Anda di halaman 1dari 16

PENILAIAN STATUS GIZI (PSG)

STUNTING

Oleh

LATIFAH RACHMAWATI 22030118410005


LIANI SETYARSIH 22030118410009
WIDIA PANGESTIKA 22030118410021
YUDITH AYU LESTARI 22030118410034
ZAHRA MAHARANI L 22030118410038

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU GIZI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
A. PENDAHULUAN

Saat ini Indonesia dihadapkan pada masalah stunting (pendek) yang tergolong cukup
tinggi jika dibandingkan negara-negara lain, dibandingkan dengan negara-negara ASEAN pun
angka stunting Indonesia masih tergolong paling tinggi. Berdasarkan hasil penelitian PSG tahun
2016, menunjukkan bahwa jumlah balita yang tergolong sangat pendek sebesar 8,5%, dan yang
tergolong pendek sebesar 19,0%.
Masalah kekurangan gizi dapat juga diketahui dari lambatnya pertumbuhan tinggi badan
anak yang tercermin dari panjang atau tinggi badan. Panjang atau tinggi badan anak yang tidak
optimal disebut pendek atau sangat pendek (stunting). Anak yang pendek atau sangat pendek
disebabkan oleh asupan gizi yang tidak mencukupi kebutuhan tubuh dalam waktu yang relatif
lama. Anak yang kekurangan asupan gizi sejak lahir sampai balita dipastikan anak ini
mempunyai tinggi badan yang rendah (pendek).
Lambatnya pertumbuhan panjang atau tinggi badan pada waktu balita, akan berakibat pada
kecerdasan otak setelah dewasa, orang yang pendek cenderung kurang cerdas. Orang yang
pendek juga sulit untuk mempunyai prestasi yang baik pada bidang olah raga. Orang-orang yang
mempunyai prestasi baik di bidang olah raga umumnya mempunyai tinggi badan yang cukup.
Agar seseorang mempunyai tinggi badan yang baik maka asupan gizi harus diperhatikan sejak
dalam kandungan (semasa usia kehamilan). Pertumbuhan tinggi badan ini terjadi dari usia lahir
sampai sekitar 17 tahun untuk perempuan dan sekitar usia 20 tahun untuk laki-laki. Dengan
demikian maka pertumbuhan panjang atau tinggi badan akan berdampak mutu sumber daya
manusia (SDM) Indonesia.
B. PENYEBAB STUNTING

Stunting dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Menurut WHO (2013) membagi
penyebab stunting pada anak menjadi 4 kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga,
makanan tambahan / komplementer yang tidak adekuat, menyusui, dan infeksi
(Kemenkes,2017). Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor maternal dan
faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi,
kehamilan, dan laktasi, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilah pada usia remaja,
kesehatan mental, Intrauterine growth restriction (IUGR) dan kelahiran preterm, Jarak kehamilan
yang pendek, dan hipertensi. Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang
tidak adekuat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasukan air yang tidak adekuat, akses dan
ketersediaan pangan yang kurang, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak sesuai,
edukasi pengasuh yang rendah.
Faktor kedua penyebab stunting adalah makanan komplementer yang tidak adekuat yang
dibagi lagi menjadi tiga, yaitu kualitas makanan yang rendah, cara pemberian yang tidak
adekuat, dan keamanan makanan dan minuman. Kualitas makanan yang rendah dapat berupa
kualitas mikronutrien yang rendah, keragaman jenis makanan yang dikonsumsi dan sumber
makanan hewani yang rendah,makanan yang tidak mengandung nutrisi, dan makanan
komplementer yang mengandung energi rendah. Cara pemberian yang tidak adekuat berupa
frekuensi pemberian makanan yang rendah, pemberian makanan yang tidak aadekuat ketika sakit
dan setelah sakit, konsistensi makanan yang terlalu halus, pemberian makan yang rendah dalam
kuantitas. Keamanan makanan dan minuman dapat berupa makanan dan minuman yang
terkontaminasi, kebersihan yang rendah, penyimpanan dan persiapan makanan yang tidak aman.
Faktor ketiga yang dapat menyebabkan stunting adalah pemberian Air Susu Ibu (ASI)
yang salah bisa karena inisiasi yang terlambat, tidak ASI eksklusif, penghentian menyusui yang
terlalu cepat.
Faktor keempat adalah infeksi klinis dan subklinis seperti infeksi pada usus : diare,
environmental enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan,malaria,nafsu makan yang kurang
akibat infeksi, inflamasi. Menurut penelitian Mamiro (2005) mengenai penyebab stunting pada
anak usia 3-23 bulan di Tanzania menunjukkan bahwa malaria, berat badan lahir rendah (BBLR),
pendapatan keluarga yang rendah, dan indeks massa tubuh (IMT) ibu yang rendah berperan
sebagai faktor risiko terjadinya stunting pada anak. Berat badan lahir rendah dan indeks massa
tubuh ibu yang rendah merupakan dua faktor risiko terkuat untuk penyebab stunting
(Sudirman,2008;Bhutta,2008).

