Jawa yang telah ditetapkan menjadi salah satu warisan dunia oleh Unesco, PBB. Wayang berasal dari kata bahasa Jawa ‘wewayangan’ yang artinya bayang-bayang. Wayang di Tanah Jawa bukanlah sebentuk kesenian yang seragam. Setiap komunitas menciptakan wayang yang dikreasi sedemikian rupa sesuai dengan semangat lokal dan disesuaikan dengan kebutuhan pementasan. Wayang Gagrag Banyumasan merupakan tipe wayang khas yang hanya mengambil sebagian elemen dari wayang yang berasal dari daerah lain di Jawa seperti wayang Yogyakarta, wayang Kedu dan wayang Surakarta. Sesuai karakter masyarakat yang mengagungkan kebebasan dan keterbukaan, Wayang Gagrag Banyumasan mengandung banyak unsur humor, dan upaya menertawakan jenis wayang baku yang penuh dengan aturan.
Museum ini mulai dibangun semenjak tahun 1982,
sampai saat ini bangunan museum masih terus dikembangkan. Nama Sendang Mas merupakan bentuk singkat dari Seni Pedalangan Banyumas. Penegasan tersebut menegaskan betapa berbedanya Wayang Gagrag Banyumasan dengan jenis wayang lainnya.
Koleksi museum tidak hanya berupa jenis wayang
yang merefleksikan lintasan sejarah, melainkan juga sejumlah alat bantu pertunjukkan wayang seperti blencong sebagai alat tata cahaya, gamelan sebagai alat musik wayang baku, calung sebagai alat musik gagrag Banyumasan hingga pakeliran atau layar. Sejumlah koleksi Museum Wayang Sendang antara lain Wayang Gagrag Banyumasan Tempo Dulu dan Sekarang, Gagrag Yogyakarta, Wrayang Krucil, Wayang Prajuritan, Wayang Kidang Kencana, Wayang Golek Purwa, Wayang Golek Menak, Wayang Suluh, Wayang Beber, Wayang Kulit Purwa, Wayang Suluh, Wayang Golek Purwo, Wayang Golek Menak, Wayang Krucil, Wayang Beber, Gamelan Slendro, Calung/Angklung, Kaligrafi Huruf Jawa, Wayang Suket/Adam Marifat, Banyumas Tempo dulu, dan masih banyak lagi. Selain itu terdapat benda Tosan Aji, Buku perpustakaan dan arkeologi yang memamerkan sejumlah peninggalan peralatan dari bahan baku batu dan kayu. Klenteng Hok Tek Bio, Wisata Sejarah Banyumas
Kelenteng HokTek Bio yang terletak di Jalan
Pemotongan No. 3 Kelurahan Purwokerto Utara, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas atau lebih tepatnya di belakang Pasar Wage Purwokerto. Sebelum berdiri Pasar Wage, daerah ini merupakan pusat pemerintahan kadipaten, di bawah Adipati Pancurawis dimana dulunya lokasi Pasar Wage tersebut merupakan alun-alun.
Saat lokasi yang sekarang menjadi Pasar Wage, menjadi
pusat pemerintahan, banyak pedagang asongan dari China yang menawarkan dagangannya kepada masyarakat sekitarka dipaten, yang lama-kelamaan semakin ramai dan merambah kealun-alun. Dengan surutnya kadipaten tersebut membuat para pedagang asongan dari China yang bermalam dan sembahyang di teras Kadipaten.
Alun-alun yang sudah terlanjur menjadi ramai oleh
pedagang China, oleh Gubernur ditetapkan menjadi pasar yang diberi nama Pasar Wage. Sedangkan, pusat pemerintahan yang berpindah ke alun-alun Purwokerto sekarang yang memang dibuat oleh Pemerintah Hindia- Belanda agak menjauh dari Pusat Pemerintahan Kadipaten Pancurawis serta juga karena Ibukota Kabupaten Ajibarang dan Banyumas yang pindah ke Purwokerto. Teras Kadipaten yang tadinya sebagai tempat menginap dan sembahyang oleh pedagang asongan dari China dijadikan sebagai Kelenteng yang diberi nama Kelenteng HokTek Bio atau Kelenteng Dewa Bumi seiring surutnya Kadipaten Pancurawis. Sedangkan, alun-alun Kadipaten dijadikan sebagai Pasar Wage saaat ini.
Kelenteng HokTek Bio berdiri sekitar tahun 1831 oleh
pedagang China yang sering bermalam di teras tersebut yang dipimpin oleh Oey Yoe Wan. Saat pertama kali digunakan sebagai kelenteng, bangunan ini hanyalah bangunan biasa yang menyerupai joglo. Setelah dua kali direnovasi yaitu pada tahun 1879 dan 1987 bentuknya khas menjadi seperti sekarang. Baik atap, ornamen dinding sudah menyerupai gaya China. Serta beberapa kali ada pembangunan untuk memperindah kelenteng di bagian depan untuk aula perkumpulan orang etnis Tionghoa untuk sekedar berkumpul dan bermain catur. Bahasa Ngapak, Bahasa Banyumasan
Dalam budaya Jawa, bahasa dan perilaku begitu
berkelindan. Jawa Tengah yang saat itu dikuasai Kesultanan Mataram Islam memiliki kebiasaan untuk penerapan pendisiplinan perilaku dan bahasa yang dimiliki oleh rakyatnya. Orang Jawa sendiri mengagungkan pepatah “Basa iku busananing bangsa,” yang artinya bahwa bahasa merupakan balutan dari siapa diri kita.
