Anda di halaman 1dari 25

BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Gizi buruk ( Severe Malnutrition ) adalah suatu istilah teknis yang
umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk
adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.
Malnutrisi arti sebenamya adalah gizi yang salah, yang mencakup keadaan
gizi kurang maupun gizi lebih. Di Indonesia dengan masih tingginya angka
kejadian gizi kurang, istilah malnutrisi lazim dipakai untuk keadaan ini.

B. PENYEBAB
Kekurangan gizi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan zat-zat
esensial. yang bisa disebabkan oleh:
1. Asupan yang kurang karena makanan yang jelek atau penyerapan
yang buruk dan usus (malabsorbsi).
2. Penggunaan berlebihan dari zat-zat gizi oleh tubuh.
3. Kehilangan zat-zat gizi yang abnormal melalui diare, pendarahan,
gagal ginjal atau keringat yang berlebihan.
Sedangkan ledakan kasus gizi buruk yang terjadi di beberapa daerah di
Indonesia sebagian besar disebabkan oleh:
1. Kemiskinan
2. Karena pola asuh yang tidak baik
3. Adanya penyakit kronis

Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkait. Secara garis
besar penyebab kurang gizi pada anak disebabkan oleh karena asupan
makanan yang kurang atau anak yang sering sakit terkena infeksi.
Asupan yang kurang, disebabkan oleh banyak faktor antara lain:
1. Tidak tersedianya makanan secara adekuat. Tidak tersedianya
makanan yang adekuat terkait langsung dengan kondisi sosial ekonomi.
Kadang-kadang bencana alam, perang. maupun kebijaksanaan politik
maupun ekonomi yang memberatkan rakyat akan menyebabkan hal ini.
Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makanan yang
adekuat. Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya
hubunga timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan
merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Proporsi anak
malnutrisi berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil
pendapatan penduduk, makin tinggi presentasi anak yang kekurangan gizi.
2. Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang. Makanan
alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu ibu, dan sesudah usia 6 bulan
anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat.
baik jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap status gizi bayi.
MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein,
tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, serta
vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan
sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan
pengetahuan yang rendah sering kali anaknya harus puas dengan makanan
seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena
ketidaktahuan.
3. Pola makan yang salah. Suatu studi positive deviance
mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu desa
miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orang tua mereka
semuanya petani miskin. Dan studi ini diketahui pola pengasuhan anak
berpengaruh terhadap timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya
sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal
pentinganya ASI, menfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama
miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan
berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak
yang gizi buruk temyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga
miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya perempuan yang
meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan menjadi TKI,
kemungkinan juga dapat menyebabkan anak menderita gizi buruk.
Kebiasaan, initos ataupun kepercayaan/adat istiadat masyarakat tertentu
yang tidak benar dalam pemberian makan akan sangat merugikan anak.
Misalnya kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih,
memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan
tertentu (misalnya tidak memberikan anak-anak daging, telur, santan dll),
hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak,
protein maupun kalori yang cukup.

Sering sakit (frequent infection)


Menjadi penyebab terpenting kedua kekurangan gizi, apalagi di negara-negara
terbelakang dan yang sedang berkembang seperti Indonesia, dimana kesadaran
akan kebersihan/personal hygine yang masih kurang, serta ancaman
endemisitas penyakit tertentu. khususnya infeksi kronik seperti rnisalnya
Tuberculosis (TBC) masih sangat tinggi. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti
layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling
terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan menyebabkan
kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk
pada sistem pertahanan sehingga mernudahkan terjadinya infeksi.
Orang-orang yang memiliki resiko mengalaini kekurangan gizi:
1. Bayi dan anak kecil yang nafsu makannyajelek.
2. Remaja dalam masa pertumbuhan yang pesat.
3. Wanita hamil dan wanita menyusui.
4. Orang tua.
5. Penderita penyakit menahun pada saluran pencernaan, hati atau
ginjal, terutama jika terjadi penurunan berat badan sampai 10-15%.
6. Orang yang menjalani diet untuk jangka panjang.
7. Vegetarian.
8. Penderita ketergantungan obat atau alkohol yang tidak cukup
makan.
9. Penderita AIDS.
10. Pemakaian obat yang mempengaruhi nafsu makan, penyerapan
atau pengeluaran zat gizi.
11. Penderita anoreksia nervosa.
12. Penderita demam lama, hipertiroid, luka bakar atau kanker.

