Anda di halaman 1dari 14

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Glomerulonefritis Akut
3.1.1. Definisi
Glomerulonefritis adalah penyakit inflamasi atau non-inflamasi pada glomerulus yang
menyebabkan perubahan struktur, permeabilitas, dan fungsi glomerulus.

3.1.2 Anatomi Mikroskopis Ginjal


Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi kolumna
vertebralis. Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya hepar
dan lebih dekat ke garis tengah tubuh. Kutub atasnya terletak setinggi vertebra thorakalis XII,
sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi vertebra thorakalis XI (Wilson, 2006).

Parenkim ginjal terdiri atas dua daerah khusus: korteks ginjal yang terletak di sebelah luar
dan tampak granuler, serta daerah bagian dalam yang berupa segitiga bergaris-garis (piramid
ginjal) yang secara kolektif disebut sebagai medula ginjal (Sherwood, 2001). Tiap-tiap piramid
dipisahkan oleh kolumna Bertini. Dasar piramid ini ditutup oleh korteks, sedangkan puncaknya
(papila marginalis) membentuk duktus papilaris Bellini masuk ke dalam kaliks minor.
Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu menjadi pelvis
renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter (Wilson, 2006).

Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional (satuan terkecil yang mampu
membentuk urin) berukuran mikroskopik yang disebut nefron (Sherwood, 2001). Setiap nefron
terdiri dari kapsul Bowman dan kapiler glomerolus yang dilingkupinya, tubulus kontortus
proksimal, ansa Henle, tubulus kontortus distal yang mengosongkan diri ke tubulus pengumpul
(Wilson, 2006). Setiap ginjal memperoleh pasokan darah dari arteri renalis. Pada saat
memasuki ginjal, arteri renalis bercabang-cabgang hingga akhirnya menjadi arteriol aferen
dengan setiap pembuluh tersebut memperdarahi sebuah nefron (Sherwood, 2001; Wilson,
2006).
3.1.3 Faal Glomerolus
Glomerolus merupakan bagian dominan pada komponen vaskuler nefron (Sherwood,
2001). Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk ke
tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik
intrakapiler dan tekanan koloid osmotik (Rauf, 2002).

Lapisan-lapisan pada membran glomerolus berfungsi sebagai saringan molekul yang


menahan sel darah merah dan protein plasma, tetapi melewatkan H2O dan zat terlarut lain yang
ukuran molekulernya cukup kecil. Walaupun protein plasma tidak dapat difiltrasi karena tidak
dapat melewati pori-pori di atas, pori-pori tersebut sebenarnya cukup besar untuk melewatkan
albumin yang merupakan protein plasma terkecil. Namun, glikoprotein pada membran basal
glomerolus bermuatan sangat negatif sehingga akan menolak albumin dan protein plasma lain
yang juga bermuatan negatif. Sebagian penyakit yang ditandai oleh adanya albuminuria
diperkirakan disebabkan oleh gangguan muatan negatif di dalam membran glomerolus, yang
menyebabkan membran lebih permeabel terhadap albumin walaupun ukuran pori-pori tidak
berubah (Sherwood, 2002).

Dalam keadaan normal, ginjal menerima 20% sampai 25% dari curah jantung atau 1.200-
1.250 mL/menit (RBF) (Sherwood, 2001; Wilson, 2006). Bila hematokrit normal dianggap
45%, maka aliran plasma ginjal (RPF) sama dengan 660 mL/menit (Wilson, 2006). Dalam
keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerolus difiltrasi dengan tekanan
filtrasi netto 10 mmHg, menghasilkan laju filtrasi glomerolus rata-rata (GFR) 125 mL/menit
(Sherwood, 2001). Saat filtrat mengalir melalui tubulus, ditambahkan atau diambil berbagai
zat dari filtrat, sehingga akhirnya hanya sekitar 1,5 L/hari yang dieksresi sebagai urin (Wilson,
2006).

3.1.4 Etiologi
Etiologi sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi (Prodjosudjadi, 2007):

a. Glomerulonefritis primer dengan sebab tidak diketahui (idiopatik) dengan berbagai macam
kelainan histopatologi, meliputi:
o Glomerulonefritis lesi minimal
o Glomerulosklerosis fokal
o Glomerulonefritis membranosa
o Glomerulonefritis membranoproliferatif
o Glomerulonefritis proliferatif lain
b. Glomerulonefritis sekunder akibat:
o Infeksi, seperti infeksi HIV, hapatitis virus B dan C, sifilis, malaria, skistosoma,
tuberkulosis, dan lepra.
o Keganasan, seperti adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, mieloma
multipel, dan karsinoma ginjal.
o Penyakit jaringan penghubung, seperti pada lupus eritematosus sistemik, artritis
reumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease)
o Efek obat dan toksin, seperti obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas,
penisilinamin, probenesid, air raksa, kaptopril, dan heroin.
o Lain-lain, meliputi diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik,
refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.
Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab sindrom
nefrotik. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan
rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien
sindrom nefrotik yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T (Gunawan,
2006).

3.1.5 Patogenesis
Glomerulonefritis merupakan penyakit glomerulus akibat respon imunologik dan hamya jenis
tertentu yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Proses imunologik diatur oleh beberapa
faktor imunogenetikyang menentuka bagaimana individu merespon terhadap sesuatu kejadian.
Dua mekanisme utama dari GN yaitu circulating immune complex (CIC) dan terbentuknya
deposit kompleks imun in-situ. Pada CIC, antigen (Ag) eksogen memcu terbentuknya antibodi
(Ab) spesifik, kemudian membentuk kompleks imun dalam sirukulasi. Kompleks imun akan
mengaktivasi sistem komplemen dan selanjutnya komplemen berkaitan dengan Ag-Ab. Dalam
keadaan normal, komplek Ag-Ab bertujuan untuk membersihkan komplek imun dari sirkulasi.
Kemudian kompleks imun akan mengalami degradasi saat melewati hati dan limpa. Apabila
antigenemia menetap dan bersiha komplek imun terganggu, maka komplek imun lemudian
akan menetap dalam sirkulasi. Komplek imun kemudian akan terjebak pada glomerulus di sel
mesangial atau mengendap secara pasif di sel mesangium atau ruang sub-endotel. Aktivasi
sitem komplemen akan terus berjalan setelah terjadi pengendapan komplek imun pada
glomerulus.
Mekanisme pembentukan endapan komplek imun dapat terjadi secara in situ apabila Ab secara
langsung berkaitan dengan Ag yang merupakan komponen dari membran basal glomerulus
(fixed –Ag) atau Ag dari luar yang terjebak pada glomerulus (planted-antigen). Alternatif lain
apabila Ag non-glomerulus yang bersifat kation terjebak pada bagian anion dari glomerulus,
diikuti pengendapan Ab dan aktivasi komplemen secara lokal.
Selain itu, berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi, dan
komplemen yang berperan dalam kerusakan glomerulus.
Pada proses inflamasi, kerusakan glomerulus diawali oleh adanya endapan komplek imun yang
melekat pada permukaan sel endotel. Dimana proses ini dimedias oleh molekul adesi selekti I,
E, dan P yang secara berturut-turut terdapat pada permukaan leukosit, endotel dan trombosit.
Sel endotel sendiri kemudian melepaskan molekul CD31 yang akan mengaktivaasi sel
inflamasi. Kemudian proses selanjutnya adalah migrasi sel inflamasi melalui celah antar sel
endotel yang juga dipengaruhi oleh kemokin sehingga semakin banyak sel inflamasi yang
bermigrasi dan menyebabkan inflamasi semakin berat.
Pada sel inflamasi, leukosit polimorfonuklear (PMN) dan monosit/makrofag diangap sebagai
faktor utama. Endapan dari komplek antibodi terdapat akumulasi leukosit. Kemudian akan
terjadi infiltrasi makrofag dan akan mengaktivasi sitokin pro inflamasi dan kemokin di jaringan
sekitar sehingga kerusakan semakin berat. Kerusakan ini kemudian menimbulkan manifestasi
proteinuria. Sedangkan trombosit akan menyebabkan oklusi kapiler akibat dari agregasi
trombosit yang akhirnya menyebabkan koagulasi intrakapiler glomerulus.
3.1.6 Manifestasi Klinis
 Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat
kerusakan glomerolus. Dalam keadaan nomal membran basal glomerolus mempunyai mekanisme
penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan
ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada
sindrom nefrotik, kedua mekanisme tersebut ikut terganggu. Selain itu, konfigurasi molekul
protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui membran basal glomerolus
(Prodjosudjadi, 2007).

Derajat proteinuria tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus.


Pada nefropati lesi minimal, proteinuria disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity
sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya size selectivity
(Gunawan, 2006).

 Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati, dan
kehilangan albumin melalui urin (Prodjosudjadi, 2007). Pada sindrom nefrotik, hipoalbuminemia
disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal.
Sintesis protein di hati biasanya meningkat sebagai usaha kompensasi (namun tidak memadai
untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun
(Gunawan, 2006).

