Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS

GIZI KURANG ET CAUSA ASCARIASIS

Disusun oleh:
dr. Della Bintari Pratiwi

Pembimbing:
dr. Arief Subyanto

PROGRAM INTERNSIP

PUSKESMAS NGRONGGOT

PERIODE 21 MEI – 20 NOVEMBER 2023


ABSTRAK

Gizi kurang merupakan keadaan gizi balita yang ditandai dengan kondisi kurus, berat badan
menurut panjang badan atau tinggi badan kurang dari -2 sampai dengan -3 standar deviasi,
dan/atau lingkar lengan 11,5-12,5 cm pada Anak usia 6-59 bulan. Intake makanan tidak
adekuat merupakan penyebab paling sering terjadinya malnutrisi di seluruh dunia. Selain itu
gizi kurang dapat disebabkan karena adanya infeksi cacing. Infeksi cacing paling sering yang
diderita anak yaitu infeksi Ascaris lumbricoides yang menyebabkan gangguan pada absropsi
makanan. Kondisi infeksi ascariasis dan gizi kurang membutuhkan penanganan secara cepat
dan tepat untuk menghindari terjadinya komplikasi penyakit yang bersifat ireversibel.

Kata kunci: Gizi kurang, Ascariasis


BAB I

PENDAHULUAN

Permasalahan gizi pada anak usia kurang dari 5 tahun masih menjadi tantangan di
dunia dan di Indonesia khususnya. Masalah gizi atau malnutrisi merupakan defisiensi atau
berlebih intake nutrisi, ketidakseimbangan nutrisi esensial, atau masalah pada penggunaan
nutrisi yang ada pada tubuh. Malnutrisi yang terjadi dapat berupa gizi buruk atau gizi kurang
dan gizi berlebih atau obesitas. Secara garis besar, malnutrisi dapat dibagi menjadi 4
kelompok besar, yaitu: wasting, stunting, undernutrition, dan defisiensi mikro vitamin. Wasting
merupakan kondisi Berat Badan (BB) per umur (BB/U) di bawah standar yang ditentukan. Hal
ini bisa disebabkan karena terbatasnya jumlah makanan pada negara-negara miskin, infeksi
kronis yang diderita anak, ataupun kondisi sanitasi yang tidak baik. Kondisi tersebut apabila
dibiarkan dalam waktu yang lama akan menyebabkan peningkatan resiko kematian atau
kerusakan permanen pada anak. Kondisi malnutrisi pada anak akan meningkatkan resiko
terjadinya infeksi pada anak dan kondisi infeksi akan menyebabkan kondisi malnutrisi semakin
parah sehingga lingkaran tersebut harus diputus. Di dunia, kondisi malnutrisi berupa gizi buruk
dan gizi kurang terjadi pada negara yang mengalami krisis pangan. Di indonesia, kondisi gizi
buruk dan gizi kurang sudah semakin menurun beberapa dekade terakhir meskipun tetap
masih ada (Bouma, 2016).

Salah satu penyebab gizi kurang yaitu adanya infeksi pada saluran pencernaan
sehinga penyerapan nutrisi tidak dapat dilakukan secara maksimal. Infeksi paling sering yang
diderita oleh anak usia kurang dari 5 tahun yaitu infeksi cacing. Infeksi cacing yang paling
sering terjadi yaitu infeksi cacing Ascaris lumbricoides. Infeksi cacing tersebut pada kondisi
ringan menyebabkan penyerapan tidak maksimal. Sedangkan pada kondisi yang lebih berat
dapat menyebabkan obstruksi usus dan membutuhkan penanganan yang lebih lanjut.
Penularan infeksi ini melalui rute fecal oral yaitu melalui feses yang terkontaminasi dengan
telur cacing kemudian mengendap di tanah dan masuk ke saluran pencernaan orang lain
sehingga terjadi infeksi ascariasis. Infeksi ascariasis kebanyakan terjadi pada negara-negara
berkembang dengan sanitasi yang tidak baik, kelembaban tinggi, dan kepadatan penduduk
yang tinggi. Infeksi cacing dapat didiagnosis dengan pemeriksaan feses rutin yang cukup
sederhana. Pada pemeriksaan feses akan didapatkan telur. Pada kasus ringan pengobatan
infeksi acariasis dapat dilakukan di fasilitas kesehatan dengan diberikan antihelmintik seperti
albendazol (Djohan et al., 2023).
BAB II

LAPORAN KASUS

● 00

2.8 Prognosis
● Vitam : ad Bonam
● Fungtionam : ad Bonam
● Sanationam : ad Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Gizi kurang


A. Definisi
Malnutrisi merupakan kondisi defisiensi atau kelebihan intake nutrien,
ketidakseimbangan nutrien esensial, atau gangguan penggunaan ntrien. Malnutrisi
terdiri dari gizi kurang, kelebihan berat dan obesitas. Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan (PERMENKES) no 29 tahun 2019, gizi kurang merupakan keadaan gizi
balita yang ditandai dengan kondisi kurus, berat badan menurut panjang badan atau
tinggi badan kurang dari -2 sampai dengan -3 standar deviasi, dan/atau lingkar lengan
11,5-12,5 cm pada Anak usia 6-59 bulan (Permenkes, 2019).
B. Epidemiologi
Secara global, pada tahun 2020 diperkirakan sebanyak 149,2 juta atau 22%
anak di bawah 5 tahun mengalami stunting. Selain itu, 45,4 juta atau 6,7% anak di
bawah 5 tahun diperkirakan mengalami wasting. Di dunia Afrika Sub Sahara, Asia
Selatan, serta Asia Timur dan Pasifik memiliki prevalensi malnutrisi paling banyak di
dunia. Di Indonesia, diperkirakan 1 dari 3 anak di bawah lima tahun mengalami
stunting; 1 dari 10 anak mengalami wasting; dan 1 dari 7 remaja mengalami
overweight. Persentase balita di Indonesia yang mengalami gizi kurang mencapai
13,8%, gizi buruk 3,9%, dan gizi lebih 3,1%. Malnutrisi terutama gizi kurang
menyebabkan peningkatan tingkat kematian pada balita. Kematian yang terjadi hingga
45% pada penderita gizi buruk. Hal tersebut diakibatkan karena penurunan fungsi
imuunologis sehingga anak rawan terkena infeksi oportunistik (Djohan et al., 2023).
C. Etiopatofisiologi
Intake makanan tidak adekuat merupakan penyebab paling sering terjadinya
malnutrisi di seluruh dunia. Di negara berkembang, intake makanan yang tidak adekuat
merupakan akibat dari pasokan makanan yang tidak tepat atau penyapihan ASI dini.
Pada beberapa adat dan kepercayaan juga menjadi salah satu faktor resiko. Sanitasi
yang buruk dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi yang menyebabkan
peningkatan kebutuhan metabolik. Pada negara maju, masalah ketersidaan pangan
bukan lagi menjadi masalah penyebab malnutrisi. Sebagian besar penyebab gizi
kurang yaitu adanya penyakit kronis. Penyakit kronis menyebabkan kekurangan gizi
melalui beberapa hal. Pada anak yang mengalami penyakit kronis biasanya akan
mengalami anoreksia sehingga intake makanan akan berkurang. Pada saat kondisi
sakit, kondisi inflamasi meningkatkan metabolisme sehingga meningkatkan kebutuhan
kalori. Penyakit kronis yang melibatkan saluran pencernaan juga menyebabkan
penurunan absorbsi nutrien (Dipasquale et al., 2020).
Malnutrisi terjadi akibat tidak seimbang nya intake energi dan energi yang
dibutuhkan untuk kegiatan sehari-hari. Intake energi yang inadekuat memicu berbagai
perubahan adaptasi fisiologis, seperti hambatan pertumbuhan, hilang nya lemak, otot,
masa viseral, berkurang nya kecepatan metabolisme. Kondisi malnutrisi juga dapat
menyebabkan perubahan biokimia seperti perubahan hormonal, metabolik, dan
mekanisme glukoregulator. Hormon utama yang terdampak yaitu hormon tiroid,
hormon pertumbuhan dan insulin. Pada kondisi akut, level glukosa akan mengalami
penurunan dengan menurun nya penyimpanan glycogen. Pada fase tersebut terjadi
glukoneogenesis secara cepat yang mengakibatkan kehilangan masa otot skeletal
(Harohalli R Shashidhar, 2023).
Gangguan imunitas terjadi akibat adanya atrofi pada timus, nodus limfatik, dan
tonsil. Di limfosit terdapat pengurangan jumlah CD 4 dan CD 8, berkurangnya
kemampuan fagositosis, dan berkurangnya Ig-A. Kondisi kekurangan gizi
menyebabkan berkurangnya neuron, synaps, myelinisasi yang kesluruhanya
menyebabkan berkurangnya ukuran total otak. Korteks serebri akan mengalami
penipisan dan perkembangan otak lebih lambat. Hal ini menyebabkan lambatnya
perkembangan fungsi global, fungsi motorik, dan memori. Efek yang timbul akan
bersifat ireversibel setelah usia 3-4 tahun (Dipasquale et al., 2020).
D. Diagnosis
Anak yang mengalami kekurangan gizi biasanya berat badan yang sulit
meningkat, perkembangan yang terhambat, dan adanya gangguan kebiasaan seperti
apatis, irritable, dan defisit perhatian. Secara umum terdapat 4 kelompok manifestasi
malnutrisi pada anak, yaitu: wasting, stunting, berat badan kurang, dan defisiensi
vitamin dan mineral. Wasting yaitu berat badan (BB) per tinggi badan (TB/PB) kurang
dari nilai normal yang telah ditentukan. Stunting yaitu TB/PB per umur yang tidak
sesuai. Sedangkan berat badan kurang atau underweight yaitu BB per umur yang
kurang. Secara kurva WHO,malnutrisi pada anak dapat dilihat dari kurva berdasarkan
jenis kelamin anak (Dipasquale et al., 2020).
Ambang batas (z-score) Kategori gizi anak

<-3SD Gizi buruk

-3 SD sampai <-2SD Gizi kurang

-2 SD sampai 2 SD Gizi normal


Tabel 1. Klasifikasi z-score
Seorang anak dapat dicurigai mengalami gizi kurang saat anak mengalami
penurunan berat badan atau berat badan yang tetap selama periode waktu tertentu.
Pada kondisi tersebut dapat dicari penyebab berat badan yang tidak meningkat untuk
melakukan tata laksana yang lebih tepar. Hal pertama yang harus dilihat apakah anak
mengalami muntah, diare atau ruminasi yaitu anak makan kemudian mengalami
regurgitasi dan ditelan kembali. Selanjutnya mellihat apakah anak menghindari tekstrur
makanan tertentu sebagai salah satu tanda anak mengalami gangguan menelan atau
mengunyah. Melihat tanda-tanda alergi atau intoleransi pada anak seperti anak
menghindari beberata makanan seperti susu atau gandum. Hal terakhir adalah melihat
apakah anak telah mengkonsumsi minuman berkalori rendah, susu, atau jus buah
yang menyebabkan anak merasa kenyang sehingga menolak untuk mengkonsumsi
makanan yang berkalori tinggi. Apabila berat badan masih belum mengalami kenaikan
maka dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui infeksi kronis yang ada
pada anak. Pemeriksaan feses rutin dapat dilakukan untuk mengetahui infeksi cacing
yang menyebabkan malabsorpsi nutrisi sehingga berar badan anak akan lebih sulit
mengalami peningkatan (Harohalli R Shashidhar, 2023).
Gambar 2. Kurva BB/U Perempuan

