Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 65 tahun

Pekerjaan : Petani

Agama : Islam

Status : Menikah

Masuk IGD RS : 26-03-2016

Keluhan utama:

BAB cair warna hitam

Anamnesis Terpimpin

Pasien BAB cair warna hitam sejak 3 hari yang lalu disertai muntah warna

hitam, awalnya hanya sedikit, tapi hari ini sudah 3 kali. Nyeri ulu hati (+), demam

(-), riwayat dispepsia (+). Riwayat hipertensi dan DM tipe 2 disangkal.

Riwayat sosial

- Bekerja sebagai Petani

- Jarang olahraga

- Makan tidak teratur

- Merokok

- Kadang-kadang minum alkohol


Pemeriksaan fisik

- Keadaan umum : tampak sakit sedang

- Kesadaran : E3M5V4

- Tanda vital

Tekanan darah : 90/palpasi mmHg

Nadi : 90 x/ menit, reguler, agak lemah

Pernapasan : 20 x/ menit teratur

Suhu : 36.3 C

- Status Gizi

Berat Badan : 55 kg

Tinggi Badan : 170 cm

IMT : 19

Kesan : Normal

- Status Generalis

o Kepala : normochepali, rambut hitam, distribusi merata,

tidak mudah rontok.

o Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-),

palpebra cekung (+/+)

o Hidung : sekret (-), darah (-/-),

o Telinga : normotia, sekret(-)

o Mulut : chielitis (-), mukosa lembab (+), gusi berdarah (-),

atrofi papila lidah (-), oral ulcer/stomatitis (-), uvula simetris

o Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak teraba besar


o Thoraks :

Paru

Inspeksi : Kedua hemithoraks simetris saat statis dan

dinamis, retraksi intercostae tidak ada, pelebaran sela iga

tidak ada

Palpasi : Vokal fremitus kedua hemithoraks sama, massa (-)

Perkusi : Sonor pada kedua hemi thoraks

Auskultasi : Suara nafas vesikuler di kedua lapang paru,

ronkhi-/-, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V satu linea mid-

clavicularis sinistra.

Perkusi :Batas kiri: ICS V linea mid-clavicularis

sinistra.

Batas kanan: linea parasternalis dextra

Batas pinggang: ICS III linea parasternalis

sinistra

Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-)

o Abdomen :

Inspeksi : datar, tidak terlihat adanya massa,

perubahan warna (-).

Auskultasi : bising usus (+) normal


Perkusi : timpani, shifting dullness (-)

Palpasi : supel, nyeri tekan (+) di epigastrium,

defans (-), massa (-), hepar tidak teraba besar, lien tidak

teraba membesar

o Ektremitas

Atas : Akral hangat, oedem (-/-), sianosis (-)

Bawah : Akral hangat, oedem (-/-), CRT <2, sianosis (-)

Kulit: pucat (+), ikterik (-), turgor lambat, petekiae (-)

Diagnosis

Hematemesis dan melena ec susp. Ulkus peptikum

Syok hipovolemik

Tatalaksana IGD

Ivfd NaCl guyur 500 cc selanjutnya 24 tetes/menit TD 90/60mmHg

Asam tranexamat 250 mg/8jam/iv

Omeprazole 40 mg/12jam/iv

Sucralfat syr 3x2C

Transfusi PRC 400cc

Cek Hb dan GDS cito

Observasi 15 menit

E2M5V2, TD sulit terdengar, N 96x/m lemah, R 16x/m, BAB cair masif,

muntah hitam 2 kali.

- Dilakukan bagging

- Guyur NaCl 2 line hingga tekanan darah terdeteksi.


- Extra asam traneksamat 250mg/iv

- Extra omeprazole 40mg/iv

- Vit. K 1 amp/iv

- Hb cito: 3.6 mg/dl

10 menit kemudian

TD belum terdeteksi, N tidak teraba. BAB cair hitam masih terus keluar.

- Dilakukan RJP 5 siklus

- Guyur Gelafusal 500 cc

- Cek A. Karotis tidak teraba epinefrin 1 amp/iv

- RJP 5 siklus

- Pasang EKG asistol


PEMBAHASAN

Syok hipovolemik adalah suatu kondisi yang disebabkan kehilangan darah

yang banyak akibat perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat terbuka atau

tersembunyi dalam organ tubuh. Syok hipovolemik yang akan dibahas dalam

makalah ini adalah syok hipovolemik hemoragik perioperatif, yaitu syok yang

terjadi preoperatig, intraoperatif, ataupun postoperatif.

