Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Diathesis hemorrhagic adalah kecenderungan terjadinya perdarahan,


sebagian besar disebabkan oleh menurunnya kemampuan pembekuan darah
karena koagulopati. Banyak faktor yang mempengaruhi proses pembekuan darah.
Apabila terdapat gangguan dari salah satu faktor tersebut, dapat mempermudah
terjadinya diathesis hemorrhagic. Gangguan ini secara klinis ditandai dengan
perdarahan abnormal yang mungkin spontan atau terjadi setelah suatu kejadian
pemicu (misal, trauma atau pembedahan). Dilihat dari patogenesisnya, diathesis
hemoragik dapat digolongkan menjadi diathesis hemoragik karena faktor vaskuler
atau kelainan di pembuluh darah, karena faktor defisiensi atau disfungsi
trombosit, dan diathesis hemoragik karena faktor koagulasi.(1,2)
Manifestasi diatesis hemoragik secara umum menunjukan manifestasi
perdarahan seperti purpura, ekimosis, mimisan, perdarahan yang sulit berhenti.
Hal ini dapat menyebabkan suatu kondisi yang berakhir dengan syok jika bersifat
masif.(2)
Hemostasis mendasari terjadinya diatesis hemoragik. Hemostasis yang
normal tergantung dari keseimbangan yang baik dan interaksi yang kompleks
antar komponennya, yaitu endotelium, trombosit, dan rangkaian koagulasi. Sel
endotel mengatur beberapa aspek hemostasis. Sel-sel endotel dalam keadaan
normal memperlihatkan sifat antitombosit, antikoagulan, dan fibrinolitik.
Keseimbangan antara aktivitas anti dan protrombosis yang dimiliki oleh sel-sel
endotel akan menentukan apakah akan terjadi pembentukan trombus, peningkatan
pembentukan trombus, ataukah disolusi trombus.(3)
Fokus anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah menentukan apakah defek
yang dicurigai kongenital dan mekanisme mana yang tampaknya berperan.
Anamnesis harus menentukan letak terjadinya perdarahan, keparahan, dan
lamanya perdarahan, umur awitan, apa saja yang telah dikerjakan untuk
mengendalikan perdarahan, apakah perdarahan spontan, riwayat keluarga,
anamnesis obat, pengalaman pasien dengan trauma terdahulu (misalnya, tindakan

1
bedah, biopsi, ekstraksi gigi). Pemeriksaan fisik menentukan sifat perdarahan
(misalnya petekie, ekimosis, hematoma, hemartrosis, perdarahan selaput lendir)
dan mengidentifikasi tanda-tanda penyakit primer sistemik. Manifestasi
perdarahan khas pada pasien dengan defek mekanisme hemostasis primer
(interaksi trombosit dan pembuluh darah) adalah perdarahan selaput lendir
(misalnya epistaksis, hematuria, menoragia, gastrointestinal), petekie di kulit dan
selaput lendir, dan lesi ekimosis kecil-kecil yang multipel. Tanda perdarahan khas
pada pasien dengan defek mekanisme hemostasis sekunder (sistem koagulasi)
adalah perdarahan-dalam ke dalam sendi dan otot, lesis ekimosis yang luas dan
hematoma.(4)

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

Diatesis hemoragik diartikan sebagai keadaan patologi yang timbul karena


kelainan faal hemostasis. Keadaan ini menyebabkan peningkatan resiko terjadinya
perdarahan. Dilihat dari patogenesisnya maka diathesis hemostatis hemoragik
dapat digolongkan menjadi diathesis hemoragik karena faktor vaskuler, karena
faktor trombosit, dan diathesis hemoragik karena faktor koagulasi.(1,2)
Bagan 1.4

