Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

TUMOR KELENJAR GETAH BENING

Oleh :
Imam Kurniawan
030.11.139

Pembimbing :
dr. Harinto, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE 15 JULI – 20 SEPTEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Imam Kurniawan


NIM : 030.11.139
Fakultas : Kedokteran umum
Universitas : Universitar Trisakti
Tingkat : Studi profesi dokter
Bidang pendidikan : Program pendidikan profesi dokter
Periode kepanitaraan klinik : 15 Juli – 20 September 2019
Judul referat : Tumor kelenjar getah bening
Diajukan : Agustus 2019
Pembimbing : dr. Harinto, Sp.B

Jakarta, Agustus 2019

dr. Harinto, Sp.B


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Tumor Kelenjar Getah
Bening” dengan tepat waktu
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepanitraan Klinik Ilmu Bedah Rumah
Sakit Umum Daerah Budhi Asih periode 15 juli – 20 September 2019.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Harinto, Sp.B, selaku
pembimbing, seluruh dokter dan staff bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Budhi
Asih, serta rekan rekan anggota kepanitraan klinik yang telah memberi dukungan kepada
penulis.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan, kritik, maupun saran yang
bersifat membangun. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi profesi, pedidikan, dan
masyarakat. Akhir kata penulis mohon maaf atas segala kekurangan yang ada.

Jakarta, Agustus 2019

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................2
2.1 Definisi.............................................................................................................................2
2.2 Klasifikasi........................................................................................................................2
2.3 Bentuk Khusus Limfoma Maligna...................................................................................5
2.4 Epidemiologi....................................................................................................................6
2.5 Etiologi.............................................................................................................................7
2.6 Anatomi............................................................................................................................9
2.7 Patofisiologi.....................................................................................................................10
2.8 Gejala Klinis....................................................................................................................12
2.9 Staging.............................................................................................................................13
2.10 Diagnosis........................................................................................................................14
2.11 Diagnosis Banding.........................................................................................................16
2.12 Tatalaksana.....................................................................................................................17
2.13 Komplikasi.....................................................................................................................21
2.14 Prognosis........................................................................................................................22
BAB III KESIMPULAN........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN

Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup


sistem limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan
kelainan umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali,
hepatomegali dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra
nodul yaitu diluar sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus,
paru, kulit dan organ lain.
Di Indonesia sendiri, LNH bersama-sama dengan LH dan leukemia
menduduki urutan keenam tersering. Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya
mengapa angka kejadian penyakit ini terus meningkat. Adanya hubungan yang
erat antara penyakit AIDS dan penyakit ini memperkuat dugaan adanya hubungan
antara kejadian limfoma dengan kejadian infeksi sebelumnya.1 Secara umum,
limfoma diklasifikasikan menjadi dua, yaitu limfoma hodgkin dan limfoma non-
hodgkin. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan perbedaan histopatologis dari kedua
penyakit di atas, di mana pada limfoma hodgkin terdapat suatu gambaran yang
khas yaitu adanya sel Reed-Sternberg.2
Sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan
penyulit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih
merupakan faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis
kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir ini, angka harapan hidup 5 tahun
meningkat dan bahkan sembuh berkat manajemen tumor yang tepat dan
tersedianya kemoterapi dan radioterapi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tumor kelenjar getah bening atau limfoma adalah sekelompok kanker di
mana sel-sel kelenjar getah bening atau limfatik menjadi abnormal dan mulai
tumbuh secara tidak terkontrol. Karena jaringan limfe terdapat di sebagian besar
tubuh manusia, maka pertumbuhan limfoma dapat dimulai dari organ apapun.3

2.2 Klasifikasi
Berdasarkan gambaran histopatologisnya, limfoma dibedakan menjadi dua
jenis2, yaitu:
a. Limfoma Hodgkin (LH)
Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang
dalam hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian
mononuklear) dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang
menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang
lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai
dasar pembagian penyakit Hodgkin.4
Limfoma jenis ini memiliki dua tipe. yaitu tipe klasik dan tipe nodular
predominan limfosit, di mana limfoma hodgkin tipe klasik memiliki empat
subtipe menurut Rye, antara lain:

1
b. Limfoma Non-Hodgkin (LNH)
Limfoma non-Hodgkin merupakan satu golongan penyakit yang heterogen
dengan spectrum yang bervariasi dari tumor yang sangat agresif sampai
kelainan indolen dengan perjalanan lama dan tidak aktif. Dalam perjalanan
waktu dikembangkan berbagai usaha untuk mendapatkan klasifikasi NHL yang
dapat diyakini dan dapat direproduksi. Semula klasifikasi ini didasarkan atas
sifat-sifat morfologik dan sitokimiawi. Kemudian bertambah dengan kriteria
imunologik dan biologi molekuler, yang dapat memberi gambaran yang lebih
tepat mengenai tipe sel dan stadium pertumbuhannya. Di Eropa pada umumnya
digunakan klasifikasi Kiel, di Amerika Serikat kebanyakan klasifikasi menurut
Lukes dan Collins dan kadang-kadang juga menurut Rappaport. Karena dengan
ini perbandingan hasil terapi dan prognosis mendapat banyak kesukaran, pada
tahun 1982 dikembangkan Working Formulation (WF). Ini bukanlah suatu
sistem klasifikasi baru melainkan suatu kompromi berdasarkan empiri klinik
yang dapat membedakan entities dengan implikasi prognostik.3,4
Limfoma non-Hodgkin berdasarkan atas asal limfositnya dibagi
menjadi 2, yaitu NHL limfosit B yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi
sel plasma yang membentuk antibodi (prevalensinya 70%) dan NHL limfosit T
yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi bentuk aktif.
Dibedakan 3 derajat malignitas klinis: rendah (30%), intermedier (40%)
dan tinggi (20%), dan dalam kategori ini digunakan pengertian dari klasifikasi
Dorfman, Lukes, dan Collins. Dua sistem klasifikasi morfologik yang umum
dipakai di Amerika Serikat ini didasarkan atas pola pertumbuhan dan tipe sel.
Kriteria imunologik, yang antara lain membedakan antara tipe sel-B dan sel-T,
belum dimasukkan disini. Tetapi, kepentingan besar WF adalah dalam
kenyataan bahwa WF ini mempunyai nilai prediktif yang baik untuk perilaku
klinis malignitas ini. Karena itu, sistem ini merupakan dasar untuk tindakan
terapeutik.4
Konsep klasifikasi Kiel berdasar atas perbandingan dengan
pertumbuhan sel-B dan sel-T normal. Limfoma non-Hodgkin dianggap sebagai
lawan maligna stadium spesifik dalam pertumbuhan ini dan dengan itu

2
mempunyai fenotipe yang cocok (morfologi dan pola penanda). Terutama
dalam hal NHL sel-B ini menyebabkan pengenalan entities biologic yang
disebut penyakit limfoma. Kepentingannya adalah pertama bahwa dalam
golongan NHL dengan derajat malignitas yang sama dapat dibuat prediksi
mengenai kelakuan tumornya dalam arti lokalisasi tumor yang diharapkan
(lien, sumsum tulang, ekstranodal, susunan saraf sentral) dan kemungkinan
terhadap relaps. Kedua, cara klasifikasi demikian merupakan dasar yang baik
untuk penelitian medik biologik dalam lapangan non-Hodgkin. Karena itu, di
Amerika Serikat makin besar antusiasme untuk penanganan demikian. Hal ini
belakangan ini menyebabkan usul bersama hematopatolog Eropa dan Amerika
untuk memodernisasi klasifikasi Kiel, berdasar atas kesatuan biologik yang
didefinisikan dengan menggunakan morfologi, imunohistologi, sitogenetika,
dan biologi molekuler. Klasifikasi baru ini berbeda dengan klasifikasi Kiel
sedemikian rupa, bahwa tekhnik pemeriksaan modern diimplementasikan
dalam diagnostik NHL dan bahwa juga NHL ekstranodal, yang dalam
klasifikasi Kiel tidak dapat dimasukkan dengan baik padahal kira-kira
merupakan 40% semua NHL, secara eksplisit diikutsertakan.4

Formulasi Kerja (Working Formulation) membagi limfoma non-hodgkin


menjadi tiga kelompok utama, antara lain:
 Limfoma Derajat Rendah
Kelompok ini meliputi tiga tumor, yaitu limfoma limfositik kecil,
limfoma folikuler dengan sel belah kecil, dan limfoma folikuler
campuran sel belah besar dan kecil.
 Limfoma Derajat Menengah
Ada empat tumor dalam kategori ini, yaitu limfoma folikuler sel
besar, limfoma difus sel belah kecil, limfoma difus campuran sel
besar dan kecil, dan limfoma difus sel besar.
 Limfoma Derajat Tinggi
Terdapat tiga tumor dalam kelompok ini, yaitu limfoma
imunoblastik sel besar, limfoma limfoblastik, dan limfoma sel tidak
belah kecil.

3
Perbedaan antara LH dengan LNH ditandai dengan adanya sel Reed-
Sternberg yang bercampur dengan infiltrat sel radang yang bervariasi. Sel Reed-
Sternberg adalah suatu sel besar berdiameter 15-45 mm, sering berinti ganda
(binucleated), berlobus dua (bilobed), atau berinti banyak (multinucleated) dengan
sitoplasma amfofilik yang sangat banyak. Tampak jelas di dalam inti sel adanya
anak inti yang besar seperti inklusi dan seperti “mata burung hantu” (owl-eyes),
yang biasanya dikelilingi suatu halo yang bening.2

(a) (b)
Gambar 1. Gambaran histopatologis (a) Limfoma Hodgkin dengan Sel Reed Sternberg
dan (b) Limfoma Non Hodgkin

2.3 Bentuk Khusus Limfoma Maligna


Jarang pada dewasa, tetapi lebih frekuen pda anak adalah NHL
limfoblastik dan limfoma burkitt. Limfoma limfoblastik pada usia dewasa
biasanya diterapi sebagai leukemia limfatik akut, termasuk profilaksis meningeal.
Limfoma burkitt disamping ciri-ciri morfologik dan kromosomal juga mempunyai
sifat-sifat klinis spesifik: limfoma ini sering menunjukkan pertumbuhan cepat,
lokalisasinya ekstranodal. Tempat preferensi adalah abdomen yaitu sudut
ileosekal. Kadang-kadang menampakkan diri sebagai perut akut sebagai akibat
invaginasi. Untuk tipe limfoma ini sering digunakan pembaian stadium lain
daripada klasifikasi Ann Arbor.4,5