Terdapat cairan sedikitnya setengah dari berat badan pada orang dewasa

yang sehat. Volume total cairan (dalam liter) sebanding dengan 60% berat badan

(dalam kilogram) pada pria, dan 50% pada wanita. Jumlah cairan dan perkiraan

volume darah berdasarkan berat badan ditunjukkan pada tabel 1.1

Tabel 1. Cairan Tubuh dan Volume Darah

Cairan Pria Wanita

Total cairan tubuh 600 mL/kg 500 mL/kg

Whole blood 66 mL/kg 60 mL/kg

Plasma 40 mL/kg 36 mL/kg

Eritrosit 26 mL/kg 24 mL/kg

Respons Kompensasi

Hilangnya darah memicu respons kompensasi tertentu yang membantu

untuk mempertahankan volume darah dan perfusi jaringan. Respons yang paling

awal meliputi perpindahan cairan interstisial ke dalam kapiler. Pengisian


transkapiler ini dapat menggantikan sekitar 15% dari volume darah, namun hal ini

menyebabkan terjadinya kekurangan cairan interstisial.

Kehilangan darah yang akut juga memicu aktivasi sistem renin-angiotensin-

aldosteron oleh ginjal, untuk mempertahankan kadar natrium. Natrium yang

dipertahankan berdistribusi dalam cairan ekstraseluler. Karena cairan interstisial

menyusun sekitar 2/3 cairan ekstraseluler, natrium yang dipertahankan akan

membantu menggantikan kekurangan cairan interstisial yang diakibatkan oleh

pengisian transkapiler. Kemampuan natrium untuk menggantikan kekurangan

cairan interstisial, bukan volume darah interstisial, merupakan alasan bahwa cairan

kristaloid yang mengandung natrium klorida (cairan salin) lebih disukai sebagai

cairan resusitasi untuk perdarahan akut.

Dalam beberapa jam setelah onset perdarahan, sumsum tulang mulai

meningkatkan produksi sel darah merah. Respons ini terbentuk secara perlahan-

lahan, dan penggantian sepenuhnya eritrosit yang hilang dapat dicapai dalam 2

bulan.

Respons kompensasi ini dapat mempertahankan volume darah yang adekuat

pada kasus perdarahan sedang (misalnya kehilangan < 15% volume darah). Saat

darah yang hilang melebihi 15% volume darah, umumnya diperlukan penggantian

volume darah.
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4

Kehilangan Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000

darah (ml)

Kehilangan Sampai 15% 15-30% 30-40% >40%

darah (%BV)

Nadi <100 >100 >120 >140

Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun

Tekanan nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun

meningkat

Frekuensi napas 14-20 20-30 30-40 >35

Urin (ml/jam) >30 20-30 5-15 Tidak ada

Status mental Gelisah Gelisah Gelisah dan Gelisah dan

ringan sedang bingung letargi

Cairan kristaloid kristaloid Kristaloid Kristaloid

pengganti dan darah dan darah

Evaluasi Klinis

Evaluasi klinis pada pasien-pasien yang mengalami perdarahan bertujuan

untuk menentukan seberapa besar kekurangan volume darah dan pengaruhnya

terhadap aliran sirkulasi dan fungsi organ.1,3,4

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis pada pasien dengan syok hemoragik dilakukan untuk

mengetahui sebab dan jumlah darah yang keluar akibat terjadinya perdarahan
seperti mekanisme trauma, lama perdarahan, dan kelainan yang terdapat pada

pasien. Selain itu, perlu ditanyakan penanganan pre rumah sakit terutama

pemberian cairan, perubahan tanda vital, dan lama penanganan yang diberikan.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi:

1. Kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan

a. Sumber perdarahan biasanya terlihat

b. Aliran darah kulit kepala banyak dan dapat menghasilkan perdarahan yang

signifikan

c. Perdarahan intrakranial terutama pada usia muda

2. Dada

a. Perdarahan rongga toraks dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik

b. Hemotoraks dapat meliputi distres pernapasan, penurunan bunyi napas, dan

perkusi pekak

c. Tension hemothorax

3. Abdomen

a. Perlukaan terhadap hati atau limpa adalah penyebab umum syok

perdarahan. Ruptur spontan aneurisma aorta abdominal dapat juga

menyebabkan perdarahan intraabdominal berat dan syok

b. Darah dapat mengiritasi rongga peritoneal dan dapat menimbulkan nyeri

tekan dan peritonitis

c. Distensi abdominal progresif pada syok perdarahan menjadi temuan pada

perdarahan intraabdominal
4. Pelvis

a. Fraktur dapat menyebabkan perdarahan masif

b. Ekimosis pada panggul belakang dapat mengindikasikan perdarahan

retroperitoneal

5. Ekstremitas

a. Perdarahan ekstremitas dapat terlihat atau tersembunyi

b. Fraktur femur dapat menyebabkan kehilangan darah signifikan

6. Sistem Saraf

a. Agitasi dapat dilihat pada tahap awal syok perdarahan

b. Penurunan kesadaran dapat timbul apabila terjadi hipoperfusi serebral

Tanda Vital

Takikardi (denyut nadi > 90 kali per menit) sering diasumsikan sebagai hal

yang umum ditemukan pada pasien hipovolemik, namun pada posisi terlentang

tidak ditemukan takikardi pada mayoritas pasien dengan perdarahan sedang hingga

berat. Kenyataannya, dapat lebih sering ditemukan bradikardi pada perdarahan

akut. Hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg) pada posisi terlentang juga

merupakan penanda perdarahan akut yang tidak sensitif. Hipotensi umumnya

timbul pada hipovolemia tahap lanjut, saat kehilangan darah melebihi 30% dari

volume darah total. Metode yang digunakan untuk mengukur tekanan darah

merupakan pertimbangan yang penting pada pasien yang mengalami perdarahan,

karena pada tahap aliran rendah, pengukuran noninvasif sering memberikan nilai

rendah yang palsu. Untuk mendapatkan hasil yang sebenarnya, direkomendasikan


pemeriksaan intraarterial langsung untuk memonitor tekanan darah pada pasien

yang mengalami perdarahan.

Penatalaksanaan Syok Hemorargik

Penatalaksanaan pasien dengan syok hemoragik adalah resusitasi cairan.

Selain itu dicari sumber perdarahan dan dilakukan usaha menghentikan perdarahan

yang terjadi. Seperti halnya resusitasi kasus lain, jalan napas dan pernapasan

(airway dan breathing) tetap diperhatikan.2,5 Kombinasi dari syok dan gagal napas

mengakibatkan mortalitas yang sangat tinggi. Dengan demikian setiap pasien syok

harus diberikan oksigen tinggi menggunakan masker. Bila pernapasan tidak

adekuat, intubasi secepatnya dilakukan.

Perdarahan luar yang terlihat segera dikontrol dengan penekanan lokal. Bila

usaha resusitasi menunjukkan kemungkinan perdarahan intraabdominal atau

perdarahan intratorakal yang sedang berlangsung. Pemeriksaan yang rumit

seminimal mungkin dilakukan dan usaha operasi definitif secepatnya dilakukan.

Dasar Resusitasi Cairan

Keberhasilan dalam penanganan pasien dengan hipovolemi ditentukan oleh

penggantian cairan dengan cepat, di mana angka kematian akibat syok hipovolemik

secara langsung berhubungan dengan derajat dan durasi hipoperfusi organ. Di

bawah ini dibahas mengenai resusitasi cairan dan hal-hal yang berhubungan.4

1. Kanulasi Vena

Hal yang perlu dipikirkan dalam resusitasi cairan adalah akses

pemberian cairan. Pada pasien dengan trauma multipel berat syok

hemoragik, akses vena diperlukan untuk mengembalikan cairan yang


hilang. Faktor yang mempengaruhi akses vena adalah letak anatomis vena,

beratnya cedera pada tubuh serta kemampuan dan pengalaman dokter yang

menolong. Akses vena tidak boleh diberikan pada ekstremitas yang terluka.

Menurut acuan dari ATLS, pada kasus syok hemoragik, akses vena

yang disarankan adalah dua infus vena dengan diameter besar. Pilihan

pertama adalah infus perifer seperti vena pergelangan tangan dan punggung

tangan, pada fosa antekubiti dan vena savena. Tempat lain yang jarang

dipilih adalah vena femoralis dan jugularis. Vena subklavia dan jugular

interna sebaiknya tidak secara rutin diberikan pada syok hipovolemik.

