STUNTING
Oleh
Saat ini Indonesia dihadapkan pada masalah stunting (pendek) yang tergolong cukup
tinggi jika dibandingkan negara-negara lain, dibandingkan dengan negara-negara ASEAN pun
angka stunting Indonesia masih tergolong paling tinggi. Berdasarkan hasil penelitian PSG tahun
2016, menunjukkan bahwa jumlah balita yang tergolong sangat pendek sebesar 8,5%, dan yang
tergolong pendek sebesar 19,0%.
Masalah kekurangan gizi dapat juga diketahui dari lambatnya pertumbuhan tinggi badan
anak yang tercermin dari panjang atau tinggi badan. Panjang atau tinggi badan anak yang tidak
optimal disebut pendek atau sangat pendek (stunting). Anak yang pendek atau sangat pendek
disebabkan oleh asupan gizi yang tidak mencukupi kebutuhan tubuh dalam waktu yang relatif
lama. Anak yang kekurangan asupan gizi sejak lahir sampai balita dipastikan anak ini
mempunyai tinggi badan yang rendah (pendek).
Lambatnya pertumbuhan panjang atau tinggi badan pada waktu balita, akan berakibat pada
kecerdasan otak setelah dewasa, orang yang pendek cenderung kurang cerdas. Orang yang
pendek juga sulit untuk mempunyai prestasi yang baik pada bidang olah raga. Orang-orang yang
mempunyai prestasi baik di bidang olah raga umumnya mempunyai tinggi badan yang cukup.
Agar seseorang mempunyai tinggi badan yang baik maka asupan gizi harus diperhatikan sejak
dalam kandungan (semasa usia kehamilan). Pertumbuhan tinggi badan ini terjadi dari usia lahir
sampai sekitar 17 tahun untuk perempuan dan sekitar usia 20 tahun untuk laki-laki. Dengan
demikian maka pertumbuhan panjang atau tinggi badan akan berdampak mutu sumber daya
manusia (SDM) Indonesia.
B. PENYEBAB STUNTING
Stunting dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Menurut WHO (2013) membagi
penyebab stunting pada anak menjadi 4 kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga,
makanan tambahan / komplementer yang tidak adekuat, menyusui, dan infeksi
(Kemenkes,2017). Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor maternal dan
faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi,
kehamilan, dan laktasi, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilah pada usia remaja,
kesehatan mental, Intrauterine growth restriction (IUGR) dan kelahiran preterm, Jarak kehamilan
yang pendek, dan hipertensi. Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang
tidak adekuat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasukan air yang tidak adekuat, akses dan
ketersediaan pangan yang kurang, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak sesuai,
edukasi pengasuh yang rendah.
Faktor kedua penyebab stunting adalah makanan komplementer yang tidak adekuat yang
dibagi lagi menjadi tiga, yaitu kualitas makanan yang rendah, cara pemberian yang tidak
adekuat, dan keamanan makanan dan minuman. Kualitas makanan yang rendah dapat berupa
kualitas mikronutrien yang rendah, keragaman jenis makanan yang dikonsumsi dan sumber
makanan hewani yang rendah,makanan yang tidak mengandung nutrisi, dan makanan
komplementer yang mengandung energi rendah. Cara pemberian yang tidak adekuat berupa
frekuensi pemberian makanan yang rendah, pemberian makanan yang tidak aadekuat ketika sakit
dan setelah sakit, konsistensi makanan yang terlalu halus, pemberian makan yang rendah dalam
kuantitas. Keamanan makanan dan minuman dapat berupa makanan dan minuman yang
terkontaminasi, kebersihan yang rendah, penyimpanan dan persiapan makanan yang tidak aman.
Faktor ketiga yang dapat menyebabkan stunting adalah pemberian Air Susu Ibu (ASI)
yang salah bisa karena inisiasi yang terlambat, tidak ASI eksklusif, penghentian menyusui yang
terlalu cepat.
Faktor keempat adalah infeksi klinis dan subklinis seperti infeksi pada usus : diare,
environmental enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan,malaria,nafsu makan yang kurang
akibat infeksi, inflamasi. Menurut penelitian Mamiro (2005) mengenai penyebab stunting pada
anak usia 3-23 bulan di Tanzania menunjukkan bahwa malaria, berat badan lahir rendah (BBLR),
pendapatan keluarga yang rendah, dan indeks massa tubuh (IMT) ibu yang rendah berperan
sebagai faktor risiko terjadinya stunting pada anak. Berat badan lahir rendah dan indeks massa
tubuh ibu yang rendah merupakan dua faktor risiko terkuat untuk penyebab stunting
(Sudirman,2008;Bhutta,2008).
