Anda di halaman 1dari 6

Sejak Revolusi Industri di Inggris menjelang akhir

abad ke-18. Salah satu pemicu revolusi ini adalah


penyempurnaan mesin uap James Watt di tahun 1769 yang
digunakan untuk mempercepat produksi barang, yang
kemudian
menggenjot industrialisasi secara masif di
berbagai sektor industry. Hal ini juga
mendorong dimulainya era komunikasi massa
dan penyempurnaan industri periklanan sejak
ditemukannya mesin cetak Gutenberg pada
tahun 1450. Mesin typesetting linotype pun
lahir untuk menangani tuntutan dalam memproduksi buku dan media massa dengan kuantitas
tinggi. Pada era ini pun tercipta font Didot dan Bodoni yang sangat khas media massa dan dapat
kita telusuri pengaruhnya hingga kini.

Peristiwa penting selanjutnya adalah kemunculan


akademi desain Bauhaus di Weimar, Jerman, pada 1919
setelah usainya Perang Dunia 1 (PD1). Visi dan praktik
artistik Bauhaus adalah menggabungkan estetika dan
fungsi pragmatis sebuah produk desain untuk
meningkatkan nilai artistik tanpa mengorbankan fungsi.
Pendirinya, arsitek Walter Gropius, mengedepankan
perpaduan fine arts dengan kriya tanpa memberi sekat,
sebagaimana yang dimantapkan dalam Manifesto
Bauhaus yang ditulis di tahun yang sama:

“ … So let us therefore create a new guild of craftsmen, free of the divisive class pretensions that
endeavoured to raise a prideful barrier between craftsmen and artists! Let us strive for, conceive
and create the new building of the future that will unite every discipline. …”

Sumbangsih pemikiran dan karya Bauhaus memang berkaitan dan dipicu oleh PD1. Frances
Ambler, penulis The Story of Bauhaus (2018) dalam wawancaranya dengan The Local,
menuturkan, “Dorongan untuk Bauhaus muncul dari kengerian Perang Dunia Pertama dan
keinginan untuk melakukan berbagai hal dengan cara yang berbeda. Mereka menggunakan seni
dan desain untuk mencoba dan menanggapi kebutuhan waktu mereka. Masyarakat selalu
menghadirkan kebutuhan baru, jadi dengan cara itu [Bauhaus] selalu relevan. ” Kemudian,
menurut John V. Maciuika di bukunya Before the Bauhaus: Architecture, Politics, and the
German State, 1890-1920 (2005), eksistensi Bauhaus, baik sebagai institusi dan akademisinya
juga mengambil peran pada pergerakan politik saat itu, terlebih saat era dimulainya Perang
Dunia 2 (PD2), ketika muncul sentimen mengenai perbedaan nilai artistik Bauhaus yang
bersitegang dengan pandangan artistik Nazi, yaitu Romantisme.

Setelah melewati tahun-tahun depresi, ekonomi dunia mulai naik ke masa kejayaanya.
Dekade 1950-an menjadi awal dari rekonstruksi ekonomi dunia baru yang dipimpin oleh
Amerika Serikat (AS). Perusahaan-perusahaan AS pun mengambil posisi terdepan dalam banyak
industri. Imbasnya terhadap sektor desain grafis adalah dimulainya era keemasan di bidang
industri periklanan. Dekade 1960-an adalah coming of age dunia periklanan, ditandai dengan
penyempurnaan format komunikasi pada konten televisi, penggunaan copywriting, dan
penyesuaian fotografi untuk meningkatkan daya jual produk dan menghasilkan karya dengan
tingkat kreativitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Era ini dipengaruhi oleh perubahan
gaya hidup, konsumerisme dan pandangan sosial politik, oleh sebab itu, kehadiran iklan
dianggap penting karena ia mencerminkan semangat inovasi, kecanggihan, dan tren.1