Kelainan pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan melalui berbagai


cara. Meningkatnya fragilitas pembuluh disebabkan oleh defisiensi berat vitamin
C (scurvy), amiloidosis sistemik, pemakaian glukokortikoid jangka panjang,
penyakit herediter yang jarang mengenai jaringan ikat, dan sejumlah besar
vaskulitis, dan infeksiosa. Selain itu, peningkatkan kerapuhan pembuluh darah
terdapat pada meningokoksemia, endokarditis infektif, penyakit riketsia, tifoid,
dan purpura Henoch Schonlein. Diatesis hemoragik yang murni disebabkan oleh
fragilitas vaskular ditandai oleh (1) petekie dan ekimosis yang tampaknya muncul

3
spontan di kulit dan selaput lendir (mungkin akibat trauma ringan), (2) hitung
trombosit dan uji koagulasi (PT,APTT), dan (3) waktu perdarahan. Selain itu,
seperti yang akan dibahas selanjutnya, koagulopati konsumtif kadang-kadang
berakar pada penyakit sistemik yang menyebabkan permukaan sel endotel
memudahkan terjadinya trombosis.(1,2,5)
Defisiensi trombosit (trombositopenia) merupakan penyebab penting
perdarahan. Defisiensi trombosit dapat terjadi pada berbagai kondisi klinis yang
akan dibahas kemudian. Terdapat gangguan dengan fungsi trombosit terganggu
walaupun jumlahnya normal. Cacat kualitatif tersebut mungkin didapat, seperti
pada uremia, konsumsi aspirin, atau diwarisi seperti penyakit Von Willebrand.
Trombositopenia dan disfungsi trombosit serupa dengan peningkatan fragilitas
pembuluh darah, yaitu terdapat petekie dan ekimosis, serta mudah memar,
mimisan, perdarahan berlebihan akibat trauma ringan, dan menoragia. Demikian
juga PT dan APTT normal, tetapi berbeda dengan gangguan vaskular, waktu
perdarahan selalu memanjang. (1,2,5)
Diatesis perdarahan yang semata-mata disebabkan oleh gangguan
pembekuan darah berbeda dalam beberapa aspek yang disebabkan oleh kelainan
dinding pembuluh darah atau trombosit. PT, APTT, atau keduanya memanjang,
sedang waktu perdarahan normal. Petekie dan tanda lain perdarahan akibat trauma
ringan biasanya tidak ditemukan. Namun dapat terjadi perdarahan masif setelah
prosedur operatif atau trauma berat. Selain itu, yang khas adalah perdarahan pada
bagian tubuh yang terkena trauma, seperti sendi ekstremitas bawah.(1,2,5)

A. Purpura Henoch Schonlein


Purpura Henoch Schonlein (HSP) merupakan kelainan inflamasi yang
ditandai oleh vaskulitis generalisata pada pembuluh darah kecil di kulit, saluran
cerna, ginjal, sendi, dan meskipun jarang dapat di paru dan susunan saraf pusat.
Purpura Henoch Schonlein merupakan vaskulitis yang sering terjadi pada anak-
anak. Etiologinya belum diketahui, diperkirakan beberapa faktor berperan, yaitu
genetik, lingkungan, dan diperkirakan reaksi autoimun yang diperantarai
imunoglobulin A.(6)

4
a. Epidemiologi
Penyakit ini ditemukan di temukan pada usia beberapa bulan
hingga usia belasan tahun. Sebesar 50% anak-anak yang terkena
adalah di bawah usia 5 tahun dan sekitar 75% berusia di bawah 10
tahun. Penelitian menunjukkan bahwa 10-20,4 per 1000 anak
menderita HSP. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan
yang menderita HSP adalah 2:1(6,7)
b. Manifestasi klinis
Penyakit ini dapat dimulai dengan gejala prodromal demam,
nyeri kepala, dan anoreksia. Kemudian muncul lesi kulit, nyeri perut,
edema perifer, muntah, dan atau tanpa disertai artritis. Erupsi kulit
akan berlangsung kira-kira 3 minggu. Gejala saluran cerna dialami
oleh 85% kasus, umumnya berupa nyeri perut kolik. Artritis
ditemukan pada 75% kasus. Keterlibatan ginjal ditemukan pada 30-
35% kasus dan dapat menetap hingga 6 bulan kemudian. Gejala yang
muncul adalah hematuria ringan, proteinuri, oligouri, hingga gagal
ginjal.(6,7)

