Oleh:
Pendamping
CURUP-REJANG LEBONG
BENGKULU
2019
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala nikmat, karunia, dan rahmat yang diberikan dalam menempuh Internship di
Puskesmas Perumnas. Penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan Mini Project
dengan judul “Hubungan Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi dengan
Kejadian Hipertensi pada Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas
Perumnas” untuk memenuhi salah satu syarat program Internship di Puskesmas
Perumnas, Kabupaten Rejang Lebong, Curup.
Demikian, agar Mini Project ini bisa bermanfaat bagi yang membacanya
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB 1 PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Definisi .................................................................................................... 7
2.2 Klasifikasi ................................................................................................. 7
2.3 Epidemiologi ............................................................................................ 8
2.4 Faktor Risiko .......................................................................................... 10
2.5 Patofisiologi............................................................................................ 12
2.6 Manifestasi Klinis................................................................................... 14
2.7 Diagnosis ................................................................................................ 14
2.8 Tatalaksana ............................................................................................. 15
2.9 Komplikasi ............................................................................................. 21
BAB 3 KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN
HIPOTESIS PENELITIAN 23
3.1 Kerangka Konsep .................................................................................. 23
3.1 Definisi Operasional .............................................................................. 23
3.1 Hipotesis ................................................................................................. 25
BAB 4 METODE PENELITIAN 26
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 33
5.1. Hasil Penelitian ............................................................................... 33
5.2. Pembahasan ..................................................................................... 43
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 50
6.1. Kesimpulan ..................................................................................... 50
6.2 Saran ............................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 53
LAMPIRAN ......................................................................................................... 55
2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hipertensi adalah suatu keadaan meningkatnya tekanan darah di pembuluh
darah secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh
(Riskesdas, 2013). Seseorang dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah
sistolik ≥140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada
pemeriksaan yang berulang minimal 3x. Tekanan darah sistolik merupakan
pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi.Adapun
pembagian derajat keparahan hipertensi pada seseorang merupakan salah satu
dasar penentuan tatalaksana hipertensi (PERKI, 2015).
Data World Health Organization menunjukkan penderita hipertensi di
seluruh dunia berjumlah sekitar 1 miliar. Prevalensi hipertensi diprediksi akan
terus meningkat, pada tahun 2025 diprediksi sebanyak 29% orang dewasa yang
mengidap hipertensi di seluruh dunia. Sekitar 8 juta orang yang mengidap
hipertensi meninggal dunia setiap tahunnya, dimana 1,5 juta kematian terjadi di
Asia Tenggara (Kemenkes RI, 2017).
Berdasarkan hasil dari Riset Kesehatan Dasar (2013), prevalensi hipertensi di
Indonesia pada tahun 2013 sebesar 28,5%, sedangkan prevalensi hipertensi di
Indonesia pada tahun 2017 meningkat menjadi 30,9% menurut hasil survei
Indikator Kesehatan Nasional. Prevalensi hipertensi di Indonesia ditentukan
berdasarkan pengukuran tekanan darah pada penduduk dengan usia ≥ 18 tahun
(Kemenkes RI, 2017). Prevalensi hipertensi pada tahun 2013 di Indonesia
tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%),
Kalimantan Timur (29,6%), dan Jawa Barat (29,4%). Sedangkan prevalensi
hipertensi di Bengkulu juga cukup tinggi yaitu 21,6% (Riskesdas, 2013).
Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Bengkulu tahun 2015, didapatkan prevalensi
hipertensi di Bengkulu yaitu 31,36%. (Profil Kesehatan Kota Bengkulu, 2015).
Hipertensi dapat mengakibatkan gagal ginjal, gagal jantung, stroke dan
kematian jika tidak dideteksi secara dini dan ditangani dengan tepat. Hipertensi
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak dapat dikontrol dan dapat dikontrol.
3
Faktor yang tidak dapat dikontrol antara lain umur, jenis kelamin, dan riwayat
keluarga, serta yang dapat dikontrol seperti kelebihan Indeks Massa Tubuh
(IMT)/obesitas, kebiasaan merokok, kurangnya aktivitas fisik dan olahraga,
konsumsi garam yang berlebihan, konsumsi lemak yang berlebihan, dan stres
(James et al., 2014).
Berdasarkan penelitian Rustandi, dan Jupiter (2017) di kota Bengkulu,
terdapat hubungan antara gaya hidup dengan kejadian hipertensi. Gaya hidup
dalam penelitian ini merupakan kebiasaan masyarakat yang dapat beresiko
terhadap penyakit hipertensi seperti kebiasaan merokok, minum kopi, aktivitas
fisik, minum-minuman beralkohol, mengkonsumsi terlalu banyak garam dan
istirahat yang tidak teratur.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setyanda, Delmi, danYuniar
(2015) di kota Padang, terdapat hubungan antara kebiasaan merokok dengan
kejadian hipertensi pada laki-laki usia 35-65 tahun di kota Padang, terdapat
peningkatan tekanan darah dari 140/90 mmHg menjadi 150/110 setelah merokok
selama 10 menit.
Selain itu penelitian lain yang dilakukan oleh Darmawan, Abdullah, dan
Nadimin (2018) tentang asupan natrium dan makanan berlemak terhadap tingkat
hipertensi pada pasien rawat jalan di RSUD kota Makasar menunjukkan bahwa
sampel dengan asupan natrium dan makanan berlemak rendah cenderung
mengalami hipertensi ringan sebanyak 10 orang (83,3%) sedangkan sampel
dengan asupan natrium dan makanan berlemak lebih cenderung mengalami
hipertensi sedang sebanyak 12 orang (75%). Berdasarkan hasil uji statistik yang
diperoleh nilai p=0,003 yang lebih kecil dari nilai α (0,05) yang berarti ada
hubungan antara asupan natrium dan makanan berlemak dengan tingkat
hipertensi.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Sulastri, Elmatris, dan Rahmi (2012)
tentang hubungan obesitas dengan kejadian hipertensi menemukan bahwa lebih
dari separuh penderita hipertensi mengalami obesitas (56,6%) dan obesitas sentral
(54,9 %) terdapat hubungan bermakna antara obesitas dengan kejadian hipertensi
(p<0,05; OR=2,72). Uji independent sampleT-Test menunjukan hasil yang
signifikan (p<0,05) dimana ada perbedaan rata-rata IMT (p=0,025) antara
4
responden hipertensi dan tidak hipertensi dan ada perbedaan rata-rata LP
(p=0,002) antara responden hipertensi dan responden tidak hipertensi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mutiarawati (2009), tentang
hubungan antara olahraga dengan kejadian hipertensi pada usia 45-54 tahun di
wilayah kelurahan Tlogosari Kulon Semarang didapatkan bahwa pada kelompok
kasus terdapat 85,6% responden yang memiliki kriteria olahraga jarang dan 14,4%
responden yang memiliki kriteria olahraga sering. Dari hasil uji statistik dengan
Chi-Square diperoleh nilai p sebesar 0,0001< α 0,05 yang berarti bahwa ada
hubungan yang signifikan antara olahraga dengan kejadian hipertensi. Perhitungan
ini menghasilkan OR=18,308 dengan batas bawah 8,568 dan batas atas 39,118
pada Confident Interval 95%, yang berarti bahwa orang dengan kebiasaan
olahraga yang jarang memiliki peluang atau risiko menderita hipertensi 39,118
kali dibandingkan orang dengan kebiasaan olahraga sering.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik ingin mengetahui berbagai
faktor risiko yang dapat dimodifikasi dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja
Puskesmas Perumnas. Untuk selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat dijadikan
referensi untuk masyarakat dan pengembangan program di Puskesmas Perumnas
sehingga bermanfaat untuk pencegahan dan pengendalian hipertensi di wilayah
kerja Puskesmas Perumnas.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka diperoleh rumusan masalah
sebagai berikut: Bagaimana hubungan faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dengan kejadian hipertensi pada masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Perumnas?
1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan faktor risiko yang dapat dimodifikasi dengan
kejadian hipertensi pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas.
