Prosa, bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak
terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi.
Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan bahasa yang singkat dan
padat serta indah.
Prosa liris, bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan
bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.
Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas
dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog. Drama ada dua
pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.
Epik, karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran
dan perasaan pribadi pengarang.
Lirik, karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.
Didaktif, karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang masalah
moral, tatakrama, masalah agama, dll.
Dramatik, karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian(baik atau buruk)
denan pelukisan yang berlebih-lebihan.
Hikayat Abdullah
Syair Singapura Dimakan Api
Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah
Syair Abdul Muluk, dll.
c) Kesusastraan Baru, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat baru
Indonesia. Kesusastraan Baru mencangkup kesusastraan pada Zaman :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sastra Modern/Baru
Pengertian Sastra Modern
Arti/definisi sastra modern/baru adalah karya-karya sastra yang hidup dan
berkembang di kehidupan masyarakat modern. Sastra modern lahir setelah munculnya
pergerakan nasional atau tidak berada pada zaman dahulu atau zaman kerajaan.
Jenis/Macam-macam Sastra Modern
Sastra lama terdiri dari : Prosa, cerpen, novel, roman, puisi, dan drama.
Bentuk Sastra Modern
1. Puisi
Unsur instrinsik puisi diantaranya :
Diksi yaitu kata-kata yang dipilih seorang penyair dalam menciptakan puisi. Katakata tersebut tentu kata yang mengungkapkan keindahan dan perasaan.
Imaji yaitu upaya penyair dalam membangkitkan daya imajinasi/khayal pembaca
tentang peristiwa atau perasaan yang dialami penyair sehingga pembaca ikut
merasakannya.
Majas yaitu pengungkapan bahasa yang dipilih penyair untuk memperjelas maksud.
Mengungkapkan dengan gambaran/kiasan, membuat kesegaran, dan menimbulkan
kejelasan perasaan.
Rima yaitu persamaan bunyi dalam puisi yang berguna untuk memperjelas maksud
dan menimbulkan keputusan.
Irama yaitu pergantian naik-turun, panjang-pendek pengucapan bahasa puisi secara
teratur.
Unsur ekstrinsik puisi diantaranya :
Contoh: Pendidikan pengarang, sejarah pengarang, agama pengarang, dan latar
belakang pengarang.
Teknik membaca puisi diantaranya :
Ucapan dan gerakan wajar. tidak harus dibuat-buat.
Pengucapan harus jelas.
Syarat membaca puisi yang baik diantaranya :
Memahami isi puisi.
Artikulasi dan intonasi tepat.
Memberi jeda tekanan pada kata-kata yang penting.
Mengeja kata-kata dengan jelas disertai mimik yang sesuai apa yang disampaikan.
2. Drama
Drama yaitu sastra baru yang berbentuk cerita atau karangan yang menyajikan bentuk
perilaku di atas panggung yang berupa dialog.
Macam-macam drama:
Komedi yaitu cerita yang di dalamnya mengandung humor.
Tragedi yaitu cerita yang di dalamnya mengandung kesusahan atau kesulitan.
Tragedi komedi yaitu cerita yang di dalamnya mengandung kesusahan dan
Jenis/Macam dan Perbedaan Sastra Lama dan Sastra Baru/Modern humor/lucu silih
berganti.
Opera/musical yaitu drama yang diiringi oleh musik.
3. Cerpen
Cerpen yaitu sastra modern karangan pendek berbentuk prosa. Dalam cerpen
diceritakan sepenggal kehidupan tokoh, baik yang menyenangkan, menyedihkan.
mengharukan, atau pertikaian dan mengandung kesan yang sulit untuk dilupakan.
Ciri-ciri cerpen:
Ceritanya fiktif dan aspek ceritanya menimbulkan efek dan kesan tunggal.
Mengungkapkan masalah terbatas hal-hal penting saja.
Menjanjikan peristiwa yang jelas dan cermat.
MENURUT :
Pujangga Lama
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di
Indonesia di dominasi oleh syair , pantun , gurindam dan hikayat .
a. syair
Syair adalah puisi atau karangan dalam bentuk terikat yang mementingkan irama sajak .