Gambar 6.(6)

5
c. Kriteria Diagnosis
Menurut American College of Rheumatology, diagnosis Purpura
Henoch Schonlein dapat ditegakkan bila memenuhi minimal 2 dari 4
gejala berikut, yaitu(6) :
 Onset pertama terjadi pada usia ≤ 20 tahun
 Purpura non trombositopenia yang dapat dipalpasi
 Angina abdominal
 Pada biopsi ditemukan granulosit pada dinding arteriol atau venula
Menurut European League Against Rheumatism, diagnosis Purpura
Henoch dapat ditegakkan bila terdapat(6) :
 Purpura yang dapat dipalpasi
 Diikuti minimal satu gejala berikut : nyeri perut difus, deposisi IgA
yang predominan pada biopsi kulit, artritis akut dan kelainan ginjal
(hematuri dan atau proteinuria)
d. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk purpura
Henoch Schonlein. Pada pemeriksaan darah tepi lengkap dapat
menunjukkan leukositosis dengan eosinofilia dan pergeseran hitung jenis
ke kiri. Trombositosis dijumpai pada 67% pasien. Laju endap darah tidak
selalu meningkat.Urinalisa menunjukkan hematuria, kadang-kadang dapat

6
dijumpai proteinuria. Pada pemeriksaan fungsi ginjal, ureum kreatinin
mungkin meningkat.(4,6)
e. Tatalaksana
Pada dasarnya tidak ada pengobatan yang spesifik untuk PHS.
Tindakan suportif diberikan sesuai dengan kondisi klinis saat itu. Untuk
mengurangi nyeri dapat diberikan obat golongan NSAIDS seperti
ibuprofen atau parasetamol 10 mg/kgBB. Jika terjadi edema tungkai,
dilakukan elevasi tungkai. Beri diet lunak selama terdapat keluhan perut
seperti muntah dan nyeri perut.(4,6)
Pertimbangkan pemberian kortikosteroid pada kondisi yang sangat
berat seperti sindrom nefrotik menetap, edema, perdarahan saluran cerna,
nyeri abdomen berat, keterlibatan susunan saraf pusat dan paru. Lama
pemberian berbeda-beda. Faeda memakai metilprednisolon 250-750 mg
intravena per hari selama 3-7 hari dikombinasikan dengan siklofosfamid
100-200 mg per hari untuk fase akut pada PHS yang berat. Dilanjutkan
dengan pemberian kortikosteroid dan siklofosfamid selama 30-75 hari
selang sehari; sebelum akhirnya siklofosfamid dihentikan langsung, dan
tappering off steroid hingga 6 bulan.(4,6)

B. Trombositopenia
Rentang hitung jumlah trombosit normal berkisar antara 150 - 450 x
103/μL. Risiko perdarahan tidak akan meningkat sampai penurunan jumlah
trombosit yang signifikan hingga dibawah 100 x 103/ μL. Jumlah trombosit lebih
besar dari 50 x 103/ μL cukup untuk kelangsungan hemostasis dalam sebagian
besar situasi. Pasien dengan trombositopenia sedang, dengan jumlah trombosit
antara 30 sampai 50 x 103/ μL jarang mengalami gejala (seperti mudah lecet atau
berdarah), bahkan dengan trauma yang signifikan. Pasien yang secara persisten
hitung trombositnya antara 10 - 30 x 103/ μL kadangkala juga tanpa gejala dengan
aktivitas keseharian yang normal namun memiliki risiko perdarahan berlebihan
pada trauma yang signifikan. Perdarahan spontan tidak akan terjadi kecuali hitung
trombositnya kurang dari 10 x 103/ μL. Pasien seperti ini biasanya mengalami

