Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny.


E G2P1A0 USIA KEHAMILAN 37-38 MINGGU
POST PARTUM PERSALINAN SC ATAS INDIKASI BSC+KPP DI RUANG
DRUPADI (RAWAT INAP) RSUD JOMBANG

Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Praktek Profesi Keperawatan


Departemen Maternitas

Oleh:
Nama : Maharani Puspita
NIM : P17212215022

PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan keperawatan Post Partum Persalinan SC Atas Indikasi KPP Di
Ruang Drupadi (Rawat Inap) RSUD Jombang Periode tanggal 25 s/d 30 Oktober 2021

Telah disetujui dan disahkan pada

tanggal …… Bulan……………… Tahun…………

Malang,
Preceptor Lahan RS Preceptor Akademik

NIP/NIK. NIP.

Mengetahui,
Kepala Ruang ……

NIP/NIK.
LAPORAN PENDAHULUAN

POST NATAL CARE (PNC)

KONSEP DASAR
A. Pengertian
Post Partum atau masa nifas adalah masa yang dimulai setelah plasenta keluar dan
berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan semula (sebelum hamil).
Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu (Ary Sulistyawati, 2009).
Masa nifas atau post partum adalah masa setelah persalinan selesai sampai 6
minggu atau 42 hari. Setelah masa nifas, organ reproduksi secara berlahan akan
mengalami perubahan seperti sebelum hamil. Selama masa nifas perlu mendapat
perhatian lebih dikarenakan angka kematian ibu 60% terjadi pada masa nifas. Dalam
Angka Kematian Ibu (AKI) adalah penyebab banyaknya wanita meninggal dari suatu
penyebab kurangnya perhatian pada wanita post partum (Maritalia, 2012).
B. Klasifikasi Masa Nifas
Menurut Anggraini (2010), tahap masa nifas di bagi menjadi 3 :
1. Purperium dini, Waktu 0-24 jam post partum. Purperium dini yaitu kepulihan dimana
ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan. Dianggap telah bersih dan boleh
melakukan hubungan suami istri apabila setelah 40 hari.
2. Purperium intermedial, Waktu 1-7 hari post partum. Purperium intermedial yaitu
kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya 6 minggu
3. Remote purperium ,Waktu 1-6 minggu post partum. Adalah waktu yang diperlukan
untuk pulih dan sehat sempurna terutam bila selama hamil dan waktu persalinan
mempunyai komplikasi. Waktu untuk pulih sempurna bias berminggu-minggu,
bulanan bahkan tahunan. (Yetti Anggraini,2010).
C. Perubahan Fisiologis Masa Nifas
Untuk mengingat komponen yang diperlukan dalam pengkajian post partum,
banyak perawat menggunakan istilah BUBBLE-LE yaitu termasuk Breast (payudara),
Uterus (rahim), Bowel (fungsi usus), Bladder (kandung kemih), Lochia (lokia),
Episiotomy (episiotomi/perinium), Lower Extremity (ekstremitas bawah), dan Emotion
(emosi). Menurut Hacker dan Moore Edisi 2 adalah :
a. Involusi Rahim Melalui proses katabolisme jaringan, berat rahim dengan cepat
menurun dari sekitar 1000gm pada saat kelahiran menjadi 50 gm pada sekitar 3
minggu masa nifas. Serviks juga kehilangan elastisnya dan kembali kaku seperti
sebelum kehamilan. Selama beberapa hari pertama setelah melahirkan, secret rahim
(lokhia) tampak merah (lokhia rubra) karena adanya eritrosit. Setelah 3 sampai 4 hari
lokhia menjadi lebih pucat (lokhia serosa), dan dihari ke sepuluh lokheatampak
berwarna putih atau kekuning kuningan (lokhia alba). Berdasarkan waktu dan
warnanya pengeluaran lochia dibagi menjadi 4 jenis:
1. Lochia rubra, lochia ini muncul pada hari pertama sampai hari ketiga masa
postpartum, warnanya merah karena berisi darah segar dari jaringan sisa-sisa
plasenta.
2. Lochia sanguilenta, berwarna merah kecoklatan dan muncul di hari keempat
sampai hari ketujuh.
3. Lochia serosa, lochia ini muncul pada hari ketujuh sampai hari keempat belas
dan berwarna kuning kecoklatan.
4. Lochia alba, berwarna putih dan berlangsung 2 sampai 6 minggu post partum.
Munculnya kembali perdarahan merah segar setelah lokia menjadi alba atau
serosa menandakan adanya infeksi atau hemoragi yang lambat. Bau lokia sama dengan
bau darah menstruasi normal dan seharusnya tidak berbau busuk atau tidak enak.
Lokhia rubra yang banyak, lama, dan berbau busuk, khususnya jika disertai demam,
menandakan adanya kemungkinan infeksi atau bagian plasenta yang tertinggal. Jika
lokia serosa atau alba terus berlanjut melebihi rentang waktu normal dan disertai
dengan rabas kecoklatan dan berbau busuk, demam, serta nyeri abdomen, wanita
tersebut mungkin menderita endometriosis. (Martin, Reeder, G., Koniak, 2014). Proses
involusi uterus adalah sebagai berikut:
1. Iskemia Miometrium : Hal ini disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang
terus menerus dari uterus setelah pengeluaran plasenta sehingga membuat
uterus menjadi relatif anemi dan menyebabkan serat otot atrofi.
2. Atrofi jaringan : Atrofi jaringan terjadi sebagai reaksi penghentian hormon
esterogen saat pelepasan plasenta.
3. Autolysis : Merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam
otot uterus. Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah
mengendur hingga panjangnya 10 kali panjang sebelum hamil dan lebarnya 5
kali lebar sebelum hamil yang terjadi selama kehamilan. Hal ini disebabkan
karena penurunan hormon estrogen dan progesteron.
4. Efek Oksitosin : Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot
uterus sehingga akan menekan pembuluh darah yang mengakibatkan
berkurangnya suplai darah ke uterus. Proses ini membantu untuk mengurangi
situs atau tempat implantasi plasenta serta mengurangi perdarahan.
b. Uterus
Setelah kelahiran plasenta, uterus menjadi massa jaringan yang hampir padat. Dinding
belakang dan depan uterus yang tebal saling menutup, yang menyebabkan rongga
bagian tengah merata. Ukuran uterus akan tetap sama selama 2 hari pertama setelah
pelahiran, namun kemudian secara cepat ukurannya berkurang oleh involusi. (Martin,
Reeder, G., Koniak, 2014).
c. Uterus tempat plasenta
Pada bekas implantasi plasenta merupakan luka yang kasar dan menonjol ke dalam
kavum uteri. Segera setelah plasenta lahir, dengan cepat luka mengecil, pada akhir
minggu ke-2 hanya sebesar 3-4 cm dan pada akhir nifas 1-2 cm. Penyembuhan luka
bekas plasenta khas sekali. Pada permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak
pembuluh darah besar yang tersumbat oleh thrombus. Luka bekas plasenta tidak
meninggalkan parut. Hal ini disebabkan karena diikuti pertumbuhan endometrium
baru di bawah permukaan luka. Regenerasi endometrium terjadi di tempat implantasi
plasenta selama sekitar 6 minggu. Pertumbuhan kelenjar endometrium ini berlangsung
di dalam decidua basalis. Pertumbuhan kelenjar ini mengikis pembuluh darah yang
membeku pada tempat implantasi plasenta hingga terkelupas dan tak dipakai lagi pada
pembuangan lokia. (Martin, Reeder, G., Koniak, 2014).
d. Afterpains
Merupakan kontraksi uterus yang intermiten setelah melahirkan dengan berbagai
intensitas. Afterpains sering kali terjadi bersamaan dengan menyusui, saat kelenjar
hipofisis posterioir melepaskan oksitosin yang disebabkan oleh isapan bayi. Oksitosin
menyebabkan kontraksi saluran lakteal pada payudara, yang mengeluarkan kolostrum
atau air susu, dan menyebabkan otot otot uterus berkontraksi. Sensasi afterpains dapat
terjadi selama kontraksi uterus aktif untuk mengeluarkan bekuan bekuan darah dari
rongga uterus. (Martin, Reeder, G., Koniak, 2014).
e. Vagina
Meskipun vagina tidak pernah kembali ke keadaan seperti seleum kehamilan, jaringan
suportif pada lantai pelvis berangsur angsur kembali pada tonus semula.
f. Perubahan Sistem Pencernaan
Biasanya Ibu mengalami obstipasi setelah persalinan. Hal ini terjadi karena pada
waktu melahirkan sistem pencernaan mendapat tekanan menyebabkan kolon menjadi
kosong, kurang makan, dan laserasi jalan lahir. (Dessy, T., dkk. 2009)
g. Sistem kardiovaskuler
Segera setelah kelahiran, terjadi peningkatan resistensi yang nyata pada pembuluh
darah perifer akibat pembuangan sirkulasi uteroplasenta yang bertekanan rendah.
Kerja jantung dan volume plasma secara berangsur angsur kembali normal selama 2
minggu masa nifas.
h. Perubahan Sistem Perkemihan
