Anda di halaman 1dari 19

Analisis Jurnal Keperawatan Medikal Bedah

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN PADA PASIEN NON

HODGKIN LIMFOMA DENGAN INTERVENSI INOVASI TERAPI

RELAKSASI BENSON KOMBINASI MUROTTAL AL QUR’AN

(Q.S AR-RAHMAN AYAT 1-78 ) TERHADAP PENURUNAN

SKALA NYERI TAHUN 2018

Disusun Oleh:
Pariska Rahma Dia
22221084

INSTITUT ILMU KESEHATAN DAN TEKNOLOGI MUHAMMADIYAH


PALEMBANG FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Tinjauan Teoritis

Limfoma maligna (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk


keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T
dan histiosit sehingga muncul istilah limfoma maligna (maligna = ganas).
Ironisnya, pada orang sehat sistem limfatik tersebut justru merupakan
komponen sistem kekebalan tubuh. Ada dua jenis limfoma maligna yaitu
Limfoma Hodgkin (HD) dan Limfoma non-Hodgkin (LNH) (Vinjamaran,
2017).

B. Etiologi

Penyebab dari penyakit limfoma maligna masih belum diketahui


dengan pasti..Empat kemungkinan penyebabnya adalah: faktor keturunan,
kelainan sistem kekebalan tubuh, infeksi virus, Epstein-Barr virus (EBV),
Helicobacter, HTLV-1, dan toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan
pewarna kimia) (Bakta dalam Karlina I, 2018).
Faktor Predisposisi
1. Usia
Penyakit limfoma maligna banyak ditemukan pada usia dewasa muda
yaitu antara 18-35 tahun dan pada orang diatas 50 tahun.
2. Jenis kelamin
Penyakit limfoma maligna lebih banyak diderita oleh pria dibandingkan
wanita.
3. Gaya hidup yang tidak sehat
Risiko Limfoma Maligna meningkat pada orang yang mengkonsumsi
makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan UV.
4. Pekerjaan
Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan resiko tinggi
terkena limfoma maligna adalah peternak serta pekerja hutan dan
pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut
organik.

C. Anatomi Fisiologi

Anatomi
Sistem limfatik adalah sistem saluran limfe yang meliputi seluruh
tubuh yang dapat mengalirkan isinya ke jaringan dan kembali sebagai
transudat ke sirkulasi darah. Sistem limfatik terdiri dari pembuluh limfe,
organ dan jaringan limfoid (Scanlon dalam Setiawati, 2013). Sistem limfatik
adalah bagian dari sistem imun. Sistem limfatik terdiri dari (Scanlon dalam
Setiawati, 2013):
1) Pembuluh limfe
Sistem limfatik memiliki jaringan terhadap pembuluh pembuluh limfe.
pembuluh-pembuluh limfe tersebut yang kemudian akan bercabang-
cabang ke semua jaringan tubuh
2) Limfe
Pembuluh-pembuluh limfe membawa cairan jernih yang disebut limfe.
Limfe terdiri dari sel-sel darah putih, khususnya limfosit seperti sel B dan
sel T
3) Nodus Limfatikus
Pembuluh-pembuluh limfe terhubung ke sebuah massa kecil dan bundar
dari jaringan yang disebut nodus limfatikus. Kumpulan dari nodus
limfatikus ditemukan di leher, bawah ketiak, dada, perut, dan lipat paha.
Nodus limfatikus dipenuhi sel-sel darah putih. Nodus limfatikus
menangkap dan membuang bakteri atau zat-zat berbahaya yang berada di
dalam limfe.
4) Bagian sistem limfe lainnya
Bagian sistem limfe lainnya terdiri dari tonsil, timus, dan limpa. Sistem
limfatik juga ditemukan di bagian lain dari tubuh yaitu pada lambung,
kulit, dan usus halus.

Nodus dan nodulus limfoid adalah massa dari jaringan limfatik;


mempunyai ukuran dan lokasi bervariasi. Nodus biasanya lebih besar,
panjangnya nodus berkisar 10 - 20 mm dan mempunyai kapsul; sedangkan
nodulus panjangnya antara sepersekian milimeter sampai beberapa
milimeter dan tidak mempunyai kapsul. Nodus limfoid ditemukan
berkelompok sepanjang jalur vassa limfatika, dan limf mengalir melewati
nodus-nodus ini dalam perjalanannya menuju vena subklavia. Limf
memasuki suatu nodus melalui beberapa vasa limfatika aferen dan
meninggalkannya lewat satu atau dua pembuluh eferen.

Organ limfoid berupa kumpulan nodulus kecil yang mengandung


banyak limfosit merupakan tempat awal terjadinya respon imun spesifik
terhadap antigen protein yang dibawa melalui sistem limfatik. Organ
limfoid terdiri atas:
a) Organ limfoid primer
Organ limfoid primer atau sentral yaitu kelenjar timus dan bursa
fabricius atau sejenisnya seperti sumsum tulang, diperlukan untuk
pematangan diferensiasi dan proliferasi sel T dan sel B sehingga menjadi
limfosit yang dapat mengenal antigen.
b) Organ limfoid sekunder
Organ limfoid sekunder utama adalah sistem imun kulit (Skin Associated
Lymphoid Tissue/ SALT), Mucosal Associated Lymphoid Tissue/
MALT), Gut Associated Lymphoid Tissue/ GALT), kelenjar limfe dan
lien. Organ limfoid sekunder mempunyai fungsi untuk menangkap dan
mengumpulkan antigen yang efektif, proliferasi dan diferensiasi limfosit
yang disensitisasi oleh antigen spesifik dan merupakan tempat utama
produksi antibodi.

Sistem Limfatik Kepala dan Leher


Terdapat perbedaan yang signifikan dalam jumlah nodus limfoid pada
kepala dan leher menurut beberapa ahli. Bailey dan Love melaporkan
terdapat sekitar 800 nodus limfoid pada manusia, 300 diantaranya terdapat
di leher. Drinker dan Yoffey menulis bahwa semua jaringan limfoid dari
tubuh manusia termasuk limfosit pada sumsum tulang kemungkinan
berkisar 1% dari berat badan total. Hal ini setara dengan setengah massa
berat hepar. Carlson dan Skandalakis mengemukakan bahwa terdapat
banyak nodus limfoid dengan drainase ke cavum oris dan orofaring yang
tidak pernah diangkat saat pembedahan, sehingga diduga jumlah total dari
nodus limfoid berkisar 150-300 (Scanlon dalam Setiawati, 2013).
Skandalakis dkk dalam (Zahra Abu, 2014) mengemukakan pembagian
nodus limfoid kepala dan leher dalam 5 kelompok atau level, yang dikenal
sebagai sistem Healey, sebagai berikut:

a) Rantai horisontal superior, terdiri dari: nodus submental, sub mandibular,


preaurikular (parotis), post aurikular (mastoid), occipital.
b) Rantai vertikal posterior atau posterior triangle, terdiri dari: nodus
superfisial pada sepanjang vena jugularis eksterna dan nodus profunda
pada sepanjang saraf spinalis assesorius.
c) Rantai vertikal intermediet atau jugularis. Terdiri dari: nodus
juguloparotis (subparotis), jugulodigastrik (subdigastrik), jugulokarotis
(bifurkasio), juguloomohioid (omohioid)
d) Rantai vertikal anterior (viseral), terdiri dari: nodus parafaringeal,
paralaringeal, prelaryngeal (Delphian), pretracheal
e) Rantai horisontal inferior, terdiri atas: nodus supraklavikular dan
scalenus
Fisiologi Sistem Limfatik Tubuh

Fungsi sistim limfatik antara lain membantu mempertahankan


keseimbangan cairan pada jaringan; menyerap lemak dari saluran cerna;
sebagai bagian dari sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit, dimana
mengandung limfosit, sel epitel dan stroma yang tersusun dalam organ
dengan kapsul atau berupa kumpulan jaringan limfoid yang difus.
Sistim vassa limfatika berawal di kapiler limfe yang terdapat pada
sebagian besar ruang jaringan. Kapiler limf sangat permeabel dan
mengumpulkan cairan jaringan dan protein. Kapiler limf menyatu
membentuk vassa limfatika yang lebih besar dengan susunan menyerupai
vena. Pada vassa limfatika tidak terdapat pompa (sebagaimana pompa untuk
darah adalah jantung), namun limf tetap mengalir dalam vassa limfatika
dengan mekanisme yang sama, yang mempercepat aliran balik vena. Limf
mengalir kembali dalam darah untuk kembali menjadi plasma.

Resirkulasi Limfosit
Vasa limfatika dari tubuh bagian bawah menyatu di depan vertebra
lumbalis untuk membentuk saluran yang disebut sisterna cili, yang berlanjut
ke atas di depan tulang punggung sebagai duktus torasikus. Vassa limfatika
dari kuadran kiri atas tubuh bergabung ke dalam duktus torasikus,

yang mengosongkan limfnya ke dalam vena subklavia sinistra. Vassa


limfatika dari kuadran kanan atas tubuh menyatu untuk membentuk duktus
limfatikus dekstra, yang mengosongkan limfnya ke dalam vena subklavia
dekstra (gambar 4).
Hal ini menyebabkan aliran limf kembali ke darah secara konstan dan
terjadi pembentukan terus-menerus limf oleh gerakan cairan dari darah ke
dalam jaringan. Demikian pula, limfosit secara terus-menerus mengalami
resirkulasi.

Peran Penting dari Sel T dan Sel B


Ada dua jenis utama sel limfosit:
(1) Sel T
(2) Sel B

Seperti jenis sel darah lainnya, limfosit dibentuk dalam sumsum


tulang. Kehidupannya dimulai dari sel imatur yang disebut sel induk. Pada
awal masa kanak-kanak, sebagian limfosit bermigrasi ke timus, suatu organ
di puncak dada, dimana mereka menjadi matur menjadi sel T. Sisanya tetap
tinggal di sumsum tulang dan menjadi matur disana sebagai sel B. Sel T dan
sel B keduanya berperan penting dalam mengenali dan menghancurkan
organisme penyebab infeksi seperti bakteri dan virus. Dalam keadaan
normal, kebanyakan limfosit yang bersirkulasi dalam tubuh adalah sel T.
Mereka berperan untuk mengenali dan menghancurkan sel tubuh yang
abnormal (sebagai contoh sel yang telah diinfeksi oleh virus).
Sel B mengenali sel dan materi ‘asing’ (sebagai contoh, bakteri yang
telah menginvasi tubuh). Jika sel ini bertemu dengan protein asing (sebagai
contoh, di permukaan bakteri), mereka memproduksi antibodi, yang
kemudian ‘melekat’ pada permukaan sel asing dan menyebabkan
perusakannya.
Limfoma adalah suatu penyakit limfosit. Ia seperti kanker, dimana
limfosit yang terserang berhenti beregulasi secara normal. Dengan kata lain,
limfosit dapat membelah secara abnormal atau terlalu cepat, dan atau tidak
mati dengan cara sebagaimana biasanya. Limfosit abnormal sering
terkumpul di kelenjar getah bening, sebagai akibatnya kelenjar getah bening
ini akan membengkak.
Karena limfosit bersirkulasi ke seluruh tubuh, limfoma (kumpulan
limfosit abnormal) juga dapat terbentuk di bagian tubuh lainnya selain di
kelenjar getah bening. Limpa dan sumsum tulang adalah tempat
pembentukan limfoma di luar kelenjar getah bening yang sering, tetapi pada
beberapa orang limfoma terbentuk di perut, hati atau yang jarang sekali di
otak. Bahkan, suatu limfoma dapat terbentuk di mana saja. Seringkali lebih
dari satu bagian tubuh terserang oleh penyakit ini.

D. Manifestasi Klinik

Gejala klinis dari penyakit limfoma maligna adalah sebagai berikut:


1. Limfadenopati superficial. Sebagian besar pasien datang dengan
pembesaran kelenjar getah bening asimetris yang tidak nyeri dan mudah
digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha)
2. Demam
3. Sering keringat malam
4. Penurunan nafsu makan
5. Kehilangan berat badan lebih dari 10 % selama 6 bulan (anorexia)
6. Kelemahan, keletihan
7. Sesak nafas
8. Anemia, infeksi, dan pendarahan dapat dijumpai pada kasus yang
mengenai sumsum tulang secara difus

E. Klasifikasi

1. Limfoma Non-Hodgkin
Bersifat indolen (low grade), hingga progresif (high grade). Pada
limfoma non-hodgkin indolen, gejalanya berupa pembesaran kelenjar
getah bening, tidak nyeri, dapat terlokalisir atau meluas, dan bisa
melibatkan sumsum tulang belakang. Pada limfoma non-hodgkin
progresif, dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening baik di intra
ataupun extranodal, serta gejala konstitusional yakni penurunan berat
badan, febris, keringat malam, dan rasa penuh di perut.
2. Limfoma Hodgkin
Limfoma hodgkin lebih bersifat lokal, berekspansi dekat, cenderung
intranodal, hanya di mediastinum, dan jarang metastasis ke sumsum
tulang belakang. Ia juga dapat metastasis melalui darah. Jika
dibandingkan dengan LNH, LNH lebih bersifat tidak lokal, ekspansi
jauh, cenderung extranodal, berada diabdomen, dan sering metastasis ke
sumsum tulang belakang.

Stadium Limfoma Maligna


Penyebaran Limfoma dapat dikelompokkan dalam 4 stadium. Stadium I dan
II sering dikelompokkan bersama sebagai stadium awal penyakit, sementara
stadium III dan IV dikelompokkan bersama sebagai stadium lanjut.
1. Stadium I : Penyebaran Limfoma hanya terdapat pada satu kelompok
yaitu kelenjar getah bening.
2. Stadium II : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok
kelenjar getah bening, tetapi hanya pada satu sisi diafragma, serta pada
seluruh dada atau perut.
3. Stadium III : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok
kelenjar getah bening, serta pada dada dan perut.
4. Stadium IV : Penyebaran Limfoma selain pada kelenjar getah bening
setidaknya pada satu organ lain juga seperti sumsum tulang, hati, paru-
paru, atau otak

Stadium ini dapat dibagi menjadi A yakni tanpa gejala konstitusional, dan B
dengan gejala konstitusional. Penatalaksanaan untuk stadium Ia, Ib, IIa yaitu
diberikan radioterapi. Sedangan stadium IIb hingga IV diberikan
kemoterapi.

F. Patofisiologi

Proliferasi abmormal tumor dapat memberi kerusakan penekanan atau


penyumbatan organ tubuh yang diserang. Tumor dapat mulai di kelenjar
getah bening (nodal) atau diluar kelenjar getah bening (ekstra nodal). Gejala
pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, mudah
digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha) (Anonymous, 2012).
Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala penurunan berat
badan, demam, keringat malam. Hal ini dapat segera dicurigai sebagai
Limfoma. Namun tidak semua benjolan yang terjadi di sistem limfatik
merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil perlawanan kelenjar
limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis limfa.

Pathway Limfoma

LH atau LNH
G. Komplikasi

Komplikasi yang dialami pasien dengan limfoma maligna


dihubungkan dengan penanganan dan berulangnya penyakit. Efek-efek
umum yang merugikan berkaitan dengan kemoterapi meliputi: alopesia,
mual, muntah, supresi sumsum tulang, stomatitis dan gangguan
gastrointestinal. Infeksi adalah komplikasi potensial yang paling serius yang
mungkin dapat menyebabkan syok sepsis. Efek jangka panjang dari
kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal.
Efek samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati.
Bila pengobatan pada nodus limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi
hal-hal sebagai berikut : mulut kering, disfagia, mual, muntah, rambut
rontok, dan penurunan produksi saliva. Bila dilakukan pengobatan pada
nodus limfa abdomen, efek yang mungkin terjadi adalah muntah, diare,
keletihan, dan anoreksia.

H. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang

Untuk mendeteksi limfoma harus dilakukan biopsi dari kelenjar getah


bening yang terkena dan juga untuk menemukan adanya sel Reed-Sternberg.
Untuk mendeteksi Limfoma memerlukan pemeriksaan seperti sinar-X, CT
scan, PET scan, biopsi sumsum tulang dan pemeriksaan darah. Biopsi atau
penentuan stadium adalah cara mendapatkan contoh jaringan untuk
membantu dokter mendiagnosis Limfoma. Ada beberapa jenis biopsi untuk
mendeteksi limfoma maligna yaitu:
1. Biopsi kelenjar getah bening, jaringan diambil dari kelenjar getah bening
yang membesar.
2. Biopsi aspirasi jarum-halus, jaringan diambil dari kelenjar getah bening
dengan jarum suntik. Ini kadang-kadang dilakukan untuk memantau
respon terhadap pengobatan.

3. Biopsi sumsum tulang di mana sumsum tulang diambil dari tulang


panggul untuk melihat apakah Limfoma telah melibatkan sumsum tulang.
I. Penatalaksanaan

Cara pengobatan bervariasi dengan jenis penyakit. Beberapa


pasien dengan tumor keganasan tingkat rendah, khususnya golongan
limfositik, tidak membutuhkan pengobatan awal jika mereka tidak
mempunyai gejala dan ukuran lokasi limfadenopati yang bukan
merupakan ancaman

1. Radioterapi
Walaupun beberapa pasien dengan stadium I yang benar-benar
terlokalisasi dapat disembuhkan dengan radioterapi, terdapat angka yang
relapse dini yang tinggi pada pasien yang dklasifikasikan sebagai stadium
II dan III. Radiasi local untuk tempat utama yang besar harus
dipertimbangkan pada pasien yang menerima kemoterapi dan ini dapat
bermanfaat khusus jika penyakit mengakibatkan sumbatan/obstruksi
anatomis. Pada pasien dengan limfoma keganasan tingkat rendah stadium
III dan IV, penyinaran seluruh tubuh dosis rendah dapat membuat hasil
yang sebanding dengan kemoterapi.
2. Kemoterapi
Terapi obat tunggal Khlorambusil atau siklofosfamid kontinu atau
intermiten yang dapat memberikan hasil baik pada pasien dengan
limfoma maligna keganasan tingkat rendah yang membutuhkan terapi
karena penyakit tingkat lanjut.
3. Terapi kombinasi. (misalnya COP (cyclophosphamide, oncovin, dan
prednisolon)) juga dapat digunakan pada pasien dengan tingkat rendah
atau sedang berdasakan stadiumnya.

BAB II
PEMBAHASAN

1. KASUS
Seorang laki-laki berusia 55 tahun berinisial Tn. H datang ke IGD RSMH
dengan keluhan utama saat masuk RS yaitu nyeri seperti ditusuk-tusuk regio
abdomen kanan bawah dengan NRS 7. Keluhan utama saat pengkajian yaitu
nyeri seperti ditusuk-tusuk regio abdomen kanan bawah dengan NRS 5.
Terdapat benjolan pada leher kiri, ketiak, dan selangkangan kiri kanan Tn.
H. Sklera dan conjungtiva tampak ikterik, serta hasil lab bilirubin total yakni
10,10 mg/dL (nilai normal : 0,1-1,0 mg/dL). Tn. H mengatakan sudah
pernah melakukan operasi pengambilan benjolan di leher pada bulan april,
dan tidak tahu jika benjolan tersebut akan timbul kembali. Kesadaran
composmentis. TD : 120/80 mmHg, N : 90x/m, T : 36,7oC, RR : 20x/m

2. PERTANYAAN KLINIS
Apakah ada pengaruh terapi relaksasi benson kombinasi murottal al qur’an
(Q.S Ar-Rahman ayat 1-78) terhadap penurunan skala nyeri pada pasien
limfoma non hodgkin?

3. PICO
a. Problem
Tn. L (66 tahun) dengan diagnosa limfoma non hodgkin yang sudah
dirawat di ICCU RS Abdul Wahab Sjahranie Samarinda dengan keluhan
utama nyeri NRS 6
b. Intervention
Intervensi yang digunakan di jurnal ini adalah terapi benson dengan
kombinasi murottal al qur’an (Q.S Ar-Rahman ayat 1-78) untuk
mengurangi skala nyeri pasien yang dilakukan selama 3 hari.
c. Comparison
Tidak ada perbandingan karena responden hanya 1 .
d. Outcome
Pada penelitian ini menunjukkan adanya penurunan skala nyeri, berarti
ada pengaruh pemberian terapi benson dengan kombinasi murottal al
qur’an (q.s Ar-Rahman ayat 1-78) terhadap skala nyeri pada pasien
limfoma non hodgkin.

4. SEARCHING LITERATURE (JOURNAL)


Setelah dilakukan Searching literature (journal) di Pubmed menggunakan
metode pico didapatkan 0 journal dan pencarian menggunakan google
scholar didapatkan 0 jurnal dan 1 karya tulis ilmiah dengan judul “Analisis
Praktik Klinik Keperawatan Pada Pasien Non Hodgkin Limfoma Dengan
Intervensi Inovasi Pengaruh Terapi Relaksasi Benson Kombinasi Murottal
Al Qur’an (Q.S Ar-Rahman Ayat 1-78) Terhadap Penurunan Skala Nyeri Di
Ruang Intensive Cardiac Care Unit (ICCU) RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda Tahun 2018”

5. VIA
A. Validity
1) Desain : Tidak disebutkan penelitian ini menggunakan desain apa
2) Subjek : Tn. L (66 tahun)
3) Kriteria inklusi dan ekslusi:
Kriteria inklusi: Pasien yang beragama islam dan tidak ada gangguan
pendengaran (tuli)
Kriteria eksklusi: Pasien yang bukan beragama islam dan mempunyai
gangguan pendengaran (tuli)
4) Randomisasi: Tidak dilakukan randomisasi dalam pengambilan
sampel karena hanya ada 1 sampel

B. Importance dalam Hasil


Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada penurunan skala nyeri pada
pasien, ini membuktikan bahwa ada pengaruh pemberian terapi benson
dengan kombinasi murottal al qur’an (q.s Ar-Rahman ayat 1-78)
terhadap skala nyeri pada pasien limfoma non hodgkin.
C. Applicability
1) Dalam Diskusi : Penelitian ini dapat diterapkan sebagai
terapi non farmakologis pendamping terapi farmakologis, akan tetapi
diperlukan penelitian sejenis untuk memperkuat penerapannya.
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai data acuan untuk penelitian
selanjutnya.
2) Karakteristik Klien : Tidak ada karakteristik yang khusus dalam
KTI ini
3) Fasilitas : Handphone dan headset (untuk
mendengarkan murottal)
4) Biaya : Tidak ada biaya yang digunakan

6. DISKUSI (Membandingkan Jurnal dan Kasus)


Berdasarkan Karya Tulis Ilmiah berjudul “ANALISIS PRAKTIK
KLINIK KEPERAWATAN PADA PASIEN NON HODGKIN
LIMFOMA DENGAN INTERVENSI INOVASI TERAPI
RELAKSASI BENSON KOMBINASI MUROTTAL AL QUR’AN
(Q.S AR-RAHMAN AYAT 1-78 ) TERHADAP PENURUNAN
SKALA NYERI TAHUN 2018”.
Adapun faktor faktor yang mempengaruhi yakni lanjut usia,
ditemukan bahwa jenis kelamin laki-laki paling banyak terserang penyakit
ini, pekerjaan yang terpapar karsinogen, kebiasaan merokok dan genetik.
Berdasarkan jurnal karakteristik responden yakni berusia 66 tahun dan
berjenis kelamin laki-laki, tidak disebutkan apakah ada riwayat keluarga
sebelumnya yang memiliki benjolan, serta tidak disebutkan pekerjaan nya.
Di kasus kelolaan, pasien berumur 55 tahun, jenis kelamin laki-laki, ada
riwayat keluarga sebelumnya yang memiliki benjolan di leher, dan
merupakan karyawan pabrik dimana banyak paparan karsinogen.
Keluhan utama yakni nyeri. Pada jurnal, skala nyeri pasien yakni
NRS 6. Pada kasus kelolaan skala nyeri pasien yakni NRS 5. Berdasarkan
jurnal, pasien Tn. L nyeri berkurang dari skala NRS 6 ke NRS 2 dengan
terapi relaksasi benson kombinasi murottal Al-Quran. Pada pasien kasus
kelolaan, skala nyeri NRS 5 berkurang menjadi NRS 2 menggunakan
kombinasi pemberian analgesik dan dibantu dengan terapi relaksasi nafas
dalam.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
1. Peneliti menuliskan bahwa sebelum pemberian terapi benson dan murottal
Al-Quran (Q.S. Ar-Rahman 1-78) skala nyeri pasien NRS 6 (Skala nyeri
sedang)
2. Peneliti menuliskan bahwa setelah pemberian terapi benson dan murottal
Al-Quran (Q.S. Ar-Rahman 1-78) skala nyeri pasien berkurang menjadi
NRS 2 (Skala nyeri ringan)
3. Terdapat pengaruh sebelum dan sesudah pemberian terapi benson dan
murottal Al-Quran (Q.S. Ar-Rahman 1-78) dengan penurunan skala nyeri
sebanyak 4 angka.
DAFTAR PUSTAKA

Basiang, A.B. (2019). Manajemen Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pada


Tn. E Dengan Diagnosa Medis Limfoma Maligna Di Ruangan
Instalasi Gawat Darurat Non Bedah RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar.
Handayati, M.R. (2018). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Pada Pasien Non
Hodgkin Limfoma Dengan Intervensi Inovasi Pengaruh Terapi
Relaksasi Benson Kombinasi Murottal Al Qur’an (Q.S Ar-Rahman
Ayat 1-78) Terhadap Penurunan Skala Nyeri Di Ruang Intensive
Cardiac Care Unit (ICCU) RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Tahun 2018.
Https://pubmedhh.nlm.nih.gov
Https://scholar.google.co.id/schhp?hl=id
Https://www.halodoc.com/kesehatan/limfoma

Anda mungkin juga menyukai