5
1. Mengetahui karakteristik pasien hipertensi berdasarkan sosiodemografi
yang meliputi tempat tinggal, jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan
dan riwayat hipertensi dalam keluarga.
2. Mengetahui kebiasaan mengkonsumsi garam(natrium) sebagai faktor risiko
terjadinya hipertensi.
3. Mengetahui kebiasaan mengkonsumsi lemak jenuh sebagai faktor risiko
terjadinya hipertensi.
4. Mengetahui kebiasaan merokok sebagai faktor risiko terjadinya hipertensi.
5. Mengetahui obesitas sebagai faktor risiko terjadinya hipertensi.
6. Mengetahui kurangnya olahraga sebagai faktor risiko hipertensi.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hipertensi
2.1.1. Definisi
Seseorang dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik ≥140
mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg, pada pemeriksaan yang
berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi
dasar penentuan diagnosis hipertensi. Adapun pembagian derajat keparahan
hipertensi pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan tatalaksana
hipertensi (PERKI, 2015).
2.1.2. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua golongan
yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer atau hipertensi
esensial terjadi karena peningkatan persisten tekanan arteri akibat ketidakteraturan
mekanisme kontrol homeostatik normal, dapat juga disebut hipertensi idiopatik.
Hipertensi primer ini mencakup sekitar 95% kasus (Yogiantoro, 2006).
Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan,
hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam
ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler, dan faktor-faktor yang
meningkatkan risiko seperti obesitas dan merokok. Hipertensi sekunder atau
hipertensi renal merupakan hipertensi yang penyebabnya diketahui dan terjadi
sekitar 10% dari kasus-kasus hipertensi. Hampir semua hipertensi sekunder
berhubungan dengan ganggaun sekresi hormon dan fungsi ginjal. Penyebab
spesifik hipertensi sekunder antara lain penggunaan estrogen, penyakit ginjal,
hipertensi vaskular renal, hiperaldesteronisme primer, sindroma Cushing,
feokromositoma, dan hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan. Umumnya
hipertensi sekunder dapat disembuhkan dengan penatalaksanaan penyebabnya
secara tepat (Yogiantoro, 2006).
7
Berdasarkan bentuknya, hipertensi dibedakan menjadi tiga golongan yaitu
hipertensi sistolik, hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi
sistolik (isolated systolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan sistolik
tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada usia
lanjut. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri apabila
jantung berkontraksi (denyut jantung). Tekanan sistolik merupakan tekanan
maksimum dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah
sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar (Yogiantoro, 2006).
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan
tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya ditemukan
pada anak anak dan dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh
darah kecil menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan
terhadap aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya.
Tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam
keadaan relaksasi di antara dua denyutan. Hipertensi campuran merupakan
peningkatan pada tekanan sistolik dan diastolik (Yogiantoro, 2006).
The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII),
klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal,
prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II (Muhadi, 2016).
2.1.3. Epidemiologi
Didefinisikan sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita
hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan
8
(dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita hipertensi tetapi
saat diwawancara sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi (minum
obat sendiri). Kriteria hipertensi yang dignakan pada penetapan kasus merujuk
pada kriteria diagnosis JNC VII 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah
sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg. Kriteria JNC VII
2003 hanya berlaku untuk umur ≥18 tahun, maka prevalensi hipertensi
berdasarkan pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada penduduk umur ≥18
tahun (Riskesdas, 2013).
Tabel 2.2. Prevalensi diabetes dan hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi
pada umur ≥ 18 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013
9
Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada
umur ≥18 tahun sebesar 25,8 persen, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti
Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%).
Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis
tenaga kesehatan sebesar 9,4 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan atau
sedang minum obat sebesar 9,5 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat
sendiri. Responden yang mempunyai tekanan darah normal tetapi sedang minum
obat hipertensi sebesar 0.7 persen. Jadi prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar
26,5 persen (25,8% + 0,7 %) (Riskesdas, 2013).
10
hipertensi sebesar empat kali lipat. Data statistik membuktikan jika seseorang
memiliki riwayat salah satu orang tuanya menderita penyakit tidak menular, maka
dimungkinkan sepanjang hidup keturunannya memiliki peluang 25% terserang
penyakit tersebut. Jika kedua orang tua memiliki penyakit tidak menular maka
kemungkinan mendapatkan penyakit tersebut sebesar 60% (Sugiharto, 2007).
11
pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan
darah yang lebih tinggi. Tembakau memiliki efek cukup besar dalam peningkatan
tekanan darah karena dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah.
Kandungan bahan kimia dalam tembakau juga dapat merusak dinding pembuluh
darah (Setyanda, 2015).
4. Obesitas
Obesitas merupakan suatu keadaan di mana indeks massa tubuh lebih dari atau
sama dengan 25.0. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena
beberapa sebab. Pada penderita hipertensi ditemukan 20-30% menderita berat
badan berlebih. Makin besar massa tubuh, makin banyak pula suplai darah yang
dibutuhkan untuk memasok oksigen dan nutrisi ke jaringan tubuh. Hal ini
mengakibatkan volume darah yang beredar melalui pembuluh darah akan
meningkat sehingga tekanan pada dinding arteri menjadi lebih besar (Sulastri,
2012).
5. Kurangnya aktivitas fisik
Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan darah. Pada orang yang
tidak aktif melakukan kegiatan fisik cenderung mempunyai frekuensi denyut
jantung yang lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan otot jantung bekerja lebih
keras pada setiap kontraksi. Makin keras usaha otot jantung dalam memompa
darah, makin besar pula tekanan yang dibebankan pada dinding arteri sehingga
meningkatkan tahanan perifer yang menyebabkan kenaikkan tekanan darah.
Kurangnya aktifitas fisik juga dapat meningkatkan risiko kelebihan berat badan
yang akan menyebabkan risiko hipertensi meningkat (Mutiarawati, 2009).
2.1.5. Patofisiologi
Tekanan darah dipengaruhi volum sekuncup dan Total Peripheral
Resistance. Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang
tidak terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi (PERKI,
2008)
Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah
secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan
stabilitas tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah
12
sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti refleks
kardiovaskuler melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia,
susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos.
Sedangkan sistem pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan antara
sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon angiotensin
dan vasopressin (PERKI, 2015)
Kemudian dilanjutkan sistem poten dan berlangsung dalam jangka panjang
yang dipertahankan oleh sistem pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan
berbagai organ. Patofisiologi hipertensi primer terjadi melalui mekanisme :
1. Curah jantung dan tahanan perifer
2. Sistem Renin-Angiotensin
3. Sistem saraf simpatis
4. Perubahan struktur dan fungsi pembuluh darah (Sugiharto, 2007).
13
2.1.6. Manifestasi Klinis
Individu penderita hipertensi kadang tidak menampakkan gejala sampai
bertahun-tahun. Apabila terdapat gejala, maka gejala tersebut menunjukkan
adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi khas sesuai sistem organ yang
divaskulasi oleh pembuluh darah bersangkutan (Yogiantoro, 2006).
Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa nyeri kepala saat terjaga yang
kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan tekanan darah
intrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan retina, koordinasi berkurang
karena kerusakan susunan saraf, nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari)
karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen
akibat peningkatan tekanan kapiler. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat
menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai
paralisis sementara pada satu sisi atau hemiplegia atau gangguan tajam
penglihatan. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah,
telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-
kunang (Yogiantoro, 2006).
2.1.7. Diagnosis
Evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga tujuan yaitu:
Mengidentifikasi penyebab hipertensi.
Menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler, beratnya
penyakit, serta respon terhadap pengobatan.
Mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskuler lain atau penyakit
penyerta, yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan
pengobatan (Yogiantoro, 2006).
Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran,
dan hanya dapat ditetapkan setelah dua kali atau lebih pengukuran pada
kunjungan berbeda, kecuali terdapat kenaikkan tinggi atau gejala-gejala klinis
yang menyertai. Pengukuran tekanan darah dilakukan dalam keadaan pasien
duduk, setelah beristirahat selama 5 menit. Alat yang digunakan untuk mengukur
tekanan darah disebut spigmomanometer. Ada beberapa jenis spigmomanometer,
tetapi yang paling umum terdiri dari sebuah manset karet dengan dibalut bahan
14
yang difiksasi disekitarnya secara merata tanpa menimbulkan konstriksi
(Yogiantoro, 2006).
Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama
menderitanya, pengobatan antihipertensi sebelumnya, riwayat dan gejala-gejala
penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskuler dan lainnya. Apakah terdapat riwayat penyakit dalam keluarga,
gejala-gejala yang berkaitan dengan penyakit hipertensi, gejala kerusakan organ,
perubahan aktifitas atau kebiasaan sebagai faktor risiko hipertensi (seperti
merokok, konsumsi makanan, riwayat dan faktor pribadi, keluarga, lingkungan,
pekerjaan, dan lain-lain) (Yogiantoro, 2006).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan
laboratorium rutin yang dilakukan sebelum memulai terapi, dengan tujuan untuk
menentukan adanya kerusakan organ dan faktor risiko lain atau mencari penyebab
hipertensi. Pada umumnya dilakukan pemeriksaan urinalisa, darah perifer
lengkap, kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah puasa, kolesterol
total), dan EKG (Yogiantoro, 2006).
2.1.8. Tatalaksana
1. Non farmakologis
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan
darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko
permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1,
tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan
tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila
setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang
diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat
dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi (PERKI, 2015).
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah:
- Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan
memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan manfaat
yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari diabetes dan
dislipidemia.
15
- Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak
merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak jarang pula
pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat saji, makanan
kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini juga
bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensi
derajat ≥2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari.
- Olahraga. Olahraga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/
hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah.
Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus,
sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau
menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya.
- Mengurangi konsumsi alkohol. Walaupun konsumsi alkohol belum menjadi
pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alkohol semakin hari
semakin meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya hidup,
terutama di kota besar. Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria
atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan
demikian membatasi atau menghentikan konsumsi alkohol sangat membantu
dalam penurunan tekanan darah.
- Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek
langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah
satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular, dan pasien sebaiknya
dianjurkan untuk berhenti merokok (PERKI, 2015).
2. Farmakologi
Guideline JNC 8 mencantumkan 9 rekomendasi penanganan hipertensi :
1. Pada populasi umum berusia ≥60 tahun, terapi farmakologis untuk
menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥150 mmHg
atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target sistolik <150 mmHg
dan target diastolik <90 mmHg (Strong Recommendation – Grade A).
2. Pada populasi umum berusia ≥60 tahun, jika terapi farmakologis hipertensi
menghasilkan tekanan darah sistolik lebih rendah (misalnya <140 mmHg) dan
16
ditoleransi baik tanpa efek samping kesehatan dan kualitas hidup, dosis tidak
perlu disesuaikan (Expert Opinion – Grade E).
3. Pada populasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan
tekanan darah dimulai jika tekanan diastolik ≥90 mmHg dengan target tekanan
darah diastolik <90 mmHg (untuk usia 30-59 tahun Strong Recommendation –
Grade A; untuk usia 18-29 tahun expert Opinion – Grade E).
4. Pada populasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan
tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dengan target
tekanan darah sistolik <140 mmHg (Expert Opinion – Grade E).
5. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi
farmakologis untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah
sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target
tekanan darah sistolik <140 mmHg dan target tekanan darah diastolik <90
mmHg (Expert Opinion – Grade E).
6. Pada populasi berusia ≥ 18tahun dengan diabetes, terapi farmakologis untuk
menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg
atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target tekanan darah sistolik
<140 mmHg dan target tekanan darah diastolik <90 mmHg (Expert Opinion –
Grade E).
7. Pada populasi non-kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes,
terapi antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik tipe thiazide, calcium
channel blocker (CCB), angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI) atau
angiotensin receptor blocker (ARB). (Moderate Recommendation - Grade B).
8. Pada populasi kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes, terapi
antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik tipe thiazide atau CCB.
(Untuk populasi kulit hitam: Moderate Recommendation - Grade B; untuk
kulit hitam dengan diabetes: Weak Recommendation - Grade C).
9. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi
antihipertensi awal (atau tambahan) sebaiknya mencakup ACEI atau ARB
untuk meningkatkan outcome ginjal. Hal ini berlaku untuk semua pasien
penyakit ginjal kronik dengan hipertensi terlepas dari ras atau status diabetes.
(Moderate Recommendation - Grade B) (Muhadi, 2016).
17
Tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan mempertahankan target
tekanan darah. Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam 1 bulan perawatan,
tingkatkan dosis obat awal atau tambahkan obat kedua dari salah satu kelas yang
direkomendasikan dalam rekomendasi 6 (thiazide-type diuretic, CCB, ACEI,
atau ARB). Dokter harus terus menilai tekanan darah dan menyesuaikan
regimen perawatan sampai target tekanan darah dicapai. Jika target tekanan
darah tidak dapat dicapai dengan 2 obat, tambahkan dan titrasi obat ketiga dari
daftar yang tersedia. Jangan gunakan ACEI dan ARB bersama-sama pada satu
pasien. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai menggunakan obat di
dalam rekomendasi 6 karena kontraindikasi atau perlu menggunakan lebih dari 3
obat, obat antihipertensi kelas lain dapat digunakan. Rujukan ke spesialis
hipertensi mungkin diindikasikan jika target tekanan darah tidak dapat tercapai
dengan strategi di atas atau untuk penanganan pasien komplikasi yang
membutuhkan konsultasi klinis tambahan (Expert Opinion - Grade E) (JAMA,
2014).
18
Algoritma Penanganan Hipertensi JNC-8
19
Tabel 2.3. Obat Antihipertensi yang Direkomendasikan JNC-8
20
2.1.9. Komplikasi
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa
penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari
kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain
adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down
regulation, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi
garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan
organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi
transforming growth factor-β (TGF-β) (Yogiantoro, 2006).
1. Stroke
Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang diakibatkan oleh.
Stroke timbul karena perdarahan, tekanan intra kranial yang meninggi, atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi.
Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang mendarahi
otak mengalami hipertropi atau penebalan, sehingga aliran darah ke daerah-daerah
yang diperdarahinya akan berkurang. Arteri-arteri di otak yang mengalami
arterosklerosis melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya
aneurisma (Sugihatro, 2007).
Ensefalopati juga dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna atau
hipertensi dengan onset cepat. Tekanan yang tinggi pada kelainan tersebut
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler, sehingga mendorong cairan masuk ke
dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf pusat. Hal tersebut menyebabkan
neuron-neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi koma bahkan kematian (Sugiharto,
2007).
2. Kardiovaskular
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner mengalami arterosklerosis
atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah yang melalui
pembuluh darah tersebut, sehingga miokardium tidak mendapatkan suplai oksigen
yang cukup. Kebutuhan oksigen miokardium yang tidak terpenuhi menyebabkan
21
terjadinya iskemia jantung, yang pada akhirnya dapat menjadi infark (Yogiantoro,
2006).
Beban kerja jantung akan meningkat pada hipertensi. Jantung yang terus-
menerus memompa darah dengan tekanan tinggi dapat menyebabkan pembesaran
ventrikel kiri sehingga darah yang dipompa oleh jantung akan berkurang. Apabila
pengobatan yang dilakukan tidak tepat atau tidak adekuat pada tahap ini, maka
dapat menimbulkan komplikasi gagal jantung kongestif. Demikian juga hipertropi
ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik saat
melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan
risiko pembentukan bekuan (Sugiharto, 2007).
3. Ginjal
Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan
tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan glomerulus akan
mengakibatkan darah mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, sehingga nefron
akan terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal. Kerusakan
membrane glomerulus juga akan menyebabkan protein keluar melalui urin
sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan osmotik koloid
plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama terjadi pada hipertensi kronik
(Yogiantoro, 2006).