4
Limoma burkitt terbagi 2, yaitu limfoma burkitt endemic dan sporadic.
Tipe endemic ini terjadi di Afrika. Berhubungan erat dengan virus Epstein Barr
(EBV). Umumnya melibatkan ulang rahang, yang sangat jarang terjadi ada tipe
sporadic. Tipe ini juga umumnya melibatka abdomen. Sedangkan tipe sporadic
terjadi di bagian dunia lain di luar Afrika. Pengruh EBV tidaklah sekuat jenis
endemic meskipun bukti infeksi EBV didapatkan pada satu dari lima pasien. 90%
kasus melibatkan abdomen.5

2.4 Epidemiologi
Pada tahun 2002, tercatat 62.000 kasus LH di seluruh dunia. Di negara-
negara berkembang ada dua tipe limfoma hodgkin yang paling sering terjadi, yaitu
mixed cellularity dan limphocyte depletion, sedangkan di negara-negara yang
sudah maju lebih banyak limfoma hodgkin tipe nodular sclerosis. Limfoma
hodgkin lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, dengan distribusi usia
antara 15-34 tahun dan di atas 55 tahun.6
Berbeda dengan LH, LNH lima kali lipat lebih sering terjadi dan
menempati urutan ke-7 dari seluruh kasus penyakit kanker di seluruh dunia.
Secara keseluruhan, LNH sedikit lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita.
Rata-rata untuk semua tipe LNH terjadi pada usia di atas 50 tahun.7
Di Indonesia sendiri, LNH bersama-sama dengan LH dan leukemia
menduduki urutan keenam tersering. Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya
mengapa angka kejadian penyakit ini terus meningkat. Adanya hubungan yang
erat antara penyakit AIDS dan penyakit ini memperkuat dugaan adanya hubungan
antara kejadian limfoma dengan kejadian infeksi sebelumnya.1

2.5 Etiologi
Penyebab limfoma hodgkin dan non-hodgkin sampai saat ini belum
diketahui secara pasti3,6,7. Beberapa hal yang diduga berperan sebagai penyebab
penyakit ini antara lain:
a. Infeksi (EBV, HTLV-1, HCV, KSHV, dan Helicobacter pylori)

5
b. Faktor lingkungan seperti pajanan bahan kimia (pestisida, herbisida,
bahan kimia organik, dan lain-lain), kemoterapi, dan radiasi.
c. Inflamasi kronis karena penyakit autoimun
d. Faktor genetik
Epidemiologi morbus Hodgkin menunjukkan kemungkinan adanya peran
infeksi virus yang berlangsung (abnormal) pada umur anak. Misalnya, negara non
industri, dimana terjadi pemaparan terhadap virus yang umum terdapat pada umur
lebih muda, puncak insidensi pertama morbus Hodgkin juga terjadi jauh lebih dini
(antara 5 dan 15 tahun) daripada di negara-negara Barat. Dalam hal pemaparan
terhadap virus umum terjadi belakangan, (misalnya pada keluarga kecil, status
ekonomi social yang lebih tinggi) insidensi morbus Hodgkin relatif lebih tinggi.
Ini dapat menunjukkan bahwa mengalami infeksi virus tertentu mempunyai efek
predisposisi, yang terutama berlaku kalau infeksinya timbul pada usia lebih
belakangan. Ada petunjuk bahwa virus Epstein-Barr (EBV) mungkin memegang
peran pada patogenesis morbus Hodgkin. Dengan menggunakan teknik biologi
molecular pada persentase yang cukup tinggi kasus morbus Hodgkin (kecuali
bentuk kaya limfosit) dapat ditunjukkan adanya DNA EBV dalam sel Reed-
Sternberg. Juga dapat ditunjukkan produksi protein EBV tertentu. Tetapi, apakah
ada hubungan kausal langsung antara infeksi EBV dan terjadinya morbus
Hodgkin, ataukah ada kausa bersama untuk kedua fenomena tanpa hubungan
kausa langsung (misalnya imunodefisiensi relatif) masih belum jelas.1,3,4
Pada tipe NHL tertentu, infeksi virus tampaknya memegang peran. Yang
paling banyak diketahui adalah peran virus Epstein-Barr (EBV). Kaitan langsung
untuk terjadinya NHL terdapat pada limfoma Burkitt (tipe endemik) pada anak-
anak kecil di Afrika Tengah. Dalam hal ini terdapat kerjasama infeksi EBV,
infeksi malaria, dan deregulasi onkogen karena translokasi kromosomal t(8; 14),
yang menyebabkan berkembangnya limfoma Burkitt. Juga di dunia Barat, EBV
dapat ditunjukkan dalam berbagai tipe NHL (yaitu NHL sel-B besar dan NHL sel-
T). Tetapi, peran langsung EBV dalam genesis NHL ini jauh kurang jelas daripada
untuk limfoma Burkitt tipe endemik.1,4,8,9
HTLV-1 adalah virus yang ada hubungannya dengan HIV-I (AIDS). Ada
hubungan dengan terjadinya limfoma sel-T dan leukemia di Jepang dan daerah