Biasanya terdiri dari 4 baris, berirama aaaa, keempat baris tersebut mengandung arti atau
maksud penyair (pada pantun, 2 baris terakhir yang mengandung maksud).
b. pantun
Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa
Nusantara. Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan . Lazimnya pantun terdiri
atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), ber sajak akhir dengan pola a-b-a-b (tidak
boleh a-a-a-a, a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun
sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.
Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi . Sampiran adalah dua baris
pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat
pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan
maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang
merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Karmina dan talibun merupakan bentuk kembangan pantun, dalam artian memiliki bagian
sampiran dan isi. Karmina merupakan pantun "versi pendek" (hanya dua baris), sedangkan
talibun adalah "versi panjang" (enam baris atau lebih).
a) Peran pantun
Sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan
menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang berfikir tentang makna kata sebelum berujar.
Ia juga melatih orang berfikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata
yang lain.
Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di
kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan
kecepatan seseorang dalam berfikir dan bermain-main dengan kata. Seringkali bercampur
dengan bahasa-bahasa lain. Berikut contoh pantun (sebetulnya adalah karmina) dari kalangan
pemuda:
Mawar merah tumbuh di dinding
Jangan marah, just kidding
Namun demikian, secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian
pesan.
b) Struktur Pantun
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana fungsi sampiran terutama menyiapkan rima dan
irama untuk mempermudah pendengar memahami isi pantun. Ini dapat dipahami
karena pantun merupakan sastra lisan.
Meskipun pada umumnya sampiran tak berhubungan dengan isi terkadang bentuk sampiran
membayangkan isi. Sebagai contoh dalam pantun ini:
Air dalam bertambah dalam
Hujan di hulu belum lagi teduh
Hati dendam bertambah dendam
Dendam dahulu belum lagi sembuh
Beberapa sarjana Eropa berusaha mencari aturan dalam pantun maupun puisi lama lainnya.
Misalnya satu larik pantun biasanya terdiri atas 4-5 kata dan 8-12 suku kata. Namun aturan
ini tak selalu berlaku.
6. Determinisme.
Yaitu aliran dalam sastra yang melukiskan suatu peristiwa atau kejadian dari sisi jeleknya saja.
Biasanya menyoroti pada ketidakadilan, penyelewengan dan lain-lain yang dianggap kurang baik
pengarang.
Contoh: Sebagian besar puisi angkatan 66.
7 Surelaisme.
Yaitu aliran dalam sastra yang melukiskan sesuatu secara berlebihan sehingga sulit dipahami oleh
penikmat atau pembaca.
Contoh: Bib-Bob (drama) Karya Rendra, Lebih hitam dari hitam (cerpen) karya Iwan Simetupang, Pot
(Puisi) karya Sutardji Calzoum Bachri.
8. Idealisme.
Yaitu aliran dalam sastra yang selalu melukiskan cita-cita, gagasan, atau pendirian engarangnya.
Contoh: Puisi-puisi karya Chairil Anwar.
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorangpun kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
9. Simbolisme
Yaitu aliran sastra yang menampilkan simbol-simbol (isyarat) dalam karyanya. Hal ini dilakukan
pengarang untuk mengelabui maksud yang sesungguhnya.
10. Romantisme.
Yaitu aliran dalam sastra yang selalu melukiskan sesuatunya secara sentimentil penuh perasaan.
Contoh: Dian Yang Tak Kunjung Padam, karya Sutan Takdir Ali Syahbana, Layar Terkembang karya
Sutan Takdir Alisyahbana. Cintaku jauh di Pulau karya Chairil Anwar.Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bukan memancar
Di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar
Angin membantu, laut terang, tapi tersa
Aku tidak kan sampai padanya
Di air tenang, angin mendayu
Di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata
Tujukan perahu ke pelabuhanku saja
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku
Manisku jauh di pulau
Kalau ku mati, dia mati iseng sendiri
11. Psikologisme.
Yaitu aliran dalam sastra yang selalu menekankan pada aspek-aspek kejiwaan.
Contoh: Ziarah (roman) karya Iwan Simatupang, Belenggu (roman) karya Abdul Muis.
12. Didaktisme.
Yaitu aliran dalam sastra yang menekankan pada aspek-aspek pendidikan. Dalam sastra lama banyak
karya yang bersifat mendidik.
