Anda di halaman 1dari 24

MACAM-MACAM SASTRA

Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu :

Prosa, bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak
terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi.
Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan bahasa yang singkat dan
padat serta indah.
Prosa liris, bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan
bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.
Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas
dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog. Drama ada dua
pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.

Dilihat dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu :

Epik, karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran
dan perasaan pribadi pengarang.
Lirik, karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.
Didaktif, karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang masalah
moral, tatakrama, masalah agama, dll.
Dramatik, karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian(baik atau buruk)
denan pelukisan yang berlebih-lebihan.

Dilihat dari sejarahnya, sastra terdiri dari 3 bagian, yaitu :

a) Kesusastraan Lama, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat


lama dalam sejarah bangsa Indonesia. Kesusastraan Lama Indonesia dibagi menjadi :
1.
2.
3.
4.

Kesusastraan zaman purba,


Kesusastraan zaman Hindu Budha,
Kesusastraan zaman Islam, dan
Kesusastraan zaman Arab Melayu.

b) Kesusastraan Peralihan, kesusastraan yang hidup di zaman Abdullah bin Abdulkadir


Munsyi. Karya-karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ialah :
1.
2.
3.
4.

Hikayat Abdullah
Syair Singapura Dimakan Api
Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah
Syair Abdul Muluk, dll.

c) Kesusastraan Baru, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat baru
Indonesia. Kesusastraan Baru mencangkup kesusastraan pada Zaman :

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Balai Pustaka / Angkatan 20


Pujangga Baru / Angkatan 30
Jepang
Angkatan 45
Angkatan 66
Mutakhir / Kesusastraan setelah tahun 1966 sampai sekarang

Sastra Modern/Baru
Pengertian Sastra Modern
Arti/definisi sastra modern/baru adalah karya-karya sastra yang hidup dan
berkembang di kehidupan masyarakat modern. Sastra modern lahir setelah munculnya
pergerakan nasional atau tidak berada pada zaman dahulu atau zaman kerajaan.
Jenis/Macam-macam Sastra Modern
Sastra lama terdiri dari : Prosa, cerpen, novel, roman, puisi, dan drama.
Bentuk Sastra Modern
1. Puisi
Unsur instrinsik puisi diantaranya :
Diksi yaitu kata-kata yang dipilih seorang penyair dalam menciptakan puisi. Katakata tersebut tentu kata yang mengungkapkan keindahan dan perasaan.
Imaji yaitu upaya penyair dalam membangkitkan daya imajinasi/khayal pembaca
tentang peristiwa atau perasaan yang dialami penyair sehingga pembaca ikut
merasakannya.
Majas yaitu pengungkapan bahasa yang dipilih penyair untuk memperjelas maksud.
Mengungkapkan dengan gambaran/kiasan, membuat kesegaran, dan menimbulkan
kejelasan perasaan.
Rima yaitu persamaan bunyi dalam puisi yang berguna untuk memperjelas maksud
dan menimbulkan keputusan.
Irama yaitu pergantian naik-turun, panjang-pendek pengucapan bahasa puisi secara
teratur.
Unsur ekstrinsik puisi diantaranya :
Contoh: Pendidikan pengarang, sejarah pengarang, agama pengarang, dan latar
belakang pengarang.
Teknik membaca puisi diantaranya :
Ucapan dan gerakan wajar. tidak harus dibuat-buat.
Pengucapan harus jelas.
Syarat membaca puisi yang baik diantaranya :
Memahami isi puisi.
Artikulasi dan intonasi tepat.
Memberi jeda tekanan pada kata-kata yang penting.
Mengeja kata-kata dengan jelas disertai mimik yang sesuai apa yang disampaikan.
2. Drama

Drama yaitu sastra baru yang berbentuk cerita atau karangan yang menyajikan bentuk
perilaku di atas panggung yang berupa dialog.
Macam-macam drama:
Komedi yaitu cerita yang di dalamnya mengandung humor.
Tragedi yaitu cerita yang di dalamnya mengandung kesusahan atau kesulitan.
Tragedi komedi yaitu cerita yang di dalamnya mengandung kesusahan dan
Jenis/Macam dan Perbedaan Sastra Lama dan Sastra Baru/Modern humor/lucu silih
berganti.
Opera/musical yaitu drama yang diiringi oleh musik.
3. Cerpen
Cerpen yaitu sastra modern karangan pendek berbentuk prosa. Dalam cerpen
diceritakan sepenggal kehidupan tokoh, baik yang menyenangkan, menyedihkan.
mengharukan, atau pertikaian dan mengandung kesan yang sulit untuk dilupakan.
Ciri-ciri cerpen:
Ceritanya fiktif dan aspek ceritanya menimbulkan efek dan kesan tunggal.
Mengungkapkan masalah terbatas hal-hal penting saja.
Menjanjikan peristiwa yang jelas dan cermat.

MENURUT :
Pujangga Lama
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di
Indonesia di dominasi oleh syair , pantun , gurindam dan hikayat .
a. syair
Syair adalah puisi atau karangan dalam bentuk terikat yang mementingkan irama sajak .
Biasanya terdiri dari 4 baris, berirama aaaa, keempat baris tersebut mengandung arti atau
maksud penyair (pada pantun, 2 baris terakhir yang mengandung maksud).
b. pantun
Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa
Nusantara. Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan . Lazimnya pantun terdiri
atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), ber sajak akhir dengan pola a-b-a-b (tidak
boleh a-a-a-a, a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun
sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.
Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi . Sampiran adalah dua baris
pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat
pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan
maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang
merupakan tujuan dari pantun tersebut.

