Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS SURVEILANS GIZI

Dosen Mata Kuliah : Fera Meliyanti, SKM, M.Kes

Disusun oleh :

Yose Farizal (02020016P)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AL-MA’ARIF BATURAJA

PROGAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

WHO (1968) (dalam Rajab,2008,p.126) mengemukakan pengertian surveilans

sebagai suatu kegiatan pengumpulan data yang sistematis dan menggunakan informasi

epidemiologi untuk perencanaan, implementasi, dan penilaian pemberantasan penyakit.

Henderson (1976) (dalam Rajab,2008,p.127) mengemukakan bahwa surveilans berfungsi

sebagai otak dan sistem saraf untuk program pencegahan dan pemberantasan penyakit.

Fakta menunjukkan jumlah balita penderita gizi buruk di Banten masih cukup

tinggi yakni sekitar 7.213 balita dan balita gizi kurang mencapai 53.680 balita, dari

jumlah total balita di Banten pada 2012 sebanyak 1.124.758 balita. Berdasarkan data

Dinas Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2012, sebanyak 60.893 balita di Banten

mengalami gangguan masalah gizi dan sebanyak 7.213 balita diantaranya mengalami

gizi buruk dan 53.680 balita lainnya kekurangan gizi.

Angka penderita gizi buruk di wilayah Provinsi Banten masih tinggi dan

memprihatinkan. Secara nasional angka penderita gizi buruk di Banten tertinggi ketiga

setelah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Jawa Timur. Anak balita di Provinsi

Banten yang mengalami gizi buruk mencapai 50.092 orang. Jumlah terbanyak terdapat

di kota Tangerang, kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang. Berdasarkan fakta itu,

pemerintah pusat telah menetapkan Banten masuk dalam peringkat ketiga untuk kasus

gizi buruk setelah NTT dan Jawa Timur. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan

(Dinkes) Provinsi Banten, dari total balita yang mengalami gizi sebanyak 50.092 orang,

yang mengalami gizi kurang sebanyak 45.438 orang dan gizi buruk 4.654 orang. Secara

rinci, jumlah gizi kurang dan gizi buruk di Kabupaten Tangerang sebanyak 10.352 (gizi

kurang sebanyak 8.974 orang dan gizi buruk sebanyak 1.154 orang).

Daerah yang paling banyak balita gizi buruk dan kekurangan gizi di Banten

berada di wilayah Selatan yakni kabupaten Pandeglang dan Lebak. Selain kedua daerah
itu ternyata gizi buruk terjadi di Kota Tangerang Selatan yang wilayahnya berbatasan

langsung dengan Provinsi DKI Jakarta.

Dinas kesehatan Kota Tangerang Selatan mencatat terdapat 25 warga setempat

yang mengalami penderitaan gizi buruk berusia antara 2-3 tahun. Penyakit gizi buruk

yang diderita terdiri dari dua kategori yakni gizi buruk murni dan gizi buruk penyakit

penyerta. Terkait hal itu, Dinas Kesehatan telah melakukan program penanganan secara

tahap berkala dan dapat disembuhkan dengan proses tiga bulan. Tetapi, apabila gizi

buruk dengan penyakit penyerta, kadang kondisinya menjadi lebih sulit. Dari 25

penderita gizi buruk, 11 diantaranya korban dengan penyakit penyerta. Namun, hingga

bulan februari 2013 gizi buruk tersisa 10 orang.

1.2 Tujuan Umum

1. Untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan surveilans penyakit gizi buruk di

wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan pada tahun 2012 sampai

dengan tahun 2014.

2. Gambaran epidemiologi penyakit gizi buruk di wilayah kerja Dinas Kesehatan kota

Tangerang Selatan pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2014.


BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Pengertian Gizi Buruk

Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau

nutrisinya di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian, yakni

gizi buruk karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan

karbohidrat atau kalori (disebut marasmus), dan kekurangan kedua-duanya. Gizi buruk

ini biasanya terjadi pada anak balita (bawah lima tahun) dan ditampakkan oleh

membusungnya perut (busung lapar). Gizi buruk adalah suatu kondisi dimana seseorang

dinyatakan kekurangan zat gizi, atau dengan ungkapan lain status gizinya berada

dibawah standar rata-rata. Zat gizi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan

kalori. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumya dipakai

oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari

proses terjadinya kekurangan gizi menahun (Nency,2005).

Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari

pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun (baduta). Apabila

pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu standar

organisasi kesehatan dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit dibawah standar disebut

bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh dibawah standar dikatakan bergizi

buruk. Jadi istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau

akut (Pardede, J, 2006).

2.2 Pengukuran Gizi Buruk

Gizi buruk ditentukan berdasarkan beberapa pengukuran antara lain:

 Pengukuran klinis : metode ini penting untuk mengetahui status gizi balita tersebut gizi

buruk atau tidak. Metode ini pada dasarnya didasari oleh perubahan-perubahan yang

terjadi dan dihubungkan dengan kekurangan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan
epitel seperti kulit, rambut, atau mata. Misalnya pada balita marasmus kulit akan

menjadi keriput sedangkan pada balita kwashiorkor kulit terbentuk bercak-bercak putih

atau merah muda (crazy pavement dermatosis).

 Pengukuran antropometrik : pada metode ini dilakukan beberapa macam pengukuran

antara lain pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar lengan atas. Beberapa

pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas sesuai dengan usia

yang paling sering dilakukan dalam survei gizi. Di dalam ilmu gizi, status gizi tidak

hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara sendiri-

sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi dari

ketiganya (Dewi,2012).

2.3 Klasifikasi Gizi Buruk

Terdapat 3 tipe gizi buruk yaitu marasmus, kwarshiorkor, dan marasmus-kwarshiorkor.

Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing

tipe yang berbeda-beda.

Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang

timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di

bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan,

gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya.

Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih

merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah (Depkes RI, 2000):

 Anak tampak sangat kurus, tinggal terbungkus kulit

 Wajah seperti orang tua

 Cengeng, rewel

 Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit, bahkan sampai tidak ada

 Sering disertai diare kronik atau konstipasi, serta penyakit kronik

Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana

dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian


tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau

edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh.

 Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis

 Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada

penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam

 Wajah membulat dan sembab

 Pandangan mata anak sayu

 Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa

kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.

 Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi

coklat kehitaman dan terkelupas

Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor

dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi

untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat

badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema,

kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula (Depkes

RI, 2000).

2.4 Etiologi Gizi Buruk

Menteri Kesehatan Indonesia, Dr. Siti Fadilah menyebutkan ada tiga hal yang

saling kait-mengkait dalam hal gizi buruk, yaitu kemiskinan, pendidikan rendah dan

kesempatan kerja rendah. Ketiga hal itu mengakibatkan kurangnya ketersediaan pangan

di rumah tangga dan pola asuh anak keliru. Hal ini mengakibatkan kurangnya asupan

PENYEBAB MASALAH GIZI gizi dan balita sering


STATUS GIZI
terkena infeksi
ASUPAN INFEKSI Penyebab
GIZI PENYAKIT LANGSUNG penyakit.

Ketersediaan Penyebab
UNICEF
Perilaku/asuhan Pelayanan
Pangan tingkat Ibu dan Anak kesehatan TAK
Rumah Tangga LANGSUNG
dalam Soekirman
KEMISKINAN, PENDIDIKAN RENDAH, Masalah
KETERSEDIANAN PANGAN, KESEMPATAN KERJA UTAMA

Masalah
KRISIS POLITIK DAN EKONOMI DASAR
(2002) juga telah memperkenalkan dan sudah digunakan secara internasional mengenai

berbagai faktor penyebab timbulnya gizi kurang pada balita, yaitu :

1. Penyebab langsung : makanan tidak seimbang untuk anak dan penyakit infeksi

yang mungkin di derita anak. Anak yang mendapat makanan yang cukup tetapi

diserang diare atau infeksi, nafsu makan menurun, akhirnya dapat menderita,

gizi kurang. Sebaliknya, anak yang makan tidak cukup baik, daya tahan tubuh

melemah, mudah diserang infeksi. Kebersihan lingkungan, tersedianya air bersih,

dan berperilaku hidup bersih dan sehat akan menentukan tingginya kejadian

penyakit infeksi.

