Anda di halaman 1dari 59

PROPOSAL TESIS

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN


STUNTING PADA BALITA USIA 24 – 59 BULAN DI KOTA
PALEMBANG TAHUN 2022

DISUSUN OLEH :

MARLENA
2019720024

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS KADER BANGSA
PALEMBANG
2022
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa emas tumbuh kembang anak pada, usia 0-24 bulan, mengalami,

pertumbuhan, yang, pesat. Asupan gizi pada masa itu sangat penting, sehingga

perlu perhatian khusus. Pada, masa, bayi, asupan gizi yang didapat sangat

bergantung pada pengasuhnya. Pada tahun pertama, berat lahir bayi naik tiga kali

lipat, dan selama periode ini, 65%, dari total pertumbuhan otak terjadi (Rizal et

al., 2021). Stunting dapat mempengaruhi terganggunya metabolisme, fungsi

kognitif dan penurunan produktifitas (Rizal et al., 2021).

Di negara berpenghasilan rendah dan menengah, stunting, merupakan,

masalah, kesehatan utama karena dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian

anak. Keterlambatan perkembangan mempengaruhi fisik dan fungsional tubuh.

Anak-anak dengan keterlambatan perkembangan dan pertumbuhan berpotensi

menjadi remaja stunting (Rizal et al., 2021).

Penderita stunting umumnya rentan terhadap berbagai penyakit,

kecerdasan di bawah normal, serta produktivitas relatif rendah. Tingginya

prevalensi stunting dalam jangka panjang akan berdampak pada kerugian ekonomi

bangsa (Kemenkes RI, 2018). Akibat stunting potensi kerugian ekonomi setiap

tahunnya bisa mencapai 2-3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), artinya

jika PDB Rp13.000 triliun maka kerugian bisa mencapai Rp 390 triliun

(Bappenas, 2018).

Berdasarkan data WHO (2020), angka prevalensi stunting pada anak di

bawah 5 tahun sebesar 22%. Sedangkan menurut hasil Kementerian Kesehatan RI

1
tahun 2021 dalam buku saku hasil studi status gizi Indonesia menunjukkan

prevalensi stunting di Indonesia kembali mengalami penurunan menjadi 24,4

persen. Meskipun penurunan itu cukup positif tetapi ada catatan yang perlu dilihat

yakni belum mencapai target serta terdapat ketimpangan yang cukup besar

antardaerah. Selain itu, angka 30,8 persen masih sangat tinggi jika mengacu

kepada standar WHO yakni di bawah 20 persen. Data Kondisi balita yang

menderita stunting pada Balita di Sumatera Selatan berdasarkan Kementerian

Kesehatan RI tahun 2021 menurun jika dibandingkan dengan hasil Kementerian

Kesehatan RI tahun 2019 yaitu sebesar 28,98% menjadi 24,8% dengan 16,1%

kasus stunting di Kota Palembang (Kementerian Kesehatan RI, 2019 dan

Kementerian Kesehatan RI, 2021).

Seperti diketahui bahwa penyebab stunting bisa berasal dari faktor internal

maupun faktor eksternal. Faktor karakteristik demografi merupakan faktor yang

terkait faktor eksternal. Faktor karakteristik demografi di antaranya pendidikan

orang tua, tempat tinggal, status bekerja, perilaku hidup, dan lainnya memiliki

pengaruh terhadap kejadian stunting pada anak (Dwi, 2020). Hasil penelitian

Linda (2019) juga menunjukkan adanya hubungan bermakna antara faktor

prenatal (usia ibu saat hamil, status gizi ibu saat hamil), faktor pascanatal (ASI

Eksklusif, riwayat imunisasi, penyakit infeksi), Karakteristik keluarga (pendidikan

ibu, pekerjaan ayah dan status sosial ekonomi) dengan kejadian stunting (Linda,

2019).

Faktor internal meliputi keadaan dalam lingkungan rumah anak. Faktor

internal di dalam rumah anak sendiri perlu diperhatikan perawatan anak,

pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif dan Makanan Pendamping Air Susu Ibu

2
(MPASI) yang optimal, keadaan ibu, kondisi rumah, kualitas makanan yang

rendah, keamanan makanan dan air, dan infeksi (Nur, 2020).

Salah satu upaya pemerintah untuk menurunkan yaitu dengan

Gerakan nasional (Gernas) percepatan perbaikan gizi dengan prioritas

Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) (Kemenkes RI, 2018). Seribu hari

pertama kehidupan atau the first thousand days merupakan suatu periode di dalam

proses pertumbuhandan perkembangan yang dimulai sejak konsepsi sampai

anak berusia 2 tahun. Dimana pada program 1000 hari pertama mencakup

perawatan Ante Natal Care dan pemberian ASI eksklusif, imunisasi, dan

pemberian makanan tambahan pada anak diatas umur 6 bulan. Hasil penelitian

Masta, et all (2022) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kunjungan

antenatal care dengan kejadian stunting diketahui dengan nilai p sebesar 0,000

(p<0,05). Dengan keeratan hubungan sedang ditandai dengan nilai koefisien

korelasi sebesar (r)=0,389 (Masta et all, 2022). Tidak hanya perawatan ANC pada

bayi, asi ekslusif juga mempengaruhi terjadinya stunting. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Anita, et all (2020) menunjukkan ada hubungan pemberian ASI

eksklusif dengan kejadian stunting pada balita. Sedangkan pada uji odds ratio

didapatkan nilai OR = 61 yang artinya balita yang tidak diberikan ASI eksklusif

berpeluang 61 kali lipat mengalami stunting dibandingkan balita yang diberi ASI

eksklusif. Hal ini sejalan dengan penelitian Lidia Fitri (2018) ada hubungan yang

bermakna antara ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada balita di Puskesmas

Lima Puluh (Lidia Fitri, 2018).

Stunting telah ditetapkan sebagai permasalahan nasional yang perlu

mendapat perhatian setiap elemen bangsa. Untuk mengurangi jumlah stunting

3
banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, seperti anggaran ditambah,

memetakan daerah dengan prevalensi stunting tertinggi, serta instruksi-instruksi

kepada para stakeholder untuk melakukan perhatian khusus untuk menangani

stunting.

Stunting memiliki dampak yang besar terhadap tumbuh kembang anak dan

juga perekonomian Indonesia di masa yang akan datang. Dampak stunting

terhadap kesehatan dan tumbuh kembang anak sangat merugikan. Stunting dapat

mengakibatkan gangguan tumbuh kembang anak terutama pada anak berusia di

bawah dua tahun. Anak-anak yang mengalami stunting pada umumnya akan

mengalami hambatan dalam perkembangan kognitif dan motoriknya yang akan

mempengaruhi produktivitasnya saat dewasa. Selain itu, anak stunting juga

memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita penyakit tidak menular seperti

diabetes, obesitas, dan penyakit jantung pada saat dewasa (Kemenkes RI, 2018).

Berdasarkan pernyataan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Stunting Pada Balita

Usia 24 – 59 Bulan Di Kota Palembang Tahun 2022”.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada balita usia 24

– 59 bulan di kota Palembang tahun 2022.

4
1.3 Pembatasan Masalah

Penelitian ini hanya menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi

kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di kota Palembang tahun 2022 ?

1.4 Rumusan Masalah

Tingginya angka kejadian stunting di wilayah Kota Palembang,

dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak yang berpengaruh terhadap derajat

kesehatan anak diwilayah tersebut. Maka didapatkan sebuah rumusan masalah

mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian stunting pada balita usia

24 – 59 bulan di kota Palembang tahun 2022.

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi dan menjelaskan faktor apa saja yang

berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di

kota Palembang tahun 2022.

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi dan menjelaskan Gambaran Pengetahuan

Ibu mengenai stunting, ASI ekslusif, Status Gizi Ibu , kunjungan

Ante Natal Care (ANC) dan sanitasi Dasar Rumah Tangga

terhadap yang kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di

kota Palembang tahun 2022

2. Untuk mengidentifikasi dan menjelaskan hubungan Pengetahuan

Ibu dalam mencegah stunting terhadap kejadian stunting pada

5
balita usia 24 – 59 bulan di kota Palembang tahun 2022

3. Untuk mengidentifikasi dan menjelaskan hubungan ASI ekslusif

terhadap kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di kota

Palembang tahun 2022

4. Untuk mengidentifikasi dan menjelaskan hubungan Status Gizi

ibu terhadap kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di

kota Palembang tahun 2022

5. Untuk mengidentifikasi dan menjelaskan hubungan kunjungan

Ante Natal Care (ANC) terhadap kejadian stunting pada balita

usia 24 – 59 bulan di kota Palembang tahun 2022

6. Untuk mengidentifikasi dan menjelaskan hubungan sanitasi dasar

terhadap kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di kota

Palembang tahun 2022

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

dan menambah wawasan mengenai faktor-faktor yang berhubungan

kejadian stunting pada balita umur 24-59 bulan bulan, sehingga tahu

bagaimana cara mencegah terjadinya stunting.