Karmina dan talibun merupakan bentuk kembangan pantun, dalam artian memiliki bagian
sampiran dan isi. Karmina merupakan pantun "versi pendek" (hanya dua baris), sedangkan
talibun adalah "versi panjang" (enam baris atau lebih).

a) Peran pantun
Sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan
menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang berfikir tentang makna kata sebelum berujar.
Ia juga melatih orang berfikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata
yang lain.
Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di
kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan
kecepatan seseorang dalam berfikir dan bermain-main dengan kata. Seringkali bercampur
dengan bahasa-bahasa lain. Berikut contoh pantun (sebetulnya adalah karmina) dari kalangan
pemuda:
Mawar merah tumbuh di dinding
Jangan marah, just kidding
Namun demikian, secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian
pesan.

b) Struktur Pantun
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana fungsi sampiran terutama menyiapkan rima dan
irama untuk mempermudah pendengar memahami isi pantun. Ini dapat dipahami
karena pantun merupakan sastra lisan.
Meskipun pada umumnya sampiran tak berhubungan dengan isi terkadang bentuk sampiran
membayangkan isi. Sebagai contoh dalam pantun ini:
Air dalam bertambah dalam
Hujan di hulu belum lagi teduh
Hati dendam bertambah dendam
Dendam dahulu belum lagi sembuh
Beberapa sarjana Eropa berusaha mencari aturan dalam pantun maupun puisi lama lainnya.
Misalnya satu larik pantun biasanya terdiri atas 4-5 kata dan 8-12 suku kata. Namun aturan
ini tak selalu berlaku.

dikenal beberapa aliran berikut:


1. Realisme.
Aliran sastra ini merupakan sastra yang melukiskan keadaan/peristiwa sesuai dengan kenyataan EKE
apa adanya. Pengarang tidak menambah ataupun mengurangi suatu kejadian yang dilihatnya secara
positif, yang diuraikan yang baik-baik saja.
Contoh: Karya sastra angkatan 45, baik prosa maupun puisi, banyak yang beraliran realisme. Seperti
puisi berjudul pertemuan karya Chairil Anwar.
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tantang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi
2. Naturalisme.
Aliran sastra ini melukiskan sesuatu secara apa adanya yang dijiwai adalah hal-hal yang kurang baik.
Contoh: Pada sebuah kapal karya Nh. Dini dan cerpen-cerpen Motinggo Busye.
3. Neonaturalisme.
Merupakan aliran baru dari aliran neturalisme. Aliran ini tidak saja mengungkapkan sisi jelek, namun
juga memandang sesuatu dari sudut yang baik pula.
Contoh: Raumanen karya Marianne Kattopo, Katak hendak jadi lembu karya Nur Sultan Iskandar,
dan Keluarga Purnama karya Ramadhan K.H.
4. Ekspresionisme
Yaitu aliran dalam sastra yang menekankan pada perasaan jiwa pengarangnya.
Contoh: Puisi-puisi karya Chairil Anwar, Sutardji CB, Subagio Sastrowardojo, Toto Sudarto Bachtiar.
Puisi Doa, karya Charil Anwar
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
5. Impresionisme.
Yaitu aliran dalam sastra yang menekankan pada kesan sepintas tentang suatu peristiwa, kejadian
atau benda yang ditemui atau dilihat pengarang. Dalam hal tersebut, engarang mengambil hal-hal
yang penting-penting saja.

6. Determinisme.
Yaitu aliran dalam sastra yang melukiskan suatu peristiwa atau kejadian dari sisi jeleknya saja.
Biasanya menyoroti pada ketidakadilan, penyelewengan dan lain-lain yang dianggap kurang baik
pengarang.
Contoh: Sebagian besar puisi angkatan 66.
7 Surelaisme.
Yaitu aliran dalam sastra yang melukiskan sesuatu secara berlebihan sehingga sulit dipahami oleh
penikmat atau pembaca.
Contoh: Bib-Bob (drama) Karya Rendra, Lebih hitam dari hitam (cerpen) karya Iwan Simetupang, Pot
(Puisi) karya Sutardji Calzoum Bachri.
8. Idealisme.
Yaitu aliran dalam sastra yang selalu melukiskan cita-cita, gagasan, atau pendirian engarangnya.
Contoh: Puisi-puisi karya Chairil Anwar.
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorangpun kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
9. Simbolisme
Yaitu aliran sastra yang menampilkan simbol-simbol (isyarat) dalam karyanya. Hal ini dilakukan
pengarang untuk mengelabui maksud yang sesungguhnya.
10. Romantisme.
Yaitu aliran dalam sastra yang selalu melukiskan sesuatunya secara sentimentil penuh perasaan.
Contoh: Dian Yang Tak Kunjung Padam, karya Sutan Takdir Ali Syahbana, Layar Terkembang karya
Sutan Takdir Alisyahbana. Cintaku jauh di Pulau karya Chairil Anwar.Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bukan memancar
Di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar
Angin membantu, laut terang, tapi tersa
Aku tidak kan sampai padanya
Di air tenang, angin mendayu
Di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata
Tujukan perahu ke pelabuhanku saja
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku
Manisku jauh di pulau
Kalau ku mati, dia mati iseng sendiri
11. Psikologisme.
Yaitu aliran dalam sastra yang selalu menekankan pada aspek-aspek kejiwaan.