Industri periklanan tidak hanya menyokong


kemakmuran suatu negara, tapi juga mempunyai peran
penting dalam keterlibatannya pada peristiwa politik di
era 1950-1970. Iklan dapat membawa isu yang
dianggap sensitif ke dalam ranah budaya pop
masyarakat. Contoh konkrit yang juga menarik adalah
kompetisi perjalanan ke luar angkasa AS dan Uni
Soviet. Dalam kasus ini, Uni Soviet sebenarnya unggul
dan serba pertama: manusia pertama yang ke luar
angkasa, satelit pertama serta stasiun luar angkasa
pertama. Namun hal ini tidak ada apa-apanya ketika
Neil Armstrong menginjakkan kaki ke bulan. Hal ini berkat strategi pemasaran, public relations,
media placement dan periklanan yang baik. Pada Juli 1969, 94% televisi Amerika disetel ke
pendaratan Apollo 1 di bulan. Misi ini diliput secara luas oleh pers dengan lebih dari 53 juta
penduduk Amerika Serikat menonton tayangan ini, serta total 650 juta pemirsa di seluruh dunia
menyaksikannya. Peristiwa ini pun menjadi peristiwa budaya pop di 1970-an.

Di 1970-an, kemajuan di bidang periklanan juga terjadi di Indonesia. Kala itu Orde Baru
baru saja ditegakkan, mengubah tatanan politik, serta membangkitkan sektor-sektor ekonomi
yang sempat terpuruk. Salah satu dampaknya adalah meningkatnya gaya hidup masyarakat yang
porosnya bergerak mengikuti tren global. Kantor-kantor agensi periklanan di Indonesia mulai
dibuka seiring kebijakan baru di bidang Penanaman Modal Asing yang membawa masuk
perusahaan-perusahaan multinasional ke Indonesia sehingga daya saing produk dan kebutuhan
sehari-hari meningkat.

InterVista dan Matari menjadi agensi periklanan Indonesia yang juga menjadi penanda
pada zamannya. InterVista menjadi perusahaan periklanan pertama yang berafiliasi dengan
perusahaan periklanan asing yaitu Ogilvy, serta menjadi perintis masuknya iklan komersial di
TVRI. Penggagas InterVista, Wicaksono Nuradi, didapuk sebagai perintis periklanan modern
Indonesia. Sedangkan Matari menjadi agensi iklan pertama yang membawa Clio Award untuk
Indonesia lewat arahan tata artistik Cahyono Abdi. Matari juga kemudian yang mengonstruksi
pemisahan kinerja studio periklanan (wujud servis Above The Line) dan studio desain grafis
(wujud servis Below The Line). Kala itu juga muncul Studio Decenta di Bandung (1973) yang
berisikan seniman linta disiplin: A.D. Pirous (seni lukis), G. Sidharta (seni patung), Adrian Palar
(desain interior), Sunaryo (seni patung), T. Sutanto dan Priyanto Sunarto (seni grafis). Decenta
melahirkan portfolio beragam seperti menangani kebutuhan desain grafis untuk pameran di
Pekan Raya Jakarta, sampai ke desain produk yang menangani dekorasi arsitektur Convention
Hall.

Pada 1980-an, muncul revolusi digital yang ditandai oleh pergeseran teknologi mekanik-
analog ke teknologi digital. Era ini membawa orang-orang lebih dekat dengan teknologi sehari-
hari, serta budaya populer. Salah satunya adalah kehadiran MTV yang menjadi bentuk budaya
populer global. MTV tidak bisa lepas dengan visual yang disajikan, karena gayanya menyerupai
Pop Art dan lantas dekat dengan anak muda. MTV juga menjadi salah satu media yang meliput
jatuhnya Tembok Berlin (1989) yang merupakan simbol berakhirnya Perang Dingin.
Kehadirannya di salah satu peristiwa paling seminal dalam sejarah Eropa modern ini juga
menjadi dampak evolusi yang telah dialami media.

