Anda di halaman 1dari 32

Evaluasi Penggunaan Obat

Kesesuaian antara Hasil Diagnosa Dokter dan Data Pemeriksaan


Fisik/Penunjang dengan Obat yang Diresepkan kepada Pasien Rawat Jalan
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun Oleh :

Faradina Qorina Nadzif, S.Farm I4C022014 UNSOED


Isyaura Bellafasya Rohendiputri, S.Farm 2207062087 UAD

Noviyanti Kai, S.Farm K110225068 UMS

Nur Hanafi, S.Farm K110225070 UMS

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


RSUD PROF DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO PERIODE
DESEMBER 2022 - JANUARI 2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullah wabarokatuh


Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
atas berkat rahmat dan karunia-Nya telah memberikan pengetahuan, kemudahan,
dan kekuatan untuk menyelesaikan laporan tugas DUE ( Drug Use Evaluasion )
hingga tepat waktunya.
Penyusun menyadari bahwa dalam melaksanakan Praktek Kerja Profesi
Apoteker dan penyusunan laporan ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung
berupa bimbingan, arahan dan masukan. Oleh karena itu, dengan segenap
kerendahan hati pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yag telah membantu
dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan ini tidak lepas dari
kesalahan sehingga jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini. Besar
harapan kami, semoga laporan ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian dan menjadi bekal untuk
pengabdian profesi Apoteker. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Purwokerto, Desember 2022

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

SAMPU
L................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv
DAFTAR TABEL....................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................3
1.3 Tujuan........................................................................................................3
1.4 Manfaat......................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1 Evaluasi Penggunaan Obat........................................................................4
2.2 Penggunaan Obat yang Rasional...............................................................5
2.3 Formularium Nasional...............................................................................7
BAB III METODE PENELITIAN...........................................................................8
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian....................................................................8
3.2 Bahan, Alat Ukur, dan Instrumen Penelitian.............................................8
3.3 Pengumpulan Data.....................................................................................8
3.4 Analisis Data..............................................................................................8
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................9
4.1 Hasil................................................................................................................9
4.1.1 Karakteristik Pasien............................................................................9
4.1.2 Hasil Diagnosa...................................................................................9
4.1.3 Obat yang Diresepkan......................................................................10
4.1.4 Evaluasi Penggunaan Obat...............................................................11
4.2 Pembahasan.............................................................................................15
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................21
5.1 Kesimpulan..............................................................................................21
5.2 Saran........................................................................................................21

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4. 1 Data Diagnosa pasien rawat jalan.....................................................10


Gambar 4. 2 Data obat yang diresepkan pasien rawat jalan...................................11

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Data Diagnosa pasien rawat jalan............................................................9


Tabel 4.2. Obat yang diresepkan............................................................................10
Tabel 4. 3 Presentase Jumlah Ketidaksesuaian/DRP pada Resep..........................13
Tabel 4. 4 Jenis DRP (Drug Related Problem) pada Resep...................................13

v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Prof. Dr. Margono Soekarjo merupakan rumah sakit milik pemerintah provinsi
Jawa Tengah yang menjadi rumah sakit rujukan untuk pengobatan maupun
perawatan. Rumah sakit ini terdiri dari beberapa satelit farmasi, diantaranya yaitu
satelit farmasi rawat jalan. Satelit ini termasuk dalam instalasi farmasi yang
merupakan unit pelaksana fungsional untuk menyelenggarakan seluruh kegiatan
pelayanan kefarmasian yang bertanggung jawab meliputi kegiatan pengelolaan
perbekalan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai dan pelayanan
farmasi klinis di Rumah Sakit. Pengelolaan perbekalan farmasi meliputi
pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian, dan administrasi
(Kemenkes RI, 2016).
Dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat, berbagai upaya
telah dilakukan oleh pemerintah, salah satunya adalah meningkatkan mutu
pelayanan di rumah sakit. Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada
masyarakat, pemerintah telah memberlakukan suatu standar pelayanan
kefarmasian di rumah sakit dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
Tujuan diberlakukannya standar tersebut adalah sebagai pedoman praktik apoteker
dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang
tidak profesional dan untuk melindungi profesi dalam menjalankan praktek
kefarmasian (Kemenkes RI, 2016).
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit, disebutkan bahwa setiap tenaga kesehatan yang bekerja di
Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan

1
rumah sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi,
menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien. Untuk dapat
melaksanakan pelayanan farmasi yang paripurna, apoteker di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit harus melaksanakan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care)
yang meliputi: pelayanan farmasi non klinik (manajerial) dan pelayanan farmasi
klinik.
Pelayanan Kefarmasian adalah salah satu bagian pelayanan di rumah sakit
yang tidak terpisahkan serta berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai yang bermutu dan
terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik.
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat (Permenkes,
2016). Alur pelayanan yang buruk dapat merugikan merugikan pasien,
mengurangi kepuasan pasien dan menambah biaya karena kurang efisien dalam
menggunakan sumber daya karyawan (Silva, 2013).
Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang
penyakit. Hakikat dasar rumah sakit adalah pemenuhan kebutuhan dan tuntutan
pasien yang mengharapkan penyelesaian masalah kesehatannya pada rumah sakit.
Pasien memandang bahwa hanya rumah sakit yang mampu memberikan
pelayanan medis sebagai upaya penyembuhan dan pemulihan atas rasa sakit yang
dideritanya. Pasien mengharapkan pelayanan yang siap, cepat, tanggap, dan
nyaman terhadap keluhan penyakit pasien.salah satu rumah sakit umum yang ada
di kabupaten Banyumas adalah RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
yang merupakan Rumah Sakit Kelas B Pendidikan milik Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah. Berdasarkan latar belakang diatas maka dilakukan evaluasi
penggunaan obat mengenai kesesuaian antara hasil diagnosa dokter dan data
pemeriksaan fisik/penunjang dengan obat yang diresepkan kepada pasien rawat
jalan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

2
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana evaluasi penggunaan obat mengenai kesesuaian antara hasil
diagnosa dokter dan data pemeriksaan fisik/penunjang dengan obat yang
diresepkan kepada pasien rawat jalan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui evaluasi penggunaan obat mengenai kesesuaian antara
hasil diagnosa dokter dan data pemeriksaan fisik/penunjang dengan obat yang
diresepkan kepada pasien rawat jalan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu mengetahui evaluasi penggunaan obat mengenai
kesesuaian antara hasil diagnosa dokter dan data pemeriksaan fisik/penunjang
dengan obat yang diresepkan kepada pasien rawat jalan di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Evaluasi Penggunaan Obat
Evaluasi Penggunaan Obat yang baik merupakan suatu evaluasi penggunaan
obat yang terstruktur dan saling berkesinambungan secara kualitatif dan
kuantitatif. Tujuan Evaluasi penggunaan obat adalah untuk mendapatkan
gambaran dari pola penggunaan obat, membandingkan pola penggunaan obat
pada periode waktu tertentu,memberikan saran untuk perbaikan penggunaan obat,
dan melihat pengaruh intervensi terhadap penggunaan obat (Permenkes, 2016).
Peran apoteker dalam evaluasi penggunaan obat adalah dalam hal
mengevaluasi penggunaan obat secara kualitatif dan kuantitatif. Evaluasi secara
kuantitatif adalah evaluasi penggunaan obat yang didasarkan pada jumlah pasien
terbanyak, jumlah penggunaan golongan obat terbanyak, dan jumlah penyakit
terbanyak. Sedangkan evaluasi secara kualitatif adalah evaluasi penggunaan obat
yang didasarkan pada kriteria penggunaan obat yang telah ditetapkan terlebih
dahulu indikatornya misalnya dosis obat, interaksi obat dan efek samping obat.
Faktor – faktor yang perlu diperhatikan adalah indikator peresepan, indikator
pelayanan dan indikator fasilitas.
Pemantauan penggunaan obat terdapat dua cara seperti:
1. Pemantauan Secara Langsung
Melakukan pengamatan pada proses pengobatan mulai dari anamnesis,
pemeriksaan, peresepan, hingga penyerahan obat kepada pasien. Pemantauan
penggunaan obat dengan cara ini dapat dilakukan secara berkala, sehingga
diperoleh gambaran nyata mengenai praktik pemakaian obat yang berlangsung
pada saat itu.
Komponen Pemantauan Penggunaan Obat dilakukan terhadap :
1) Kecocokan antara gejala (symptoms/signs), diagnosis dan jenis pengobatan
yang diberikan.
2) Kesesuaian antara pengobatan yang diberikan dengan pedoman pengobatan
yang ada.
3) Pemakaian obat tanpa indikasi yang jelas

4
4) Praktek polifarmasi untuk keadaan yang sebenarnya cukup hanya diberikan
satu atau 2 jenis obat.
5) Ketepatan indikasi.
6) Ketepatan jenis, jumlah, cara dan lama pemberian
7) Kesesuaian obat dengan kondisi pasien
2. Pemantauan secara tidak langsung dapat dilakukan melalui kecocokan dan
ketepatan antara:
1) Gejala dan tanda yang ditemukan selama anamnesis dan pemeriksaan
2) Diagnosis yang dibuat dalam kartu status penderita
3) Terapi yang diberikan (termasuk jenis, jumlah, dan cara pemberian obat)
2.2 Penggunaan Obat yang Rasional
WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia
diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari
pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Secara praktis, penggunaan obat
dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat.
Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa
mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga
tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
2. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifi k. Antibiotik, misalnya
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
3. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang
memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

5
4. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek
terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi
yang diharapkan.
5. Tepat Cara Pemberian
Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,
sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivitasnya.
6. Tepat Interval Waktu Pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis,
agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang
harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum
dengan interval setiap 8 jam.
7. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masingmasing. Untuk
Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama
pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat
yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh
terhadap hasil pengobatan.
8. Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka
merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan
vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh
dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada
gigi dan tulang yang sedang tumbuh.

6
9. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas
terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofi lin dan aminoglikosida. Pada
penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya
dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini
meningkat secara bermakna.
2.3 Formularium Nasional
Formularium Nasional merupakan daftar obat yang disusun berdasarkan
pada bukti ilmiah mutakhir, dimana obat obat yang terdaftar merupakan obat obat
yang berkhasiat, aman, dan dengan harga yang lebih terjangkau. Menurut
Kepmenkes No. 328 tahun 2013 Formularium Nasional wajib digunakan sebagai
acuan dalam penulisan resep di seluruh fasilitas kesehatan, baik fasilitas kesehatan
tingkat pertama, maupun fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (Menkes,
2013). Dengan adanya Formularium Nasional dapat meningkatkan penggunaan
obat rasional, mengendalikan biaya dan mutu pengobatan, mengoptimalkan
pelayanan kesehatan kepada pasien, menjamin ketersediaan obat yang dibutuhkan
untuk pelayanan kesehatan, meningkatkan efisiensi anggaran pelayanan kesehatan
(Depkes, 2014).

7
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di instalasi farmasi rawat jalan Rumah Sakit Umum
Daerah Prof. Dr. Margono Soekarjo dari tanggal 21 Desember 2022 sampai
tanggal 27 Desember 2022.
3.2 Bahan, Alat Ukur, dan Instrumen Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rekam medis pasien
umum atau non-BPJS yang datang berobat dari tanggal 1 Desember 2022 – 10
Desember 2022 di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr.
Margono Soekarjo. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Pharmacotherapy Handbook 9th Edition dan Formularium Nasional tahun 2022.
Instrumen penelitian adalah lembar kerja pengambilan data dan alat tulis.
3.3 Pengumpulan Data
Data yang diambil meliputi nomor registrasi, nomor rekam medis, nama
pasien, diagnosa dokter, obat yang diberikan, dosis dan aturan pakai, serta data
penunjang yang ada. Pengumpulan data melalui sistem manual dan komputerisasi.
Sistem manual dilakukan dengan melihat rekapan lembar resep sedangkan sistem
komputerisasi melalui EMRI RSUD Margono Soekarjo. Waktu pengambilan data
dilakukan pada hari kamis dan jumat tanggal 22 dan 23 Desember 2022.
3.4 Analisis Data
Data dianalisis berdasarkan kesesuaian antara diagnosa dokter dengan obat
yang diberikan menggunakan buku Pharmacotherapy Handbook 9th Edition dan
Formularium Nasional tahun 2022 sebagai panduan. Evaluasi dilakukan terhadap
jenis obat serta dosis yang diresepkan dan diagnosa dokter beserta data penunjang
medik pasien.