4. Retinopati
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah
pada retina. Makin tinggi tekanan darah dan makin lama hipertensi tersebut
berlangsung, maka makin berat pula kerusakan yang dapat ditimbulkan. Kelainan
lain pada retina yang terjadi akibat tekanan darah yang tinggi adalah iskemik optik
neuropati atau kerusakan pada saraf mata akibat aliran darah yang buruk, oklusi
arteri dan vena retina akibat penyumbatan aliran darah pada arteri dan vena retina.
Penderita hypertensive retinopathy pada awalnya tidak menunjukkan gejala, yang
pada akhirnya dapat menjadi kebutaan pada stadium akhir (Sugiharto, 2007).
22
BAB 3
Konsumsi garam
Kejadian Hipertensi pada
Konsumsi lemak
penderita di wilayah kerja
Merokok
Puskesmas Perumnas
Obesitas
Aktivitas fisik
Gambar 4.1. Kerangka konsep penelitian
23
- Sedang, jika konsumsi garam < 1 sendok
teh perhari.
Satu sendok teh garam mengandung 2000
miligram natrium/sodium atau 5 gram garam,
sedangkan batas konsumsi garam yang
disarankan perorang perhari adalah 2000
miligram natrium (Kemenkes RI, 2017).
3. Konsumsi lemak Rasio
Konsumsi lemak diketahui melalui kuisioner
dengan nilai ukur:
- Sering, jika setiap hari mengkonsumsi
makanan berlemak dan/atau gorengan.
- Sedang, jika 1-2 kali dalam seminggu
mengkonsumsi makanan berlemak dan/atau
gorengan.
Batas konsumsi lemak yang disarankan
perorang perhari adalah 67 gram (5 sendok
makan minyak) (Kemenkes RI, 2017).
4. Kebiasaan Merokok Rasio
Kebiasaan merokok diketahui melalui
kuisioner dengan nilai ukur:
- Perokok : aktif dan pasif
- Bukan perokok
5. Obesitas kg/m2 Nominal
Obesitas diperoleh dari hasil perhitungan berat
badan dalam kilogram (kg) dibagi kuadrat dari
tinggi badan dalam meter (m).
IMT = BB (kg) /TB2 (m2).
- Dikategorikan obesitas jika hasil dari
perhitungan IMT tersebut ≥ 25 kg/m2
- Dikategorikan tidak obesitas jika hasil dari
perhitungan IMT tersebut < 25 kg/m2
24
(Menurut kriteria Asia Pasifik)
6. Berolahraga Rasio
Aktivitas olahraga responden diukur melalui
kuisioner dengan nilai ukur:
- Olahraga, jika melakukan olahraga tertentu
seminggu 3 kali dengan waktu sekitar 30
menit.
- Tidak olahraga (Kartikasari, 2012).
3.3. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, dan tinjauan
pustaka yang telah dipaparkan, maka hipotesis yang diajukan adalah:
25
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.3.3. Sampel
Kriteria Inklusi Kasus
a. Menderita hipertensi (pengukuran tekanan darah ≥140/90 mmHg)
b. Pasien dengan riwayat hipertensi dan penyakit penyerta lain.
c. Berusia lebih dari 18 tahun.
d. Tidak mengalami gangguan jiwa.
26
e. Bersedia mengikuti penelitian yang dibuktikan dengan menandatangani
inform consent.
Keterangan:
n : Besar sampel
Zα : Tingkat kepercayaan α = 5% (1,96)
Zβ : Presisi 80% (0,842)
OR x P2
P1 =
(1 − P2) + (OR x P2)
27
Q1 = 1 - P1
Q2 = 1 - P2
Q =1–P
Tabel 4.1. Nilai P2 dan Odds Ratio (OR) beberapa faktor hipertensi yang
dapat dimodifikasi (Sugiharto, 2007)
Variabel P2 OR Sampel
Konsumsi garam (natrium) 0,53 5,66 28
Konsumsi lemak 0,37 7,72 18
Merokok 0,66 6,92 34
Obesitas 0,19 4,02 39
Kurang aktivitas fisik 0,76 4,73 53
Contoh perhitungan besar sampel untuk faktor resiko kurang aktivitas fisik:
P2 = 0,76
OR x P2
P1 =
(1 − P2) + (OR x P2)
4,73 x 0,76
P1 =
(1 − 0,76) + (4,73 x 0,76)
P1 = 0,937
P = ½ (P1 + P2) = ½ (0,937 + 0,76) = 0,8485
Q1 = 1 - P1 = 1 – 0,937 = 0,063
Q2 = 1 - P2 = 1 – 0,76 = 0,24
Q = 1 - P = 1 – 0,371 = 0,1515
2
(1,96√2𝑥 0,8485 𝑥 0,1515+0,842√0,937 𝑥 0,063+0,76 𝑥 0,24)
n= = 53
(0,937−0,76)2
28
4.4. Cara Pengumpulan Data
4.4.1. Materi Penelitian
Materi atau alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara
wawancara, pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter, pengukuran
tinggi badan (cm) menggunakan meteran pengukur tinggi badan, dan berat badan
(kg) menggunakan timbangan, serta memberikan daftar pertanyaan (kuesioner)
yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya, dimana kuesioner tersebut diambil
berdasarkan adaptasi dari kuesioner tesis oleh Sugiharto yang berjudul Faktor-
Faktor Risiko Hipertensi Grade II pada Masyarakat (Studi Kasus di Kabupaten
Karanganyar) tahun 2007. Pengukuran tekanan darah dilakukan setelah
beristirahat selama 5 menit, pasien dalam keadaan pasien duduk, dan manset
dipasangkan pada tangan kiri pasien.
29
4.5. Alur Penelitian
30
2. Editing
Setelah data dikumpulkan lalu dilakukan pengeditan untuk mengecek
kelengkapan data, kesinambungan data dan keseragaman data.
3. Coding
Dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data termasuk dalam
pengelompokan kategori dan pemberian skor.
4. Entry Data
Memasukkan data ke program komputer untuk proses analsis data.
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik responden
menurut kasus dan kontrol, dan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik untuk
mengetahui proporsi masing-masing variabel.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi Square yang digunakan untuk
menguji hipotesis hubungan yang signifikan antara faktor risiko terhadap
hipertensi. Dasar pengambilan keputusan penerimaan hipotesis penelitian
berdasarkan tingkat signifikansi (nilai p) adalah:
a. Jika nilai p > 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak
31
b. Jika nilai p < 0,05 maka hipotesis penelitian diterima
Selanjutnya juga mengetahui besar risiko (Odds Ratio / OR) paparan terhadap
kasus dengan menggunakan tabel 2 x 2 sebagai berikut.
Tabel 4.3. Distribusi faktor risiko pada kelompok kasus dan kontrol
Kasus Kontrol
Penyakit Total
Paparan (+) (-)
Terpapar a b a+b
Tidak terpapar c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d
32
BAB 5
A. Usia Responden
Variabel usia responden dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu usia <60
tahun dan usia ≥60 tahun.
Tabel 5.1. Distribusi karakteristik usia responden hipertensi dan tidak hipertensi
pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas
Usia Responden Hipertensi Tidak Hipertensi
N (%) N (%)
<60 tahun 30 (56,6%) 45 (84,9%)
≥60 tahun 23 (43,4%) 8 (15,1%)
Jumlah 53 (100%) 53 (100%)
33
Berdasarkan tabel 5.1, jumlah responden pada kelompok hipertensi
terbanyak usia <60 tahun sebanyak 30 orang (56,6%) dan usia ≥60 tahun
sebanyak 23 orang (43,4%). Sedangkan jumlah responden pada kelompok kontrol
yang berusia <60 tahun sebanyak 45 orang (84,9%) dan usia ≥60 tahun sebanyak
8 orang (15,1%).
