Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


DENGAN EMPIEMA PARU

I. KONSEP DASAR PENYAKIT


A. DEFINISI
Empiema adalah nanah (pus) yang terdapat dalam rongga pleura,
meskipun studi dan uji klinis paling sering menggunakan istilah infeksi pleura
untuk mencakup empiema dan efusi parapneumonik (PPE)
terkomplikasi(Brims,2010).
Empiema didefinisikan oleh penampilannya; cairan sangat buram (opaq),
kuning keputihan, cairan kental yang merupakan hasil dari serum koagulasi
protein, debris seluler dan pengendapan fibrin. Empiema berkembang terutama
akibat tertundanya pengobatan pada pasien dengan pneumonia dan infeksi
pleura progresif dan, jarang, dari manajemen klinis yang tidak sesuai
(Sahn,2008)
Empiema biasanya merupakan komplikasi dari pneumonia tetapi dapat
muncul infeksi dari tempat lain. Di India, tuberkulosis empiema adalah
penyebab paling banyak. Gejala klinis dan etiologi mikroba dapat berbeda
tergantung dari trauma lokal, pembedahan atau kondisi yang mendasari seperti
malignansi, penyakit vaskular kolagen, kelainan imunodefisiensi, dan infeksi
yang melibatkan orofaring, esofagus, mediastinum atau jaringan subdiafragma

B. ETIOLOGI
Secara normal, ruang pleura terisi oleh cairan, namun tidak banyak. Bila
terjadi infeksi, produksi cairan di ruang pleura ini akan lebih banyak, sehingga
penyerapan cairan yang dilakukan oleh tubuh tidak dapat mengimbanginya.
Cairan pleura yang terinfeksi semakin mengental, membentuk nanah, dan dapat
menyebabkan lapisan paru-paru dengan rongga dada menempel serta
membentuk kantung-kantung. Kantung nanah inilah yang disebut empiema.
Empiema dapat muncul akibat komplikasi dari kondisi-kondisi berikut ini:
 Pneumonia, merupakan penyebab paling umum dari empiema.
 Bronkiektasis.
 Abses paru.
 Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
 Cedera serius di bagian dada.
 Infeksi di bagian tubuh lain dan menyebar ke rongga dada melalui
aliran darah.
 Menjalani operasi di bagian dada.
Selain itu, memiliki kondisi-kondisi berikut ini berisiko meningkatkan
kemungkinan terbentuknya empiema:
 Rheumatoid arthritis.
 Diabetes.
 Sistem imun yang lemah.
 Kecanduan alkohol.

C. PATOFISIOLOGI
Rongga pleura normalnya diisi dengan 5 – 10 ml cairan serous, dimana
terutama disekresi dari pleura parietal dengan rata-rata 0.01 mL/KgBB/jam dan
diabsorpsi melalui limfatik pleura parietal. Pada kondisi klinis tertentu,
keseimbangan antara sekresi dan absorpsi dapat terganggu dan cairan mulai
terakumulasi di rongga pleura. Efusi pleura secara klasik dibagi menjadi transudat
dan eksudat berdasarkan kriteria Light (tabel 1). Pada transudat, akumulasi cairan
di rongga pleura akibat peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan tekanan
onkotik melalui kapiler membran pleura. Sedangkan pada eksudat, kapiler itu
sendiri merupakan penyakit dan meningkatkan permeabilitas yang menyebabkan
cairan masuk ke rongga pleura.
Akibat invasi basil piogeneik ke pleura, maka akan timbulah peradangan
akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat serous. Dengan sel
polimorphonucleus (PMN) baik yang hidup maupun yang mati dan meningkatnya
kadar protein, maka cairan menjadi keruh dan kental. Adanya endapan – endapan
fibrin akan membentuk kantung – kantung yang melokalisasi nanah tersebut.

