SITI FATIMAH
NIM 2013201063
Kesmas 2B
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia masih banyak dijumpai masalah gizi. Seperti gizi buruk, gizi kurang,
kekurangan vitamin A, Anemia Gizi Besi (AGB), Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY)
dan obesitas. Masalah gizi menjadi salah satu penentu kualitas sumber daya manusia.
Masalah-masalah gizi ini terjadi selama siklus kehidupan dimulai sejak dalam kandungan
(janin), bayi, anak, dewasa dan usia lanjut. Apabila sejak awal kehidupan balita tidak
mendapatkan perilaku sadar akan pentingnya gizi maka hal ini dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangannya secara positif serta dapat menurunkan kondisi
kesehatannya (Kepmenkes RI, 2007).
Menurut Riskesdas, 2013 terdapat 19,6% balita kekurangan gizi yang terdiri dari
5,7% balita dengan gizi buruk dan 13,9% berstatus gizi kurang. Jika dibandingkan dari tahun-
tahun sebelumnya perubahan terutama terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4%
tahun 2007; 4,9% pada tahun 2010; dan 5,7% tahun 2013 (Kemenkes RI, 2014).
Status gizi pada balita dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor langsung dan faktor
tidak langsung. Faktor langsung yang mempengaruhi status gizi balita ialah penyakit infeksi
dan asupan makan balita, sedangkan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi
balita diantaranya ialah pendidikan, pengetahuan, ketrampilan keluarga dan ketahanan
pangan yang berkaitan dengan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan
seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup, baik jumlah maupun gizinya serta
pemanfaatan pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan, dengan penyebab dasar struktur
atau kondisi ekonomi
B.Perumusan Masalah
Berdasakan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut “ Gizi buruk terhadap balita atau anak di Indonesia”.
C.Tujuan Masalah
Untuk mengatasi masalah gizi buruk pada anak atau balita yang ada di Indonesia
Bab II
PEMBAHASAN
Gizi buruk adalah suatu kondisi yang ditandai dengan berat dan tinggi badan balita
jauh di bawah rata-rata. Maka itu, untuk mengetahui status gizi yang satu ini, indikator yang
digunakan adalah grafik berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Selain berat dan tinggi
badan, lingkar lengan atas (LILA) juga masuk ke dalam pemeriksaan klinis gizi buruk pada
anak dan balita.
Kondisi gizi buruk pada anak tidak terjadi secara instan atau singkat. Artinya, anak
yang masuk ke dalam kategori gizi buruk sudah mengalami kekurangan berbagai zat gizi
dalam jangka waktu yang sangat lama. Jika diukur menggunakan Grafik Pertumbuhan Anak
(GPA) yang mengacu pada WHO dengan berbagai indikator pendukung, anak dengan kondisi
gizi buruk memiliki kategori sendiri. Pada anak, bisa dikatakan mengalami gizi buruk ketika
hasil pengukuran indikator BB/TB untuk status gizinya kurang dari 70 persen nilai median.
Mudahnya, nilai cut off z score berada nilai pada kurang dari -3 SD. Gizi buruk paling sering
dialami oleh anak balita ketika tubuhnya kekurangan energi protein (KEP) kronis.
Menurut Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk dari Kementerian Kesehatan RI,
berikut gejala gizi buruk yang umum pada anak-anak:
Gizi buruk pada anak tanpa komplikasi memiliki berbagai gejala seperti:
Mengalami edema atau pembengkakan, paling tidak pada kedua punggung tangan
atau pun kaki
Sementara itu, gizi buruk pada anak dengan komplikasi ditandai dengan berbagai gejala
seperti:
Memiliki satu atau lebih komplikasi medis seperti anoreksia, pneumonia berat,
anemia berat, dehidrasi berat, demam tinggi, dan penurunan kesadaran.
Secara klinis, permasalahan gizi buruk pada anak balita terbagi menjadi beberapa kategori,
yaitu:
1. Marasmus
Marasmus adalah kondisi kurang gizi yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya
asupan energi harian. Padahal seharusnya, penting untuk mencukupi kebutuhan energi setiap
harinya guna mendukung semua fungsi organ, sel, serta jaringan tubuh. Mulai dari anak-anak
hingga orang dewasa sebenarnya bisa mengalami marasmus. Namun, kondisi ini paling
sering dialami oleh usia anak-anak yang biasanya terjadi di negara-negara berkembang.