8
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pengambilan data
secara retrospektif dari rekam medis pasien di Apotek Farmasi Rawat Jalan
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Sampel pada penelitian ini yaitu pasien rawat
jalan non BPJS RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo periode 1-10 Desember 2022.
4.1.1 Karakteristik Pasien
Pasien yang dipilih merupakan pasien rawat jalan non BPJS yang menerima
resep periode 1-10 Desember 2022 yang dilakukan sampling hingga didapatkan
100 resep. Karakteristik subjek penelitian ini dilihat berdasarkan diagnosa, data
pemeriksaan fisik dan obat yang diterima pasien.
4.1.2 Hasil Diagnosa
Dari sampel yang diambil, gambaran diagnosa pasien rawat jalan non BPJS dapat
dilihat pada Tabel 4.1 dan Gambar 4.1
Tabel 4.1 Data Diagnosa pasien rawat jalan
Jumlah
No Diagnosa
Pasien
1 Penyakit dalam 19
2 Kejiwaan 15
3 THT 12
4 Onkologi 7
5 Obsentri dan Ginekologi 7
6 Bedah syaraf 7
7 Urologi 6
8 Paru 5
9 Bedah ortopedi 5
10 Mata 4
11 Bedah umum 4
12 Anak 4
13 Bedah Mulut 2
14 Jantung dan Pembuluh darah 1
15 Hematologi-Onkologi 1
16 Gigi 1
Jumlah Total Pasien 100

9
Gambar 4. 1 Data Diagnosa pasien rawat jalan
Dari 100 sampel pasien yang digunakan terdapat berbagai macam data
diagnosa yang diperoleh yang kemudian dikelompokkan berdasarkan dokter
penanggungjawab pasien. Diagnosa dengan jumlah paling banyak dari
keseluruhan sampel yaitu penyakit dalam dengan jumlah 19 pasien, kemudian
diikuti diagnosa pada penyakit kejiwaan sejumlah 15 pasien.
4.1.3 Obat yang Diresepkan
Dari sampel yang diambil, gambaran obat yang diresepkan pasien rawat jalan non
BPJS dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.2
Tabel 4.2. Obat yang diresepkan
No Golongan Obat Jumlah
1 Obat saluran cerna 52
2 Analgesik dan Antipiretik 49
3 Vitamin 46
4 Antipsikotik 45
5 Antibiotik 31
6 Obat Saluran Napas 23
7 Kortikosteroid 11
8 Obat Saluran Kemih 7
9 Antiepilepsi 5
10 Antiseptik 5
11 Tetes mata 5
12 Tetes Telinga 4

10
13 Relaksan otot 1
14 Kontrasepsi 1
15 Anti hipertiroid 1
16 Antihemoroid 1
17 Anti hiperurisemia 1
18 Antifibrinolitik 1
19 Antiplatelet 1
20 Elektrolit 1
.

Gambar 4. 2 Data obat yang diresepkan pasien rawat jalan


Obat yang paling banyak diresepkan pada pasien rawat jalan yaitu obat
saluran cerna sebanyak 52 obat kemudian diikuti obat analgesik dan antipiretik
sebanyak 49 obat.
4.1.4 Evaluasi Penggunaan Obat
1. Persentase Kesesuaian antara Hasil Diagnosa dan Obat yang
Diresepkan
Hasil diagnosa dokter menentukan obat yang mana yang akan diminum oleh
pasien untuk menyembuhkan atau meringankan sakit yang diderita. Beberapa
resep yang didapat oleh pasien kadang tidak sesuai hasil diagnosa maupun
pemeriksaan fisik atau penunjang.
Persentase kesesuaian antara hasil diagnosa dan obat yang diresepkan dapat

11
dihitung berdasarkan rumus:

Jumlah resep yang sesuai


x 100 %
Jumlah total resep yang dihitung

Jumlah keseluruhan resep yang dijadikan sampel dalam perhitungan ini


adalah sebanyak 100 resep. Jumlah resep yang sesuai antara hasil diagnosa dan
hasil pemeriksaan fisik atau penunjang dengan terapi atau obat yang diterima
pasien adalah sebanyak 52 resep. Berdasarkan hasil perhitungan didapat bahwa
jumlah resep yang sesuai dengan hasil diagnosa dan hasil pemeriksaan fisik atau
penunjang dengan terapi atau obat yang diterima pasien adalah sebanyak 52%. Ini
berarti ada 48 resep yang masuk ke apotek rawat jalan dari tanggal 1 sampai 9
Desember 2022 yang tidak sesuai antara diagnosa dokter dan hasil pemeriksaan
fisik atau penunjang dengan terapi atau obat yang diterima oleh pasien.
2. Ketidaksesuaian Hasil Diagnosa dengan Obat yang Diresepkan
Ketidaksesuaian antara diagnosa dengan obat yang diresepkan
menyebabkan terjadinya adverse drug events, kesalahan pengobatan/ medication
errors dan reaksi obat yang merugikan/adverse drug reaction kepada pasien.
Terdapat 48 resep yang masuk ke apotek rawat jalan dari tanggal 1 sampai 9
Desember 2022 yang tidak sesuai antara diagnosa dokter dan hasil pemeriksaan
fisik atau penunjang dengan terapi atau obat yang diterima oleh pasien.
Ketidaksesuaian terapi yang didapat pasien dengan diagnosa dan hasil
pemeriksaan fisik atau penunjang dapat disebut sebagai DRP atau drug related
problem yaitu suatu masalah yang timbul dalam penggunaan obat atau terapi obat
yang secara potensial maupun aktual dapat mempengaruhi outcome terapi pasien,
meningkatkan biaya perawatan serta dapat menghambat tercapainya tujuan terapi
(Van Mill et al., 2004).