Contoh: Salah Asuhan, roman, karya Abdul Muis, Karena Kerendahan Budi, karya HSD Muntu, Syair
Perahu, syair karya Hamzah Fansuri.
13 Mistikisme.
Yaitu aliran dalam sastra yang melukiskan pengalaman dalam mencari dan merasakan nafas
ketuhanan dan keabadian.
Contoh : Syair Perahu, karya Hamzah Fansuri, Nyanyi Sunyi, karya Amir Hamzah, Kekasih Abadi,
karya Bahrum Rangkuti, Rindu Dendam, karya J.E. Tetengkeng.
https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/pesona-puisi/beberapa-gaya-bahasa-dalam-pandanganteori-klasik/
Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style
lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata
secara indah.
Walaupun kata style berasal dan bahasa Latin, orang Yunani sudah mengembangkan sendiri
teori-teori mengeenai style itu. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu:
Aliran Platonik: menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan; menurut mereka ada
ungkapan yang memiliki style, ada juga yang tidak rneinihiki style.
Aliran Aristoteles: menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada
dalam tiap ungkapan.
Dengan demikian, aliran Plato mengatakan bahwa ada karya yang memiliki gaya dan ada
karya yang sama sekali tidak memiliki gaya.
Sebaliknya, aliran Aristoteles mengatakan bahwa semua karya memiliki gaya, tetapi ada
karya yang memiliki gaya yang tinggi ada yang rendah, ada karya yang memiliki gaya yang
kuat ada yang lemah, ada yang memiliki gaya yang baik ada yang memiliki gaya yang jelek.
Bila kita melihat gaya secara umum, kita dapat mengatakan bahwa gaya adalah cara
mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian, dan sebagainya.
Dengan menerima pengertian ini, maka kita dapat mengatakan, Cara berpakaiannya menarik
perhatian orang banyak, Cara menulisnya lain daripada kebanyakan orang, Cara jalannya
lain dan yang lain, yang memang sama artinya dengan gaya berpakaian, gaya menulis
dan gaya berjalan. Dilihat dan segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa.
Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang
yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian
orang terhadapnya; semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian
diberikan padanya.
Kejujuran dalam bahasa berarti: kita mengikuti aturan-aturan. kaidah-kaidah yang baik dan
benar dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan
kalimat yang berbelit-belit, adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Pembicara atau
penulis tidak menyampaikan isi pikirannya secara terus terang; ia seolah-olah
menyembunyikan pikirannya itu di balik rangkaian kata-kata yang kabur dan jaringan kalimat
yang berbelit-belit tak menentu. Ia hanya mengelabui pendengar atau pembaca dengan
mempergunakan kata-kata yang kabur dan hebat: hanya agar bisa tampak lebih intelek atau
lebih dalam pengetahuannya.
Yang dimaksud dengan sopan-santun adalah memberi penghargaan atau menghormati orang
yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Rasa hormat di sini tidak berarti
memberikan penghargaan atau menciptakan kenikmatan melalui kata-kata, atau
mempergunakan kata-kata yang manis sesuai dengan hasa-basi dalam pergaulan masyarakat
beradab. Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan
kesingkatan. Menyampaikan sesuatu secara jelas berarti tidak membuat pembaca atau
pendengar memeras keringat untuk mencari tahu apa yang ditulis atau dikatakan. Di samping
itu, pembaca atau pendengar tidak perlu membuang-buang waktu untuk mendengar atau
membaca sesuatu secara panjang lebar, kalau hal itu bisa diungkapkan dalam beherapa
rangkaian kata. Kejelasan dengan demikian akan diukur dalam heberapa butir kaidah berikut,
yaitu:
Kejujuran, kejelasan serta kesingkatan harus merupakan langkah dasar dan langkah awal.
Bila seluruh gaya bahasa hanya mengandalkan kedua (atau ketiga) kaidah tersebut di atas,
maka bahasa yang digunakan masih terasa tawar, tidak menarik. Sebab itu, sebuah gaya
bahasa harus pula menarik. Sebuah gaya yang menarik dapat diukur melalui beberapa
komponen berikut: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas),
dan penuh daya khayal (majinasi).