C. PENILAIAN STUNTING

Stunting adalah sebuah kondisi dimana tinggi badan seseorang ternyata lebih pendek
disbandingkan dengan tinggi badan orang lain pada unumnya yang sama dengan usianya.
Penentuan status gizi secara fisik dari stunting dapat dilihat dengan menggunakan metode
antropometri. Metode antropometri ini dapat diihat dari hasil pengukuran berat badab (BB), dan
panjang badan (PB). Pada kasus penderita stunting terjadi pertumbuhan tinggi yang lambat pada
badan anak yang tercermin dari panjang atau tinggi badan. Panjang atau tinggi badan anak yang
tidak optimal disebut pendek atau sangat pendek (stunting). Anak yang pendek atau sangat
pendek disebabkan oleh asupan gizi yang tidak mencukupi kebutuhan tubuh dalam waktu yang
relatif lama. Seorang anak dengan BB/U rendah dapat disebabkan oleh pendek (stunting) atau
kurus (thinness) atau keduanya.

Gambar 1. Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal anak lahir,
tetapi stunting baru Nampak setelah anak berusia 2 tahun. Berdasarkan ambang batas status gizi
anak dari WHO child growth standard 2006, panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi
badan menurut umur (TB/U) memiliki nilai z-score kurang dari -3 termasuk kategori status gizi
severe stunting (sangat pendek) dan nilai z-score -3 sampai dengan kurang dari -2 termasuk
kategori status gizi stunting (pendek).
Indikator antropometri lain yang dapat dilihat pada anak stunting adalah komposisi tubuh.
Massa tubuh bukan lemak atau lean body mass pada anak stunting cenderung lebih sedikit
dibandingkan anak normal. Hal ini terkait laju metabolisme basal yang lebih rendah pada anak
stunting sebagai bentuk adaptasi terhadap asupan energi yang kurang. Anak stunting juga
dilaporkan memiliki respiratory quotient (RQ) puasa yang lebih tinggi dan oksidasi lemak puasa
yang lebih rendah daripada anak normal. Perbedaan metabolisme ini menjadikan anak-anak
stunting lebih cenderung untuk menumpuk simpanan lemak sehingga meningkatkan massa
lemak tubuh dan mengurangi persentase massa tubuh bukan lemak. Persentase lemak tubuh
dapat diukur menggunakan alat BIA.

Jenis - 0 + ++
(Rendah)
kelamin
(Normal) (Tinggi) (Sangat Tinggi)

Pria 5,0 – 19,9 20,0 – 29,9 30,0 – 34,9 35,0 – 50,0

Wanita 5,0 – 9,9 10,0 – 19,9 20,0 – 24,9 25,0 – 50,0

Tabel 1. Nilai Persentase Lemak Tubuh


D. DAMPAK STUNTING
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh stanting dalam jangka pendek adalah terganggunya
perkembangan otak kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme
dalam tubuh. Dalam jangka waktu panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah
menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh
sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit kronik seperti diabetes,
kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia
tua. Pembahasan khusus mengenai beberapa dampak penting dari stunting adalah sebagai
berikut ini.
1. Penurunan IQ dan perkembangan yang terhambat
Anak dengan stunting diketahui memilki kemampuan kognitif yang lebih rendah
dibandingkan anak normal, serta lebih mungkin untuk terlambat masuk sekolah dan
menunjukkan performa yang rendah di sekolah. (Hodinott, Alderman, Behrman, Haddad,
& Horton, 2013; Prendergast & Humphrey, 2014) Peningkatan nilai z-skor TB/U
sebanyak 1 SD pada usia 2 tahun juga dibuktikan terkait dengan penurunan risiko tidak
lulus SMP sebanyak 24%.(Adair et al., 2013) Hasil-hasil penelitian ini berhubungan
dengan adanya perkembangan otak yang terganggu selama masa pertumbuhan anak
selama di kandungan sampai usia 24 bulan.
Dua puluh dua hari setelah konsepsi, terbentuk neural tube pada janin yang akan
menjadi cikal bakal otak dan sumsum tulang belakang. Pembelahan sel mulai terjadi pada
neural tube pada minggu ke-7 dimana terbentuk neuron (sel-sel saraf) dan sel glia (sel-sel
pendukung saraf). Neuron ini kemudian berpindah ke posisi tetapnya pada otak dan
kemudian tumbuh dan bercabang keluar membentuk akson dan dendrit. Percabangan ni
membentuk sambungan dengan sel-sel lain yang akan menjadi titik pengiriman sinyal-
sinyal saraf antarsel.(Prado & Dewey, 2014) Perkembangan dan percabangan sel-sel saraf
ini terus berlanjut setelah bayi lahir dan selesai pada usia 2 tahun. Penelitian
menunjukkan bahwa terjadi perubahan dalam perkembangan sel-sel saraf pusat pada anak
yang stunting, dimana ujung dendrit menjadi lebih pendek, jumlah percabangan sel lebih
sedikit, dan terdapat bentuk-bentuk sel yang abnormal. (de Onis & Branca, 2016)