Tabel 4. 3 Presentase Jumlah Ketidaksesuaian/DRP pada Resep

12
DRP Jumlah Pasien Presentase (%)
Indikasi tanpa Terapi 16 33.33
Terapi tanpa Diagnosa/Indikasi 21 43.75
Pemilihan Terapi yang Tidak Tepat 11 22.91
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa presentase ketidaksesuaian
atau drug related problem (DRP) yang terjadi karena perbedaan antara hasil
diagnosa disertai data penunjang dengan jenis terapi atau obat yang diterima
pasien paling tinggi nilainya terdapat pada jenis terapi tanpa diagnosa atau
indikasi yaitu sebesar sebesar 43.75% dari total keseluruhan DRP.
Tabel 4. 4 Jenis DRP (Drug Related Problem) pada Resep

Jenis DRP Jumlah


Resep
Indikasi tanpa Terapi 16
Hipertensi (tekanan darah>120/80 mmHg) belum mendapatkan (11)
terapi antihipertensi
Keluhan batuk, pilek dan demam tidak mendapat terapi untuk (1)
mengatasi gejala
Pasca kemoterapi yang tidak mendapatkan antiemetik (2)
Konstipasi tidak diberi laksatif (1)
Nyeri ringan tidak mendapat antinyeri (2)
Tidak nafsu makan namun tidak diberi suplemen penambah nafsu (1)
makan
Terapi tanpa Diagnosa/Indikasi 21
Pemberian obat saluran cerna (antiulkus) tanpa indikasi 16
gerd/dispepsia (gangguan GI)
Penggunaan clixid pada pasien tanpa indikasi dispepsia (gangguan (3)
saluran cerna)
Penggunaan piracetam pada pasien tanpa indikasi mioklonik (1)
kortikal
Penggunaan ketorolak pada pasien tanpa keluhan nyeri (nyeri (1)
bedah)
Penggunaan gabapentin tanpa indikasi epilepsi atau nyeri neuropati (1)
Penggunaan obat penurun kolesterol (atorvastatin) dan penurun (1)
asam urat (allopurinol) tanpa ada data penunjang (hasil
laboratorium) atau catatan mengenai penggunaan obat rutin di
EMRI

13
Pasien yang diberi pencahar (kompolax sirup) padahal tidak ada (1)
indikasi konstipasi
Pemilihan Terapi yang Tidak Tepat 11
Penggunaan metilfenidat pada pasien dengan diagnosa Mixed (1)
Anxiety and Depressive disorder
Penggunaan ondansetron untuk pasien yang tidak mengeluhkan (1)
mual atau bukan merupakan pasien pasca bedah
Pemberian domperidon sebagai profilaksis pasca bedah (1)
Penggunaan klozapin pada pasien baru yang terindikasi Paranoid (1)
schizophrenia
Penggunaan asetilsistein untuk pasien dengan keluhan batuk (2)
berdahak (bukan hipersekresi/batuk kental)
Penggunaan parasetamol sebagai agen antinyari tunggal untuk nyeri (1)
sedang
Pemilihan terapi antibiotik pada pasien Appendicitis kronis (1)
Penggunaan propanolol pada pasien dengan tekanan darah normal (1)
Pemberian kombinasi dekongestan dan antialergi (trifed) untuk (1)
pasien yang mengeluhkan gatal di telinganya
Penggunaan cetirizin untuk keluhan pilek dan hidung tersumbat (1)
Sebanyak 16 lembar resep ditemukan ada indikasi namun tidak diberi terapi.
11 diantaranya adalah pasien yang memiliki hipertensi (tekanan darah>120/80
mmHg) namun belum mendapatkan terapi antihipertensi. Sisa resep lainnya
merupakan keluhan pasien yang tidak mendapatkan terapi seperti keluhan batuk,
pilek dan demam, pasien pasca kemoterapi yang tidak mendapatkan antiemetik,
pasien mengalami konstipasi namun tidak diberi laksatif atau pencahar, pasien
mengalami nyeri ringan namun tidak diberi antinyeri, serta pasien mengeluh tidak
nafsu makan namun tidak diberi suplemen penambah nafsu makan.
Selanjutnya ada 21 lembar resep yang ditemukan diberi terapi namun tidak
terdapat indikasi seperti pemberian obat saluran cerna (antiulkus) tanpa indikasi
GERD/dispepsia (gangguan GI) sebanyak 16 resep, penggunaan clixid pada
pasien tanpa indikasi dispepsia (gangguan saluran cerna), penggunaan piracetam
pada pasien tanpa indikasi mioklonik kortikal, penggunaan ketorolak pada pasien
tanpa keluhan nyeri (nyeri bedah), penggunaan gabapentin tanpa indikasi epilepsi
atau nyeri neuropati, penggunaan obat penurun kolesterol (atorvastatin) dan
penurun asam urat (allopurinol) tanpa ada data penunjang (hasil laboratorium)