1.6.2 Secara Praktis

1. Bagi Masyarakat didaerah penelitian

Sebagai bahan untuk membuka pemikiran lebih luas dan

merangsang pemikiran masyarakat yang diawali dari upaya individu

6
hingga menjadi tahu, mau juga mampu untuk mengatasi permasalahan

kesehatan terutama dalam mencegah kejadian stunting

dilingkungannya sehingga masyarakat mampu meningkatkan rasa

keterbukaan dan kreatifitasnya untuk mencapai strategi lain ketika

merasa bahwa dibutuhkan adanya strategi perubahan kondisi

lingkungankah ataupun perubahan perilaku terkait dengan masalah

baru yang timbul didaerah setempat. Juga terkhusus untuk Ibu yang

memiliki balita, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai

bahan evaluasi bagi masing-masing ibu untuk lebih memperhatikan

hal-hal yang dapat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak di

masa depan dan dapat memampukan diri dalam mengupayakan

tercapainya kesehatan ibu dan anak, sehingga dapat terhindar dari

kejadian stunting pada anak.

2. Bagi Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Kader Bangsa

Sebagai bahan kepustakaan kampus, sehingga dapat menambah

ilmu dan wawasan pembaca mengenai Faktor kejadian stunting,

terutama mahasiswa program studi Pascasarjana Kesehatan

Masyarakat Universitas Kader Bangsa.

3. Bagi Peneliti

Sebagai salahsatu upaya untuk memperoleh atau menemukan

fakta/bukti secara empiris mengenai faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di kota

palembang tahun 2022, sebagai bahan pembelajaran, dan penambahan

wawasan.

7
4. Bagi Peneliti yang Akan Datang

Hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi rujukan bagi

peneliti yang akan datang, khususnya yang mengambil penelitian

tentang stunting.

8
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting

2.1.1 Pengertian Stunting

Stunting atau tubuh yang pendek, merupakan suatu retardasi

pertumbuhan linear yang telah digunakan sebagai indikator secara luas untuk

mengukur status gizi masyarakat (Laili, 2018). Stunting (tubuh yang pendek)

menggambarkan keadaan gizi kurang yang sudah berjalan lama dan

memerlukan waktu bagi anak untuk berkembang serta-- pulih kembali

(Marta, 2019).

Stunting didefinisikan sebagai memiliki skor z tinggi badan untuk usia

(HAZ) <–2SD. HAZ dihitung dengan mengurangi nilai median yang sesuai

usia dan jenis kelamin dari populasi standar dan membaginya dengan SD

populasi standar Anak-anak yang terhambat adalah bagian dari mereka yang

mengalami perlambatan pertumbuhan linier (Leroy dan Frongillo, 2019 dan

Marta, 2019).

2.1.2 Pengukuran status stunting dengan antropometri PB/U atau

TB/U

Parameter antropometri merupakan dasar penilaian status gizi. Indeks

antropometri merupakan kombinasi dari parameter-parameter yang ada.

Standar Antropometri Anak didasarkan pada parameter berat badan dan

panjang/tinggi badan yang terdiri atas 4 (empat) indeks, meliputi: Berat

Badan menurut Umur (BB/U) Panjang/Tinggi Badan menurut Umur (PB/U

atau TB/U) Berat Badan menurut Panjang/Tinggi Badan (BB/PB atau


9
BB/TB) dan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U). (Kemenkes 2020)

Panjang badan menurut umur atau umur merupakan pengukuran

antropometri untuk status stunting. Panjang badan merupakan antropometri

yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal

panjang badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pengukuran tinggi

badan harus disertai pencatatan usia (TB/U). Tinggi badan diukur dengan

menggunakan alat ukur tinggi stadiometer Holtain (bagi yang bisa berdiri)

atau baby length board (bagi balita yang belum bisa berdiri). Stadiometer

holtain terpasang di dinding dengan petunjuk kepala yang dapat digerakkan

dalam posisi horizontal. Alat tersebut juga memiliki jarum petunjuk tinggi

dan ada papan tempat kaki (Nurul., 2019)

Penilaian status gizi anak dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan,

upaya kesehatan bersumber daya masyarakat, dan institusi pendidikan,

melalui skrining dan survei. Penilaian status gizi anak dilakukan dengan

membandingkan hasil pengukuran berat badan dan panjang/tinggi badan

dengan Standar Antropometri Anak yang menggunakan indeks berat badan

menurut umur (BB/U) anak usia 0 (nol) sampai dengan 60 (enam puluh)

bulan, indeks panjang badan atau tinggi badan menurut umur (PB/U atau

TB/U) anak usia 0 (nol) sampai dengan 60 (enam puluh) bulan, indeks berat

badan menurut panjang badan atau tinggi badan (BB/PB atau BB/TB) anak

usia 0 (nol) sampai dengan 60 (enam puluh) bulan, indeks massa tubuh

menurut umur (IMT/U) anak usia 0 (nol) sampai dengan 60 (enam puluh)

bulan dan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) anak usia lebih dari 5

(lima) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. (Kemenkes 2020).

10
Sekedar pembakuan, WHO menganjurkan penggunaan data dari NCHS

sebagai acuan.

Kategori dan ambang batas status stunting balita berdasarkan PB/U,

dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut

Tabel 2.1. Ambang batas stunting berdasarkan PB/U

Indikator Status gizi Keterangan

Panjang Badan menurut Sangat pendek (stunted) < -3,0 SD

Umur (TB/U) Pendek (stunted) ≥- 3 SD s.d <-2 SD

Normal ≥-2 SD

Sumber : (Nurul., 2019)

Indeks antropometri katagori status gizi, dijelaskan pada tabel 2.2.

sebagai berikut ini :

Tabel 2.2. Indeks Antropometri

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)

Berat Badan menurut Berat badan sangat kurang <-3 SD

Umur (BB/U) anak (severely underweight) - 3 SD sd <- 2 SD

usia 0- 60 bulan Berat badan kurang

(underweight)

Berat badan normal -2 SD sd +1 SD

Risiko Berat badan lebih 1 > +1 SD

Panjang Badan atau Sangat pendek (severely <-3 SD

Tinggi Badan menurut stunted)

Umur (PB/U atau Pendek (stunted) - 3 SD sd <- 2 SD

11
TB/U) anak usia 0 - 60 Normal -2 SD sd +3 SD

bulan Tinggi 2 > +3 SD

Berat Badan menurut Gizi buruk (severely <-3 SD

Panjang wasted)

Badan atau Tinggi Gizi buruk (severely <-3 SD

Badan (BB/PB atau wasted)

BB/TB) anak usia 0 - Gizi kurang (wasted) - 3 SD sd <- 2 SD

60 bulan Gizi baik (normal) -2 SD sd +1 SD

Berisiko gizi lebih > + 1 SD sd + 2 SD

(possible risk of

overweight)

Gizi lebih (overweight) > + 2 SD sd + 3 SD

Obesitas (obese) > + 3 SD

Gizi buruk <-3 SD

(severelywasted)3

Indeks Massa Tubuh Gizi kurang - 3 SD sd <- 2 SD

menurut Umur (severelywasted)3

(IMT/U) anak usia 0 Gizi baik (normal) -2 SD sd +1 SD

- 60 bulan Berisiko gizi lebih > + 1 SD sd + 2 SD

(possible risk of

overweight)

Gizi lebih (overweight) > + 2 SD sd + 3 SD

Obesitas (obese) > + 3 SD

Indeks Massa Tubuh Gizi buruk (severely <-3 SD

12
menurut Umur thinness)

(IMT/U) anak usia 5 Gizi kurang (thinness) - 3 SD sd <- 2 SD

- 18 tahun Gizi baik (normal)

Gizi lebih (overweight) -2 SD sd +1 SD

Obesitas (obese) > + 1 SD sd + 2 SD

Pengukuran antropometri pertama dilakukan dalam 72 jam setelah

lahir. Pengukuran antropometri bulanan dilakukan mengikuti prosedur

standar. Anak- anak ditimbang dengan pakaian minimal menggunakan

timbangan digital 10 Kg dan Panjang telentang (anak < 2 tahun) diukur

menggunakan papan ukur ke terdekat 1 mm, menurut metodologi

antropometri standard. Menghitung indeks antropometri yang berbeda: bobot-

untuk-usia, zscore (WAZ), panjang untuk-usia, z-score (LAZ) dan weightfor-

length, z-score (WLZ). Berdasarkan standar ini, stunting didefinisikan

sebagai LAZ kurang dari dua standar deviasi di bawah median usia spesifik

(Islam et al., 2018).

2.1.3 Penyebab stunting

Stunting dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang dibagi menjadi

4 kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan/

komplementer yang tidak adekuat, menyusui, dan infeksi. Faktor keluarga

dan rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor maternal dan faktor lingkungan

rumah. Faktor maternal berupa nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi,

kehamilan dan laktasi, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilan pada

usia remaja, kesehatan mental, Intrauterine Growth Restriction (IUGR),

13
kelahiran preterm, jarak kehamilan yang pendek, dan hipertensi (Nurul,

2019).

Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang

tidak adekuat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasukan air yang tidak

adekuat, akses dan ketersediaan pangan yang kurang, alokasi makanan dalam

rumah tangga yang tidak sesuai, dan edukasi pengasuh yang rendah. Faktor

kedua penyebab stunting adalah makanan komplementer yang tidak adekuat,

yang dibagi menjadi tiga, yaitu kualitas makanan yang rendah, cara

pemberian yang tidak adekuat, dan keamanan makanan dan minuman.

Kualitas makanan yang rendah dapat berupa kualitas mikronutrien

yang rendah, keragaman jenis makanan yang dikonsumsi dan sumber

makanan hewani yang rendah, makanan yang tidak mengandung nutrisi, dan

makanan komplementer yang mengandung energi rendah. Cara pemberian

yang tidak adekuat berupa frekuensi pemberian makanan yang rendah,

pemberian makanan yang tidak adekuat ketika sakit dan setelah sakit,

konsistensi makanan yang terlalu halus, pemberian makan yang rendah dalam

kuantitas. Keamanan makanan dan minuman dapat berupa makanan dan

minuman yang terkontaminasi, kebersihan yang rendah, penyimpanan dan

persiapan makanan yang tidak aman (Nurul, 2019).

Faktor ketiga yang dapat menyebabkan stunting adalah pemberian

ASI (Air Susu Ibu) yang salah, karena inisiasi yang terlambat, tidak ASI

eksklusif, dan penghentian penyusuan yang terlalu cepat. Faktor keempat

adalah infeksi klinis dan sub klinis seperti infeksi pada usus : diare,

environmental enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan, malaria, nafsu

14
makan yang kurang akibat infeksi, dan inflamasi (Nurul, 2019).

2.1.4 Patofisiologi Stunting

Menurut Lissauer (2013), pertumbuhan panjang janin tersebut

disebabkan karena insufisiensi uteroplasental dengan berkurangnya transfer

oksigen pada janin. Adaptasi janin terhadap keadaan hipoksia seperti otak dan

jantung. Kelenjar adrenal adalah mempertahankan pasokan darah pada organ

penting dengan demikian mengorbankan pasokan pada organ lain.

Kekurangan makanan yang berkelanjutan dan terjadi selama periode

pertumbuhan, menunjukkan perubahan yang relatif besar pada otak, jantung,

ginjal, timus serta otot-otot dengan kemungkinan konsekuensi pada saat

dewasa. Penyesuaian ini diikuti dengan perubahan cepat pada insulin dan

glucagon (Yanisti et al., 2017)

Patogenesis stunting meskipun prevalensi stunting global tinggi,

patogenesis yang mendasari kegagalan pertumbuhan linier. Dari studi

epidemiologi terlihat bahwa suboptimal praktik menyusui dan makanan

pendamping, infeksi berulang dan defisiensi mikronutrien adalah penentu

proksimal penting dari stunting. Kegagalan pertumbuhan linier juga terjadi

dalam kompleks interaksi komunitas dan masyarakat seperti akses ke

perawatan kesehatan dan pendidikan, stabilitas politik, urbanisasi, kepadatan

penduduk dan dukungan sosial (Prendergast dan Humphrey, 2014)

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi. intervensi paling

menentukan pada 1.000 HPK (1000 Hari Pertama Kehidupan). Kemendes

PDTT, 2017

1. Praktek pengasuhan yang tidak baik.

15
a) Kurang pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan pada

masa kehamilan.

b) 60 % dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI ekslusif.

c) 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makana Pengganti

ASI.

2. Terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC (ante natal

care), post natal dan pembelajaran dini yang berkualitas

a) 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di Pendidikan anak Usia

Dini

b) dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang

memadai

c) Menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu (dari 79% di 2007

menjadi 64% di 2013)

d) Tidak mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi

3. Kurangnya akses ke makanan bergizi

a) 1 dari 3 ibu hamil anemia

b) Makanan bergizi mahal

4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi

a) 1 dari 5 rumah tangga masih BAB diruang terbuka

b) 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.

2.1.5 Ciri- ciri stunting anak

Menurut (Kemendes PDTT, 2017), ciri-ciri stunting adalah :

1) Tanda pubertas terlambat.

2) Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar.

16
3) Pertumbuhan gigi terlambat.

4) Usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam tidak banyak melakukan

eye contact.

5) Pertumbuhan melambat.

6) Wajah tampak lebih muda dari usianya.

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh stunting:

a) Jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,

gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam

tubuh.

b) Dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah

menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya

kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk

munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan

pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.

2.1.6 Ciri-ciri anak sehat

Bayi dan anak-anak yang sehat umumnya mencapai puncak

perkembangan mereka di usia yang sesuai. Namun, sementara ada standar

yang menjadi patokan semua anak diukur untuk perbedaan individu. Tes

pertama untuk mengukur bayi kesehatan adalah tes APGAR. Tes ini

dilakukan di rumah sakit segera setelah lahir. Menilai lima tanda vital pada

bayi baru lahir, yaitu:

a. Detak jantung.

b. Upaya pernapasan (apakah bayi bernapas dengan mudah).

c. Bentuk otot.

17
d. Aktivitas refleks.

e. Warna.

Sebelum ibu dan bayi meninggalkan rumah sakit, pemeriksaan tulang

belakang, alat kelamin, telinga, jantung, paru-paru, tangan dan kaki, dan

lainnya dilakukan untuk memastikan bayinya normal dan sehat.

Tabel 2.3 refleks penting pada bayi

Refleks Definisi

Moro (or startle) reflex Terlihat saat bayi menjulurkan tangan

saat mendengar suara nyaring

kebisingan atau diletakkan tiba-tiba.

Ini adalah indikator penting dari

sistem saraf bayi

Rooting reflex Terlihat saat jari diletakkan di dekat

mulut bayi. Dia akan putar kepala

mereka ke arah jari, buka mulut

mereka dan cobalah untuk mengisap.

Tonic neck reflex Hadir sampai bayi berusia sekitar 7

bulan. Terlihat saat bayi memutar

kepala mereka ke satu sisi, dan lengan

dan kaki di sisi itu meluruskan.

Lengan dan kaki di sisi lain fleksi.

Jika refleks ini tidak tidak hilang

dalam 7 bulan, ini mungkin

menunjukkan keterlambatan

18
perkembangan.

Grasp reflex Terlihat ketika seseorang meletakkan

jari di tangan bayi yang baru lahir dan

bayinya menggenggam jari itu erat-

erat

Sumber : (Potgieter, 2016)

Seorang bayi yang sehat harus memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut:

a. Kulit yang bersih, atau warna kulit yang bagus.

b. Rambut yang berkilau dan dalam kondisi baik.

c. Mata cerah dan jernih tanpa bengkak atau kemerahan.

d. Saluran hidung yang bersih, serta tidak ada cairan dari telinga.

e. Gigi putih yang kuat.

f. Gusi merah muda dan sehat.

g. Nafsu makan yang baik.

h. Pertambahan berat badan yang tepat dan pertumbuhan secara

keseluruhan.

i. Lapisan lemak normal di bawah kulit.

j. Sirkulasi darah baik tanpa mati rasa pada anggota badan.

k. Suhu tubuh normal (± 37 °C).

l. Sistem pencernaan yang sehat (tidak sembelit atau diare), dengan

setidaknya enam kali basah popok per hari.

Ciri-ciri perilaku sehat antara lain:

a. Respons normal terhadap gerakan dan suara saat waspada.

b. Tingkat aktivitas yang baik.

19
c. Refleks yang baik.

d. Kebiasaan tidur yang baik.

e. Nafsu makan yang baik.

f. Kepuasan setelah makan (tidak terus menangis setelah diberi makan).

g. Berinteraksi dengan baik dengan teman sebaya (sesuai untuk

tahap perkembangan).

h. Tertarik dan ingin mendalami lingkungan.

Untuk balita dan anak kecil yang sehat, daftar fisik dan perilaku di

atas karakteristik juga berlaku, tetapi berikut ini dapat ditambahkan:

a. Pandangan positif.

b. Dapat bergaul dengan baik dengan teman sekelas dan guru.

c. Senang dan menyenangkan.

d. Memiliki keterampilan motorik halus dan kasar sesuai usia.

e. Ingin tahu dan aktif.

f. Memiliki postur dan struktur tulang yang baik.

g. Penggunaan dan pemahaman bahasa (Potgieter, 2016)

2.1.7 Pencegahan dan Penanggulangan Kejadian stunting

Periode yang paling kritis dalam penanggulangan stunting dimulai

sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia 2 tahun yang disebut

dengan periode emas (seribu hari pertama kehidupan). Oleh karena itu,

perbaikan gizi diprioritaskan pada usia seribu hari pertama kehidupan yaitu

270 hari selama kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi

yang dilahirkannya. Pencegahan dan penanggulangan stunting yang paling

efektif dilakukan pada seribu hari pertama kehidupan meliputi :

20
(KemenkesRI, 2018b)

1. Pada ibu hamil

a. Memperbaiki gizi dan kesehatan ibu hamil merupakan cara

terbaik dalam mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat

makanan yang baik. Apabila ibu hamil dalam keadaan sangat

kurus atau telah mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka

perlu diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut.

b. Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal

90 tablet selama kehamilan.

c. Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami

sakit.