Diuresis postpartum normal terjadi dalam 24 jam setelah melahirkan sebagai respon
terhadap penurunan estrogen. Kemungkinan terdapat spasme sfingter dan edema leher
buli-buli sesudah bagian ini mengalami tekanan kepala janin selama persalinan.
Protein dapat muncul di dalam urine akibat perubahan otolitik di dalam uterus
(Rukiyah, 2010).
i. Perubahan psikososial
Wanita cukup sering menunjukan sedikit depresi beberapa hari setelah kelahiran.
“perasaan sedih pada masa nifas” mungkin akibat faktor faktor emosional dan
hormonal. Dengan rasa pengertian dan penentraman dari keluarga dan dokter, perasaan
ini biasanya membaik tanpa akibat lanjut.
j. Kembalinya haid dan ovulasi
Pada wanita yang tidak menyusui bayi, aliran haid biasanya akan kembali pada 6
sampai 8 minggu setelah kelahiran, meskipun ini sangat bervariasi. Meskipun ovulasi
mungkin tidak terjadi selama beberapa bulan, terutama ibu ibu yang menyusui bayi,
penyuluan dan penggunaan kontrasepsi harus ditekankan selama masa nifas untuk
menghindari kehamilan yang tak dikehendaki.
k. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Ligamen, fasia, dan diafragma pelvis yang meregang pada waktu persalinan, setelah
bayi lahir berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih kembali (Mansyur, 2014)
l. Perubahan Tanda-tanda Vital Pada Ibu masa nifas terjadi peerubahan tanda-tanda vital,
meliputi:
1. Suhu tubuh : Pada 24 jam setelah melahirkan subu badan naik sedikit (37,50C-
380C) sebagai dampak dari kerja keras waktu melahirkan, kehilangan cairan
yang berlebihan, dan kelelahan (Trisnawati, 2012)
2. Nadi : Sehabis melahirkan biasanya denyut nadi akan lebih cepat dari denyut
nadi normal orang dewasa (60-80x/menit).
3. Tekanan darah, biasanya tidak berubah, kemungkinan bila tekanan darah tinggi
atau rendah karena terjadi kelainan seperti perdarahan dan preeklamsia.
4. Pernafasan, frekuensi pernafasan normal orang dewasa adalah 16-24 kali per
menit. Pada ibu post partum umumnya pernafasan lambat atau normal. Bila
pernafasan pada masa post partum menjadi lebih cepat, kemungkinan ada
tanda-tanda syok (Rukiyah, 2010)
m. Proses penyembuhan luka Dalam keadaan normal, proses penyembuhan luka
mengalami 3 tahap atau 3 fase yaitu:
1. Fase inflamasi Fase ini terjadi sejak terjadinya injuri hingga sekitar hari kelima.
Pada fase inflamasi, terjadi proses:
a. Hemostasis (usaha tubuh untuk menghentikan perdarahan), di mana pada
proses ini terjadi:
• Konstriksi pembuluh darah (vasokonstriksi)
• Agregasi platelet dan pembentukan jala-jala fibrin
• Aktivasi serangkaian reaksi pembekuan darah
b. Inflamasi, di mana pada proses ini terjadi:
• Peningkatan permeabilitas kapiler dan vasodilatasi yang disertai dengan
migrasi sel-sel inflamasi ke lokasi luka.
• Proses penghancuran bakteri dan benda asing dari luka oleh neutrofil dan
makrofag.
2. Fase proliferasi Fase ini berlangsung sejak akhir fase inflamasi sampai sekitar 3
minggu. Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia, dan terdiri dari proses:
a. Angiogenesis Adalah proses pembentukan kapiler baru yang distimulasi oleh
TNF-α2 untuk menghantarkan nutrisi dan oksigen ke daerah luka.
b. Granulasi Yaitu pembentukan jaringan kemerahan yang mengandung kapiler
pada dasar luka (jaringan granulasi). Fibroblas pada bagian dalam luka
berproliferasi dan membentuk kolagen.
c. Kontraksi Pada fase ini, tepi-tepi luka akan tertarik ke arah tengah luka yang
disebabkan oleh kerja miofibroblas sehingga mengurangi luas luka. Proses ini
kemungkinan dimediasi oleh TGF-β .
d.Re-epitelisasi Proses re-epitelisasi merupakan proses pembentukan epitel baru
pada permukaan luka. Sel-sel epitel bermigrasi dari tepi luka melintasi
permukaan luka. EGF berperan utama dalam proses ini.
3. Fase maturasi atau remodelling Fase ini terjadi sejak akhir fase proliferasi dan
dapat berlangsung berbulan- bulan. Pada fase ini terjadi pembentukan kolagen
lebih lanjut, penyerapan kembali sel-sel radang, penutupan dan penyerapan
kembali kapiler baru serta pemecahan kolagen yang berlebih. Selama proses ini
jaringan parut yang semula kemerahan dan tebal akan berubah menjadi jaringan
parut yang pucat dan tipis. Pada fase ini juga terjadi pengerutan maksimal pada
luka. Jaringan parut pada luka yang sembuh tidak akan mencapai kekuatan regang
kulit normal, tetapi hanya mencapai 80% kekuatan regang kulit normal. Untuk
mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen
yang diproduksi dengan yang dipecah. Kolagen yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya penebalan jaringan parut atau hypertrophicscar,
sebaliknya produksi kolagen yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan
parut dan luka tidak akan menutup dengan sempurna.
D. Perubahan Psikologis Masa Nifas
Reva Rubin (1997) dalam Ari Sulistyawati (2009) membagi periode ini menjadi 3 bagian,
antara lain:
1. Taking In (istirahat/penghargaan)
Sebagai suatu masa keter-gantungan dengan ciri-ciri ibu membutuhkan tidur yang
cukup, nafsu makan meningkat, menceritakan pengalaman partusnya berulang-ulang
dan bersikap sebagai penerima, menunggu apa yang disarankan dan apa yang
diberikan. Disebut fase taking in, karena selama waktu ini, ibu yang baru melahirkan
memerlukan perlindungan dan perawatan, fokus perhatian ibu terutama pada dirinya
sendiri. Pada fase ini ibu lebih mudah tersinggung dan cenderung pasif terhadap
lingkungannya disebabkan kare-na faktor kelelahan. Oleh karena itu, ibu perlu cukup
istirahat untuk mencegah gejala kurang tidur. Di samping itu, kondisi tersebut perlu
dipahami dengan menjaga komunikasi yang baik.
2. Fase Taking On/Taking Hold (dibantu tetapi dilatih),
Terjadi hari ke 3 - 10 post partum. Terlihat sebagai suatu usaha ter-hadap pelepasan
diri dengan ciri-ciri bertindak sebagai pengatur penggerak untuk bekerja, kecemasan
makin menguat, perubah-an mood mulai terjadi dan sudah mengerjakan tugas
keibuan. Pada fase ini timbul kebutuhan ibu untuk mendapatkan perawatan dan
penerimaan dari orang lain dan keinginan untuk bisa melakukan segala sesuatu secara
mandiri. Ibu mulai terbuka untuk menerima pendidikan kesehatan bagi dirinya dan
juga bagi bayinya. Pada fase ini ibu berespon dengan penuh semangat untuk
memperoleh kesempatan belajar dan berlatih tentang cara perawatan bayi dan ibu
memi-liki keinginan untuk merawat bay-inya secara langsung.
3. Fase Letting Go (berjalan sendiri dilingkungannya)
Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya yang
berlangsung setelah 10 hari postpartum. Periode ini biasanya setelah pulang kerumah
dan sangat dipengaruhi oleh waktu dan perha-tian yang diberikan oleh keluarga. Pada
saat ini ibu mengambil tugas dan tanggung jawab terhadap per-awatan bayi sehingga
ia harus beradaptasi terhadap kebutuhan bayi yang menyebabkan berkurangnya hak
ibu, kebebasan dan hubungan sosial.
E. Tanda dan Gejala
Menurut Masriroh (2013) tanda dan gejala masa post partum adalah sebagai berikut: a.
Organ-organ reproduksi kembali normal pada posisi sebelum kehamilan.
b. Perubahan-perubahan psikologis lain yang terjadi selama kehamilan berbalik
(kerumitan).
c. Masa menyusui anak dimulai.
d. Penyembuhan ibu dari stress kehamilan dan persalinan di asumsikan sebagai tanggung
jawab untuk menjaga dan mengasuh bayinya.
F. Kunjungan Masa Nifas
Kunjungan masa nifas paling sedikit 4 kali, kunjungan masa nifas dilakukan untuk
menilai status kesehatan ibu dan bayi baru lahir (Saifuddin, 2010)
Penatalaksanaan Menurut Masriroh (2013) penatalaksanan yang diperlukan untuk klien
dengan post partum adalah sebagai berikut:
a. Meperhatikan kondisi fisik ibu dan bayi.
b. Mendorong penggunaan metode-metode yang tepat dalam memberikan makanan pada
bayi dan mempromosikan perkembangan hubungan baik antara ibu dan anak.
c. Mendukung dan memperkuat kepercayaan diri si Ibu dan memungkinkannya mingisi
peran barunya sebagai seorang Ibu, baik dengan orang, keluarga baru, maupun budaya
tertentu.
G. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang yaitu (Mitayani. 2009):

