B. ETIOLOGI
Secara normal, ruang pleura terisi oleh cairan, namun tidak banyak. Bila
terjadi infeksi, produksi cairan di ruang pleura ini akan lebih banyak, sehingga
penyerapan cairan yang dilakukan oleh tubuh tidak dapat mengimbanginya.
Cairan pleura yang terinfeksi semakin mengental, membentuk nanah, dan dapat
menyebabkan lapisan paru-paru dengan rongga dada menempel serta
membentuk kantung-kantung. Kantung nanah inilah yang disebut empiema.
Empiema dapat muncul akibat komplikasi dari kondisi-kondisi berikut ini:
Pneumonia, merupakan penyebab paling umum dari empiema.
Bronkiektasis.
Abses paru.
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
Cedera serius di bagian dada.
Infeksi di bagian tubuh lain dan menyebar ke rongga dada melalui
aliran darah.
Menjalani operasi di bagian dada.
Selain itu, memiliki kondisi-kondisi berikut ini berisiko meningkatkan
kemungkinan terbentuknya empiema:
Rheumatoid arthritis.
Diabetes.
Sistem imun yang lemah.
Kecanduan alkohol.
C. PATOFISIOLOGI
Rongga pleura normalnya diisi dengan 5 – 10 ml cairan serous, dimana
terutama disekresi dari pleura parietal dengan rata-rata 0.01 mL/KgBB/jam dan
diabsorpsi melalui limfatik pleura parietal. Pada kondisi klinis tertentu,
keseimbangan antara sekresi dan absorpsi dapat terganggu dan cairan mulai
terakumulasi di rongga pleura. Efusi pleura secara klasik dibagi menjadi transudat
dan eksudat berdasarkan kriteria Light (tabel 1). Pada transudat, akumulasi cairan
di rongga pleura akibat peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan tekanan
onkotik melalui kapiler membran pleura. Sedangkan pada eksudat, kapiler itu
sendiri merupakan penyakit dan meningkatkan permeabilitas yang menyebabkan
cairan masuk ke rongga pleura.
Akibat invasi basil piogeneik ke pleura, maka akan timbulah peradangan
akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat serous. Dengan sel
polimorphonucleus (PMN) baik yang hidup maupun yang mati dan meningkatnya
kadar protein, maka cairan menjadi keruh dan kental. Adanya endapan – endapan
fibrin akan membentuk kantung – kantung yang melokalisasi nanah tersebut.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologi
Foto thoraks PA dan lateral didapatkan gambaran opacity yang
menunjukan adanya cairan dengan atau tanpa kelaina paru. Bila terjadi
fibrothoraks , trakhea di mediastinum tertarik ke sisi yang sakit dan juga
tampak adanya penebalan. Cairan pleura bebas dapat terlihat sebagai
gambaran tumpul di sudut kostofrenikus pada posisi posteroanterior atau
lateral. Dijumpai gambaran yang homogen pada daerah posterolateral
dengan gambaran opak yang konveks pada bagian anterior yang disebut
dengan D-shaped shadow yang mungkin disebabkan oleh obliterasi sudut
kostofrenikus ipsilateral pada gambaran posteroanterior.
Organ-organ mediastinum terlihat terdorong ke sisi yang berlawanan
dengan efusi. Air-fluid level dapat dijumpai jika disertai dengan
pneumotoraks, fistula bronkopleural.
2. Pemeriksaan pus
Aspirasi pleura akan menunjukan adanya pus di dalam rongga
dada(pleura). Pus dipakai sebagai bahan pemeriksaan sitologi ,
bakteriologi, jamur dan amoeba. Untuk selanjutnya, dilakukan jkultur
(pembiakan) terhadap kepekaan antobiotik.
3. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) :
Pemeriksaan dapat menunjukkan adanya septa atau sekat pada suatu
empiema yang terlokalisir.Pemeriksaan ini juga dapat membantu untuk
menentukan letak empiema yang perlu dilakukan aspirasi atau
pemasangan pipa drain.
4. Pemeriksaan CT scan :
Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan adanya suatu penebalan dari
pleura. Kadang dijumpai limfadenopati inflamatori intratoraks pada CT
scan
5. Sinar x
6. Mengidentifikasi distribusi stuktural, menyatakan abses luas /infiltrate
,empiema (strafilokokus). infiltrat menyebar atau terlokalisasi(bacterial).
