Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MATA KULIAH

ILMU PENYAKIT DALAM VETERINER

HIPOKALSEMIA

Disusun oleh:
1. Ninis Arsyitahlia 1509005011
2. Elis Mandari 1509005012
3. Meidi Andira Wulandari 1509005013
4. I Wayan Putra Ariyasa 1509005015
5. Dhea Septiany Peda Lalupada 1509005016
6. I Nyoman Fery Adnyana 1509005019

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
HIPOKALSEMIA

1. Definisi
Hipokalsemia pada sapi perah mempunyai beberapa sinonim yaitu milk fever,
paresis puerpuralis dan parturient paresis (Goff 2006). Milk fever adalah penyakit
gangguan metabolisme yang terjadi pada sapi betina menjelang/saat/sesudah melahirkan
yang menyebabkan sapi menjadi lumpuh. Milk Fever ditandai dengan menurunnya kadar
kalsium (Ca) dalam darah (Horst et al. 1997). Ca berperan penting dalam fungsi system
syaraf. Jika kadar Ca dalam darah berkurang drastis, maka pengaturan sistem syaraf akan
terganggu, sehingga fungsi otak pun terganggu dan sapi akan mengalami kelumpuhan.
Kasus milk fever terjadi pada 48 – 72 jam setelah sapi melahirkan, sapi yang mengalami
gangguan ini biasanya sapi yang telah beranak lebih dari tiga kali. Sapi berumur 4 tahun
dan produksi tinggi (lebih dari 10 liter) lebih rentan mengalami milk fever. Selain itu, angka
kejadian milk fever 3-4 kali lebih tinggi pada sapi yang dilahirkan dari induk yang pernah
mengalami milk fever.

Gambar 1. Gejala klinis hipokalsemia pada sapi yang di tandai dengan kelapa
dan leher yang terkulai kesamping.
Sumber :http://www.majalahinfovet.com/2015/12/pencegahan-dan-penanganan-milk-
fever.html
2. Etiologi
Kebutuhan Ca pada akhir masa kebuntingan cukup tinggi sehingga jika Ca dalam
pakan tidak mencukupi, maka Ca di dalam tubuh akan dimobilisasi untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Kebutuhan Ca pada awal laktasi juga meningkat, karena setiap kg air
susu mengandung 1.2 – 1.4 gram Ca. Sedangkan Ca dalam darah adalah 8 – 10 mg/dl
(Thirunavukkarasu et al. 2010), sehingga sekresi susu yang mendekati 2 kg akan
memerlukan semua Ca yang terdapat dalam darah. Jika kadar Ca dalam darah tidak dapat
dipertahankan, maka sapi akan mengalami paresis puerpuralis atau milk fever.

Homeostasis Ca darah diatur oleh kalsitonin, hormon paratiroid (parathormon) dan


vitamin D3 (DeGaris & Lean 2008). Pemberian pakan tinggi Ca pada periode kering dapat
merangsang pelepasan kalsitonin dari sel-sel parafolikuler kelenjar tiroid, sehingga
menghambat penyerapan Ca dalam tulang oleh parathormon. Hiperkalsemia (tingginya
kadar Ca dalam darah) akan menghambat sekresi parathormon dan merangsang sekresi
(pengeluaran) kalsitonin. Kalsitonin ini dapat menurunkan konsentrasi Ca darah dengan
cara mengakselerasi penyerapan oleh tulang (Goff 2006). Kejadian ini cenderung
menghambat adaptasi normal sapi terhadap kekurangan Ca pada permulaan partus dan
laktasi yang menyebabkan terjadinya kelumpuhan.