a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan sedini mungkin untuk mengetahui kadar
hemoglobin darah yang berhubungan dengan jumlah kehilangan darah
b. USG
dilakukan untuk memastikan adanya plasenta yang tertinggal
H. Penatalaksanaan Medis
a. Observasi ketat 2 jam post partum (adanya komplikasi perdarahan)
b. 6-8 jam pasca persalinan : istirahat dan tidur tenang, usahakan miring kanan kiri
c. Hari ke- 1-2 : memberikan KIE kebersihan diri, cara menyusui yang benar dan
perawatan payudara, perubahan-perubahan yang terjadi pada masa nifas,
pemberian informasi tentang senam nifas.
d. Hari ke- 2 : mulai latihan duduk
e. Hari ke- 3 : diperkenankan latihan berdiri dan berjalan
(Prawiroharjo, Sarwono. 2009.)
LAPORAN PENDAHULUAN

SECTIO SESAREA

KONSEP DASAR
A. Pengertian Sectio Sesarea
Sectio sesarea adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi
pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta
berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009). Sectio caesaria adalah pembedahan untuk
melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer, 2002)
Disproporsi Kepala Panggul mencakup panggul sempit, fetus yang tumbuhnya
terlampau besar, atau adanya ketidakseimbangan relatif antara ukuran bayi dan ukuran
pelvis. Yang ikut menimbulkan masalah disproporsi adalah bentuk pelvis, presentasi fetus
serta kemampuannya untuk moulage atau masuk panggul, kemampuan terdilatasi pada
serviks dan keefektifan kontraksi uterus (Oxorn, 2010).

B. Jenis-Jenis Operasi Sectio Caesarea


1. Abdomen (sectio caesarea abdominalis)
a. SC klasik atau corporal, dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus
uteri kira-kira 10 cm. Kelebihannya antara lain : mengeluarkan janin dengan cepat,
tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik, dan sayatan bisa
diperpanjang proksimal dan distal. Sedangkan kekurangannya adalah infeksi mudah7
menyebar secara intraabdominal karena tidak ada peritonealis yang baik, untuk
persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi ruptur uteri spontan.
b. SC ismika atau profundal, dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat
pada segmen bawah rahim (low servikal transversal) kira-kira 10 cm. Kelebihan dari
sectio caesarea ismika, antara lain : penjahitan luka lebih mudah, penutupan luka
dengan reperitonealisasi yang baik, tumpang tindih dari peritoneal flop baik untuk
menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum, dan kemungkinan rupture uteri
spontan berkurang atau lebih kecil. Sedangkan kekurangannya adalah luka melebar
sehingga menyebabkan uteri pecah dan menyebabkan perdarahan banyak, keluhan
pada kandung kemih post operasi tinggi.
c. SC ekstra peritonealis, yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dan tidak
membuka cavum abdominal.
2. Vagina (sectio caesarea vaginalis)
Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan dengan sayatan
memanjang (longitudinal), sayatan melintang (transversal), atau sayatan huruf T (T
insision) (Hanifa, 2007).