2. Penyebab tidak langsung : Pertama, ketahanan pangan dalam keluarga adalah

kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan makan untuk seluruh anggota

keluarga baik dalam jumlah maupun dalam komposisi zat gizinya. Kedua, pola

pengasuhan anak, berupa perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal memberikan

makan, merawat, kebersihan, pemberian kasih sayang dan sebagainya.

Kesemuanya berhubungan dengan kesehatan ibu (fisik dan mental), status gizi,

pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, adat kebiasaan dan sebagainya dari si ibu

dan pengasuh lainnya. Ketiga, faktor pelayanan kesehatan yang baik, seperti;

imunisasi, penimbangan anak, pendidikan dan kesehatan gizi, serta pelayanan

posyandu, puskesmas, praktik bidan, dokter dan rumah sakit.

Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh asupan makanan yang kurang atau

anak sering sakit, atau terkena infeksi. Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh

berbagai faktor, antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup

mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola makan yang salah. Kaitan infeksi dan

kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya

saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan menyebabkan kurang

gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk pada sistem

pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi (Nency, 2005).


Bagan I Penyebab Gizi Buruk

2.5 Kriteria Anak Gizi Buruk

1) Gizi Buruk Tanpa Komplikasi

a. BB/TB: < -3 SD dan atau;

b. Terlihat sangat kurus dan atau;

c. Adanya Edema dan atau;

d. LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan

2) Gizi Buruk dengan Komplikasi

Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut di atas disertai salah satu atau lebih dari tanda

komplikasi medis berikut:

a. Anoreksia

b. Pneumonia berat

c. Anemia berat

d. Dehidrasi berat

e. Demam sangat tinggi


f. Penurunan kesadaran

2.6 Klasifikasi Status Gizi

Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering

disebut reference. Baku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah

menurut Kepmenkes RI No:1995/MENKES/SK/XII/2010. Untuk menentukan klasifikasi

status gizi diperlukan ada batasan-batasan yang disebut dengan ambang batas. Batasan

ini disetiap negara relatif berbeda, hal ini tergantung dari kesepakatan para ahli gizi di

Negara tersebut, berdasarkan data empiris dan keadaan klinis. Klasifikasi menurut

Kepmenkes RI No:1995/MENKES/SK/XII/2010 adalah sebagai berikut:

2.7 Upaya Pencegahan

dan

Penanggulangan

Menurut laporan Surveilans epidemiolodi gizi buruk diwilayah provinsi NTT dan

NTB yang ditulis oleh Andi Zulkifli, adapun program-program upaya penanggulangan

masalah gizi buruk dapat dilakukan baik ditingkat pusat (pemerintah) maupun tingkat

daerah antara lain:

 Peningkatan cakupan deteksi gizi buruk melalui penimbangan balita di posyandu

dan puskesmas

 Program pola asuh gizi


 Peningkatan suplementasi gizi pada anak

 Meningkatkan jangkauan dan kualitas tata laksana kasus gizi buruk di rumah

tangga, puskesmas dan rumah saskit

 Pembentukan keluarga sadar gizi

 Promosi pemberian ASI ekslusif

 Pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI)

 Pemberian makanan tambahan (PMT)

 Pemberian Suplementassi vitamin A dan zat besi

 Pendampingan keluarga

 Program Keluarga Sadar Gizi

BAB III
RANCANGAN SURVEILANS

3.1 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengumpulan data, alur pelaporan data, pengolahan dan analisis

data penyakit gizi buruk di wilayah kerja Dinas Kesehatan kota Tangerang Selatan

pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2014.

2. Untuk mengetahui distribusi penyakit gizi buruk berdasarkan tempat di wilayah

kerja Dinas Kesehatan kota Tangerang Selatan pada tahun 2012 sampai dengan

tahun 2014.