Contoh: Ziarah (roman) karya Iwan Simatupang, Belenggu (roman) karya Abdul Muis.
12. Didaktisme.
Yaitu aliran dalam sastra yang menekankan pada aspek-aspek pendidikan. Dalam sastra lama banyak
karya yang bersifat mendidik.
Contoh: Salah Asuhan, roman, karya Abdul Muis, Karena Kerendahan Budi, karya HSD Muntu, Syair
Perahu, syair karya Hamzah Fansuri.
13 Mistikisme.
Yaitu aliran dalam sastra yang melukiskan pengalaman dalam mencari dan merasakan nafas
ketuhanan dan keabadian.
Contoh : Syair Perahu, karya Hamzah Fansuri, Nyanyi Sunyi, karya Amir Hamzah, Kekasih Abadi,
karya Bahrum Rangkuti, Rindu Dendam, karya J.E. Tetengkeng.

https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/pesona-puisi/beberapa-gaya-bahasa-dalam-pandanganteori-klasik/

BEBERAPA GAYA BAHASA DALAM PANDANGAN TEORI KLASIK


11
Diadaptasi dari: Keraf

A. Pengertian Gaya Bahasa


Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style
diturunkan dari kata Latin stiliis, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin.
Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan
tadi.

Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style
lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata
secara indah.

Walaupun kata style berasal dan bahasa Latin, orang Yunani sudah mengembangkan sendiri
teori-teori mengeenai style itu. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu:

Aliran Platonik: menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan; menurut mereka ada
ungkapan yang memiliki style, ada juga yang tidak rneinihiki style.
Aliran Aristoteles: menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada
dalam tiap ungkapan.
Dengan demikian, aliran Plato mengatakan bahwa ada karya yang memiliki gaya dan ada
karya yang sama sekali tidak memiliki gaya.

Sebaliknya, aliran Aristoteles mengatakan bahwa semua karya memiliki gaya, tetapi ada
karya yang memiliki gaya yang tinggi ada yang rendah, ada karya yang memiliki gaya yang
kuat ada yang lemah, ada yang memiliki gaya yang baik ada yang memiliki gaya yang jelek.

Bila kita melihat gaya secara umum, kita dapat mengatakan bahwa gaya adalah cara
mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian, dan sebagainya.
Dengan menerima pengertian ini, maka kita dapat mengatakan, Cara berpakaiannya menarik
perhatian orang banyak, Cara menulisnya lain daripada kebanyakan orang, Cara jalannya

lain dan yang lain, yang memang sama artinya dengan gaya berpakaian, gaya menulis
dan gaya berjalan. Dilihat dan segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa.
Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang
yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian
orang terhadapnya; semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian
diberikan padanya.

B. Sendi Gaya Bahasa


Syarat-syarat manakah yang diperlukan untuk membedakan suatu gaya bahasa yang baik dan
gaya bahasa yang buruk? Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur
berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik.

Kejujuran dalam bahasa berarti: kita mengikuti aturan-aturan. kaidah-kaidah yang baik dan
benar dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan
kalimat yang berbelit-belit, adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Pembicara atau
penulis tidak menyampaikan isi pikirannya secara terus terang; ia seolah-olah
menyembunyikan pikirannya itu di balik rangkaian kata-kata yang kabur dan jaringan kalimat
yang berbelit-belit tak menentu. Ia hanya mengelabui pendengar atau pembaca dengan
mempergunakan kata-kata yang kabur dan hebat: hanya agar bisa tampak lebih intelek atau
lebih dalam pengetahuannya.

Yang dimaksud dengan sopan-santun adalah memberi penghargaan atau menghormati orang
yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Rasa hormat di sini tidak berarti
memberikan penghargaan atau menciptakan kenikmatan melalui kata-kata, atau
mempergunakan kata-kata yang manis sesuai dengan hasa-basi dalam pergaulan masyarakat
beradab. Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan
kesingkatan. Menyampaikan sesuatu secara jelas berarti tidak membuat pembaca atau
pendengar memeras keringat untuk mencari tahu apa yang ditulis atau dikatakan. Di samping
itu, pembaca atau pendengar tidak perlu membuang-buang waktu untuk mendengar atau
membaca sesuatu secara panjang lebar, kalau hal itu bisa diungkapkan dalam beherapa
rangkaian kata. Kejelasan dengan demikian akan diukur dalam heberapa butir kaidah berikut,
yaitu:

kejelasan dalam struktur gramatikal kata dan kalimat;


kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan melalui kata-kata atau
kalimat tadi;
kejelasan dalam pengurutan ide secara logis;
kejelasan dalam penggunaan kiasan dan perbandirigan.

Kejujuran, kejelasan serta kesingkatan harus merupakan langkah dasar dan langkah awal.
Bila seluruh gaya bahasa hanya mengandalkan kedua (atau ketiga) kaidah tersebut di atas,
maka bahasa yang digunakan masih terasa tawar, tidak menarik. Sebab itu, sebuah gaya
bahasa harus pula menarik. Sebuah gaya yang menarik dapat diukur melalui beberapa
komponen berikut: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas),
dan penuh daya khayal (majinasi).