6
Karibia. Di Eropa, virus ini tidak atau hampir sama sekali tidak terdapat. Di
samping infeksi virus imunosupresi yang lama merupakan faktor etiologi yang
lain. Ini dapat merupakan imunodefisiensi congenital, seperti misalnya pada
ataksia, teleangiektasia, atau kelainan akuisita, seperti pada AIDS atau pada terapi
imunosupresif pada penderita transplantasi. Pada umumnya penderita ini
mendapat limfoma sel-B derajat tinggi. Dibanding dengan tumor solid telah lebih
banyak diketahui mengenai peran onkogen dalam terjadinya NHL. Pada NHL
terdapat translokasi kromosom. Yang khas di sini adalah bahwa bagian kromosom
spesifik, yang di dalamnya terlokalisasi gen reseptor immunoglobulin atau sel T
terpindah ke kromosom lain, yaitu ke tempat suatu onkogen. Bahwa disini justru
terlibat gen reseptor immunoglobulin dan sel-T bukanlah suatu kebetulan. Dalam
perkembangan dini sel-B dan T gen-gen ini mengalami proses pengaturan kembali
pada niveau DNA, dengan penyusunan gen-gen fungsional dari berbagai
komponen gen pada kromosom. Pada proses ini terjadi sementara patah
kromosom. Alih-alih terjadi perbaikan patah dalam kromosom asli malahan dapat
juga terjadi penggabungan yang keliru ke kromosom lain. Hasilnya adalah suatu
translokasi. Onkogen yang bersangkutan karena itu dapat terderegulasi dan
teraktivasi. Sebagai prototype adalah translokasi t(8; 14) tersebut di atas, dimana
satu dari gen-gen rantai berat immunoglobulin kromosom 14 tergabung ke
onkogen c-myc pada kromosom 8. Aktivasi c-myc menyebabkan proliferasi hebat.
Translokasi t(8; 14) secara spesifik terdapat pada limfoma Burkitt (endemik dan
sporadik) tetapi juga pada lain-lain NHL sel-B derajat tinggi.3,4,9
Translokasi yang dapat disamakan adalah translokasi t(14; 18) yang
terdapat dalam kira-kira 85% NHL folikular sentroblastik/sentrositik (dan dalam
tipe yang berasal dari ini). Onkogen bcl-2 yang bersangkutan dengan ini
menyebabkan sentrosit dalam keadaan normal mempunyai jangka hidup sangat
terbatas, dapat hidup lebih lama karena blokade terhadap apa yang disebut
kematian sel terprogram (apoptosis). Efek ini memegang peran penting pada
terjadinya tipe NHL ini. Jadi perlu dipahami bahwa onkogen dapat menstimulasi
proliferasi maupun menghambat kematian sel. Kedua faktor itu dapat
menimbulkan replikasi sel neoplastik.4,7

7
2.6 Anatomi Sistem Limfatik
Sistem limfatik terdapat di seluruh bagian tubuh manusia, kecuali sistem
saraf pusat. Bagian terbesarnya terdapat di sumsum tulang, lien, kelenjar timus,
limfonodi dan tonsil. Organ-organ lain termasuk hepar, paru-paru, usus, jantung,
dan kulit juga mengandung jaringan limfatik.

Gambar 2. Anatomi Sistem Limfatik


Limfonodi berbentuk seperti ginjal atau bulat, dengan diameter sangat
kecil sampai dengan 1 inchi. Limfonodi biasanya membentuk suatu kumpulan
(yang terdiri dari beberapa kelenjar) di beberapa bagian tubuh yang berbeda
termasuk leher, axilla, thorax, abdomen, pelvis, dan inguinal. Kurang lebih dua
per tiga dari seluruh kelenjar limfe dan jaringan limfatik berada di sekitar dan di
dalam tractus gastrointestinal.

8
Pembuluh limfe besar adalah ductus thoracicus, yang berasal dari sekitar
bagian terendah vertebrae dan mengumpulkan cairan limfe dari extremitas
inferior, pelvis, abdomen, dan thorax bagian inferior. Pembuluh limfe ini berjalan
melewati thorax dan bersatu dengan vena besar di leher sebelah kiri. Ductus
limfatikus dextra mengumpulkan cairan limfe dari leher sebelah kanan, thorax,
dan extremitas bagian superior kemudian menyatu dengan vena besar pada leher
kanan.
Limpa berada di kuadran kiri atas abdomen. Tidak seperti jaringan limfoid
lainnya, darah juga mengalir melewati limpa. Hal ini dapat membantu untuk
mengontrol volume darah dan jumlah sel darah yang bersirkulasi dalam tubuh
serta dapat membantu menghancurkan sel darah yang telah rusak.3

2.7 Patofisiologi
Ada empat kelompok gen yang menjadi sasaran kerusakan genetik pada
sel-sel tubuh manusia, termasuk sel-sel limfoid, yang dapat menginduksi
terjadinya keganasan. Gen-gen tersebut adalah proto-onkogen, gen supresor
tumor, gen yang mengatur apoptosis, gen yang berperan dalam perbaikan DNA.
Proto-onkogen merupakan gen seluler normal yang mempengaruhi
pertumbuhan dan diferensiasi, gen ini dapat bermutai menjadi onkogen yang
produknya dapat menyebabkan transformasi neoplastik, sedangkan gen supresor
tumor adalah gen yang dapat menekan proliferasi sel (antionkogen). Normalnya,
kedua gen ini bekerja secara sinergis sehingga proses terjadinya keganasan dapat
dicegah. Namun, jika terjadi aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen serta terjadi
inaktivasi gen supresor tumor, maka suatu sel akan terus melakukan proliferasi
tanpa henti.
Gen lain yang berperan dalam terjadinya kanker yaitu gen yang mengatur
apoptosis dan gen yang mengatur perbaikan DNA jika terjadi kerusakan. Gen
yang mengatur apoptosis membuat suatu sel mengalami kematian yang
terprogram, sehingga sel tidak dapat melakukan fungsinya lagi termasuk fungsi
regenerasi. Jika gen ini mengalami inaktivasi, maka sel-sel yang sudah tua dan
seharusnya sudah mati menjadi tetap hidup dan tetap bisa melaksanakan fungsi