2. Pada saat bayi lahir

a. Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu

bayi lahir melakukan IMD (Inisiasi Menyusu Dini)

b. Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi ASI saja (ASI

Eksklusif)

3. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun

a. Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan

Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan

sampai bayi berumur 2 tahun.

b. Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, taburia, imunisasi

dasar lengkap.

21
c. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya

yang sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya

gangguan pertumbuhan.

d. d. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus

diupayakan oleh setiap rumah tangga termasuk meningkatkan

akses terhadap air bersih dan d. Perilaku Hidup Bersih dan

Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap rumah tangga

termasuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas

sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. PHBS

menurunkan kejadian sakit terutama penyakit infeksi yang dapat

membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada

perlawanan tubuh menghadapi infeksi, gizi sulit diserap oleh

tubuh dan terhambatnya pertumbuhan.

Secara langsung masalah gizi disebabkan oleh rendahnya asupan gizi

dan masalah kesehatan. Selain itu, asupan gizi dan masalah kesehatan

merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Adapun pengaruh tidak

langsung adalah ketersediaan makanan, pola asuh dan ketersediaan air

minum bersih, sanitasi dan pelayanan kesehatan. Seluruh faktor

penyebab ini dipengaruhi oleh beberapa akar masalah yaitu kelembagaan,

politik dan ideologi, kebijakan ekonomi, sumber daya, lingkungan, teknologi,

serta kependudukan.

Berdasarkan faktor penyebab masalah gizi tersebut, maka perbaikan

22
gizi dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara langsung (kegiatan

spesifik) dan secara tidak langsung (kegiatan sensitif). Kegiatan spesifik

umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan seperti PMT ibu hamil KEK,

pemberian tablet tambah darah, pemeriksaan kehamilan, imunisasi TT,

pemberian vitamin A pada ibu nifas. Untuk bayi dan balita dimulai dengan

IMD, ASI eksklusif, pemberian vitamin A, pemantauan pertumbuhan,

imunisasi dasar dan pemberian MP-ASI (Nurul, 2019).

2.2 Faktor-faktor yang berhubungan dengan stunting

2.2.1 ASI Eksklusif

Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif adalah pemberian Air Susu Ibu

(ASI) tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau

minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak baru dilahirkan selama 6

bulan (Larasati, 2018).

ASI eksklusif adalah pemberian makanan hanya brupa ASI tanpa

pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada saat anak berusia 0-6

bulan (Al-Anshori, 2013). Pemberian ASI eksklusif pada 6 bulan pertama

dapat menghasilkan pertumbuhan tinggi badan yang optimal. Durasi

pemberian ASI yang tidak cukup menjadi salah satu faktor resiko yang

menyebabkan defisiensi makronutrien maupun mikronutrien pada usia dini

(Abdurrakhman 2015 dalam Yusdarif 2017).

Lidia Fitri (2018), dalam penelitiannya menyatakan bahwa status

menyusui juga merupakan faktor risiko terhadap kejadian stunting. Terdapat

hubungan antara pemberian ASI ekslusif dengan kejadian stunting diperoleh

23
nilai p value 0.021 artinya p<0,05 (Lidia, 2018).

2.2.2 Berat badan lahir

BBLR adalah bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram
tanpa melihat masa kehamilan (Supriyanto et al., 2017). Dampak BBLR
akan berlangsung antar generasi. Seorang anak yang mengalami BBLR
kelak juga akan mengalami defisit pertumbuhan (ukuran antropometri yang
kurang) di masa dewasanya. Bagi perempuan yang lahir BBLR (Rahayu et
al., 2018).
Penelitian yang dilakukan oleh Supriyanto, Paramashanti, dan Astiti
2017 di Sedayu Kabupaten Bantul sejalan dengan penelitian ini,
menunjukan bahwa BBLR dinyatakan berhubungan secara statistik dengan
kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan. Dan hasil penelitian
menujukan nilai odds rasio 6,16 yang berarti anak yang mengalami BBLR
sangat beresiko mengalami stunting. Penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Fatimah Chandra, et all (2020) bahwa BBLR
merupakan faktor resiko kejadian stunting pada balita usia 2 - 5 tahun di
Desa Umbulrejo, Gunung Kidul.

2.2.3 Usia ibu melahirkan

Usia ibu mempunyai hubungan erat dengan berat bayi lahir, pada usia

ibu yang masih muda<20 tahun, perkembangan organ-organ

reproduksi dan fungsi fisiologisnya belum optimal. Selain itu emosi dan

kejiwaannya belum cukup matang, sehingga pada saat kehamilan ibu

tersebutbelum dapat menghadapi kehamilannya secara sempurna, dan

sering terjadi komplikasi-komplikasi.Risiko kehamilan akan terjadi pada

ibu yang melahirkan dengan usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35

tahun erat kaitannya dengan terjadinya preeclampsia, pertumbuhan janin

yang buruk. Ini menunjukkan bahwa usia ibu pada kehamilan dapat

24
mengakibatkan hasil kelahiran yang buruk yang menghambat

pertumbuhan potensial anak (Sari and Sartika, 2021).

Status gizi anak dipengaruhi usia ibu. Usia yang muda

meningkatkan risiko melahirkan premature, keterlambatan pertumbuhan

dalam rahim, kematian ibu dan janin juga kekurangan gizi. Ibu yang

masih mudah juga umumnya memiliki status gizi yang kurang

dibandingusia ibu ideal (20-35 tahun). Ibu yang hamil diusia yang

terlalu tua juga memiliki kehamilan risiko tinggi diantaranya

persalinan premature/BBLR, kelainan kromosom dan keterlambatan

pertumbuhan dalam rahim (Rasmussen and Yaktine, 2009; Fall et al.,

2015; Dewey, 2016).

Ibu yang pertama kali hamil diusia ≥25 tahun memiliki efek

perlindungan yang signifikan terhadap peluang seorang bayi baru lahir

mengalami stunting. Studi terhadap 55 negara menunjukkan bahwa

meningkatkan usia pada kehamilan 54pertama menjadi 27-29 dapat

menurunkan angka kematian bayi dan hasil kesehatan anak yang

merugikan (Stunting, kurus, anemia, diare). Ibu yang kehamilan

pertamanya berada dalam kisaran usia 27-29 (kelahiran pertama

tertunda) lebih cenderung hidup dalam kondisi sanitasi yang lebih baik,

memiliki tingkat pendidikan tinggi, memiliki status sosial ekonomiyang

lebih tinggi, memiliki pasangan, dan tinggal di daerah perkotaan(Sari and

Sartika, 2021).

2.2.4 Pendapatan /Sosial ekonomi

Kekurangan gizi sering kali bagian dari lingkaran yang meliputi

25
kemiskinan dan penyakit. Pendapatan keluarga mempengaruhi kehidupan

perekonomian keluarga yang turut berdampak terhadap kemampuan

keluarga dalam menyediakan asupan makanan keluarga.

Tingkat sosial ekonomi mempengaruhi kemampuan keluarga untuk

mencukupi kebutuhan zat gizi balita, disamping itu keadaan sosial ekonomi

juga berpegaruh pada pemilihan macam makanan tambahan dan waktu

pemberian makananya serta kebiasan hidup sehat (Ngaisyah, 2015)

Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah

mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih sedikit dari pada anak-

anak dari keluarga dengan status ekonomi lebih baik. Mereka

mengkonsumsi energi dan zat gizi dalam jumlah yang lebih lebih sedikit

(Rahayu et al., 2018).

Pendapatan dapat dilihat dengan membandingkan upah minimum

disetiap daerah sekitar. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja

Nomor: PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum Regional (UMR).

Untuk wilayah kabupaten disebut UMK/UMSK (Upah Minimum Sektor

Kabupaten/Kota). Penelitian yang dilakukan oleh (Khoirun, dkk 2015)

menunjukan bahwa pendapatan keluarga berhubungan signifikan dengan

kejadian stunting dimana nilai p=0,000.

2.2.5 Pendidikan orang tua

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan

menengah yang mencakup program pendiddikan diploma, sarjana, magister,

spesialis dan doktor yang diselenggarakan oleh pengguna tinggi dan

diselenggarakan dengan sistem terbuka. Ibu dengan pendidikan tinggi

26
mempunyai pengetahuan yang lebih luas tentang praktik perawatan anak

(Dewi et al., 2019)

Pada anak yang berasal dari ibu dengan tingkat pendidikan tinggi

memiliki tinggi badan 0,5 cm lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang

memiliki ibu dengan tingkat pendidikan rendah (Rahayu et al., 2018)

2.2.6 Kunjungan ANC

Ante Natal Care (ANC) merupakan pelayanan kesehatan yang

diberikan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama kehamilannya dan

dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan dalam

Standar Pelayanan. Berguna untuk mendeteksi risiko terjadinya komplikasi

kehamilan. Indikator ANC yang sesuai dengan MDGs adalah K1 (ANC

minimal satu kali) dan ANC minimal empat kali dan indikator ANC untuk

evaluasi program pelayanan kesehatan ibu di Indonesia yaitu cakupan K1

ideal dan K4 (Amini, 2017).