Gambar 2. Perbandingan sel-sel saraf otak pada anak stunting dan anak normal

Sel-sel saraf dilapisi oleh myelin yang berfungsi untuk mempercepat transmisi
pengiriman impuls saraf dari satu sel ke sel lain. Semba dkk menunjukkan bahwa anak
yang stunting memiliki kadar serum sfingomielin yang lebih rendah dibandingkan anak
normal, sehingga menunjukkan seberapa besarnya efek stunting pada perkembangan sel-
sel saraf. (Semba et al., 2016) Penelitian yang sama juga melaporkan rendahnya kadar
asam-asam amino dalam serum, termasuk triptofan dan glisin yang berperan dalam
pembentukan neurotransmitter.(Semba et al., 2016)

2. Penurunan imunitas dan inflamasi kronis

Salah satu zat gizi mikro (mikronutrient) yang berperan dalam


perkembangan otak sehingga membantu dalam meningkatkan prestasi belajar anak
diantaranya yaitu zat besi (Fe) dan seng (Zn). Seng merupakan salah satu mikronutrien
yang berkaitan dengan protein dan berfungsi sebagai struktur sel otak dan neutransmiter
yang terlibat dalam memori otak sehingga dapat berpengaruh terhadap perkembangan
kognitif dan prestasi belajar.Seng (Zn) adalah mikromineral esensial sebagai kofaktor
lebih dari 100 metaloenzim yang berperan penting dalam regenerasi sel, metabolisme,
pertumbuhan, dan perbaikan jaringan tubuh.
Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh, yaitu sebagai alat
angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, alat angkut elektron di dalam sel,
dan bagian terpadu dari berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Asupan besi
yang kurang pada masa anak menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pada anak
sehingga jika berlangsung dalam waktu lama dapat menyebabkan stunting. Seng
merupakan mineral esensial yang ditemukan pada hampir semua sel. Seng berfungsi
untuk mendukung sistem imunitas yang baik, penyembuhan luka, membantu
kemampuan indera perasa dan penciuman, pertumbuhan dan sintesis DNA dan RNA.
Seng berperan penting pada pertumbuhan sel, pembelahan sel, metabolisme tubuh,
sistem imunitas dan perkembangan anak. Setiap hari seng di dalam tubuh mengalami
ekskresikarena tubuh tidak memiliki mekanisme khusus untuk menyimpan seng.
Kekurangan seng dapat menyebabkan terjadinya stunting pada anak karena seng
mempunyai peran utama dalam sintesis protein, replikasi gen dan pembelahan sel
yang sangat penting selama periode percepatan pertumbuhan baik sebelum maupun
sesudah kelahiran.
Adaptasi tubuh terhadap asupan yang rendah dan mengakibatkan kecukupan
zat gizi yang tidak adekuat, sehingga proses metabolisme tubuh akan terganggu dan
akhirnya proses terbentuknya sel atau jaringan akan terhambat. Kekurangan gizi pada
usia dini akan dapat menyebabkan meningkatnya angka kesakitan, kematian, dan
postur tubuh tergolong pendek. Prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2013
(37,3%) meningkat jika dibandingkan pada tahun 2007 (36,8%) dan 2010 (35,6%).
Defisiensi seng (Zn) sebesar 17% dan 94,5% anak dengan konsumsi seng yang
kurang. Tingginya prevalensi ketidakcukupan asupan zat besi (Fe) dan seng (Zn)
disebabkan oleh jumlah asupan bahan makanan yang mengandung seng yang rendah.
Kekurangan seng kronis pada anak akan mengganggu sistem syaraf pusat dan fungsi
otak sehingga akan berakibat pada prestasi yang diperoleh anak. Defisiensi seng
(Zn) dapat berdampak pada terjadinya gangguan pertumbuhan dan kematangan
seksual. Terjadi peningkatan yang nyata pada memori dan konsentrasi anak dalam
belajar serta kecerdasan otak anak atau IQ setelah diberikan suplemen zat besi dan