Berdasarkan pengarang. gaya yang disebut sesuai dengan nama pengarang dikenal
berdasarkan ciri pengenal yang digunakan pengarang atau penulis dalam karangannya.
Pengarang yang kuat dapat mempengaruhi orang-orang sejamannya, atau
pengikutpengikutnya, sehingga dapat membentuk sebuah aliran. Kita mengenal gaya Ehainil,
gaya Takdir, dan sebagainya.
Berdasarkan Masa: gaya bahasa yang didasarkan pada masa dikenal karena ciri-ciri tertentu
yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu. Misalnya ada gaya lama, gaya klasik,
gaya sastra modern, dan sebagainya.
Berdasarkan Medium: yang dimaksud dengan medium adalah bahasa dalam arti alat
komunikasi. Tiap bahasa, karena struktur dan situasi sosial pemakainya, dapat merniliki corak
tersendiri. Sebuah karya yang ditulis dalam bahasa jerman akan memiliki gaya yang
berlainan, bila ditulis dalam bahasa Indonesia, Prancis, atau Jepang. Dengan demikian kita
mengenal gaya Jerman, Inggris, Prancis, Indonesia, dan sehagainya.
Berdasarkan Subyek: subyek yang menjadi pokok pembicaraan dalam sebuah karangan dapat
mempengaruhi pula gaya bahasa sebuah karangan. Berdasarkan hal ini kita mengenal gaya:
filsafat, ilmiah (hukum, teknik, sastra, dsh), populer, didaktik, dan sebagainya.
Berdasarkan Tempat: gaya ini mendapat namanya dari lokasi geografis, karena ciri-ciri
kedaerahan mempengaruhi ungkapan atau ekspresi bahasanya. Ada gaya Jakarta, gaya Jogya,
ada gaya Medan, Ujung Pandang, dan sebagainya.
Berdasarkan Hadirin: seperti halnya dengan subyek, maka hadirin atau jenis pembaca juga
mempengaruhi gaya yang dipergunakan seorang pengarang. Ada gaya populer atau gaya
demagog yang cocok untuk rakyat banyak. Ada gaya sopan yang cocok untuk lingkungan
istana atau Iingkungan yang terhormat. Ada pula gaya intim (familiar) yang cocok untuk
lingkungan keluarga atau untuk orang yang akrab.
Berdasarkan Tujuan: gaya berdasarkan tujuan memperoleh namanya dan maksud yang ingin
disampaikan oleh pengarang. di mana pengarang ingin mencurahkan gejolak emotifnya. Ada
gaya sentimental, ada gaya sarkastik, gaya diplomatis, gaya agung atau luhur, gaya teknis
atau informasional, dan ada gaya humor.
b. Segi Bahasa
Dilihat dan sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan maka gaya bahasa dapat
dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu:
harus ditambahkan segi-segi morfologis dan sintaksis, yang secara bersama-sama membentuk
gaya bahasa percakapan ini. Biasanya segi-segi sintaksis tidak terlalu diperhatikan, demikian
pula segi-segi morfologis yang biasa diabaikan sering dihilangkan. Kalau dibandingkan
dengan gaya bahasa resmi dan gaya bahasa tak resmi, maka gaya bahasa percakapan ini dapat
diumpamakan sebagai bahasa dalam pakaian sport. Itu berarti bahasanya masih lengkap
untuk suatu kesempatan, dan masih dibentuk menurut kebiasaan-kebiasaan, tetapi kebiasaan
ini agak longgar bila dibandirigkan dengan kebiasaan pada gaya bahasa resmi dan tak resmi.
Dengan latar belakang ini gaya bahasa dilihat dan sudut nada yang terkandung dalam sebuah
wacana, dibagi atas: gaya yang sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah.
lebih menginginkan ketenangan dan kedamaian. Akan ganjillah rasanya, atau akan timbul
disharmoni, kalau dalam suatu pesta pernikahan ada orang yang memberi sambutan berapiapi, mengerahkan segala emosi dan tenaga untuk menyampaikan sepatah kata. Para hadirin
yang kurang waspada akan turut terombang-ambing dalam permainan emosi semacam itu.