Menurut penelitian Anindya (2022), didapatkan hasil p menyatakan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kunjungan ANC terhadap

kejadian stunting (p=0,000).

27
2.3 Penelitian Terkait

Tabel 2.4 Penelitian Terdahulu

No Nama dan Tahun Judul Jenis Penelitian Hasil

1 Dwi Ardian1, Efri Diah Pengaruh Karakteristik Metode analisis yang Pendidikan ibu, pendidikan ayah,

Utami (2020) Demografi Terhadap digunakan adalah riwayat pemeriksaan kehamilan

Kejadian Stunting Pada Metode analisis ibu, riwayat konsumsi TTD saat

Balita Di Provinsi menggunakan regresi kehamilan ibu, dan usia ibu saat

Sulawesi Barat logistik biner melahirkan memiliki pengaruh

signifikan terhadap kejadian

stunting pada balita. Hasil ini

menunjukkan bahwa

pengetahuan dan kesadaran

rumah tangga adalah langkah

utama upaya preventif mencegah

28
kejadian stunting.

2 Febriana Dwi Bella, Et Hubungan antara Pola Penelitian ini Hasil penelitian menunjukkan

all (2020) Asuh Keluarga dengan merupakan penelitian bahwa proporsi balita stunting

Kejadian Balita Stunting observasional yang pada keluarga miskin di

pada Keluarga Miskin di menggunakan Palembang

Palembang pendekatan kuantitatif adalah 29%. Hasil analisis

dengan bivariat menunjukkan bahwa ada

Desain Cross hubungan antara pemberian

Sectional Study makan

kebiasaan (p = 0,000); kebiasaan

mengasuh anak (p = 0,001);

kebiasaan kebersihan (p =

0,021); dan kebiasaan

mendapatkan

29
pelayanan kesehatan (p=0,000)

dengan kejadian stunting pada

balita.

3 Anita Rahmawati, et all Faktor yang Berhubungan Penelitian ini Hasil penelitian menunjukkan

(2019) dengan Pengetahuan menggunakan desain faktor yang berhubungan dengan

Orangtua tentang Stunting crosssectional pengetahuan tentang stunting

pada Balita yaitu usia (p=0,017), pendidikan

(p=0,043), informasi (p=0,002).

Analisis uji regresi logistik

menunjukkan informasi menjadi

faktor yang paling dominan

terhadap pengetahuan (p=0,025).

Faktor yang tidak berhubungan

yaitu pekerjaan (p=0,078) dan

30
pengalaman (p=0,822).

4 Verawati Sudarma Hubungan status gizi Penelitian Untuk status gizi didapatkan

(2018) dengan kejadian stunting menggunakan studi lebih banyak anak yang memiliki

pada balita di Posyandu observasional dengan gizi normal (76,8%)

Lingai Raya desain potong lintang dibandingkan dengan anak yang

memiliki status gizi kurang

(23,2%). Pada anak perawakan

normal didapatkan lebih banyak

(56,1%) dibandingkan dengan

anak yang memiliki perawakan

stunting (43,9%). Dari hasil

analisis bivariat dengan uji Chi-

square menunjukan tidak adanya

hubungan yang bermakna antara

31
status gizi dan stunting. Tidak

terdapat hubungan antara status

gizi dan stunting pada anak balita

4 Agus Darmawan Kunjungan ANC, Desain penelitian Hasil memperlihatkan bahwa

(2022) posyandu dan imunisasi yang digunakan riwayat kunjungan ANC

dengan kejadian stunting adalah cross sectional memiliki hubungan dengan

pada balita di Kabupaten study kejadian stunting (p= 0,044),

Buton Tengah kunjungan posyandu memiliki

hubungan dengan kejadian

stunting (p= 0,001), dan status

imunisasi memiliki hubungan

dengan kejadian stunting (p=

0,005).

32
2.4 Kerangka Analisis

Kerangka analisis untuk faktor-faktor yang terkait dengan stunting pada

anak di bawah usia dua tahun di Indonesia dijelaskan pada Bagan 2.1

Bagan 2.1 Analisis untuk faktor-faktor yang terkait dengan stunting pada anak di

bawah usia dua tahun di Indonesia (Titaley et al., 2019)

33
2.5 Kerangka Teori

Kerangka teori yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak

dijelaskan pada Bagan 2.2. Sebagai berikut .

Karakteristik Balita:
Umur , jenis
kelamin, Berat lahir Asupan makanan
anak, Usia
kehamilan saat lahir

Karakteristik Orang
Tua: , Umur,
Stunting
Pendidikan ,
Pekerjaan, Umur
ibu saat melahirkan
Faktor Tidak
Karakteristik Langsung:
Keluarga: Ketahanan
1. Jarak kelahiran pangan rumah tangga
anak Pola
2. Urutan pengasuhan
kelahiran anak anak (pola
3. Jumlah anggota asuh makan)
keluarga San
4. Tingkat itasi
Pendapatan lingkungan
Pemanfaatan
pelayanan
kesehatan

Bagan 2.2 Kerangka teori UNICEF dalam BAPPENAS,2011; (Laili, 2018)

34
BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian merupakan justifikasi ilmiah terhadap penelitian

yang dilakukan dan memberikan landasan kuat terhadap topik yang dipilih sesuai

dengan identifikasi masalah (Hidayat.A.A.,2007). Kerangka konsep pada

penelitian ini dapat dilihat pada Bagan 3.1 di bawah ini:

Variabel Independen Variabel Dependen

Karakteristik Balita:
Jenis Kelamin, Berat Badan
Bayi Lahir, Panjang Bayi
Lahir, Riwayat Asi Ekslusif
Karakteristik Orang Tua:
Usia Ibu Saat Melahirkan,
Pendidikan

Stunting
Karakteristik Keluarga:
Pendapatan, Jarak Kelahiran
Anak

Faktor Tidak Langsung:


Kunjungan ANC Balita

Bagan 3.1 Kerangka konsep kejadian stunting

3.2 Hipotesis Penelitian

35
Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Ada hubungan faktor karakteristik balita (Jenis Kelamin, Berat badan

bayi lahir, Panjang bayi lahir) dengan kejadian stunting pada balita

usia 24 – 59 bulan di kota Palembang tahun 2022.

2. Ada hubungan faktor karakteristik orang tua (Usia ibu Saat

Melahirkan, Pendidikan) dengan kejadian stunting pada balita usia 24

– 59 bulan di kota Palembang tahun 2022.

3. Ada hubungan faktor karakteristik keluarga (Pendapatan, Jarak

Kelahiran Anak) dengan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59

bulan di kota Palembang tahun 2022.

4. Ada hubungan faktor tidak langsung (Kunjungan ANC Balita) dengan

kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di kota Palembang

tahun 2022.

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.3.1 Variabel Penelitian

Variabel merupakan karakteristik atau ciri yang dimiliki oleh subjek

dan sifatnya bervariasi dalam arti berubah-ubah pada setiap subjek (Azwar

dan Prihartono, 2014)

Variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel terikat (dependen) : Stunting

2. Variabel bebas (independen) : Jenis Kelamin, Berat badan bayi lahir,

Panjang bayi lahir, Riwayat Asi

Ekslusif, Usia ibu saat melahirkan,

36
Pendidikan, Pendapatan, Jarak

kelahiran anak, Kunjungan ANC balita

37
3.3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala ukur
Variabel Dependen
1. Kejadian Tinggi balita menurut umur Wawancara Instrument 1. Stunting ≤ -2 SD Ordinal
Stunting (TB/U) ≤ -2 SD sehingga Observasi pengukur panjang 2. Tidak Stunting -2
lebih pendek dari pada tinggi badan/ tinggi SD
sesuai umur badan, tabel (Ebtanasar, 2018)
antopometri
Variabel Independen
1. Jenis Keadaan fisiologi status pada Wawancara Kuisioner 1. Laki-laki Nominal
kelamin responden 2. Perempuan

2. Berat badan Bayi yang lahir dengan berat Wawancara, Kuisioner, KMS, 1. BBLR < 2500 Ordinal
bayi lahir badan < 2500 gram Kuisoner Buku KIA 2. Tidak BBLR
≥2500
(Ebtanasar, 2018)

38
3. Panjang lahir Panjang lahir yang diukur Wawancara, Kuisioner, KMS, 1. Pendek : < 48 cm Ordinal
pertama kali setelah lahir Kuisoner Buku KIA 2. Normal : ≥ 48 cm
atau maksimal 24 jam (Novia, 2019)
setelah lahir