MTV yang diminati secara global juga menjembatani masyarakat dunia ke globalisasi di
1990-an. Globalisasi memungkinkan percepatan pemasaran secara mendunia karena didukung
oleh kehadiran internet. Lantas keterlibatan desain grafis sendiri dengan adanya internet secara
substansial adalah memudahkan kontak langsung dengan potensi klien lintas spasial. Hal ini
memunculkan tren visual yang juga global (walaupun sekaligus menyusutkan ragam visualnya)
serta meningkatkan intensitas komunikasi rakyat dunia.

Media di 1990-an juga meliput peristiwa dunia saat itu di mana konteks HAM, terorisme,
kebebasan dan teknologi menjadi narasi yang hebat dan banyak diperbincangkan di forum
berbasis World Wide Web. Maka dari itu dekade ini banyak sekali melahirkan pemikiran kritis
dalam menanggulangi atau merespons isu sosial. Maraknya pemakaian komputer grafis oleh
desainer juga mengembangkan ragam gaya visual yang muncul di media. Di Indonesia sendiri,
hal ini bisa ditemui dengan banyaknya praktik pada majalah, print ad, maupun buku desain (atau
buku yang secara serius dikerjakan oleh desainer) yang beredar di masyarakat, contohnya
perkembangan ragam visual dan pemakaian iklan cetak yang
memenangkan penghargaan Citra Pariwara pada rentang
waktu 1988 – 1996.

Kulit Muka Gelandangan di Kampung Sendiri oleh Emha Ainun Najib


(Pustaka Pelajar:1995)

 
Perkembangan gaya visual pada kulit muka penerbit alternatif Yogyakarta menjadi beragam.
Seperti kulit muka buku Gelandangan di Kampung Sendiri (1995) oleh penulis Cak Nun yang
bekerjasama dengan pelukis Dede Eri Supria dalam desain tata letak kulit mukanya.

Bersamaaan dengan ini, percetakan juga mengalami perkembangan yang ditandai lewat
maraknya cetak buku berwarna-penuh oleh penerbit seperti Gramedia dan Elex Media
Komputindo. Terbitnya majalah dengan tajuk lingkungan hidup dengan landasan desain grafis
pada tahun 1994 yang oleh desainer Enrico Halim menjadi salah satu tanda perkembangan dan
penggenapan praktik keilmuan dan profesi desainer. Hal ini juga ditandai dengan evolusi
perangkat desain yaitu Adobe Photoshop 1.0 yang dirilis pada 1990.

Era internet melahirkan desainer dunia yang berpengaruh. Salah satunya Stefan
Sagmeister yang karya-karyanya di cap sebagai tidak ortodoks dan provokatif oleh American
Institute of Graphic Arts (AIGA). Siegmeister membuktikan bahwa kultur internet dapat
dimanifestasikan kembali oleh desainer dengan meleburkan nilai produksi dan aktivisme desain
ke dalam satu tuntutan.

Dekade 2010 yang masih kemarin sore adalah waktu pertama kita dapat meruang lintas
spasial. Kita juga menyimak hadirnya teknologi cerdas yang diakses penuh oleh publik,
meningkatnya pemahaman literasi visual digital, munculnya teknologi virtual, augmented reality
hingga media sosial. Desain grafis masuk ke dalam tatanan ini dengan mengonstruksi dan
menavigasi visualnya, dan oleh karenanya timbul gejala pergeseran norma dan juga aktivitas
keseharian manusia. Kita mulai bergeser dari tren yang sifatnya surface (produk) dan lebih
melekat kepada aktivisme yang banyak kita temukan di visual platform bernama Instagram.

Instagram terus mengekspansi fitur-fiturnya sejak pemakaiannya yang kian marak.


Desain grafis bergerak seiring dengan keunikan media sosial yang menguntungkan, tapi juga di
satu sisi membabakbelurkan, ruang fisik industri ritel. Era ini juga menggenjotkan industri
kreatif dan desainer grafis merupakan profesi yang bekerja dalam konstruksi ini. Saya pikir,
sumbangan desain grafis di era ini bukan lagi produk, atau gerakan, atau sosok desainer tertentu,
tapi lebih menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan esensial terhadap kehidupan seiring teknologi
menggeser nilai-nilai norma masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai