Anda di halaman 1dari 3

Bencana Letusan Gunung Api dan Upaya Pengurangan

Risiko
Oleh: ACMAD KURNIAWAN F.R
UNIVERSITAS NEGERI MALANG

Sudah menjadi fakta umum bahwa Indonesia dikelilingi oleh berbagai jenis bencana alam. Mulai
dari gempa bumi, tsunami, banjir bandang, tanah longsor, kekeringan hingga letusan gunung berapi.
Tatanan geologi dan tektonik Indonesia yang membentuk jalur gempa dan jalur gunung api dengan ribuan
titik pusat gempa dan ratusan gunung api misalnya akan terus menerus menjadi penyebab terjadinya
bencana alam berupa gempa bumi, tsunami dan gunung meletus (Harjono 2008:14; Priyono
2008).Beberapa bulan terakhir, bencana letusan disertai erupsi gunung berapi menjadi perhatian khusus
baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Hal ini dikarenakan dua gunung aktif yang berlokasi di
Kabupaten Karo, Sumatera Utara (Sinabung) dan Kediri, Jawa Timur (Kelud) saat ini sedang
menunjukkan keperkasaannya, bahkan erupsi kali ini menimbulkan korban jiwa.

Berbagai upaya terus dilakukan untuk menghadapi dan mengurangi risiko tersebut khususnya
bagi wilayah yang masuk dalam kawasan rawan bencana, baik yang bersifat individual maupun kolektif.
Namun, karena bencana selalu bersifat masif dan meluas, upaya pengurangan resiko bencana tersebut
akan bersifat strategis dan signifikan jika dilakukan secara kolektif, bukan suatu upaya yang bersifat
pribadi atau individu-individu dari mereka yang berada di wilayah rawan bencana. Dikatakan kolektif,
selalu berhubungan dengan kemampuan jaringan kekerabatan, ikatan sosial, dan peran kepemimpinan
bersama dalam membina dan mengendalikan masyarakat untuk satu pemahaman yang sama dalam
mengatasi bencana yang selalu mengancam di sekitar wilayah kehidupannya. Pemahaman ini akan
menjadi penting agar kesadaran dan gerak kerja pada upaya pengurangan resiko bencana dari masing-
masing anggota masyarakat tersebut terarah, strategis, efisien, efektif, koordinatif dan kooperatif. Artinya,
bencana memang tidak bisa ditolak kejadiannya oleh siapapun, tetapi dampak dari bencana tersebut dapat
dihindari berkat peran serta seluruh anggota masyarakat yang berada di wilayah bencana itu (Humaedi,
dkk., 2013).

 
Upaya ini telah terlihat di wilayah Kota Tomohon, Manado dalam menghadapi risiko bahaya
letusan Gunung Lokon. Sebagai contoh, keberadaan pemimpin lokal di wilayah ini turut berperan dalam
pengurangan risiko bencana letusan Gunung Lokon. Secara fungsional alami, kepemimpinan lokal
tradisional tentu akan lebih mudah diperhatikan dan diterima oleh kelompok masyarakat yang berada di
wilayah bencana, asalkan tidak ada permasalahan besar dalam bangunan kedekatan emosional dan
kesepahamannya. Sementara, kepemimpinan formal hanya dimaknai oleh masyarakat sebagai fungsional
struktural yang membuahkan ketundukan dan “ketidakrelaan” menjalankan arahan dan perintah baik
dalam bentuk “kebijakan dan program” tentang upaya pengurangan resiko bencana. Akibatnya, peran
pemimpin formal selalu bersifat artifisial (terbatas dan sementara) walaupun direncanakan dapat
dijalankan secara general bagi seluruh masyarakat yang berada di wiilayah rawan bencana (Humaedi,
dkk., 2013). Pada kasus Gunung Lokon, kerjasama antara para pemimpin formal dengan pemimpin lokal
tradisional setempat telah terjalin dengan baik. Pemimpin formal, khususnya aparat pemerintah desa yang
lebih siap daripada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) secara bergilir melakukan
pengawasan yang terhubung dengan sistem teknologi informasi, baik yang sederhana melalui toki-toki,
ataupun speaker gereja dan alarm desa. Hal ini dapat dijadikan contoh bagi wilayah lain yang juga
memiliki kerentanan terhadap bencana. Kepemimpinan yang paling efektif dalam kasus masyarakat
Tomohon yaitu kepemimpinan yang didasari oleh agama. Mereka bergerak dengan cara terapi healing,
membuat jaringan bantuan, dan menjadi penghubung antara pemerintah dan masyarakat. Di Kota
Tomohon peran gereja (pendeta) lebih banyak terlihat dikarenakan mayoritas penduduk Kota Tomohon
beragama Kristen, meskipun tidak dapat dipungkiri juga peran dari pemimpin agama lain seperti ustadz
atau pemimpin masjid di wilayah ini juga cukup berarti. Fungsi gereja, seperti halnya penelitian peran
masjid (Humaedi, 2011) sangat tampak pada saat tanggap darurat. Selain dalam hal keagamaan, para
pemimpin agama ini juga turut berperan dalam upaya pengurangan risiko bencana, diantaranya melalui
kegiatan sosialisasi bencana Gunung Lokon dan ikut serta dalam menyalurkan informasi pertanda bahaya
yang didapat dari aparat desa setempat dengan cara memberi peringatan melalui lonceng gereja.

Sebagai negara dengan wilayah yang dikelilingi oleh ancaman bencana, memang sudah
seharusnya kita memiliki upaya pengurangan risiko untuk menghindari dampak bencana yang lebih besar
lagi. Upaya tersebut dapat semakin efektif jika didukung peran aktif masyarakat yang berada di kawasan
rawan bencana. Kerjasama yang cukup baik antara pemimpin formal dan pemimpin lokal tradisional yang
terjadi di Kota Tomohon dalam hal pengurangan risiko bencana dapat menjadi contoh bagi wilayah lain
yang berada di lokasi rawan bencana. Bagaimana para pemimpin lokal tradisional yang diikutsertakan
dan diberdayakan dalam mengelola masyarakat untuk menghadapi bencana letusan Gunung Lokon turut
berkontribusi terhadap pengurangan risiko bencana. Karena bencana adalah suatu hal yang tidak dapat
ditolak namun dapat dikurangi dampaknya. Oleh karena itu pelibatan masyarakat dan peningkatan
kapasitas pemimpin lokal tradisional dapat menjadi salah satu alternatif strategi yang dapat digunakan
untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana pada masyarakat.
 Daftar rujukan
Singgih sastradiharja.2010.Tanggap Bencana Alam Gunung Berapi

Ditulis Oleh Sari Seftiani - Peneliti Kependudukan

*) Artikel ini didasari oleh hasil penelitian yang berjudul “Efektivitas Peran Kepemimpinan Lokal
dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia”.

Kontak :

Anda mungkin juga menyukai