonesia, yaitu sajak “Gandari
Gandari memutuskan untuk menutup kedua Berada di Kegelapan”, “Gandari di Puncak
matanya dengan selembar kain hitam, sampai Kegelapan”, “Gandari Memasuki Kegelapan”,
ajalnya tiba, agar tidak melihat apa-apa yang “Gandari Mengutuk Kegelapan” Gunawan
gemer­lap di dunia, Gandari akan dipuji seba­ Maryanto, “Kata Hati Gandari 1”, “Kata Hati
gai istri yang setia sekata, sehidup semati, setia Gandari 2” Djoko Saryono, dan “Gandari”
sepenanggungan, sebagai seorang wani­ta yang Goenawan Mohamad melalui pemaknaan atau
bersedia mengorbankan diri agar sena­sib dengan konkretisasi: (1) transfor­masi kisah Gandari
suaminya yang tunanetra. Namun, Gandari juga dengan kreativitas estetis sebagai proses kreatif
dianggap sebagai pe­rempuan yang merasakan penyair melalui pengamatan, peniruan, dan
pahit getirnya kehidupan karena Gandari tidak penggubahan cerita, tokoh, dan peristiwa, (2)
hendak melihat bagai­mana anak-anak pasangan referensi gerak budaya sebagai pertanda bahwa
Pandu dengan Kunthi dan Madrim—para kisah Gandari itu dinamis, akulturatif, dan
Pandawa—jauh lebih cemerlang daripada integra­tif menjadi lambang perjuangan wanita
para Kurawa. Tentu tidak hanya itu, Gandari yang menjadi korban kekuasaan, wibawa,
melaku­kan hal itu karena dirinya menang­ dan cinta, serta (3) reaktualisasi filosofi dan
gungkan kesewenang-wenang­an takdir yang nilai budi pekerti perjuangan Gandari mela­
mengukir sejarah hidupnya, menemukan satu wan suratan takdir dan nasib, meskipun pada
cara untuk melawan suratan takdir dirinya akhirnya pasrah, kalah, dan menyerah, sebagai
tersebut. Goenawan Mohamad dalam catatan suatu pembelajaran bahwa manusia diberi
pinggir Tempo menyatakan: hak untuk tetap berusaha sekuat kemampuan
mencapai cita-cita dan harapan­nya, meskipun
”Emban, kututup mataku karena aku tak ingin kandas dan pada akhirnya semua itu Tuhan yang
hidup hanya mengutamakan penglihatan
menentukan peta perjalan hidup manusia. Oleh
yang tajam dan cahaya cemerlang—memuja
sebab itu, bagi masyarakat masa kini menjadi
keunggulan me­manah, kemilau baju zirah,
berkibarnya panji-panji, tegasnya tapal batas. sebuah pembelajaran, dari kisah Gandari, untuk
Mata dan terang bisa menghadirkan benda di lebih berhati-hati memilih jalan hidup yang
ruang yang jauh, di dalam dan di luar peta, diya­kini akan membawa kita pada keberun­
tapi rabaanku menghargai apa yang dekat dan tungan, ketenteraman, kesejahteraan, dan
akrab, telingaku bertaut dengan bunyi dalam kebahagiaan. Dengan demikian, resepsi sastra
waktu” (Mohamad, 2007). kisah Gandari dalam puisi Indonesia modern
tersebut menunjukkan adanya pemaknaan yang
Dengan demikian, reaktualisasi filosofi dan dinamis (sebagai pertanda adanya referensi
nilai budi pekerti perjuangan Gandari melawan gerak budaya), kreatif (kemampuan yang luar
suratan takdir dan nasib, meskipun pada biasa tiga penyair sastra Indonesia modern
akhirnya pasrah, kalah, dan menyerah, sebagai menggubah dan mengahadirkan kembali resepsi
suatu pembe­lajaran bahwa manusia diberi teks yang hipogramatik pada cerita, tokoh,
hak untuk tetap berusaha sekuat kemampuan

16 , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 1 — 18 (Puji Santosa) The Literary Reception Gandhari Story in Modern Indonesian Poetry

dan pertis­tiwa), estetis (keindahan rangkaian Sastra. Diindonesiakan Dick Hartoko.


