Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN SECTIO CAESAREA ATAS INDIKASI

KPP (KETUBAN PECAH PREMATUR)


DI RUANG NIFAS RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH SIDOARJO

Di Susun Oleh :
Eike Widya Agustyani.,S.Kep
2015.14.201.010

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES SATRIA BHAKTI NGANJUK

TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN SECTIO CAESAREA ATAS INDIKASI

KPP (KETUBAN PECAH PREMATUR)

A. Sectio Caesarea
1. Pengertian Sectio Caesaria
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009)
Seksio sesarea adalah sebuah bentuk melahirkan anak dengan melakukan
sebuah irisan pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu dan uterus untuk
mengeluarkan satu bayi atau lebih. Cara ini biasanya dilakukan ketika kelahiran
melalui vagina akan mengarah pada komplikasi-komplikasi, kendati cara ini semakin
umum sebagai pengganti kelahiran normal. (Yusmiati, 2007)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa seksio sesarea adalah
pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding
uterus.
2. Etiologi
Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri
iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin
adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio
caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut:
a. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak
dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan
beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang
harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang
menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan
dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan
patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan
ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal.
b. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah
perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian
maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa
dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut
menjadi eklamsi.
c. KPD (Ketuban Pecah Dini) / KPP (Ketuban Pecah Prematur)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban
pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu
d. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena
kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada
kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau
salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
e. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan
lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
f. Kelainan Letak Janin
1) Kelainan pada letak kepala
a) Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba
UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya
bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
b) Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak
paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
c) Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah
dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan sendirinya
akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.
2) Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan
kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal
beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi bokong
kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki
(Saifuddin, 2002).
3. Jenis Sectio Caesarea Berdasarkan Teknik Penyayatan
a. Seksio sesarea klasik atau corporal
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira10cm.
Kelebihannya antara lain: mengeluarkan janin dengan cepat, tidak mengakibatkan
komplikasi kandung kemih tertarik, dan sayatan bisa diperpanjang proksimal dan
distal. Sedangkan kekurangannya adalah infeksi mudah menyebar secara intra
abdominal karena tidak ada peritonealis yang baik, untuk persalinan yang
berikutnya lebih sering terjadi ruptur uteri spontan.
b. Seksio sesarea ismika atau profundal
Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat pada segmen bawah
rahim (low servikal transversal) kira-kira 10 cm. Kelebihan dari sectio caesarea
ismika, antara lain : penjahitan luka lebih mudah, penutupan luka dengan
reperitonealisasi yang baik, tumpang tindih dari peritoneal flop baik untuk
menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum, dan kemungkinan ruptur
uteri spontan berkurang atau lebih kecil. Sedangkan kekurangannya adalah
luka melebar sehingga menyebabkan uteri pecah dan menyebabkan perdarahan
banyak, keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi.
4. Klasifikasi Sectio Caesarea
a. Seksio Sesarea Primer 
Dari semula telah direncanakan bahwa janin akan dilahirkan secara seksio sesarea,
tidak diharapkan lagi kelahiran biasa, misalnya pada panggul sempit.
b. Seksio Sesarea Sekunder
Dalam hal ini kita bersikap mencoba menunggu kelahiran biasa, bila tidak ada
