2. Epidemiologi
Di negara maju, limfoma relatif jarang, yaitu kira-kira 2% dari jumlah kanker
yang ada. Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor
ini merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara, dan kulit.
3. Etiologi
Etiologi belum jelas mungkin perubahan genetik karena bahan – bahan
limfogenik seperti virus, bahan kimia, mutasi spontan, radiasi dan sebagainya.
4. Faktor predisposisi
a. Usia
Penyakit limfoma maligna banyak ditemukan pada usia dewasa muda yaitu antara
18-35 tahun dan pada orang diatas 50 tahun.
b. Jenis kelamin
Penyakit limfoma maligna lebih banyak diderita oleh pria dibandingkan wanita.
c. Gaya hidup yang tidak sehat
Risiko Limfoma Maligna meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan
tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan UV.
d. Pekerjaan
Beberapa pekerjaan yang sering dihubugkan dengan resiko tinggi terkena
limfoma maligna adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini
disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organik.
5. Patofisiologi
Proliferasi abmormal tumor dapat memberi kerusakan penekanan atau
penyumbatan organ tubuh yang diserang. Tumor dapat mulai di kelenjar getah bening
(nodal) atau diluar kelenjar getah bening (ekstra nodal).
Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, mudah
digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat
dimulai dengan gejala penurunan berat badan, demam, keringat malam. Hal ini dapat
segera dicurigai sebagai Limfoma. Namun tidak semua benjolan yang terjadi di
sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil perlawanan
kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis limfa.
Beberapa penderita mengalami demam Pel-Ebstein, dimana suhu tubuh meninggi
selama beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal
selama beberapa hari atau beberapa minggu. Gejala lainnya timbul berdasarkan lokasi
pertumbuhan sel-sel limfoma.
6. Klasifikasi
a. Klasifikasi Penyakit
Ada dua jenis penyakit yang termasuk limfoma malignum yaitu penyakit Hodgkin
(PH) dan limfoma non Hodgkin (LNH). Keduanya memiliki gejala yang mirip.
Perbedaannya dibedakan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi dimana pada
PH ditemukan sel Reed Sternberg, dan sifat LNH lebih agresif.
b. Klasifikasi Patologi
Klasifikasi limfoma maligna telah mengalami perubahan selama bertahun-tahun.
Pada tahun 1956 klasifikasi Rappaport mulai diperkenalkan. Rappaport membagi
limfoma maligna menjadi tipe nodular dan difus kemudian subtipe berdasarkan
pemeriksaan sitologi. Modifikasi klasifikasi ini terus berlanjut hingga pada tahun
1982 muncul klasifikasi Working Formulation yang membagi limfoma maligna
menjadi keganasan rendah, menengah dan tinggi berdasarkan klinis dan patologis.
Seiring dengan kemajuan imunologi dan genetika maka muncul klasifikasi terbaru
pada tahun 1982 yang dikenal dengan Revised European-American classification
of Lymphoid Neoplasms (REAL classification).
c. Stadium Limfoma Maligna
Penyebaran Limfoma dapat dikelompokkan dalam 4 stadium. Stadium I dan II
sering dikelompokkan bersama sebagai stadium awal penyakit, sementara stadium
III dan IV dikelompokkan bersama sebagai stadium lanjut.
1. Stadium I: Penyebaran Limfoma hanya terdapat pada satu kelompok yaitu
kelenjar getah bening
2. Stadium II : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok
kelenjar getah bening, tetapi hanya pada satu sisi diafragma, serta pada
seluruh dada atau perut.
3. Stadium III : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok
kelenjar getah bening, serta pada dada dan perut.
4. Stadium IV : Penyebaran Limfoma selain pada kelenjar getah bening
setidaknya pada satu organ lain juga seperti sumsum tulang, hati, paru-paru,
atau otak.
7. Gejala klinis
a. Pembengkakan kelenjar getah bening.
Pada limfoma Hodgkin, 80% terdapat pada kelenjar getah bening leher, kelenjar
ini tidak lahir multiple, bebas atas konglomerasi satu sama lain. Pada limfoma
non-Hodgkin, dapat tumbuh pada kelompok kelenjar getah bening lain misalnya
pada traktus digestivus atau pada organ-organ parenkim.
b. Demam tipe pel Ebstein dimana suhu tubuh meninggi selama beberapa hari yang
diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal selama beberapa hari atau
beberapa minggu.
c. Gatal-gatal
d. Keringat malam
e. Berat badan menurun lebih dari 10% tanpa diketahui penyebabnya.
f. Nafsu makan menurun.
g. Daya kerja menurun
h. Terkadang disertai sesak nafas
i. Nyeri setelah mendapat intake alkohol (15-20%)
j. Pola perluasan limfoma Hodgkin sistematis secara sentripetal dan relatif lebih
lambat, sedangkan pola perluasan pada limfoma non-Hodgkin tidak sistematis dan
relatif lebih cepat bermetastasis ke tempat yang jauh.