7
ptekie dan lecet, namun bahkan kadangkala juga asimptomatik. Pada sebagian
besar kasus, terlihat bahwa jumlah trombosit harus kurang dari 5 x 103/ μL untuk
menyebabkan perdarahan kritis spontan (seperti perdarahan intracranial tanpa
disebabkan trauma).(1,9)
Trombositopenia terjadi karena satu atu lebih dari tiga proses berikut, 1)
penuruan produksi oleh sumsum tulang, 2) sekuestrasi, biasa terjadi pada
pembesaran limpa, 3) peningkatan destruksi trombosit.(2,9)

C. Purpura Trombositopenia Imun (PTI)


a. Definisi
Purpura Trombositopenia Imun (PTI) atau morbus Wirholf dahulu
dikenal dengan Purpura Trombositopenia Idiopatik merupakan suatu
kelainan didapat yang berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan
trombositopenia oleh karena adanya penghancuran trombosit secara dini
dalam sistem retikuloendotelial akibat adanya autoantibodi terhadap
trombosit yang biasanya berasal dari Immunoglobulin G. Kata
trombositopenia menunjukan bahwa terdapat angka trombosit yang rendah,
sedangkan kata purpura berasal dari suatu deskripsi akan kulit yang
berwarna lebam karena gejala penyakit ini, warna ungu pada kulit
disebabkan oleh merembesnya darah di bawah kulit. Oleh karena itu
penyakit ini merupakan suatu sindrom klinis berupa manifestasi perdarahan
(purpura, petekie, perdarahan retina, atau perdarahan nyata lain) disertai
trombositopenia menetap (angka trombosit darah perifer kurang dari
150.000/mL). Masa hidup trombosit normal adalah sekitar 7 hari, tetapi
memendek pada ITP menjadi berkisar 2-3 hari sampai beberapa menit.(2,9)

b. Epidemiologi
Berdasarkan onset penyakit, PTI dibedakan menjadi tipe akut bila
kejadiaanya kurang atau sama dengan 6 bulan (umumnya terjadi pada anak-
anak) dan kronik bila lebih dari 6 bulan (umumnya terjadi pada orang
dewasa). Insidensi PTI pada anak antara 4,0-5,3 per 100.000. PTI akut

8
umumnya terjadi pada anak-anak usia 2-6 tahun.Sebesar 7-28% anak-anak
dengan PTI akut berkembang menjadi kronik. Ratio antara perempuan dan
laki-laki adalah 1:1 pada penderita PTI akut, sedang pada penderita PTI
kronik adalah 2:1.(2,6,9)
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak-anak, jarang pada dewasa,
onset penyakit biasanya mendadak, riwayat infeksi mengawali terjadinya
perdarahan berulang, sering dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola
dan rubella) dan penyakit saluran napas yang disebabkan oleh virus
merupakan 90% dari kasus pediatrik trombositopenia imunologik. Virus
yang paling banyak diidentifikasikan adalah varicella zooster dan eibsten
barr. Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan,
perdarahan intrakranial terjadi kurang dari 1% pasien. PTI akut pada anak
biasnaya self limiting, remisi spontan terjadi pada 90% penderita, 60%
sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.(2,6,9)

c. Manifestasi Klinis
Pada umumnya berat dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan
jumlah trombosit. Secara umum hubungan antara jumlah trombosit dan
gejala antara lain bila pasien dengan trombosit > 50.000/mL maka biasanya
asimtomatik, trombosit 30.000-50.000 /mL terdapat luka memar/hematom,
trombosit 10.000-30.000 /mL terdapat perdarahan spontan, menoragi, dan
perdarahan memanjang bila luka, trombosit < 10.000 /mL terjadi perdarahan
mukosa (epistaksis, perdarahan gastrointestinal, dan genitourinaria) dan
resiko perdarahan sistem saraf pusat.(2,9)

d. Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya pasien ITP tampak sehat, namun tiba-tiba mengalami
perdarahan pada kulit (petekie atau purpura) atau pada mukosa hidung
(epistaksis). Perlu juga dicari riwayat tentang penggunaan obat atau bahan
lain yang dapat menyebabkan trombositopenia (Tabel 1.). Riwayat keluarga
umumnya tidak didapatkan. Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya

9
didapatkan bukti adanya perdarahan tipe trombosit (platelet-type bleeding),
yaitu petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, atau perdarahan
mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan kemungkinan suatu penyakit lain,
jika ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung
limpa sedikit teraba pada lebih kurang 10% anak dengan ITP.(2,9)

Gambar 7.(10)

Tabel 1.(9)

10
e. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah lengkap, selain trombositopenia, hitung darah
lain normal. Pemeriksaan darah tepi diperlukan untuk menyngkirkan
pseudotrombositopenia dan kelainan hematologi lain. Megatrombosit sering
terlihat pada pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan sumsum tulang hanya
dianjurkan pada kasus-kasus yang tidak khas, yaitu pada riwayat penyakit
dan pemeriksaan fisik yang tidak umum (misalnya demam, penurunan berat
badan, kelemahan, nyeri tulang, pembesaran hati dan atau limpa), kelainan
eritrosit dan leukosit pada pemeriksaan darah tepi, kasus yang akan diobati
dengan steroid, baik sebagai pengobatan awal atau yang gagal diterapi
dengan imunoglobulin intravena.(9)

f. Tatalaksana
Tata laksana ITP pada anak meliputi tindakan suportif dan terapi
farmakologis. Tindakan suportif merupakan hal yang penting dalam
penatalaksanaan ITP pada anak, diantaranya membatasi aktifitas fisik,
mencegah perdarahan akibat trauma, menghindari obat yang dapat menekan
produksi trombosit atau merubah fungsinya (tabel 1.), dan yang tidak kalah
pentingnya adalah memberi pengertian pada pasien dan atau orang tua
tentang penyakitnya.(10,11)
Sebagian besar kasus ITP pada anak tidak perlu dirawat di rumah sakit,
oleh karena dapat sembuh sempurna secara spontan dalam waktu kurang
dari 6 bulan. Pada beberapa kasus ITP pada anak didapatkan perdarahan
kulit yang menetap, perdarahan mukosa, atau perdarahan internal yang
mengancam jiwa yang memerlukan tindakan atau pengobatan segera.
Transfusi trombosit jarang dilakukan dan biasanya tidak efektif, karena
trombosit yang ditransfusikan langsung dirusak.(12,13,14,15)
Pada divisi Hematologi IKA FKUI/RSCM semua pasien ITP dirawat
karena dikuatirkan timbulnya perdarahan intrakranial. Jika saat masuk

11
disertai perdarahan (epistaksis, perdarahan gusi, melena, perdarahan kulit
yang luas), maka pengobatan diberikan seperti pasien ITP kronis yaitu
prednison 2 mg/kgbb selama 3-6 bulan dan suspensi trombosit bila
diperlukan. Bila belum sembuh selama 3-6 bulan, maka pengobatan
prednison diberikan bersama azathiophrine (imuran) 1-2 mg/kgbb. Bila
belum sembuh juga, maka dipertimbangkan tindakan splenektomi.(16)

D. Penyakit Von Willebrand


a. Definisi
Penyakit Von Willebrand (PVW) adalah kelainan perdarahan herediter
disebabkan oleh defisiensi faktor Von Willebrand (FVW). FVW adalah suatu
glikoprotein yang memiliki fungsi memudahkan adhesi trombosit dengan
menghubungkan reseptor membran trombosit ke subendotel pembuluh darah dan
sebagai pembawa plasma bagi faktor VIII. Penyakit Von Willebrand merupakan
kelainan perdarahan kronis yang ditandai dengan agregasi trombosit maupun
pembentukan pembekuan tidak terjadi. Penyakit ini diturunkan secara autosomal
dominan.(1,4)

b. Klasifikasi
Terdapat 3 varian utama PVW, masing-masing berbeda dalam beratnya
gejala. PVW juga disebut sebagai pseudohemofilia atau hemofilia vaskular. PVW
disebabkan oleh kelainan kuantitatif dan atau kualitatif FVW (Tabel 2.).(17,18)
Tabel 2.(18)

