“ … So let us therefore create a new guild of craftsmen, free of the divisive class pretensions that
endeavoured to raise a prideful barrier between craftsmen and artists! Let us strive for, conceive
and create the new building of the future that will unite every discipline. …”
Sumbangsih pemikiran dan karya Bauhaus memang berkaitan dan dipicu oleh PD1. Frances
Ambler, penulis The Story of Bauhaus (2018) dalam wawancaranya dengan The Local,
menuturkan, “Dorongan untuk Bauhaus muncul dari kengerian Perang Dunia Pertama dan
keinginan untuk melakukan berbagai hal dengan cara yang berbeda. Mereka menggunakan seni
dan desain untuk mencoba dan menanggapi kebutuhan waktu mereka. Masyarakat selalu
menghadirkan kebutuhan baru, jadi dengan cara itu [Bauhaus] selalu relevan. ” Kemudian,
menurut John V. Maciuika di bukunya Before the Bauhaus: Architecture, Politics, and the
German State, 1890-1920 (2005), eksistensi Bauhaus, baik sebagai institusi dan akademisinya
juga mengambil peran pada pergerakan politik saat itu, terlebih saat era dimulainya Perang
Dunia 2 (PD2), ketika muncul sentimen mengenai perbedaan nilai artistik Bauhaus yang
bersitegang dengan pandangan artistik Nazi, yaitu Romantisme.
Setelah melewati tahun-tahun depresi, ekonomi dunia mulai naik ke masa kejayaanya.
Dekade 1950-an menjadi awal dari rekonstruksi ekonomi dunia baru yang dipimpin oleh
Amerika Serikat (AS). Perusahaan-perusahaan AS pun mengambil posisi terdepan dalam banyak
industri. Imbasnya terhadap sektor desain grafis adalah dimulainya era keemasan di bidang
industri periklanan. Dekade 1960-an adalah coming of age dunia periklanan, ditandai dengan
penyempurnaan format komunikasi pada konten televisi, penggunaan copywriting, dan
penyesuaian fotografi untuk meningkatkan daya jual produk dan menghasilkan karya dengan
tingkat kreativitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Era ini dipengaruhi oleh perubahan
gaya hidup, konsumerisme dan pandangan sosial politik, oleh sebab itu, kehadiran iklan
dianggap penting karena ia mencerminkan semangat inovasi, kecanggihan, dan tren.1
Di 1970-an, kemajuan di bidang periklanan juga terjadi di Indonesia. Kala itu Orde Baru
baru saja ditegakkan, mengubah tatanan politik, serta membangkitkan sektor-sektor ekonomi
yang sempat terpuruk. Salah satu dampaknya adalah meningkatnya gaya hidup masyarakat yang
porosnya bergerak mengikuti tren global. Kantor-kantor agensi periklanan di Indonesia mulai
dibuka seiring kebijakan baru di bidang Penanaman Modal Asing yang membawa masuk
perusahaan-perusahaan multinasional ke Indonesia sehingga daya saing produk dan kebutuhan
sehari-hari meningkat.
InterVista dan Matari menjadi agensi periklanan Indonesia yang juga menjadi penanda
pada zamannya. InterVista menjadi perusahaan periklanan pertama yang berafiliasi dengan
perusahaan periklanan asing yaitu Ogilvy, serta menjadi perintis masuknya iklan komersial di
TVRI. Penggagas InterVista, Wicaksono Nuradi, didapuk sebagai perintis periklanan modern
Indonesia. Sedangkan Matari menjadi agensi iklan pertama yang membawa Clio Award untuk
Indonesia lewat arahan tata artistik Cahyono Abdi. Matari juga kemudian yang mengonstruksi
pemisahan kinerja studio periklanan (wujud servis Above The Line) dan studio desain grafis
(wujud servis Below The Line). Kala itu juga muncul Studio Decenta di Bandung (1973) yang
berisikan seniman linta disiplin: A.D. Pirous (seni lukis), G. Sidharta (seni patung), Adrian Palar
(desain interior), Sunaryo (seni patung), T. Sutanto dan Priyanto Sunarto (seni grafis). Decenta
melahirkan portfolio beragam seperti menangani kebutuhan desain grafis untuk pameran di
Pekan Raya Jakarta, sampai ke desain produk yang menangani dekorasi arsitektur Convention
Hall.