seng. Salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap perkembangan kognitif
maupun motorik anak yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan anak dalam
belajar di sekolah adalah status gizi.
Stunting adalah gangguan pertumbuhan fisik berupa penurunan kecepatan
pertumbuhan dalam perkembangan manusia yang merupakan dampak utama dari
kekurangan gizi. Stunting dapat ditentukan dengan indeks tinggi badan menurut umur
(TB/U) dibandingkan dengan baku rujukan WHO child growth standard. Skor Z
TB/U kurang dari -2 SDmengindikasikan anak mengalami stuntingyang merupakan
dampak dari ketidakmampuan anak dalam mencapai pertumbuhan linear potensialnya.
Dampak Stunting
Seng berperan penting dalam proses pertumbuhan dan pembelahan sel
terutama pada proses sintesa dan degradasi karbohidrat, lemak, protein, asam
nukleat dan pembentukan embrio. Pemberian suplemen seng pada anak stunting
dapat meningkatkan konsentrasi plasma Insulin-like Growth Factor I (IGF I)
sehingga memicu kecepatan pertumbuhan. Insulin-like Growth Factor I merupakan
mediator hormon pertumbuhan yang berperan sebagai suatu growth promoting
factor dalam proses pertumbuhan. Kekurangan hormon pertumbuhan menyebabkan
konsentrasi IGF-I dalam sirkulasi rendah, sebaliknya hormon pertumbuhan tinggi
maka konsentrasi IGF-I juga akan meningkat. Anak stunting mengalami penurunan
konsentrasi IGF-I. Menurunnya konsentrasi IGF-I disebabkan bukan hanya karena
kekurangan energi protein tetapi juga kekurangan seng.Besi dan seng bila diberi
bersama-sama dapat diserap dengan baik apabila dosis besi yang diberikan tidak lebih
besar dari dosis zinc.
Defisiensi seng dikaitkan dengan pertumbuhan yang tidak optimal, diare, serta
penurunan fungsi imunitas. Serum seng merupakan salah satu biomarkeryang sering
digunakan untuk menilai status seng. Hubungan antara serum seng dengan pertumbuhan
dikaitkan dengan fungsi seng meningkatkan sekresi pituitari sebagai bahan baku hormon
pertumbuhan/Growth Hormon(GH). Tingginya prevalensi ketidakcukupan asupan seng
pada penelitian ini diduga disebabkan karena asupan bahan makanan sumber seng yang
rendah.Bahan pangan serealia, nabati dan sayuran yang dikonsumsi mengandung
fitat. Fitat diketahui sebagai inhibitor absorpsi seng yang dapat menurunkan
bioavailabilitas sengdi saluran pencernaan. Rendahnya asupan seng juga mungkin
diikuti rendahnya asupan mineral esensial yang lain seperti besi. Asupan makanan
sumber seng yang rendah dan mungkin juga bioavailabilitas yang rendah dapat menjadi
penyebab utama terhadap rendahnya kadar serum seng pada anak sekolah.Rasio molar
fitat:seng yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya penyerapan seng di dalam tubuh.
Percobaan menggunakan hewan dan manusia menunjukkan bahwa gangguan
pertumbuhan merupakan tahap awal dan bersifat reversibel bahkan pada kondisi
kekurangan seng tingkat ringan. Status defisiensi seng yang diukur dengan
menggunakan kadar serum seng dapat dikaitkan dengan status pertumbuhan. Seng
berperan pada banyak proses seluler sebagai kofaktor dari berbagai enzim dan
berpengaruh terhadap ekspresi gen melalui faktor transkripsi. Hormon pertumbuhan
yang berperan dalam pertumbuhan adalah Insulin Like Growth Factor-1 (IGF-1). Insulin
Like Growth Factormemiliki fungsi untuk meningkatkan pertumbuhan sel. Seng berperan
pada hormon pertumbuhan dalam sintesis, sekresi, dan produksi IGF-1 di hati. Seng juga
terlibat dalam aktivasi IGF-1 di kartilago tulang.Defisiensi seng erat kaitannya dengan