3. Untuk mengetahui distribusi penyakit gizi buruk berdasarkan waktu di wilayah kerja

Dinas Kesehatan kota Tangerang Selatan pada tahun 2012 sampai dengan tahun

2014

3.2 Metode

a. Pengumpulan Data

Jenis data yang diperoleh dalam laporan Surveilans Epidemiologi ini berupa data

sekunder karena diperoleh dengan cara menelaah dokumen yaitu meminta data

surveilans gizi buruk pada Dinas Kesehatan kota Tangerang Selatan tahun 2012

sampai dengan tahun 2014. Sumber data berasal dari laporan setiap puskesmas dan

rumah sakit yang ada di wilayah kerja Dinas Kesehatan kota Tangerang Selatan yang

berupa data sekunder dalam bentuk laporan mingguan dengan menggunakan

formulir W2 dan data primer melalui wawancara kepada petugas surveilans gizi

buruk di Dinas Kesehatan kota Tangerang Selatan.

b. Pengolahan dan Analisis Data

Proses pengolahan data dengan menggunakan system komputerisasi program

microsoft excel. Data yang telah diolah, dianalisis secara univariat dengan

mendeskripsikan nilai kasus berdasarkan tempat dan waktu. Penyajian data dalam

bentuk grafik dan tabel.

BAB IV
HASIL SURVEILANS

4.1 Pelaksanaan Surveilans

Pengumpulan data dilakukan bukanlah dari sistem pelaporan rutin karena tidak

pada tanggal yang sama di setiap bulannya, melainkan dengan sistem pelaporan dari

puskesmas dan rumah sakit yang dilaporkan setiap bulan paling lambat tanggal 5, jika

terjadi keterlambatan pelaporan dari pihak puskesmas dan rumah sakit, Dinas Kesehatan

kota Tangerang Selatan akan menghubungi pihak puskesmas atau pihak rumah sakit

tetapi tidak ada sanksi yang diberikan. Selain dari pelaporan puskesmas dan rumah sakit,

pengumpulan data juga dilakukan dengan validasi data dengan mengunjungi rumah

balita yang dilaporkan gizi buruk. Alat pengumpulan data yang digunakan pada saat

pendataan balita gizi buruk di posyandu dan puskesmas adalah register yaitu dengan

menuliskan nama, umur, jenis kelamin, berat badan serta alamat dari balita tersebut (by

name by address) dan formulir W2.

Alur pelaporan dilakukan setiap minggu, para balita rutin ditimbang Berat Badan

dan Tinggi Badan di Posyandu dengan bantuan kader dan petugas puskesmas kemudian

hasil pengukuran dilaporkan ke pihak puskesmas dan di rekap oleh puskesmas kemudian

dilaporkan ke Dinas Kesehatan kota Tangerang Selatan dalam bentuk formulir W2 yang

dilaporkan setiap bulan. Begitu juga pihak rumah sakit melaporkan ke Dinas Kesehatan

Tangerang Selatan dalam bentuk formulir W2 setiap bulan jika ada balita kasus gizi

buruk yang berobat ke rumah sakit. Jika terjadi kasus gizi buruk baru yang ditemukan

maka harus dilaporkan 1x24 jam.

Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan mirosoft excel dan

buku pedoman WHO Antropometri 2005. Dimana pertama-pertama berat badan dan

tinggi badan balita akan ditulis di mirosoft excel tersebut yang kemudian secara otomatis

akan terlihat berdasarkan standar penilaian status gizi dari buku pedoman WHO

Antropometri 2005 yang telah ditetapkan tersebut apakah balita itu mengalami gizi

kurang atau bahkan gizi buruk.


4.2 Distribusi Penyakit Gizi Buruk Berdasarkan Tempat

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Dari grafik di atas, dapat diketahui bahwa jumlah kasus kesakitan gizi buruk tertinggi terjadi di

Puskesmas Keranggan dan Pondok Betung sebanyak 14 balita pada masing-masing puskesmas

dan terendah pada Puskesmas Serpong, Jombang, Setu, Rengas, Benda Baru dan Situ Gintung

dengan tidak ada kasus gizi buruk yang terjadi. Sementara, kasus kematian balita karena gizi

buruk pada tahun 2012 terjadi di Puskesmas Pamulang dan Rawa Buntu sebanyak 1 balita pada

masing-masing puskesmas. Pada semua rumah sakit di Kota Tangerang Selatan tidak ada

jumlah kasus gizi buruk dan kasus kematian karena gizi buruk yang diterjadi pada Tahun 2012.