(1) Klimaks
Gaya bahasa klimaks diturunkan dan kalimat yang bersifat periodik. Klimaks adalah
semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin
meningkat kepentingannya dan gagasan-gagasan sebelumnya. Klimaks disebut juga gradasi.
Istilah ini dipakai sebagai istilah umum yang sebenamya merujuk kepada tingkat atau
gagasan tertinggi. Bila klimaks itu terbentuk dan beberapa gagasan yang berturut-turut
semakin tinggi kepentingannya, maka ia disebut anabasis.
(2) Antiklimaks
Antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur mengendur. Antiklimaks sebagai gaya
bahasa merupakan suatu acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dan yang terpenting
berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Antiklimaks sering kurang efektif karena
gagasan yang penting ditempatkan pada awal kalimat, sehingga pembaca atau pendengar
tidak lagi memberi perhatian pada bagian-bagian berikutnya dalam kalimat itu.
(3) Paralelisme
Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam
pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk
gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut dapat pula berbentuk anak kalimat yang
bergantung pada sebuah induk kalimat yang sama. Gaya ini lahir dan struktur kalimat yang
berimbang.
(4) Antitesis
Antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan,
dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Gaya ini timbul dan
kalimat berimbang. Perhatikan contoh berikut:
(5) Repetisi
Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting
untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Dalam bagian in hanya akan
dibicarakan repetisi yang berbentuk kata atau frasa atau klausa. Karena nilainya dianggap
tinggi, maka dalam oratori timbullah bermacam-macam variasi repetisi.
Repetisi, seperti halnya dengan paralelisme dan antitesis, lahir dan kalimat yang benimbang.
Karena nilainya dalam oratori dianggap tinggi, maka para orator menciptakan bermacammacam repetisi yang pada prinsipnya didasarkan pada tempat kata yang diulang dalam baris,
klausa, atau kalimat. Yang penting di antaranya adalah:
(1) Epizeuksis: repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang
beberapa kali berturut-tunut. Misalnya: Kita harus bekerja, bekerja, sekali lagi bekerja untuk
mengejar semua ketinggalan kita.
(2) Tautotes: repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi. Misalnya:
Kau menuding aku, aku menuding kau, kau dan aku menjadi seteru.
(3) Anafora: adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau
kalimat berikutnya. Misalnya:
Tapi berdosakah aku, kalau aku bawakan air selalu menyiramnya, hingga pohonku
berdaun rimbun, tempat aku mencari lindung? Berdosakah aku bersandar ke batang yang kuat
berakar melihat tamasya yang molek berdandan menyambut fajar kata Itahi? Berdosakah aku
kalau burungku kecil hinggap di dahan rampak menyanyi sunyi melega hati?
(4) Epistrofa: adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau
kalimat berurutan. Misalnya:
(5) Simploke (symploehe): simploke adalah repetisi pada awal dan akhir beberapa baris atau
kalimat berturut-turut. Misalnya:
kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin
kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin kamu bilang aku nggak punya
pengertian. Aku bilang biarin
(6) Mesodiplosis: adalah repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat berurutan.
Misalnya:
(7) Epanalepsis: pengulangan yang berwujud kata terakhir dan baris, klausa atau kalimat,
mengulang kata pertama. Misalnya:
(8) Anadiplosis: kata atau frasa terakhir dan suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa
pertama dan klausa atau kalimat berikutnya. Misalnya:
dalam laut ada tiram, dalam tiram ada mutiara dalam mutiara: ah tak ada apa dalam baju
ada aku, dalam aku ada hati dalam hati. ah tak apa jua yang ada dalam syair ada kata, dalam
kata ada makna dalam makna: Mudah-mudahan ada Kau!
Gaya bahasa atau style adalah pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseoarang
dalam bertutur atau menulis; pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek
tertentu: keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra: cara khas dalam
menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan ( Hasan dalam Murtono,
2010:15). Gaya bahasa juga bermakna cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa
secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa
(Keraf dalam Murtono, 2010:15). Gaya bahasa ini bersifat individu dan dapat juga
bersifat kelompok. Gaya bahasa yang bersifat individu disebut idiolek, sedangkan yang
bersifat kelompok (masyarakat) disebut dialek. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat
menilai pribadi, watak, dan watak, dan kemampuan seseorang ataupun masyarakat
yang menggunakan bahasa tersebut.