Gambar 2. Kurva BB/U laki-laki


E. Tata laksana
Tujuan utama tata laksana pada anak dengan gizi kurang yaitu untuk mengejar
ketertinggalan berat badan. Untuk mencapai target tersebut maka harus dilakukan
perubahan pada pola diet anak, jadwal makan, dan lingkungan makan anak. Anak
yang mengalami gizi kurang seharusnya menerima 25 kkal/kg BB lebih banyak
daripada anak dengan usia yang sama. Tata laksana disarankan dilakukan di rumah
dengan diawasi oleh petugas kesehatan terkait. Makanan yang diberikan harus
mengandung asam lemak hewani dan makanan yang kaya akan mikronutrien seperti
vitamin A (Harohalli R Shashidhar, 2023).

3.2 Ascariasis
A. Etiologi
Ascariasis disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides, nematoda yang ditularkan
melalui tanah. Cacing jantan dewasa dapat berukuran 15-20cm sedangkan cacing
betina dapat berukuran 20-30cm dengan reratra usia hidup hingga satu tahun. Cacing
dapat berwarna pink, kekuningan, atau putih (Lamberton, 2015).
B. Epidemiologi
Infeksi askariasis merupakan salah satu infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah
(Soil Transmitted Helmintic) tersering. Infeksi tersebut lebih banyak terjadi pada negara
dengan iklim tropis dan sub tropis. Di dunia, terdapat hingga 1,2 juta orang yang
terinfeksi oleh cacing tersebut terutama pada negara dengan kebersihan yang kurang.
Di indonesia prevalensi anak penderita infeksi ascariasis beragam dari 6-60% pada
daerah endemis seperti di Sumatra dan Nusa Tenggara Timur. Beberapa penelitian
menunjukkan faktor resiko terjadinya infeksi ascariasis berupa sanitasi yang buruk,
tingkat kebersihan buruk, socioekonomi rendah, konsumsi makanan yang belum
matang, dan kepadatan penduduk (Lamberton, 2015).
C. Siklus hidup
Cacing hidup dan berkembang biak pada usus manusia. Kemudian telur ascariasis
akan keluar bersama dengan feses yang dikeluarkan oleh penderita. Ketika orang
yang terinfeksi melakukan buang air besar sembarangan, telur cacing akan terdeposit
dan mengendap di tanah. Infeksi ascariasis terjadi melalui ingesti telur cacing. Hal ini
dapat terjadi ketika tangan yang kotor terkena tanah masuk ke mulut, atau dapat pula
melalui konsumsi buah dan sayuran yang terkontaminasi (Parasitic Diseases and
Malaria, 2023).