Sekresi cairan menuju celah pleura normalnya membentuk keseimbangan


dengan drainase oleh limfatik subpleura. Sistem limfatik pleura dapat
mendrainase hampir 500 ml/hari. Bila volume cairan pleura melebihi kemampuan
limfatik untuk mengalirkannya maka, efusi akan terbentuk

Efusi parapnemonia merupakan sebab umum empiema. Pneumonia


mencetuskan respon inflamasi. Inflamasi yang terjadi dekat dengan pleura dapat
meningkatkan permeabilitas sel mesotelial, yang merupakan lapisan sel terluar
dari pleura. Sel mesotelial yang terkena meningkat permeabilitasnya terhadap
albumin dan protein lainnya. Hal ini mengapa suatu efusi pleura karena infeksi
kaya akan protein. Mediator kimia dari proses inflamasi menstimulasi mesotelial
untuk melepas kemokin, yang merekrut sel inflamasi lain. Sel mesotelial
memegang peranan penting untuk menarik neutrofil ke celah pleura. Pada kondisi
normal, neutrofil tidak ditemukan pada cairan pleura. Neutrofil ditemukan pada
cairan pleura hanya jika direkrut sebagai bagian dari suau proses inflamasi.
Netrofil, fagosit, mononuklear, dan limfosit meningkatkan respon inflamasi dan
mengeleluarkan mediator untuk menarik sel-sel inflamator lainya ke dalam pleura.

D. TANDA DAN GEJALA


Manifestasi klinis empiema hampir sama dengan penderita pneumonia
bakteria, gejalanya antara lain adalah panas akut, nyeri dada (pleuritic chest pain),
batuk, sesak, dan dapa juga sianosis. Inflamasi pada ruang pleura dapat
menyebabkan nyeri abdomen dan muntah. Gejala dapat terlihat tidak jelas dan
panas mungkin tidak dialami penderita dengan sistem imun yang tertekan. Juga
terdapat batuk pekak pada perkusi dada, dispneu, menurunnya suara pernapasan,
demam pleural rub (pada fase awal) ortopneu, menurunnya vokal fremitus, nyeri
dada.
Gejala pneumonia yang melibatkan PPE (empiema dan efusi parapneumonik)
atau empiema (yakni demam, malaise, batuk, dyspnea, dan nyeri dada pleuritik)
mirip dengan pneumonia tanpa PPE. Pasien lansia mungkin relatif asimptomatik,
hanya menunjukkan gejala kelelahan atau perubahan status mental, tanpa gejala
paru. Faktor lain seperti usia, puncak suhu, jumlah leukosit, atau jumlah lobus
yang terlibat, tidak dapat memprediksi munculnya PPE atau membedakan antara
orang dengan dan orang tanpa PPE.( Walters, J, et al,2011)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologi
Foto thoraks PA dan lateral didapatkan gambaran opacity yang
menunjukan adanya cairan dengan atau tanpa kelaina paru. Bila terjadi
fibrothoraks , trakhea di mediastinum tertarik ke sisi yang sakit dan juga
tampak adanya penebalan. Cairan pleura bebas dapat terlihat sebagai
gambaran tumpul di sudut kostofrenikus pada posisi posteroanterior atau
lateral. Dijumpai gambaran yang homogen pada daerah posterolateral
dengan gambaran opak yang konveks pada bagian anterior yang disebut
dengan D-shaped shadow yang mungkin disebabkan oleh obliterasi sudut
kostofrenikus ipsilateral pada gambaran posteroanterior.
Organ-organ mediastinum terlihat terdorong ke sisi yang berlawanan
dengan efusi. Air-fluid level dapat dijumpai jika disertai dengan
pneumotoraks, fistula bronkopleural.
2. Pemeriksaan pus
Aspirasi pleura akan menunjukan adanya pus di dalam rongga
dada(pleura). Pus dipakai sebagai bahan pemeriksaan sitologi ,
bakteriologi, jamur dan amoeba. Untuk selanjutnya, dilakukan jkultur
(pembiakan) terhadap kepekaan antobiotik.
3. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) :
Pemeriksaan dapat menunjukkan adanya septa atau sekat pada suatu
empiema yang terlokalisir.Pemeriksaan ini juga dapat membantu untuk
menentukan letak empiema yang perlu dilakukan aspirasi atau
pemasangan pipa drain.
4. Pemeriksaan CT scan :
Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan adanya suatu penebalan dari
pleura. Kadang dijumpai limfadenopati inflamatori intratoraks pada CT
scan
5. Sinar x
6. Mengidentifikasi distribusi stuktural, menyatakan abses luas /infiltrate
,empiema (strafilokokus). infiltrat menyebar atau terlokalisasi(bacterial).
7. GDA /nadi oksimetri.
Tidak normal mungkin terjadi,tergantung pada luas paru yang terlibat dan
penyakit paru yang ada.
8. Tes fungsi paru.
9. Dilakukan untuk menentukan penyebab dipsnea, untuk menentukan
apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi,untuk
memperkirakan derajat disfungsi.
10. Pemeriksaan Gram/kultur sputum dan darah
Dapat diambil dengan biopsy jarum,aspirasi transtrakeal,bronkoskopi
fiberoptik atau biopsy pembukaan paru untuk mengatasi organisme
penyebab.Lebih dari satu tipe organisme ada: bakteri yang umum meliputi
diplokokus pneumonia ,strafilokokus aureus ,A-hemolitik streptokokus,
haemophilus influenza :CMV .Catatan: kultur sputum dapat tak
mengidentifikasi semua organisme yang ada,kultur darah dapat
menunjukkan bakterimia sementara.
11. EKG latihan,tes stress
Membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru perencanaan/evaluasi
program latihan.