1.
Sudjiman (1998: 13) menyatakan bahwa sesungguhnya gaya bahasa dapat digunakan
dalam segala ragam bahasa baik ragam lisan, tulis, nonsastra, dan ragam sastra,
karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh
orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya bahasa selalu
ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis. Gaya bahasa mencakup
diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang
digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Jorgense dan Phillips (dalam Ratna, 2009: 84) mengatakan bahwa gaya bahasa bukan
sekedar saluran, tetapi alat yang menggerakkan sekaligus menyusun kembali dunia
sosial itu sendiri. Lebih jauh menurut Simpson (dalam Ratna, 2009: 84) gaya bahasa
baik bagi penulis maupun pembaca berfungsi untuk mengeksplorasi kemampuan
bahasa khususnya bahasa yang digunakan. Stilistika dengan demikian memperkaya
cara berpikir, cara pemahaman, dan cara perolehan terhadap substansi kultural pada
umumnya.
Retorika merupakan penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis yang diperoleh
melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana seorang pengarang
menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan
bahasa dalam sastra mencerminkan sikap dan perasaan pengarang yang dapat
digunakan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca. Untuk itu, bentuk
pengungkapan bahasa harus efektif dan mampu mendukung gagasan secara tepat yang
memiliki segi estetis sebagai sebuah karya. Kekhasan, ketepatan, dan kebaruan
pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan yang berasal dari imajinasi dan kreatifitas
pengarang dalam pengungkapan bahasa dan gagasan sangat menentukan keefektifan
wacana atau karya yang dihasilkan. Hal ini bisa dikatakan bahwa bahasa akan
menentukan nilai kesastraan yang akan diciptakan.
Karya sastra adalah sebuah wacana yang memiliki kekhasan tersendiri. Seorang
pengarang dengan kreativitasnya mengekspresikan gagasannya dengan menggunakan
bahasa dengan memanfaatkan semua media yang ada dalam bahasa. Gaya berbahasa
dan cara pandang seorang pegarang dalam memanfaatkan dan menggunakan bahasa
tidak akan sama satu sama lain dan tidak dapat ditiru oleh pengarang lain karena hal ini
sudah menjadi bagian dari pribadi seorang pengarang. Kalaupun ada yang meniru pasti
akan dapat ditelusuri sejauh mana persamaan atau perbedaan antara karya yang satu
dengan yang lainnya. Hal ini dapat diketahui mana karya yang hanya sebuah jiplakan
atau imitasi.
Pemilihan bentuk bahasa yang digunakan pengarang akan berkaitan fungsi dan konteks
pemakaiannya. Pemakaian gaya dalam sastra selalu dikaitkan dengan konteks yang
melatar belakangi pemilihan dan pemakaian bahasa. Semua gaya bahasa itu berkaitan
langsung dengan latar sosial dan kehidupan di mana bahasa itu digunakan.
Melalui gaya bahasa pembaca dapat menilai kepribadian dan kemampuan pengarang,
semakin baik gaya bahasa yang digunakan, semakin baik pula penilaian terhadapnya.
Sering dikatakan bahwa bahasa adalah pengarang yang terekam dalam karya yang
dihaslkannya. Oleh sebab itu setiap pengarang mempunyai gayanya masing-masing.
1.
2.
Gaya bahasa sindiran, terdiri dari: Ironi, sinisme, sarkasme, innuendo, dan satire.
3.
4.
1.
1.
1.
1.
b. Personifikasi
1.
c.
Asosiasi
Gaya bahasa ini memberikan perbandingan terhadap benda yang sudah disebutkan.
Perbandingan ini memberikan gambaran sehingga hal yang disebutkan menjadi lebih
jelas.
Contoh :
1.
d. Alegori
1.
Simbolik
1.
f.
Metonimia
Si Belang datang
1.
g.
Litotes
Usaha kami ini hanya setitik kecil dari samudra yang luas.
1.
h. Sinekdoke
Penggunaan gaya dengan cara menyebutkan bagian atau keseluruhan. Gaya ini dibagi
menjadi dua macam, yaitu :
1) Pars pro toto
Penggunaan bagian suatu benda atau keadaan sedangkan yang dimaksud adalah
keseluruhan. Contoh : Hamdan memelihara dua puluh ekor lembu.