Kelumpuhan ini karena kadar Ca dalam darah di bawah 5 mg/dl. Berkurangnya Ca


menurut Champness & Hamilton (2007) disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

 Jumlah mineral, Ca dan P (Phosphor) dalam pakan yang berlebihan, akibatnya akan
menurunkan jumlah vitamin D yang berpengaruh pada jumlah Ca dalam darah.
 Menurunnya absorpsi Ca dari usus dan mobilisasi mineral tersebut dari tulang akibat
dari kerja hormon estrogen dan steroid kelenjar adrenal
 Ca dan P dari dalam darah berpindah ke kolostrum saat sapi menjelang melahirkan.
 Efek dari hormon tirokalsitonin. Hormon ini berfungsi untuk mengatur mukosa sel-sel
usus dalam menyerap dan mengatur kadar Ca dalam darah.
 Nafsu makan menurun biasa terjadi pada 8-16 jam menjelang melahirkan, akibatnya
ketersediaan kalsium yang siap diserap juga menurun.
 pH pakan dan kadar lemak yang tinggi
 Sapi-sapi tua akan mengalami penurunan penyerapan Ca.
 Ketidak seimbangan komposisi Ca dan P dalam pakan. Perbandingan yang ideal
adalah Ca:P = 1:1.

3. Mekanisme penyakit dan patofisiologi


Blowey (1988) menyatakan bahwa induk sapi secara normal memiliki cadangan
kalsium yang cukup dalam tulangnya (6.000 g) maupun dari asupan pakan melalui saluran
pencernaan (100 g) serta hanya dalam jumlah kecil terdapat di dalam sirkulasi darah (8 g).
Cadangan kalsium tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pedet bila terjadi
perubahan yang drastis pada akhir kebuntingan (5 g/hari) dan untuk menghasilkan susu
pada masa awal laktasi (25 g/kg). Secara normal, setiap hari selalu terjadi kehilangan
kalsium melalui ekskresi urin dan feces yang tidak dapat dihindari oleh induk sapi perah .
Kondisi ini semakin parah karena kolostrum mengandung kalsium dua kali lebih banyak
daripada susu (2 g/liter berbanding I g/liter) sehingga terjadi kehilangan kalsium yang
drastis dalam cairan tubuh .
Oleh karena itu, pada saat melahirkan, kebutuhan kalsium akan meningkat tinggi
secara mendadak yang mengakibatkan induk sapi mengalami penurunan kadar kalsiurn
dalam darah . Secara fisiologis, pengaturan kadar kalsium darah dilakukan oleh beberapa
organ tubuh yang saling berinteraksi, yaitu hati, kelenjar parathyroid, ginjal dan tulang .
Sapi mendapatkan vitamin D3 dari diet atau melalui sintesis vitamin D3 pada kulit dibawah
pengaruh sinar ultra-violet yang berasal dari sinar matahari . Vitamin D3 pertama kali
mengalami aktivasi untuk berubah menjadi 25 hidroksi D3 [= 25(OH)D3] di dalam
jaringan hati] . Menurunnya kadar kalsium darah akan merangsang pelepasan hormon
parathyroid yang terdapat di dalam kelenjar parathyroid. Hormon ini memiliki kemampuan
untuk merangsang pelepasan kalsium dan fosfor dari tulang . Metabolit vitamin D 3 [=
25(OH)D3] yang disinstesis di dalam hati menjadi bentuk yang sangat aktif hingga 1,25
dihidroksi vitamin D3[1,25 (OH)2D3] di dalam ginjal. Senyawa 1,25 (OH)2D3
inibertanggung jawab dalam penyerapan kalsium dari tulang dankhususnya saluran
pencernaan, dimana usus halus merupakan sumber utama kalsium selama melahirkan,
karena mobilisasikalsium dari tulang memerlukan waktu yang lama, yaitu antara 10-14 hari
(Payne, 1989). Kondisi ini menjadi penting, karena otot usus halus sangat peka terhadap
kadar kalsium rendah yang dapat menurunkan aktivitas usus halus sehingga menimbulkan
gejala milk fever.
Rendahnya kadar kalsium akan menurunkan motilitas rumen sehingga mengurangi
asupan nutrisi dan selanjutnya penurunan aktivitas intestinal akan mengurangi absorpsi
kalsium dari saluran pencernaan . Sapi pada umumnya akan mengalami peningkatan kadar
hormon parathyroid dan 1,25 (OH)2D3 pada saat melahirkan, namun beberapa di antaranya
tidak mampu mencapai tingkat yang cukup untuk mencegah timbulnya milk fever .
Aktivitas kedua hormon ini dirangsang oleh keberadaan magnesium di dalam ginjal . Oleh
karena itu, bila terjadi penurunan asupan magnesium selama periode kering kandang dapat
meningkatkan kejadian milk fever. Hormon estrogen dapat menghambat mobilisasi kalsium
dan kadar estrogen biasanya meningkat pada saat melahirkan. Sapi perah dewasa (tua) lebih
peka terhadap milk fever daripada sapi muda (dara) karena cadangan kalsiumnya lebih
rendah . Oleh sebab itu, sapi dara (belum beranak) tidak pernah mengalami milk fever dan
penyakit ini jarang dijumpai pada induk sapi beranak kedua . Sapi yang pernah mengalami
milk fever pada saat melahirkan akan lebih peka pada kelahiran berikutnya. Faktor lain
yang dapat menimbulkan penyakit ini adalah bangsa sapi (sapi Jersey lebih peka daripada
bangsa lainnya), cekaman (stress) lingkungan dan produksi susu (semakin tinggi produksi
susu maka semakin sering kejadian milk fever) (Payne, 1989).