9
regenerasinya, sehingga proliferasi sel menjadi berlebihan. Selain itu, gagalnya
gen yang mengatur perbaikan DNA dalam memperbaiki kerusakan DNA akan
menginduksi terjadinya mutasi sel normal menjadi sel kanker.2
Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang
dalam hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian
mononuklear) dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang
menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang
lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai
dasar pembagian penyakit Hodgkin.4

Gambar 3. Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan


2.8 Gejala Klinis Umum
Baik tanda maupun gejala limfoma hodgkin dan limfoma non-hodgkin
dapat dilihat pada tabel berikut ini.6,8

Tabel 2. Manifestasi Klinis dari Limfoma


Limfoma Hodgkin Limfoma Non-Hodgkin
Anamnesis  Asimtomatik limfadenopati  Asimtomatik limfadenopati

10
 Gejala sistemik (demam  Gejala sistemik (demam
intermitten, keringat malam, intermitten, keringat malam,
BB turun) BB turun)
 Nyeri dada, batuk, napas  Mudah lelah
pendek  Gejala obstruksi GI tract dan
 Pruritus Urinary tract.
 Nyeri tulang atau nyeri
punggung
 Teraba pembesaran limonodi  Melibatkan banyak kelenjar
pada satu kelompok kelenjar perifer
(cervix, axilla, inguinal)  Cincin Waldeyer dan kelenjar
 Cincin Waldeyer & kelenjar mesenterik sering terkena
mesenterik jarang terkena  Hepatomegali &
Pemeriksaan Fisik  Hepatomegali & Splenomegali
Splenomegali  Massa di abdomen dan testis
 Sindrom Vena Cava Superior
 Gejala susunan saraf pusat
(degenerasi serebral dan
neuropati)

Selain tanda dan gejala di atas, stadium limfoma maligna secara klinis juga
dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi Ann Arbor yang telah dimodifikasi
Costwell.4,6,7

Manifestasi Klinis (Bidang THT-KL) :


Limfoma malignum pada tonsil, seperti limfoma malignum yang
menyerang kelenjar atau jaringan limfatik lainnya, ditemukan manifestasi klinis
secara umum, yaitu berat badan menurun, demam, lesu, keringat malam dan nyeri
pada tulang.
Manifestasi klinis yang berhubungan dengan limfoma malignum pada
tonsil bisa kesulitan dalam menelan, nyeri menelan dan merasa adanya massa di
tenggorok. Jika terjadi penyebaran lebih luas, penderita bisa mengalami nyeri dan

11
bengkak pada wajah, diplopia, bengkak pada mata, obstruksi hidung, gangguan
pendengaran, nyeri telinga, trismus, suara serak dan sesak nafas akibat obstruksi .

2.9 Staging

Tabel 3. Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh Costwell
Keterlibatan/Penampakan
Stadium
I Kanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ ekstralimfatik (IE)
II Kanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2 regio yang letaknya
berjauhan tapi masih dalam sisi diafragma yang sama (IIE)
III Kanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi diafragma ditambah
dengan organ ekstralimfatik (IIIE) atau limpa (IIIES)
IV Kanker bersifat difus dan telah mengenai 1 atau lebih organ ekstralimfatik
Suffix
A Tanpa gejala B
B Terdapat salah satu gejala di bawah ini:
 Penurunan BB lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan sebelum
diagnosis ditegakkan yang tidak diketahui penyebabnya
 Demam intermitten > 38° C
 Berkeringat di malam hari
X Bulky tumor yang merupakan massa tunggal dengan diameter > 10 cm, atau ,
massa mediastinum dengan ukuran > 1/3 dari diameter transthoracal maximum
pada foto polos dada PA