berkurangnya sintesis dan aktivitas IGF-1.Penelitian kohort di Nepal menunjukkan
bahwa pemberian suplementasi beberapa zat gizi mikro selama kehamilan (salah satunya
adalah seng) menghasilkan peningkatan pada tinggi badan dan mengurangi lemak tubuh
yang diukur dengan masa otot tanpa lemak pada anak usia 6-8 tahun.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa dengan menambahkan
suplementasi zinc oral dapat mengurangi lama diare dan tingkat keparahan penyakit
diare akut pada anak. Defisiensi ini bisa menimbulkan beragam dampak pada
kesehatan karena pentingnya fungsi zincbagi tubuh. serta keterkaitan kekurangan
zinc dengan penyakit infeksi. Pada keadaan diare, seng berperan sebagai antioksidan,
mempengaruhi absorpsi air dan natrium, meningkatkan metabolisme vitamin A,
mencegah defisiensi enzimdisakaridase, meningkatkan sistem imun, dan sebagai ko-
faktor enzim.
Pemberian seng selain berperan dalam sistem imun nonspesifik dan spesifik,
juga berperan penting dalam metabolisme dan transport vitamin A. Seng berperan
dalam sintesis retinol binding protein (RBP). Jika terjadi defisiensi seng maka akan
menimbulkan gangguan dalam proses sintesis RBP, sehingga vitamin A akan banyak
dalam hati dan rendah dalam sirkulasi darah, berakibat vitamin A tidak dapat
berfungsi secara optimal. Seng berperan dalam sel kekebalan tubuh. Yaitu dalam
fungsi sel T dan dalam pembentukan antibodi oleh sel B. Kekurangan seng akan
berpengaruh banyak terhadap jaringan tubuh terutama pada saat pertumbuhan serta
pada imunitas tubuh terutama penyakit infeksi seperti diare. Seng berperan dalam
menjaga integritas mukosa usus melalui fungsinya dalam regenerasi seldan stabilitas
membran sel. Defisiensi seng merusak epidermis dan mukosa saluran cerna
sehingga memudahkan invasi kuman pada saluran cerna.
Pada usia dini, balita yang kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan
kognitif dan fisik dan peningkatan risiko kematian. Hal tersebut dikarenakan zat besi
memegang peran sebagai mengedar oksigen semua jaringan tubuh. Jika oksigenasi
ke jaringan tulang berkurang, maka tulang tidak akan tumbuh maksimal. Selain itu,
balita yang mengalami defisiensi seng juga mudah terkena penyakit infeksi dan
gangguan pertumbuhan pertumbuhan. Seng berperan untuk memproduksi hormon
pertumbuhan. Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan defisiensi tingkat
kecukupan zat besi dan seng di dalam tubuh yang dapat menyebabkan stunting.
Penelitian yang dilakukan di Washington DC yang meneliti rendahnya
kecukupan zat besi dan seng didalam tubuh dengan variabel bebas yaitu kadar
hemoglobin, serum ferritin, dan serum zinc dengan stunting, wasting dan
underweightsebagai variabel terikat. Anak laki-laki dikatakan memiliki risiko tinggi
terkena stunting karena secara fisik anak laki-laki lebih aktif sehingga cadangan
energi didalam tubuh yang digunakan sebagai pertumbuhan anak akan berkurang.
Risiko ini timbul jika tingkat kecukupan zat gizi dalam tubuh anak inadekuat,
pelayanan kesehatan yang tidak layak dan terjadinya penyakit infeksi secara terus
menerus pada masa periode emas. Seng dapat mempengaruhi pertumbuhan linier
karena seng masuk kedalam nutrient tipe 2 yang dibutuhkan oleh balita usia 6-23 bulan.
Nutrient tipe 2 berfungsi sebagai bahan pokok dalam pembentukan jaringan.
Defisiensi seng juga dapat menurunkan imunitas sehingga dapat meningkatkan
resiko terkena penyakit infeksi, sehingga memicu meningkatnya kebutuhan energi dan
seng dan dapat menghambat pertumbuhan tulang.