4. Riwayat Asi Usia pengenalan MP-ASI Wawancara, Kuisioner 1. Tidak < 6 bulan Ordinal
ekslusif yang dikategorika n < 6 Kuisoner 2. Ya ≥ 6 bulan
bulan dan ≥ 6 bulan (Sr. Anita Sampe et
al., 2020)
5. Usia ibu saat Usia 20 tahun masih berada Wawancara, Kuisioner 1. Resiko <20 atau > Ordinal
melahirkan dalam tahap pertumbuhan Kuisoner 35 tahun
dan perkembanga n, ibu 2. Normal 20-35
yang berumur lebih dari 35 tahun
tahun mulai menunjukka n (Dewi, 2019)
proses penuaannya
6. Pendapatan Pendapatan keluarga bapak Wawancara, Kuisioner 1. Rendah < UMR Ordinal
dan ibu dari awal kehamilan Kuisoner 2. Tinggi > UMR
sampai dengan sekarang. (Windi, 2018 dan
UMR SumSel, 2022)
7. Pendidikan Pendidikan sangat berperan Wawancara, Kuisioner 1. Rendah < SMA Ordinal
Orang tua terhadap persepsi yang Kuisoner 2. Tinggi ≥ SMA
lebih baik terhadap (Dewi, 2019)
sesuatu, tingkat pendidikan
sangat berperan dalam

39
perubahan sikap dan
perilaku positif,
pendapat
8. Jarak kelahiran Jarak kelahiran antara anak Wawancara, Kuisioner 1. Dekat, bila jarak Ordinal
anak yang lahir dengan anak Kuisoner kelahiran anak <
sebelumnya 3 tahun
2. Normal, bila jarak
kelahiran anak ≥
3 tahun
(Nurul, 2019)
9. Kunjungan Pemeriksaan secara rutin Observasi Buku KIA 1. Tidak Lengkap < 8 Ordinal
ANC Balita semasa kehamilan kali
2. Lengkap ≥ 8 Kali
(Agus, 2022)

40
BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Observasional Analitik dengan

rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cross Sectional

bisa juga disebut studi potong lintang, yang menganalisis variabel dependen dan

independen pada suatu periode yang sama pada suatu waktu yang sama

(Sugiyono, 2017). Mempelajari korelasi antara Jenis Kelamin, Berat badan bayi

lahir, Panjang bayi lahir, Riwayat Asi Ekslusif, Usia ibu saat melahirkan,

Pendidikan, Pendapatan, Jarak kelahiran anak, Kunjungan ANC balita dan

variabel dependennya yaitu kejadian stunting dengan cara pendekatan observasi

atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach), artinya

tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan

terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat yang bersamaan.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian di lakukan di Kecamatan Seberang Ulu II. Pemilihan lokasi

tersebut dikarenakan jumlah kasus stunting di wilayah tersebut lebih tinggi

dari dari jumlah kasus stunting di Kecamatan lainnya.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2022.

45
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi

Populasi merupakan semua nilai baik hasil perhitungan maupun

pengukuran, baik kuantitatif maupun kualitatif, dari pada karakteristik

tertentu mengenai sekelompok objek yang lengkap dan jelas ((Sugiyono,

2017). Populasi dalam penelitian ini yaitu balita stunting. Balita yang

merupakan sasaran di Kecamatan Seberang Ulu II. Balita di Seberang Ulu II

berjumlah 611 balita.

4.3.2 Sampel dan Teknik Sampling

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang mana ciri-cirinya

diselidiki atau dapat di ukur ((Sugiyono, 2017). Sampel dalam penelitian ini

adalah orang tua anak dan balita. Teknik pengambilan sampel penelitian ini

menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling merupakan

teknik yang digunakan apabila anggota sampel yang dipilih secara khusus

berdasarkan tujuan penelitian (Sugiyono, 2017). Peneliti menentukan

responden penelitian dengan kriteria sebagai berikut :

1. Kriteria Inklusi

a. Balita yang ditentukan oleh tinggi badan /umur tercatat di registrasi

Posyandu

2. Kriteria Eksklusi

a. Tidak berada di tempat sewaktu penelitian

46
Sampel populasi dalam penelitian ini yaitu balita dan anak

berdasarkan rumus Slovin yaitu :

Keterangan :

n = Besar sampel

N = Besar populasi

d = Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan

Sampel di Kecamatan Seberang Ulu II :

Jadi total sampel yang digunakan berjumlah = 86 responden penelitian

4.4 Instrumen Penelitian

Sebelum dilakukan proses pengumpulan data di lapangan, terlebih dahulu

dilakukan uji coba instrumen meliputi (Swarjana, 2016):

47
4.4.1 Uji Validitas

Pengujian yang dilakukan dengan cara melakukan korelasi antara skor

dari masing-masing butir pernyataan dengan skor totalnya dengan

ketentuan:

1. Bila didapatkan nilai r hitung ≥ nilai r tabel, berarti pernyataan tersebut

valid, dan

2. Bila didapatkan nilai r hitung < nilai r tabel, berarti pernyataan tersebut

tidak valid. Selanjutnya pernyataan tersebut dilakukan perbaikan bila

pernyataan tersebut dianggap penting, dan dihilang bila pernyataan

tersebut dianggap tidak begitu penting secara substansi.

4.4.2 Uji Reliabilitas

Pengujian yang dilakukan setelah semua pernyataan valid dengan cara

membandingkan antara nilai r alpha (Cronbach Alpha) dengan nilai r tabel

dengan ketentuan:

1. Bila nilai r alpha ≥ nilai r tabel, maka pernyataan tersebut adalah

reliable, dan

2. Bila nilai r alpha < nilai r tabel, maka pernyataan tersebut dianggap

tidak reliable.

4.5 Pengumpulan data dan pengelolahan data

4.5.1 Pengumpulan data

Data yang dikumpulkan langsung oleh peneliti melalui pihak

yang disebut data primer. Dan data yang dikumpulkan oleh peneliti

melalui pihak kedua disebut data sekunder (Usman dan Akbar,

48
2012). Data sekunder di gunakan untuk mendapatkan gambaran

Kecamatan Seberang Ulu II.

4.5.2 Etika Penelitian

Penelitian ini menggunakan obyek manusia yang memiliki

kebebasan dalam menentukan dirinya maka peneliti harus

memahami hak dasar manusia.

1. Informed consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara

peneliti dan responden. Peneliti memberikan lembar

persetujuan.

2. Anonimitas (tanpa nama)

Masalah etika merupakan masalah yang memberikan

jaminan dalam menggunakan subjek penelitian dengan cara

tidak memberikan atau mencantumkan nama responden.

3. Confidentialy (kerahasiaan)

Memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik

informasi maupun masalah-masalah lainnya.

4.5.3 Pengolahan Data

Langkah-langkah pengolahan data secara manual pada

umumnya melalui langkah-langkah sebagai berikut : (Hastono,

2006).

1. Editing

Merupakan kegiatan pengecekan terhadap isian kuesioner,

apakah jawaban yang diisi sudah lengkap, jelas, relevan, dan

49
konsisten.

2. Coding

Peneliti memberikan kode terhadap jawaban responden

yaitu kejadian stunting 1 dengan nilai satu untuk jawaban

stunting dan kode 2 untuk jawaban tidak stunting.

3. Processing

Memproses data agar data yang sudah di entry dapat dianalisis

4. Cleaning

Kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entry

apakah ada kesalahan atau tidak.

4.6 Analisa Data

4.6.1 Analisis Univariat

Analisis ini mendeskripsikan karakteristik masing-masing

variabel yang diteliti (Hastono, 2006; hal 76 ). Pada penelitian ini

analisa univariat dilakukan untuk mendapatkan distribusi frekuensi

variabel jenis kelamin, berat lahir, riwayat asi ekslusif, usia ibu

melahirkan, pendapatan, pendidikan orang tua dan kunjungan ANC.

4.6.2 Analisis Bivariat

Analsisi bivariat digunakan untuk mengetahui apakah ada

hubungan yang signifikan antara dua variabel, atau bisa juga

digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan

antara dua atau lebih kelompok. (Hastono, 2006; hal 88). Untuk

melihat adanya hubungan antara dua variabel tersebut digunakan uji

50
statistik Chi Square dengan tingkat kesalahan terbesar (level

significantcy) 0,05 atau 5 % dan tingkat kepercayaan (confidence

level) 95 %.

a. Apabila nilai p > α (p >0,05), maka keputusannya Ho =

diterima, berarti tidak ada hubungan yang bermakna pada

jenis kelamin , berat lahir, riwayat asi ekslusif, usia ibu

melahirkan, pendapatan, pendidikan orang tua dan kunjungan

ANC.

b. Apabila nilai P ≤ α ( P ≤ 0,05), maka keputusan Ho = ditolak,

berarti ada hubungan yang bermakna pada jenis kelamin, berat

lahir, riwayat asi ekslusif, usia ibu melahirkan, pendapatan,

pendidikan orang tua dan kunjungan ANC.

4.6.3 Analisis Multivariat

Analisis multivariat tujuannya untuk menghubungkan

beberapa variabel independen dengan satu variabel dependen pada

waktu yang bersamaan (Hastono, 2006; hal 141 ). Penelitian ini

menggunakan analisis regresi logistik dapat dilihat pada besarnya

nilai Odds Rasio (OR).

Permodelan bertujuan memperoleh model yang terdiri dari

beberapa variabel independen yang dianggap terbaik untuk

memprediksi kejadian variabel dependen. Pada permodelan semua

variabel dianggap penting sehingga estimasi dapat dilakukan

estimasi beberapa koefisiens regresi logistik sekaligus.

