Anda di halaman 1dari 6

Limfoma Maligna (NHML)

Pendahuluan

Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup sistem limfatik

dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu

pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali, dan kelainan sumsum tulang.

Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodal yaitu di luar sistem limfatik dan imunitas antara

lain pada traktus digestivus, paru, kulit, dan organ lain. Dalam garis besar, limfoma dibagi

dalam 4 bagian, diantaranya limfoma Hodgkin (LH), limfoma non-hodgkin (LNH),

histiositosis X, Mycosis Fungoides. Dalam praktek, yang dimaksud limfoma adalah LH dan

LNH, sedangkan histiositosis X dan mycosis fungoides sangat jarang ditemukan.

Definisi

Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna/ganas yang muncul dalam

kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstranodal yang ditandai dengan proliferasi atau

akumulasi sel-sel asli jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan pra-sel dan derivatnya).

Epidemiologi

Di negara maju, limfoma relatif jarang, yaitu kira-kira 2% dari jumlah kanker yang

ada. Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini merupakan

terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara, dan kulit.

Etiologi

Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak

diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan pada

limfoma Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin

pada kelompok penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus

HIV, tampaknya mendukung teori yang menganggap bahwa penyakit ini disebabkan oleh

virus. Awal pembentukan tumor pada gangguan ini adalah pada jaringan limfatik sekunder
(seperti kelenjar limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat timbul penyebaran ke sumsum tulang

dan jaringan lain.

Klasifikasi

Dua kategori besar limfoma dilakukan atas dasar histopatologi mikroskopik dari

kelenjar limfe yang terlibat. Kategori tersebut adalah limfoma penyakit Hodgkin dan non-

Hodgkin.

Gejala Klinis

1. Pembengkakan kelenjar getah bening

Pada limfoma Hodgkin, 80% terdapat pada kelenjar getah bening leher, kelenjar ini

tidak lahir multiple, bebas atas konglomerasi satu sama lain. Pada limfoma non-Hodgkin,

dapat tumbuh pada kelompok kelenjar getah bening lain misalnya pada traktus digestivus

atau pada organ-organ parenkim.

2. Demam tipe pel Ebstein

3. Gatal-gatal

4. Keringat malam

5. Berat badan menurun lebih dari 10% tanpa diketahui penyebabnya.

6. Nafsu makan menurun.

7. Daya kerja menurun

8. Terkadang disertai sesak nafas

9. Nyeri setelah mendapat intake alkohol (15-20%)

10. Pola perluasan limfoma Hodgkin sistematis secara sentripetal dan relatif lebih lambat,

sedangkan pola perluasan pada limfoma non-Hodgkin tidak sistematis dan relatif lebih cepat

bermetastasis ke tempat yang jauh.

Diagnosis

1. Ananmnesis
Keluhan terbanyak pada penderita adalah pembesaran kelenjar getah bening di leher,

aksila, ataupun lipat paha. Berat badan semakin menurun, dan terkadang disertai dengan

demam, sering berkeringat dan gatal-gatal.

2. Pemeriksaan Fisik

Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikuler – aksila

dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan THT perlu dilakukan

untuk menentukan kemungkinan cincin Weldeyer ikut terlibat. Apabila area ini terlibat perlu

diperiksa gastrointestinal sebab sering terlibat bersama-sama.

3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah yaitu hemogran dan trombosit. LED sering meninggi dan

kemungkinan ada kaitannya dengan prognosis. Keterlibatan hati dapat diketahui dari

meningkatnya alkali fosfatase, SGOT, dan SGPT.

4. Sitologi biopsi aspirasi

Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) sering dipergunakan pada diagnosis

pendahuluan limfadenopati jadi untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi

hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma, dan limfoma maligna. Ciri khas

sitologi biopsi aspirasi limfoma Hodgkin yaitu populasi limfosit yang banyak aspek serta

pleomorfik dan adanya sel Reed-Sternberg. Apabila sel Reed-Sternberg sulit ditemukan

adanya sel Hodgkin berinti satu atau dua yang berukuran besar dapat dipertimbangkan

sebagai parameter sitologi Limfoma Hodgkin.

Penyulit diagnosis sitologi biopsi aspirasi pada Limfoma non-Hodgkin adalah kurang

sensitif dalam membedakan Limfoma non-Hodgkin folikel dan difus. Pada Limfoma non-

Hodgkin yang hanya mempunyai subtipe difus, sitologi, biopsi aspirasi dapat dipergunakan

sebagai diagnosis definitif.


Penyakit lain dalam diagnosis sitologi biopsi aspirasi Limfoma Hodgkin ataupun

Limfoma non-Hodgkin adalah adanya negatif palsu termasuk di dalamnya inkonklusif. Untuk

menekan jumlah negatif palsu dianjurkan melakukan biopsi aspirasi multipel hole di

beberapa tempat permukaan tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai

dengan gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.

5. Histopatologi

Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtipe

histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas limfoma Hodgkin ataupun Limfoma non-

Hodgkin.

6. Radiologi

a. Foto thoraks

b. Limfangiografi

c. USG

d. CT scan

7. Laparotomi rongga abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi kelenjar getah bening

pada iliaka, para aorta dan mesenterium dengan tujuan menentukan stadium.

Terapi

Sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan penyakit

dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih merupakan faktor penting

dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir

ini angka harapan hidup 5 tahun meningkat dan bahkan sembuh berkat manajemen tumor

yang tepat dan tersedianya kemoterapi dan radioterapi. Peranan pembedahan pada

penatalaksanaan limfoma maligna terutama hanya untuk diagnosis biopsi dan laparotomi

splenektomi bila ada indikasi.

1. Radiasi
a. Untuk stadium I dan II secara mantel radikal

b. Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi

c. Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation

d. Untuk stadium IV secara total body irradiation

2. Kemoterapi untuk stadium III dan IV

Untuk stadium I dan II dapat pula diberi kemoterapi pre radiasi atau pasca radiasi.

Kemoterapi yang sering dipakai adalah kombinasi.

COP (Untuk limfoma non Hodgkin)

C : Cyilopkosphamide 800 mg/m2 hari I

O : Oncovin 1,4 mg/m2 IV hari I

P : Prednison 60 mg/m2 hari I s/d VII lalu tapering off

MOPP (untuk Limfoma Hodgkin)

M : Nitrogen Mustrad 6 mg/m2 hari 1 dan 8

O : Oncovin 1,4 mg/m2 hari I dan VIII

P : Prednison 60 mg/m2 hari I s/d XIV

P : Procarbazin 100 mg/m2 hari I s/d XIV

Komplikasi

Komplikasi yang dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan dengan

penanganan dan berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang merugikan berkaitan dengan

kemoterapi meliputi : alopesia, mual, muntah, supresi sumsum tulang, stomatitis dan

gangguan gastrointestinal. Infeksi adalah komplikasi potensial yang paling serius yang

mungkin dapat menyebabkan syok sepsis. Efek jangka panjang dari kemoterapi meliputi

kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal.


Efek samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati. Bila pengobatan

pada nodus limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut : mulut

kering, disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan penurunan produksi saliva.

Bila dilakukan pengobatan pada nodus limfa abdomen, efek yang mungkin terjadi

adalah muntah, diare, keletihan, dan anoreksia.

Anda mungkin juga menyukai