C. MALNUTRISI ENERGI PROTEIN (MEP, Gizi Buruk)


Secara umum gizi kurang disebabkan oleh kekurangan energi atau protein.
Namun keadaan di lapangan menunjukkan bahwa jarang dijumpai kasus yang
menderita defisiensi energi murni ataupun defisiensi defisiensi protein murni.
Anak dengan defisiensi protein biasanya disertai pula dengan defisiensi energi
atau nutrien lainnya. Karena itu istilah yang lazim dipakai adalah manutrisi
energi protein (MEP) atau kekurangan kalori protein (KKP). MEP terbagi
menjadi marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor. Disadari
sepenuhnya bahwa kasus kwashiorkor tidak terlepas dan adanya faktor
kekurangan energi; demikian pula pada kasus marasmus pun terdapat adanya
kekurangan protein. Istilah marasmus-kwashiorkor dipakai bila defisiensi
kedua nutrien ini berimbang. Sistem Welcome Trust Working Party
membedakan jenis MEP berdasarkan berat badan dan edema sebagai berikut:
1. Jenis kwashiorkor bila BB lebih dari 60% BB baku, disertai edema.
2. Jenis marasmus-kwashiorkor bila BB lebih dari 60% BB baku,
disertai edema.
3. Jenis marasmus bila BB kurang dan 60% BB baku, tanpa edema.
Gambaran klinis malnutrisi energi protein (=MEP) sangat bervariasi dalam
derajat berat dan lamanya kekurangan energi dan protein, umur penderita,
serta gambaran klinis lainnya yang menyertai sebagai akibat defisiensi
vitamin, inineral dan elemen renik.
Sindrom marasmus, kwashiorkor, dan marasinik-kwashiorkor yang merupakan
MEP-berat tidaklah lebih sering ditemukan daripada MEP-ringan/sedang yang
disebut juga sebagai gizi-kurang (Undernutrition) yang hanya ditandai oleh
adanya hambatan pertumbuhan. Keadaan lingkungan ikut berperan dalam
terjadinya MEP seperti pemukiman yang padat, sanitasi dan higiene yang
buruk, serta infeksi berulang yang ditimbulkannya.

1. MARASMUS
Kejadian dan etiologi
Kelainan ini hanya ditemukan di negara miskin dan dunia ketiga, karena
peran berbagai faktor negatif, yang sifatnya multifaktorial dan kompleks.
Selain pangaruh berbagai faktor tersebut, masukan kalori yang kurang
dapat pula terjadi sebagai akibat kesalahan pemberian makan karena
tiadanya keakraban dalam hubungan orang tua dan anak, penyakit
metabolik, kelainan kongenital, infeksi kronik atau kelainan organ tubuh
lainnya.

Patofisiologi
Untuk kelangsungan hidup jaringan diperlukan sejumlah energi yang
dalam keadaan normal dapat dipenuhi dan makananyang diberikan.
Kebutuhan ini tidak terpenuhi pada masukan yang kurang, karena itu
untuk pemenuhannya digunakan cadangan protein sebagai sumber energi.
Penghancuran jaringan pada defisiensi kalori tidak saja membantu
memenuhi kebutuhan energi, tetapi juga memungkinkan sintesis glukosa
dan metabolit esensial lainnya, seperti berbagai asam amino. Karena itu
pada marasmus, kadang-kadang masih ditemukan kadar asam amino yang
normal, sehingga hati masih dapat membentuk cukup albumin.
Gejala klinis
Gambaran klinis akan jelas memperlihatkan penampilan seorang anak
yang kurus kering. Semula anak rewel, cengeng walaupun telah diberi
minum, dan sering bangun malam. Pada tahap berikutnya anak bersifat
penakut, apatik, dan nafsu makan menghilang. Sebagai akibat kegagalan
tumbuh-kembang akan terlihat berat badan menurun, jaringan subkutan
menghilang sehingga turgor menjadi jelek dan kulit berkeriput. Pada
keadaan yang lebih berat jaringan lemak pipi pun menghilang, sehingga
wajah anak menyerupai wajah orang usia lanjut. Vena superfisialis kepala
lebih nyata, fotanel cekung, tulang pipi dan dagu terlihat menonjol, mata
nampak lebih besar dan cekung. Perut dapat membuncit atau mencekung
dengan gambaran usus nyata. Atrofi otot akan menimbulkan hipotonia.
Kadang-kadang terdapat edema ringan pada tungkai, tetapi tidak pada
muka. Suhu tubuh umumnya subnormal, nadi lambat dan metabolisme
basal menurun, sehingga ujung tangan dan kaki terasa dingin dan nampak
sianosis.

Penyakit penyerta
Penyakit. penyerta yang sering dijumpai adalah enteritis, infestasi cacing.
tuberkulosis dan defisiensi vitamin A. Karena itu pada pemeriksaan anak
dengan marasmus hendaknya diperhatikan kemungkinan adanya penyakit
tersebut yang akan mempengaruhi tindakan pengobatannya. Pengobatan
dan prognosis dibahas pada topik kwashiorkor.

2. KWASHIORKOR
Agar tercapai keseimbangan nitrogen yang positif, bayi dan anak dalam
masa pertumbuhan memrlukan protein lebih banyak dibandingkan dengan
orang dewasa. Keseimbangan nitrogen yang positif pada dewasa tidak
diperlukan , karena kebutuhan protein sudah terpenuhi bila keseimbangan
tersebut dapat dipertahankan. Pada anak bila keseimbangan nitrogen yang
positif tidak terpenuhi, maka setelah beberapa saat ia akan menderita
malnutrisi protein yang mungkin berlanjut dengan kwashiorkor. Meskipun
sebab utama penyakit ini adalah defisiensi protein, tetapi karena bahan
makanan yang dimakan kurang mengandung nutrien lainnya ditambah
dengan konsumsi setempat yang berlainan, maka akan terdapat perbedaan
gambaran kwashiorkor di berbagai negara. Umumnya defisiensi protein
disertai pula oleh defisiensi energi, sehingga pada seorang kasus terdapat
gejala kwashiorkor maupun marasmus.

Etiologi
Selain oleh pengaruh negatif faktor sosio-ekonoini-budaya yang berperan
terhadap kejadian malnutrisi umumnya, keseimbangan nitrogen yang
negatif dapat pula disebabkan oleh diare kronik, malabsorbsi protein,
hilangnya protein melalui air keinih (sindrom nefrotik), infeksi menahun,
luka bakar dan penyakit hati.

Patofisiologi
Pada defisiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang
sangat berlebih, karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah
kalori dalam dietnya. Kelainan yang mencolok adalah gangguan metabolik
dan perubahan sel yang menyebabkan edema dan perlemakan hati. Karena
kekurangan protein dalam diet, akanterjadi kekurangan berbagai asam
amino esensial dalam serum yang diperlukan untuk sintesis dan
metabolisme. Selama diet mengandung cukup karbohidrat, maka produksi
insulin akan meningkat dan sebagian asam amino dalam serum yang
jumlahnya sudah kurang tersebut akan disalurkan ke jaringan otot. Makin
berkurangnya asam amino dalam serum ini akan menyebabkan kurangnya
produksi albuinin oleh hepar, yang kemudian berakibat timbulnya edema.
Perlemakan hati terjadi karena gangguan pembentukan beta-lipoprotein,
sehingga transport lemak dan hati ke depot terganggu, dengan akibat
terjadinya penimbunan lemak dalam hati.
Gejala klinis
a. Secara umum anak nampak sembab, letargik, cengeng, dan mudah
terangsang. Pada tahap lanjut anak menjadi apatik, sopor atau koma.
b. Gejala terpenting adalah pertumbuhan yang terhambat, berat dan
tinggi badan lebih rendah dibandingkan dengan BB baku. Penurunan
BB ini tidak mencolok atau mungkin tersamar bila dijumpai edema
anasarka.
c. Sebagian besar kasus menunjukkan adanya edema, baik derajat
ringan maupun berat. Edema ini muncul dini, pertama terjadi pada alat
dalam, kemudian muka, lengan, tungkai, rongga tubuh dan pada
stadium lanjut mungkin di seluruh tubuh (edema anasarka).
d. Jaringan otot mengecil dengan tonusnya yang menurun, jaringan
subkutan tipis dan lembek.
e. Kelainan gastrointestinal yang mencolok adalah anoreksia dan
diare. Kadang-kadang anoreksia deinikian hebatnya dan penderita akan
menolak semua jenis makanan, sehingga cara pemberiannya harus per
sonde. Diare terdapat pada sebagian besar penderita, yang selain
infeksi penyebabnya mungkin karena gangguan fungsi hati. pankreas
atau usus (atrofi). Intoleransi laktosa sering dijumpai. sehingga untuk
mencegah diare pemberian susu sapi biasa harus diencerkan.
f. Rambut berwarna pirang, berstruktur kasar dan kaku. serta mudah
dicabut. Tarikan ringan di daerah temporal dengan rnudah dapat
mencabut seberkas rambut tanpa reaksi sakit. Pada kwashiorkor tahap
lanjut rambut akan terlohat kusam, jarang, kering, halus dan berwama
pucat atau putih. Pada selembar rambut seringkali nampak berbagai
warna secara selang-seling antara waran gelap dan pirang, dan pucat
yang menyerupai dan dikenal sebagai Signo De Bandero. Perubahan
rambut pada kelopak mata tidak nyata, bahkan bulu mata sering
menjadi lebih panjang.
g. Kelainan kulit tahap awal berupa kulit yang kering, bersisik dengan
garis-garis kulit yang dalam dan lebar, disertai denitainin B kompleks,
defisiensi eritropoetin, dan kerusakan hati.
h. Anak mudah teijangkit infeksi akibat defisiensi imunologik;
penyakit campak pada anak kwashiorkor dapat menjadi serius dan
berakibat fatal. Penyakit infeksi ini sering bermanifestasi sebagai diare,
bronkopneumoni, faringotonsilitis, atau tuberkulosis.
i. Penyakit kwashiorkor sering disertai oleh defisiensi vitamin dan
inineral lain, karena itu bisa dijumpai tanda defisiensi vitamin A,
riboflavin (stomatitis angularis), anemia, defisiensi besi, dan anemia
megaloblastik.

Penyakit penyerta
Penyakit yang sering terdapat bersamaan dengan kwashiorkor adalah
defisiensi vitamin A, infestasi cacing, tuberkulosis, dan bronkopneumonia.