Terdapat 3 gejala spesifik pada Limfoma antar lain:
1. Demam berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38 °C.
2. Sering keringat malam.
3. Kehilangan berat badan lebih dari 10% dalam 6 bulan.
8. Pemeriksaan diagnostik/penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah yaitu hemogran dan trombosit. LED sering meninggi dan
kemungkinan ada kaitannya dengan prognosis. Keterlibatan hati dapat diketahui
dari meningkatnya alkali fosfatase, SGOT, dan SGPT.
b. Radiologi
Foto thoraks
Limfangiografi
USG
CT scan
9. Prognosis
Kebanyakan pasien dengan penyakit limfoma maligna tingkat rendah bertahan
hidup lebih dari 5-10 tahun sejak saat didiagnosis. Banyak pasien dengan penyakit
limfoma maligna tingkat tinggi yang terlokalisasi disembuhkan dengan radioterapi.
Dengan khemoterapi intensif, pasien limfoma maligna tingkat tinggi yang tersebar
luas mempunyai perpanjangan hidup lebih lama dan dapat disembuhkan.
10. Therapy
a. Cara pengobatan bervariasi dengan jenis penyakit. Beberapa pasien dengan tumor
keganasan tingkat rendah, khususnya golongan limfositik, tidak membutuhkan
pengobatan awal jika mereka tidak mempunyai gejala dan ukuran lokasi
limfadenopati yang bukan merupakan ancaman.
b. Radioterapi
Walaupun beberapa pasien dengan stadium I yang benar-benar
terlokalisasi dapat disembuhkan dengan radioterapi, terdapat angka yang relapse
dini yang tinggi pada pasien yang dklasifikasikan sebagai stadium II dan III.
Radiasi local untuk tempat utama yang besar harus dipertimbangkan pada pasien
yang menerima khemoterapi dan ini dapat bermanfaat khusus jika penyakit
mengakibatkan sumbatan/ obstruksi anatomis.
Pada pasien dengan limfoma keganasan tingkat rendah stadium III dan IV,
penyinaran seluruh tubuh dosis rendah dapat membuat hasil yang sebanding
dengan khemoterapi.
c. Khemoterapi
1. Terapi obat tunggal Khlorambusil atau siklofosfamid kontinu atau intermiten
yang dapat memberikan hasil baik pada pasien dengan limfoma maligna
keganasan tingkat rendah yang membutuhkan terapi karena penyakit tingkat
lanjut.
2. Terapi kombinasi. (misalnya COP (cyclophosphamide, oncovin, dan
prednisolon)) juga dapat digunakan pada pasien dengan tingkat rendah atau
sedang berdasakan stadiumnya.
11. Penatalaksanaan
Penanganan terutama ditentukan oleh stadium penyakitnya, dan bukan oleh jenis
histologinya. Penyakit Hodgkin potensial dapat disembukan dengan radioterapi,
selama masih terbatas pada rangkaian nodus limfe, limfa dan orofaring. Pasien yang
penyakitnya belum menyebar harus mendapat rasiasi “kuratif” dengan dosis yang
cukup tinggi untuk menghancurkan tumor tidak hanya pada nodus tumor yang jelas
tampak tetapi juga pada nodus di sekitarnya dan rangkaian nodus limfatikus. Bila ada
tanda penyebaran di luar daerah yang dapat ditangani tentu saja secara otomatis tidak
memungkinkan pasien untuk menjalani program tersebut dimana pada kasus tersebut
dapat diberikan kombinasi kemoterapi dan radioterapi paliatif.
4. Kolaborasi dalam
pemberian
antipiretik.
3 Dx 3 Setelah diberikan
1. Kaji riwayat
1. Mengidentifikasi defisiensi
asuhan keperawatan nutrisi, termasuk nutrisi dan juga untuk
selam (...x...) jam makanan yang intervensi selanjutnya.
diharapkan kebutuhan disukai.
nutrisi klien dapat 2. Mengawasi masukan kalori.
terpenuhi dengan
2. Observasi dan catat
criteria hasil : masukan makanan 3. Mengawasi penurunan berat
a. Menunjukkan klien. badan dan efektivitas
peningkatan BB/ BB 3. Timbang berat intervensi nutrisi.
stabil. badan klien tiap hari.
b. Nafsu makan klien
meningkat 4. Meningkatkan pemasukan
c. Klien menunjukkan 4. Berikan makan kalori secara total dan juga
perilaku perubahan sedikit namun untuk mencegah distensi
pola hidup untuk gaster.
frekuensinya sering.
mempertahankan 5. Meningkatkan masukan
berat badan yang protein dan kalori.
sesuai.