F. PENATALAKSANAAN
Meskipun sangat jarang, empiema kompleks dapat memicu komplikasi yang
semakin Pengobatan empiema bertujuan untuk mengobati infeksi dan
menghilangkan nanah dari ruang pleura. Beberapa jenis pengobatan yang dapat
dilakukan, antara lain adalah:
1. Antibiotik. Pengobatan infeksi dilakukan dengan menggunakan antibiotik
yang disesuaikan dengan jenis bakteri penyebab infeksi.
2. Percutaneous thoracocentesis. Selain untuk diagnosis, thoracocentesis atau
punksi pleura ini dapat bertujuan untuk mengeluarkan cairan di ruang
pleura. Prosedur ini biasanya dilakukan dalam kasus empiema sederhana.
3. Operasi. Dalam kasus empiema kompleks, sebuah pipa karet akan
dimasukkan untuk mengeluarkan nanah. Prosedur ini biasanya dilakukan
melalui operasi. Ada beberapa jenis operasi, yaitu:
a) Thoracostomy. Dalam prosedur operasi ini, dokter akan memasukkan
pipa plastik ke dalam dada melalui lubang yang dibuat di antara dua
rusuk. Kemudian, dokter akan menghubungkan pipa plastik tersebut ke
alat penyedot untuk mengeluarkan cairan. Dokter juga akan
menyuntikkan obat-obatan untuk membantu mengeluarkan cairan.
b) Video-assisted thoracic surgery (VATS). Dokter bedah akan
mengangkat jaringan yang telah terinfeksi di sekitar paru-paru,
kemudian memasukkan selang dan menggunakan obat-obatan untuk
mengalirkan cairan dari ruang pleura. Dokter akan membuat tiga
sayatan dan menggunakan sebuah kamera kecil yang disebut
thoracoscope dalam proses ini.
c) Dekortikasi terbuka. Prosedur operasi ini dilakukan dengan cara
mengangkat lapisan berserat (jaringan fibrosa) yang menutupi paru-
paru dan ruang pleura. Tindakan ini dilakukan untuk mengembalikan
fungsi paru-paru agar bisa mengembang dan mengempis kembali
secara normal. (Ahmed,2016)
G. KOMPLIKASI
Meskipun sangat jarang, empiema kompleks dapat memicu komplikasi yang
semakin berbahaya. Di antaranya adalah:
1. Sepsis. Kondisi ini terjadi akibat sistem kekebalan tubuh bekerja secara
terus-menerus melawan infeksi. Selama proses ini, sejumlah besar bahan
kimia dilepaskan ke dalam darah sehingga memicu peradangan yang
semakin luas dan dapat menyebabkan kerusakan organ. Gejala-gejala
sepsis meliputi, demam tinggi, menggigil, napas cepat, detak jantung
cepat, dan tekanan darah rendah.
2. Paru-paru kolaps (pneumothoraks). Paru-paru kolaps dapat menyebabkan
sakit di bagian dada secara tiba-tiba dan napas pendek. Kondisi ini akan
semakin memburuk ketika batuk atau bernapas. Jika tidak segera
mendapatkan perawatan, akibatnya akan sangat fatal.

II. ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian 6 B
1. B 1 : Breathing (Pernafasan/Respirasi) :
a. Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.
b. Bunyi napas: Bunyi napas normal; Vesikuler, broncho vesikuler.
c. Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan adanya
atelektasis, pnemotorak atau fibrosis pada pleura.
d. Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema)
merupakan bunyi yang dihasilkan oleh aliran udara yang melalui
sekresi di dalam trakeobronkial dan alveoli.
e. Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan diameter saluran napas dan
peningkatan usaha napas)
f. Bentuk dada : Perubahan diameter anterior – posterior (AP)
menunjukan adanya COPD
g. Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan kesimetrisannya.
Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi
pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemotoraks,
atau penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang
tepat.
Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : Retraksi dari otot-
otot interkostal, substrernal, pernapasan abdomen, dan respirasi
paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat
terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu menggerakan dinding
dada.
h. Sputum :Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan
konsistensinya. Mukoid sputum biasa terjadi pada bronkitis kronik
dan astma bronkiale; sputum yang purulen (kuning hijau) biasa
terjadi pada pnemonia, brokhiektasis, brokhitis akut; sputum yang
mengandung darah dapat menunjukan adanya edema paru, TBC,
dan kanker paru.

i. Selang oksigen : Endotrakeal tube, Nasopharingeal tube,


diperhatikan panjangnya tube yang berada di luar.
j. Parameter pada ventilator
- Volume Tidal :Normal : 10 – 15 cc/kg BB. Perubahan pada
uduma fidal menunjukan adanya perubahan status ventilasi
penurunan volume tidal secara mendadak menunjukan adanya
penurunan ventilasi alveolar, yang akan meningkat PCO2.
Sedangkan peningkatan volume tidal secara mendadak
menunjukan adanya peningkatan ventilasi alveolar yang akan
menurunkan PCO2.
- Kapasitas Vital : Normal 50 – 60 cc / kg BB
- Minute Ventilasi
- Forced expiratory volume
- Peak inspiratory pressure
2. B 2 : Bleeding (Kardiovaskuler / Sirkulasi)
a. Irama jantung : Frekuensi ..x/m, reguler atau irreguler
b. Distensi Vena Jugularis
c. Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat dari penggunaan
ventilator
d. Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
- S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi
akibat penutupan katup mitral dan trikuspid.
- S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat
penutupan katup pulmonal dan katup aorta.
- S3 : Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya
dilatasi ventrikel.
- Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulansi darah.
Biasanya terdengar pada pasien gangguan katup atau CHF.
- Pengisian kapiler : normal kurang dari 3 detik
- Nadi perifer : ada / tidak dan kualitasnya harus diperiksa.
Aritmia dapat terjadi akibat adanya hipoksia miokardial.
- PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada
interkostal ke lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran
lokasi menunjukan adanya pembesaran ventrikel pasien
hipoksemia kronis.
- Edema : Dikaji lokasi dan derajatnya.