C. Jenis-Jenis Gaya Bahasa


a. Segi Nonbahasa
Pengikut Aristoteles menerima style sebagai hasil dan bermacam-macam unsur. Pada
dasarnya style dapat dibagi atas tujuh pokok sebagai berikut:

Berdasarkan pengarang. gaya yang disebut sesuai dengan nama pengarang dikenal
berdasarkan ciri pengenal yang digunakan pengarang atau penulis dalam karangannya.
Pengarang yang kuat dapat mempengaruhi orang-orang sejamannya, atau
pengikutpengikutnya, sehingga dapat membentuk sebuah aliran. Kita mengenal gaya Ehainil,
gaya Takdir, dan sebagainya.
Berdasarkan Masa: gaya bahasa yang didasarkan pada masa dikenal karena ciri-ciri tertentu
yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu. Misalnya ada gaya lama, gaya klasik,
gaya sastra modern, dan sebagainya.
Berdasarkan Medium: yang dimaksud dengan medium adalah bahasa dalam arti alat
komunikasi. Tiap bahasa, karena struktur dan situasi sosial pemakainya, dapat merniliki corak
tersendiri. Sebuah karya yang ditulis dalam bahasa jerman akan memiliki gaya yang
berlainan, bila ditulis dalam bahasa Indonesia, Prancis, atau Jepang. Dengan demikian kita
mengenal gaya Jerman, Inggris, Prancis, Indonesia, dan sehagainya.
Berdasarkan Subyek: subyek yang menjadi pokok pembicaraan dalam sebuah karangan dapat
mempengaruhi pula gaya bahasa sebuah karangan. Berdasarkan hal ini kita mengenal gaya:
filsafat, ilmiah (hukum, teknik, sastra, dsh), populer, didaktik, dan sebagainya.
Berdasarkan Tempat: gaya ini mendapat namanya dari lokasi geografis, karena ciri-ciri
kedaerahan mempengaruhi ungkapan atau ekspresi bahasanya. Ada gaya Jakarta, gaya Jogya,
ada gaya Medan, Ujung Pandang, dan sebagainya.
Berdasarkan Hadirin: seperti halnya dengan subyek, maka hadirin atau jenis pembaca juga
mempengaruhi gaya yang dipergunakan seorang pengarang. Ada gaya populer atau gaya
demagog yang cocok untuk rakyat banyak. Ada gaya sopan yang cocok untuk lingkungan
istana atau Iingkungan yang terhormat. Ada pula gaya intim (familiar) yang cocok untuk
lingkungan keluarga atau untuk orang yang akrab.
Berdasarkan Tujuan: gaya berdasarkan tujuan memperoleh namanya dan maksud yang ingin
disampaikan oleh pengarang. di mana pengarang ingin mencurahkan gejolak emotifnya. Ada

gaya sentimental, ada gaya sarkastik, gaya diplomatis, gaya agung atau luhur, gaya teknis
atau informasional, dan ada gaya humor.
b. Segi Bahasa
Dilihat dan sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan maka gaya bahasa dapat
dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu:

Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata;


Gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalarn wacana
Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat;
Gaya bahasa berdasarkari langsung tidaknya makna.
c. Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata
Dalam bahasa standar (bahasa baku) dapatlah dibedakan: gaya bahasa resmi (bukan bahasa
resmi), gaja bahasa takresmi dan gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa dalam tingkatan
bahasa nonstandar tidak akan dibicarakan di sini, karena tidak akan berguna dalam tulisantulisan ilmiah atau ilmiah populer.

(1) Gaya Bahasa Resmi


Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya yang dipergunakan
dalam kesempatan-kesempatan resmi, gaya yang dipergunakan oleh mereka yang diharapkan
mempergunakannya dengan baik dan terpelihara. Amanat kepresidenan, berita negara,
khotbah-khotbah mimbar, tajuk rencana, pidato-pidato yang penting, artikel-artikel yang
serius atau esei yang memuat subyek-subyek yang penting, semuanya dibawakan dengan
gaya bahasa resmi.

(2) Gaya Bahasa Tak Resmi


Gaya bahasa tak resmi juga merupakn gaya bahasa yang dipergunakan dalam bahasa
standar, khususnya dalam kesempataflkesempatan yang tidak krmal atau kurang formal.
Bentuknya tidak terlalu konservatif. Gaya ini biasanya dipergunakan dalam karya-karya tulis,
buku-buku pegangan, artikel-artikel iningguan atau bulanan yang baik, dalam perkuliahan,
editorial, kolumnis, dan sehagainya. Singkatnya gaya bahasa tak resmi adalah gaya bahasa
yang umum dan normal bagi kaum terpelajar.

(3) Gaya Bahasa Percakapan


Sejalan dengan kata-kata percakapan, terdapat juga gaya bahasa percakapan. Dalam gaya
bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Namun di sini

harus ditambahkan segi-segi morfologis dan sintaksis, yang secara bersama-sama membentuk
gaya bahasa percakapan ini. Biasanya segi-segi sintaksis tidak terlalu diperhatikan, demikian
pula segi-segi morfologis yang biasa diabaikan sering dihilangkan. Kalau dibandingkan
dengan gaya bahasa resmi dan gaya bahasa tak resmi, maka gaya bahasa percakapan ini dapat
diumpamakan sebagai bahasa dalam pakaian sport. Itu berarti bahasanya masih lengkap
untuk suatu kesempatan, dan masih dibentuk menurut kebiasaan-kebiasaan, tetapi kebiasaan
ini agak longgar bila dibandirigkan dengan kebiasaan pada gaya bahasa resmi dan tak resmi.

d. Gaya Bahasa Berdasarkan Nada


Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dan rangkaian katakata yang terdapat dalam sebuah wacana. Sering kali sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti
dengan sugesti suara dan pembicara, bila sajian yang dihadapi adalah bahasa lisan.