Gambar 4. Penentuan Stadium Limfoma berdasarkan Klasifikasi Ann Arbor

2.10 Diagnosis

12
Untuk mendiagnosis limfoma malignum perlu dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya. Untuk
anamnesis, bisa ditanyakan kepada pasien apakah mengalami keluhan-keluhan
yang telah disebutkan di bagian manifestasi klinis sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik dalam pemeriksaan palpasi bisa ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri di leher terutama
supraklavikuler, aksila dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar.
Perlu dilakukan pemeriksaan THT-KL secara menyeluruh untuk mencari
keterlibatan tonsil dalam penyakit limfoma malignum pada penderita limfoma
pada tonsil. Bisa ditemukan pembesaran tonsil unilateral atau bilateral, dan
ulserasi pada palatum, tonsil, nasofaring dan laring.
Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan
bagian penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan
tentang luas penyakit. atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien HL serta pada
penyakit neoplastik atau kronik lainnya mungkin ditemukan anemia normokromik
normositik derajat sedang yang berkaitan dengan penurunan kadar besi dan
kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal atau meningkat di
sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat, terutama
pada pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan.
Eosinofilia absolut perifer ringan tidak jarang ditemukan. Juga dijumpai
monositosis absolut limfositopenia absolut (<1000 sel per millimeter kubik)
biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit stadium lanjut. Telah dilakukan
evaluasi terhadap banyak pemeriksaan sebagai indikator keparahan penyakit.
Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau terbaik, tetapi
pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih
terdapat penyakit residual. Uji lain yang abnormal adalah peningkatan kadar
tembaga, kalsium, asam laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein C-
reaktif dan reaktan fase akut lain dalam serum.
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) sering dipergunakan pada diagnosis
pendahuluan limfadenopati jadi untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut
seperti reaksi hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma, dan
limfoma maligna. Ciri khas sitologi biopsi aspirasi limfoma Hodgkin yaitu

13
populasi limfosit yang banyak aspek serta pleomorfik dan adanya sel Reed-
Sternberg. Apabila sel Reed-Sternberg sulit ditemukan adanya sel Hodgkin berinti
satu atau dua yang berukuran besar dapat dipertimbangkan sebagai parameter
sitologi Limfoma Hodgkin. Penyulit diagnosis sitologi biopsi aspirasi pada
Limfoma non-Hodgkin adalah kurang sensitif dalam membedakan Limfoma non-
Hodgkin folikel dan difus. Pada Limfoma non-Hodgkin yang hanya mempunyai
subtipe difus, sitologi, biopsi aspirasi dapat dipergunakan sebagai diagnosis
definitif. Penyakit lain dalam diagnosis sitologi biopsi aspirasi Limfoma Hodgkin
ataupun Limfoma non-Hodgkin adalah adanya negatif palsu termasuk di
dalamnya inkonklusif. Untuk menekan jumlah negatif palsu dianjurkan
melakukan biopsi aspirasi multipel hole di beberapa tempat permukaan tumor.
Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis,
maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi
subtipe histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas LH ataupun LNH.
Biopsi dilakukan bukan sekedar mengambil jaringan, namun harus diperhatikan
apakah jaringan biopsi tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi
biasanya dipilih pada rantai KGB di leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher
bagian belakang dan submandibular tidak dipilih disebabkan proses radang,
dianjurkan agar biopsi dilakukan dibawah anestesi umum untuk mencegah
pengaruh cairan obat suntik local terhadap arsitektur jaringan yang dapat
mengacaukan pemeriksaan jaringan.

14
Gambar 7. Hasil Histopatologi Biopsi Tonsil Menunjukkan Infiltrasi Difus Dari Sel B Yang Malignan

Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan


radiologi dan termasuk di dalamnya adalah:
1. Foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal
2. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB didaerah iliaka dan pasca
aortal
3. USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan sekaligus
menuntun biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi.
4. CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH

2.11 Diagnosis Banding

 Infeksi (bakteri, jamur, parasit)


 Penyakit inflamasi (sarkoidosis, systemic lupus erythematosus, poliarteritis
nodusa)
 Proses neoplasma (karsinoma sel skuamosa atau sel basal, melanoma,
estesioneuroblastoma, karsinoma kistik adenoid, adenokarsinoma,
fibrosarkoma, mieloma sel plasma, limfoma sinonasal)
 Penggunaan kokain
 Trauma

2.12 Penatalaksanaan
Pilihan terapi pertama pada Limfoma Maligna adalah sebagai berikut:

15
Terapi pertama

Stadium I – II - Terapi standar: radiasi lapangan mantel dan


radiasi kelenjar paraaorta dan limpa; kadang-
kadang hanya lapangan mantel saja
- Jika ada faktor resiko, kemoterapi dilanjutkan
dengan radioterapi
- Dalam penelitian, kemoterapi terbatas dengan
“involved field radiation”

Stadium IIIA Kemoterapi ditambah dengan radioterapi

Stadium IIIB – IV Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi

Penatalaksanaan limfoma maligna dapat dilakukan melalui berbagai cara,


yaitu:

a. Pembedahan
Operasi pada penderita limfoma malignum pada tonsil tidak sering
dilakukan. Tapi biasanya dilakukan jika pengobatan dengan radioterapi
dan kemoterapi tidak berhasil, untuk dilakukan biopsi untuk pemeriksaan
histopatologi, dan untuk stabilisasi salur pernafasan.
Jika dalam pertimbangan untuk dilakukan operasi pada limfoma malignum
tonsil, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: apakah tumor
primer bisa direseksi (dioperasi/diangkat), apakah kelainan pada leher
tersebut bisa direseksi, apakah terdapat metastasis jauh di tempat lain,
apakah operasi tersebut akan memberikan kebaikan yang sangat signifikan
kepada penderita, apakah terdapat kelainan atau penyakit lain yang akan
mengganggu operasi dan hasil operasi tersebut atau akan membahayakan