4. Penyebab penyakit
Kegagalan homeostasis kalsium pada awal laktasi merupakan penyebab utama milk
fever . Kebutuhan yang mendadak terhadap kalsium (Ca) untuk sintesis kolostrum di dalam
kelenjar ambing yang berlaktasi merupakan faktor penyebab kegagalan homeostasis Ca .
Perubahan pola pemberian pakan dan proses pencernaan pada saat melahirkan akan
mengganggu keseimbangan metabolisme mineral di dalam tubuh. Foetus menyerap Ca dari
plasenta sebesar 0,2 gam dan akan berhenti pada saat lahir, tetapi kebutuhan Ca tersebut
akan terns meningkat dengan berlangsungnya proses laktasi sebesar 1 g Ca/jam. Pada sapi
dengan produksi susu yang tinggi dapat mencapai 2 g Ca/jam. Sapi umumnya akan
beradaptasi dengan cara mengatur kecepatan aliran masuk (inflow) dan keluar (outflow)
dari Ca, tetapi proses adaptasi ini berlangsung tidak sempurna karena adanya hypokalsemia
sementara (transient)sebagai penyebab turunnya Ca normal dari 9,5 mg/d1 menjadi 7,0
mg/dl, terutama pada sapi yang lebih tua pada saat kelahiran ketiga dan berikutnya .
Keparahan hypokalsemia hanya bergantung pada output (keluarnya) Ca melalui
susu pada haripertama laktasi . Akan tetapi, hal terpenting adalah beberapa sapi dapat
menderita hypokalsemia yang lebih parah dibandingkan sapi lainnya bahkan dengan tingkat
produksi susu yang sama. Tingkat kritis Ca plasma adalah 6,5 mg/dl, karena kadar Ca pada
hypokalsemia ini terlihat tidak sebanding dengan motilitas saluran pencernaan . Kondisi
stasis pada saluran pencernaan akan menghambat pasokan Ca dari pakan dan sapi akan
segera mengalami hypokalsemia yang parah, menurun sekitar 4,5 mg/dl, dimana gejala
klinis mulai terlihat .
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya gejala klinis milk fever pada
sapi perah, antara lain (Payne, 1989) :
a. Tingkat produksi susu : Sapi perah dengan tingkat produksi susu yang rendah, jarang
sekali mengalami kematian bahkan pada sapi yang dimamaerectomy tidak
menunjukkan tingkat produksi susu yang sangat tinggi sering mengalami parturient
hypocalcaemia .
b. Umur: Bertambahnya umur seekor hewan akan menurunkan tingkat metabolisme
umum . Sapi yang lebih tua akan mengalami penurunan pergantian mineral tulang dan
begitu pula kapasitas penyerapan Ca oleh lambung. Tingkat aliran makanan melewati
saluran pencernaan juga akan menurun pada sapi yang berumur tua, sehingga sapi yang
lebih tua menghadapi risiko tinggi terhadap parturient hypocalcaemia.
c. Asupan (intake) diet kalsium sebelum kelahiran : Sapi yang mendapatkan diet Ca yang
berlebihan akan lebih peka dibandingkan yang menerima diet Ca yang rendah .
Mekanisme hormonal mungkin berperan dalam kasus penyakit ini, terutama dalam
kondisi disfungsi kelenjar parathyroid. Intake Ca yang berlebihan dapat merangsang
sel C-thyroid untuk mengsekresi kalsitonin . Kalsitonin akan aktif pada sapi perah
setiap harinya karena sapi mengonsumsi terlalu banyak Ca. Begitupula, bila kalsitonin
ekstra disuntikan secara intravena ke dalam tubuh hewan akan menimbulkan
hypocalcaemia parah bahkan sampai gejala klinis muncul . Oleh karena itu, diet
kalsium tinggi merupakan penyebab utama terpengaruhnya metabolisme mineral oleh
kalsitonin .
d. Stasis saluran pencernaan : Proses laktasi pada sapi perah bergantung pada kondisi
fungsional saluran pencernaan dan bila terjadi gangguan dapat menimbulkan
hypocalcaemia Minis. Stasis saluran pencernaan umumnya terjadi dalam 2 jam pada
saat melahirkan . Dilaporkan pula bahwa hypocalcaemia dapat merangsang timbulnya
stasis saluran pencernaan. Faktor lain yang dapat menimbulkan stasis saluran
pencernaan antara lain rumput dan pakan yang sangat mudah tercerna dan interaksi
hormonal seperti estrogen .
e. Keseimbangan diet: Keseimbangan diet merupakan faktor predisposisi parturient
hypocalcaemia, sebagai contohnya status "asam" atau "basa" (pH) dari total diet .
Status tersebut merujuk pada proporsi non-metabolizable kation terhadap anion.
Sebagai contohnya, sodium bikarbonat terdiri dari non-metabolizable kation (sodium)
dan metabolizable anion (bikarbonat) . Bila diet mengandung berlebihan
nonmetabolizable anion balk kalsium, magnesium, potasium maupun sodium akan
menimbulkan penurunan mobilisasi cadangan kalsium . Sebaliknya, diet yang asam
diketahui sebagai bahan profilaktik untuk milk fever dan pemberian suplemen
amonium khlorida berguna untuk mencegah milk fever. Faktor lain dalam
keseimbangan diet yang dapat menimbulkan milk fever adalah defisiensi
magnesium.Defisiensi magnesium dapat menghambat mobilisasi Ca karena adanya
pengaruh langsung pada metabolisme di dalam tulang. Sebaliknya, intake magnesium
yang berlebihan dapat juga menimbulkan parturient hypocalsemia, karena akan
memengaruhi absorpsi Ca dari saluran pencernaan dan bahkan merangsang sekresi
calcitonin yang pada akhirnya dapat menurunkan kadar Ca darah .

5. Gejala Klinis
Rendahnya kadar Ca darah dapat menimbulkan hipersensitivitas pada membran
syaraf serta otot dan kemudian terjadi hipereksibilitas dan grass tetany . Namun, pada
stadium akhir milk fever akan terjadi paralisis otot bukan tetany. Hal ini disebabkan karena
hypokalsemia akan meningkatkan permeabilitas sel terhadap kation sehingga potasium
akan mengalir ke luar sel dan sodium masuk ke dalam sel sehingga terjadi paralisis
kontraksi otot . Peningkatan permeabilitas sel juga akan mengakibatkan fosfat mengalir
keluar sel yang dapatmengakibatkan nekrosis serabut otot . Hal ini dapat menjadi faktor
predisposisi untuk penyakit "downer cow" syndrome ketika sapi tidak mampu berdiri
kembali sekalipun diobati dengan Ca boroglukonat . Milk fever umumnya terjadi secara
akut dalam waktu yang singkat, yaitu tiga hari setelah parturisi.
Sapi perah yang menderita milk fever umumnya melalui tiga stadium, yaitu :
a. Stadium pertama
Mungkin tidak terlihat karena penyakit berlangsung dengan cepat . Pada stadium ini
akan terlihat reaksi hiperaktif dan hipersensitif yang diikuti dengan tremor otot,
peregangan otot, dan daun telinga terkulai . Kaki belakang kaku dan sulit digerakan,
sapi menyendiri kemudian terjatuh dan berbaring dengan posisi yang tidak nyaman .
b. Stadium kedua
Ditandai dengan berbaring pada sternal (sternal recumbency) . Sapi mengalami
depresi dan hamper pingsan, tidak mampu mengangkat dan menggoyanggoyangkan
mulut ke bagian perutnya . Kemudian terjadi hypothermia serta stasis ruminal dan
konstipasi mulai terlihat .
c. Stadium ketiga
Melibatkan kolaps dan koma . Sistem kardiovaskuler mengalami kegagalan fungsi
ditandai dengan denyut dan suara jantung yang lemah. Dalam beberapa jam kematian
sapi dapat terjadi bila tidak diobati . Kematian sapi umumnya disebabkan karena
kegagalan pernapasan akibat bloat, tetapi kolaps jantung umumnya merupakan akhir
dari proses penyakit.

6. Diagnosa
Diagnosa pada kasus hipokalsemia dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui gejala-gejala
fisik yang dapat dilihat dan dirasakan. Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan dengan cara
pemeriksaan temperatur, pemeriksaan tonus springter anus, dan keadaan otot-otot terhadap
stimulus yang diberikan. Parameter dilakukannya pemeriksaan otot adalah mengangkat
ekor. Apabila ekor dihibaskan setelah diangkat maka hipokalsemia belum terlalu parah.
Pemeriksan laboratorium dilakukan dengan melihat kadar kalsium di dalam darah. Pada
keadaan normal kalsium di dalam darah mencapai 8 – 12 mg/dL. Namun pada kasus
hipokalsemia kadar kalsium di dalam darah menurun hingga > 5 mg/dL.
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan terhadap sapi ini adalah melakukan
pemeriksaan darah. Darah dapat diambil lewat vena jugularis. Darah yang diambil
diperiksa terhadap kadar kalsium darah. Kalsium dalam serum dapat diukur dengan
metoda sangat sederhana sampai metoda yang mutakhir. Yang termasuk sederhana ialah
dengan metoda Clark&Collib yang menggunakan KmnO4 untuk titrasi. Lainnya ialah
dengan metoda “kolorimetri sederhana”, berdasarkan intensitas warna yang kemudian
dibandingkan dengan warna standar. Sekarang sering dilakukan uji untuk menentukan
kadar kalsium mengion. Dalam hal ini dipakai suatu elektroda yang bersifat khas untuk ion
kalsium. Lain dari itu kadar kalsium dalam darah dapat pula ditentukan dengan “Atomic
absorption spectroscopy” (Girindra 1988). Subronto (2001) mengatakan bahwa
pemeriksaan kadar kalsium dalam darah dilapangan adalh menurut cara Herdt (1981)
dimana peralatan yang dibutuhkan yaitu tabung rekasi 12 ml dengan kalibrasi 2,3,5,7 dan
10 ml, karutan EDTA 1,9%, alat suntik tuberkulin dan water bath. Cara pemeriksaannya
yaitu ke dalam semua tabung reaksi dimasukkan EDTA sebanyak 0.1 ml. Darah sebanyak
35 ml diambil dari vena jugularis dengan cepat dan dimasukkan ke dalam 5 tabung sampai
pada batas kalibrasi. Setelah ditutup dikocok kuat-kuat dimasukkan ke dalam water bath
dengan suhu 1150 F (46.10 C) dan diamati selama 15 dan 20 menit. Setelah waktu tersebut
rak diangkat dan jumlah tabung yang darahnya menggumpal dihitung. Pada kasus di
lapangan tidak dilakukan pengecekan darah untuk melihat kadar Ca, Mg dan P.