Gambar 5.1. Grafik distribusi karakteristik usia responden hipertensi dan tidak
hipertensi pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas
Tabel. 5.2. Distribusi karakteristik jenis kelamin responden hipertensi dan tidak
hipertensi pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas
Jenis Kelamin Hipertensi Tidak Hipertensi
Responden N (%) N (%)
Laki-Laki 19 (35,8%) 25 (47,2%)
Perempuan 34 (64,2%) 28 (52,8%)
Jumlah 53 (100%) 53 (100%)
34
Berdasarkan tabel 5.2, jumlah responden yang menderita hipertensi adalah
19 orang (35,8%) pada kelompok laki-laki dan 34 (64,2%) pada kelompok
perempuan. Sedangkan jumlah responden yang tidak hipertensi ada sebanyak 25
(47,2%) pada kelompok laki-laki dan 28 (52,8%) pada kelompok perempuan.
Gambar 5.2. Grafik distribusi jenis kelamin responden hipertensi dan tidak
hipertensi pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas
Tabel 5.3. Distribusi tingkat pendidikan responden hipertensi dan tidak hipertensi
pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas
Tingkat Pendidikan Hipertensi Tidak Hipertensi
Responden N (%) N (%)
Tidak Tamat SD 2 (3,8%) 1 (1,9%)
SD 20 (37,7%) 8 (15,1%)
SMP 11 (20,8%) 10 (18,9%)
SMA 10 (18,9%) 28 (52,8%)
Perguruan Tinggi 10 (18,9%) 6 (11,3%)
Jumlah 53 (100%) 53 (100%)
35
Pada tabel 5.3. di atas dapat dilihat bahwa jumlah terbanyak responden
yang tamat SD yaitu sebanyak 20 orang (37,7%) pada kelompok hipertensi. Pada
kelompok tidak hipertensi, pendidikan responden paling banyak adalah tamat
SMA yaitu sebanyak 28 orang (52,8%). Pada kelompok hipertensi, pendidikan
responden paling sedikit adalah tidak tamat SD sebanyak 2 orang (3,8%), dan
pada kelompok tidak hipertensi adalah tidak tamat SD sebanyak 1 orang (1,9%).
Secara umum, distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan pada
kelompok kasus dan kontrol menunjukkan angka yang hampir sama.
Gambar 5.3. Grafik distribusi tingkat pendidikan responden hipertensi dan tidak
hipertensi pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas
D. Pekerjaan Responden
Dari hasil penelitian, distribusi pekerjaan reponden case dan control dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
36
Tabel 5.4. Distribusi pekerjaan responden hipertensi dan tidak hipertensi pada
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas
Pekerjaan Responden Hipertensi Tidak Hipertensi
N (%) N (%)
Pensiunan 6 (11,3%) 2 (3,8%)
PNS/TNI/POLRI 5 (9,4%) 6 (11,3%)
IRT 27 (50,9%) 22 (41,5%)
Wiraswasta 6 (11,3%) 13 (24,5%)
Lain-Lain 9 (17,0%) 10 (18,9%)
Jumlah 53 (100%) 53 (100%)
Gambar 5.4. Grafik distribusi pekerjaan responden hipertensi dan tidak hipertensi
pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas
37
Tabel 5.5. Distribusi riwayat hipertensi dalam keluarga responden hipertensi dan
tidak hipertensi pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas
Riwayat Hipertensi Hipertensi Tidak Hipertensi
Dalam Keluarga N (%) N (%)
Ya 35 (66,0%) 10 (18,9%)
Tidak 18 (34,0%) 43 (81,1%)
Jumlah 53 (100%) 53 (100%)
Gambar 5.5. Grafik distribusi riwayat hipertensi dalam keluarga pada kelompok
hipertensi dan tidak hipertensi di Puskesmas Perumnas
38
variable) dengan kejadian hipertensi (dependent variable). Terdapatnya hubungan
bermakna antara faktor risiko dengan kejadian hipertensi ditunjukkan dengan nilai
p < 0,05, nilai odds ratio (OR) > 1 dan 95% CI tidak mencakup nilai 1.
Gambar 5.6. Grafik distribusi kebiasaan konsumsi garam responden hipertensi dan
tidak hipertensi pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas.
39
B. Kebiasaan Konsumsi Lemak
Kebiasaan sering mengkonsumsi lemak merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya hipertensi. Berdasarkan analisis bivariate dengan uji chi square
didapatkan nilai p = 0,001; OR = 3,925; dan 95% CI = 1,730-8,907.
Tabel 5.7. Distribusi kebiasaan konsumsi lemak responden hipertensi dan tidak
hipertensi pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas
Konsumsi Hipertensi Tidak Hipertensi
p OR 95% CI
Lemak N (%) N (%)
Sering 31 (58,5%) 14 (26,4%)
1,730-
Sedang 22 (41,5%) 39 (73,6%) 0,001* 3,925
8,907
Jumlah 53 (100%) 53 (100%)
Keterangan: * nilai p < 0,05 dengan uji chi - square
Gambar 5.7. Grafik distribusi kebiasaan konsumsi lemak responden hipertensi dan
tidak hipertensi pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas.
C. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi.
Untuk menilai hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi pada
40
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 5.8. Distribusi kebiasaan merokok responden hipertensi dan tidak hipertensi
pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas
Status Hipertensi Tidak Hipertensi
p OR 95% CI
Merokok N (%) N (%)
Perokok 34 (64,2%) 20 (37,7%)
Bukan 1,340-
19 (35,8%) 33 (62,3%) 0,007* 2,953
Perokok 6,504
Jumlah 53 (100%) 53 (100%)
D. Kebiasaan Olahraga
Kurangnya olahraga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi.
Untuk menilai hubungan kurangnya olahraga dengan kejadian hipertensi pada
41
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 5.9. Distribusi aktivitas olahraga responden hipertensi dan tidak hipertensi
pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas
Hipertensi Tidak Hipertensi
Olahraga p OR 95% CI
N (%) N (%)
Olahraga 4 (7,5%) 16 (30,2%)
Tidak 49 (92,5%) 37 (69,8%) 0,058-
0,003 0,189
Olahraga 0,612
Jumlah 53 (100%) 53 (100%)
Gambar 5.9. Grafik distribusi kebiasaan olahraga responden hipertensi dan tidak
hipertensi pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas
E. Status Obesitas
Untuk menilai hubungan obesitas dengan kejadian hipertensi pada masyarakat
di wilayah kerja Puskesmas Perumnas dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
42
Tabel 5.10. Distribusi status obesitas responden hipertensi dan tidak hipertensi
pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas
Hipertensi Tidak Hipertensi
IMT p OR 95% CI
N (%) N (%)
Obese 24 (45,3%) 11 (20,8%)
1,342-
Tidak Obese 29 (54,7%) 42 (79,2%) 0,007 3,160
7,440
Jumlah 53 (100%) 53 (100%)
Gambar 5.10. Grafik distribusi kebiasaan olahraga responden hipertensi dan tidak
hipertensi pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas
5.2. Pembahasan
5.2.1. Gambaran Karakteristik Responden
Faktor risiko hipertensi dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu faktor
risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah (dimodifikasi).
Faktor risiko yang tidak dapat diubah antara lain umur, jenis kelamin, dan genetik.
43
Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah antara lain konsumsi garam yang
berlebih, konsumsi lemak yang berlebih, merokok, tidak berolahraga, dan obesitas
(Sugiharto, 2007).
Usia terbanyak penderita hipertensi yang berobat di Puskesmas Perumnas
adalah usia < 60 tahun (56,6%). Menurut literatur, insiden hipertensi meningkat
seiring dengan pertambahan usia. Hal ini disebabkan karena menurunnya
keelastisan pembuluh darah. Hipertensi merupakan salah satu penyakit
degeneratif, dengan bertambahnya umur maka tekanan darah juga akan meningkat
yang disebabkan beberapa perubahan fisiologis. Pada proses fisiologis terjadi
peningkatan resistensi perifer dan peningkatan aktifitas simpatis, dinding arteri
akan mengalami penebalan karena kolagen yang menumpuk pada lapisan otot,
sehingga pembuluh darah berangsur menjadi sempit dan kaku. Selain itu pada usia
lanjut sensitivitas pengatur tekanan darah yaitu refleks baroreseptor mulai
berkurang, demikian juga halnya dengan peran ginjal dimana aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus menurun, hal ini memicu terjadinya hipertensi
(Yogiantoro, 2006).
Jumlah penderita hipertensi pada perempuan lebih banyak dibandingkan
pada laki-laki (64,2%) yang berobat ke Puskesmas Perumnas. Faktor gender
berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana laki-laki lebih banyak menderita
hipertensi dibandingkan dengan perempuan. Namun, setelah memasuki usia
menopause prevalensi hipertensi pada perempuan lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki yang diakibatkan oleh faktor hormonal. Menurut Cortas K
(2008), prevalensi terjadinya hipertensi pada laki-laki sama dengan perempuan.
Namun, wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause.
Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang
berperan dalam meningkatkan kadar HDL. Kadar kolesterol HDL yang tinggi
merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis.
Pada masa premenopause, perempuan mulai kehilangan sedikit demi sedikit
hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan,
proses ini terus berlanjut dan umumnya terjadi pada perempuan umur 45-55
tahun. Hal ini menyebabkan peningkatan penderita hipertensi wanita pada usia
menopause. Beberapa ahli masih mempunyai kesimpulan berbeda, terdapat
44
perbandingan yang bervariasi antara laki-laki dan perempuan. Pada penelitan
Sugiharto (2007), prevalensi hipertensi pada laki-laki lebih besar yaitu 51,6%
sedangkan pada perempuan 48,4% di kabupaten Karanganyar.
Berdasarkan karakteristik tingkat pendidikan pasien hipertensi terbanyak
adalah tamat SD (37,7%). Tingkat pendidikan mempengaruhi cara berpikir dan
pemahaman seseorang. Keberhasilan dalam pengobatan pasien hipertensi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kepatuhan dalam
mengkonsumsi obat antihipertensi. Selain itu, untuk mencegah timbulnya
komplikasi, maka perlu dilakukan upaya pemeliharaan mengenai penyakit kronis,
salah satunya mengikuti kegiatan Prolanis (Program Pengelolaan Penyakit
Kronis). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kartikasari (2017) di
beberapa Puskesmas Kota Malang, terdapat hubungan antara tingkat kepatuhan
pasien dengan tingkat pendidikan pasien hipertensi pada peserta Prolanis.
Berdasarkan hasil pengolahan univariat didapatkan hasil bahwa sebagian
besar penderita hipertensi memiliki riwayat hipertensi dalam keluarga (66,0%).
Adanya faktor genetik pada keluarga akan menyebabkan keluarga itu mempunyai
risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar
natrium intraseluler. Penelitian yang dilakukan Sugiharto (2007), menemukan
bahwa risiko hipertensi pada pasien yang mempunyai riwayat hipertensi dalam
keluarga lebih tinggi 4,04 kali dibandingkan pasien yang tidak memiliki riwayat
hipertensi dalam keluarga.
45
A. Konsumsi Lemak
Faktor risiko konsumsi lemak yang sering terbukti merupakan faktor risiko
terjadinya hipertensi dengan hasil analisis bivariat untuk nilai p = 0,001; OR =
3,925; dan 95% CI = 1,730-8,907. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden
dengan kebiasaan sering mengkonsumsi makanan berlemak, berminyak, atau
gorengan, memiliki risiko terkena hipertensi 3,925 kali lebih besar bila
dibandingkan dengan responden yang jarang mengkonsumsi makanan berlemak,
berminyak, atau gorengan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sugiharto (2007), menyatakan bahwa kebiasaan sering mengkonsumsi lemak
jenuh yaitu ≥ 3 kali dalam seminggu terbukti sebagai faktor risiko yang
berpengaruh terhadap kejadian hipertensi sebesar 7,72 kali dibandingkan orang
yang tidak biasa mengkonsumsi lemak jenuh.
Kebiasaan mengkonsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan
berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga
meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan
darah. Kandungan bahan kimia dalam minyak goreng terdiri dari beraneka asam
lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tidak jenuh (ALTJ). Minyak goreng yang
tinggi kandungan ALTJ-nya hanya memiliki nilai tambah gorengan pertama saja.
Penggunaan minyak goreng lebih dari satu kali pakai dapat merusak ikatan kimia
pada minyak, dan hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kolesterol yang
berlebihan sehingga dapat menyebabkan aterosklerosis dan hal yang memicu
terjadinya hipertensi dan penyakit jantung (Haris dan Taralan, 2009).
B. Kebiasaan Merokok
Berdasarkan analisis univariat didapatkan penderita hipertensi yang
merokok sebesar 56,6%. Berdasarkan analisis bivariate dengan uji chi square
didapatkan nilai p = 0,007; OR = 2,953; dan 95% CI = 1,340-6,504. Nilai p <
0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden yang merokok memiliki risiko
terkena hipertensi 2,953 kali lebih besar bila dibandingkan dengan responden
yang tidak merokok. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Setyanda, Delmi, dan Yuniar (2015) didapatkan adanya hubungan antara
kebiasaan merokok dengan hipertensi (p = 0,003) yaitu dipengaruhi oleh lama
46
merokok dan jenis rokok, tapi tidak terdapat hubungan anatara jumlah rokok
dengan kejadian hipertensi pada laki-laki usia 35-65 tahun di kota Padang.
Merokok dapat menyebabkan hipertensi akibat zat-zat kimia yang
terkandung di dalam tembakau yang dapat merusak lapisan dalam dinding arteri,
sehingga arteri lebih rentan terjadi penumpukan plak (arterosklerosis). Hal ini
terutama disebabkan oleh nikotin yang dapat merangsang sistem saraf simpatis
sehingga memacu kerja jantung lebih keras dan menyebabkan penyempitan
pembuluh darah, serta peran karbonmonoksida yang dapat menggantikan oksigen
dalam darah sehingga memaksa jantung memenuhi kebutuhan oksigen tubuh
(Sugiharto, 2007).
C. Konsumsi Garam
Hasil analisis menunjukan bahwa kejadian hipertensi lebih banyak diderita
oleh responden yang asupan natriumnya sering (54,7%) daripada responden yang
asupan natriumnya sedang (45,3%). Berdasarkan analisis bivariate dengan uji chi
square didapatkan nilai p = 0,173; OR = 1,707; dan 95% CI = 0,790-3,688. Oleh
karena nilai p tidak < 0,05, maka kebiasaan konsumsi garam tidak signifikan
sebagai faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Perumnas. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Anggara dan Nanang (2013), menyatakan bahwa kejadian hipertensi lebih banyak
diderita oleh seseorang yang asupan natriumnya sering sebesar 61,3% daripada
seseorang yang asupan natriumnya tidak sering sebesar 9,1%. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa ada hubungan antara asupan natrium dengan tekanan darah
dengan nilai p = 0,000. Hasil penelitian Sugiharto (2007), menyatakan bahwa
konsumsi makanan asin mempunyai hubungan dengan kejadian hipertensi,
seseorang yang terbiasa mengkonsumsi makanan asin berisiko menderita
hipertensi 3,95 kali dibandingkan orang yang tidak terbiasa mengkonsumsi
makanan asin.
Pengaruh asupan natrium terhadap hipertensi melalui peningkatan volume
darah, curah jantung, dan tekanan darah. Keadaan ini diikuti oleh peningkatan
ekskresi kelebihan garam sehingga kembali pada keadaan hemodinamik.
Mekanisme ini menjadi terganggu dalam hipertensi yang tidak diketahui
penyebabnya dan ada faktor lain yang berpengaruh. Hipertensi hampir tidak
47
pernah ditemukan dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari
3 gram setiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi yang rendah dan asupan
garam 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%
(Sugiharto, 2007). Batas konsumsi natrium yang dianjurkan American Heart
Association tidak lebih dari 2.300 gram perhari atau setara dengan 1 sendok teh
garam. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dietary Approaches to Stop
Hypertension (DASH) bekerja sama dengan U.S. National Institutes of Health
menyimpulkan bahwa konsumsi natrium tidak lebih dari 2.300 gram perhari.