16
penderita, dan apakah pasien benar-benar memilih untuk dilakukan
operasi.
Tumor pada tonsil dianggap tidak bisa direseksi jika sudah terjadi invasi
terhadap m.pterygoid lateral, dinding lateral nasofaring, basis kranium
atau tumor sudah mengelilingi dan melekat pada arteri karotis.
b. Radioterapi
Radioterapi memiliki peranan yang sangat penting dalam pengobatan
limfoma, terutama limfoma hodgkin di mana penyebaran penyakit ini
lebih sulit untuk diprediksi. Beberapa jenis radioterapi yang tersedia telah
banyak digunakan untuk mengobati limfoma hodgkin seperti
radioimunoterapi dan radioisotope. Radioimunoterapi menggunakan
antibodi monoclonal seperti CD20 dan CD22 untuk melawan antigen
spesifik dari limfoma secara langsung, sedangkan radioisotope
131
menggunakan Iodine atau 90Yttrium untuk irradiasi sel-sel tumor secara
selektif7. Teknik radiasi yang digunakan didasarkan pada stadium limfoma
itu sendiri1, yaitu:
 Untuk stadium I dan II secara mantel radikal
 Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi
 Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation
 Untuk stadium IV secara total body irradiation

Gambar 5. Berbagai macam teknik radiasi

c. Kemoterapi,6,7,8

17
Merupakan teknik pengobatan keganasan yang telah lama digunakan dan
banyak obat-obatan kemoterapi telah menunjukkan efeknya terhadap
limfoma.
Pengobatan Awal:
1. MOPP regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus atau lebih.

o Mechlorethamine: 6 mg/m2, hari ke 1 dan 8


o Vincristine (Oncovine): 1,4 mg/m2 hari ke 1 dan 8
o Procarbazine: 100 mg/m2, hari 1-14
o Prednisone: 40 mg/m2, hari 1-14, hanya pada siklus 1 dan 4
2. ABVD regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus
o Adriamycin: 25 mg/m2, hari ke 1 dan 15
o Bleomycin: 10 mg/m2, hari ke 1 dan 15
o Vinblastine: 6 mg/m2, hari ke 1 dan 15
o Dacarbazine: 375 mg/m2, hari ke 1 dan 15

3. Stanford V regimen: selama 2-4 minggu pada akhir siklus


o Vinblastine: 6 mg/m2, minggu ke 1, 3, 5, 7, 9, 11
o Doxorubicin: 25 mg/m2, minggu ke 1, 3, 5, 9, 11
o Vincristine: 1,4 mg/m2, minggu ke 2, 4, 6, 8, 10, 12
o Bleomycin: 5 units/m2, minggu ke 2, 4, 8, 10, 12
o Mechlorethamine: 6 mg/m2, minggu ke 1, 5, 9
o Etoposide: 60 mg/m2 dua kali sehari, minggu ke 3, 7, 11
o Prednisone: 40 mg/m2, setiap hari, pada minggu ke 1-10,
tapering of pada minggu ke 11,12

4. BEACOPP regimen: setiap 3 minggu untuk 8 siklus


o Bleomycin: 10 mg/m2, hari ke- 8
o Etoposide: 200 mg/m2, hari ke 1-3
o Doxorubicin (Adriamycine): 35 mg/m2, hari ke-1
o Cyclophosphamide: 1250 mg/m2, hari ke-1
o Vincristine (Oncovine): 1,4 mg/m2, hari ke-8

18
o Procarbazine: 100 mg/m2, hari ke 1-7
o Prednisone: 40 mg/m2, hari ke 1-14

Jika pengobatan awal gagal atau penyakit relaps:


1. ICE regimen
a. Ifosfamide: 5 g/m2, hari ke-2
b. Mesna: 5 g/m2, hari ke-2
c. Carboplatin: AUC 5, hari ke-2
d. Etoposide: 100 mg/m2, hari ke 1-3

2. DHAP regimen
a. Cisplatin: 100 mg/m2, hari pertama
b. Cytarabine: 2 g/m2, 2 kali sehari pada hari ke-2
c. Dexamethasone: 40 mg, hari ke 1-4

3. EPOCH regimen – Pada kombinasi ini, etoposide, vincristine,


dan doxorubicin diberikan secara bersamaan selama 96 jam IV
secara berkesinambungan.
a. Etoposide: 50 mg/m2, hari ke 1-4
b. Vincristine: 0.4 mg/m2, hari ke 1-4
c. Doxorubicin: 10 mg/m2, hari ke 1-4
d. Cyclophosphamide: 750 mg/m2, hari ke- 5
e. Prednisone: 60 mg/m2, hari ke 1-6
d. Imunoterapi
Bahan yang digunakan dalam terapi ini adalah Interferon-α, di mana
interferon-α berperan untuk menstimulasi sistem imun yang menurun
akibat pemberian kemoterapi.8
e. Transplantasi sumsum tulang
Transplasntasi sumsum tulang merupakan terapi pilihan apabila limfoma
tidak membaik dengan pengobatan konvensional atau jika pasien
mengalami pajanan ulang (relaps). Ada dua cara dalam melakukan
transplantasi sumsum tulang, yaitu secara alogenik dan secara autologus.