7. Pengobatan dan pencegahan


Pengobatan milk fever diarahkan untuk mengembalikankadar Ca darah pada kondisi
normal tanpa penundaan sertamencegah terjadinya kerusakan otot dan syaraf akibat
hewanberbaring terlalu lama. Keberhasilan pengobatan tergantungpada serveilan yang
dilakukan secara terus-menerus khususnyaterhadap stadium awal penyakit.
Kalsium boroglukonat adalah obat standar untuk milk feveryang diberikan melalui
injeksi secara intravena sebanyak 25%larutan. Payne (1989) melaporkan bahwa pemberian
sebanyak 9g Ca merupakan dosis optimum yang dapat mengobati milkfever, tetapi
pemberian sebanyak 6 g Ca kurang cukup karenapenyakit cenderung muncul kembali, dan
12 g Ca terlaluberlebihan.
Penyuntikan kalsium secara intravena dapat menaikan kadar Ca darah sampai
melebihi batas normalnya danmenimbulkan detak jantung tidak teratur yang dapat
dideteksidengan cepat. Namun, toksisitas akut untuk kalsiumboroglukonat adalah rendah
karena kation Ca berikatan dengananion boroglukonat sehingga tetap dalam bentuk inaktif.
Kasus lapangan milk fever biasanya merupakan penyakityang kompleks, oleh karena itu
larutan Ca boroglukonat dapatditambahkan magnesium dan/atau dektrosa.
Pemberian kalsium secara intravena menghasilkan pengaruh langsung,
sedangkandepot Ca di bawah kulit (penyuntikan subkutan) akanmemberikan pengaruh yang
lambat tetapi memberikanpenyembuhan yang lama (Payne, 1989).
Kebanyakan hewanakan sembuh dengan cepat setelah pengobatan. Dalam 5-
10menit sapi mampu mengangkat kepalanya, feses akan keluar danmulai berusaha untuk
berdiri. Bila penyakit kambuh kembali,biasanya terjadi dalam 24 jam maka diperlukan
pengobatankedua. Lumpuh berulang dapat dihentikan dengan meniup udarake dalam
kelenjar ambingnya agar menghambat sekresi kalsiumke dalam susu dan kehilangan
kalsium.Strategi pencegahan penyakit bergantung pada kondisipeternakan (tingkat kejadian
penyakit), musim pada saat calvingdan kondisi hijauan pakan ternak.
Kasus penyakit milk feverbiasanya tinggi pada kelahiran musim hujan (basah) dan
hijauanpakan ternak yang basah. Hal tersebut disebabkan karenarumput mengandung Ca
yang tinggi, rumput mengandungmagnesium yang rendah, dan selama kelahiran
biasanyaterjadi periode stasis lambung dan hal ini akan menurunkankemampuan sapi
mengabsorbsi Ca.
Oleh karena itu, strategipencegahan penyakit dilakukan berdasarkan langkah-
langkahsebagai berikut :
 Menghindari pemberian rumput yang basah selama musimhujan tiga minggu masa
kebuntingan terakhir.
 Memberikan asupan kalsium rendah selama periode keringkandang.
 Menghindari pemberian pakan yang berlebihan sebelummelahirkan.
 Memberikan diet magnesium dan fosfor yang cukup.
 Memberikan suplemen dengan hay, straw, atau silase.
 Menyediakan diet mudah tercerna untuk menjaga rasasebelum dan segera setelah
parturisi
 Memberikan derivat vitamin D3 melalui injeksi .
 Memberikan campuran vitamin D dengan 100-500 g Cakhlorida, baik melalui pakan
maupun melalui air minumselama 4 atau 5 hari sebelum melahirkan.
 Bila terjadi wabah atau beberapa induk sapi pernahmengalami milk fever, berikan 400
ml 20% larutan Ca(sebaiknya dengan kandungan rendah magnesium).
DAFTAR PUSTAKA

Noname.2011.HIPOKALSEMIA PADA SAPI (Online


:https://pustakavet.wordpress.com/2011/01/31/hipokalsemia-pada-sapi-perah/)

Eny Martindah et all. PENYAKIT ENDEMIS PADA SAPI PERAH

DAN PENANGGULANGANNYA. Pusat P2enelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor


Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor.

Online : http://www.majalahinfovet.com/2015/12/pencegahan-dan-penanganan-milk-
fever.html

Online : https://id.scribd.com/document/138523539/hypocalcemia-pada-sapi-1-doc

Sumirat Ikhsan.2016. Penyakit pada Sapi Perah Hipokalsemia. Online :


https://catatandrhikhsansumirat.co.id/2016/08/penyakit-pada-sapi-perah-
hipokalsemia.html

Anda mungkin juga menyukai