7. GDA /nadi oksimetri.
Tidak normal mungkin terjadi,tergantung pada luas paru yang terlibat dan
penyakit paru yang ada.
8. Tes fungsi paru.
9. Dilakukan untuk menentukan penyebab dipsnea, untuk menentukan
apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi,untuk
memperkirakan derajat disfungsi.
10. Pemeriksaan Gram/kultur sputum dan darah
Dapat diambil dengan biopsy jarum,aspirasi transtrakeal,bronkoskopi
fiberoptik atau biopsy pembukaan paru untuk mengatasi organisme
penyebab.Lebih dari satu tipe organisme ada: bakteri yang umum meliputi
diplokokus pneumonia ,strafilokokus aureus ,A-hemolitik streptokokus,
haemophilus influenza :CMV .Catatan: kultur sputum dapat tak
mengidentifikasi semua organisme yang ada,kultur darah dapat
menunjukkan bakterimia sementara.
11. EKG latihan,tes stress
Membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru perencanaan/evaluasi
program latihan.
F. PENATALAKSANAAN
Meskipun sangat jarang, empiema kompleks dapat memicu komplikasi yang
semakin Pengobatan empiema bertujuan untuk mengobati infeksi dan
menghilangkan nanah dari ruang pleura. Beberapa jenis pengobatan yang dapat
dilakukan, antara lain adalah:
1. Antibiotik. Pengobatan infeksi dilakukan dengan menggunakan antibiotik
yang disesuaikan dengan jenis bakteri penyebab infeksi.
2. Percutaneous thoracocentesis. Selain untuk diagnosis, thoracocentesis atau
punksi pleura ini dapat bertujuan untuk mengeluarkan cairan di ruang
pleura. Prosedur ini biasanya dilakukan dalam kasus empiema sederhana.
3. Operasi. Dalam kasus empiema kompleks, sebuah pipa karet akan
dimasukkan untuk mengeluarkan nanah. Prosedur ini biasanya dilakukan
melalui operasi. Ada beberapa jenis operasi, yaitu:
a) Thoracostomy. Dalam prosedur operasi ini, dokter akan memasukkan
pipa plastik ke dalam dada melalui lubang yang dibuat di antara dua
rusuk. Kemudian, dokter akan menghubungkan pipa plastik tersebut ke
alat penyedot untuk mengeluarkan cairan. Dokter juga akan
menyuntikkan obat-obatan untuk membantu mengeluarkan cairan.
b) Video-assisted thoracic surgery (VATS). Dokter bedah akan
mengangkat jaringan yang telah terinfeksi di sekitar paru-paru,
kemudian memasukkan selang dan menggunakan obat-obatan untuk
mengalirkan cairan dari ruang pleura. Dokter akan membuat tiga
sayatan dan menggunakan sebuah kamera kecil yang disebut
thoracoscope dalam proses ini.
c) Dekortikasi terbuka. Prosedur operasi ini dilakukan dengan cara
mengangkat lapisan berserat (jaringan fibrosa) yang menutupi paru-
paru dan ruang pleura. Tindakan ini dilakukan untuk mengembalikan
fungsi paru-paru agar bisa mengembang dan mengempis kembali
secara normal. (Ahmed,2016)
G. KOMPLIKASI
Meskipun sangat jarang, empiema kompleks dapat memicu komplikasi yang
semakin berbahaya. Di antaranya adalah:
1. Sepsis. Kondisi ini terjadi akibat sistem kekebalan tubuh bekerja secara
terus-menerus melawan infeksi. Selama proses ini, sejumlah besar bahan
kimia dilepaskan ke dalam darah sehingga memicu peradangan yang
semakin luas dan dapat menyebabkan kerusakan organ. Gejala-gejala
sepsis meliputi, demam tinggi, menggigil, napas cepat, detak jantung
cepat, dan tekanan darah rendah.
2. Paru-paru kolaps (pneumothoraks). Paru-paru kolaps dapat menyebabkan
sakit di bagian dada secara tiba-tiba dan napas pendek. Kondisi ini akan
semakin memburuk ketika batuk atau bernapas. Jika tidak segera
mendapatkan perawatan, akibatnya akan sangat fatal.