D. Kebiasaan Olahraga
Berdasarkan analisis bivariat dengan uji chi square didapatkan nilai p = 0,003;
OR = 0,189; dan 95% CI = 0,058-0,612. Nilai p < 0,05, maka kebiasaan olahraga
signifikan sebagai faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada masyarakat di
wilayah kerja Puskesmas Perumnas. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Anggara dan Nanang (2013), menyatakan bahwa olahraga tidak
teratur memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian hipertensi, dengan (p
= 0,000; OR = 44,1; 95% CI = 8,85 – 219,74), berarti orang yang tidak teratur
berolahraga memiliki risiko terkena hipertensi sebesar 44,1 kali dibandingkan
dengan orang yang memiliki kebiasaan olahraga teratur. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Hernelahti, Kujala, Kaprio J, et.al dalam
Sugiharto 2007). Mereka menyatakan bahwa tidak teratur melakukan olahraga
akan meningkatkan risiko terkena hipertensi sebesar 2,33 kali dibanding dengan
yang teratur berolahraga
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga
isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan
tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi.
Kurang melakukan olahraga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas
dan jika asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi.
Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena
meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga
cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot
jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan
48
sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada
arteri (Haris dan Taralan, 2009).
E. Status Obesitas
Indeks massa tubuh ( IMT) yang tergolong obesitas yaitu IMT ≥ 25 tidak
terbukti merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi pada penelitian ini karena
nilai p = 0,007; OR = 3,160 dan 95% CI = 1,342-7,440. Nilai p < 0,05, maka
status obesitas responden signifikan sebagai salah satu faktor risiko yang dapat
dimodifikasi pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Perumnas. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugiharto (2007)
yang menyatakan individu dengan obesitas (IMT ≥ 25) berisiko terkena hipertensi
sebesar 4,02 kali dibandingkan individu yang tidak obesitas. Menurut beberapa
pakar dikatakan bahwa Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena
beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan
untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah
yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi
tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan
frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin
menyebabkan tubuh menahan natrium dan air (Yogiantoro, 2006).
Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan luaran
energi, yaitu asupan energi yang tinggi atau luaran energi yang rendah. Asupan
energi tinggi disebabkan konsumsi makanan yang berlebihan, sedangkan luaran
energi rendah disebabkan metabolism tubuh yang rendah, aktivitas fisik, dan efek
termogenesis makanan. Kelebihan energi disimpan dalam bentuk jaringan lemak.
Hubungan antara obesitas dan hipertensi telah lama diketahui dan telah banyak
dilaporkan oleh banyak peneliti, namun mekanisme terjadinya hipertensi akibat
obesitas hingga saat ini belum jelas. Sebagian besar peneliti menitikberatkan
patofisiologi tersebut pada tiga hal utama yaitu gangguan sistem autonom,
resistensi insulin, serta abnormalitas struktur dan fungsi pembuluh darah. Ketiga
hal tersebut dapat saling mempengaruhi satu dengan lainnya (Haris dan Taralan,
2009).
49
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Usia terbanyak penderita hipertensi yang berobat di Puskesmas Perumnas
adalah usia < 60 tahun (56,6%).
b. Jumlah penderita hipertensi pada perempuan lebih banyak dibandingkan
pada laki-laki (64,2%) yang berobat ke Puskesmas Perumnas.
c. Tingkat pendidikan pasien hipertensi terbanyak adalah tamat SD (37,7%).
d. Sebagian besar penderita hipertensi memiliki riwayat hipertensi dalam
keluarga (66,0%).
2. Faktor-faktor yang dapat dimodifikasi yang terbukti merupakan faktor risiko
terjadinya hipertensi dalam penelitian ini adalah :
a. Faktor risiko konsumsi lemak yang sering terbukti merupakan faktor risiko
terjadinya hipertensi dengan hasil analisis bivariat untuk nilai p = 0,001;
OR = 3,925; dan 95% CI = 1,730-8,907. Hal ini menunjukkan bahwa
responden dengan kebiasaan sering mengkonsumsi makanan berlemak
(jika setiap hari mengkonsumsi makanan berlemak dan/atau gorengan)
memiliki risiko terkena hipertensi 3,925 kali lebih besar bila dibandingkan
dengan responden yang jarang mengkonsumsi makanan berlemak,
berminyak, atau gorengan.
b. Faktor risiko merokok juga terbukti merupakan faktor risiko terjadinya
hipertensi. Berdasarkan analisis bivariate dengan uji chi square didapatkan
nilai p = 0,007; OR = 2,953; dan 95% CI = 1,340-6,504. Nilai p < 0,05, hal
ini berarti responden yang merokok memiliki risiko terkena hipertensi
2,953 kali lebih besar bila dibandingkan dengan responden yang tidak
merokok.
c. Faktor risiko kebiasaan olahraga yang tidak teratur berdasarkan analisis
bivariat dengan uji chi square didapatkan nilai p = 0,003; OR = 0,189; dan
50
95% CI = 0,058-0,612. Nilai p < 0,05, maka kebiasaan tidak berolahraga
signifikan sebagai faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada masyarakat
di wilayah kerja Puskesmas Perumnas.
d. Faktor risiko indeks massa tubuh ( IMT) yang tergolong obesitas yaitu
IMT ≥ 25 terbukti merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi pada
penelitian ini karena berdasarkan analisis bivariat dengan uji chi square
didapatkan nilai p = 0,007; OR = 3,160 dan 95% CI = 1,342-7,440.
6.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat
disampaikan adalah sebagai berikut:
1. Dinas Kesehatan dan Puskesmas
a. Diharapkan dapat menggalang kerja sama dengan lintas sektor yang
terdekat dengan masyarakat seperti PKK, organisasi keagamaan, kader
kesehatan, dan lain-lain, dalam upaya deteksi dini hipertensi, dapat berupa
penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan masyarakat.
b. Dilakukan pembentukan semacam pos pembinaan terpadu untuk usia ≥ 35
tahun. Pos pembinaan terpadu ini mencakup beberapa kegiatan seperti
pengukuran berat badan dan tinggi badan untuk menilai indeks massa
tubuh, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan gula darah dan kolesterol,
konseling dan penyuluhan (diet, merokok, stress, aktifitas fisik), dan
olahraga bersama.
51
c. Upaya promotif dan preventif lain dapat dilakukan dengan penyediaan
sarana informasi yang mudah diakses masyarakat seperti leaflet dan poster
tentang faktor risiko hipertensi.
2. Masyarakat
a. Rutin melakukan pemeriksaan kesehatan terutama pengukuran tekanan
darah ke fasilitas pelayanan kesehatan minimal satu kali dalam sebulan.
b. Bagi individu yang memiliki riwayat hipertensi dalam keluarga harus lebih
hati-hati terutama menjaga pola hidup sehat karena faktor risiko ini tidak
bias dimodifikasi, hendaknya melakukan upaya pencegahan faktor risiko
lain yang dapat dimodifikasi.
c. Menghindari konsumsi makanan pencetus terjadinya hipertensi seperti
makanan asin dan makanan mengandung lemak jenuh seperti minyak
goreng bekas atau jelantah karena jelantah mengandung lemak jenuh yang
sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh yang dapat meningkatkan kadar
kolesterol darah.
d. Hindari kebiasaan merokok, karena dari penelitian yang dilakukan di
Puskesmas Perumnas membuktikan bahwa merokok merupakan faktor
risiko hipertensi pada masyarakat.
e. Melakukan olahraga secara teratur 3 - 4 kali seminggu minimal 30 menit.
Sebelum melakukan olahraga, hitung nadi terlebih dahulu dan sesaat
setelah berolahraga, nadi diharapkan mencapai zona sasaran 75%–85%
dari nadi maksimal (220 – umur).
f. Menjaga berat badan ideal dengan rutin berolah raga dan melakukan diet
yang seimbang.
g. Belajar mengendalikan stress dengan membiasakan diri untuk hidup
bertawakal sehingga dapat terhindar dari tekanan jiwa berlebihan, untuk
mencegah timbulnya tekanan darah yang meningkat.