kemajuan persalinan, baru dilakukan seksio sesarea.
c. Seksio Sesarea Ulang
Ibu pada kehamilan lalu mengalami seksio sesarea dan pada kehamilan
selanjutnya dilakukan seksio sesarea ulang.
d. Seksio Sesarea Postmortem
Seksio sesarea yang dilakukan segera pada ibu hamil cukup bulan yang meninggal
tiba-tiba sedangkan janin masih hidup
5. Patofisiolgi
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr
dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan ini
yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak, placenta
previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin besar dan letak
lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post partum baik dari
aspek kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari aspek
fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI yang
keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi kuman. Oleh
karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri
adalah salah utama karena insisi yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap janin
maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan upnoe
yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati, sedangkan
pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa atonia uteri
sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan nafas
yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan karena kerja otot nafas silia yang
menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan dengan menurunkan
mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi
proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang menurun
maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan menumpuk dan
karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat beresiko terhadap
aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu motilitas yang menurun
juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu konstipasi. (Saifuddin, Mansjoer
& Prawirohardjo, 2002)
6. Pemeriksaan Penunjang
Berikut adalah beberapa pemeriksaan penunjang untuk pasien section caesaria.
a. Elektroensefalogram ( EEG ), Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari
kejang.
b. Pemindaian CT, Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
c. Magneti resonance imaging (MRI), Menghasilkan bayangan dengan menggunakan
lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah –
daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
d. Pemindaian positron emission tomography ( PET ), Untuk mengevaluasi kejang
yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau
alirann darah dalam otak.
e. Uji laboratorium, Fungsi lumbal: menganalisis cairan serebrovaskuler, Hitung
darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematocrit, Panel elektrolit, Skrining
toksik dari serum dan urin, AGD, Kadar kalsium darah, Kadar natrium darah,
Kadar magnesium
7. Penatalaksaan
a. Perawatan awal
1) Letakan pasien dalam posisi datar atau 45 derajat dalam ruang perawatan
2) Periksa kondisi pasien, cek tanda vital. Periksa tingkat
3) Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
b. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah 1 x 24 jam, jika penderita
sudah terdengar bising usus lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan
peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan
pada minimal 6 jam pasca operasi, berupa air putih.
c. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
1) Miring kanan dan kiri
2) Posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk (semifowler)
3) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari
ke-3 pasca operasi.
d. Fungsi gastrointestinal
1) Tunggu bising usus timbul, diet bertahap (cair di teruskan dengan diet lunak)
2) Pemberian infus diteruskan sampai minimal 1x24 jam
e. Perawatan fungsi kandung kemih
1) Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan
penderita.
f. Perawatan luka
1) Ganti verban dengan cara steril (jika verban terdapat rembesan/ terbuka)
2) Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih
3) Mengganti balutan dilakukan pada hari ketiga pasca SC atau sebelum pasien
pulang
g. Jika masih terdapat perdarahan
1) Lakukan masase uterus
2) Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam fisiologik atau RL) 60
tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M. dan prostaglandin
3) Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas
demam selama 48 jam
4) Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
h. Hal – Hal lain yang perlu diperhatikan
1) Paska bedah penderita dirawat dan diobservasi kemungkinan komplikasi berupa
perdarahan dan hematoma pada daerah operasi
2) Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya hematoma.
3) Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut ditekuk)
agar diding abdomen tidak tegang.
4) Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.
5) Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadiny infeksi
6) Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.
7) Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat menaikkan
tekanan intra abdomen
8) Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik berupa nyeri dan kenya-
manan psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya orientasi dan
bimbingan kegi-atan post op seperti ambulasi dan nafas dalam untuk
mempercepat hilangnya pengaruh anestesi.
9) Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah, frekuensi
nadi dan nafas. Jadwal pengukuran jumlah produksi urin Berikan infus dengan
jelas, singkat dan terinci bila dijumpai adanya penyimpangan
10) Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi. Anestesia; regional atau
general Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria. Tes
laboratorium/diagnostik sesuai indikasi. Pemberian oksitosin sesuai indikasi.
Tanda vital per protokol ruangan pemulihan, Persiapan kulit pembedahan
abdomen, Persetujuan ditandatangani. Pemasangan kateter fole
8. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada ibu SC adalah :
a. Infeksi puerperial : kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas dibagi
menjadi:
b. Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
c. Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit
kembung
d. Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
e. Perdarahan : perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan cabang-
cabang arteri uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.
f. Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing, embolisme paru
yang sangat jarang terjadi.
g. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya
bisa terjadi ruptur uteri.
B. KPP (Ketuban Pecah Prematur) / KPD (Ketuban Pecah Dini)
1. Pengertian
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum tanda-
tanda persalinan (Mansjoer, et al, 2002).Pecahnya ketuban sebelum waktunya
melahirkan atau sebelum inpartu, pada pembukaan < 4 cm (masa laten). Hal ini dapat
terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan.
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya/rupturnya selaput amnion
sebelum dimulainya persalinan yang sebenarnya atau pecahnya selaput amnion
sebelum usia kehamilannya mencapai 37 minggu dengan atau tanpa kontraksi
(Mitayani,2011).
Ketuban pecah dini didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum
waktunya melahirkan, hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum
waktunya melahirkan (Sujiyati,2009).
Ketuban pecah dini (KPD)  merupakan pecahnya selaput janin sebelum proses
persalinan dimulai, pada usia kurang dari 37 minggu (Errol Norwiz & John).
2. Etiologi
Ketuban pecah dini biasanya menyebabkan persalinan premature alias bayi
terpaksa dilahirkan sebelum waktunya.Air ketuban pecah lebih awal bisa disebabkan
oleh beberapa hal, seperti yang disampaikan oleh Geri Morgan (2009) yaitu:
a. Infeksi rahim, leher rahim, atau vagina,
b. Pemicu umum ketuban pecah dini adalah:
1) Persalinan premature
2) Korioamnionitis terjadi dua kali sebanyak KPD
3) Malposisi atau malpresentasi janin
c. Faktor yang mengakibatkan kerusakan serviks
1) Pemakaian alat-alat pada serviks sebelumnya (misalnya aborsi terapeutik,
LEEP, dan sebagainya)
2) Peningkatan paritas yang memungkinkan kerusakan serviks selama pelahiran
sebelumnya
3) Inkompeteni serviks
d. Riwayat KPD sebelumnya sebanyak dua kali atau lebih
e. Faktor-faktor yang berhubungan dengan berat badan ibu:
1) Kelebihan berat badan sebelum kehamilan
2) Penambahan berat badan sebelum kehamilan
f. Merokok selama kehamilan
g. Usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat daripada ibu
muda
h. Riwayat hubungan seksual baru-baru ini.
3. Tanda dan Gejala
Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui
vagina,aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak,mungkin cairan
tersebut masih merembes atau menetes dengan ciri pucat dan bergaris warna
darah,cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai
kelahiran.Tetapi bila duduk atau berdiri,kepala janin yang sudah terletak dibawah
biasanya “mengganjal “atau menyambut kebocoran untuk sementara.
Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut,denyut jantung janin
bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi (Sujiyatini, 2009).
4. Penatalaksanaan
a. Pencegahan
1) Obati infeksi gonokokus, klamidi, dan vaginosis bacterial
2) Diskusikan pengaruh merokok selama kehamilan dan dukung untuk mengurangi
atau berhenti.
3) Motivasi untuk menambah berat badan yang cukup selama hamil
4) Anjurkan pasangan agar menghentikan koitus pada trisemester akhir bila ada
faktor predisposisi.
b. Panduan mengantisipasi: jelaskan pasien yang memiliki riwayat berikut ini saat