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan


Dari grafik di atas, dapat diketahui bahwa jumlah kasus kesakitan gizi buruk tertinggi terjadi di

Puskesmas Pondok Pucung sebanyak 15 balita dan terendah pada Puskesmas Pamulang,

Ciputat, Jombang, Perigi, Keranggan, Rengas, Pondok Betung, Benda Baru, Situ Gintung dan

Rawa Buntu dengan tidak ada kasus gizi buruk yang terjadi. Sementara, kasus kematian balita

karena gizi buruk pada tahun 2013 terjadi di Puskesmas Serpong dan Ciputat Timur sebanyak 1

balita pada masing-masing puskesmas.

Jumlah kasus kesakitan gizi buruk juga terjadi di RS Asobirin sebanyak 4 balita, di RSIA

Buah Hati sebanyak 1 balita, di RSUD Tangerang Selatan sebanyak 17 balita, RS Medika BSD

sebanyak 1 balita dan RSIA R.P Soeroso sebanyak 2 balita. Sementara, kasus kematian karena

gizi buruk terjadi di RS Medika BSD sebanyak 1 balita dan di RSIA R.P Soeroso sebanyak 2

balita pada tahun 2013.

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Dari grafik di atas, dapat diketahui bahwa jumlah kasus kesakitan gizi buruk tertinggi terjadi di

Puskesmas Pondok Jagung dan Jurang Mangu sebanyak 2 balita pada masing-masing

puskesmas pada Tahun 2014. Sementara, tidak ada kasus kematian balita karena gizi buruk pada

tahun 2014.
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Dari grafik di atas, dapat diketahui bahwa jumlah kasus kesakitan gizi buruk tertinggi terjadi di

RSUD Tangerang Selatan sebanyak 7 balita pada Tahun 2014. Sementara, kasus kematian balita

karena gizi buruk pada tahun 2014 juga terjadi di RSUD Tangerang Selatan sebanyak 1 balita.

4.3 Distribusi Penyakit Gizi Buruk Berdasarkan Waktu

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Dari grafik di atas, dapat diketahui bahwa jumlah kasus kesakitan gizi buruk tertinggi terjadi

pada bulan mei sebanyak 16 balita dan terendah terjadi pada bulan agustus sebanyak 2 balita

pada tahun 2012. Sementara, kasus kematian balita karena gizi buruk pada tahun 2012 terjadi

pada bulan september dan november sebanyak 1 balita pada masing-masing bulan.
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Dari grafik di atas, dapat diketahui bahwa jumlah kasus kesakitan gizi buruk tertinggi terjadi

pada bulan februari sebanyak 22 balita dan terendah pada bulan agustus dan desember karena

tidak terjadi kasus pada tahun 2013. Sementara, kasus kematian balita karena gizi buruk cukup

tinggi pada tahun 2013 terjadi pada bulan februari, maret, dan agustus sebanyak 1 balita pada

masing-masing bulan pada tahun 2013.

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

Dari grafik di atas, diketahui bahwa pencatatan kasus gizi buruk pada tahun 2014 baru sampai

pada bulan april sehingga jumlah kasus kesakitan gizi buruk terjadi pada bulan februari dan

maret sebanyak 6 balita pada masing-masing bulan tahun 2014. Sementara, kasus kematian

balita karena gizi buruk terjadi pada bulan februari sebanyak 1 balita pada tahun 2014.
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Hasil Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi


Tujuan dilakukannya surveilans gizi buruk di Dinkes Tangsel ini berdasarkan hasil

wawancara adalah untuk mencapai target MDGs dalam soal kemiskinan dan kelaparan,

terkait target lain yaitu mengurangi jumlah anak-anak gizi kurang atau gizi buruk sehingga

setiap penderita gizi buruk mendapat perawatan baik itu rawat inap atau rawat jalan,

mendapatkan informasi mengenai status gizi balita di tingkat puskesmas dan rumah sakit

berdasarkan BB/TB, dan balita ditimbang setiap bulan secara teratur. Indikator surveilans

yang digunakan untuk menyatakan balita mengalami gizi buruk atau tidak, dengan melihat

hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan dengan pedoman buku WHO Antropometri

2005. Indikator yang digunakan untuk menyusun SIMK, adanya tenaga manajemen data

gizi, adanya proses pengumpulan data, adanya proses pengolahan data, adanya proses

pembuatan laporan, adanya proses sosialisasi dan advokasi, tersedianya informasi gizi

buruk, dan tersedianya informasi balita yang ditimbang berat badannya. Dalam hal ini tidak

ada proses pengambilan sampel, karena gizi buruk merupakan penyakit yang jarang,

kasusnya terbatas (sedikit) dibandingkan dengan penyakit lain sehingga pengambilan

sampel tidak lagi diperlukan.

Data yang digunakan sudah berorientasi pada tindakan layak dan berkesinambungan

karena hasil dari analisis data sudah di gunakan sebagai dasar membuat program

penanggulangan seperti PMT (Pemberian Makanan Tambahan) dan makanan formula

(makanan yang sudah sesuai dengan gizi standar), pengumpulan data sudah dalam konteks

lokal, dan pengumpulan data tetap dapat berjalan tanpa sokongan dari luar, tetapi program

ini belum berhasil karena kasus gizi buruk masih terus meningkat. Adapun indikator

keberhasilan program yang ditetapkan Dinas kesehatan kota Tangerang Selatan adalah

pelaporan dari puskesmas setelah pemberian PMT dan makanan formula dalam 3 bulan

sekali, penimbangan balita setiap seminggu sekali, dan adanya penurunan jumlah kasus gizi

buruk. Selain indikator keberhasilan program terdapat juga indikator tujuan umum

surveilans yang digunakan adalah relevansi, validitas, reliabilitas, ketepatan waktu, dan

kelengkapan data.
Data yang disajikan menurut kami sudah relevan karna sesuai dengan data laporan

mingguan yang didapatkan dari dinas kesehatan tangerang selatan hanya saja kami

menampilkannya dalam bentuk bulanan dan pengelompokkan tempat yaitu puskesmas dan

rumah sakit.Penyimpanan data terjamin tidak hilang karena setiap dibuat laporan mingguan,

bulanan, dan tahunan maka akan disimpan dalam bentuk softcopy dan hardcopy. Serta data

softcopy tersebut dibackup dalam satu email yang telah ditentukan. Diagnosis penyakit

dapat dipercaya karena dilakukan oleh orang yang memang berkompeten dibidangnya,

seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa ketika dilaporkan ada kasus gizi buruk

maka petugas gizi atau pihak dinkes akan turun kelapangan untuk melakukan pengukuran

kembali untuk memastikan apakah kasus tersebut benar-benar kasus gizi buruk atau tidak.

Namun, masih banyak terdapat kelemahan-kelemahan statistik dan kelemahan

kualitas data. Seperti hanya melaporkan kejadian penyakit gizi buruk dan meninggal

sehingga lebih bersifat kuratif, tidak melaporkan kriteria balita yang mengalami gizi buruk

sehingga tidak dapat diketahui variabel independentnya. Ketepatan dan kelengkapan data

surveilans gizi buruk ini masih kurang karena masih banyak puskesmas dan rumah sakit

yang terlambat melaporkan bahkan ada beberapa yang tidak melaporkan. Data yang

diterima oleh Dinas Kesehatan Tangerang Selatan tidak tepat waktu karena tidak ditetapkan

tanggal yang pasti hanya diinformasikan paling lambat tanggal 5. Sedangkan apabila terjadi

keterlambatan pelaporan, pihak dinkes hanya mengingatkan melalui telephone atau sms

tanpa adanya sanksi. Namun setiap akhir bulan kepala dinkes akan melakukan evaluasi

dimana keterlambatan pelaporan akan dibahas dan diberikan teguran.