C. PENILAIAN STUNTING
Stunting adalah sebuah kondisi dimana tinggi badan seseorang ternyata lebih pendek
disbandingkan dengan tinggi badan orang lain pada unumnya yang sama dengan usianya.
Penentuan status gizi secara fisik dari stunting dapat dilihat dengan menggunakan metode
antropometri. Metode antropometri ini dapat diihat dari hasil pengukuran berat badab (BB), dan
panjang badan (PB). Pada kasus penderita stunting terjadi pertumbuhan tinggi yang lambat pada
badan anak yang tercermin dari panjang atau tinggi badan. Panjang atau tinggi badan anak yang
tidak optimal disebut pendek atau sangat pendek (stunting). Anak yang pendek atau sangat
pendek disebabkan oleh asupan gizi yang tidak mencukupi kebutuhan tubuh dalam waktu yang
relatif lama. Seorang anak dengan BB/U rendah dapat disebabkan oleh pendek (stunting) atau
kurus (thinness) atau keduanya.
Gambar 1. Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal anak lahir,
tetapi stunting baru Nampak setelah anak berusia 2 tahun. Berdasarkan ambang batas status gizi
anak dari WHO child growth standard 2006, panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi
badan menurut umur (TB/U) memiliki nilai z-score kurang dari -3 termasuk kategori status gizi
severe stunting (sangat pendek) dan nilai z-score -3 sampai dengan kurang dari -2 termasuk
kategori status gizi stunting (pendek).
Indikator antropometri lain yang dapat dilihat pada anak stunting adalah komposisi tubuh.
Massa tubuh bukan lemak atau lean body mass pada anak stunting cenderung lebih sedikit
dibandingkan anak normal. Hal ini terkait laju metabolisme basal yang lebih rendah pada anak
stunting sebagai bentuk adaptasi terhadap asupan energi yang kurang. Anak stunting juga
dilaporkan memiliki respiratory quotient (RQ) puasa yang lebih tinggi dan oksidasi lemak puasa
yang lebih rendah daripada anak normal. Perbedaan metabolisme ini menjadikan anak-anak
stunting lebih cenderung untuk menumpuk simpanan lemak sehingga meningkatkan massa
lemak tubuh dan mengurangi persentase massa tubuh bukan lemak. Persentase lemak tubuh
dapat diukur menggunakan alat BIA.
Jenis - 0 + ++
(Rendah)
kelamin
(Normal) (Tinggi) (Sangat Tinggi)
Gambar 2. Perbandingan sel-sel saraf otak pada anak stunting dan anak normal
Sel-sel saraf dilapisi oleh myelin yang berfungsi untuk mempercepat transmisi
pengiriman impuls saraf dari satu sel ke sel lain. Semba dkk menunjukkan bahwa anak
yang stunting memiliki kadar serum sfingomielin yang lebih rendah dibandingkan anak
normal, sehingga menunjukkan seberapa besarnya efek stunting pada perkembangan sel-
sel saraf. (Semba et al., 2016) Penelitian yang sama juga melaporkan rendahnya kadar
asam-asam amino dalam serum, termasuk triptofan dan glisin yang berperan dalam
pembentukan neurotransmitter.(Semba et al., 2016)
E. DAFTAR PUSTAKA
Adair, L., Fall, C., Osmond, C., Stein, A., Martorell, R., & Ramiez-Zea, M. (2013). Associations
of linear growth and relative weight gain during early life with adult health and human
capital in countries of low and middle income: findings fromfive birth cohort studie. Lancet,
382, 525–534.
Anugraheni, H. S. Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 12-36 Bulan di Kecamatan
Pati, Kabupaten Pati. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Semarang; 2012.
Arnisam, T. Salfiyadi dan L. S. Lura.Hubungan asupan mineral zinc (seng) dan vitamin A dengan
kejadian diare pada balita di kecamatan seulimeum.Idea Nursing Journal. 4 (3) : 66-73.
Bhutta,ZA. Ahmed T, Black RE, et.al. Maternal and Child Undernutrition 3:What Works?
Intervention for Maternal and Child Undernutrition and Survival. Lancet 2008.371:417-
40
Branca F & Ferrari M. Impact of micronutrient deficiencies on growth: the stunting syndrome.
Annals of nutrition & metabolism. 2002; 46 (1):8-17.