C. Etiologi
Menurut Sulaiman (2015), penyebab dari timbulnya kelainan panggul seseorang
adalah sebagai berikut :

a. Kelainan karena gangguan pertumbuhan


1) Panggul sempit seluruh
2) Panggul picak
3) Panggul sempit picak
4) Panggul corong
5) Panggul belah yaitu symfisis terbuka.
b. Kelainan karena penyakit tulang panggul atau sendi-sendinya
1) Panggul Rachitis
2) Panggul osteomalasia
3) Radang artikulasi sakroiliaka
c. Kelainan panggul disebabkan kelainan tulang belakang
1) Kifosis
2) Skoliosis
d. Kelainan panggul disebabkan kelainan anggota bawah
1) Koksitis
2) Luksasi
3) Atrofi
D. Indikasi
1) Power
Keadaan ibu harus dilakukan SC jika daya mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung
atau penyakit menahun lain yang mempengaruhi tenaga.
2) Passage
- Cepalo pelvic disproportion / disproporsi kepala panggul yaitu apabila bayi terlalu besar
atau pintu atas panggul terlalu kecil sehingga tidak dapat melewati jalan lahir dengan
aman, sehingga membawa dampak serius bagi ibu dan janin
- Plasenta previa  yaitu plasenta melekat pada ujung bawah uterus sehingga menutupi
serviks sebagian atau seluruhnya, sehingga ketika serviks membuka selama persalinan
ibu dapat kehilangan banyak darah, hal ini sangat berbahaya bagi ibu maupun janin
- Tumor pelvis (obstruksi jalan lahir), dapat menghalangi jalan lahir akibatnya bayi tidak
dapat dikeluarkan lewat vagina
- Ruptura uteri imminent (mengancam) yaitu adanya ancaman akan terjadi ruptur uteri bila
persalinan dilakukan dengan persalinan sponta
- Kegagalan persalinan: persalinan tidak maju dan tidak ada pembukaan, disebabkan
serviks yang kaku, seringterjadi pada ibu primi tua atau jarak persalian yang lama (lebih
dari delapan tahun)
- Penyakit ibu (eklamsia/ preeklamsi yang berat, DM, penyakit jantung, kanker cervikal),
pembedahan rahim sebelumnya (riwayat sectio caesarea, ruptur rahim yang sebelumnya,
miomektomi), sumbatan jalan lahir
- Merupakan SC yang kedua : jarak persalinan SC sebelumnya < 2 tahun
3) Passanger
- Janin besar yaitu bila berat badan bayi lebih dari 4000 gram, sehingga sulit
melahirkannya
- Kelainan gerak, presentasi atau posisi ideal persalinan pervaginam adalah dengan kepala
ke bawah/ sefalik
- Gawat janin, janin kelelahan dan tidak ada kemajuan dalam persalinan
- Hidrocepalus dimana terjadi penimbunan cairan serebrospinalis dalam ventrikel otak
sehingga kepala menjadi lebih besar serta terjadi peleberan sutura-sutura dan ubun-ubun,
kepala terlalu besar sehingga tidak dapat berakomodasi dengan jalan lahir.
E. Kontraindikasi
Menurut Oxorn (2006), kontra indikasi dilakukan sectio cecarea yaitu :
1. Kalau janin sudah mati atau berada dalam keadaan jelek sehingga kemungkinan hidup
kecil. Dalam keadaan ini tidak ada alasan untuk melakukan operasi berbahaya yang tidak
diperlukan.
2. Kalau janin lahir, ibu mengalami infeksi yang luas dan fasilitas untuk sectio cecarea
ektra peritoneal tidak tersedia
3. Kalau dokter bedahnya tidak berpengalaman, kalau keadaannya tidak menguntungkan
bagi pembedahan atau kalau tidak tersedia tenaga asisten.

F. PATOFISIOLOGI
Adanya beberapa kelainan atau hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan bayi
tidak dapat lahir secara normal atau spontan, misalnya plasenta previa sentralis dan
lateralis, panggul sempit, Cephalopelvik Disproportion, rupture uteri mengancam, partus
lama, partus tidak maju, pre-eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi
tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea
(SC). Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan menyebabkan pasien
mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah intoleransi aktivitas. Efek
anestesi juga dapat menimbulkan otot relaksasi dan menyebabkan konstipasi. Kurangnya
informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi akan
menimbulkan masalah ansietas pada pasien. Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan
dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya
inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini
akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan rasa
nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup dan
menimbulkan luka post SC, yang bila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan
masalah resiko infeksi. Setelah kelahiran bayi prolaktin dan oksitosin meningkat
menyebabkan efeksi ASI, efeksi ASI yang tidak adekuat menimbulkan masalah
ketidakefektifan pemberian ASI pada bayi.
G. Komplikasi
Komplikasi dilakukannya sectio cecarea menurut Wiknjosastro (2011) antara lain:
1. Infeksi puerperal, dibagi menjadi 3 yaitu :
a. Ringan, kenaikan suhu beberapa hari saja
b. Sedang, kenaikan suhu lebih tinggi disertai dehidrasi dan perut sedikit kembung
c.Berat dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik
2. Perdarahan disebabkan oleh banyak pembuluh darah yang terputus, terbuka, atonia uteri
serta perdarahan pada placental bed
3. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan bila reperitoneali
4.Kemungkinan ruptur uteri spontan pada kehamilan sekarang.
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ibu post partum sectio cecarea menurut Sectio Caesarea menurut
(Manuaba 2012) adalah:
adalah :
1. Observasi kesadaran penderita
a. Pada anestesi lumbal, kesadaran penderita baik oleh ahli bedah karena ibu dapat
mengetahui hampir semua proses persalinan
b. Pada anestesi umum, pulihnya kesadaran oleh ahli bedah diatasi dengan memberikan
oksigen menjelang akhir operasi.
2. Mengukur dan memeriksa tanda-tanda vital (TTV)
a. Pengukuran meliputi tensi, nadi, suhu, pernafasan (tiap 15 menit dalam 1 jam
pertama, kemudian 30 menit dalam 1 jam berikutnya dan selanjutnya tiap jam).
Keseimbangan cairan melalui produksi urin dengan perhitungan (produksi urin
normal 500-600 cc, pernafasan 500-600 cc, penguapan badan 900-1000 cc).
Pemberian cairan pengganti sekitar 2000-2500 cc dengan perhitungan 20 tetes
permenit (1 cc permenit), infus setelah operasi sekitar 2 x 24 jam.
b. Pemeriksaan paru meliputi (kebersihan jalan nafas, ronkhi basah untuk mengetahui
adanya edema perut), bising usus menandakan berfungsinya usus (dengan adanya
flatus), perdarahan lokal pada luka operasi, kontraksi rahim untuk menutup
pembuluh darah dan perdarahan pervaginam.
c. Perawatan luka insisi
(1) Luka insisi dibersihkan di desinfeksi lalu ditutup dengan kain penutup luka,
secara periodik luka dibersihkan dan diganti.
(2) Jahitan diangkat pada hari ke 6-7 post operasi, diperhatikan apakah luka sembuh
atau dibawah luka terdapat eksudat. Jika luka dengan eksudat sedikit ditutup
dengan band aid operative dressing. Luka dengan eksudat sedang ditutup
dengan regal filmated swaba, sedangkan luka dengan eksudat banyak ditutup
dengan surgical pads atau dikompres dengan cairan suci hama lainnya,
sedangkan untuk memberikan kenyamanan bergerak bagi penderita sebaiknya
pakai gurita.
d. Diit
(1) Pemberian cairan per infus biasanya dihentikan setelah pasien flatus, lalu
dimulaidengan pemberian makanan dan minuman oral.
(2) Pemberian sedikit minum sudah dapat diberikan 6-10 jam pasca bedah berupa
airputih atau air teh.
(3) Setelah cairan infus dihentikan berikan makanan bubur saring, minum air buah
dan susu kemudian secara bertahap makanan lunak dan nasi biasa
(4) Ibu menyusui harus mengkonsumsi tambahan kalori 500 kalori tiap hari, makan
dengan diit berimbang untuk mendapatkan protein, mineral, vitamin yang
cukup, minum sedikitnya 3 liter air setiap hari, pil zat besi selama 40 hari pasca
operasi atau persalinan dan kapsul vitamin A (200.000 unit).
e. Nyeri
Sejak penderita sadar, dalam 24 jam pertama nyeri masih dirasakan di daerah
operasi, untuk mengurangi nyeri diberikan obat anti nyeri, penenang seperti pethidin IM
dengan dosis 100-150 mg atau morfin sebanyak 10-15 mg atau secara infus. Setelah hari
pertama atau kedua rasa nyeri akan hilang sendiri.
f. Mobilisasi
1. Mobilisasi secara bertahap berguna untuk membantu penyembuhan penderita secara
psikologis. Hal ini memberikan kepercayaan pada penderita bahwa dia mulai
sembuh.
2. Miring ke kanan dan kekiri dimulai 6-10 jam pasca operasi (setelah sadar)
3. Hari ke 2 penderita dapat duduk selama 5 menit dan hari ke 3-5 mulai berjalan

g. Eliminasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa tidak nyaman dan dapat
menghalangi involusi uterus karena itu dianjurkan pemasangan kateter tetap. Bila tidak
dipasang, dilakukan kateterisasi rutin kira-kira 12 jam pasca operasi, kecuali jika pasien
dapat kencing sendiri sebanyak 8-9 jam. Buang air besar (BAB) biasanya tertunda
selama 2-3 hari setelah melahirkan karena edema pre-persalinan, diit cairan, obat-obatan
dan analgetika selama persalinan. Diharapkan bila belum BAB anjurkan pada pasien
untuk mengkonsumsi buah dan sayuran, minum air dalam jumlah lebih dari biasa,
berikan obat pelunak feses, laksatif ringan.
LAPORAN PENDAHULUAN KPP

KONSEP DASAR

A. Definisi

Ketuban Pecah Dini (KPD) atau biasa disebut dengan (PROM, Premature Rupture
of Membrane) merupakan suatu kondisi dimana ketuban pecah sebelum proses
persalinan dengan usia gestasi ≥37 minggu. Namun jika ketuban pecah pada usia
gestasi <37 minggu disebut ketuban pecah dini pada kehamilan premature (PPROM,
Preterm Premature Rupture of Membrane) (Tanto, 2014). Ketuban Pecah Dini (KPD)
merupakan keluarnya cairan dari jalan lahir sebelum proses persalinan. KPD dibedakan
menjadi dua yaitu ketuban pecah premature (PROM) dan ketuban pecah premature
pada preterm (PPROM). Insiden PROM dapat terjadi pada 6-19% kehamilan sedangkan
insiden PPROM tejadi pada 2% kehamilan (Khumaira, 2012).
KPD dalam keadaan normal akan pecah menjelang proses persalinan yaitu terjadi
pada pembukaan <4 cm (fase laten). Ketuban Pecah Dini dapat terjadi pada akhir
kehamilan maupun jauh sebelum waktu melahirkan. KPD preterm merupakan KPD
yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD
yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktu melahirkan (Nugroho, 2012). Normalnya
selaput ketuban akan pecah pada akhir kala 1 atau awal kala 2 persalinan. Ketuban juga
dapat pecah sampai saat mengedan, sehingga harus dilakukan amniotomi (memecahkan
ketuban) (Norma, 2013).
KPD merupakan komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan kurang bulan,
KPD mempunyai kontribusi besar pada angka kematian bayi yang kurang bulan.
Pengelolaan KPD pada kehamilan kurang dari 34 minggu sangat komplek hal ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya prematuritas dan RDS (Respiratory Distress
Syndrome) (Sujiyanti, 2009). Sedangkan pada dasarnya fungsi cairan amnion menurut
Khumaira (2012) adalah

1. Proteksi, berfungsi untuk melindung janin terhadap trauma dari luar

2. Mobilisasi, berfungsi untuk memungkinkan ruang gerak bagi janin

3. Homeostasis, berfungsi untuk menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan


asam-basa (pH) dalam rongga amnion. Hal ini berfungsi agar kondisi lingkungan
optimal bagi janin
4. Mekanik, berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan dalam seluruh
ruangan intrauteri (terutama pada persalinan)
5. Pada persalinan, berfungsi untuk membersihkan atau melicinkan jalan lahir
dengan cairan steril sehingga melindungi bayi dari kemungkinan infeksi jalan
lahir. Keadaan normal cairan amnion antara lain :
a. Volume 1000-1500 cc pada kehamilan cukup bulan;
b. Keadaan jernih sedikit keruh;
c. Steril;
d. Memiliki bau khas, sedikit manis dan amis;
e. Terdiri atas 98-99% air, 1- 2% gamma organik dan bahan organik (protein
terutama albumin), runtuhan rambut lanugo, verniks kaseosa dan sel-sel
epitel;
f. Sirkulasi sekitar 500 cc/jam.
B. Etiologi

Penyebab KPD masih belum diketahui secara pasti. Namun ada beberapa faktor
yang berhubungan dengan kejadian ketuban pecah dini. Kemungkinan faktor
predisposisinya antara lain (Nugroho, 2012) :
a. Infeksi dapat terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun assenden dari
vagina atau infeksi pada cairan ketuban sehingga bisa menyebabkan KPD.
b. Servik yang inkompetensia, kanalis servikalis yang selalu terbuka oleh karena
kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, curettage)
c. Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
(overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gamelli.
d. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun
amniosintesis menyebabkan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi.
e. Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang
menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap
membran bagian bawah
f. Keadaan sosial ekonomi

g. Faktor lain seperti (Nugroho, 2012); (Norma, 2013); (Sujiyatini, 2009):


1. Faktor golongan darah, akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak
sesuai dapat menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jaringan
kulit ketuban
2. Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu.

3. Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum

4. Defisiensi gizi dari tembaga atau asam askorbat (vitamin C)


Penyebab KPD sebagian besar belum ditemukan. Faktor yang berkaitan dengan
KPD antara lain riwayat kelahiran premature, merokok perdarahan selama kehamilan.
Faktor risiko KPD (Norma, 2013); (Nugroho, 2012); (Sujiyatini, 2009) antara lain :
1. Inkompetensi serviks (leher Rahim);
2. Polihidramnion (cairan ketuban berlebihan);
3. Riwayat KPD sebelumnya;
4. Kelainan atau kerusakan selaput ketuban;
5. Kehamilan kembar;
6. Trauma;
7. Serviks (leher Rahim) yang pendek (<25 mm) pada usia kehamilan 23
minggu;
8. Infeksi pada kehamilan seperti bacterial vaginosis

C. Patofisiologis
Ketuban pecah dini dapat terjadi karena berkurangnya kekuatan membran atau
penambahan tekanan intrauteri atau disebabkan keduanya. Penyebab independen dari
ketuban pecah dini karena tekanan intrauteri yang kuat sedangkan selaput ketuban
yang tidak kuat disebabkan kurangnya jaringan ikat dan vaskularisasi sehingga mudah
rapuh dan mudah mengeluarkan air ketuban.
Selaput ketuban dapat pecah disebabkan adanya kontraksi dari uterus dan
peregangan berulang yang menyebabkan selaput ketuban inferior mudah rapuh
sehingga ketuban menjadi pecah. Salah satu faktor risiko dari ketuban pecah dini adalah
kurangnya asam karbonat yang merupakan komponen dari kolagen. Pada ibu hamil
dengan trimester awal selaput ketuban masih kuat. Namum pada trimester selanjutnya
terutama trimester ketiga selaput ketuban menjadi mudah rapuh dan dapat pecah, hal ini
berkaitan dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim dan gerakan janin. Ketuban pecah
dini pada kehamilan prematur disebabkan karena infeksi dari vagina, polihidramnion,
inkompeten serviks dan penyebab lainnya (Tanto, 2014).
D. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang terjadi pada ketuban pecah dini antara lain
1. Keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina
2. Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak
3. Cairan ketuban dapat keluar secara merembes atau menetes dengan ciri pucat
dan bergaris warna darah
4. Cairan yang keluar tidak akan berhenti atau kering karena cairan ini masih terus
diproduksi sampai kelahiran
5. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin
bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi (Nugroho, 2012);
(Norma, 2013).
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dilakukan sebagai langkah untuk penilaian awal pada ibu
hamil dan janin yaitu :

1. Memastikan diagnosis;

2. Menentukan usia kehamilan;

3. Evaluasi infeksi maternal atau janin, pertimbangkan apakah butuh antibiotik


atau tidak terutama jika ketuban pecah sudah lama;

4. Dalam kondisi inpartu, apakah ada gawat janin atau tidak (Tanto, 2014).
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan (Sujiyatini, 2009); (Norma,
2013); (Khumaira, 2012) :
1. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (>37 minggu)

Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru-paru sudah


matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsis pada janin merupakan
penyebab meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Penatalaksanaan yang
dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik profilaksis bertujuan untuk
pencegahan terhadap chorioamnionitis. Waktu pemberian antibiotik segera
setelah diagnosis KPD ditegakkan dengan pertimbangan :
a. Tujuan profilaksis untuk mencegah infeksi

b. Jika KPD lebih dari 6 jam infeksi akan terjadi

c. Sementara proses persalinan umumnya berlangsung selama 6 jam

d. Beberapa menyarankan untuk dilakukan induksi persalinan segera atau


ditunggu sampai 6-8 jam setelah ketuban pecah dengan alasan pasien akan
inpartu dengan sendirinya.
2. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (<37 minggu)
Infeksi janin pada kehamilan cukup bulan berhubungan langsung dengan lama
pecahnya selaput ketuban atau lamanya periode laten. Penatalaksanaan KPD pada
kehamilan preterm tanpa ada tanda infeksi yaitu :

a. Penatalaksanaanya bersifat konservatif disertai pemberian antibiotik sebagai


profilaksis
b. Penderita di rawat dirumah sakit

c. Ditidurkan dalam posisi trendelenberg

d. Tidak dilakukan Vaginal Touche (VT) untuk mencegah infeksi.

Tujuan penatalaksanaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid ialah


agar tercapai pematangan paru untuk menurunkan kejadian RDS (Respiratory
Distress Syndrome), jika selama tindakan konservatif muncul tanda infeksi maka
dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur kehamilan. Jika induksi
gagal maka dilakukan tindakan sectio sesarea. Penatalaksanaan konservatif
meliputi pemeriksaan leukosit tiap hari, tanda-tanda vital tiap 4 jam, pantau DJJ,
pemberian antibiotik tiap 6 jam. Penatalaksanaan KPD menurut (Nugroho, 2012);
(Khumaira, 2012); (Tanto, 2014) :

a. Penatalaksanaan konservatif

1. Rawat dirumah sakit

2. Beri antibiotik : bila ketuban pecah >6 jam (ampisillin 4x500 mg atau
gentamisin 1x80 mg)
3. Umur kehamilan <32-34 minggu : dirawat selama air ketuban masih
keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi
4. Bila usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid untuk memacu
pematangan paru, namun jika masih keluar cairan ketuban, maka usia
35 minggu dilakukan terminasi kehamilan
5. Nilai tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda infeksi intrauterine)
b. Penatalaksanaan aktif

1. Kehamilan >35 minggu : induksi oksitosin, bila gagal lakukan SC Cara


induksi : 1 ampul syntocinon dalam dektrose 5%, dimulai 4
tetes/menit, tiap ¼ jam dinaikkan 4 tetes sampai maksimum 40
tetes/menit.
2. Pada keadaan letak lintang dilakukan SC

3. Bila ada tanda infeksi : beri antibiotik dosis tinggi dan akhiri
persalinan.
F. Komplikasi

Komplikasi ketuban pecah dini yang berpengaruh terhadap ibu dan janin adalah
(Khumaira, 2012) :
a. Prognosis ibu, Dampak KPD bagi ibu antara lain :

1. Infeksi intrapartal / dalam persalinan, jika terjadi infeksi dan kontraksi


ketuban pecah maka bisa menyebabkan sepsis yang selanjutnya dapat
mengakibatkan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas;

2. Infeksi puerperalis/ masa nifas;

3. Dry labour / partus lama;

4. Perdarahan post partum;

5. Meningkatkan tindakan operatif obstetric;

6. Morbiditas dan mortalitas maternal


b. Prognosis janin

Dampak KPD bagi bayi antara lain :

1. Prematuritas

Masalah yang berisiko terjadi pada persalinan prematur antara lain


respiratory distress syndrome, neonatal feeding problem, hypothermia,
retinophaty of prematurity, necrotizing enterocolitis, intraventricular
hemorrhage, brain disorder sepsis, anemia, hyperbilirubinemia.
2. Prolapse funiculli/ penurunan tali pusat

Pecahnya ketuban dapat terjadi oligohidramnion sehingga tali pusat


tertekan dan terjadi hipoksia. Semakin sedikit volume air ketuban maka janin
semakin dalam keadaan gawat (Tanto, 2014).
3. Hipoksia dan asfiksia sekunder (kekurangan oksigen pada bayi).
Hal ini dapat mengakibatkan kompresi tali pusat, partus lama,
ensefalopaty, perdarahan intracranial, respiratory distress, renal failure,
cerebral palsy, apgar score rendah, prolapse uteri.