Dengan latar belakang ini gaya bahasa dilihat dan sudut nada yang terkandung dalam sebuah
wacana, dibagi atas: gaya yang sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah.

(1) Gaya Sederhana


Gaya ini biasanya cocok untuk memberi instruksi, perintah, pelajaran, perkuliahan, dan
sejenisnya. Sebab itu untuk mempergunakan gaya ini secara.

(2) Gaya Mulia dan Bertenaga


Sesuai dengan namanya, gaya ini penuh dengan vitalitas dan enersi, Ian biasanya
dipergunakan untuk menggerakkan sesuatu. Menggerakkan sesuatu tidak saja dengan
mempergunakan tenaga dan vitalitas pembicara, tetapi juga dapat mempergunakan nada
keagungan dan kemuliaan. Tampaknya hal ini mengandung kontradiksi, tetapi kenyataannya
memang demikian. Nada yang agung dan mulia akan anggup pula menggerakkan emosi
setiap pendengar. Dalam keagungan, terselubung sebuah tenaga yang halus tetapi secara aktif
ia meyakinkan bekerja untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Khotbah tentang kemanusiaan
dan keagamaan, kesusilaan dan ketuhanan biasanya disampaikan dengan nada yang agung
dan mulia. Tetapi di balik keagungan dan kemuliaan itu terdapat tenaga penggerak yang luar
biasa, tenaga yang benar-benar mampu menggetarkan emosi para pendengar atau pembaca.
(3) Gaya Menengah
Gaya menengah adalah gaya yang diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan suasana
senang dan damai. Karena tujuannya adalah menciptakan suasana senang dan damai, maka
nadanya juga bersifat lemah-lembut, penuh kasih sayang, dan mengandung humor yang
sehat. Pada kesempatan-kesempatan khusus seperti pesta, pertemuan, dan rekreasi, orang

lebih menginginkan ketenangan dan kedamaian. Akan ganjillah rasanya, atau akan timbul
disharmoni, kalau dalam suatu pesta pernikahan ada orang yang memberi sambutan berapiapi, mengerahkan segala emosi dan tenaga untuk menyampaikan sepatah kata. Para hadirin
yang kurang waspada akan turut terombang-ambing dalam permainan emosi semacam itu.

e. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat


Berdasarkan struktur kalimat sebagai yang dikemukakan di atas, maka dapat diperoleh gayagaya bahasa sebagai berikut:

(1) Klimaks
Gaya bahasa klimaks diturunkan dan kalimat yang bersifat periodik. Klimaks adalah
semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin
meningkat kepentingannya dan gagasan-gagasan sebelumnya. Klimaks disebut juga gradasi.
Istilah ini dipakai sebagai istilah umum yang sebenamya merujuk kepada tingkat atau
gagasan tertinggi. Bila klimaks itu terbentuk dan beberapa gagasan yang berturut-turut
semakin tinggi kepentingannya, maka ia disebut anabasis.

(2) Antiklimaks
Antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur mengendur. Antiklimaks sebagai gaya
bahasa merupakan suatu acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dan yang terpenting
berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Antiklimaks sering kurang efektif karena
gagasan yang penting ditempatkan pada awal kalimat, sehingga pembaca atau pendengar
tidak lagi memberi perhatian pada bagian-bagian berikutnya dalam kalimat itu.

(3) Paralelisme
Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam
pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk
gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut dapat pula berbentuk anak kalimat yang
bergantung pada sebuah induk kalimat yang sama. Gaya ini lahir dan struktur kalimat yang
berimbang.

(4) Antitesis
Antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan,
dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Gaya ini timbul dan
kalimat berimbang. Perhatikan contoh berikut:

(5) Repetisi
Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting
untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Dalam bagian in hanya akan
dibicarakan repetisi yang berbentuk kata atau frasa atau klausa. Karena nilainya dianggap
tinggi, maka dalam oratori timbullah bermacam-macam variasi repetisi.

Repetisi, seperti halnya dengan paralelisme dan antitesis, lahir dan kalimat yang benimbang.
Karena nilainya dalam oratori dianggap tinggi, maka para orator menciptakan bermacammacam repetisi yang pada prinsipnya didasarkan pada tempat kata yang diulang dalam baris,
klausa, atau kalimat. Yang penting di antaranya adalah:
(1) Epizeuksis: repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang
beberapa kali berturut-tunut. Misalnya: Kita harus bekerja, bekerja, sekali lagi bekerja untuk
mengejar semua ketinggalan kita.

(2) Tautotes: repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi. Misalnya:
Kau menuding aku, aku menuding kau, kau dan aku menjadi seteru.

(3) Anafora: adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau
kalimat berikutnya. Misalnya:
Tapi berdosakah aku, kalau aku bawakan air selalu menyiramnya, hingga pohonku
berdaun rimbun, tempat aku mencari lindung? Berdosakah aku bersandar ke batang yang kuat
berakar melihat tamasya yang molek berdandan menyambut fajar kata Itahi? Berdosakah aku
kalau burungku kecil hinggap di dahan rampak menyanyi sunyi melega hati?