3. B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
a. Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator
dapat terjadi akibat penurunan PCO2 yang menyebabkan
vasokontriksi cerebral. Akibatnya akan menurunkan sirkulasi
cerebral. Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu
skala pengkuran yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon
pasien terhadap lingkungan. Komponen yang dinilai adalah :
Respon terbaik buka mata, respon motorik, dan respon verbal.
Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-nilai dari ketiga
komponen tersebut.
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari
berbagai faktor, termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak
seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran
darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang
kepala. Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya
hemiparese serebral atau sistem aktivitas reticular mengalami
injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas
(kematian). Jadi sangat penting dalam mengukur status
neurologikal dan medis pasien. Tingkat kesadaran ini bisa
dijadikan salah satu bagian dari vital sign. GCS (Glasgow Coma
Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran
pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan
menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal
yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik. Hasil
pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang
angka 1 – 6 tergantung responnya.

4. B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria)


a. Kateter urin
- Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat
jenis urine.
- Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
- Distesi kandung kemih
5. B 5 : Bowel (Pencernaan – Eliminasi Alvi/Gastrointestinal)
a. Rongga mulut :Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada
mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya
dehidarsi.
b. Bising usus : Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus
dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus dapat
terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi
bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat
terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang
endotrakeal dan nasotrakeal.
c. Distensi abdomen : Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan.
Asites dapat diketahui dengan memeriksa adanya gelombang air
pada abdomen. Distensi abdomen dapat juga terjadi akibat
perdarahan yang disebabkan karena penggunaan IPPV. Penyebab
lain perdarahan saluran cerna pada pasien dengan respirator adalah
stres, hipersekresi gaster, penggunaan steroid yang berlebihan,
kurangnya terapi antasid, dan kurangnya pemasukan makanan.
d. Nyeri : Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal,
Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya, Mual dan muntah.

6. B 6 : Bone (Tulang – Otot – Integumen)


- Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan
menunjukan adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga,
hidung, bibir dan membran mukosa). Pucat pada wajah dan
membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar
haemoglobin atau shok. Pucat, sianosis pada pasien yang
menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia.
Jaundice (warna kuning) pada pasien yang menggunakan respirator
dapat terjadi akibatpenurunan aliran darah portal akibat dari
penggunaan FRC dalam jangka waktu lama.
Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut
tidak begitu jelas terlihat,. Warna kemerahan pada kulit dapat
menunjukan adanya demam, infeksi. Pada pasien yang
menggunkan ventilator, infeksi dapat terjadi akibat gangguan
pembersihan jalan napas dan suktion yang tidak steril.
- Integritas kulit : Perlu dikaji adanya lesi, dan dekubitus

2. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-
perfusi.
2. ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan
3. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan.
4. Intoleran aktivitas akibat keletihan, hipoksemia, dan pola pernapasan tidak
efektif
Post operasi
1. Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang
bullow drainage.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
terhadap trauma.
3. Intervensi
No Diagnosa Tujuan & KH Intervensi
1 Gangguan Setelah dilakukan asuhan NIC : Airway Management
pertukaran gas keperawatan selama ...x ..... 1. Awasi adanya dispne dan
jam, diharapkan pertukaran auskultrasi paru, perhatikan
gas klien menjadi adekuat adanya suara nafas abnormal
dengan kriteria hasil : (mengi,stridor,penuruna n bunyi
NOC : Respiratory Status : nafas).
Gas Exchange 2. Awasi frekuensi pernafasan,
1. tidak ada dispnea penggunaan otot bantu nafas dan
2. frekuensi respirasi 16- sianosis.
24x/menit, 3. Awasi adanya perubahaan
3. penggunaan otot bantu tidak perilaku/mental (agitas,gelisah).
ada Kolaborasi :
4. tidak sianosis, tidak ada 4. pemberian oksigen.
5. pemantauan oksimetri dan analisa
tanda gelisah dan agitasi
gas darah.
5. auskultasi paru vasikuler
6. kadar analisa gas darah
dalam keadaan normal.
2 Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan NIC Label : Airway management
bersihan jalan keperawatan selama 2x24 jam, 1. Observasi TTV klien, catat jika
nafas diharapkan jalan nafas klien ada perubahan.
paten dengan kriteria hasil: 2. Posisikan klien pada posisi yang
NOC Label : respiratory memaksimalkan potensi
status : ventilation pertukaran udara (posisi semi
1.Laju pernapasan klien dalam fowler)
3. Lakukan terapi fisik dada sesuai
rentang normal 16-
kebutuhan.
24x/menit
4. Bersihkan sekresi dengan
2.Irama pernapasan normal
3.Klien tidak menggunnakan dorongan batuk atau suctioning
5. Ajarkan klien bagaimana cara
otot bantu pernapasan
batuk efektif
NOC Label : respiratory
6. Monitor status respirasi dan
status : airway patency
oxigenasi klien
1. Klien mampu 7. Auskultasi suara napas, catat
mengeluarkan secret adanya suara tambahan
2. Klien mampu batuk efektif 8. Kolaborasi pemberian
bronkodilator
NIC Label : Airway suction
1. Pastikan kebutuhan oral/tracheal
suctioning
2. Auskultasi suara napas sebelum
dan sesudah suctioning
3. Informasikan pada klien dan
keluarga tentang suctioning
4. Anjurkan alat yang steril setiap
melakukan tindakan
5. Monitor status oksigen klien

3 ketidakefektifan Setelah diberikan asuhan NIC : Vital sign monitoring


pola nafas keperawatan selama ...X... Jam 1. monitor vital sign
diharapkan Pola nafas kembali 2. monitor aliran oksigen
stabil dengan criteria hasil : 3. posisikan klien untuk
NOC : memaksimalkan ventilasi
4. auskultasi suara nafas catata
Respiratory stastus
adanya suara tambahan
:ventilation
5. monitor frekuensi dan irama
Vital sign status
pernafasan
- vital sign dalam rentang 6. atur intake untuk cairan
normal mengoptimalkan keseimbangan
- menunjukkan jalan nafas 7. monitor respirasi dan status O2
yang paten: (tidak 8. monitor aliran oksigen
tetrcekik, irama nafas,
frekuensi nafas dalam
rentang nirmal, tidak ada
suara nafas abnormal)
4 Intoleransi Setelah diberikan asuhan NIC : activity therapy
aktivitas keperawatan selama ...X... Jam 1. Kaji faktor yang menimbulkan
diharapkan klien dapat keletihan
meeningkatan aktivitas yang 2. Tingkatkan kemandirian dalam
dapat ditoleransi. aktifitas perawatan diri yang dapat
NOC : ditoleransi, bantu jika keletihan
Energy conversvation terjadi
Activity tolerance 3. Anjurkan aktifitas alternatif
Self care : ADL sambil istirahat
4. Anjurkan untuk beristirahat
- Mampu melakukan
setelah dialysis
aktivitas yang dapat
5. Beri semangat untuk mencapai
ditoleransi
kemajuan aktivitas bertahap yang
- Vital sign dalam rentang
dapat ditoleransi
normal 6. Kaji respon pasien untuk
peningkatan aktivitas