Tabel 1. Daftar Rumah Sakit yang Melaporkan Kasus Gizi Buruk ke Dinas Kesehatan

Kota Tangerang Selatan

Rumah Sakit 2012 2013 2014


RS ASOBIRIN  0  4  
RS BHINNEKA  0  
RS SYARIFHIDAYAT  0  0  0
RS OMNI  0  
RSI Premier Bintaro  0  
RS EKA HOSPITAL  0  0  0
RSIA LESTARI  0  0
RSIA IMC  0    
RSIA BUAH HATI  0  1  
RSIA Putra Dalima  0    
RS BUNDA DALIMA  0    
RS KHUSU DARMA GRAHA  0    
RS MEDIKA BSD  0    
RSUD Tangsel  0  17  8
RSIA CINTA KASIH  0    
RS KHUSU THT-BEDAH KL
PROKLAMASI  0  0  0
RSB P SARANA HUSADA  0    
RS SARIH ASIH CIPUTAT  0    
RS HERMINA CIPUTAT      
RS PERMATA PMLG    0  
RSIA BUAH HATI PMLG    0  
RSIA R.P SOEROSO    4  0
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014

Dapat dilihat dari tabel di atas, bahwa masih banyak rumah sakit yang tidak melaporkan

kasus gizi buruk ke Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan.

Banyak terjadi bias informasi, seleksi dan counfounding seperti jumlah kasus yang ada

di data mingguan per puskesmas berbeda dengan jumlah kasus yang ada pada rekapan pertahun,

balita yang mengalami gizi buruk tiba-tiba menghilang karena wilayah Tangsel masih banyak

wilayah urban dan bukan merupakan warga dengan KTP Tangsel yang memungkinkan

dilaporkan 2 kali di tempat yang berbeda.

5.2 Gambaran Epidemiologi

Di Indonesia, salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sedang kita hadapi saat

ini adalah beban ganda masalah gizi. Hal itu terbukti bahwa kasus gizi buruk masih belum

bisa diatasi, seperti yang terlihat pada grafik berikut:


Terlihat pada grafik diatas adanya penurunan pada tahun 2007 hingga 2010, namun

ada peningkatan pada tahun 2013. Hal ini menunjukkan bahwa program pemerintah belum

berhasil dalam menanggulangi penyakit gizi buruk dan gizi kurang. Di Provinsi Sumatera

Selatan pun terjadi peningkatan status Gizi buruk yang cukup drastis dimana tercatat pada

tahun 2011 terdapat 112 balita mengalami status gizi buruk, pada tahun berikutnya terjadi

peningkatan sebesar 62 balita sehingga kasus pada tahun 2012 tercatat 174 balita menderita

status gizi buruk. Hal itu diperparah dengan meningkatnya kasus gizi buruk pada tahun

2013 dimana terdapat 209 balita menderita status gizi buruk di provinsi Sumatera Selatan

yang kaya akan sumber daya alam.

Namun dari hasil pelaporan kepada Dinas Kesehatan kota Tangerang Selatan

menunjukkan adanya penurunan dari tahun 2012-2013 yaitu ditemukannya kasus gizi buruk

pada tahun 2012 sebesar 90 kasus dan tahun 2013 sebesar 78 kasus,yang artinya program

yang dilakukan oleh dinas kesehatan tangerang selatan sudah berjalan dengan baik sehingga

terjadi penurunan kasus gizi buruk.

Tetapi dari hasil pengamatan yang telah kami lakukan terdapat perbedaan hasil

laporan yang dikeluarkan secara Nasional dan yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan

Tangerang. Dimana secara nasional provinsi banten menjadi provinsi tertinggi ke tiga
jumlah kasus gizi buruk setelah NTT dan Jawa Timur sedangkan data yang kami dapat di

daerah tangsel mengalami penurunan kasus gizi buruk. Dari hasil analisa yang kami

lakukan terdapat 2 kemungkinan mengapa hal tersebut dapat terjadi pertama,terjadinya

penurunan kasus yang dikarenakan program penanggulangan gizi buruk di wilayah tangsel

yang memang sudah berhasil. Kedua, laporan dinas kesehatan tangsel yang diterima tidak

valid atau terdapat bias dalam pengumpulan data.