(4) Epistrofa: adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau
kalimat berurutan. Misalnya:

Bumi yan kau diami, taut yang kaulayari adalah puisi

Udara yang kauhirupi, air yang kauteguki adalah puisi


Kebun yang kautanaini, bukit yang kaugunduli adalah puisi
Gubuk yang kauratapi, gedung yang kautinggali adalah puisi

(5) Simploke (symploehe): simploke adalah repetisi pada awal dan akhir beberapa baris atau
kalimat berturut-turut. Misalnya:

kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin

kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin
kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin kamu bilang aku nggak punya
pengertian. Aku bilang biarin

(6) Mesodiplosis: adalah repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat berurutan.
Misalnya:

Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon

Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng


Para pembesar jangan mencuri bensin
Para gadis jangan mencuri perawannya sendiri

(7) Epanalepsis: pengulangan yang berwujud kata terakhir dan baris, klausa atau kalimat,
mengulang kata pertama. Misalnya:

Kita gunakan pikiran dan perasaan kita.

Kami cintai perdamaian karena Tuhan kami.

Berceriteralah padaku, ya malam, berceriteralah.

Kuberikan selulusnya, apa yang harus kuberikan.

(8) Anadiplosis: kata atau frasa terakhir dan suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa
pertama dan klausa atau kalimat berikutnya. Misalnya:
dalam laut ada tiram, dalam tiram ada mutiara dalam mutiara: ah tak ada apa dalam baju
ada aku, dalam aku ada hati dalam hati. ah tak apa jua yang ada dalam syair ada kata, dalam
kata ada makna dalam makna: Mudah-mudahan ada Kau!

Gaya bahasa atau style adalah pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseoarang
dalam bertutur atau menulis; pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek
tertentu: keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra: cara khas dalam
menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan ( Hasan dalam Murtono,
2010:15). Gaya bahasa juga bermakna cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa
secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa
(Keraf dalam Murtono, 2010:15). Gaya bahasa ini bersifat individu dan dapat juga
bersifat kelompok. Gaya bahasa yang bersifat individu disebut idiolek, sedangkan yang
bersifat kelompok (masyarakat) disebut dialek. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat
menilai pribadi, watak, dan watak, dan kemampuan seseorang ataupun masyarakat
yang menggunakan bahasa tersebut.
1.

B. Gaya Bahasa dalam Karya Sastra

Sudjiman (1998: 13) menyatakan bahwa sesungguhnya gaya bahasa dapat digunakan
dalam segala ragam bahasa baik ragam lisan, tulis, nonsastra, dan ragam sastra,
karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh
orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya bahasa selalu
ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis. Gaya bahasa mencakup
diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang
digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Jorgense dan Phillips (dalam Ratna, 2009: 84) mengatakan bahwa gaya bahasa bukan
sekedar saluran, tetapi alat yang menggerakkan sekaligus menyusun kembali dunia
sosial itu sendiri. Lebih jauh menurut Simpson (dalam Ratna, 2009: 84) gaya bahasa
baik bagi penulis maupun pembaca berfungsi untuk mengeksplorasi kemampuan
bahasa khususnya bahasa yang digunakan. Stilistika dengan demikian memperkaya
cara berpikir, cara pemahaman, dan cara perolehan terhadap substansi kultural pada
umumnya.
Retorika merupakan penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis yang diperoleh
melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana seorang pengarang
menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan
bahasa dalam sastra mencerminkan sikap dan perasaan pengarang yang dapat
digunakan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca. Untuk itu, bentuk
pengungkapan bahasa harus efektif dan mampu mendukung gagasan secara tepat yang
memiliki segi estetis sebagai sebuah karya. Kekhasan, ketepatan, dan kebaruan
pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan yang berasal dari imajinasi dan kreatifitas
pengarang dalam pengungkapan bahasa dan gagasan sangat menentukan keefektifan

wacana atau karya yang dihasilkan. Hal ini bisa dikatakan bahwa bahasa akan
menentukan nilai kesastraan yang akan diciptakan.
Karya sastra adalah sebuah wacana yang memiliki kekhasan tersendiri. Seorang
pengarang dengan kreativitasnya mengekspresikan gagasannya dengan menggunakan
bahasa dengan memanfaatkan semua media yang ada dalam bahasa. Gaya berbahasa
dan cara pandang seorang pegarang dalam memanfaatkan dan menggunakan bahasa
tidak akan sama satu sama lain dan tidak dapat ditiru oleh pengarang lain karena hal ini
sudah menjadi bagian dari pribadi seorang pengarang. Kalaupun ada yang meniru pasti
akan dapat ditelusuri sejauh mana persamaan atau perbedaan antara karya yang satu
dengan yang lainnya. Hal ini dapat diketahui mana karya yang hanya sebuah jiplakan
atau imitasi.
Pemilihan bentuk bahasa yang digunakan pengarang akan berkaitan fungsi dan konteks
pemakaiannya. Pemakaian gaya dalam sastra selalu dikaitkan dengan konteks yang
melatar belakangi pemilihan dan pemakaian bahasa. Semua gaya bahasa itu berkaitan
langsung dengan latar sosial dan kehidupan di mana bahasa itu digunakan.
Melalui gaya bahasa pembaca dapat menilai kepribadian dan kemampuan pengarang,
semakin baik gaya bahasa yang digunakan, semakin baik pula penilaian terhadapnya.
Sering dikatakan bahwa bahasa adalah pengarang yang terekam dalam karya yang
dihaslkannya. Oleh sebab itu setiap pengarang mempunyai gayanya masing-masing.