Adapun tahapan permodelannya adalah sebagai berikut:

51
a. Melakukan analisis bivariat dengan melakukan seleksi

variabel yang akan dimasukkan dalam dalam analisa

multivariat, dimana variabel yang dimasukkan dalam analisis

adalah variabel pada analisa bivariat mempunyai nilai P value

< 0,25, namun bisa saja P value > 0,25 tetap diikuti ke

multivariate bila variabel tersebut secara substansi penting.

b. Memilih variabel yang dianggap penting yang masuk dalam

model, dengan cara mempertahankan variabel yang

mempunyai P value < 0,05 dan mengeluarkan secara bertahap

variabel yang mempunyai nilai P value > 0,05.

c. Setelah memperoleh model yang memuat variabel-variabel

penting, maka langkah terakhir adalah memeriksa

kemungkinan interaksi variabel ke dalam model (Hastono,

2006).

52
DAFTAR PUSTAKA

Amini, A. (2017). Hubungan Kunjungan Antenatal Care (ANC) dengan Kejadian

Stunting pada Balita Usia 12-59 Bulan di Kabupaten Lombok Utara

Provinsi NTB Tahun 2016. Program Pasca Sarjana Universitas Aisyiyah.

file:///C:/Users/Acer/Downloads/anc.pdf

Angelina, C., Perdana, A. A., dan Humairoh. (2018). Faktor Kejadian Stunting

Balita Berusia 6-23 Bulan Di Provinsi LampunG. Jurnal Dunia Kesmas,

7(3), 127–133.

Anggraeni, Z. E. Y., Kurniawan, H., Yasin, M., dan Aisyah, A. D. (2020).

ubungan Berat Badan Lahir, Panjang Badan Lahir dan Jenis Kelamin

dengan Kejadian Stunting. The Indonesian Journal of Health Science

Volume, 12(1), \51–56.

Anindita, P. (2012). Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga,

Kecukupan Protein dan Zinc Dengan Stunting (Pendek) Pada Balita Usia 6

– 35 Bulan Di Kecamatan Tembalang Kota Semarang Putri. Jurnal

Kesehatan Masyarakat, 1(2), 617–626.

Anshori, H. Al, dan Nuryanto. (2013). Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada

Balita Usia 24 – 36 Bulan Di Kecamatan Semarang Timur. Program Studi

Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponogoro Semarang.

https://doi.org/10.14710/jnc.v1i1.738.

Apriluana, G., dan Fikawati, S. (2018). Analisis Faktor-Faktor Risiko terhadap

Kejadian Stunting pada Balita (0-59 Bulan) di Negara Berkembang dan Asia

Tenggara. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 28(4), 247–

256. https://doi.org/10.22435/mpk.v28i4.472.
Ardian, Dwi dan Efri Diah Utami. 2020. Pengaruh Karakteristik Demografi

Terhadap Kejadian Stunting Pada Balita Di Provinsi Sulawesi Barat.

Seminar Nasional Official Statistics 2020: Statistics in the New Normal: A

Challenge of Big Data and Official Statistics.

Azwar, A., dan Prihartono, J. (2014a). Metodologi Penelitian Kedokteran dan

Kesehatan Masyarakat. Binarupa Aksara.

Azwar, A., dan Prihartono, J. (2014b). Metodologi Penelitian Kedokteran dan

Kesehatan Masyarakat. Binarupa Aksara.

Bappenas. (2020). Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional 2020-2024. Jakarta Pusat: Bappenas.

Bella, Febriani Dwi, et all. 2020. Hubungan antara Pola Asuh Keluarga dengan

Kejadian Balita Stunting pada Keluarga Miskin di Palembang. Jurnal

Epidemiologi Kesehatan Komunitas 5 (1), 2020, 15-22

Bentian, Mayulu, N., dan Rattu, A. J. M. (2015). Faktor Resiko Terjadinya

Stunting pada Anak TK di Wilayah Kerja Puskesmas Siloam Tamako

Kabupaten Sangihe Propinsi Sulawesi Utara. Jurnal Jikmu, 5(1), 1–7.

http://download.portalgaruda.org/.

Darmawan, Agus. 2022. Kunjungan ANC, posyandu dan imunisasi dengan

kejadian stunting pada balita di Kabupaten Buton Tengah. Aceh. Nutri.

J.2022; 7(1)

Dewey, K. G. (2016). Reducing stunting by improving maternal, infant and

young child nutrition in regions such as South Asia: evidence,

challenges and opportunities. Maternal & child nutrition, 12 Suppl

1(Suppl 1), pp. 27–38. doi: 10.1111/mcn.12282.


Dewi, A. P., Ariski, T. N., dan Kumalasari, D. (2019). Faktor-faktor yang

Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita 24-36 Bulan di Wilayah

Kerja UPT Puskesmas Gadingrejo Kabupaten Pringsewu. Jurnal Wellness

and Healthy Magazine, 1(2), 231–237. http://wellness.jo

urnalpress.id/index.php/wellness/.

Ebtanasar, I. (2018). Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (Bblr) Dengan

Kejadian Stunting Pada Anak Usia 1-5 Tahun Di Desa Ketandan Kecamatan

Dagangan Kabupaten Madiun. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah PalembangStikes Bhakti Husada Mulia Madiun.

Ekasari, W. U. (2015). Pengaruh umur ibu, paritas, usia kehamilan, dan berat lahir

bayi terhadap asfiksia bayi pada ibu pre eklamsia berat. Tesis Pengaruh

Umur Ibu, Paritas, Usia Kehamilan, Dan Berat Lahir Bayi Terhadap

Asfiksia Bayi Pada Ibu Pre Eklamsia Berat.

Fall, C. H. D. et al.(2015). Association between maternal age at childbirth and

child and adult outcomes in the offspring: a prospective study in five

low-income and middle-income countries (COHORTS collaboration).

The Lancet. Global health, 3(7), pp. e366-77. doi: 10.1016/S2214-

109X(15)00038-8.

Fitri, Lidia. 2018. Hubungan BBLR dan ASI eksklusif dengan kejadian stunting di

Puskesmas Lima Puluh Pekanbaru. Jurnal Endurance, 3(1), 131–137.

Retrieved from http://doi.org/10.22216/jen.v3i1.1767

Handayani, S., Kapota, W. N., dan Oktavianto, E. (2019). Hubungan Status Asi

Eksklusif Dengan Kejadian Stunting Pada Batita Usia 24-36 Bulan Di Desa

Watugajah Kabupaten Gunungkidul. Medika Respati : Jurnal Ilmiah


Kesehatan, 14(4), 287–300. https://doi.org/10.35842/mr.v14i4.226

Hapsari, Anindya et all. 2022. Hubungan Kunjungan Antenatal Care Dan Berat

Badan Lahir Rendah Terhadap Kejadian Stunting Di Kota Batu. JI-KES

(Jurnal Ilmu Kesehatan) Volume 5, No. 2, Februari 2022 : Page 108-114

Hastono, S. P. (2006). Analisis Data. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Indonesia.

Heryanto, M. L. (2021). Kunjungan Antenatal Care Dengan Kejadian Stunting

Pada Anak Usia 24 – 36 Bulan. Jurnal Ilmiah PANNMED (Pharmacist,

Analyst, Nurse, Nutrition, Midwivery, Environment, Dentist), 16(1), 1–8.

https://doi.org/10.36911/pannmed.v16i1.1043

Hutasoit, Masta et all. 2022. Kunjungan antenatal care berhubungan dengan

kejadian stunting.

Ika, Linda. 2019. Faktor-Faktor Resiko Penyebab Terjadinya Stunting Pada

Balita Usia 23-59 Bulan. Oksitosin, Kebidanan, Vol. VI, NO. 1,

FEBRUARI 2019 : 28-3.

Irwan. (2017). Etika dan Perilaku Kesehatan. CV.Absulte Media.

Islam, M. M., Sanin, K. I., Mahfuz, M., Ahmed, A. M. S., Mondal, D., Haque, R.,

dan Ahmed, T. (2018). Risk factors of stunting among children living in an

urban slum of Bangladesh: Findings of a prospective cohort study. BMC

Public Health, 18(197), 1–13. https://doi.org/10.1186/s12889-018-5101-x

Julian, D. N. A., dan Yanti, R. (2018). Usia Ibu Saat Hamil dan Pemberian ASI

Ekslusif Dengan Kejadian Stunting Balita. Riset Pangan Dan Gizi, 1, 1–11.

KEMENDES PDTT. (2017). Buku saku desa dalam penanganan stunting. In Buku

Saku Desa Dalam Penanganan Stunting.


Kemenkes RI. (2018). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementerian

Kesehatan RI.

Kemenkes RI. (2019). Laporan Nasional Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun

2018. Jakarta: Litbangkes Kemenkes.

Kemenkes RI. 2021. Buku Saku Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tingkat

Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota Tahun 2021. Jakarta: Kementerian

Kesehatan RI.

Kepmenkes. (2018). 1 dari 3 balita Indonesia stunting. http://www.p2ptm.

kemkes.go.id/artikel-sehat/1-dari-3-balita-indonesia-derita-stunting

Laili, A. N. (2018). Analisis Determinan Kejadian Stunting pada Balita (Atudi

Wilayah Puskesmas Sumberjambe, Puskesmas Kasiyan, dan Puskesmas

Sumberbaru Kabupaten Jember. Tesis Program Studi Magister Ilmu

Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Universitas Jember.

Larasati, N. N. (2018). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian

Stunting Pada Balita Usia 25-59 bulan di Posyandu Wilayah Puskesmas

Wonosari II Tahun 2017. Skripsi Ploteknik Kesehatan Kemeterian

Kesehatan Yogyakarta.

Leroy, J. L., dan Frongillo, E. A. (2019). Perspective: What Does Stunting Really

Mean? A Critical Review of the Evidence. Advances in Nutrition, 10(2),

196–204. https://doi.org/10.1093/advances/nmy101

Meilyasari, F. (2014). Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita Usia 12 Bulan

Di Desa Purwokerto Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal. Skripsi

Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedoteran Universitas Diponogoro.

https://doi.org/10.14710/jnc.v3i2.5437
Murti, Fatimah Chandra et all. 2020. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah

(BBLR) Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 2-5 Tahun Di Desa

Umbulrejo, Ponjong, Gunung Kidul. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan

Volume 16, No 2, Desember 2020, Hal. 52-60.

Nadhira, C. C. (2019). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian

Stunting Pada Balita Umur 24-59 Bulan Di Wilayah Kerja Upt Puskesmas

Citarip Kecamatan Bojongloa Kaler Kota Bandung Periode Tahun 2018.

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Bhakti Kencana.

Ngaisyah, R. D. (2015). Hubungan Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Stunting

pada Balita di Desa Kanigoro, Saptosari Gunung Kidul. Jurnal Medika

Respati, 10(4), 65–70.

Nirmalasari, Nur Oktia. 2020. Stunting Pada Anak: Penyebab Dan Faktor Risiko

Stunting Di Indonesia. Qawwam: Journal For Gender Mainstreaming Vol.

14, No. 1 (2020), hal. 19-28.

Ni`mah, K., dan Nadhiroh, S. R. (2015). Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kejadian Stunting Pada Balita. Media Gizi Indonesia, 10(1), 13–19. http://e-

journal.unair.ac.id/index.php/MGI/article/view/3117/2264.

Pattipeilohy, M. Y. (2018). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Ibu

terhadap Ketepatan Kunjungan Antenatal Care di Puskesmas Rekas

Kabupaten Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur Tahun 2017. Skripsi

Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan

Yogyakarta, 67. http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1721/1/skripsi full.pdf.

Paulina, Novia et all. 2019. Hubungan Panjang Badan Lahir Dengan Kejadian
Stunting Pada Balita Di Puskesmas Sentolo I Kulon Progo. skripsi thesis,

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.

Permadi, M. Rizal et al. 2021. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-24 Bulan. Jurnal Gizi Prima (Frime

Nutrition Journal) Vol.6, Edisi.1, Maret 2021, pp. 75-81.

Potgieter, A. (2016). Child health. In Nature. Troupant Publishers [Pty].

https://doi.org/10.1038/155016a0.

Prendergast, A. J., dan Humphrey, J. H. (2014). The stunting syndrome in

developing countries. Paediatrics and International Child Health, 34(4),

250–265. https://doi.org/10.1179/2046905514Y.0000000158.

Provinsi, D. (2019). Rencana Kinerja Tahunan Dekonsentralisasi Dinas

Kesehatan Tahun 2019. https://e-renggar.kemkes.go.id/file2018/e-per for

mance/2-119014-2tahunan-581.pdf.

Rahayu, A., Yulidasari, F., Octaviana, A., dan Anggaini, L. (2018). Study Guide-

Stunting Dan Upaya Pencegahanya Bagi Mahasiswa Kesehatan Mayarakat.

Mine.

Rahmadi, A. (2016). Hubungan Berat Badan Dan Panjang Badan Lahir Dengan

Kejadian Stunting Anak 12-59 Bulan Di Provinsi Lampung. Jurnal

Keperawatan, XII(2), 209–218.

Rahmawati, Anita et all. 2019. Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan

Orangtua tentang Stunting pada Balita. Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume

6, Nomor 3, Desember 2019, hlm. 389–395

Rasmussen, K. M. and Yaktine, A. L. (eds). 2009. No Title. Washington

(DC). doi: 10.17226/12584.Sajalia, H. et al.(2018) „Life Course


Epidemiology on the Determinants of Stunting in Children Under Five in

East Lombok , West Nusa Tenggara‟, 3, pp. 242–251.

Sampe, Anita et all. 2020. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian

Stunting Pada Balita. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada Vol 11, No, 1,

Juni 2020, pp;448-455.

Sari, K. and Sartika, R. A. D. 2021. The effect of the physical factors of parents

and children on stunting at birth among newborns in Indonesia.

Journal of Preventive Medicine and Public Health, 54(5), pp. 309–316.

doi: 10.3961/jpmph.21.120.

Savita, R., dan Amelia, F. (2020). Hubungan Pekerjaan Ibu , Jenis Kelamin , dan

Pemberian Asi Eklusif Terhadap Kejadian Stunting Pada Balita 6-59 Bulan

di Bangka Selatan The Relationship of Maternal Employment , Gender , and

ASI Eklusif with Incident of Stunting inToddler Aged 6-59 Months. Jurnal

Kesehatan Poltekkes Kemenkes Ri Pangkalpinang, 8(1), 6–13.

Setiawan, E., Machmud, R., dan Masrul, M. (2018). Faktor-Faktor yang

Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di

Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang

Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(2), 275–284.

https://doi.org/10.25077/jka.v7.i2.p275-284.2018.

Sholihah, A. N., dan Sirait, P. (2019). Mencegah Terjadinya Stunting Dengan.

Jurnal Infokes, 9(1), 32–36.

Sr. Anita Sampe, S., Toban, R. C., dan Madi, M. A. (2020). Hubungan Pemberian

Asi Eksklusif Dengan Kejadian Stunting Pada Balita 1-5 Tahun. Jurnal

Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 11(1), 448–455. https://doi. org/10.2426


9/hsj.v4i1.409.

Sumardilah, D. S., dan Rahmadi, A. (2019). Risiko Stunting Anak Baduta (7-24

bulan). Jurnal Kesehatan, 10(1), 93. https://doi.org/10.26630/jk.v10i1.1245

Sumarni, S., Oktavianisya, N., dan Suprayitno, E. (2020). Pemberian Air Susu Ibu

Eksklusif Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita di Pulau

Mandangin Kabupaten Sumenep Provinsi Jawa Timur. Jurnal Riset Hesti

Medan Akper Kesdam I/BB Medan, 5(1), 39–43. https://doi.

org/10.34008/jurhesti.v5i1.174

Supriyanto, Y., Paramashanti, B. A., dan Astiti, D. (2017). Berat badan lahir

rendah berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan.

Jurnal Gizi Dan Dietetik Indonesia (Indonesian Journal of Nutrition and

Dietetics), 5(1), 23–30. https://doi.org/10.21927/ijnd.2017.5(1).23-30

Syah, Nurul Farhanah. 2019. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian

Stunting Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan

Kota Tangerang Selatan Tahun 2018. Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Sudarma, Verawati. 2018. Hubungan status gizi dengan kejadian stunting pada

balita di Posyandu Lingai Raya. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas

Trisakti.

Titaley, C. R., Ariawan, I., Hapsari, D., Muasyaroh, A., dan Dibley, M. J. (2019).

Determinants of the stunting of children under two years old in Indonesia: A

multilevel analysis of the 2013 Indonesia basic health survey. Jurnal

Nutrients, 11(1106), 1–13. https://doi.org/10.3390/nu11051106.

Tsaralatifah, R. (2020). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada


Baduta di Kelurahan Ampel Kota Surabaya. Amerta Nutrition, 4(2), 171.

https://doi.org/10.20473/amnt.v4i2.2020.171-177

Usman, H., dan Akbar, P. S. (2012). Pengantar Statistika. PT Bumi Aksara.

V.N.Amarin, dan H.F.Akasheh. (2001). Advanced maternal age and pregnancy

outcome. Eastern Mediterranean Health Journal, 7(4/5), 646–651.

Who. (2014). WHA Global Nutrition Targets 2025: Low Birth Weight Policy

Brief. https://doi.org/10.1002/ppul.25414

WHO. (2014). Global Nutrition Targets 2025: Stunting policy brief. World Health

Organization. https://doi.org/10.1016/j.ehb.2005.05.005

WHO. 2020. Joint child malnutrition estimates.

https://www.who.int/data/gho/data/themes/topics/joint-child-malnutrition-

estimates-unicef-who-wb.

Yanisti, F., Sabar, S., dan Ana, K. (2017). Faktor Risiko Kejadian Stunting pada

Bayi Baru Lahir Di RSUD Wonosari Kabupaten Gunungkidul Tahun 2016.

1–85.

Anda mungkin juga menyukai