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pengumpulan data dilakukan dengan laporan puskesmas dan rumah sakit dalam bentuk

formulir W2 setiap bulan paling lambat tanggal 5 dilaporkan ke Dinas Kesehatan kota

Tangerang Selatan. Alur pelaporan dilakukan dari penimbangan balita di posyandu

kemudian di laporkan ke puskesmas dan puskesmas membuat laporan ke Dinas

Kesehatan kota Tangerang Selatan. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan

sistem komputer program microsoft excel sesuai dengan pedoman WHO Antro 2005.

2. Distribusi gizi buruk pada tahun 2012-2014 berdasarkan tempat yang mengalami kasus

gizi buruk tertinggi terjadi di puskesmas Pondok Pucung sebanyak 15 balita dan di

RSUD Tangerang Selatan sebanyak 17 balita pada tahun 2013. Sementara, kasus

kematian karena gizi buruk tertinggi terjadi di puskesmas Pamulang dan Rawa Buntu

sebanyak 2 balita dan di RSIA R.P Soeroso sebanyak 2 balita pada tahun 2013.

3. Distribusi gizi buruk pada tahun 2012-2014 berdasarkan waktu yang mengalami kasus

gizi buruk tertinggi terjadi pada bulan Februari sebanyak 22 balita pada tahun 2013.

Sementara, kasus kematian karena gizi buruk tertinggi terjadi pada tahun 2013 sebanyak

3 balita.

B. Saran

1. Kepala Dinas Kesehatan Tangerang Selatan seharusnya menetapkan tanggal yang

pasti dan pemberian sanksi yang tegas terhadap pukesmas dan RS yang terlambat

memberikan laporan.

2. Perlu adanya penambahan jumlah SDM untuk melakukan surveilans gizi buruk ini,

karena jumlah SDM masih sangat sedikit sehingga hasilnya kurang maksimal.
3. Perlu adanya kerjasama antara Dinas Kesehatan Tangerang Selatan dan RS sekitar

untuk kasus gizi buruk, karna masih banyak RS yang tidak memberikan laporan

mengenai kasus gizi buruknya.


DAFTAR PUSTAKA

Rajab, Wahyudin. 2008. Buku Ajar Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: Buku

Kedokteran EGC

A.Z. Muttaqin. Gizi Buruk di Banten tersebar dari Lebak sampai Tangsel. 18 Desember 2013

09:47 diakses tanggal 4 Juni 2014 pukul 13:18 http://www.arrahmah.com/news/2013/12/18/gizi-

buruk-di-banten-tersebar-dari-lebak-sampai-tangsel.html

Andi Zulkifli.2007.Surveilans epidemiolodi gizi buruk di ilayah provinsi NTT dan

NTB.file:///C:/Users/user/Downloads/surveilans%20Epidemiologi%20gizi%20buruk%20NTT

%20NTB%202007.pdf

Depkes RI. (2000). Profil kesehatan Indonesia. http://www.depkes.go.id

Dewi Novitasari.2012.FAKTOR-FAKTOR RISIKO KEJADIAN GIZI BURUK PADA

BALITA YANG DIRAWAT DI RSUP Dr. KARIADI

SEMARANG.http://eprints.undip.ac.id/37466/1/DEWI_NOVITASARI_A,_G2A008052,_LAP

ORAN_KTI.pdf

Ganet. Gizi Buruk Menjadi Masalah Penting di Banten. 3 Maret 2013 20:39 diakses

http://banten.antaranews.com/berita/18536/gizi-buruk-menjadi-masalah-penting-di-banten 4

Juni 2014 pukul 13:47

Nency Y, Arifin M.T., 2005. Gizi Buruk Ancaman Generasi yang Hilang. Diakses

tanggal 05 Juni 2014 http://io.ppijepang.org/

Anda mungkin juga menyukai