1.

C. Jenis-Jenis Gaya Bahasa dalam Karya Sastra

Beberapa ragam majas dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu:


1.

Gaya bahasa perbandingan, terdiri dari: Metafora, personifikasi, asosiasi, alegori,


parable, metonomia, litotes, sinekdopke (dibagi menjadi 2, pares pro toto dan totem
pro tate), eupisme, hiperbola, alusio, antonomasia, perifrase, simile, sinestesia,
aptronim, hipokorisme, dipersonifikasi, disfemisme, fabel, eponym, dan simbolik.

2.

Gaya bahasa sindiran, terdiri dari: Ironi, sinisme, sarkasme, innuendo, dan satire.

3.

Gaya bahasa penegasan, terdiri dari: Pleonasme, repetisi, paralelisme, klimaks,


anti-klimaks, inversi, elepsi, retoris, koreksio, asimdeton, polisindeton, interupsi,
eksklamasio, enumerasio, preterito, apofagis, pararima, aliterasi, tautologi,
sigmatisme, antanaklasis, alonim, kolokasi, silepsis, dan zeugma.

4.

Gaya bahasa pertentangan, terdiri dari: Paradoks, oksimoron, antithesis,


kontradiksio interminis, anakronisme.

1.

1.
1.

Gaya bahasa perbandingan


a. Metafora

Penggunaan perbandingan langsung dalam mengungkapkan perasaan penulis. Benda


yang dibandingkan biasanya memiliki persamaan sifat.
Contoh :
Dewi malam telah keluar dari peraduannya. (dewi malam menggantikan bulan).

Demi menghidupi keluarganya, ia rela memeras otak dan membanting tulang.


(memeras otak berarti berpikir keras, membanting tulang berarti bekerja keras).

1.

b. Personifikasi

Gaya pengorangan,menganggap benda mati atau tak bergerak dilukiskan seperti


manusia.
Contoh :

Karena terdesak, pisau pun ikut bicara.

Bulan mengintip dibalik awan, sementara angin semilir membelai rambutku.

1.

c.

Asosiasi

Gaya bahasa ini memberikan perbandingan terhadap benda yang sudah disebutkan.
Perbandingan ini memberikan gambaran sehingga hal yang disebutkan menjadi lebih
jelas.
Contoh :

Mukanya pucat bagai bulan kesiangan.

Suaranya merdu bagai bulu perindu.

1.

d. Alegori

Penggunaan perbandingan secara utuh, biasanya berupa kiasan.


Contoh :

1.

Aduhai bunga melati. Putih berseri. Ingin kusentuh kelopakmu. Semerbak


wangimu kurindu. Mahkotamu menjulai lunglai permai. Tidurku selimutkan mimpi
atasmu
e.

Simbolik

Gaya yang menggunakan bahasa tertentu sebagai symbol atau lambang.


Contoh :

Melati lambing kesucian.

Bunglon lambing bagi orang yang tidak tetap pendiriannya.

1.

f.

Metonimia

Penggunaan ungkapan sebagai pengganti nama atau keadaan yang sebenarnya.


Contoh ;

Ia tengah menyasikan film Si Pincang.

Si Belang datang

1.

g.

Litotes

Penggunaan ungkapan yang berlawanan dengan keadaan sebenarnya dengan maksud


untuk merendahkan diri.
Contoh :

Bila ada waktu mampirlah ke gubuk kami.

Usaha kami ini hanya setitik kecil dari samudra yang luas.

1.

h. Sinekdoke

Penggunaan gaya dengan cara menyebutkan bagian atau keseluruhan. Gaya ini dibagi
menjadi dua macam, yaitu :
1) Pars pro toto
Penggunaan bagian suatu benda atau keadaan sedangkan yang dimaksud adalah
keseluruhan. Contoh : Hamdan memelihara dua puluh ekor lembu.
2) Totem proparte
Gaya bahasa yang terjadi oleh sebab menyebutkan keseluruhan benda, sedangkan
yang diaksud adalah sebagian. Contoh : Rakyat Indonesia bahu-membahu melawan
Belanda, Pati merebut piala bergilir Gubernur Jawa Tengah dalam perlombaan itu.
1.

i.

Eufemisme

Gaya bahasa pelembut, dengan maksud untuk berlaku sopan.


Contoh :

Amin tidak naik kelas karena kurang pandai (bodoh)

Kami mohon izin ke belakang sebentar

1.

j.

Hiperbola

Penggunaan ungkapan dengan cara yang berlebihan.


Contoh :

Suaranya menggelegar membelah angkasa.

Kenaikan harga BBM mencekik leher.

1.

k. Parifrasis

Penggunaan sepatah kata pengganti dengan serangkaian kata yang mengandung arti
yang sama dengan kata yang digantikan itu.
Contoh :

Pagi-pagi berangkatlah kami. Kalimat ini diganti : ketika sang surya keluar dari
peraduannya, berangkatlah kami.

Kereta api berlari terus. Kalimat ini diganti : kuda besi itu berlari terus

1.

2.
1.