prenatal bahwa mereka harus segera melapor bila ketuban peccah.
c. Kondisi yang menyebabkan ketuban pecah dapat mengakibatkan prolaps tali pusat:
1) Letak kepala selain vertex
2) Polihidramnion
3) Herpes aktif
4) Riwayat infeksi streptokus beta hemolitiukus sebelumnya.
d. Bila ketuban telah pecah
1) Anjurkan pengkajian secara saksama. Upayakan mengetahui waktu terjadinya
pecahnya ketuban
2) Bila robekan ketuban tampak kasar:
a) Saat pasien berbaring terlentang, tekan fundus untuk melihat adanya
semburan cairan dari vagina.
b) Basahai kapas asupan dengan cairan dan lakukan pulasan pada slide untuk
mengkaji ferning dibawah mikroskop.
c) Sebagian cairan diusapkan kekertas Nitrazene. Bila positif, pertimbangkan
uji diagnostik bila pasien sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual
tidak ada perdarahan dan tidak dilakukan pemeriksaan pervagina
menggunakan jeli K-Y.
3) Bila pecah ketuban dan/ atau tanda kemungkinan infeksi tidak jelas, lakukan
pemeriksaan pekulum steril.
a) Kaji nilai bishop serviks (lihat Nilai Bishop).
b) Lakukan kultur serviks hanya bila ada tanda infeksi.
c) Dapatkan spesimen cairan lain dengan lidi kapas steril yang dipulaskan pada
slide untuk mengkaji ferning di bawah mikroskop.
4) Bila usia gestasi kurang dari 37 minggu atau pasien terjangkit Herpes Tipe 2,
rujuk ke dokter.
e. Penatalaksanaan konservatif
1) Kebanyakan persalinan dimulai dalam  24-72 jam setelah ketuban pecah.
2) Kemungkinan infeksi berkurang bila tidak ada alat yang dimasukan ke vagina,
kecuali spekulum steril, jangan melakukan pemeriksaan vagina.
3) Saat menunggu, tetap pantau pasien  dengan ketat.
a) Ukur suhu tubuh empat kali sehari; bila suhu meningkat secara signifikan,
dan/ atau mencapai 380 C, berikan macam antibiotik dan pelahiran harus
diselesaikan.
b) Observasi rabas vagina: bau menyengat, purulen atau tampak kekuningan
menunjukan adanya infeksi.
c) Catat bila ada nyeri tekan dan iritabilitas uterus serta laporkan perubahan apa
pun
f. Penatalaksanaan Agresif
1) Jel prostaglandin atau misoprostol (meskipun tidak disetujui penggunaannya)
dapat diberikan setelah konsultasi dengan dokter
2) Mungkin dibutuhkan rangkaian induksi pitocin bila serviks tidak berespons
3) Beberapa ahli menunggu 12 jam untuk terjadinya persalinan. Bila tidak ada
tanda, mulai pemberian pitocin
4) Berikan cairan per IV, pantau janin
5) Peningkatan resiko seksio sesaria bila induksi tidak efektif.
6) Bila pengambilan keputusan bergantung pada kelayakan serviks untuk
diindikasi, kaji nilai bishop setelah pemeriksaan spekulum. Bila diputuskan
untuk menunggu persalinan, tidak ada lagi pemeriksaan yang dilakukan, baik
manipulasi dengan tangan maupun spekulum, sampai persalinan dimulai atau
induksi dimulai
7) Periksa hitung darah lengkap bila ketuban pecah. Ulangi pemeriksaan pada hari
berikutnya sampai pelahiran atau lebih sering bila ada tanda infeksi
8) Lakukan NST setelah ketuban pecah; waspada adanya takikardia janin yang
merupakan salah satu tanda infeksi
9) Mulai induksi setelah konsultasi dengan dokter bila :
a) Suhu tubuh ibu meningkat signifikan
b) Terjadi takikardia janin
c) Lokia tampak keruh
d) Iritabilitas atau nyeri tekan uterus yang signifikan
e) Kultur vagina menunjukan strepkus beta hemolitikus
f) Hitung darah lengkap menunjukan kenaikan sel darah putih
g. Penatalaksanaan persalinan lebih dari 24 jam setelah ketuban pecah
1) Pesalinan spontan
a) Ukur suhu tubuh pasien setiap 2 jam, berikan antibiotik bila ada demam
b) Anjurkan pemantauan janin internal
c) Beritahu dokter  spesialis obstetri dan spesialis anak atau praktisi perawat
neonatus
d) Lakukan kultur sesuai panduan
2) Indikasi persalinan
a) Lakukan secara rutin setelah konsultasi dengan dokter
b) Ukur suhu tubuh setiap 2 jam
Antibiotik : pemberian antibiotik memiliki beragam panduan, banyak yang
memberikan 1-2 g ampisilin per IV atau 1-2 g Mefoxin per IV setiap 6 jam
sebagai profilakis. Beberapa panduan lainnya menyarankan untuk
mengukur suhu tubuh ibu dan DJJ  untuk menentuan kapan antibiotik
mungkin diperlukan.
5. Komplikasi
Komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia 37 minggu adalah
sindrom distress pernapasan,yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir.Risiko infeksi
meningkat pada kejadian KPD.Semua ibu hamil dengan KPD premature sebaiknya
dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada korion dan
amnion).Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat terjadi pada KPD.
Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada KPD Praterm.Hipoplasia
paru merupakan komplikasi fatal terjadi pada KPD praterm.Kejadiannya mencapai
hampir 100% apabila KPD praterm ini terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23
minggu.
a. Infeksi intrauterine
b. Tali pusat menumbung
c. Prematuritas
d. Distosia.
D. Pathway Sectio Caesarea

CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion ), PEB (Pre-Eklamsi Berat), KPD


(Ketuban Pecah Dini) / KPP (Ketuban Pecah Prematur), Bayi KembaR,
Faktor Hambatan Jalan Lahir, Kelainan Letak Janin

Sectio Caesarea

Pasca operatif Cemas Post partum


Adaptasi Adaptasi
fisiologis psikologis
Trauma Luka bekas insisi Efek anestesi
jaringan Proses laktasi Taking in Taking hold Letting go

Supresi SSP Medulla


Invasi oblongata Mempengaruhi Penerimaan
Diskontinuitas Isapan bayi
tonus uteri Stimulasi peran baru
jaringan Gangguan Hip. Posterior
pada pons Respon mual
Resti Atonia uteri Perubahan peran
muntah Stimulasi
infeksI Sekresi oksitosin
Hip.anterior
Pola napas Resti Cemas
Nyeri tak efektif Resti kekurangan perdarahan Sekresi prolaktin
volume cairan dan Stimulasi duktus
Kelemahan fisik alveoli Kelj. Mamae Menghambat
elektrolit perdarahan sekresi oksitosin
Putting inverte Produksi ASI sedikit
Sumber : Bobak, 2004 Gg. Mobilitas Pressure the ejection of
fisik Ineffective breast feeding
breast feeding
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN POST SECTIO CAESAREA