3. Risiko Obesitas di Masa Mendatang

a. Mekanisme Stunting Meningkatkan Risiko Obesitas


Kondisi stunting dapat meningkatkan risiko obesitas, karena orang dengan
tubuh pendek berat badan idealnya juga rendah. Kenaikan berat badan beberapa
kilogram saja bias menjadikan Indeks Massa Tubuh (IMT) orang tersebut naik
melebihi batas normal. Suatu penelitian menunjukkan bahwa anak yang pendek di
Indonesia memiliki resiko 2,54 kali untuk menjadi gemuk dibandingkan dengan anak
dengan tinggi badan yang normal setelah dikoreksi oleh factor social ekonomi, jenis
kelamin anak, pendidikan ayah, dan status gizi ayah. Penelitian lain yang dilakukan
dinegara-negara Arab menunjukkan bahwa Risk Ratio (RR) terjadinya kegemukan
pada anak pendek bervariasi dengan kisaran mulai 2,14 di Djibouti sampai 3,85 di
Libya.
Penjelasan lazim mengenai terjadinya peningkatan berat badan dihubungkan
dengan stunting yang terjadi di negara-negara berkembang yaitu kurangnya aktifitas
fisik dan peningkatan asupan tinggi lemak. Namun seiring berkembangnya ilmu
pengetahuan saat ini semakin menunjukkan adanya peran kekurangan gizi kronis
yang terjadi di awal-awal kehidupan Efek buruk dari stunting dan obesitas dapat
dimulai dari dalam rahim dan mungkin akan terjadi terus setelah anak lahir. Kedua
permasalahan gizi ini juga terkait dengan metode pemberian makan dan penyapihan
yang akan membentuk penerimaan pangan dan kebiasaan makan di masa yang akan
datang.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan perubahan metabolic di semua
jaringan dan sistem tubuh anak-anak yang mengalami kekurangan gizi. Perubahan ini
menyebabkan adanya penghernatan energy serta upaya mempertahankan laju
metabolisme, sehingga hal ini bias menyebabkan anak yang pendek memiliki
gangguan regulasi asupan makanan dan juga memiliki kerentanan yang lebih tinggi
terhadap diet tinggi lemak. Energi dari makanan ini lama kelamaan dapat
meningkatkan timbunan lemak terutama di bagian perut.
Suatu penelitian menyelidiki sifat metabolik anak laki-laki dan perempuan
pra-pubertas yang stunting dan tidak stunting memiliki resting energy expenditure
yang lebih rendah dibandingkan dengan anak tidak stunting. Anak stunting memiliki
tingkat pernapasan dan oksidasi karbohidrat yang lebih tinggi, tetapi tingkat oksidasi
lemak lebih rendah dibandingkan anak tidak stunting. Hasil ini mungkin menjelaskan
bagaimana anak yang stunting cenderung menjadi gemuk. Ini karena mereka
memiliki oksidasi lemak rendah sehingga cenderung untuk menyimpan lemak
daripada digunakan untuk menghasilkan energi.
Besarnya kemungkinan anak stunting untuk menjadi gemuk bila dibandingkan
dengan anak yang memiliki tinggi badan normal menjadikan anak stunting harus
menghadapi beban masalah gizi ganda, mereka akan cenderung menjadi stunting dan
obesitas. Hal inilah juga yang harus diwaspadai sebagai dampak lain kekurangan gizi.
Analisis yang dilakukan sebelumnya pada anak usia 0-23 bulan di Indonesia
mendapatkan bahwa sebesar 19,8% anak pendek. Walaupun begitu Kemenkes 2013,
menyebutkan bahwa pada balita, proporsi anak pendek gemuk di Indonesia memiliki
kecenderungan yang selalu menurun mulai dari 7,4% pada tahun 2007 menjadi 6,8%
pada tahun 2013.
Selain hasil-hasil studi dan penelaahan epidemiologis yang mendukung hasil
analisis ini, pada beberapa analisis lain yang telah dilakukan tidak ditemukan adanya
hubungan antara pendek dan gemuk. Hal ini mungkin disebabkan karena kegemukan