14
atau catatan mengenai penggunaan obat rutin di EMRI serta pasien yang diberi
pencahar (kompolax sirup) padahal tidak ada indikasi konstipasi. Penggunaan
beberapa obat tanpa indikasi ini sebaiknya dikonfirmasikan kepada dokter
penanggungjawab pasien lagi terkait hal ini.
Terakhir adalah pemilihan obat yang tidak tepat. Ada 11 lembar resep
dengan pemilihan terapi yang kurang tepat diantaranya penggunaan metilfenidat
pada pasien dengan diagnosa Mixed Anxiety and Depressive disorder, Penggunaan
gabapentin tanpa indikasi epilepsi atau nyeri neuropati, pemberian domperidon
sebagai profilaksis pasca bedah, penggunaan klozapin pada pasien baru yang
terindikasi Paranoid schizophrenia, penggunaan asetilsistein untuk pasien dengan
keluhan batuk berdahak (bukan hipersekresi/batuk kental), penggunaan
parasetamol sebagai agen antinyari tunggal untuk nyeri sedang, pemilihan terapi
antibiotik pada pasien Appendicitis kronis, penggunaan propanolol pada pasien
dengan tekanan darah normal, pemberian kombinasi dekongestan dan antialergi
(trifed) untuk pasien yang mengeluhkan gatal di telinganya serta penggunaan
cetirizin untuk keluhan pilek dan hidung tersumbat.
4.2 Pembahasan
Diagnosis adalah identifikasi terhadap penyakit yang diderita oleh pasien.
Dalam formulir ringkasan masuk dan keluar terdapat beberapa diagnosis
diantaranya diagnosis masuk, diagnosis akhir, diagnosis lain dan diagnosis
komplikasi. Diagnosis akhir merupakan diagnosis yang ditangani atau diperiksa
selama episode perawatan yang relevan (Mariyati, 2013). Penulisan diagnosis
oleh seorang dokter akan menjadi dasar dalam penulisan resep.
Menurut Permenkes No 9 tahun 2017, resep adalah permintaan tertulis dari
dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada Apoteker, baik dalam bentuk kertas
maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan bagi pasien. Apa yang tertulis dalam resep akan
menentukan obat yang akan diberikan oleh seorang apoteker kepada pasien.
Dalam hal ini, resep merupakan bagian yang sangat penting dalam proses
pengobatan pasien. Hal ini sesuai dengan pernyataan Amalia & Sukohar (2014)
resep dokter merupakan salah satu langkah penting untuk memberikan terapi obat

15
yang rasional kepada pasien.
Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai
dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga yang
paling murah untuk pasien dan masyarakat (WHO, 1985). Secara praktis,
penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi beberapa kriteria salah
satunya adalah tepat diagnosis. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar,
maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut.
Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang
seharusnya. Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang
memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit (Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 100 resep masuk di
apotek rawat jalan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dari tanggal 1-9 Desember
2022, ada 48 resep yang tidak sesuai dengan diagnosa dokter maupun
pemeriksaan fisik atau penunjang seperti ada indikasi tanpa terapi yaitu
diantaranya pasien mengalami hipertensi namun tidak diberi obat penurun tekanan
darah. Hipertensi jika semakin tidak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi
pada penderita, di antaranya dapat menyebabkan kerusakan organ meliputi otak,
karena hipertensi yang tidak terkontrol dapat meningkatkan resiko stroke,
kemudian kerusakan pada jantung. Ketika seseorang didiagnosa menderita
hipertensi maka ia harus menjalani pengobatan. Pengobatan hipertensi dapat
dilakukan secara farmakologi dan nonfarmakologi. Terapi secara non farmakologi
diantaranya menurunkan berat badan, diet rendah garam, diet rendah lemak,
olahraga, cukup waktu tidur dan istirahat, mengurangi minum kopi, mengurangi
minum alkohol. Sedangkan secara farmakologi yaitu dengan patuh minum obat
antihipertensi secara teratur setiap hari. (Darnindro & Sarwono, 2017). Pada
pasien yang mengalami hipertensi dengan riwayat diabetes melitus yang tidak
terkontrol dapat diberikan terapi antihipertensi golongan ACEI/ARB dengan
target tekanan darah <140/90 mmHg dan Pasien DM dengan kadar glukosa darah
yang tidak terkontrol perlu tatalaksana secara komprehensif sebagai upaya
pencegahan komplikasi serta diberikan obat antidiabetik oral seperti Sulfonilurea

16
dan biguanid (PERKENI).
Terdapat pasien nyeri ringan hingga sedang belum mendapatkan terapi
analgetik dan disarankan kepada dokter penanggung jawab pasien untuk diberikan
obat parasetamol sebagai terapi anti nyeri hal ini selaras dengan (PIONAS)
bahwasanya indikasi dari obat parasetamol dapat mengobati nyeri dengan skala
ringan hingga sedang. Dalam buku Pharmacotheraphy Handbook (2015) juga
menerangkan tentang manajemen nyeri untuk nyeri sedang dapat diberikan
parasetamol atau NSAID yang sesuai. Pasien juga mengeluhkan batuk, pilek dan
demam namun tidak diberi obat oleh dokter. Keluhan yang diidentifikasi sebagai
common cold atau salesma ini dapat diterapi dengan pemberian parasetamol
sebagai analgesik antipiretik, antihistamin untuk mengurangi sekresi mukus,
megatasi gejala bersin, rinorea dan mata berair, antitusif atau
mukolitik/ekspektoran sesuai dengan jenis batuk pasien serta dekongestan sebagai
stimulan reseptor alfa-1 adrenergik, vasokontriksi pembuluh darah hidung,
mengurangi pembengkakan (Kemenkes RI, 2014; FIP, 2021).
Pasien pasca kemoterapi namun tidak mendapat terapi antiemetik
disarankan diberikan obat ondansetron untuk mengurangi mual muntah pasca
kemoterapi dan radioterapi (PIONAS). Terdapat pasien mengeluhkan nafsu
makan menurun dan belum mendapatkan terapi disarankan untuk diberikan
suplemen curcuma untuk meningkatkan nafsu makan pasien, dikarenakan pada
suplemen curcuma terdapat senyawa kurkumin yang terkandung dalam kunyit
yang memiliki khasiat yang dapat mempengaruhi nafsu makan karena dapat
mempercepat pengosongan isi lambung sehingga nafsu makan menjadi meningkat
(Purwanti, 2008). Pada resep terdapat pasien lansia yang mengalami konstipasi
belum mendapatkan terapi, disarankan kepada dokter penanggung jawab pasien
untuk diberikan obat pencahar seperti kompolax syrup yang aman untuk pasien
lansia yang sedang mengalami konstipasi dimana mekanisme utama obat
pencahar meningkatkan berat dan absorbsi air pada feses, hasilnya adalah
meningkatkan kecepatan pergerakan dorongan pada usus.