12
Revised Classification of vWD tahun 1994 (Tabel 2.) membagi PVW
menjadi dua kategori utama yaitu kelainan kuantitas (tipe 1 dan tipe 3) atau
kualitas FVW (tipe 2). PVW tipe 1 ditandai defisiensi parsial FVW di plasma dan
atau trombosit. PVW tipe 3 tidak didapatkan FVW di plasma dan atau trombosit.
PVW tipe 1 dan tipe 3 dibedakan menurut derajat defisiensi FVW plasma (tipe 1
derajat defisiensi lebih ringan, antara 20–40 U/dl), pola pewarisan otosomal
dominan dan gejala perdarahan lebih ringan.(4)

c. Manifestasi Klinis
Gejala paling sering terjadi meliputi perdarahan gusi, hematuri, epistaksis,
perdarahan saluran kemih, darah dalam feses, mudah memar, menoragia. Pasien
dengan kadar faktor VIII yang sangat rendah bahkan dapat menunjukan
hemartrosis dan perdarahan jaringan dalam tubuh. Seringkali gambaran kelainan
itu tidak nyata sampai terdapat faktor pemberat seperti trauma atau pembedahan.
(2,4)

d. Diagnosis
Diagnosis PVW memerlukan kecurigaan terhadap gambaran klinis tingkat
tinggi dan kecakapan pemanfaatan laboratorium. Bila pasien dalam keadaan kritis,
sulit menetapkan diagnosis yang tepat. Bila PVW dianggap merupakan faktor
penunjang pada perdarahan pasien, lebih dahulu harus diobati secara empiris dan
penelusuran laboratoris yang rumit ditunda sampai pasien secara klinis stabil dan
tidak mendapat produk darah dan obat selama beberapa minggu.(2)
Untuk evaluasi terdapatnya PVW harus mencakup pemeriksaan Bleeding
Time (BT), hitung trombosit, PT, APTT. PVW ringan tipe 1 biasanya hasil
pemeriksaan normal. Bila penyakit lebih berat BT memanjang antara 15-30 menit
sedang hitung trombosit normal. Pasien dengan defisiensi berat FWV atau
kelainan faktor VIII mengikat FWV berakibat pemanjangan APTT sekunder
akibat menurunnya kadar faktor VIII dalam plasma. Untuk menetapkan diagnosis
diperlukan pemeriksaan khusus kadar FVW dan fungsinya.(4)

13
e. Tatalaksana
Secara umum terapi PVW meliputi pemberian obat, transfusi darah, dan
menghindari keadaan yang dapat menyebabkan rudapaksa. Terapi terdiri dari
penggantian FVW dengan menggunakan plasma beku segar (PBS) atau
kriopresipitat. Kriopresipitat adalah terapi yang lebih dipilih untuk perdarahan
berat. Dosis yang dianjurkan adalah 2-4 kantong kriopresipitat/10 kg, yang dapat
diulangi tiap 12-24 jam, tergantung pada episode perdarahan yang diterapi atau
dicegah.(4)

E. Hemofilia
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan
darah yang diturunkan secara sex-linked recessive pada kromosom X. Gen yang
mengkode hemofilia terletak pada ujung lengan panjang kromosom X. Meskipun
hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 20-30% pasien tidak
memiliki riwayat keluarga dengan gangguan pembekuan darah, sehingga terjadi
mutasi spontan akibat lingkungan endogen ataupun eksogen.(4,7)
a. Epidemiologi
Hampir semua penderita hemofilia adalah laki-laki, tetapi hemofilia juga
dapat terjadi pada perempuan namun jarang. Angka kejadian hemofilia A
diperkirakan berkisar 1:10.000 kelahiran bayi, sedangkan angka kejadian
hemofilia B 1:30.000-50.000 kelahiran bayi laki-laki. Sekitar 80-85% kasus
merupakan hemofilia A.(7)
Sampai saat ini dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-
linked recessive, yaitu Hemofilia A (hemofilia klasik) yang terjadi akibat
defisiensi atau disfungsi faktor pembekuan VIII; Hemofilia B yang terjadi akibat
defisiensi faktor IX.(7)

b. Manifestasi klinis
Secara klinis perdarahan pada hemofilia A dan B tidak dapat dibedakan.
Terdapat riwayat perdarahan abnormal yang bersifat terlamabat (delayed
bleeding) dan letaknya dalam misalanya hemartosis, hematoma, perdarahan