4. Sindrom deformitas janin


Hal ini terjadi akibat oligohidramnion sehingga dapat menyebabkan
hypoplasia paru, deformitas ekstermitas dan pertumbuhan janin terhambat.

5. Morbiditas dan mortalitas perinatal


G. Diagnosa
Diagnosa ketuban pecah dini dapat diketahui dengan cara (Tanto, 2014)

1. Anamnesa, dilakukan dengan cara menanyakan kepada ibu hamil mengenai


tanda-tanda persalinan seperti riwayat keluarnya cairan dari vagina, warna
cairan dan cairan berbau khas.
2. Inspeksi, dilakukan pengamatan dengan mata biasa untuk mengetahui
keluarnya cairan, jumlah cairan yang keluar.
3. Pemeriksaan dengan spekulum, merupakan pemeriksaan untuk melihat
adanya cairan ketuban keluar dari kavum uteri. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan cara meminta pasien untuk batuk atau mengedan atau menggerakkan
sedikit bagian terbawah janin.
4. Vaginal Touche (VT) tidak dianjurkan kecuali pasien diduga inpartu. Hal ini
VT akan meningkatkan insidensi korioamnionitis, postpartum endometritis
dan infeksi neonatus. Selain itu juga memperpendek periode laten (waktu dari
ruptur hingga terjadinya proses persalinan).
H. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan menurut (Tanto, 2014); (Nugroho,


2012); (Norma, 2013); (Sujiyatini, 2009) :

a. Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan cara :

1. Mengecek warna, konsentrasi bau dan pH cairan. Pengukuran pH cairan


dilakukan dengan cara menggunakan kertas lakmus (Nitrazin Test). Bila ada
cairan ketuban maka kertas lakmus akan berubah dari warna merah menjadi
warna biru. Selama kehamilan pH normal vagina yaitu 4,5-6 sedangkan pH
cairan amnion 7,1- 7,3.
2. Mikroskopik (tes pakis), dilakukan dengan cara meneteskan air ketuban pada
gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
gambaran daun pakis.
b. Pemeriksaan USG, dilakukan untuk mengetahui jumlah cairan ketuban serta
mengkonfirmasi adanya oligohidramnion. Normal volume cairan ketuban antara
250-1200 cc.
c. Hindari adanya infeksi, infeksi terjadi apabila suhu badan ibu >37,50C, air
ketuban keruh dan berbau, leukosit >15000/mm3.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian Keperawatan
Dokumentasi pengkajian merupakan catatan hasil pengkajian yang dilaksanakan untuk
mengumpulkan informasi dari pasien, membuat data dasar tentang klien dan membuat catatan
tentang respon kesehatan klien (Hidayat, 2010).

1. Identitas atau biodata klien Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku
bangsa, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit nomor
register, dan diagnosa keperawatan.

2. Riwayat kesehatan

a. Riwayat kesehatan dahulu Penyakit kronis atau menular dan menurun seperti
jantung, hipertensi, DM, TBC, hepatitis, penyakit kelamin atau abortus.

b. Riwayat kesehatan sekarang Riwayat pada saat sebelun inpartus didapatkan cairan
ketuban yang keluar pervagina secara spontan kemudian tidak diikuti tanda-tanda
persalinan.

c. Riwayat kesehatan keluarga Adakah penyakit keturunan dalam keluarga keluarga


seperti jantung, DM, HT, TBC, penyakit kelamin, abortus, yang mungkin
penyakit tersebut diturunkan kepada klien

d. Riwayat psikososial Riwayat klien nifas biasanya cemas bagaimana cara merawat
bayinya, berat badan yang semakin meningkat dan membuat harga diri rendah.

3. Pola-pola fungsi kesehatan

a. Pola persepsi dan tata leksana hidup sehat Karena kurangnya pengetahuan klien
tentang ketuban pecah dini, dan cara pencegahan, penanganan, dan perawatan
serta kurangnya mrnjaga kebersihan tubuhnya akan menimbulkan masalah dalam
perawatan dirinya.

b. Pola nutrisi dan metabolisme Pada klien nifas biasanaya terjadi peningkatan nafsu
makan karena dari keinginan untuk menyusui bayinya.

c. Pola aktifitas Pada pasien pos partum klien dapat melakukan aktivitas seperti
biasanya, terbatas pada aktifitas ringan, tidak membutuhkan tenaga banyak, cepat
lelah, pada klien nifas didapatkan keterbatasan aktivitas karena mengalami
kelemahan dan nyeri.

d. Pola eleminasi Pada pasien pos partum sering terjadi adanya perasaan sering
/susah kencing selama masa nifas yang ditimbulkan karena terjadinya odema dari
trigono, yang menimbulkan inveksi dari uretra sehingga sering terjadi konstipasi
karena penderita takut untuk melakukan buang air besar (BAB).

e. Pola istirahat dan tidur Pada klien intra partum terjadi perubahan pada pola
istirahat dan tidur karena adanya kontraksi uterus yang menyebabkan nyeri
sebelum persalinan.

f. Pola hubungan dan peran Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien
dengan keluarga dan orang lain.

g. Pola penagulangan stres Biasanya klien sering merasa cemas dengan kehadiran
anak.

h. Pola sensori dan kognitif Pola sensori klien merasakan nyeri pada perut akibat
kontraksi uterus pada pola kognitif klien intrapartum G1 biasanya akan
mengalami kesulitan dalam hal melahirkan, karena belum pernah melahirkan
sebelumnya.

i. Pola persepsi dan konsep diri Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan
kehamilanya, lebih-lebih menjelang persalinan dampak psikologis klien terjadi
perubahan konsep diri antara lain dan body image dan ideal diri

j. Pola reproduksi dan sosial Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam
hubungan seksual atau atau fungsi dari seksual yang tidak adekuat karena adanya
proses persalinan dan nifas.

k. Pola tata nilai dan kepercayaan. Biasanya pada saat menjelang persalinan dan
sesudah persalinan klien akan terganggu dalam hal ibadahnya karena harus bedres
total setelah partus sehingga aktifitas klien dibantu oleh keluarganya (Asrining,
dkk. 2003).
4. Pemeriksaan fisik

a. Kepala Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang terdapat


adanya cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan

b. Leher Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar tiroid, karena


adanya proses menerang yang salah.

c. Mata Terkadang adanya pembengkakan pada kelopak mata, konjungtiva, dan


kadang-kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena proses persalinan
yang mengalami perdarahan, sklera kuning.

d. Telinga Biasanya bentuk telinga simetris atau tidak, bagaimana kebersihanya,


adakah cairan yang keluar dari telinga.

e. Hidung Adanya polip atau tidak dan apabila pada pos partum kadang-kadang
kadang ditemukan pernapasan cuping hidung

f. Dada Terdapat adanya pembesaran payudara, adanya hiperpigmentasi areola


mamae dan papila mamae.

g. Abdomen Pada klien nifas abdomen kendor kadang-kadang striae masih terasa
nyeri. Fundus uteri 3 jari dibawa pusat.

h. Genitalia Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila terdapat
pengeluaran mekomium yaitu feses yang dibentuk anak dalam kandungan
menandakan adanya kelainan letak anak.