pada anak pendek tergantung pada ketersediaan energi ekstra di anak yang telah
mengalami pemrograman untuk menggunakan energy lebih ekonomis. Pendek sendiri
bukan merupakan penyebab langsung, karena banyak anak-anak yang pendek namun
tidak menjadi gemuk, bahkan menjadi kurus.
b. Cara mendeteksi
Anak stunting mengalami gangguan oksidasi lemak dibandingkan anak tidak
stunting. Secara spesifik, anak stunting memiliki tingkat pernapasan yang secara
signifikan lebih tinggi dan oksidasi lemak yang lebih rendah dalam keadaan puasa
dan 30 menit setelah makan. Kondisi tersebut dapat meningkatan risiko kelebihan
berat badan ketika anak-anak tersebut menjadi remaja dan dewasa stunted karena
lemak yang tidak teroksidasi harus disimpan.
Kondisi oksidasi lemak yang rendah menyebabkan lemak yang tidak
teroksidasi harus disimpan. Dengan demikian, terganggunya oksidasi lemak akan
cenderung menyebabkan penumpukan lemak meningkat dari waktu ke waktu. Secara
teori, oksidasi lemak yang terganggu akan mempercepat penumpukan lemak dengan
sangat cepat ketika diet tinggi lemak dikonsumsi, karena asupan lemak berlebih akan
disimpan.
Anak yang mengalami kekurangan gizi termasuk stunting, tubuhnya
melakukan adaptasi terhadap kondisi tersebut, hal tersebut akan mempengaruhi enzim
dan fungsi hormon yang berkaitan dengan oksidasi lemak. Misalnya, malnutrisi
jangka panjang menyebabkan penurunan konsentrasi faktor pertumbuhan seperti
insulin (IGF-I). Karena IGF-I meningkatkan aktivitas lipase sensitif hormon menjadi
hormon lipolitik, setiap pengurangan IGF-I juga dapat menyebabkan penurunan
oksidasi lemak.
Selain IGF-I, juga terjadi gangguan pada hormon ghrelin. Ghrelin berperan
dalam kaitan antara kondisi stunting di masa kanak-kanak dan obesitas di masa
dewasa. Hal tersebut didasarkan pada kecenderungan bahwa anak stunting dan orang
dewasa obesitas memiliki pola yang sama pada konsentrasi ghrelin.Ghrelin adalah
hormon yang terdiri dari 28 asam amino. Peptida ini tidak hanya memiliki
efekorexigenik tetapi juga terlibat dalam metabolisme lipid manusia. Karena ghrelin
dikaitkan dengan nafsu makan dan adipositas, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa protein ini dikaitkan dengan berat badan. Pada manusia, ghrelin akan menurun
pada orang obesitas dan meningkat pada orang dengan kondisi anorexia nervosa.
Peningkatan kadar ghrelin meningkatkan ekspresi mRNA dari enzim yang
terlibat dalam lipogenesis de novo seperti lipoprotein lipase (LPL), asam lemak
sintase (FAS) dan stearoyl-CoA desaturase (SCD 1). Ghrelin juga menginduksi
penurunan ekspresi karnitin palmitoyl transferase 1 (CPT 1), protein penting yang
terlibat dalam pengaturan oksidasi asam lemak. Proses akhir dari reaksi tersebut
menyebabkan tubuh cenderung menyimpan lemak dan tidak menggunakannya untuk
penggunaan energi. Selain itu, karena tingkat ghrelin meningkat selama periode
puasa, proses metabolisme ini menyebabkan metabolisme tubuh memiliki efisiensi
energi yang lebih tinggi. Hal tersebut merupakan adaptasi manusia terhadap
rendahnya asupan makanan untuk mengurangi keseimbangan energi negatif.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa kondisi stunting dapat
mempengaruhi hormon di dalam tubuh seperi ghrelin dan IGF-I, yaitu terjadi
penurunan kadar IGF-I dan peningkatan kadar ghrelin. Biomarker tersebut dapat
dinilai melalui melalui pengambilan sampel darah dan diuji di laboratorium.

E. DAFTAR PUSTAKA

Adair, L., Fall, C., Osmond, C., Stein, A., Martorell, R., & Ramiez-Zea, M. (2013). Associations
of linear growth and relative weight gain during early life with adult health and human
capital in countries of low and middle income: findings fromfive birth cohort studie. Lancet,
382, 525–534.

Anugraheni, H. S. Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 12-36 Bulan di Kecamatan
Pati, Kabupaten Pati. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Semarang; 2012.
Arnisam, T. Salfiyadi dan L. S. Lura.Hubungan asupan mineral zinc (seng) dan vitamin A dengan
kejadian diare pada balita di kecamatan seulimeum.Idea Nursing Journal. 4 (3) : 66-73.
Bhutta,ZA. Ahmed T, Black RE, et.al. Maternal and Child Undernutrition 3:What Works?
Intervention for Maternal and Child Undernutrition and Survival. Lancet 2008.371:417-
40
Branca F & Ferrari M. Impact of micronutrient deficiencies on growth: the stunting syndrome.
Annals of nutrition & metabolism. 2002; 46 (1):8-17.

De Onis, M., & Branca, F. (2016). Childhood stunting: a global perspective. Maternal & Child
Nutrition, 12 Suppl 1, 12–26. doi:10.1111/mcn.12231

Dewi, E. K dan T. S. Nindya. 2017. Hubungan tingkat kecukupan zat besi dan seng dengan
kejadian stunting pada balita 6-23 bulan. Amerta Nutrition. 1 (4) : 361-368.
Duran P, Caballero B, de Onis M. The association between stunting and overweight in Latin
American and Caribbean preschool children. Food and nutrition bulletin. 2006; 27(4):
300-5.
El Taguri a., Besmar F, Abdel Monem A, Betilmal I, Ricour C & Rolland Cachera MF. Stunting
is a major risk factor for overweight: results from national surveys in 5 Arab countries.
East Mediterr Health J. 2009;15(3) : 549-62.

Hodinott, J., Alderman, H., Behrman, J., Haddad, L., & Horton, S. (2013). The economic
rationale for investing in stunting reduction. Maternal and Child Nutrition, 9(SUppl 2), 69–
82.

Hoffman DJ, Sawaya AL, Verreschi I, Tucker KL, Roberts SB. Why are nutritionally stunted
children at increased risk of obesity? Studies of metabolic rate and fat oxidation in
shantytown children from Sao Paulo, Brazil. Am J ClinNutr. 2000;72(3):702–7
Kementerian Kesehatan (2013). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan
Penelitiandan Pengembangan Kesehatan, Jakarta
Kemenkes RI.2016.Infodatin:Situasi Balita Pendek. Jakarta: Pusat Data Informasi Kemenkes RI
Kemenkes RI. 2017. REMBUK: Aksi Percepatan Penurunan Stunting.Jakarta: Kemenkes RI
Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi. 2017. Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting.
Jakarta: Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi
Maffeis C. Aetiology of overweight and obesity in children and adolescents. European Journal of
Pediatrics. 2000; 159(1):S35-44
Muhammad HFL. Obesity as the Sequel of Childhood Stunting: Ghrelin ans GHSR Gene
Polymorphism Explained. Indonesia J Intern Med. 2018; 50(2): 159-164.
Pertiwi, D dan D. Kusudaryati. 2013. Kekurangan asupan besi dan seng sebagai faktor penyebab
stunting pada anak. Profesi.10 : 57-61.

Prado, E. L., & Dewey, K. G. (2014). Nutrition and brain development in early life. Nutrition
Reviews, 72(4), 267–284. doi:10.1111/nure.12102

Pramono, A., B. Panunggal, N. Anggraeni dan M. Z. Rahfiludin. 2016. Asupan seng, kadar
serum seng, dan stunting pada anak sekolah di pesisir semarang. Jurnal Gizi Pangan. 11
(1) : 19-26.

Prendergast, A. J., & Humphrey, J. H. (2014). The stunting syndrome in developing countries.
Paediatrics and International Child Health, 34(4), 250–65.
doi:10.1179/2046905514Y.0000000158

Sawaya AL & Roberts S. Stunting and future risk of obesity: principal physiological
mechanisms. Cadernos de sandepitblica. 2003; 19(1):S21-8.
Semba, R. D., Shardell, M., Sakr, F. A., Moaddel, R., Trehan, I., Maleta, K. M., … Manary, M. J.
(2016). Child Stunting is Associated with Low Circulating Essential Amino Acids. EBIOM,
6, 246–252. doi:10.1016/j.ebiom.2016.02.030

Sudiman, H. 2008. Stunting atau Pendek : Awal Perubahan Patologis Atau Adaptasi Karena
Perubahan Sosial Ekonomi yang Berkepanjangan. Media Litbang Kesehatan. XVII(1):
33 –42
Utami, N.H., Sisca, D. Resiko Terjadinya Kegemukan pada Anak Usia 3-5 Tahun dengan Status
Gizi Pendek di Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2015; 14 (3): 273-283.
Utami NH, Putri DSK & Christita BC. Kejadian Pendek Gemuk Pada Anak Usia Bawah Dua
Tahun Berhubungan Dengan Konsumsi Lemak Dan Pendidikan Thu. Jurnal Penelitian
Gizi dan Makanan. 2014; 37 (1)
Wadhani, L. P. P dan I. D. A. Yogeswara. 2017. Tingkat konsumsi zat besi (Fe), seng (Zn) dan
status gizi serta hubungannya dengan prestasi belajar anak sekolah dasar. Jurnal Gizi
Indonesia. 5 (2) : 82-87.
Whatmore AJ, Hall CM, Jones J, Westwood M, Clayton PE. Ghrelin concentrations in healthy
children and adolescents. ClinEndocrinol (Oxf). 2003;59(5):649– 54.

Anda mungkin juga menyukai