Komplikasinya tinggi dan keberhasilannya rendah karena vena sering

kolaps. Akses cairan melalui vena perifer dapat menjadi sulit pada pasien

syok hipovolemik dengan vena yang sudah kolaps, edema, kegemukan,

jaringan parut, riwayat penggunaan obat intravena dan luka bakar. Pada

keadaan tertentu akses vena sentral dengan kateter diameter besar dapat

dicoba pada vena femoral secara perkutan atau vena seksi. Akses vena

subklavia menyediakan akses cepat dan aman di tangan ahli. Komplikasi

tersering adalah pneumotoraks. Pneumotoraks terjadi pada paru kiri karena

secara anatomis pleura pada paru kiri lebih tinggi. Komplikasi lainnya

seperti perforasi vena atau arteri atau emboli udara vena. Pada pasien

trauma, akses vena jugular jarang digunakan karena kecurigaan trauma

servikal.
2. Aliran Cairan Resusitasi

Terdapat tiga jenis cairan resusitasi, yaitu:

1. Cairan yang mengandung sel darah merah (whole blood dan

konsentrat eritrosit/ packed cells)

2. Cairan yang mengandung molekul-molekul besar yang kemampuan

terbatas untuk keluar dari pembuluh darah (cairan koloid)

3. Cairan yang hanya mengandung elektrolit (natrium dan klorida) dan

molekul-molekul kecil yang dapat keluar masuk pembuluh darah

secara bebas (cairan kristaloid)

Laju aliran ketiga jenis cairan resusitasi ini bergantung pada

viskositasnya. Cairan yang mengandung sel darah merah adalah satu-

satunya cairan resusitasi yang memiliki viskositas lebih tinggi dari air.

Viskositas yang tinggi ini adalah akibat dari kepadatan eritrosit atau

hematokrit. Dengan demikian laju aliran whole blood lebih rendah dari air

dan albumin 5% sementara aliran packed RBCs adalah yang paling lambat.

Aliran yang lambat ini dapat ditingkatkan dengan pemberian tekanan pada

kolf darah menggunakan manset. Dapat juga ditambahkan cairan garam faal

pada infus yang dapat menurunkan viskositas darah. Kesalahpahaman yang

sering terjadi adalah pernyataan bahwa laju aliran koloid lebih rendah

dibanding laju aliran cairan kristaloid atau air. Viskositas adalah fungsi dari

densitas sel sehingga laju aliran cairan tanpa sel sama dengan laju aliran air.
Strategi Resusitasi

Resusitasi yang dilakukan dalam mengatasi syok hemorargik terdriri

atas dua tahap yaitu resusitasi dini (early resuscitation) dan resusitasi lambat

(late resuscitation).6 Pembagian kedua tahapan ini dikarenakan adanya suatu

siklus yang menyebabkan resusitasi tidak dapat dilakukan hanya di awal saja.

Ketika terjadi syok hemorargik dan dilakukan resusitasi cairan, akan terjadi

dilusi dari sel darah merah yang akan mengurangi pengantaran oksigen. Hal

tersebut akan menyebabkan hipotermia dan koagulopati. Selain itu, cairan tubuh

yang meningkat akan meningkatkan tekanan darah, dan karena adanya efek

reversal dari vasokonstriksi pembuluh darah akan menyebabkan perdarahan

yang semakin banyak sehingga membutuhkan lebih banyak cairan resusitasi.

Pada akhirnya, siklus kenaikan tekanan darah dalam waktu singkat, perdarahan

yang makin banyak, dan kembali ke hipotensi akan terjadi terus menerus bila

resusitasi tidak dilakukan dalam dua tahap.

Resusitasi dini dilakukan ketika perdarahan aktif masih berlangsung

pada pasien. Resusitasi lambat dilakukan setelah seluruh perdarahan dapat

dikontrol. Karena dilakukan pada kondisi yang berbeda, maka tujuan dari kedua

resusitasi ini berbeda.

Tujuan dari resusitasi dini adalah:6

- Mempertahankan tekanan darah sistolik pada level 80-100 mmHg.

- Mempertahankan hematokrit 25-30%.

- Mempertahankan PT dan PTT pada kisaran normal.

- Mempertahankan trombosit > 50.000.


- Mempertahankan kalsium terionisasi serum dalam batas normal.

- Mempertahankan suhu > 35C.

- Mempertahankan fungsi oksimetri denyut.

- Mencegah peningkatan serum laktat.

- Mencegah perburukan asidosis.