Bahkan menurut data dari UNICEF, kekurangan asupan zat gizi merupakan salah satu
dalang penyebab kematian pada anak-anak di bawah usia 5 tahun. Kasus ini bisa memakan
korban hingga mencapai angka sekitar 3 juta setiap tahunnya.
2. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah kondisi kekurangan gizi yang penyebab utamanya karena
rendahnya asupan protein. Berbeda dengan marasmus yang yang mengalami penurunan berat
badan, kwashiorkor tidak demikian. Anak gizi buruk karena kwashiorkor memiliki ciri-ciri
tubuh membengkak karena mengalami penumpukan cairan (edema). Itu sebabnya, meski
telah kehilangan massa otot dan lemak tubuh, anak dengan khwarshiorkor tidak mengalami
penurunan berat badan yang drastis.
3. Marasmik-kwashiorkor
Sesuai dengan namanya, marasmik-kwashiorkor adalah bentuk lain dari gizi buruk
pada anak balita yang menggabungan kondisi dan gejala antara marasmus dan kwashiorkor.
Kondisi gizi buruk ini ditentukan dengan indikator berat badan balita berdasarkan usia (BB/U)
kurang dari 60 persen baku median WHO.
Namun, tidak seperti kwashiorkor yang mengalami pembengkakan pada perut, adanya
edema pada anak dengan marasmus dan kwashiorkor sekaligus, biasanya tidak terlalu
mencolok. Bukan hanya itu saja, berat badan anak yang mengamai marasmus dan
kwashiorkor sekaligus biasanya berada di bawah 60 persen dari berat normal di usia tersebut.
Gizi buruk juga membawa dampak yang buruk bagi perkembangan dan kemampuan adaptasi
anak pada situasi tertentu.
Menurut data yang dilansir pada National Health and Nutrition Examination Survey,
anak-anak dengan gizi buruk cenderung melewatkan pelajaran di kelas sehingga anak tidak
naik kelas. Anak menjadi lemas, lesu, dan tidak dapat bergerak aktif karena kekurangan
vitamin, mineral, dan nutrisi lainnya. Hal ini didukung oleh data World Bank yang juga
mencatat hubungan antara gizi buruk dan tingkat IQ yang rendah. Anak-anak ini juga
mungkin mengalami kesulitan mencari teman karena masalah perilaku mereka.
Gagalnya anak untuk mencapai aspek akademis dan sosial akibat gizi buruk tentu saja
memiliki dampak negatif yang berkelanjutan sepanjang hidupnya apabila tidak segera
disembuhkan.
3. Penyakit infeksi
Dampak gizi buruk lainnya yang kerap kali terjadi adalah risiko penyakit infeksi. Ya,
anak dengan gizi yang kurang akan sangat rentan mengalami penyakit infeksi, seperti
gangguan pencernaan anak. Hal ini disebabkan oleh sistem kekebalan tubuhnya yang tak kuat
akibat nutrisi tubuh yang tidak terpenuhi.
Ada banyak vitamin dan mineral yang sangat memengaruhi kerja sistem kekebalan
tubuh, misalnya vitamin C, zat besi, dan zink. Bila kadar nutrisi tersebut tidak tercukupi,
maka sistem kekebalan tubuhnya juga buruk. Belum lagi jika ia kekurangan zat gizi makro
seperti karbohidrat dan protein yang merupakan sumber energi dan pembangun sel-sel tubuh.
Kekurangan nutrisi tersebut akan membuat fungsi tubuhnya terganggu.
Pertumbuhan dan perkembangan si kecil yang terhambat adalah dampak gizi buruk
pada anak. Di masa pertumbuhan, si kecil sangat memerlukan zat protein yang diandalkan
untuk membangun sel-sel tubuh dan karbohidrat sebagai sumber energi utama tubuh. Bila
tidak ada protein dan zat nutrisi lainnya, bukan tidak mungkin pertumbuhan si kecil
terhambat bahkan berhenti sebelum waktunya. Maka itu penting bagi Anda untuk terus
memantau kesehatan sang buah hati, apalagi jika ia masih dalam usia di bawah lima tahun.