A. Pengkajian
1. Identitas
Operasi Sectio Caesaria biasanya terjadi pada wanita diatas usia 35 tahun, karena
seiring bertambahnya usia kontraksi rahim kehilangan kemampuan untuk berkontraksi
secara efisien.
2. Riwayat Keperawatan
a. Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan pasien biasanya nyeri luka bekas insisi bedah
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien datang dengan CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion ), PEB (Pre-
Eklamsi Berat), KPD (Ketuban Pecah Dini) / KPP (Ketuban Pecah Prematur), Bayi
Kembar, Faktor Hambatan Jalan Lahir, Kelainan Letak Janin.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Adanya kemungkinan klien pernah memiliki penyakit bawaan seperti
hipertensi,diabetes mellitus, hepatitis. atau klien pernah mempunyai riwayat
section caesaria sebelumnya
d. Riwayat kesehatan keluarga
Adanya kemungkinan keluarga mempunyai penyakit yang sama dengan klien.
e. Riwayat Obstetri
1) Riwayat Menstruasi
Biasanya klien menache pada usia 11-14 tahun. Namun bisa lebih awal yaitu
usia 9 tahun atau lebih lambat yaitu usia 15 tahun. Apakah menstruasi teratur
atau tidak dan lamanya menstruasi biasanya ±7 hari. Biasanya saat haid
terdapat keluahan sakit perut, nyeri pada pinggang dan sakit kepala.
2) Riwayat kehamilan dan persalinan
Apakah klien primigravida, atau multigravida. Apakah ada penyulit kehamilan
dan usia kehamilan ke berapa. Adanya persalinan sebelumnya melalui section
caesaria dan berapa TB dan BB anak.
3) Kehamilan sekarang
Apakah klien melakukan imunisasi TT sebelumnya, dan berapa kali melakukan
ANC. Adanya keluahn selama hamil seperti mual, muntah, pusing. Apakah
mengikuti pengobatan selama hamil
f. Riwayat keluarga berencana
Perlu ditanyakan pada klien apakah klien pernah atau tidak mengikuti KB. Jika
klien pernah ikut KB maka yang ditanyakan jenis kontrasepsi dan lamanya
menggunakan kontrasepsi.
g. Pola aktivitas sehari-hari
1) Pola nutrisi
Pasca operasi mungkin klien belum bisa mengkonsumi makanan terlebih
dahulu.
2) Pola eliminasi
Pasca operasi klien BAK melalui kateter
3) Pola istirahat dan tidur
Biasanya klien sulit tidur karena nyeri pasca operasi, disertai cemas dan kwatir
akan kesembuhan pasca operasi
4) Pola istirahat dan tidur
Aktivtas klien menurun pasca operasi SC, klien harus membatasi aktivitas atau
bedrest untuk sementara waktu hingga keadaan klien pulih.
5) Pola personal hygiene
Pasca operasi klien mengalami penurunan dalam melakukan kebersihan diri
6) Pola kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan
Apaah klien memiliki kebiasaan merokok, minum minuman keras, atau
ketergantungan obat.
h. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan umum
Tekanan darah : akan menurun jika terjadi tanda-tanda syok
Pernafasan : kemungkinan klien akan sesak karena adanya efek anastesi saat
operasi
Nadi : nadi melemah jika ditemukan tanda-tabda syok
Suhu : suhu akan meningkat jika terjadi infeksi
2) Kepala
Inspeksi : bentuk kepala normal dan biasanya penyebaran rambut merata
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
3) Wajah
Inspeksi : biasanya terdapat cloasma gravidarum
4) Mata
Inspeksi : biasanya terdapat konjungtiva berwarna merah muda, mata cowong
5) Hidung
Inspeksi : apakah terdapat pernafasan cuping hidung dan skret
6) Mulut
Inspeksi : biasanya mulut kering
7) Leher
Inspeksi : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
8) Paru-paru
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Perkusi : sonor
Auskultasi : kemungkinan terdapat bunyi nafas tambahan wheezing atau ronki
karena adanya efek anastesi saat operasi
9) Jantung
Inspeksi : biasanya tampak ictus cordis di ics 5
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Perkusi : pekak
Auskultasi : s1 dan s2 tunggal regular
10) Payudara
Inspeksi : simetris, payudara membesar, terdapat hiperpigmentasi di areola
mamae, putting susu menonjol
Palpasi : payudara teraba keras
11) Abdomen
Inspeksi : terdapat luka jahitan bekas luka insisi bedah
Auskultasi : biasanya bsing usus ibu normal
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada luka insisi bedah
Perkusi : timpani
12) Genetalia
Inspeksi : biasanya terdapat darah nifas pasca melahirkan
13) Ekstremitas
Inspeksi : tidak ada pembengkakan
Palpasi : tidak ada piting edema
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan, efek anestesi, efek hormonal,
distensi kandung kemih.
2. Defisi volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah dalam pembedaran.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas dan nyeri.
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik
5. Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan kerentanan tubuh terhadap
bakteri sekunder pembedahan.
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan peran atau transmisi interpersonal.
7. Tidak efektifnya laktasi berhubungan dengan terhambatnya pengeluaran ASI,
perpisahan dengan bayi.
8. Kurang pengetahuan berhubungan dengan mengenai perubahan fisiologis, periode
pemulihan, perawatan diri dan kebutuhan perawatan diri.
C. Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan, efek anastesi, efek
hormonal dan distensi kandung kemih.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, klien tidak mengalami
nyeri skala nyeri (0-3)
Kriteria hasil :
Mampu mengidentifikasikan cara mengurangi nyeri, mengungkapkan keinginan untuk
mengontrol nyerinya, dan mampu untuk tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi Rasional
Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas, Memberikan informasi untuk membantu
dan lamanya.
memudahkan tindakan keperawatan.
Ajarkan dan catat tipe nyeri serta tindakan Meningkatkan persepsi klien terhadap
untuk mengatasi nyeri. nyeri yang dialaminya.
Ajarkan teknik relaksasi – distraksi Meningkatkan kenyamanan klien.
Pertahankan tirah baring bila Tirah baring diperlukan pada awal selama
diindikasikan. fase reteksi akut.
Anjurkan menggunakan kompres hangat. Membantu mengurangi nyeri dan
meningkatkan kenyamanan klien.
Kolborasi dalam pemberian analgetik Mempercepat penyembuhan