3. B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
a. Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator
dapat terjadi akibat penurunan PCO2 yang menyebabkan
vasokontriksi cerebral. Akibatnya akan menurunkan sirkulasi
cerebral. Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu
skala pengkuran yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon
pasien terhadap lingkungan. Komponen yang dinilai adalah :
Respon terbaik buka mata, respon motorik, dan respon verbal.
Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-nilai dari ketiga
komponen tersebut.
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari
berbagai faktor, termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak
seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran
darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang
kepala. Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya
hemiparese serebral atau sistem aktivitas reticular mengalami
injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas
(kematian). Jadi sangat penting dalam mengukur status
neurologikal dan medis pasien. Tingkat kesadaran ini bisa
dijadikan salah satu bagian dari vital sign. GCS (Glasgow Coma
Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran
pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan
menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal
yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik. Hasil
pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang
angka 1 – 6 tergantung responnya.
2. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-
perfusi.
2. ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan
3. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan.
4. Intoleran aktivitas akibat keletihan, hipoksemia, dan pola pernapasan tidak
efektif
Post operasi
1. Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang
bullow drainage.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
terhadap trauma.
3. Intervensi
No Diagnosa Tujuan & KH Intervensi
1 Gangguan Setelah dilakukan asuhan NIC : Airway Management
pertukaran gas keperawatan selama ...x ..... 1. Awasi adanya dispne dan
jam, diharapkan pertukaran auskultrasi paru, perhatikan
gas klien menjadi adekuat adanya suara nafas abnormal
dengan kriteria hasil : (mengi,stridor,penuruna n bunyi
NOC : Respiratory Status : nafas).
Gas Exchange 2. Awasi frekuensi pernafasan,
1. tidak ada dispnea penggunaan otot bantu nafas dan
2. frekuensi respirasi 16- sianosis.
24x/menit, 3. Awasi adanya perubahaan
3. penggunaan otot bantu tidak perilaku/mental (agitas,gelisah).
ada Kolaborasi :
4. tidak sianosis, tidak ada 4. pemberian oksigen.
5. pemantauan oksimetri dan analisa
tanda gelisah dan agitasi
gas darah.
5. auskultasi paru vasikuler
6. kadar analisa gas darah
dalam keadaan normal.
2 Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan NIC Label : Airway management
bersihan jalan keperawatan selama 2x24 jam, 1. Observasi TTV klien, catat jika
nafas diharapkan jalan nafas klien ada perubahan.
paten dengan kriteria hasil: 2. Posisikan klien pada posisi yang
NOC Label : respiratory memaksimalkan potensi
status : ventilation pertukaran udara (posisi semi
1.Laju pernapasan klien dalam fowler)
3. Lakukan terapi fisik dada sesuai
rentang normal 16-
kebutuhan.
24x/menit
4. Bersihkan sekresi dengan
2.Irama pernapasan normal
3.Klien tidak menggunnakan dorongan batuk atau suctioning
5. Ajarkan klien bagaimana cara
otot bantu pernapasan
batuk efektif
NOC Label : respiratory
6. Monitor status respirasi dan
status : airway patency
oxigenasi klien
1. Klien mampu 7. Auskultasi suara napas, catat
mengeluarkan secret adanya suara tambahan
2. Klien mampu batuk efektif 8. Kolaborasi pemberian
bronkodilator
NIC Label : Airway suction
1. Pastikan kebutuhan oral/tracheal
suctioning
2. Auskultasi suara napas sebelum
dan sesudah suctioning
3. Informasikan pada klien dan
keluarga tentang suctioning
4. Anjurkan alat yang steril setiap
melakukan tindakan
5. Monitor status oksigen klien
4. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi keperawatan
5. Evaluasi
a. Pertukaran gas pasien menjadi adekuat
b. Jalan nafas pasien paten
c. Pola nafas stabil
d. Klien dapat meeningkatan aktivitas yang dapat ditoleransi.
e. Nyeri klien berkurang/hilang
f. Integritas kulit utuh, turgor kulit baik
g. Klien terbebas dari infeksi
DAFTAR PUSTAKA
Trauma dada,TB
Paru,Emfisema,Kanker
Paru
Pathway
Efusi
parapneumoni
a