Gambarr 3. Siklus hidup Ascaris lumbricoides


D. Patofisiologi
Infeksi terjadi ketika pejamu melakukan ingesti telur yang terdapat pada tanah
yang terkontaminasi. Setelah mencapai duodenum, telur akan berkembang menjadi
larva dan mulai memasuki sirkulasi melalui mukosa enterik. Sesampainya di pembuluh
darah kapiler, larva akan mencapai hepar melalui vena porta dan memasuki paru-paru.
Proses ini memerlukan waktu sekitar satu minggu. Di paru-paru, larva akan merusak
membran alveolar dan menjadi matur di alveolus. Larva kemudian dapat dikeluarkan
ketika batuk atau masuk kembali ke saluran gastrointestinal. Larva yang terdapat pada
usus halus akan berkembang menjadi cacing dewasa sekitar 20 hari. Ketika terjadi
kopulasi antara cacing jantan dan betina, cacing betina dapat menghasilkan telur
hingga sekitar 200.000 telur setiap hari. Telur kemudian akan mengikuti feses dan
terdapat pada tanah. Pada kondisi yang lembab, rindang, dan hangat, telur akan
memasuki stadium infekstif pada 2-8 minggu dan akan tetap viabel hingga 17 bulan
(Daniela, 2023).
Pada saluran pencernaan, ascaris menyebabkan timbulnya reaksi inflamasi
yang dapat menyebabkan anoreksia. Kerusakan dinding usus yang ditimbulkan juga
menyebabkan gangguan penyerapan besi, folat, dan vitamin. Kondisi tersebut dalam
waktu yang lama menyebabkan anemia dan gangguan nutrisi yang dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan anak. Gangguan nutrisi meningkatkan resiko anak
mudah mengalami infeksi dan gangguan kognitif yang akan berpengaruh terhadap
performa akademik anak (Djohan et al., 2023).
E. Diagnosis
Infeksi ascariasis memiliki kesamaan dengan beberapa penyakit yang lain
sehingga terkadang diagnosis infeksi tersebut membutuhkan ketelitian. Penderita
infeksi ascariasis kebanyakan tidak bergejala meskipun pada daerah yang endemik.
Parasit tersebut menimbulkan tiga kelainan patologis utama, yaitu: reaksi imunologis
karena larva yang bermigrasi, gangguan nutrisi, dan obstruksi oleh karena adanya
cacing dewasa pada saluran pencernaan. Sama seperti infeksi parasit yang lain,
diagnosis infeksi askariasis membutuhkan beberapa data yaitu: kebiasaan, riwayat
bepergian ke daerah endemik, gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium ( Djohan et
al., 2023).
● Migrasi larva
Pada stadium ini, gejala yang timbul biasanya muncul 1-2 minggu setelah
terinfeksi. Gejala yang timbul dapat bervariasi, mulai dari batuk kering hingga
batuk berdarah, nyeri dada yang memberat saat batuk, sesak nafas, dan
demam. Pada pemeriksaan auskultasi dapat didapatkan adanya suara
wheezing. Pada gejala yang berat dapat menimbulkan Loeffler syndrome,
kondisi terjadinya larva dalam jumlah yang sangat banyak pada paru-paru.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya eosinofilia dan gambaran
infiltrat pada pemeriksaan rontgen dada. Infeksi pada paru-paru disebabkan
adanya migrasi larva yang juga dapat menimbulkan manifestasi klinis pada
organ kulit. Gejala yang ditimbulkan yaitu adanya urtikaria yang mengawali
gejala paru-paru (Daniela, 2023).
● Gejala akibat cacing dewasa
Pada infeksi ringan, infeksi cacing ascaris dewasa biasanya asimtomatik. Akan
tetapi, pada infeksi berat infeksi dapat menyebabkan nyeri abdomen akut yang
timbul akibat adanya obstruksi usus halus, volvulus, atau intususepsi yang lebih
sering terjadi pada anak-anak. Obstruksi dapat terjadi pada segala usia, tetapi
85% kasus terjadi pada anak-anak. Gejala yang ditimbulkan yaitu nyeri perut
mendadak yang tajam dan bersifat hilang timbul, mual, hingga muntah yang
berisi cacing. Gejala juga dapat disertai dengan demam dan diare. Dapat
dilakukan pemeriksaan USG atau endoskopi sebagai pemeriksaan penunjang
dan terapi untuk mengambil cacing yang berada di usus. Pemberian
antihelmintik pada fase akut abdomen tidak disarankan dikarenakan dapat
menyebabkan obstruksi total (Daniela, 2023).
Pemeriksaan penunjang yang menjadi baku emas yaitu pemeriksaan feses.
Metode yang disarankan untuk digunakan yaitu dengan metode langsung atau metode
kato katz. Pada pemreiksaan ini, feses dicampur dengan salin kemudian diamati
langsung di bawah mikroskop. Dapat ditemukan telur dalam fase terfertilisasi,
dekortikasi, maupun yang belum terfertilisasi. Pada pemeriksaan sputum atau isi
lambung dapat pula ditemukan larva cacing ( Djohan et al., 2023).