5. Kolaborasi dalam
pemberian suplemen
nutrisi.
4 Dx 4 Setelah diberikan
1. Kaji frekuensi
1. Perubahan dapat
asuhan keperawatan pernafasan, mengindikasikan berlanjutnya
selama (...x...) jam kedalaman, irama. keterlibatan/pengaruh
diharapkan bersihan pernafasn yang membutuhkan
jalan nafas klien upaya intervensi.
efektif/normal dengan 2. Pemaksimalkan ekspansi
criteria hasil : paru, menurunkan kerja
a. Klien dapat
2. Tempatkan pasien pernafasan, dan menurunkan
bernafas dengan pada posisi nyaman, resiko aspirasi.
normal/efektif. biasanya dengan
b. Klien bebas dari kepala tempat tidur
dispnea, sianosis. tinggi/atau duduk
c. Tidak terjadi tanda tegak ke depan kaki
distress pernafasan. digantung. 3. Membantu meningkatkan
3. Bantu dengan difusi gas dan ekspansi jalan
teknik nafas dalam nafas kecil, memberikan klien
dan atau pernafasan beberapa kontrol terhadap
bibir /diafragma. pernafasan, membantu
Abdomen bila menurunkan ansietas.
diindikasikan.
4. Kaji respon
pernafasan terhadap
aktivitas.
5 Dx 5 Setelah diberikan1. Berikan 1. Memudahkan dalam
asuhan keperawatan komunikasi melakukan prosedur terapiutik
selama (...x...) jam terapiutik kepada kepada klien.
diharapkan klien dan klien dan keluarga
keluarganya dapat klien. 2. Klien dan keluarga klien
mengetahui tentang 2. Berikan KIE dapat mengetahui proses
penyakit yang mengenai proses penyakit yang diderita oleh
diderita oleh klien penyakitnya kepada klien.
dengan KH : klien dan keluarga
a. Klien dan keluarga klien.
klien dapat
memahami proses
penyakit klien.
b. Klien dan keluarga
klien mendapatkan
informasi yang jelas
tentang penyakit yang
diderita oleh klien.
c. Klien dan keluarga
klien dapat mematuhi
proses terapiutik yang
akan dilaksanakan.
4. Implementasi
a. Dx 1
1. Mengkaji skala nyeri pasien dengan PQRST
2. Mengajarkan klien teknik relaksasi dan distraksi.
3. Memberikan obat analgetik.
b. Dx 2
1. Mengobservasi suhu tubuh klien.
2. Memberikan kompres hangat pada dahi, aksila, perut dan lipatan paha.
3. Menganjurkan dan memberikan minum yang banyak kepada klien (sesuai
dengan kebutuhan cairan tubuh klien).
4. Memberikan antipiretik.
c. Dx 3
1. Mengkaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai oleh klien.
2. Menobservasi dan catat masukan makanan klien.
3. Menimbang berat badan klien tiap hari.
4. Memberikan makan sedikit namun frekuensinya sering.
5. Memberikan suplemen nutrisi.
d. Dx 4
1. Mengkaji frekuensi pernafasan, kedalaman, irama pernafasan klien.
2. Menempatan pasien pada posisi nyaman, biasanya dengan kepala tempat tidur
tinggi/atau duduk tegak ke depan kaki digantung.
3. Membantu dengan teknik nafas dalam dan atau pernafasan bibir /diafragma.
Abdomen bila diindikasikan.
4. Mengkaji respon pernafasan terhadap aktivitas
e. Dx 5
1. Memberikan komunikasi terapiutik kepada klien dan keluarga klien.
2. Memberikan KIE mengenai proses penyakitnya kepada klien dan keluarga
klien
5. Evaluasi keperawatan
a. Nyeri klien dapat teratasi sehingga kebutuhan kenyamanan klien terpenuhi.
b. Klien mampu menunjukan tidak adanya tanda-tanda hipertermy, suhu tubuh klien
dalam rentang normal.
c. Kebutuhan nutrisi terpenuhi dan poliphagi dapat dicegah sehingga tubuh tidak
kekurangan nutrient hasil metabolisme dalam bentuk glucagon dalam otot.
d. Pernafasan klien bisa kembali normal baik dari frekuensi pernafasan, kedalaman,
irama pernafasan klien.
e. Klien mampu memberikan gambaran baik secara umum maupun khusus
mengenai masalah kesehatannya. Sehingga klien kooperatif dalam perawatan
yang didapat.
DAFTAR PUSTAKA