52
DAFTAR PUSTAKA
53
Kartikasari, AN. 2012. Faktor Risiko Hipertensi Pada Masyarakat di Desa
Kabongan Kidul, Kabupaten Rembang. Available from:
http://ejournal3.undip.ac.id. Diakses pada 28 Desember 2018.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2016. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/pusdatin/lain-lain/Data. Diakses pada 1
Januari 2018.
Muhadi. 2016. JNC-8 Evidence-based Guideline Penanganan Pasien Hipertensi
Dewasa. CDK-236/vol.43 no.1, th.2016: 54-59.
Mutiarawati, R. 2009. Hubungan antara Olahraga dengan Kejadian Hipertensi
pada Usia 45-54 Tahun di Wilayah Kelurahan Tlogosari Kulon Kecamatan
Pedurungan Semarang Tahun 2009. Universitas Negeri Semarang.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman
Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular Edisi Pertama.
Indonesian Heart Association. Jakarta.
Rustandi, H. dan Jupiter, A.H. 2017. Hubungan Pengetahuan dan Gaya Hidup
dengan Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Basuki Rahmad
Kota Bengkulu. Journal of Nursing and Public Health. 2017; 5(1).
Setyanda, YOG. Delmi, S. dan Yuniar, L. 2015. Hubungan Merokok dengan
Kejadian Hipertensi pada Laki-Laki Usia 35-65 Tahun di Kota Padang.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(2): 434-440.
Sugiharto, A. 2007. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Grade II pada Masyarakat
(Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar). Semarang. Available from:
https://eprints.undip.ac.id/. Diakses pada 2 Januari 2019.
Sulastri, D. Elmatris. dan Rahmi, R. 2012. Hubungan Obesitas dengan Kejadian
Hipertensi pada Masyarakat Etnik Minangkabau di Kota Padang. Majalah
Kedokteran Andalas No. 2. Vol. 36. Juli-Desember 2012:188-201.
Yogiantoro. 2006. Hipertensi Esensial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. edisi IV. Jakarta: FK UI.
54
LAMPIRAN
Peneliti,
SURAT PERSETUJUAN UNTUK MENGISI KUESIONER
( ) ( )
FAKTOR RISIKO HIPERTENSI YANG DAPAT DIMODIFIKASI
DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI
DI PUSKESMAS PERUMNAS TAHUN 2019
No. Responden
A. Identitas Responden
1. Nama :
2. Alamat : 6. Pekerjaan : 1. Pensiunan
3. Jenis Kelamin : 1. Laki-Laki 2. PNS/TNI/POLRI
3. IRT
2. Perempuan 4. Wiraswasta
5. Pegawai Swasta
4. Umur : …… Tahun 6. Lain-Lain
5. Pendidikan : 1. Tidak Tamat SD
2. SD 7. Riwayat Keluarga Hipertensi
3. SMP a. Ya, (sebutkan………………)
4. SMA b. Tidak
5. Akademi/PT
B. Konsumsi Garam
1. Apakah anda mengkonsumsi makanan asin ?
a. Ya
b. Tidak
2. Seberapa sering anda mengkonsumsi makanan asin?
a. ≥ 1 kali perhari
b. 1-6 kali dalam seminggu
c. ≤ 3 kali dalam sebulan
3. Berapa banyak anda mengkonsumsi garam dalam sehari?
a. ≥ 1 sendok teh perhari
b. < 1 sendok teh perhari
C. Konsumsi Lemak
1. Apakah anda mengkonsumsi makanan berlemak seperti makanan yang
digoreng/gorengan, santan (gulai), jeroan, dan lain-lain?
a. Sering, ≥ 1 kali perhari
b. Kadang-kadang, 1-6 kali dalam seminggu
c. Jarang, ≤ 3 kali dalam sebulan
D. Kebiasaan Merokok
1. Apakah anda merokok?
a. Merokok, jumlah rokok : ………………… batang/hari
b. Tidak Merokok
2. Sudah berapa lama anda merokok?
a. <10 tahun
b. 10-20 tahun
c. >20 tahun
d. Tidak pernah
3. Apakah anda sering terpapar asap rokok?
a. Ya, berapa jam anda terpapar asap rokok dalam sehari : ….. jam
b. Tidak
E. Frekuensi Olahraga
1. Apakah anda rutin berolahraga?
a. Sering, olahraga seminggu 3 kali dengan waktu sekitar 30 menit
(jenis olahraga : ………………….)
b. Kadang-kadang, olahraga seminggu <3 kali dengan waktu sekitar 10
menit (jenis olharga : ………………….)
c. Tidak pernah berolahraga
F. Observasi dan Pengukuran
1. Tekanan Darah : mmHg
2. Tinggi Badan : cm
3. Berat Badan : kg
4. Indeks Massa Tubuh (IMT) : kg/m2
5. Status Obesitas : a. Ya b. Tidak
LAMPIRAN
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Exact Exact Sig.
Sig. (2- Sig. (2- (1-sided)
sided) sided)
Pearson Chi-
1,860a 1 ,173
Square
Continuity
1,366 1 ,242
Correctionb
Likelihood Ratio 1,865 1 ,172
Fisher's Exact Test ,242 ,121
Linear-by-Linear
1,842 1 ,175
Association
N of Valid Cases 106
a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 24,50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence
Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
Konsumsi Garam 1,707 ,790 3,688
(Sering / Sedang)
For cohort Status
1,310 ,881 1,947
Hipertensi = Hipertensi
For cohort Status
Hipertensi = Tidak ,768 ,524 1,123
Hipertensi
N of Valid Cases 106
Risk Estimate
Value 95% Confidence
Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
Konsumsi Lemak 3,925 1,730 8,907
(Sering / Sedang)
For cohort Status
1,910 1,296 2,814
Hipertensi = Hipertensi
For cohort Status
Hipertensi = Tidak ,487 ,303 ,782
Hipertensi
N of Valid Cases 106
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Exact Sig. Exact
Sig. (2- (2-sided) Sig. (1-
sided) sided)
Pearson Chi-
7,399a 1 ,007
Square
Continuity
6,380 1 ,012
Correctionb
Likelihood Ratio 7,488 1 ,006
Fisher's Exact Test ,011 ,006
Linear-by-Linear
7,329 1 ,007
Association
N of Valid Cases 106
a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 26,00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence
Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
Kebiasaan Merokok
2,953 1,340 6,504
(Perokok / Bukan
Perokok)
For cohort Status
1,723 1,141 2,603
Hipertensi = Hipertensi
For cohort Status
Hipertensi = Tidak ,584 ,390 ,874
Hipertensi
N of Valid Cases 106
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Exact Exact Sig.
Sig. (2- Sig. (2- (1-sided)
sided) sided)
Pearson Chi-
8,874a 1 ,003
Square
Continuity
7,457 1 ,006
Correctionb
Likelihood Ratio 9,390 1 ,002
Fisher's Exact Test ,005 ,003
Linear-by-Linear
8,791 1 ,003
Association
N of Valid Cases 106
a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 10,00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence
Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
Frekuensi Olahraga
,189 ,058 ,612
(Olahraga / Tidak
Olahraga)
For cohort Status
,351 ,143 ,860
Hipertensi = Hipertensi
For cohort Status
Hipertensi = Tidak 1,859 1,340 2,580
Hipertensi
N of Valid Cases 106
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Exact Exact
Sig. (2- Sig. (2- Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-
7,209a 1 ,007
Square
Continuity
6,142 1 ,013
Correctionb
Likelihood Ratio 7,340 1 ,007
Fisher's Exact Test ,013 ,006
Linear-by-Linear
7,141 1 ,008
Association
N of Valid Cases 106
a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 17,50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence
Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
Obesitas (Obesitas / 3,160 1,342 7,440
Tidak Obesitas)
For cohort Status
1,679 1,173 2,403
Hipertensi = Hipertensi
For cohort Status
Hipertensi = Tidak ,531 ,314 ,899
Hipertensi
N of Valid Cases 106