2. Defisit volume cairan berhubungan dengan pengeluaran integritas


pembuluh darah, perubahan dalam kemampuan pembekuan darah
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, defisit volume cairan
dapat teratasi.
Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital yang stabil, palpasi denyut nadi dengan kualitas baik, turgor
kulit normal, membran mukosa lembab, dan pengeluaran urine yang sesuai.
Intervensi Rasional
Ukur dan catat pemasukan dan Membantu mengidentifikasi pengeluaran
pengeluaran. Tinjau ulang catatan
cairan atau kebutuhan penggantian..
intraoperasi
Awasi TD, nadi, dan tekanan Hipoteksi, takikardia penurunan
hemodinamik tekanan hemodinamik menunjukan
kekurangan cairan.
Catat munculnya mual/muntah. Mual yang terjadi 12-24 jam pascaoperasi
dihubungkan dengan anestesi; mual lebih
dari tiga hari pascaoperasi dihubungkan
dengan narkotik untuk mengontrol rasa
sakit atau terapi obat- obatan lainnya.
Periksa pembalut atau drain pada Pendarahan yang berlebihan dapat
mengacu kepada hipovolemia/hemoragi.
interval reguler. Kaji luka untuk
Pembengkakan lokal mengindikasikan
terjadinya pembengkakan. formasi hematoma/pendarahan.

Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer. Kulit dingin/lembab, denyut lemah
mengindikasikan penurunan sirkulasi
perifer.
Kolaborasi dalam pemberian cairan Mempercepat penyembuhan serta
parental, produksi darah dan/ atau plasma
menggantikan kehilangan cairan
ekspander sesuai petunjuk.

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas dan nyeri.


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, gangguan mobilitas fisik
teratasi.
Kriteria hasil :
Tidak adanya kontraktur, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang
sakit/kompensasi dan mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang memungkinkan
melakukan kembali aktivitas.
Intervensi Rasional
Kaji fungsi motorik dengan Mengevaluasi keadaan khusus.pada
menginstruksikan pasien untuk beberapa lokasi trauma mempengaruhi
melakukan gerakan
tipe dan pemilihan intervensi.
Catat tipe anestesi yang diberikan pada Pengaruh anestesi dapat mempengaruhi
saat intra partus pada waktu klien sadar.
aktifitas klien.
Bantu / lakukan latihan ROM pada semua Meningkatkan sirkulasi, meningkatkan
ekstremitas dan sendi, pakailah gerakan
mobilisasi sendi dan mencegah
perlahan dan lembut
kontraktur dan atrofi otot.
Anjurkan klien istirahat. Mencegah kelelahan.

Tingkatkan aktifitas secara bertahap. Aktifitas sedikit demi sedikit dapat


dilakukan oleh klien sesuai yang
diinginkan, memberikan rasa tenang dan
aman pada klien emosional.

Kolaborasi dalam pemberian cairan Mempercepat penyembuhan serta


parental, produksi darah dan/ atau plasma
menggantikan kehilangan cairan
ekspander sesuai petunjuk.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito. Lynda Juall. Diagnosa Keperawatan: Aplikasi Pada Pasien Klinis. Jakarta :
EGC., Ed.9. 2012.

NANDA International. 2018. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2018-


2020.Jakarta: EGC

Morhead, Sue, Johnson, Marion, Maas, Meriden L., Swanson, Elizabeth. 2018. Nursing
Outcomes Classification (NOC), Fourth Edition. Missouri: Mosby
Dochterman, Joanne Mccloskey, Bulechek, Gloria M. 2018. Nursing Interventions
Classification (NIC), Fourth Edition. Missouri: Mosby

Doengoes, M. Rencana Perawatan Maternitas / Bayi, EGC : jakarta. 2014.

Hincliff, S. Kamus Keperawatan, Jakarta: EGC. 1999.

Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahern. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Diagnosa


NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC; 2012.

Mansjoer, A. Dasar-dasar Keperwatan Maternitas, EGC : jakarta. 2014.

Manuaba, I. B. G. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana


UntukPendidikan Bidan, Jakarta: EGC. 2012.

Manuaba, I. B. G. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Arcan : Jakarta. 2014.

Mochtar, R. Sinopsis obstetri : obstetri operatif, obstetri sosial, jilid 2. EGC : Jakarta.
2012.

Prawirohardjo, S. BukuPanduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,


Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 2012.

Syaifudin, Abdul Bari, Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Bina Pustaka :
Jakarta. 2012.

Winkjosastro, H. Dkk. Ilmu kebidanan, Bina Pustaka : Jakarta. 2012.

Anda mungkin juga menyukai