Bahasa Jawa dikenal dengan penuturan bahasa yang
berjenjang bergantung lawan bicara yaitu Kromo dan Ngoko. Di samping itu, bahasa bagi orang Jawa adalah tentang bagaimana tutur kita mewakili sikap dan alam berpikir kita. Rakyat diharuskan menggenggam simbol, tata krama, unggah-ungguh sebagai simbol kekuasaan kerajaan.
Namun bahasa ngapak mampu bebas dari bayang-
bayang dialek Yogyakarta. Menurut buku Banyumas: Sejarah Budaya dan Watak yang ditulis Budiono Herusatoto, lokasi daerah berbahasa ngapak yang jauh dari pusat kekuasaan membuat budaya yang ada di masyarakat masih jarang yang terpengaruhi budaya ningrat.
Asal usul dialek ngapak diketahui dari sejarah orang
Banyumas sendiri. Dari sejarah yang ada, diketahui nenek moyang orang Banyumas berasal dari wilayah Kutai, Kalimantan, yang kemudian bermigrasi ke Pulau Jawa. Mereka masuk melalui Cirebon yang kemudian menyebar ke beberapa daerah seperti Gunung cermai, lereng Gunung Slamet, dan bantaran Sungai Serayu. Mereka yang mendiami wilayah lereng Gunung Slamet dan bantaran Sungai Serayu kemudian mendirikan kerajaan Galuh Purba yang meliputi Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kedu, Kebumen, Kulonprogo, dan Purwodadi.
Kerajaan Galuh Purba didirikan sebelum Mataram
Kuna. Namun setelah melalui beberapa masa, Galuh Purba tunduk pada kekuasaan Mataram. Akan tetapi, wilayah Galuh Purba tidak otomatis masuk dalam kekuasaan Mataram karena masih memiliki otonomi sendiri. Penduduk Mataram pun menyebut wilayah eks-Galuh Purba tersebut sebagai Mancanegara Kulon. Wilayah tersebut mulai dari Bagelen (Purworejo) hingga Majenang (Cilacap).
Wilayahnya yang agak jauh dari pusat kerajaan
dianggap sebagai salah satu alasan bahwa bahasa ngapak masih merupakan budaya asli karena bebas dari pengaruh politik kerajaan. Dari perkembangan sejarah, bahasa Jawa menjadi berbagai tingkatan berdasarkan status sosial (Ngoko, Kromo, dan Kromo Inggil) merupakan produk budaya yang dipengaruhi oleh situasi/kondisi politik pada masa itu (Mataram).
Masyarakat penutur ngapak disebut sebagai ‘adoh
ratu cedhak watu’ (jauh dari raja dan dekat dengan batu), yang artinya mereka jauh dengan rajanya baik secara geografis maupun interaksi kebudayaan. Hal ini membuat, kultur bahasa yang dibentuk oleh kerajaan tidak banyak masuk ke wilayah Banyumas dan Kedu. Ngapak tetap berjaya di rumah sendiri.
Jika dilihat dari karakter orang Banyumas yang blak-
blakan (apa adanya), masyarakat Banyumas cenderung tidak mempedulikan status sosial di masyarakat (ningrat/priyayi). Masyarakat Banyumas lebih suka menggalang sikap kesetaraan yang bersifat universal.
Struktur ini berpengaruh pada laku budaya mereka.
Ngapak adalah Bahasa Jawa Ngoko Jawadhwipa, sebuah aliran Jawa murni yang berada di strata enam tingkat di bawah Bagongan yang dituturkan kalangan bangsawan.
Perbedaan antara bahasa Jawa Yogya-Solo dan
Banyumas terletak pada vokal dan intonasi. Mereka memiliki pengucapan huruf vokal dan huruf konsonan seperti h, d, g, b, c, k, l, w, dengan penekanan, atau dalam bahasa linguistik adalah fonem vokal dan fonem konsonan.
Aksen ini membuat bahasa Ngapak terkesan kasar
dan tidak menaruh rasa hormat. Lain seperti bahasa Jawa Yogyakarta yang terkesan halus dengan unggah-ungguh yang telah diatur.
Justru bahasa ngapak seperti Banyumasan yang
disebut sebagai bahasa Jawa yang masih murni. Ngapak masuk ke dalam Jawadwipa, atau ngoko lugu. Dalam kesusastraan Jawa, bahasa Banyumasan dianggap sebagai bahasa Jawa murni.