Tabel 2. Diagnosis banding infeksi ascariasis


Gambar 4. Telur Ascaris lumbricoides

F. Tata laksana
Infeksi ascariasis walaupun asimtomatik dan ringan tetap harus diberikan
terapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat migrasi cacing
ascaris. Terapi medikamentosa diberikan jika dipastikan tidak ada obstruksi saluran
pencernaan maupun tanda-tanda migrasi ke paru-paru. Obat yang diberikan yaitu anti
helmintik albendazol 400 mg dosis tunggal atau mebendazol 100 mg 3 kali sehari atau
500 mg dosis tunggal. Dosis untuk dewasa dan anak-anak diberikan sama. Obat
pilihan yang lain dapat diberikan ivermektin 100-200 mcg per kg bb dosis tunggal.
Pada ibu hamil dapat diberikan piperazin 50mg/kg/ hari selama 5 hari atau 75
mg/kg/hari dosis tunggal atau pilihan obat lain yaitu pirantel pamoat hingga 1g/hari.
Terapi medikamentosa mentargetkan cacing pada fase dewasa, sehingga pengobatan
perlu untuk diulang lagi 1-3 bulan berikutnya untuk memberi kesempatan larva
menetas menjadi cacing dewasa (Lamberton, 2015).
Pada kasus infeksi ascariasis dan telah terdapat obstruksi pada saluran
pencernaan total, terapi yang diberikan yaitu pembedahan laparotomi untuk mengambil
cacing. Apabila terjadi obstruksi parsial, pemberian cairan intravena untuk supoport
cairan, pemasangan NGT, dan larangan untuk makan minum melalui oral, dan anti
spasmodik dapat diberikan. Setelah gejala mereda dapat diberikan terapi antihelmintik
(Daniela, 2023).
Pasien yang mengalami infeksi ascariasis disarankan untuk meningkatkan
higenitas untuk mengurasi kejadian infeksi rekuren. Pasien juga disarankan untuk
mengurangi makanan-makanan pedas dikarenakan dapat meningkatkan resiko migrasi
cacing yang lebih besar (Daniela, 2023).
DAFTAR PUSTAKA

Bouma, S. (2016) ‘Diagnosing pediatric malnutrition’, Nutrition in Clinical Practice, 32(1),


pp. 52–67. doi:10.1177/0884533616671861.

Daniela F. de Lima Corvino and Shawn Horrall (2023) Ascariasis - StatPearls - NCBI
Bookshelf, Ascariasis. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430796/
(Accessed: 29 September 2023).

Dipasquale, V., Cucinotta, U. and Romano, C. (2020) ‘Acute malnutrition in children:


Pathophysiology, clinical effects and treatment’, Nutrients, 12(8), p. 2413.
doi:10.3390/nu12082413.

Harohalli R Shashidhar, M. (2023) Malnutrition workup, Malnutrition. Available at:


https://emedicine.medscape.com/article/985140-workup (Accessed: 01 October
2023).

Lamberton, P.H. (2015) ‘Human ascariasis: Diagnostics update’, Current Tropical


Medicine Reports, 2(4), pp. 189–200. doi:10.1007/s40475-015-0064-9.

Parasitic Diseases and Malaria, D. of (2023) CDC - ascariasis, Centers for Disease
Control and Prevention. Available at:
https://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/index.html (Accessed: 29 September 2023).

Putra Brillian Djohan, Amelia Prasetyadi and Marcela Wirjanata (2023) ‘Association
between Ascaris lumbricoides infection and undernutrition in children: a systematic
review and meta-analysis’, Bali Medical Journal, 12(1), pp. 197–205.
doi:10.15562/bmj.v12i1.3647.

Anda mungkin juga menyukai