 Edema
Edema dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan
bahwa hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan
bergeser dari intravaskuler ke jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan
onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia. Ginjal melakukan kompensasi
dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskuler, tetapi juga mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema
semakin berlanjut (Prodjosudjadi, 2007).
Namun, pada awal tahun 1940an, khususnya pada dua dekade terakhir, banyak studi yang
mendukung adanya konsep yang berlawanan dengan teori underfill. Meskipun beberapa pasien
dengan sindrom nefrotik lesi minimal memiliki volume plasma yang endah, banyak pasien dengan
sindrom nefrotik tidak memiliki manifestasi klinis seperti yang diharapkn pada teori underfill
(penurunan volume plasma, peningkatan sodium-retaining hormones, dan sebagainya) (Hamm
dan Batuman, 2003).

Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Teori ini menjelaskan bahawa retensi natrium
adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstravaskuler
meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerolus akibat kerusakan ginjal akan
menambah retensi natrium dan edema (Prodjosudjadi, 2007).

Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa
pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma menurun
secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama fase diuresis (Gunawan,
2006).

 Hiperlipidemi
Kadar kolesterol umumnya meningkat, sedangkan trigliserida bervariasi dari normal
sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL. Kadar
trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL. Selain itu ditemukan pula
peningkatan IDL (intermediate density lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL
cenderung normal atau rendah (Prodjosudjadi, 2007).

Keadaan ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di
perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density
lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin
serum dan penurunan tekanan onkotik (Gunawan, 2006).

 Lipiduria
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini
berasal dari filtrat lipoprotein melalui membran basalis glomerulus yang permeabel (Gunawan,
2006).
 Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan plasminogen
activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen,
peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen
(faktor IX, XI) (Gunawan, 2006).

 Metabolisme kalsium dan tulang


Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan tulang pada manusia.
Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan
kadar plasma, sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal
pada sindrom nefrotik umumnya normal maka osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tidak
terkontrol jarang dijumpai. Pada sindrom nefrotik juga terjadi kehilangan hormon tiroid yang
terikat protein melalui urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin bebas dan thyroxine-
stimulating hormone tetap normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan
(Prodjosudjadi, 2007).

 Kerentanan terhadap infeksi


Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal, penurunan
sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi
bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, dan Haemophilus. Pada sindrom
nefrotik juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni
dan peritonitis (Gunawan, 2006).

 Gangguan fungsi ginjal


Pasien sindrom nefrotik mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui
berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan/atau sepsis sering menyebabkan timbulnya
nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut
adalah terjadinya edema internal yang menyebabkan terjadinya kompresi pada tubulus ginjal
(Prodjosudjadi, 2007).

 Komplikasi lain pada sindrom nefrotik


Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada sindrom nefrotik dewasa terutama apabila
disertai proteinuria masif, asupan oral yang kurang, dan proses katabolisme yang tinggi.
Kemungkinan efek toksik obat yang terikat protein akan meningkat karena hipoalbuminemia
menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma lebih tinggi. Hipertensi tidak jarang ditemukan
sebagai komplikasi sindrom nefrotik terutama dikaitkan dengan retensi natrium dan air
(Prodjosudjadi, 2007).

3.1.7 Pemeriksaan
1. Anamnesis
Perlu diperhatikan masalah penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit
sistemik lain (Prodjosudjadi, 2007).

2. Pemeriksaan fisik
Terdapat edema anasarka. Tidak jarang mata tertutup akibat edema pada kelopak mata.

3. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan urin, meliputi protein urin, urinalisis, hamaturia, dipstick urin, berat jenis
urin, dan pemeriksaan sedimen. Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase
oliguria) (Betz dan Sowden, 2002; Prodjosudjadi, 2007).
 Pemeriksaan darah, meliputi kadar albumin dalam serum, kolesterol serum, trigliserid,
hemoglobin, hematokrit, laju endap darah (LED), dan elektrolit serum (Betz dan
Sowden, 2002; Prodjosudjadi, 2007).
 Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab sindrom nefrotik sekunder.
Pemeriksaan serologik sering tidak banyak memberikan informasi dan biayanya mahal
karena itu sebaiknya hanya dilakukan berdasarkan indikasi yang kuat (Prodjosudjadi,
2007).

3.1.8 Diagnosis
Diagnosis glomerulonefritis dibuat berdasarkan anamnesis untuk mengetahui riwayat
penyakit, melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang untuk menyingkirkan penyakit non
glomerular. Informasi riwayat GN dalam keluarga, penggunaan obat antiinflamasi non steroid,
preparat emas organik, heroin, imunosuplerisf dan riwayat infeksi sterptokokus, endokarditis
atau infeksi virus.