3. MARASMIK-KWASHIORKOR
Berdasarkan defisiensi kelainan gizi ini menunjukkan gejala klinis
campuran antara marasmus dan kwashiorkor. Gejala klinis yang umum
adalah gagal tumbuh kembang. Di samping itu terdapat pula satu atau
lebih gej ala kwashiorkor seperti edema, dermatosis, perubahan rambut,
hepatomegali, perubahan mental, hipertrofi otot, jaringan lemak subkutan
berkurang, kerdil, anemia, dan defisiensi vitamin. Berat badan dengan
edema kurang dan 60% nilai berat badan terhadap umur pada standar yang
baku (berdasarkan Lokakarya Antropometri Gizi 1975, untuk anak balita
dipakai standar P50 Harvard).
Pemeriksaan darah tepi memperlihatkan anemia ningan sampai sedang,
yang umumnya berupa anemia hipokroinik atau normokromik. Pada uji
fatal hati tampak nilai albuinin sdikit atau amat merendah. Kadar
elektrolit K rendah bahkan mungkin sangat rendah, sedangkan kadar Na,
Zn dan Cu bisa normal atau menurun. Kadar gula darah umumnya
merendah, asam lemak bebas normal atau meninggi, dan nilai
betalipoprotein tidak menentu, dapat merendah ataupun meninggi.
Pemeriksaan radiologik tulang memperlihatkan osteoporosis ringan.
Penatalaksanaan marasmik kwashiorkor dalam garis besamya terdiri dari
terapi nutrisi, pengobatan terhadap penyakit penyerta, dan penyuluhan gizi
terhadap keluarga. Terapi nutrisi dilakukan dengan pemberian makanan
tinggi protein, seperti pada marasmus dan kwashiorkor. Energi diberikan
150 kkal/kg BB/hari, protein sebanyak 3-5 g/kg BB/hari; keduanya
diberikan secara bertahap. Sebagai tambahan dibenikan pula KC1 75-100
mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis, MgsO4 50% sebanyak 0,25 ini/kg
BB/hari secara TM. Vitamin A perlu diberikan dengan dosis profilaksis,
kecuali bila ditemukan tanda defisiensi vitamin A, harus diberikan dosis
terapeutik sebanyak 50.000 SI/kg BB dengan maksimal 400.000 SI.
Senyawa besi atau asam folat ditambahkan bila dijumpai anemia defisiensi
besi atau megaloblastik.

Pengobatan
Prinsip pengobatan MEP adalah:
a. Memberikan makanan yang mengandung banyak protein bernilai
biologik tinggi, tinggi kalori, cukup cairan, vitamin, dan inineral.
b. Makanan harus dihidangkan dalam bentuk yang mudah dicema dan
diserap.
c. Makanan diberikan secara bertahap, karena toleransi terhadap
makanan sangat rendah.
d. Penanganan terhadap penyakit penyerta.
e. Tindak lanjut berupa pemantauan kesehatan penderita dan
penyuluhan gizi terhadap keluarga.

D. PENILAIAN STATUS GIZI


Untuk menilai status gizi seseorang, ditanyakan tentang makanan dan masalah
kesehatan, dilakiikan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium
tertentu. Pada pemeriksaan darah dilakukan pengukuran kadar zat gizi dan
bahan-bahan yang tergantung kepada kadar zat gizi (misalnya hemoglogbin,
hormon tiroid dan transferin).
Untuk menentukan riwayat makan seseorang, ditanyakan makanan apa yang
dimakan dalam 24 jam terakhir dan jenis makanan seperti apa yang biasanya
dimakan. Dibuat catatan tentang daftar makanari yang dimakan selama 3 han.
Selama pemeriksaan fisik, diamati penampilan secara keseluruhan dan tingkah
lakunya, juga distribusi lemak tubuh serta fungsi organ tubuhnya. Kekurangan
zat gizi dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Misalnya,
perdarahan lambung dapat menyebabkan anemia karena kekurangan zat besi.
Seseorang yang telah diobati dengan vitamin A dosis tinggi karena berjerawat,
bisa mengalaini sakit kepala dan penglihatan ganda sebagai akibat keracunan
vitamin A. Berbagai sistem tubuh bisa dipengaruhi oleh kelainan gizi:
1. Sistem saraf bisa terkena oleh kekurangan niasin (pelagra), ben-
ben, kekurangan atau kelebihan vitamin B6 (piridoksin) dan kekurangan
vitamin B12.
2. Pengecapan dan pembauan bisa dipengaruhi kekurangan seng.
3. Sistem pembuluh darah jantung bisa dipengaruhi oleh:
a. Beri-beri
b. Kegemukan (obesitas)
c. Makanan tinggi lemak menyebabkan hiperkolesteroleini dan
penyakit jantung koroner.
d. Makanan kaya garam bisa menyebabkan tekanan darah tinggi.
4. Saluran pencernaan dipengaruhi oleh pelagra, kekurangan asam
folat dan banyak minum alkohol.
5. Mulut (lidah, bibir, gusi dan membran mukosa) dipengaruhi oleh
kekurangan vitamin B dan vitamin C.
6. Pembesaran kelenjar tiroid terjadi akibat kekurangan iodium.
7. Kecenderungan mengalaini perdarahan dan gejala pada kulit
seperti ruam kemerahan, kulit kering dan pembengkakan karena
penimbunan cairan (edema) bisa teijadi pada kekurangan vitamin K,
kekurangan vitamin C, kekurangan vitamin A dan beri-beri.
8. Tulang dan sendi dapat terkena ricketsia, osteomalasia,
osteoporosis dan kekurangan vitamin C.

Status gizi seseorang dapat ditentukan melalui beberapa cara, yaitu:


1. Mengukur tinggi badan dan berat badan, lalu membandingkannya
dengan tabel standar.
2. Menghitung indeks massa tubuh (BINI, Body Mass Index), yaitu
berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter).
Indeks massa tubuh antara 20-50 dianggap normal untuk pria dan wanita.
3. Mengukur ketebalan lipatan kulit. Lipatan kulit di lengan atas
sebelah belakang (lipatan trisep) ditarik menjauhi lengan, sehingga lapisan
lemak dibawah kulitnya dapat diukur, biasanya dengan
menggunakanjangka lengkung (kaliper). Lemak dibawah kulit banyaknya
adalah 50% dan lemak tubuh. Lipatan lemak normal adalah sekitar 1,25
cm pada laki-laki dan sekitar 2,5 cm pada wanita.
4. Status gizi juga bisa diperoleh dengan mengukur lingkar lengan
atas untuk memperkirakan jumlah otot rangka dalam tubuh (Lean Body
Mass, massa tubuh yang tidak berlemak).
5. Foto rontgen dapat membantu menentukan densitas tulang dan
keadaan dan jantung dan paru-paru, juga bisa menemukan kelainan saluran
pencemaan yang disebabkan oleh malnutrisi.
6. Pada malnutrisi yang berat, dilakukan pemeriksaan hitung jenis sel
darah lengkap serta pemeriksaan darah dan air kemih untuk mengukur
kadar vitamin, mineral dan limbah metabolit seperti urea.
7. Pemeriksaan kulit juga bisa dilakukan untuk menilai jenis-jenis
tertentu dan kekebalan.

E. PENANGGULANGAN GIZI BURUK


PELAKSANAAN BEST PRACTICE
Penanggulangan Balita Gizi Buruk yang telah dilakukan yaitu:
1. Penjaringan kasus balita gizi buruk.
2. Pelayanan balita gizi buruk di puskesmas.
3. Pelacakan balita gizi buruk dengan cara investigasi.
4. Pelayanan balita gizi buruk di rumah tangga.
5. Koordinasi Lintas Sektor dalam upaya penanggulangan balita gizi buruk.

STRATEGI
1. Revitalisasi posyandu untuk mendukung pemantauan
pertumbuhan.
2. Melibatkan peran aktif tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuka
adat dan kelompok potensial lainnya.
3. Meningkatkan cakupan dan kualitas melalui peningkatan
keterampilan tatalaksana gizi buruk.
4. Menyediakan sarana pendukung (sarana dan prasarana).
5. Menyediakan dan melakukan KIE.
6. Meningkatkan kewaspadaan dini KLB gizi buruk.
7. Pencegahan dan penanggulangan gizi buruk dilaksanakan di
seluruh kabupaten/kota di Indonesia, sesuai dengan kewenangan wajib dan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) dengan memperhatikan besaran dan
luasnya masalah.
8. Mengembalikan fungsi posyandu dan meningkatkan kembali
partisipasi masyarakat dan keluarga dalam memantau tumbuh kembang
balita, mengenali dan menanggulangi secara dini balita yang mengalami
gangguan pertumbuhan melalui revitalisasi Posyandu
9. Meningkatkan kemampuan petugas, dalam manajemen dan
melakukan tatalaksana gizi buruk untuk mendukung fungsi Posyandu yang
dikelola oleh masyarakat melalui revitalisasi Puskesmas
10. Menanggulangi secara langsung masalah gizi yang terjadi pada
kelompok rawan melalui pemberian intervensi gizi (suplementasi), seperti
kapsul Vitamin A, MP-ASI dan makanan tambahan
11. Mewujudkan keluarga sadar gizi melalui promosi gizi, advokasi
dan sosialisasi tentang makanan sehat dan bergizi seimbang dan pola
hidup bersih dan sehat
12. Menggalang kerjasama lintas sektor dan keinitraan dengan
swasta/dunia usaha dan masyarakat untuk mobilisasi sumberdaya dalam
rangka meningkatkan daya beli keluarga untuk menyediakan makanan
sehat dan bergizi seimbang
13. Mengaktifkan kembali Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
(SKPG) rnelalui revitalisasi SKPG dan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD)
Gizi Buruk, yang dievaluasi dengan kajian data SKDN yaitu (S)emua
balita mendapat (K)artu menuju sehat, (D)itimbang setiap bulan dan berat
badan (N)aik, data penyakit dan data pendukung lainnya.

KEGIATAN
1. Deteksi dini gizi buruk melalui bulan penimbangan balita di
posyandu.
a. Melengkapi kebutuhan sarana di posyandu (dacin, KMS/Buku
KIA, RR).
b. Orientasi kader.
c. Menyediakan biaya operasional.
d. Menyediakan materi KIE.
e. Menyediakan suplementasi kapsul Vit. A.
2. Tatalaksana kasus gizi buruk.
a. Menyediakan biaya rujukan khusus untuk gizi buruk gakin baik di
puskesmas/RS (biaya perawatan dibebankan pada PKPS BBM).
b. Kunjungan rumah tindak lanjut setelah perawatan di
puskesmas/RS.
c. Menyediakan paket PMT (modisko, MP-ASI) bagi pasien paska
perawatan.
d. Meningkatkan ketrampilan petugas puskesmas/RS dalam
tatalaksana gizi buruk.
3. Pencegahan gizi buruk.
a. Pemberian makanan tambahan pemulihan (MP-ASI) kepada balita
gakin yang berat badannya tidak naik atau gizi kurang.
b. Penyelenggaraan PMT penyuluhan setiap bulan di posyandu.
c. Konseling kepada ibu-ibu yang anaknya mempunyai gangguan
pertumbuhan.

4. Surveilen gizi buruk.


a. Pelaksanaan pemantauan wilayah setempat gizi (PWS-Gizi).
b. Pelaksanaan sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa gizi
buruk
c. Pemantauan status gizi (PSG).
5. Advokasi, sosialisasi dan kampanye penanggulangan gizi buruk.
a. Advokasi kepada pengambil keputusan (DPR, DPRD. pemda,
LSM, dunia usaha dan masyarakat).
b. Kampanye penanggulangan gizi buruk melalui media efektif
6. Manajemen program:
a. Pelatihan petugas.
b. Bimbingan teknis.

F. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian klien dengan gizi buruk sebagai berikut:
a. Biodata klien meliputi: nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin,
anak ke, agama/suku, pendidikan, alamat, dan penanggung jawab serta
hubungan dengan klien.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang: kaji keluhan klien, kapan
mulai tanda dan gejala, faktor yang mempengaruhi, apakah
berhubungan dengan stress atau keluhan fisik, apakah ada upaya-
upaya yang dilakukan.
2) Riwayat kesehatan masa lalu: berupa penyakit dahulu yang
pernah diderita, dan berhubungan dengan keluhan sekarang.
3) Riwayat alergi: apakah ada alergi terhadap reaksi-reaksi
tertentu seperti obat atau makanan.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah anggota keluarga klien menderita penyakit yang sama.
d. Struktur keluarga/Genogram

e. Pola nutrisi
Tanyakan pada klien tentang jenis, frekuensi, jumlah makan dan
minum klien dalam sehari. Kaji selera makan berlebihan atau
berkurang, kaji adanya mual muntah ataupun adanya terapi intravena,
penggunaan selang enterik, timbang BB, ukur tinggi badan, lingkaran
lengan atas serta hitung berat badan ideal klien untuk memperoleh
gambaran status nutrisi.
f. Pola Eliminasi:
Tanyakan kebiasaan membuang air besar, teratur atau tidak,
frekuensinya dalam sehari, warna konsistensi, adakah kesulitan saat
membuang air besar dan bagaimana klien mengatasinya. Kaji frekuensi
buang air kecil, apakah sering menahan miksi.
g. Pola aktifitas dan latihan
Data subjektif:
Kaji tingkat aktifitas klien setiap hari, tanyakan adanya keluhan lemah,
nyeri saat beraktifitas.
h. Pola tidur dan istirahat
Data subjektif:
Kaji faktor intrinsik klien yang dapat mengganggu istirahat, tanyakan
jumlah jam tidur semalam, jumlah jam tidur pada siang hari, observasi
keadaan lingkungan yang dapat mengganggu istirahat dan kesulitan
waktu tidur.
i. Pola persepsi kognitif.
Data sujektif:
Kaji kemampuan mengingat klien. Tanyakan bagaimana klien
mengatasi gangguan rasa nyaman: nyeri. Kaji tingkat orientasi
terhadap tempat, waktu dan orang.

j. Pola mekanisme koping.


Kaji faktor yang membuat klien marah dan tidak dapat mengontrol
diri, tempat klien bertukar pendapat dan mekanisme koping yang
digunakan selama ini. Kaji keadaan klien saat ini terhadap penyesuaian
diri, ungkapan, penyangkalan/penolakan terhadap diri sendiri.
k. Pola peran sosial.
Kaji interaksi klien dengan klien disebelah kiri, kanan dan dengan
tenaga perawat dan dokter. Kaji apakah ada gangguan dalam interaksi
dengan anggota keluarga dan orang lain.
l. Pola persepsi diri-konsep diri.
Kaji tingkah laku mengenai dirinya, apakah klien pernah mengalami
putus asa/frustasi/stress dan bagaimana menurut klien mengenai
dirinya.
m. Pola nilai kepercayaan
Kaji apakah klien sering beribadah, klien menganut agama apa? Kaji
apakah ada nilai-nilai tentang agama yang klien anut bertentangan
dengan kesehatan.

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Nanda, 2000, diagnosa keperawatan yang mungkin timbul
adalah sebagai berikut:
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia dan intake nutrisi yang kurang.
b. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi
metabolik.
c. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis penyakit
berhubungan dengan dengan kurang informasi.

3. Rencana Keperawatan
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia dan intake nutrisi yang kurang.
Tujuan:
- Setelah dilakukan intervensi 2X24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisi terpenuhi.
- Peningkatan masukan makanan secara adekuat dan
berminat pada makanan.
- Berat badan meningkat.

Kriteria hasil:
- Mampu mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat.
- Nafsu makan bertambah dan klien tidak mual muntah.
- Klien tampak lebih segar dan tidak pucat.
- Berat badan stabil.
Intervensi:
1) Kaji status nutrisi secara kontinu, selama perawatan setiap
hari, perhatikan tingkat energi; kondisi kulit, kuku, rambut, rongga
mulut, keinginan untuk makan/anoreksia.
Rasional: Memberikan kesempatan untuk mengobservasi
penyimpangan dari normal/dasar klien dan mempengaruhi pilihan
intervensi (Doenges, 1999, hal: 1024)
2) Timbang berat badan setiap hari dan bandingkan dengan
berat badan saat penerimaan.
Rasional: Membuat data dasar, membantu dalam memantau
keefektifan aturan terapeutik dan menyadarkan perawat terhadap
ketidaktepatan kecenderuangan dalam penurunan/penambahan
berat badan. (Doenges, 1999, hal: 1024)

3) Dokumentasikan masukan oral selama 24 jam, riwayat


makanan, jumlah kalori dengan tepat.
Rasional: Mengidentifikasi ketidak seimbangan antara perkiraan
kebutuhan nutrisi dan masukan aktual. (Doenges, 1999, hal: 1025)
4) Beri waktu mengunyah, menelan, melembutkan makanan;
beri sosialisasi dan bantuan makan sesuai indikasi.
Rasional: Klien perlu dorongan/bantuan untuk menghadapi
masalah dasar seperti anoreksia, kelelahan, kelemahan otot.
(Doenges, 1999, hal: 1026)
5) Berikan makanan sedikit dan sering; masukan
kesukaan/ketidaksukaan klien dalam perencanaan makan sebanyak
mungkin dan masukan makanan rumah dengan tepat.
Rasional: Meningkatkan hasrat pada makanan dan jumlah
masukan.(Doenges, 1999, hal: 1026)

b. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi


metabolik.
Tujuan:
- Setelah dilakukan intervensi 2X24 jam diharapkan
kebutuhan energi meningkat.
- Peningkatan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
Kriteria hasil:
- Klien dapat melakukan dan memenuhi kebutuhan
aktivitas.
- Menunjukkan tingkat energi seperti biasanya.
- Klien menjadi lebih tanpa kelelahan.
Intervensi:
1) Pantau respon fisiologis terhadap aktivitas, mis., perubahan
TD atau frekuensi jantung/pernapasan.
Rasional: Toleransi sangat bervariasi, tergantung pada tahap proses
penyakit, status nutrisi, dan keseimbangan cairan
(Doenges, 1999, hal: 1032)
2) Rencanakan perawatan untuk memungkinkan periode
istirahat. Jadwalkan aktivitas untuk periode bila klien mempunyai
banyak energi. Libatkan klien/orang terdekat dalam perencanaan
jadwal.
Rasional: Periode istirahat yang sering diperlukan untuk
memperbaiki/ menghemat energi. Perencanaan akan
memungkinkan klien aktif selama waktu dimana tingkat
energi lebih tinggi, yang dapat menghemat perasaan
sejahtera dan rasa kontrol. (Doenges, 1999, hal: 1032)
3) Dorong klien untuk melakukan kapanpun mungkin, misal.,
perawatan diri, bangun dari kursi, berjalan. Peningkatan tingkat
aktivitas sesuai indikasi.
Rasional: Meningkatkan kekuatan/stamina dan memungkinkan
klien menjadi lebih aktif tanpa kelelahan. (Doenges,
1999, hal: 1032)
4) Berikan latihan rentang gerak pasif/aktif pada klien yang
terbaring ditempat tidur.
Rasional: Perkembangan massa otot sehat tergantung pada
ketentuan baik latihan isotonik dan isometrik.
(Doenges, 1999, hal: 1032)
5) Pertahankan tempat tidur pada posisi rendah, singkirkan
perabotan, bantu ambulasi.
Rasional: Melindungi klien dari cedera selama aktivitas. (Doenges,
1999, hal: 1032)
c. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis penyakit
berhubungan dengan dengan kurang informasi.
Tujuan:
- Klien/orang terdekat mengerti tentang penyakit, perawatan
dan program pengobatannya.