De Onis, M., & Branca, F. (2016). Childhood stunting: a global perspective. Maternal & Child
Nutrition, 12 Suppl 1, 12–26. doi:10.1111/mcn.12231
Dewi, E. K dan T. S. Nindya. 2017. Hubungan tingkat kecukupan zat besi dan seng dengan
kejadian stunting pada balita 6-23 bulan. Amerta Nutrition. 1 (4) : 361-368.
Duran P, Caballero B, de Onis M. The association between stunting and overweight in Latin
American and Caribbean preschool children. Food and nutrition bulletin. 2006; 27(4):
300-5.
El Taguri a., Besmar F, Abdel Monem A, Betilmal I, Ricour C & Rolland Cachera MF. Stunting
is a major risk factor for overweight: results from national surveys in 5 Arab countries.
East Mediterr Health J. 2009;15(3) : 549-62.
Hodinott, J., Alderman, H., Behrman, J., Haddad, L., & Horton, S. (2013). The economic
rationale for investing in stunting reduction. Maternal and Child Nutrition, 9(SUppl 2), 69–
82.
Hoffman DJ, Sawaya AL, Verreschi I, Tucker KL, Roberts SB. Why are nutritionally stunted
children at increased risk of obesity? Studies of metabolic rate and fat oxidation in
shantytown children from Sao Paulo, Brazil. Am J ClinNutr. 2000;72(3):702–7
Kementerian Kesehatan (2013). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan
Penelitiandan Pengembangan Kesehatan, Jakarta
Kemenkes RI.2016.Infodatin:Situasi Balita Pendek. Jakarta: Pusat Data Informasi Kemenkes RI
Kemenkes RI. 2017. REMBUK: Aksi Percepatan Penurunan Stunting.Jakarta: Kemenkes RI
Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi. 2017. Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting.
Jakarta: Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi
Maffeis C. Aetiology of overweight and obesity in children and adolescents. European Journal of
Pediatrics. 2000; 159(1):S35-44
Muhammad HFL. Obesity as the Sequel of Childhood Stunting: Ghrelin ans GHSR Gene
Polymorphism Explained. Indonesia J Intern Med. 2018; 50(2): 159-164.
Pertiwi, D dan D. Kusudaryati. 2013. Kekurangan asupan besi dan seng sebagai faktor penyebab
stunting pada anak. Profesi.10 : 57-61.
Prado, E. L., & Dewey, K. G. (2014). Nutrition and brain development in early life. Nutrition
Reviews, 72(4), 267–284. doi:10.1111/nure.12102
Pramono, A., B. Panunggal, N. Anggraeni dan M. Z. Rahfiludin. 2016. Asupan seng, kadar
serum seng, dan stunting pada anak sekolah di pesisir semarang. Jurnal Gizi Pangan. 11
(1) : 19-26.
Prendergast, A. J., & Humphrey, J. H. (2014). The stunting syndrome in developing countries.
Paediatrics and International Child Health, 34(4), 250–65.
doi:10.1179/2046905514Y.0000000158
Sawaya AL & Roberts S. Stunting and future risk of obesity: principal physiological
mechanisms. Cadernos de sandepitblica. 2003; 19(1):S21-8.
Semba, R. D., Shardell, M., Sakr, F. A., Moaddel, R., Trehan, I., Maleta, K. M., … Manary, M. J.
(2016). Child Stunting is Associated with Low Circulating Essential Amino Acids. EBIOM,
6, 246–252. doi:10.1016/j.ebiom.2016.02.030
Sudiman, H. 2008. Stunting atau Pendek : Awal Perubahan Patologis Atau Adaptasi Karena
Perubahan Sosial Ekonomi yang Berkepanjangan. Media Litbang Kesehatan. XVII(1):
33 –42
Utami, N.H., Sisca, D. Resiko Terjadinya Kegemukan pada Anak Usia 3-5 Tahun dengan Status
Gizi Pendek di Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2015; 14 (3): 273-283.
Utami NH, Putri DSK & Christita BC. Kejadian Pendek Gemuk Pada Anak Usia Bawah Dua
Tahun Berhubungan Dengan Konsumsi Lemak Dan Pendidikan Thu. Jurnal Penelitian
Gizi dan Makanan. 2014; 37 (1)
Wadhani, L. P. P dan I. D. A. Yogeswara. 2017. Tingkat konsumsi zat besi (Fe), seng (Zn) dan
status gizi serta hubungannya dengan prestasi belajar anak sekolah dasar. Jurnal Gizi
Indonesia. 5 (2) : 82-87.
Whatmore AJ, Hall CM, Jones J, Westwood M, Clayton PE. Ghrelin concentrations in healthy
children and adolescents. ClinEndocrinol (Oxf). 2003;59(5):649– 54.