Dapat juga ditemuka edema tungkai disertai edema periorbita, asites dadn efusi pleura.
Tampilan kuku terlihat pucat dan ditemukan xantelasma akibat hiperlipidemia.

Pemeriksaan urinalisis sangat penting untuk penegakan diagnosa. Dimana dapat ditemukan
hematuria dan silinder eritrosit. Serta proteinuria lebih dari 1g/24 jam dapat dijadikan dasar
diagnosa. Pemeriksaan serologi seperti ASTO, C3,C4, ANA, dan anti dsDNA diperlukan
untuk menegakkan diagnosa GN dan membedakan antara primer dan sekunder. USG ginjal
diperlukan untuk melihat ukuran ginjal dan menyingkirkan kelainan lain seperti obstruksi
sistem pelvokalises karena batu ginjal. Biopsi ginjal juga diperlukan untuk menegakkan
diagnosa histopatologi dan digunakan sebagai pedoman pengobatan. (Projodudjadi, 2002)

3.1.8 Penatalaksanaan
Pengobatan glomerulonefritis terdiri dari pengobatan spesifik terhadap penyakit dasar
dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema, dan
mengobati komplikasi.

1. Non-medikamentosa
Diet untuk pasien sindrom nefrotik adalah 35 kal/kgBB/hari, sebagian besar terdiri dari
karbohidrat. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi
risiko komplikasi yang ditimbulkan. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1,0 g/kgBB/hari.
Pada pasien dengan diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan jumlah gram protein
sesuai jumlah proteinuri hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin darah meningkat,
dan kadar fibrinogen menurun. Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-
2 gram natrium/hari) disertai diuretik dan tirah baring.

2. Medikamentosa
 Kortikosteroid
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang
memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain menemukan bahwa
pada glomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien memberi respon yang baik
terhadap steroid dengan remisi lengkap. Pada kebanyakan pasien nefropati membranosa
idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk jangka waktu
lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka pemakaian glukokortikoid dan
imunosupresan pada nefropati jenis ini tidak direkomendasikan.
Regimen penggunaan kortikosteroid pada sindrom nefrotik bermacam-macam, di
antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis
dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi.
Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat
badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4 minggu.
Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu namun 50%
pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan. Pada anak-anak
2
diberikan prednison 60 mg/m luas permukaan tubuh atau 2 mg/kg berat badan/hari
2
selama 4 minggu, diikuti 40 mg/m luas permukaan tubuh setiap 2 hari selama 4 minggu.
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi
parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri minimal (<200 mg/24
jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum <300 mg/dl, diuresis lancar, dan edema
hilang. Remisi parsial jika proteinuri <3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol
serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika
klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah
pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid memberi remisi
lengkap pada 67% kasus sindrom nefrotik nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau
parsial pada 50% sindrom nefrotik nefropati membranosa dan 20%-40% pada
glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek samping pemakaian
kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis,
hipertensi, diabetes mellitus.

 ACE inhibitors dan angiotensin receptor blocker


Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk mengurangi
proteinuri digunakan terapi simptomatik dengan angiotensin converting enzyme
inhibitor (ACEI), misalnya kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan
setelah 2 minggu, atau obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal indometasin 3x50
mg. Angiotensin converting enzyme inhibitor mengurangi ultrafiltrasi protein
glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus dan memperbaiki size
selective barrier glomerulus. Efek antiproteinurik obat ini berlangsung lama (kurang
lebih dua bulan setelah obat dihentikan). Angiotensin receptor blocker (ARB) ternyata
juga dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis
interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adhesi molekul akibat
kerja angiotensin II lokal pada ginjal. Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi
efek antiproteinuri lebih besar pada glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian
ACEI saja atau ARB saja.
 OAINS
Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) dapat digunakan pada pasien nefropati
membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan sintesis
prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan tekanan kapiler
glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai 75%. Selain itu
OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic dan mencegah
agregasi trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan
penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien. Obat ini tidak boleh diberikan
bila klirens kreatinin < 50 ml/menit.

 Siklofosfamid dan Klorambusil


Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten terhadap
kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid atau klorambusil.
Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada kortikosteroid (75% selama 2
tahun) dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu. Efek samping siklofosfamid
adalah depresi sumsum tulang, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila
diberikan lebih dari 6 bulan. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kgBB/hari
selama 8 minggu. Efek samping klorambusil adalah azoospermia dan agranulositosis.
Pada nefropati membranosa idiopatik, kombinasi metilprednisolon dan klorambusil
selama 6 bulan menginduksi remisi lebih awal dan dapat mempertahankan fungsi ginjal
dibandingkan dengan metilprednisolon sendiri, namun perbedaan ini berkurang sesuai
dengan waktu (dalam 4 tahun perbedaan ini tidak bermakna lagi). Regimen yang
digunakan adalah metilprednisolon 1 g/hari intravena 3 hari, lalu 0,4 mg/kg/hari peroral
selama 27 hari diikuti klorambusil 0,2 mg/kg/hari 1 bulan berselang seling. Alternatif
lain terapi nefropati membranosa adalah siklofosfamid 2 mg/kg/hari ditambah 30 mg
prednisolon tiap 2 hari selama beberapa bulan ( maksimal 6 bulan).

 Siklosporin A
Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi siklofosfamid
atau untuk memperpanjang masa remisi setelah pemberian kortikosteroid. Dosis 3-5
mg/kg/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan 25% setiap
2 bulan). Siklosporin A dapat juga digunakan dalam kombinasi dengan prednisolon pada
kasus sindrom nefrotik yang gagal dengan kombinasi terapi lain. Efek samping obat ini
adalah hiperplasi gingival, hipertrikosis, hiperurisemi, hipertensi dan nefrotoksis
 Diuretik
Untuk mengurangi edema diberikan diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan
tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic (spironolakton).
Bila resisten dengan furosemid oral dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon, atau
asetazolamid.
Pada pasien sindrom nefrotik dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg
furosemid dan 200 mg spironolakton). Resistensi terhadap diuretik ini bersifat
multifaktorial. Diduga hipoalbuminemi menyebabkan berkurangnya transportasi obat
ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein urin bukan merupakan
mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien demikian dapat diberikan infus salt-poor
human albumin. Dikatakan terapi ini dapat meningkatkan volume plasma,
meningkatkan laju filtrasi glomerulus, aliran urin, dan ekskresi natrium. Namun
demikian infus albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat
diekskresi lewat urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan edema
paru pada pasien hipervolemi.
 Antikoagulan
Risiko tromboemboli meningkat pada sindrom nefrotik dan perlu mendapat
penanganan. Walaupun pemberian jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu
studi terbukti memberikan keuntungan. Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas
yaitu tromboemboli yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus sindroma nefrotik (paling
sering pada nefropati membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin
(100 mg/hari) sebagai anti agregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus. Selain itu
obat-obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan fungsi ginjal dan terjadinya
gagal ginjal tahap akhir. Terapi ini diberikan selama pasien mengalami proteinuri
nefrotik, albumin <2 g/dl atau keduanya. Jika terjadi tromboemboli, harus diberikan
heparin intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3 bulan
atau setelah terjadi kesembuhan sindrom nefrotik. Pemberian heparin dengan pantauan
activated partial thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali kontrol sedangkan efek
warfarin dievaluasi dengan prothrombin time (PT) yang biasa dinyatakan dengan
International Normalized Ratio (INR) 2-3 kali normal.
 Penurun Lemak
Dislipidemia pada sindrom nefrotik belum secara meyakinkan meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskuler, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat
perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti
simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserid,
dan meningkatkan kolesterol HDL.

Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis


dini. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambat hidroxymethyl
glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A) reductase yang efektif menurunkan kolesterol
plasma. Obat golongan ini dikatakan paling efektif dengan efek samping minimal.
Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna kadar trigliserid dan
sedikit menurunkan kadar kolesterol. Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena
kadar klofibrat bebas yang meningkat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal
akut. Probukol menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya
minimal terhadap trigliserid. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan
lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan kolestipol efektif
menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan
karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang memperburuk defisiensi vitamin
D pada sindroma nefrotik.

 Antibiotik
Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis)
diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian imunoglobulin G
intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus. Pemakaian
imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus seperti campak, herpes.

Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal
akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan penanganan pada
umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi
ginjal. Pada pasien glomerulo-sklerosis fokal segmental yang menjalani transplantasi ginjal,
15%-55% akan kembali terjadi sindrom nefrotik. Rekurensi mungkin disebabkan oleh adanya
faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas
glomerulus. Imunoadsorpsi protein plasma A menurunkan ekskresi protein urin pada pasien
sindrom nefrotik karena glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa maupun
sindrom nefrotik sekunder karena diabetes melitus. Diduga imunoadsorpsi melepaskan faktor
plasma yang mengubah hemodinamika atau faktor yang meningkatkan permeabilitas
glomerulus.

3.1.9 Prognosis
Mortalitas dan prognosis pasien dengan glomerulonefritis bervariasi berdasarkan etiologi,
berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya terhadap
pengobatan (Betz dan Sowden, 2002).

Anda mungkin juga menyukai