Pada 1980-an, muncul revolusi digital yang ditandai oleh pergeseran teknologi mekanik-
analog ke teknologi digital. Era ini membawa orang-orang lebih dekat dengan teknologi sehari-
hari, serta budaya populer. Salah satunya adalah kehadiran MTV yang menjadi bentuk budaya
populer global. MTV tidak bisa lepas dengan visual yang disajikan, karena gayanya menyerupai
Pop Art dan lantas dekat dengan anak muda. MTV juga menjadi salah satu media yang meliput
jatuhnya Tembok Berlin (1989) yang merupakan simbol berakhirnya Perang Dingin.
Kehadirannya di salah satu peristiwa paling seminal dalam sejarah Eropa modern ini juga
menjadi dampak evolusi yang telah dialami media.
MTV yang diminati secara global juga menjembatani masyarakat dunia ke globalisasi di
1990-an. Globalisasi memungkinkan percepatan pemasaran secara mendunia karena didukung
oleh kehadiran internet. Lantas keterlibatan desain grafis sendiri dengan adanya internet secara
substansial adalah memudahkan kontak langsung dengan potensi klien lintas spasial. Hal ini
memunculkan tren visual yang juga global (walaupun sekaligus menyusutkan ragam visualnya)
serta meningkatkan intensitas komunikasi rakyat dunia.
Media di 1990-an juga meliput peristiwa dunia saat itu di mana konteks HAM, terorisme,
kebebasan dan teknologi menjadi narasi yang hebat dan banyak diperbincangkan di forum
berbasis World Wide Web. Maka dari itu dekade ini banyak sekali melahirkan pemikiran kritis
dalam menanggulangi atau merespons isu sosial. Maraknya pemakaian komputer grafis oleh
desainer juga mengembangkan ragam gaya visual yang muncul di media. Di Indonesia sendiri,
hal ini bisa ditemui dengan banyaknya praktik pada majalah, print ad, maupun buku desain (atau
buku yang secara serius dikerjakan oleh desainer) yang beredar di masyarakat, contohnya
perkembangan ragam visual dan pemakaian iklan cetak yang
memenangkan penghargaan Citra Pariwara pada rentang
waktu 1988 – 1996.
Perkembangan gaya visual pada kulit muka penerbit alternatif Yogyakarta menjadi beragam.
Seperti kulit muka buku Gelandangan di Kampung Sendiri (1995) oleh penulis Cak Nun yang
bekerjasama dengan pelukis Dede Eri Supria dalam desain tata letak kulit mukanya.
Bersamaaan dengan ini, percetakan juga mengalami perkembangan yang ditandai lewat
maraknya cetak buku berwarna-penuh oleh penerbit seperti Gramedia dan Elex Media
Komputindo. Terbitnya majalah dengan tajuk lingkungan hidup dengan landasan desain grafis
pada tahun 1994 yang oleh desainer Enrico Halim menjadi salah satu tanda perkembangan dan
penggenapan praktik keilmuan dan profesi desainer. Hal ini juga ditandai dengan evolusi
perangkat desain yaitu Adobe Photoshop 1.0 yang dirilis pada 1990.
Era internet melahirkan desainer dunia yang berpengaruh. Salah satunya Stefan
Sagmeister yang karya-karyanya di cap sebagai tidak ortodoks dan provokatif oleh American
Institute of Graphic Arts (AIGA). Siegmeister membuktikan bahwa kultur internet dapat
dimanifestasikan kembali oleh desainer dengan meleburkan nilai produksi dan aktivisme desain
ke dalam satu tuntutan.
Dekade 2010 yang masih kemarin sore adalah waktu pertama kita dapat meruang lintas
spasial. Kita juga menyimak hadirnya teknologi cerdas yang diakses penuh oleh publik,
meningkatnya pemahaman literasi visual digital, munculnya teknologi virtual, augmented reality
hingga media sosial. Desain grafis masuk ke dalam tatanan ini dengan mengonstruksi dan
menavigasi visualnya, dan oleh karenanya timbul gejala pergeseran norma dan juga aktivitas
keseharian manusia. Kita mulai bergeser dari tren yang sifatnya surface (produk) dan lebih
melekat kepada aktivisme yang banyak kita temukan di visual platform bernama Instagram.