Kriteria hasil:
- Klien/orang terdekat memahami proses penyakit dan
kebutuhan pengobatan.
- Melakukan perilaku/perubahan pada hidup untuk
memperbaiki kesehatan umum.
- Mengidentifikasi gejala yang memerlukan evaluasi
intervensi.

Intervensi:
1) Kaji pengetahuan klien/orang terdekat tentang status
nutrisi. Tinjau ulang situasi individu, tanda/gejala malnutrisi,
harapan masa datang, kebutuhan transisi pemberian makan.
Rasional: Memberikan informasi dimana klien/orang terdekat
dapat memilih berdasarkan informasi. Pengetahuan
tentang interaksi malnutrisi dan penyakit membantu
untuk membantu untuk memahami kebutuhan terhadap
terapi khusus. (Doenges, 1999, hal: 1033)
2) Diskusikan alasan penggunaan dukungan nutrisi
parenteral/enteral.
Rasional: Dapat mengalami ansietas mengenai ketidakmampuan
untuk makan dan tidak memahami nilai nutrisi dan NPT yang
diberikan/ pemberian makan perselang. (Doenges, 1999, hal: 1033)
3) Dorong penggunaan buku harian untuk mencatat hasil tes,
perasaan atau reaksi fisik, tingkat aktivitas, masukan oral bila ada,
masukan dan haluaran, BB setiap minggu.
Rasional: Memberikan sumber untuk tinjauan oleh pemberi
perawatan kesehatan untuk penatalaksanaan optimal
terhadap situasi individu. (Doenges, 1999, hal: 1034)

4) Anjurkan latihan/aktivitas setiap hari terhadap toleransi,


jadwal istirahat adekuat.
Rasional: Meningkatkan motilitas gaster untuk pemberian makan
enteral atau transisi, meningkatkan perasaan sejahtera
umum, dan mencegah, kelelahan yang tidak perlu.
(Doenges, 1999, hal: 1034)
BAB III
KESIMPULAN

Gizi buruk (Severe Malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang


umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk
adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.
Malnutrisi arti sebenamya adalah gizi yang salah, yang mencakup
keadaan gizi kurang maupun gizi lebih. Di Indonesia dengan masih tingginya
angka kejadian gizi kurang, istilah malnutrisi lazim dipakai untuk keadaan ini.
Kekurangan gizi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan zat-zat
esensial. yang bisa disebabkan oleh:
1. Asupan yang kurang karena makanan yang jelek atau penyerapan
yang buruk dan usus (malabsorbsi).
2. Penggunaan berlebihan dari zat-zat gizi oleh tubuh.
3. Kehilangan zat-zat gizi yang abnormal melalui diare, pendarahan,
gagal ginjal atau keringat yang berlebihan.
Sedangkan ledakan kasus gizi buruk yang terjadi di beberapa daerah di
Indonesia sebagian besar disebabkan oleh:
1. Kemiskinan
2. Karena pola asuh yang tidak baik
3. Adanya penyakit kronis
Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkait. Secara garis
besar penyebab kurang gizi pada anak disebabkan oleh karena asupan
makanan yang kurang atau anak yang sering sakit terkena infeksi.
Sindrom marasmus, kwashiorkor, dan marasinik-kwashiorkor yang merupakan
MEP-berat tidaklah lebih sering ditemukan daripada MEP-ringan/sedang yang
disebut juga sebagai gizi-kurang (Undernutrition) yang hanya ditandai oleh
adanya hambatan pertumbuhan. Keadaan lingkungan ikut berperan dalam
terjadinya MEP seperti pemukiman yang padat, sanitasi dan higiene yang
buruk, serta infeksi berulang yang ditimbulkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J (1999). Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi


Keperawatan (Edisi 2). Terjemahan dari: Nursing Care Plans of
Documentation (2nd Edition). Ahli bahasa: Esther, M dan Setiawan, Skt,
Penerbit Buku Kedokteran.
Doenges, M. E, et all (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (Edisi 3).
Terjemahan dari: Nursing Care Plans: Guidelines for Planning and
Documenting Patient Care (3th Editiom) (1998). Alih bahasa: Esther
Nurses. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Hariatno (2000). Asuhan Nutrisi Rumah Sakit. Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC.
Nurachmach, E (2001). Nutrisi Dalam Keperawatan. Penerbit CV. Agung
Seto. Jakarta.
Rendle. J.S, et all (1994). Ikhtisar Penyakit Anak. (Edisi 6) Terjemahan dari: A
Synopsis Of Childrens Diseases. (6th Edition) (1992). Alih bahasa:
Gultom, E. Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak (1985). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI. Jakarta.
www.medicastore.com
http://www.litbang.depkes.go.id/Publikasi_BPPK/Buletin_BPPK/BUL76.HTM#2
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files
http://www.pu.go.id/humas/media%20massa/juni/sp1306003.

Anda mungkin juga menyukai