Selanjutnya penggunaan obat tanpa indikasi. Pemberian obat saluran cerna

17
(antiulkus) tanpa indikasi gerd/dispepsia (gangguan GI) merupakan DRP yang
paling sering. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien menerima obat NSAID
dimana efek sampingnya berupa gastritis, pendarahan serta profolperasi lambung
(Dipiro, 2015). Jadi disarankan kepada dokter untuk memberikan obat lambung
hanya jika pasien memiliki gejala gerd atau dispepsia saja. Selain itu, penggunaan
clixid yang mengandung kombinasi klordiazepoksid dan klidinium dimana
kombinasi ini diindikasikan sebagai terapi tambahan pada penyakit ulkus peptik
dan terapi utama pada penyakit bowel irritable syndrom (DIH, 2012). Penggunaan
piracetam pada pasien yang didiagnosis tinitus dengan keluhan telinga mampat
dan nyeeri sedang obat piracetam tidak perlu diberikan, karena mekanisme kerja
dengan meningkatkan fungsi kognitif, mioklonus serta dapat mengatasi kedutan
pada otot, disleksia, vertigo dan cedera pada kepala (PIONAS).
Obat ketorolak merupakan obat NSAID sebagai analgesik sedang hingga
berat pada pasien penggunaan ketorolak tidak perlu diberikan karena tidak ada
keluhan nyeri ringan hingga sedang serta tidak ada tindakan prosedur operasi.
penggunaan obat gabapentin pada pasien tanpa indikasi epilepsi atau nyeri
neuropati tidak perlu diberikan, karena Gabapentin merupakan obat yang
digunakan sebagai anti epilepsi tapi sekarang juga direkomendasikan sebagai lini
pertama pada nyeri neuropati, termasuk neuropati diabetik dan post herpetic,
dimana mekanisme utama dari Gabapentin bekerja dengan cara mengatur aliran
kalsium dalam sel sehingga menurunkan firing of the transmission cell dan
menurunkan pelepasan monoamine neurotransmitter neuralgia (Harden, 2005).
Selain itu ada juga pemberian kompolax sirup tanpa indikasi (susah BAB) dan
lansoprazol tanpa indikasi gangguan saluran cerna. Penggunaan obat Atorvastatin
dan Allopurinol yang tidak memiliki data penunjang seperti pemeriksaan
laboratorium yang membuktikan bahwa pasien mengalami kenaikan kadar
kolesterol maupun asam urat sebagaimana fungsi atau indikasi dari 2 obat
tersebut.
Terakhir pemilihan terapi yang kurang efektif seperti lebih memilih
menggunakan obat lain untuk mengurangi efek samping padahal ada obat dengan
efek samping minimal. Hal ini seperti penggunaan metilfenidat pada pasien

18
dengan diagnosa Mixed Anxiety and Depressive disorder. Metilfenidat
diindikasikan untuk attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) pada anak 6-
17 tahun dan dewasa 18-65 tahun yang memenuhi kriteria DSM-IV untuk ADHD
(pionas), penggunaan metilfenidat sebagai antidepresi merupakan bentuk off-label
namun kurang efektif karena harus diberikan divalproex sodium untuk mengatasi
efek samping kejang (DIH, 2012). Pemberian obat klozapin pada pasien baru
tanpa indikasi ingin bunuh diri sedangkan berdasarkan Dipiro (2015) klozapin
hanya bisa diberikan sebagai pilihan terakhir atau pasien dengan indikasi ingin
bunuh diri. Menurut Fornas (2021) klozapin hanya diberikan untuk pasien yang
telah resisten terhadap antipsikosis lain.
Penggunaan ondansetron untuk pasien yang tidak mengeluhkan mual atau
bukan merupakan pasien pasca bedah. Ondansetron diindikasikan sebagai terapi
mual dan muntah akibat kemoterapi dan radioterapi, pencegahan mual dan
muntah pasca operasi (PIONAS). Hal ini terbalik dengan penggunaan domperidon
sebagai profilaksis pasca bedah. Domperidon diindikasikan untuk mual muntah
yang disebabkan/berhubungan dengan penyakit gangguan saluran cerna (DIH,
2012). Selain itu juga penggunaan parasetamol tunggal sebagai pereda nyeri
dengan tingkat sedang merupakan pilihan yang tidak tepat karena menurut Dipiro
(2015) penggunaan parasetamol untuk nyeri sedang harus dikombinasi dengan
obat dari golongan opioid. Juga menurut Santos et al (2020) memiliki manfaat
potensial yang cukup besar dalam pengobatan nyeri pasca kraniotomi, karena
tidak menghasilkan sedasi atau depresi pernapasan. Namun parasetamol kurang
efektif bila digunakan tunggal sebagai pengendali nyeri. Penggunaan asetilsistein
untuk pasien dengan keluhan batuk berdahak (bukan hipersekresi/batuk kental).
Asetilsistein diindikasikan untuk terapi mukolitik tambahan pada pasien
dengan sekresi dahak yang abnormal atau kental pada pasien bronkopulmonari
akut maupun kronis (DIH, 2012), terapi hipersekresi mukus kental dan tebal pada
saluran pernapasan (PIONAS). Penggunaan propanolol dapat diberikan pada
pasien sirosis hati dengan hipertensi portal (Cahyati, 2019) pada kasus yang
ditemukan tekanan darah pasien cenderung rendah sehingga tidak memerlukan
terapi beta bloker. Pemilihan terapi antibiotik pada pasien Appendicitis kronis

19
dianjurkan untuk memakai regimen kombinasi antibiotik Levofloksasin/
Ciprofloksasin-Metronidazol untuk apendicitis dengan High Severity Infections
(Dipiro, 2015).
Ketidaksesuaian terapi yang didapat pasien dengan diagnosa dan hasil
pemeriksaan fisik atau penunjang dapat disebut sebagai DRP atau drug related
problem yaitu suatu masalah yang timbul dalam penggunaan obat atau terapi obat
yang secara potensial maupun aktual dapat mempengaruhi outcome terapi pasien,
meningkatkan biaya perawatan serta dapat menghambat tercapainya tujuan terapi
(Van Mill et al., 2004).
Kategori DRP dari hasil penelitian diatas yaitu pemberian obat tanpa
indikasi, ada indikasi tapi tidak diterapi serta pemilihan terapi yang kurang tepat.
Ketidaktepatan pemilihan obat merupakan pemilihan obat yang terbukti bukan
paling bermanfaat, aman, sesuai dan ekonomis (Depkes, 2007). Faktor-faktor
keberhasilan dan keefektifan terapi obat tergantung pada identifikasi dan
diagnosis akhir dari masalah medis pasien.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

20
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data evaluasi penggunaan obat mengenai
kesesuaian antara hasil diagnosa dokter dan data pemeriksaan fisik/penunjang
dengan obat yang diresepkan kepada pasien rawat jalan di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo dapat disimpulkan bahwa rasionalitas terapi yang diterima
pasien belum 100%. Meskipun data yang diolah hanya melihat ketepatan jenis
obat yang diberikan disesuaikan dengan guideline terapi yang ada namun masih
memberikan hasil bahwa penggunaan obat yang rasional di rumah sakit ini belum
maksimal.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terhadap dosis serta aturan pakai
yang dianjurkan dokter dalam resep yang diolah tersebut.
2. Perlu dilakukannya skrining resep bagian farmasi klinis yang disesuaikan
dengan diagnosa dari dokter

DAFTAR PUSTAKA
Amalia, D. T., & Sukohar, A. 2014. Rational Drug Prescription Writing

21
Pharmaceutical Division of Faculty of Medicine Lampung University
Pharmacology and Therapy Division of Faculty of Medicine Lampung
University. Jurnal Kesehatan

Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan


Obat. Cetakan Pertama Dikjen POM. Direktorat Pengawasan Obat
Tradisional

Depkes. 2014. Keputusan Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan No


HK.02.03/III/1346/2014 Tentang Pedoman Penerapan Formularium
Nasional. Depkes RI. Jakarta

Kemenkes RI. 2011. Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Bina Pelayanan
Kefarmasian

Mariyati. 2013. Kajian Penulisan Diagnosis Dokter Dalam Penentuan Kode


Diagnosis Lembar Ringkasan Masuk Dan Keluar Di Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Wonogiri. STIKes Mitra Husada Karanganyar

Menkes. 2016. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 72 tahun 2016 Standar


Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Menkes. Jakarta

Menteri Kesehatan Republik Indonesia.2013.Keputusan Menteri Kesehatan RI


No. 328 tahun 2013 Tentang Formualrium Nasional. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta

Permenkes. 2017. Keputusan Menteri Kesehatan RI No 9 tahun 2017 tentang


apotek. Menkes. Jakarta

Prabowo, Vica. 2016. Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Rawat Jalan
Berdasarkan Indikator Peresepan Who Pada Era Jkn Di Rsud Sleman.
Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia

Van Mill, J.W.F., Westerkund, T., Hersberger, K.E., Schaerfer,, M.A., 2004. Drug
Related Problem Classification System. The Annal of Pharmacotherapy

LAMPIRAN
Lampiran 1. Diagnosa Pasien berdasarkan DPJP

22
Jumlah
No DPJP Spesialis
Pasien
1 drg. Romzi Hanif, Sp.BMM Bedah Mulut dan Maksilofasial 1
2 drg. Lucas Pedro B,Sp. BM Bedah Mulut dan Maksilofasial 1
3 dr. Krisnanto Nugroho, Sp.OT.MM Bedah ortopedi 3
4 dr. Yazid Achari, SPBO Bedah ortopedi 2
5 dr. Agus Budi Setiawan, SPBS Bedah syaraf 3
6 dr. Ema Shofiana Azika, Sp. BS Bedah syaraf 1
7 dr. Moh. Targib, Sp.BS Bedah syaraf 2
8 dr. Teguh Manulima, Sp.BS Bedah syaraf 1
9 dr. Arief Ismail, Msi. Med, SpB Bedah umum 1
10 dr. Robby Ramadhonie. Sp.B. MM Bedah umum 3
11 drg. Rosanna Maria Patricia Gigi 1
12 dr. Wahyu Djatmiko, SPPD, KHOM Hematologi-Onkologi medik 1
13 dr. Rio Probo K, Sp. Jp.FIHA Jantung dan Pembuluh darah 1
14 dr. Wiharto, Sp.KJ, M.Kes Kejiwaan 15
15 dr. Prima Sugesty Nurlaila,Sp.M Mata 1
16 dr. Teguh Anamani, Sp.M Mata 2
17 dr. Yulia Fitriani, Sp.M Mata 1
18 dr. Budi Irawan, Sp.OG Obsentri dan Ginekologi 3
19 dr. Edy Priyanto, SpOG, M.Kes Obsentri dan Ginekologi 3
20 dr. Setya Dian Kartia, SpOG Obsentri dan Ginekologi 1
21 dr. Aditiyono, Sp.OG.K. Onk Onkologi 3
22 dr. Lopo T, SPB (K) Onk FinaCS Onkologi 4
23 dr. Teguh Budi Santosa, Sp.P Paru 4
24 dr. W. Moniqa S, Sp.P, M.Kes Paru 1
25 dr. Ghea De Silva, Sp. PD Penyakit dalam 6
26 dr. Ni K. Donna PT, Sp. PD, MMR Penyakit dalam 3
27 dr. Racmad Aji,Sp. PD,M.Sc Penyakit dalam 2
Penyakit dalam (Gastroenterologi
28 dr. I Gede A, SPPD, KGEH, M.Kom 5
hepatologi)
29 dr. Aditya Warman, Sp.PD,KGH Penyakit dalam (ginjal hipertensi) 2
Penyakit dalam (Metabolik-
30 dr. Pugud Samudro, SPPD, KEMD 1
Endokrinologi)
31 dr. Agus Fitrianto, SpA Spesialis Anak 2
32 dr. Nenden Nursyamsi A, Sp.A Spesialis Anak 2
33 dr. Anton Budi Darmawan, Sp, THT THT 4
34 dr. Bagus Condro P, Sp.THT-KL THT-Kepala Leher 6
35 dr. Sekti Joko S.I, Sp. THT-KL THT-Kepala Leher 2
36 dr. Karinda Triharyu, Sp.U Urologi 2
37 dr. Tri Budiyanto, Sp.U Urologi 4
Jumlah pasien 100