bahasa yang menghadirkan keindahan makna Jakarta: Gramedia.
filosofi dan nilai budi pekerti yang adi luhung Maryanto, G. (2008). “Gandari Berada di Ke­
dan edipeni), serta memberi roh dan kehidupan gelapan” dan “Gandari di Puncak Kege­
mitos tokoh Gandari yang tidak dapat dipisahkan lapan”. Dalam Perasaan-Perasaan yang
dari realitas sehari-hari. Menyusun Sendiri Petualangannya. Yog­
yakarta: Omah Sore.
DAFTAR PUSTAKA Maryanto, G. (2009). “Gandari Memasuki
Kegelapan,” hlm. 24 dan “Gandari Men-
Ajidarma, S.G. (2006). Kitab Omong Kosong. gutuk Kege­lapan”. Pinurbo, J. (Ed.). 60
Yogyakarta: Bentang Budaya. Puisi Indonesia Terbaik 2009: Anugerah
Sastra Pena Kencana. Jakarta: Gramedia
Chudori, L.S. (2012). Pulang: Sebuah Novel Pustaka Utama.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Maryanto, G. (2013). “Kunti”, “Amba”, “Satya-
Damono, S.D. (1982). “Di Banjar Tujuk Taban- wati”. Kompas, Minggu, 9 Juni 2013.
an”. Dalam Mata Pisau, hlm. 59. Jakarta:
Balai Pustaka. Maryanto, G. (2015). “Parasurama”, “Renuka”,
“Yama­dagni”, “Anjani”, “Supraba”, “Sum-
Damono, S.D. (1983). Perahu Kertas. Jakarta: badra”, “Windradi”, “Alap-Alap Surtikan-
Balai Pustaka. ti”, “Go­jali Suta”, “Sumba Juwing”. Da-
Damono, S.D. (1995). Hujan Bulan Juni. Ja- lam Kom­pas, Minggu, 18 Januari 2015.
karta: Grasindo. Mohamad, G. (1992). “Pariksit,” hlm. 18—21.
Danarto. (1969). “Nostalgia.” Horison Nomor Dalam Asmaradana. Jakarta: Gra­sindo.
12 Tahun ke IV, Desember 1969, hlm. Mohamad, G. (1998). “Persetubuhan Kunthi,”
357—362. hlm. 38—39. Dalam Misalkan Kita di
Dini, Nh. (1956). “Jatayu”. Dalam Dua Dunia. Sara­jevo. Jakarta: Kalam.
Jakarta: NV Nusantara. Mohamad, G. (2007). “Gandhari”. Cata-
Endraswara, S. (2013). Teori Kritik Sastra: tan Pinggir. Majalah Tempo. Edisi. 45/
Prinsip, Falsafah, dan Penerapan. Yogya­ XXXV/01 – 7 Januari 2007.
karta: Caps. Mohamad, G. (2013). “Gandari,” hlm. 1—12
Effendi, R. (1953). Bebasari. Jakarta: Fasco. dan “Hikayat Sri Rama,” hlm. 59—66.
Dalam Gandari. Jakarta: Tempo.
Harefa, A. (2003). Agar Menulis-Mengarang
Bisa Gampang. Jakarta: Gramedia Pusta­ Nurgiyantoro, B. (2003). “Wayang dalam Fiksi
ka Utama. Indonesia”. Humaniora Volume XV, No-
mor 1, 2003, hlm. 1—14.
Jatman, D. (2002). “Nasihat Untuk Begawan
Wisrawa”. Dalam Sori Gusti, hlm. 78—80. Nurgiyantoro, B. (2014). “Penggunaan Un-
Semarang: LIMPAD. gkapan Jawa dalam Kumpulan Puisi
Tirta Kamandanu Karya Linus Suryadi:
Jauss, H.R. (1974). “Literary History as a Chal-
Pendekatan Stilis­tika Kultural.” Dalam Lit-
lenge to Literary Theory,” Ralph Cohen
era, Volume 13, Nomor 2, Oktober 2014,
(ed.) New Direction in Literary History.
hlm. 201—214.
London: Roudledge & Kegan Paul.
Nurgiyantoro, B. (2016). “Transformasi Cerita
Kapalaye, K.A. (2010). Kamus Pintar Wayang:
Wayang dalam Novel Amba dan Pulang”.
Dari Versi India Hingga Pewayangan
Litera, Volume 15, Nomor 2, Oktober
Jawa. Yogyakarta: Laksana.
2016, hlm. 201—216.
Luxemburg, J.V. et al. (1984). Pengantar Ilmu

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 17
Resepsi Sastra Kisah Gandari dalam Puisi Indonesia Modern (Puji Santosa) Halaman 1 — 18

Pamuntjak, L. (2012). Amba: Sebuah Novel. Malang: Aditya Media Publishing.