5 Nyeri akut Setelah diberikan asuhan Pain management


keperawatan selama …X… 1. Jelaskan dan bantu klien dengan
jam Nyeri klien tindakan pereda nyeri
berkurang/hilang dengan nonfarmakologi dan non invasif.
kriteria hasil : 2. Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik
NOC : untuk menurunkan ketegangan
Pain level otot rangka, yang dapat
Paun control menurunkan intensitas nyeri dan
comfort level juga tingkatkan relaksasi masase.
 Nyeri berkurang/ dapat 3. Ajarkan metode distraksi selama
diadaptasi skala nyeri 0-3 nyeri akut.
 Dapat mengindentifikasi 4. Berikan kesempatan waktu
aktivitas yang istirahat bila terasa nyeri dan
meningkatkan/menurunkan berikan posisi yang nyaman;
nyeri misal waktu tidur, belakangnya
 Pasien tidak gelisah. dipasang bantal kecil.
5. Tingkatkan pengetahuan tentang:
sebab-sebab nyeri, dan
menghubungkan berapa lama
nyeri akan berlangsung.
6. Kolaborasi dengan dokter,
pemberian analgetik.
7. Observasi tingkat nyeri, dan
respon motorik klien, 30 menit
setelah pemberian obat analgetik
untuk mengkaji efektivitasnya.
Serta setiap 1 - 2 jam setelah
tindakan perawatan selama 1 - 2
hari.

6 Kerusakan Setelah diberikan asuhan NIC : Pressure management


integritas kulit keperawatan selama ...X... Jam 1. Kaji kulit dari kemerahan,
diharapkan integritas kulit kerusakan, memar, turgor dan
utuh, turgor kulit baik, dengan suhu
kriteria hasil : 2. Jaga kulit tetap kering dan bersih
NOC : 3. Beri perawatan kulit dengan lotion
Tissue integrity : skin and untuk menghindari
mocus kekeringanBantu pasien untuk
Membrans mengubah posisi tiap 2 jam jika
Hemodyalis akses pasien tirah baring
- integritas kulit yang baik 4. Beri pelindung pada tumit dan
bisa dipertahankan (sensasi siku
, elastisitas , temperature , 5. Tangani area edema dengan hati-
hidrasi, pigmentasi) hati
mampu melindungi kulit 6. Pertahankan linen bebas dari
dan mempertahankan kulit lipatan
dan perawatan alami.

7 Resiko infeksi Setelah diberikan asuhan NIC : Infection Control


keperawatan selama ...X... Jam 1. Pantau dan laporkan tanda-tanda
diharapkan klien terbebas dari infeksi seperti
infeksi dengan kriteria hasil : demam,leukositosis, urin keruh,
NOC : kemerahan, bengkak
Knoowledge : infection 2. Pantau TTV
control 3. Gunakan tehnik cuci tangan yang
Risk control baik dan ajarkanpada pasien
4. Pertahankan integritas kulit dan
- Klien bebas dari tanda
mukosa dengan memberiakan
gejala infeksi
perawatan kulit yang baik dan
- Menunjukkan kemmpuan
hgiene oral
untuk mencegah
5. Jangan anjurkan kontak dengan
timbulnya infeksi
orang yang terinfeksi
6. Pertahankan nutrisi yang adekuat

4. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi keperawatan

5. Evaluasi
a. Pertukaran gas pasien menjadi adekuat
b. Jalan nafas pasien paten
c. Pola nafas stabil
d. Klien dapat meeningkatan aktivitas yang dapat ditoleransi.
e. Nyeri klien berkurang/hilang
f. Integritas kulit utuh, turgor kulit baik
g. Klien terbebas dari infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, AEH, Tariq, EY. Empyema Thoracis. Clinical Medicine Insights:


Circulatory, Respiratory and Pulmonary Medicine 2010:4
Brims, FJH, et al. Empyema Thoracis : new insights into an old disease.
European Respiratory Review 2010;19;117;220-228

Sahn, SA. Diagnosis and Management of Parapneumonic Effusions and


Empyema. Chicago Journal : Clinical Infectious Disease 2008:45

Anonim.emfisema paru .Availableat: https://www.alodokter.com/empiema


Diakses tanggal 3 Januari 2018.

Nanda.2015. Panduan Diagnose Keperawatan. Jakarta: Prima Medika.

Trauma dada,TB
Paru,Emfisema,Kanker
Paru
Pathway

Efusi
parapneumoni
a

Anda mungkin juga menyukai