14
intrakranial yang terjadi spontan atau akibat trauma. Manifestasi perdarahan lain
misalnya berupa epistaksis atau hematuria. Seorang bayi harus dicurigai
menderita hemofilia jika ditemukan bengkak atau hematoma pada saat anak mulai
berjalan atau merangkak. Pada anak yang lebih besar dapat timbul hemartrosis di
sendi lutut, siku , atau pergelangan tangan.(7)

c. Pemeriksaan penunjang
Darah tepi rutin, terutama jumlah trombosit. Pemeriksaan masa perdarahan,
masa protrombin, masa trombin, masa tromboplastin parsial. Pemeriksaan
hemostasis khusus , pemeriksaan faktor VII dan XII.(7)

F. Koagulasi Intravaskular Diseminata


a. Etiologi
Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) merupakan kelainan
trombohemoragik yang bisa bersifat akut, subakut, atau kronik dan terjadi sebagai
komplikasi sekunder pada berbagai penyakit (Tabel 3.). DIC ditandai oleh
rangkaian koagulasi yang menimbulkan pembentukan mikrotrombus di seluruh
mikrosirkulasi. Sebagai akibat dari kelainan trombosis ini, terjadi konsumsi
trombosit, fibrin, serta faktor koagulasi, dan secara sekunder terdapat aktivasi
mekanisme fibrinolitik. Dengan demikian, KID dapat ditemukan bersama gejala
atau tanda-tanda yang berhubungan dengan infark akibat mikrotrombus dan
terjadi diatesis hemoragik yang terjadi karena aktivasi mekanisme fibrinolitik dan
deplesi unsur-unsur yang diperlukan bagi hemostasis.(9)

15
Tabel 3.(9)

b. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis KID dapat berkaitan dengan peristiwa KID itu sendiri,
dengan penyakit yang mendasari, atau keduanya. Perdarahan pada kulit, seperti
petekie, ekimosis, dari bekas suntikan atau tempat infus pada mukosa, sering
ditemukan pada KID akut. Perdarahan ini jugabisa masif dan membahayakan,
misalnya pada traktus gastrointestinal, paru, susunan saraf pusat atau mata.
Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas. Pada
kulit dapat berupa bula hemoragik, nekrosis akral dan gangren.(9)
Gambar 8.(10)

16
c. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium dasar,leukositosis sering ditemukan.
Granulositopenia juga dapat terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang untuk
mengimbangi kerusakan netrofil yang cepat. Pemeriksaan hemostasis yang secara
rutin dapat dilakukan adalah masa protrombin, masa protrombin parsial
teraktivasi, D-dimer, antitrombin III, fibrinogen, dan masa trombin. Pemeriksaan
koagulasi serial umumnya lebih menolong daripada satu kali pemeriksaan dalam
mendiagnosis KID.(4,9)

d. Tatalaksana
Penatalaksanaan KID terdiri dari 2 bagian, yaitu segera mengatasi penyakit
yang mendasari dan terapi suportif yang agresif, termasuk hipovolemia dan
hipoksemia. Jika kadar fibrinogen, trombosit, atau faktor pembekuan rendah dan
pasien mengalami perdarahan atau akan menjalani prosedur invasif, pemberian
faktor pembekuan seperti kreopresipitat, plasma beku segar, atau trombosit
konsentrat mungkin diperlukan. (9)