Setelah perdarahan terkontrol, resusitasi akan memasuki fase

selanjutnya yaitu fase lambat. Tujuan dari resusitasi fase lambat adalah: 6

- Mempertahankan tekanan darah sistolik di atas 100 mmHg.

- Memperahankan hematokrit di atas batas transfusi individu.

- Normalisasi status koagulasi.

- Normalisasi keseimbangan elektrolit.

- Normalisasi temperatur tubuh.

- Mengembalikan output urin ke batas normal.

- Maksimalisasi curah jantung dengan metode invasif maupun non invasif.

- Memperbaiki asidosis sistemik.

- Menurunkan laktat ke batas normal.

Pada saat resusitasi fase lambat ini dilakukan, pemberian cairan tetap

dilakukan sampai diyakini sudah terjadi perfusi sistemik yang adekuat.

Tujuan utama penggantian cairan pada kehilangan darah akut adalah

mempertahankan ambilan oksigen (VO2) oleh jaringan dan mempertahankan

kelangsungan metabolisme aerobik.4 Cairan pengganti logikanya sesuai

dengan cairan yang keluar atau yang mendekati. Kontroversi masih terjadi

seputar penggunaan cairan kristaloid maupun koloid sebagai pengembang


plasma. Pendukung koloid berpendapat bahwa resusitasi menggunakan koloid

lebih cepat dan aman bagi paru-paru. Sementara pengguna kristaloid

berpendapat bahwa kristaloid lebih tepat menangani syok karena

menggantikan cairan intravaskular dan ekstravaskular (karena pada syok

terjadi pengecilan volume cairan ekstraselular). Kristaloid lebih murah

walaupun dibutuhkan volume yang lebih besar (dibutuhkan 2-4 kali cairan

kristaloid agar efek resusitasinya sama dengan koloid). Cairan koloid memiliki

efek alergi lebih sedikit. Walaupun begitu tidak terdapat bukti yang

mengharuskan seseorang menggunakan salah satu cairan. Penggunaan kedua

cairan bersama-sama sering digunakan dalam klinis sehari-hari.

Kehilangan darah akut mempengaruhi dua komponen yaitu curah

jantung dan konsentrasi hemoglobin dalam darah. Dengan begitu resusitasi

mencakup bagaimana cara meningkatkan curah jantung dan mengoreksi

kekurangan hemoglobin.

A. Meningkatkan Curah Jantung

Konsekuensi dari curah jantung yang menurun jauh lebih

membahayakan dari konsekuensi anemia, jadi prioritas pertama dalam

penatalaksanaan pasien dengan perdarahan adalah meningkatkan curah

jantung.

Cairan resusitasi dan curah jantung

Kemampuan setiap jenis cairan untuk meningkatkan curah jantung

dinilai dengan mengukur dan membandingkan infus whole blood (1 unit = 450

ml), packed cells (2 unit = 500 ml), dextran-40 (500 ml). Didapatkan efek infus
ketiga cairan ini selama satu jam dalam meningkatkan curah jantung adalah

sama. Sedangkan kemampuan cairan Ringer laktat (1 L) adalah dua kali cairan

lainnya. Bila dibandingkan volume per volume maka cairan koloid adalah yang

paling efektif. Koloid dua kali lebih efektif dibanding whole blood, enam kali

lebih efektif dari packed cells dan delapan kali lebih efektif dibanding cairan

kristaloid (RL). Kemampuan darah yang terbatas untuk meningkatkan curah

jantung adalah karena efek viskositas darah. Jika peningkatan curah jantung

adalah prioritas pertama dalam penatalaksanaan perdarahan akut maka darah

bukanlah cairan yang dipilih sebagai terapi awal resusitasi cairan.

Cairan koloid dan kristaloid

Kedua jenis cairan ini memiliki viskositas mendekati air karena

keduanya tidak mengandung sel. Perbedaan keduanya adalah pada distribusi

volume cairannya. Cairan kristaloid tersusun atas natrium yang terdistribusi

merata pada cairan ekstraselular. Plasma darah mewakili 20% cairan

ekstraselular sehingga cairan kristaloid yang mengisi pembuluh darah hanya

20% cairan yang masuk. Delapan puluh persen sisanya akan keluar ke cairan

interstisial. Cairan koloid di lain pihak akan menambah volume plasma karena

molekul koloid yang besar tidak dengan mudah keluar pembuluh darah. Sekitar

75 atau 80% cairan infus koloid akan tetap berada di ruang vaskular dan

menambah volume plasma paling tidak pada jam-jam awal infus. Peningkatan

curah jantung adalah efek dari peningkatan preload (peningkatan volume darah)

dan efek penurunan afterload (efek dilusi dari viskositas darah). Berikut poin

penting dalam resusitasi cairan:


Cairan koloid lebih efektif dari whole blood, packed cells dan cairan

kristaloid untuk meningkatkan curah jantung

Konsentrat eritrosit relatif tidak efektif untuk meningkatkan curah jantung

sehingga sebaiknya tidak digunakan sendirian pada resusitasi

Cairan koloid menambah volume plasma sementara cairan kristaloid

menambah volume interstisial

Untuk mendapatkan efek yang sama pada curah jantung, volume infus

cairan kristaloid setidaknya tiga kali lebih banyak dari volume infus cairan

koloid
Memperkirakan volume cairan total

Pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Memperkirakan jumlah volume darah normal. Caranya adalah dengan

menghitung berat badan dikali 66 ml (laki-laki) atau 60 ml (perempuan).

Memperkirakan jumlah darah yang keluar. Kelas I bila kehilangan darah < 15%

volume darah, kelas II bila kehilangan darah 15-30% volume darah, kelas III

bila kehilangan darah 30-40% dan kelas IV bila kehilangan darah lebih dari

40% volume darah.

Menghitung defisit volume dengan mengkalikan volume darah normal dikali %

kehilangan darah

Menghitung jumlah cairan untuk masing-masing jenis cairan yang dibutuhkan

dengan anggapan bahwa peningkatan volume darah adalah 100% volume infus

whole blood, 50-75% volume infus cairan koloid dan 20-25% volume infus

cairan kristaloid. Volume resusitasi setiap cairan dihitung dari defisit volume

dibagi persen retensi cairan. Sebagai contoh jika defisit volume 2 L dan cairan

resusitasi yang digunakan adalah koloid (50-75% tertahan di intra vaskular)

maka volume resusitasi adalah 2/0,75 = 3 L hingga 2/0,5 = 4 L cairan koloid.


Tabel 2. Estimasi Volume Resusitasi

Tahapan Determinasi Jumlah Volume

1. Estimasi volume darah normal (BV) BV = 70mL/kg ()

= 65 mL/kg ()

2. Estimasi % volume darah yang Kelas I: < 15%

hilang Kelas II: 15-30%

Kelas III: 30-40%

Kelas IV: > 40%

3. Kalkulasi defisit volume (VD) VD = BV x % BV yang hilang

4. Determinasi volume resusitasi (RV) RV = VD x 1 (koloid)

= VD x 3 (kristaloid)

Setelah volume penggantian total dihitung, kecepatan penggantian cairan dihitung

berdasarkan kondisi klinis pasien.

B. Pemantauan Resusitasi

Selama resusitasi perlu dipantau laju jantung, tekanan darah, frekuensi

napas, urin yang keluar, status mental dan suhu tubuh. Vena sentral dapat

digunakan untuk memantau preload pada ventrikel kanan. Pemeriksaan

laboratorium rutin termasuk diantaranya gas darah, elektrolit dan keseimbangan

asam basa, fungsi hati dan ginjal, gula darah, hematologi dan koagulasi rutin.

Kadar laktat cukup sering digunakan untuk mengetahui efektivitas dukungan

kardiovaskular.
DAFTAR PUSTAKA

1. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal

of Emergency Surgery. 2006. 1-14

2. Martel MJ. Hemorrhagic shock. J Obstet Gynaecol Can. Vol 24 (6). 2002.

504-11

3. Stern SA. Low-volume fluid resuscitation for presumed hemorrhagic

shock:Helpful or harmful? Curr Opin Crit Care 7:422, 2001

4. Sjamsuhidayat, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005. 119-

24

5. Udeani J. Shock, Hemorrhagic. 2008 [cited November 26th 2011

6. Brandler ES, editor. Cardiogenic shock in emergency medicine [monograph

onthe Internet]. 7.Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov

29]

7. Lenneman A, Ooi HH, editors. Cardiogenic shock. [monograph on

theInternet]. Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29]

8. Suryono B. Diagnosis dan pengelolaan syok pada dewasa. [Clinical

updatesemergency case]. FK UGM: RSUP dr. Sadjito, 2008

9. Japardi, Iskandar. 2002. Manifestasi Neurologik Shock Sepsis

Anda mungkin juga menyukai