Lewat mengetahui status gizinya, Anda juga akan mengetahui apakah perkembangan si kecil
normal atau itu. Untuk itu, sebaiknya selalu periksakan anak ke dokter dengan rutin.
1. Fase stabilisasi
Fase stabilisasi adalah keadaan ketika kondisi klinis dan metabolisme anak belum
sepenuhnya stabil. Dibutuhkan waktu sekitar 1-2 hari untuk memulihkannya, atau bahkan
bisa lebih tergantung dari kondisi kesehatan anak. Tujuan dari fase stabilisasi yakni untuk
memulihkan fungsi organ-organ yang terganggu serta pencernaan anak agar kembali normal.
Dalam fase ini, anak akan diberikan formula khusus berupa F 75 atau modifikasinya, dengan
rincian:
Pemberian formula khusus dilakukan sedikit demi sedikit tapi dalam frekuensi yang
sering. Cara ini bisa membantu mencegah kadar gula darah rendah (hipoglikemia) serta tidak
membebankan saluran pencernaan, hati, dan ginjal.
Pemberian formula khusus dilakukan selama 24 jam penuh. Jika dilakukan setiap 2
jam sekali, berarti ada 12 kali pemberian. Jika dilakukan setiap 3 jam sekali, berarti ada 8 kali
pemberian.
Bila anak bisa menghabiskan porsi yang diberikan, pemberian formula khusus bisa
dilakukan setiap 4 jam sekali. Otomatis ada 6 kali pemberian makanan. Jika anak masih
menyusui ASI, pemberian ASI bisa dilakukan setelah anak mendapatkan formula khusus.
Gunakan alat bantu pipet tetes untuk anak dengan kondisi sangat lemah.
2. Fase transisi
Fase transisi adalah masa ketika perubahan pemberian makanan tidak menimbulkan
masalah bagi kondisi anak. Fase transisi biasanya berlangsung selama 3-7 hari dengan
pemberian susu formula khusus berupa F 100 atau modifikasinya.
Pemberian formula khusus dengan frekuensi sering dan porsi kecil. Paling tidak setiap
4 jam sekali.
Jumlah volume yang diberikan pada 2 hari pertama (48 jam) tetap menggunakan F 75.
Jika volume pemberian formula khusus tersebut telah tercapai, tandanya anak sudah
siap untuk masuk ke fase rehabilitasi.
3. Fase rehabilitasi
Fase rehabilitasi adalah masa ketika nafsu makan anak sudah kembali normal dan
sudah bisa diberikan makanan agak padat melalui mulut atau oral. Akan tetapi, bila anak
belum sepenuhnya bisa makan secara oral, pemberiannya bisa dilakukan melalui selang
makanan (NGT). Fase ini umumnya berlangsung selama 2-4 minggu sampai indiktor status
gizin BB/TB-nya mencapai -2 SD dengan memberikan F 100.
Dalam fase transisi, pemberian F 100 bisa dilakukan dengan menambah volumenya
setiap hari. Hal ini dilakukan sampai saat anak tidak mampu lagi menghabiskan porsinya. F
100 merupakan energi total yang dibutuhkan anak untuk tumbuh serta berguna dalam
pemberian makanan di tahap selanjutnya. Secara bertahap, nantinya porsi menu makanan
anak yang teksturnya padat bisa mulai ditambah dengan mengurangi pemberian F 100.
BAB III
PENUTUP
A.Keseimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa gizi buruk tidak baik
bagi balita dan kita sebagai seorang kesehatan masyarakat harus bisa menanganinya.
B.Saran
Sebaiknya balita dengan gizi buruk dan kurang lebih rajin berkunjung ke Posyandu,
sehingga kondisi berat badannya dapat terpantau dengan baik. Selain itu, pihak kesehatan
perlu memberikan pengetahuan atau penyuluhan pada orang tua balita tentang penyebab
status gizi balita terutama pada ibu yang tidak tamat SD atau tidak pernah sekolah, karena
semakin tinggi pendidikan ibu maka pengetahuan tentang gizi semakin banyak. Serta perlu
fasilitas kesehatan yang baik dan terjangkau pada daerah yang paling banyak balita dengan
status gizi buruk dan kurang.
Visi dan Misi
Visi
Bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa dan Membantu menjaga gizi baik kepada masyarakat.
Misi