2) Totem proparte
Gaya bahasa yang terjadi oleh sebab menyebutkan keseluruhan benda, sedangkan
yang diaksud adalah sebagian. Contoh : Rakyat Indonesia bahu-membahu melawan
Belanda, Pati merebut piala bergilir Gubernur Jawa Tengah dalam perlombaan itu.
1.
i.
Eufemisme
1.
j.
Hiperbola
1.
k. Parifrasis
Penggunaan sepatah kata pengganti dengan serangkaian kata yang mengandung arti
yang sama dengan kata yang digantikan itu.
Contoh :
Pagi-pagi berangkatlah kami. Kalimat ini diganti : ketika sang surya keluar dari
peraduannya, berangkatlah kami.
Kereta api berlari terus. Kalimat ini diganti : kuda besi itu berlari terus
1.
2.
1.
Ialah salah satu majas sindiran yang dikatakan sebaliknya dari apa yang sebenarnya
dengan maksud menyindir orang dan diungkapkan secara halus. Contoh-contoh:
1.
b. Sinisme
Contoh :
1.
c.
Sarkasme
Gaya bahasa sindiran yang terkasar dimana memaki orang dengan kata-kata kasar dan
tak sopan.
Contoh:
1.
3.
1.
1.
b.
Pengulangan kata-kata untuk menegaskan yang terdapat pada puisi. Bila kata yang
diulang pada awal kalimat dinamakan anaphora, dan jika terdapat pada akhir kalimat
dinamakan evipora.
Contoh-contoh:
1.
c.
Interupsi
1.
d. Retoris
1.
e.
Koreksio
Dipakai untuk membetulkan kembali apa yang salah diucapkan baik yang disengaja
maupun tidak.
Contoh-contoh:
1.
Asimdeton
Beberapa hal keadaan atau benda disebutkan berturut-turut tanpa menggunakan kata
penghubung.
Contoh:
1.
4.
1.
1.
b.
Antitesis
1.
c.
Kontradiksio Interminis
Yaitu majas yang memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang
sudahdikatakan semula. Apa yang sudah dikatakan, disangkal lagi oleh ucapan
kemudian.
Contoh:
Kalau masih ada yang belum hadir, mengapa dikatakan semua sudah hadir.
BAB III
PENUTUP
1.
A.
Kesimpulan
Gaya bahasa ialah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk
memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulissastra dan
cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun
tertulis.
Gaya bahasa yang digunakan oleh penulis pada hakikatnya adalah cara menggunakan
bahasa yang setepat-tepatnya untuk melukiskan perasaan dan pikiran penulis yang
berbeda dari corak bahasa sehari-hari dan bersifat subyektif. Majas dibagi menjadi 4
kelompok yaitu gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa sindiran, gaya bahasa
penegasan dan gaya bahasa pertentangan.
Gaya bahasa perbandingan meliputi : metafora, personifikasi, asosiasi, alegori, simbolik,
metonimia, litotes, sinekdoke (pars pro toto dan totem proparte), eufemisme, hiperbola,
parifrasis. Sedangkan gaya bahasa sindiran meliputi : ironi, sinisme,dan sarkasme.
Gaya bahasa penegasan meliputi : pleonasme, paralelisme, interupsi, retoris,
koreksio, asimdeton. Gaya bahasa pertentangan meliputi : paradoks, antitesis,
dan kontradiksio interminis.
1.
B.
Saran
Gaya bahasa dipakai pengarang hendak memberi bentuk terhadap apa yang ingin
disampaikan. Dengan gaya bahasa tertentu pula seorang pengarang dapat
mengekalkan pengalaman rohaninya dan penglihatan batinnya, serta dengan itu pula ia
menyentuh hati pembacanya. Karena gaya bahasa itu berasal dari dalam batin seorang
pengarang maka gaya bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam karyanya
secara tidak langsung menggambarkan sikap atau karakteristik pengarang tersebut.
https://mazidatulkhoir.wordpress.com/2012/10/07/gaya-bahasa-dalam-karya-sastra/