Gaya Bahasa Sindiran


a. Ironi

Ialah salah satu majas sindiran yang dikatakan sebaliknya dari apa yang sebenarnya
dengan maksud menyindir orang dan diungkapkan secara halus. Contoh-contoh:

Hambur-hamburkan terus uangmu itu agar bias menjadi jutawan.

Kota Bandung sangatlah indah dengan sampah-sampahnya.

1.

b. Sinisme

Gaya bahasa sindiran yang lebih kasar dari gaya ironi.

Contoh :

Otakmu otak udang.

Harum benar bau badanmu, ya?

1.

c.

Sarkasme

Gaya bahasa sindiran yang terkasar dimana memaki orang dengan kata-kata kasar dan
tak sopan.
Contoh:

Soal semudah ini saja tidak bisa dikerjakan. Goblok kau!

1.

3.
1.

Gaya Bahasa Penegasan


a. Pleonasme

Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan


keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Contoh-contoh:

Dia turun ke bawah => Dia turun

1.

b.

Dia naik ke atas => Dia naik


Paralelisme

Pengulangan kata-kata untuk menegaskan yang terdapat pada puisi. Bila kata yang
diulang pada awal kalimat dinamakan anaphora, dan jika terdapat pada akhir kalimat
dinamakan evipora.
Contoh-contoh:

Kau berkertas putih

Kau bertinta hitam


Kau beratus halaman
Kau bersampul rapi.

Kalau kau mau aku akan datang

Jika kau menginginkan aku akan datang


Bila kau minta aku akan datang
Andai kau ingin aku akan datang

1.

c.

Interupsi

Gaya bahasa penegasan yang mempergunakan sisipan di tengah-tengah kalimat pokok,


denagn maksud untuk menjelaskan sesuatu dalam kalimat tersebut.
Contoh: Tiba-tiba Ia-kekasih itu- direbut oleh perempuan lain.

1.

d. Retoris

Gaya bahasa penegasan ini mempergunakan kalimat Tanya-tak-bertanya. Sering


menyatakan kesangsian atau bersifat mengejek.
Contoh-contoh:

Mana mungkin orang mati hidup lagi?!

Inikah yang kau namai bekerja?!

1.

e.

Koreksio

Dipakai untuk membetulkan kembali apa yang salah diucapkan baik yang disengaja
maupun tidak.
Contoh-contoh:

1.

Dia adikku! Eh, bukan, dia kakakku!


Gedung Sate berada di Kota Jakarta. Eh, bukan, Gedung Sate berada di Kota
Bandung.

Asimdeton

Beberapa hal keadaan atau benda disebutkan berturut-turut tanpa menggunakan kata
penghubung.
Contoh:

Meja, kursi, lemari ditangkubkan dalam kamar itu.

1.

4.
1.

Gaya Bahasa Pertentangan


a.
Paradoks

Majas ini terlihat seolah-olah ada pertentangan.


Contoh:

Gajinya besar, tapi hidupnya melarat.

Artinya, uang cukup, tetapi jiwanya menderita.

1.

b.

Antitesis

Majas pertentangan yang menggunakan paduan kata yang berlawanan arti.


Contoh:

Tua muda, besar kecil, semuanya hadir di tempat itu.

1.

c.

Kontradiksio Interminis

Yaitu majas yang memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang
sudahdikatakan semula. Apa yang sudah dikatakan, disangkal lagi oleh ucapan
kemudian.
Contoh:

Semuanya sudah hadir, kecuali Si Amir.

Kalau masih ada yang belum hadir, mengapa dikatakan semua sudah hadir.
BAB III

PENUTUP
1.

A.

Kesimpulan

Gaya bahasa ialah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk
memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulissastra dan
cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun
tertulis.
Gaya bahasa yang digunakan oleh penulis pada hakikatnya adalah cara menggunakan
bahasa yang setepat-tepatnya untuk melukiskan perasaan dan pikiran penulis yang
berbeda dari corak bahasa sehari-hari dan bersifat subyektif. Majas dibagi menjadi 4
kelompok yaitu gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa sindiran, gaya bahasa
penegasan dan gaya bahasa pertentangan.
Gaya bahasa perbandingan meliputi : metafora, personifikasi, asosiasi, alegori, simbolik,
metonimia, litotes, sinekdoke (pars pro toto dan totem proparte), eufemisme, hiperbola,
parifrasis. Sedangkan gaya bahasa sindiran meliputi : ironi, sinisme,dan sarkasme.
Gaya bahasa penegasan meliputi : pleonasme, paralelisme, interupsi, retoris,
koreksio, asimdeton. Gaya bahasa pertentangan meliputi : paradoks, antitesis,
dan kontradiksio interminis.
1.

B.

Saran

Gaya bahasa dipakai pengarang hendak memberi bentuk terhadap apa yang ingin
disampaikan. Dengan gaya bahasa tertentu pula seorang pengarang dapat
mengekalkan pengalaman rohaninya dan penglihatan batinnya, serta dengan itu pula ia
menyentuh hati pembacanya. Karena gaya bahasa itu berasal dari dalam batin seorang
pengarang maka gaya bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam karyanya
secara tidak langsung menggambarkan sikap atau karakteristik pengarang tersebut.

https://mazidatulkhoir.wordpress.com/2012/10/07/gaya-bahasa-dalam-karya-sastra/

Anda mungkin juga menyukai