G. Defisiensi Vitamin K
Vitamin K merupakan naftoquinon yang berperan serta pada fosforilasi
oksidatif. Tidak adanya atau kegagalan dalam absorbsi vitamin K berakibat pada
hipoprotrombinemia dan menurunnya sintesis prokonvertin hati. Protrombin
(faktor II) dan prokonvertin (faktor VII) penting untuk proses koagulasi.(2)
Vitamin K terdiri atas cincin kuinon yang terikat pada rantai samping dan
bervariasi menurut sumber vitamin tersebut. Vitamin K1 (filokuinon) ditemukan
di dalam sebagian besar sayuran yang dapat dimakan, khususnya sayuran daun
hijau. Vitamin K2 (menadion) diproduksi oleh bakteri usus. Setelah penyerapan,
menadion dikonversi dalam tubuh menjadi menadion yang aktif. Penekanan
bakteri usus oleh berbagai antibiotik dapat menyebabkan defisiensi vitamin K.
Susu sapi lebih banyak mengandung vitamin K daripada air susu ibu.(2)

17
Defisiensi vitamin K atau hipoprotrombinemia harus dipikirkan pada semua
penderita dengan gangguan perdarahan. Insiden penyakit perdarahan neonatus
telah sangat menurun dengan pemberian vitamin K.(2,4)
Pemberian vitamin K oral dapat memperbaiki defisiensi protrombin ringan.
Pemberian untuk bayi 1-2 mg/hari biasanya cukup. Jika defisiensi protrombin
berat dan manifestasi perdarahan telah tampak, harus diberikan 5 mg/hari secara
parenteral.(4)

18
BAB III
KESIMPULAN

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Cotran, Ramzi, dkk. Robbins Buku Ajar Patologi. Ed. 7. Vol. 1. Jakarta :
EGC. 2007.
2. Fauci, Longo, dkk. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Ed.
USA : McGraw-Hill Companies. 2008.
3. Cotran, Ramzi, dkk. Robbins Buku Ajar Patologi. Ed. 7. Vol. 2. Jakarta :
EGC. 2007.
4. M. Kliegman, Robert. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th Ed. Philadelphia :
W. B. Saunders Company.
5. Sacher, A. Ronald. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Jakarta : EGC. 2002.
6. Clasidy, Petty, Laxer. Textbook of Pediatric Rheumathology. Philadelphia :
Saunders. 2005.
7. Sastroasmono, Sudigdo, dkk. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu
Penyakit Anak. Jakarta : FKUI. 2007.
8. Mills JA, Michel BA, Bloch DA, Calabrese LH, Hunder GG, Arend WP, et
al. The American College of Rheumatology, Criteria for the Classification of
Henoch-Schonlein purpura. 1990.
9. Sudoyo, Aru w.,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Internal
Publishing. 2009
10. Lanzkowsky P. Manual of pediatric haematology and oncology, 2nd Ed. New
York: Churchill Livingstone, 1995.
11. Corrigan JJ. Platelet and Vascular Disorders. Dalam : Miller DR, Baehner
RL, penyunting. Blood Disease of Infancy and Childhood, 6th Ed.
Philadelphia: Mosby. 1990.
12. Yu WC, Korb J, Sakamoto KM. Idiopathic Trombocytopenic Purpura.
Pediatr Rev 2000.
13. Medeiros D, Buchanan GR. Current Controversies in the Management of
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura During Childhood. Pediatr Clin North
Am.1996.

20
14. Douglas B, Cines MD, Immune Thrombocytopenic Purpura. N Engl J Med.
2002.
15. Imbach P. Immune Thrombocytopenic Purpura. Dalam: Lilleyman JS, Hann
IM, Blanchette VS, penyunting. Pediatric Hematology, edisi ke 2. New York:
Churchill Livingstone. 1998.
16. Munthe BG. Purpura Trombositopenik Idiopatik. Dalam : Wahidiyat I, Gatot
D, Mangunatmadja I, penyunting naskah lengkap pendidikan tambahan
berkala ilmu kesehatan anak ke XXIV. Jakarta. 1996.
17. Castaman G, Federici AB, Rodeghiero F, Mannucci PM. Von Willebrand’s
Disease in the year 2003: towards the complete identification of gene defects
for correct diagnosis and treatment haematologica. 2003.
18. Federici AB. Clinical Diagnosis of Von Willebrand disease. 2004.

21

Anda mungkin juga menyukai