23
Lampiran 2. Obat yang diresepkan

No Obat Jumlah
Obat Saluran Cerna
1 Omeprazol Kap 20 mg 17
2 Ranitidin Tab 150 mg 11
3 Clixid tab 9
4 Lansoprazol kap 30 mg 6
5 Sukralfat suspensi 500mg/5ml 2
6 Scorbutin (Hyoscine Butylbromida 10 mg) 2
7 Ondansetron tab 4 mg 2
8 Domperidon tab 10 mg 1
9 Kompolax sirup 1
10 Laktulosa sirup 1
Analgesik dan Antipiretik
11 Paracetamol tab 500 mg 14
12 Natrium diklofenak tab 50 mg 11
13 Pehastan kapsul salut selaput 500mg 7
14 Meloxicam 15 mg 5
15 Ibuprofen tab 400 mg 3
16 Ketorolak Tab 10 mg 3
17 Tramadol tab 50 mg 1
18 Betahistin tab 6 mg 3
19 Gabapentin kapsul 100mg 1
20 Ketoprofen 100 mg 1
Antipsikotik
21 Diazepam Tab 2 mg 6
22 Alprazolam tab 0.5 mg 7
23 Alprazolam tab 0.25 mg 5
24 Alprazolam tab 1 mg 5
25 MST Continus Tab 10 mg 2
26 Prohiper tab 10 mg 1
27 Elxion tab SS 10 mg 4
28 Frimania tab 200 mg 1
29 Risperidon tablet 2mg 1

24
30 Klozapin tab 100 mg 3
31 Trifluoperazin tab 5 mg 4
32 Triheksifenidil tab 2 mg 2
33 Sandepril tab 50 mg 2
34 Setralin tablet 50mg 1
35 Risperidon tab 2 mg 1
Vitamin
36 Albuforce kap 500 mg 2
37 Mekobalamin kap 0,5 mg 13
38 Curcuma tab 20 mg 13
39 Vitamin C 250 mg 3
40 Asam folat tab 1 mg 2
41 Elkana 2
42 Vitamin B6 2
43 Boost D (Vitamin D) 1000 iu 2
44 Nocid (kombinasi ketoacid) kap 1
45 Kalsium lactat tablet 500mg 1
46 Takelin (Citicolin) 500 mg 2
47 Sangobion Drop 1
48 Zamel Drop 1
49 Vitamin B Kompleks 1
Antibiotik
50 Inha 400 mg 1
51 Sefiksim kap 100 mg 12
52 Levofloksasin 500 mg 5
53 Sefadroksil kap 500 mg 3
54 Klindamisin kap 300 mg 2
55 Siprofloksasin tab 500 mg 2
56 Metronindazol tab 500 mg 1
57 Rifampicin tab 450 mg 1
58 Etambutol tab 500 mg 1
59 Klindamisin kap 200 mg 1
60 Fladystine ovula (Metronidazol) 1
61 OAT 4FDC 1
Anti hipertensi
62 Furosemid tab 40 mg 6

25
63 Amlodipin tab 10 mg 3
64 Kandesartan tab 16 mg 2
65 Valsartan tab 160 mg 2
66 Propanolol tab 10 mg 2
67 Spironolakton 25 mg 2
68 Klonidin 0,15 mg 2
69 Hidroklorotiazid tab 25 mg 1
70 Kandesartan tab 8 mg 1
71 Herbesser CD (Diltiazem) 100 mg 1
72 Ramipril 5 mg 1
Obat untuk Saluran Napas
73 Asetilsistein kap 200 mg 5
74 Ambroxol tab 30 mg 4
76 Trifed Tab 3
77 Kodein tab 10 mg 3
78 Retaphyl (Teofilin) 1
79 Tabas (Terbutaline) Syrup 1
80 Seretide diskus 250 mcg 1
81 Ambroxol sirup 15 mg/5mL 1
Obat untuk Saluran Kemih
82 Urinter kap 400 mg 5
83 Vesicare (Solifenacin Succinate) 5 mg 1
84 Tamsulosin tab 0.4 mg 1
Kortikosteroid
85 Metilprednisolon tab 4 mg 9
86 Metilprednisolon Tab 16 mg 1
87 Deksametason tab 0,5 mg 1
Anti epilepsi
88 Divalproex sodium tab LL 500 mg 1
89 Divalproex sodium tab LL 250 mg 1
90 Asam Valproat sirup 250 mg/5 mL 1
91 Piracetam 1200 mg 1
92 Prolepsi (Oxcarbazepine) 300mg 1
Obat DM
93 Fonylin MR 60 mg 1
94 Metformin 500 mg 1

26
Anti histamin
95 Loratadin 10 mg 1
96 Setirizin tab 10 mg 1
Antiseptik
97 Minosep 0,1%botol 60 mg 5
Tetes telinga
98 Otopain 4
Tetes mata
99 Lyters 15 ml tetes mata 1
100 Cendo Tropin 0.5% tetes mata 1
101 Cendo Xitrol tetes Mata 3
Anti hiperlipidemia
102 Simvastatin 20 mg 1
103 Atrovastatin 20 mg 1
Relaksan otot
104 Eperison tab 50 mg 1
Kontrasepsi
105 Cyclo-progynova tab 1
Anti hipertiroid
106 Thiamazol tab 10 mg 1
Antihemoroid
107 Antihemoroid Suppo 2 gram 1
Anti hiperurisemia
108 Allopurinol 100 mg 1
Anti fibrinolitik
109 Asam traneksamat 500 mg 1
Antiplatelet
110 Cilostazol 100 mg 1
Elektrolit
111 Natrium bikarbonat tab 500 mg 1

27

Anda mungkin juga menyukai