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Saryono, D. (2015). Himpunan Puisi: Kemelut
Pendit, N.S. (2009). Mahabharata. Jakarta: Cinta Rahwana. Malang: Pelangi Sastra
Gramedia Pustaka Utama. dan Kafe Pustaka.
Pradopo, R.D. (1995). Beberapa Teori Sastra, Sastrowardojo, S. (1995). Dan Kematian Ma­kin
Metode Kritik, dan Penerapannya. Yog­ya­ Akrab. Jakarta: Grasindo.
karta: Pustaka Pelajar.
Segers, R.T. (1978). The Evaluation of Lite­rary
Rajagopalachari, C. (2008). Mahabharata. Texts. Lesse: The Pater de Ridder Press.
Terjemahan Yudhi Murtanto. Yogya­karta:
Sharma, K.A. (2013). Perempuan-Perempuan
IRCiSoD.
Mahabharata. Terjemahan Hakimi, D.K.
Ratna, N.K. (2008). Teori, Metode, dan Teknik & Isaiyas, I. Jakarta: Kepustakaan Populer
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Gramedia.
Pelajar.
Sindhunata. (2007). Anak Bajang Menggir-
Ratna, N.K. (2010). Metodologi Penelitian ing Angin. Jakarta: Gramedia Pustaka
Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humanio­ Utama.
ra Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka
Solichin dkk. (2011). Pendidikan Budi Pe­ker­
Pelajar.
ti dalam Pertunjukan Wayang. Jakarta:
Rendra, W.S. (1975). “Rakyat Adalah Sum- Yayasan Senawangi.
ber Ilmu”. Kompas, Minggu, 2 Agustus
Subagya, K.S. (2010). “Hakikat Belajar: Niteni,
1975.
Nirokke, Nambahi”. Siswa Nusan­tara.
Riantiarno, N. (2016). Mahabarata Jawa. Ja- Yog­yakarta: Pawi­yatan Taman Siswa.
karta: Grasindo.
Sudjarwo, H.S. dkk. (2013). Rupa & Karakter
Santosa, P. (1991). “Refleksi Cinta dalam La- Wayang Purwa. Jakarta: Kakilangit Ken­
kon Bebasari”. Harian Terbit. Sabtu, 12 cana Prenada Media Group.
Oktober 1991, hlm. 5.
Suryadi A.G., L. (1997). Tirta Kamandanu: 104
Santosa, P. (2015). Metodologi Penelitian Sas- Sajak Pilihan 1971—1996. Yogyakarta:
tra: Paradigma, Proposal, Pelaporan, dan Yayasan Untuk Indonesia.
Penerapan. Yogyakarta: Azzagrafika.
Suyami. (2006). “Wayang Sebagai Tontonan,
Santosa, P. (2016). “Tanda-Tanda Puitik Sajak Tuntunan, dan Tatanan”. Jantra Volume I,
‘Pertanyaan Srikandi’ Karya Wiyatmi”. Nomor 1, Juni 2006, hlm. 47—57.
Atavisme Volume 19 Nomor 1, Edisi Juni
Vodicka, F. (1964). “The History of the Echo of
2016, hlm. 15—28.
Literary Works”. Dalam A Prague School
Santosa, P. (2016). W.S. Rendra dalam Semiolo- Reader on Esthe­tics, Literary Structure
gi Komunikasi. Yogyakarta: Azzagrafika. and Style. Garvin, P.L. (Ed.). Wash­ington:
Georgetown University Press.
Santosa, P. (2016). “Fungsi Sosial Kemasyaraka-
tan Tembang Macapat”. Widyaparwa Vol- Widiatmoko, B. (Ed.). (2016). Antologi Puisi:
ume 44, Nomor 2, Desember 2016, hlm. Tancep Kayon. Bogor: Yayasan Leksika.
85—97.
Wiyatmi. (2012). “Pertanyaan Srikandi”. Da-
Santosa, P. dan Jayawati, M.T. (2010). Sastra lam Pertanyaan Srikandi: Antologi Puisi,
dan mitologis: Telaah dunia wayang da­lam hlm. 1. Yogyakarta: Ash-Shaff.
sastra Indonesia. Yog­ya­karta: Elma­tera
Wuraji. (2001). “Pengantar Penelitian”. Da­lam
Publishing.
Metode Penelitian Sastra. Jabrohim (Ed.),
Saryono, D. (2013). Kitab Puisi: Arung Diri. hlm. 1—6. Yogyakarta: Hanin­dita.

18 , Vol. 29, No. 1, Juni 2017 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Anda mungkin juga menyukai