19
Transplantasi secara alogenik membutuhkan donor sumsum yang sesuai
dengan sumsum penderita. Donor tersebut bisa berasal dari saudara
kembar, saudara kandung, atau siapapun asalkan sumsum tulangnya sesuai
dengan sumsum tulang penderita. Sedangkan transplantasi secara
autologus, donor sumsum tulang berasal dari sumsum tulang penderita
yang masih bagus diambil kemudian dibersihkan dan dibekukan untuk
selanjutnya ditanamkan kembali dalam tubuh penderita agar dapat
menggantikan sumsum tulang yang telah rusak.3

2.13 Komplikasi
Ada dua jenis komplikasi yang dapat terjadi pada penderita limfoma
maligna, yaitu komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dan komplikasi
karena penggunaan kemoterapi. Komplikasi karena pertumbuhan kanker itu
sendiri dapat berupa pansitopenia, perdarahan, infeksi, kelainan pada jantung,
kelainan pada paru-paru, sindrom vena cava superior, kompresi pada spinal cord,
kelainan neurologis, obstruksi hingga perdarahan pada traktus gastrointestinal,
nyeri, dan leukositosis jika penyakit sudah memasuki tahap leukemia. Sedangkan
komplikasi akibat penggunaan kemoterapi dapat berupa pansitopenia, mual dan
muntah, infeksi, kelelahan, neuropati, dehidrasi setelah diare atau muntah,
toksisitas jantung akibat penggunaan doksorubisin, kanker sekunder, dan sindrom
lisis tumor.6,7

2.14 Prognosis
Menurut The International Prognostic Score, prognosis limfoma hodgkin
ditentukan oleh beberapa faktor di bawah ini, antara lain:
 Serum albumin < 4 g/dL
 Hemoglobin < 10.5 g/dL
 Jenis kelamin laki-laki
 Stadium IV
 Usia 45 tahun ke atas
 Jumlah sel darah putih > 15,000/mm3

20
 Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8% dari total jumlah sel darah putih
Jika pasien memiliki 0-1 faktor di atas maka harapan hidupnya mencapai 90%,
sedangkan pasien dengan 4 atau lebih faktor-faktor di atas angka harapan
hidupnya hanya 59%.6
Sedangkan untuk limfoma non-hodgkin, faktor yang mempengaruhi
prognosisnya antara lain:
 usia (>60 tahun)
 Ann Arbor stage (III-IV)
 hemoglobin (<12 g/dL)
 jumlah area limfonodi yang terkena (>4) dan
 serum LDH (meningkat)
yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok resiko, yaitu resiko rendah
(memiliki 0-1 faktor di atas), resiko menengah (memiliki 2 faktor di atas), dan
resiko buruk (memiliki 3 atau lebih faktor di atas).7

BAB III

KESIMPULAN

Limfoma malignum merupakan penyakit keganasan primer jaringan


limfoid yang dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu limfoma Hodgkin dan
limfoma non-Hodgkin. Limfoma malignum dapat mengenai tonsil, yang juga
merupakan salah satu dari jaringan limfoid di tubuh manusia. Limfoma Hodgkin
bercirikan adanya sel malignum khusus, yang disebut dengan sel Reed-Sternberg,
pada limfonodus atau jaringan limfatik lainnya. Limfoma malignum non-Hodgkin
adalah suatu keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat.
Dalam bidang ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher
(THT-KL), limfoma malignum merupakan kelainan neoplasma kepala dan leher

21
kedua terbanyak setelah karsinoma sel skuamosa. Penyebabnya tidak diketahui,
tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr.
Limfoma malignum menyerang kelenjar atau jaringan limfatik lainnya,
ditemukan manifestasi klinis secara umum, yaitu berat badan menurun, demam,
lesu, keringat malam dan nyeri pada tulang. Manifestasi klinis yang berhubungan
dengan limfoma malignum pada tonsil bisa kesulitan dalam menelan, nyeri
menelan dan merasa adanya massa di tenggorok.
Untuk mendiagnosis limfoma malignum pada tonsil perlu dilakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya.
Setelah diagnosis ditegakkan maka ditentukan stadium dari penyakitnya, lalu
dilakukan terapi yang terdiri dari radioterapi dan kemoterapi. Operasi biasanya
hanya dilakukan jika akan dilakukan pemeriksaan biopsi histopatologi, stabilisasi
jalan nafas dan jika terapi radioterapi dan kemoterapi tidak berhasil.
Prognosisnya pula tergantung kapan terapi tersebut dimulai. Jika dimulai
pada saat stadium limfomanya sudah lanjut maka prognosisnya lebih buruk.
Begitu juga jika penderita sudah berumur di atas 60 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dessain, S.K. 2009. Hodgkin Disease. [serial online].


http://emedicine.medscape.com/article/20188-overview [15 April 2014].
2. Ford-Martin, Paula. 2005. Malignant Lymphoma. [serial online].
http://www.healthline.com /malignant-lymphoma/. [15 April 2014].
3. Price, S.A dan Wilson, L.M. 2005. “Pathophysiology: Clinical Concepts of
Disease Processes, Sixth Edition”. Alih bahasa Pendit, Hartanto, Wulansari
dan Mahanani. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta: EGC
4. Reksodiputro, A. dan Irawan, C. 2006. “Limfoma Non-Hodgkin”. Disunting
oleh Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

22
5. Kumar, Abbas, dan Fausto. 2005. Phatologic Basis of Diseases 7th Edition.
Philadelphia: Elsevier & Saunders
6. Vinjamaram, S. 2010. Lymphoma, Non-Hodgkin. [serial online].
http://emedicine.medscape.com/article/20339-overview. [15 April 2014].
7. Berthold, D. dan Ghielmini, M. 2004. Treatment of Malignant Lymphoma.
Swiss Med Wkly (134) : 472-480.

23

Anda mungkin juga menyukai