i. Anus Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena ruptur.

j. Ekstermitas Pemeriksaan odema untuk melihat kelainan-kelainan karena


membesarnya uterus, karena preeklamsia atau karena penyakit jantung atau ginjal.

k. Muskuluskeletal Pada klien post partum biasanya terjadi keterbatasan gerak


karena adanya luka episiotomi.

l. Tanda-tanda vital Apabila terjadi perdarahan pada pos partum tekanan darah
turun, nadi cepat, pernafasan meningkat, suhu tubuh turun (Manuaba, 2013).

b. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (post op SC)

b. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri

c. Menyusui tidak efektif b.d ketidakadekuatan suplai ASI

d. Risiko Infeksi b.d ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer (ketuban pecah


sebelum waktunya.
c. Intervensi Keperawatan

Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1 Nyeri akut b.d Tujuan: 1.8238 Manajemen Nyeri
agen pencedera Setelah dilakukan asuhan keperawatan …x24 jam diharapkan Observasi
fisik (post op SC) L. 08066 Tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil:  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
1. Keluhan nyeri frekuensi, kualitas, dan intensitas nyeri.
 Identifikasi skala nyeri
Cukup  Identifikasi respon nyeri non verbal
Cukup
Meningkat Meningka Sedang Menurun  Identifikasi faktor yang memperberat dan
Menurun
t memperingan nyeri
1 2 3 4 5  Monitor terapi komplementer yang telah
diberikan.
2. Gelisah menurun  Monitor efek samping penggunaan analgesic
Cukup Terapeutik
Cukup  Berikan Teknik non farmakologi untuk
Meningkat Meningka Sedang Menurun
Menurun mengurangi rasa nyeri
t
1 2 3 4 5  Control lingkungan yang memperberat nyeri
 Fasilitasi istirahat dan tidur
3. Kesulitan tidur Edukasi
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
Cukup  Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
Cukup
Meningkat Meningka Sedang Menurun  Anjurkan menggunakan analgesik secara tepa
Menurun
t Kolaborasi
1 2 3 4 5  Kolaborasi pemberian analgesic, jika perlu

4. Frekuensi nadi membaik


Cukup
Memburu Cukup
Memburu Sedang Membaik
k Membaik
k
1 2 3 4 5

5. Pola tidur cukup membaik


Cukup
Memburu Cukup
Memburu Sedang Membaik
k Membaik
k
1 2 3 4 5
2. Gangguan Tujuan: I.05173 Dukungan Mobilisasi
mobilitas fisik b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan …x24 jam diharapkan Observasi
nyeri L. 05042 Mobilitas Fisik meningkat dengan kriteria hasil:  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
1. Nyeri lainnya
Cukup  Identifikasi toleransi fisik melakukan
Cukup
Meningkat Meningka Sedang Menurun pererakan
Menurun
t  Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
1 2 3 4 5 sebelum memulai mobilisasi
 Monitor kondisi umum selama melakukan
2. Kecemasan mobilisasi
Cukup Terapeutik
Cukup  Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
Meningkat Meningka Sedang Menurun
Menurun  Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
t
1 2 3 4 5  Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan pergerakan
3. Gerakan terbatas Edukasi
Cukup  Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
Cukup  Anjurkan melakukan mobilisasi din
Meningkat Meningka Sedang Menurun
Menurun  Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
t
1 2 3 4 5 dilakukan

4. Kelemahan fisik
Cukup
Cukup
Meningkat Meningka Sedang Menurun
Menurun
t
1 2 3 4 5
3. Menyusui tidak Tujuan: I.12393 Edukasi Menyusui
efektif b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan …x24 jam diharapkan Observasi
ketidakadekuatan L. 03029 Status Menyusui membaik dengan kriteria hasil:  Identifikasi kesiapan dan kemampuan
suplai ASI 1. Kemampuan ibu memposisikan bayi dengan benar menerima informasi
Cukup Cukup  Identifikasi tujuan atau keinginan menyusui
Menurun Sedang Meningkat
Meningkat Meningkat Terapeutik
1 2 3 4 5  Sediakan materi dan media pendidikan
kesehatan
2. Perlekatan bayi pada payudara ibu  Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
Cukup Cukup kesepakatan
Menurun Sedang Meningkat  Berikan kesempatan untuk bertanya
Meningkat Meningkat
1 2 3 4 5  Dukung ibu meningkatkan kepercayaan diri
dalam menyusui
3. Suplai asi adekuat  Libatkan system pendukung
Cukup Cukup Edukasi
Menurun Sedang Meningkat
Meningkat Meningkat  Berikan konseling menyusui
1 2 3 4 5  Jelaskan manfaat menyusui bagi ibu dan bayi
 Ajarkan 4 posisi menyusui dan perlekatan
dengan benar
 Ajarkan perawatan payudara antepartum
dengan mengkompres dengan kapas yang
diberikan mnyak kelapa
 Ajarkan peawatan payudara post partum
4. Risiko Infeksi b.d Tujuan: I.14539 Pencegahan Infeksi
efek prosedur Setelah dilakukan asuhan keperawatan …x24 jam diharapkan Observasi
invasif L. 14128 Kontrol Risiko meningkat dengan kriteria hasil:  Monitor anda dan gejala infeksi local dan
1. Keampuan mencari informasi tentang faktor resiko iskemik
Terapeutik
Cukup Cukup
Menurun Sedang Meningkat  Batasi jumlah pengunjung
Meningkat Meningkat
 Berikan perawatan kulit pada area edema
1 2 3 4 5  Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan pasien dan lingkungan pasien
2. Kemampuan mengidentifikasi faktor resiko  Pertahankan teknik aseptic pada pasien
berisiko tinggi
Cukup Cukup Edukasi
Menurun Sedang Meningkat
Meningkat Meningkat  Jelaskan tanda dan gejala infeksi
1 2 3 4 5  Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
 Ajarkan etika batuk
3. Kemampuan melakukan strategi kontrol resiko  Ajarkan caramemeriksa kondisi luka atau luka
operasi
Cukup Cukup  Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Menurun Sedang Meningkat
Meningkat Meningkat  Anjurkan meningkatkan asupan cairan
1 2 3 4 5 Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian imunisai, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
XBrunner, & Suddarth. (2015). Buku Ajar Medikal Bedah Volume 1 (12th ed.). Jakarta: EGC.

Cunningham. (2013). Obstetri Williams. Jakarta: EGC.


PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Prawirohardjo, S. (2013). Ilmu Kebidanan Cetakan Ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Ramandany, P. F. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Ibu Post Operasi Sectio Caesarea Di Ruang Mawar Rsud a.W Sjahranie Samarinda.
Rini, S., & Kumala, F. (2017). Panduan Asuhan Nifas & Evidence Based Practice (1st ed.). Yogyakarta: Deepublish.
Sagita, F. E. (2019). Asuhan Keperawatan Ibu Post Partum Dengan Post Operasi Sectio Caesarea Di Ruangan Rawat Inap Kebidanan Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi Tahun 2019.
Sung, S., & Mahdy, H. (2021). Cesarean Section. StatPearls Publishing.
Wahyuningsih, H. P. (2018). Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui. Kementrian Kesehatan RI Pusdik SDM Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai