Anda di halaman 1dari 46

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT BHAKTI KARTINI

NOMOR : 007/SK-DIR/RSBK/XI/2017/SK PPK ANESTESI


TENTANG
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK) SMF ANESTESI
RUMAH SAKIT BHAKTI KARTINI

Tindakan Nama Jabatan Tandatangan


Ketua SMF Anestesi
Disiapkan dr. Haryana Sp. An

Diperiksa Dr. Dwi Wahyono Ka. Yanmed

Disetujui Dr. M. Afton Hidayat, MARS. Direktur RSBK

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................ 1


Daftar Isi ......................................................................................................... 2
Kata Pengantar................................................................................................ 3
Peraturan Direktur tentang Panduan Praktek Klinis (PPK) SMF Anestesi. 4
Panduan Praktik Klinik KUNJUNGAN PREANESTESI...................................... 8
Panduan Praktik Klinik PROSEDUR ANESTESI UMUM DENGAN INTUBASI
ENDOTRAKEAL.................................................................................................. 10
Panduan Praktik Klinik PROSEDUR ANESTESI UMUM DENGAN TOTAL
INTRAVENA...................................................................................................... 12
Panduan Praktik PROSEDUR ANESTESI UMUM DENGAN INHALASI VIA
FACE MASK................................................................................................... 14
Panduan Praktik Klinik PROSEDUR REGIONAL ANESTESI BLOK
SUBARACHNOID.......................................................................................,..... . 16
Panduan Praktik Klinik PROSEDUR REGIONAL ANESTESI BLOK
EPIDURAL......................................................................................................... 18
Panduan Praktik Klinik MANAJEMEN NYERI .................................................. 20
Panduan Praktik Klinik TATA LAKSANA SYOK................................................... 24
Panduan Praktik Klinik EKLAMPSI DAN PREEKLAMPSI BERAT ................... 26
Panduan Praktik Klinik PROSEDUR PEMASANGAN PERAWATAN PASIEN
INTENSIF DENGAN VENTILATOR................................................................... 29

Panduan Praktik Klinik PROSEDUR WEANING (PENYAPIHAN) DENGAN


VENTILATOR.................................................................................................. 33
Panduan Praktik Klinik ARDS (ACUTE RESPIRATORY DISTRESS
SYNDFROME).................................................................................................... 35

Panduan Praktik Klinik GANGGUAN ELEKTROLIT MENGANCAM


NYAWA.............................................................................................................. 41

Disclaimer.......................................................................................................... 45
Penutup.............................................................................................................. 46

2
KATA
PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Demi kelancaran Pelayanan Medis di Bagian Anestesi, maka perlu dibuat


Prosedur Tetap dalam bentuk Panduan Praktik Klinis sebagai acuan dokter
Anestesi dalam bertugas. Adanya buku ini diharapkan menjadi pedoman kerja bagi
tenaga medis, petugas pelayanan Anestesi dan pihak terkait dalam
meningkatkan pelayanan, selain itu juga dapat menjadi bahan referensi.
Pada kesempatan ini disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada semua Staf Medis atas kerjasamanya yang baik dalam menyusun buku
Panduan praktik klinis Anestesi ini.

Kami berharap agar keberhasilan yang telah dicapai akan memacu kita
semua untuk turut menambah buku-buku ilmiah yang berguna bagi peningkatan
pelayanan Penyakit Paru.
Semoga keberadaan buku Panduan PraktikKlinis ini bermanfaat.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bekasi,
Mengetahui,
KETUA KOMITE MEDIK KA SMF ANESTESI
RS BHAKTI KARTINI RS BHAKTI KARTINI

(dr. H. R. Sutarji. SpOG) (dr.Haryana Sp. An.)

Mengesahkan
,
DIREKTUR RS
BHAKTI KARTINI

dr. M. Afton Hidayat, MARS

3
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAHSAKIT BHAKTI KARTINI
NOMOR : 007/SK-DIR/RSBK/XI/2017/SK PPK SARAF
TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) SMF ANESTESI
RUMAHSAKIT BHAKTI KARTINI

DIREKTUR RUMAH SAKIT BHAKTI KARTINI

MENIMBANG : a. bahwa dalam rangka meningkatkan mutu


kesehatan di Rumah Sakit Bhakti Kartini perlu
pelayanan
disusun panduan praktik klinis bagi dokter di Rumah
Sakit Bhakti Kartini
Sakit
b. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Rumah Sakit
Bhakti
Islam Kartini bertujuan untuk memberikan acuan
Dokter
bagi dalam memberikan pelayanan dalam
meningkatkan
rangka mutu pelayanan sekaligus
angka rujukan.
menurunkan
c. Bahwa buku Panduan Praktik Klinis tersebut
sebagai
digunakanbahan acuan kegiatan pelayanan medis
d. Bahwa untuk kepentingan tersebut di atas
sehari hari.
ditetapkan
perlu dalam surat keputusan .

MENGINGAT : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44


tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. Undang – undang Republik Indonesia Nomor 29
tahun 2004 tentang praktek kedokteran.

3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis
Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1438 / PER/
Menkes/IX / 2010 tentang Standar Pelayanan
Kedokteran
5. Peraturan Mentri Kesehatan Nomor
:417/Menkes/ Per/II/2011 tentang Komisi Akreditasi
Rumah Sakit

4
5
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :

PERTAMA : Panduan Praktik Klinis Smf Anestesi di rumah sakit bhakt


kartini dimana terlampir dalam keputusan ini.
KEDUA : Panduan Praktik Klinis dibuat oleh masing masing
SMF dibantu oleh Staf Bidang pelayanan medik dan Komite
medis RS Bhakti Kartini atas perintah Direktur
KETIGA : Panduan Praktik Klinis merupakan standar pelayanan
yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam
menyelenggarakan praktik kedokteran
KEEMPAT : Komite medis membuat kebijakan untuk menugaskan kepada
tiap SMF untuk membuat pendataan PPK yang akan
dibuat.Setiap SMF melakukan pemilahan penyakit
berdasarkan jenis yang termasuk High Cost , High Risk ,
dan High Volume
KELIMA : Panduan Praktik Klinis bersumber dari Panduan
Nasional Praktik Klinis Indonesia sesuai bagian displin
ilmu masing masing atau sesuai dengan Kesepakatan yang
dikeluarkan oleh kolegium masing-masing disiplin ilmu atau
dapat juga dari kepustakaan yang telah diakui secara
evidence-based atau dari literature terkini.
KEENAM : Dalam setiap dokumen PPK serta perangkat implementasi nya
mutlak harus dituliskan bab tentang disclaimer ( wewanti /
penyangkalan ) yang mencakup untuk average patient ,
untuk penyakit / kondisi patologis tunggal, Reaksi
individual terhadap prosedur diagnosis dan terapi bervariasi ,
dianggap valid pada saat dicetak ,Praktek Kedokteran
modern harus lebih mengakomodasi preferensi pasien dan
keluarga.Dalam menggunakannya pada pelayanan PPK
dibantu dengan alat bantu berupa Clinical Pathways,
Algoritme, Protokol, Prosedur tindakan, Standing Order.

6
KETUJUH : Pelaksanaan Evaluasi PPK berupa Audit Klinis dan
atauPembahasan Kasus sesuai PPK di Rumah Sakit oleh SMF
terkait bersama Komite Medik .
KEDELAPAN : Panduan Praktik Klinis berlaku selama dua tahun serta
berlaku sejak tanggal diterbitkan , di evaluasi
minimal setahun sekali dan dilakukan revisi apabila telah tidak
sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran terkini. Revisi
dapat juga dilakukan lebih cepat apabila diperlukan
KESEMBILAN : Anggaran untuk segala keperluan yang berhubungan dengan
PPK dibebankan oleh Rumah Sakit
KESEPULUH : Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan
dan perbaikan, maka akan dilakukan perubahan dan
perbaikan sebagaimana mestinya

Ditetapkan di : Bekasi
Tanggal : 18 November

RUMAH SAKIT BHAKTI KARTINI

Dr. M. Afton Hidayat, MARS

7
LAMPIRAN SK DIREKTUR RUMAH SAKIT BHAKTI KARTINI
NOMOR : 007/SK-DIR/RSBK/XI/2017/SK PPK ANESTESI
TANGGAL : 18 November 2017

Panduan Praktik Klinis


SMF ANESTESI
DI RSBK

KUNJUNGAN PREANESTESI
No. Dokumen : 01/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Kunjungan pra anesthesia adalah kunjungan pada pasien untuk
evaluasi kondisi kelayakan dan persiapan untuk tindakan pembiusan
di RS Bhakti Kartini Bekasi
2. Indikasi  Pasien yang akan dilakukan tindakan pembiusan elektif akan
mendapatkan kunjungan anestesi/pelaporan SBAR TBAK dari
dokter umum setidaknya satu hari sebelum pembiusan
 Pasien yang akan dilakukan tindakan pembiusan darurat akan
mendapatkan kunjungan anestesi/pelaporan SBAR TBAK dari
dokter umum sebelum tindakan pembiusan
3. Kontra Indikasi Tidak ada

4. Persiapan a. Inform consent


b. Stetoskop, spigmomanometer, thermometer, timbangan badan,
pengukur tinggi badan, meja periksa dan tempat tidur periksa
pasien
c. Rekam medis pasien
5. Prosedur Tindakan a. Perkenalan dengan pasien
b. Melakukan anamnesa mengenai alergi, obat yang dikonsumsi,
riwayat penyakit dahulu, makan minum terakhir, kronologis
kejadian atau penyakit saat ini, riwayat operasi/pembiusan
terdahulu
c. Melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh
d. Mengevaluasi pemeriksaan penunjuang yang telah dilakukan
e. Menambahkan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
f. Melakukan konsultasi dengan pihak terkait bila diperlukan
g. Menjelaskan tindakan pembiusan yang akan dilakukan (tindakan,
indikasi, kontraindikasi, resiko, komplikasi, perawatan lanjutan)
h. Menjelaskan tindakan yang perlu dilakukan (cvc, arteri line,
tranfusi darah, pemberian analgetik paska pembiusan)
i. Menentukan ASA dan merencanakan tindakan
j. Membuat inform consent pembiusan dan tindakan lain yang akan
dilakukan
k. Persiapan tempat perawatan lanjutan
6. Pasca Prosedur Tindakan a. Menambahkan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
b. Melakukan konsultasi dengan pihak terkait bila diperlukan
c. Penyimpanan inform consent
d. Pasien dipuasakan
Dewasa: 6-8 jam sebelum tindakan pembiusan terakhir
makan/minum, obat oral diminum 2 jam sebelum pembiusan
dengan air 2 teguk
Anak: 6-8 jam sebelum tindakan pembiusan terakhir makan/minum
susu, 2 jam sebelum tindakan terakhir minum air putih
Bayi: 6 jam sebelum tindakan terakhir makan/minum susu formula,
8
4 jam sebelum tindakan terakhir ASI, 2 jam sebelum tindakan
terakhir air putih.
Pada anak dan bayi, air putih dapat dicampur dengan gula yang
diaduk rata
e. Diberikan infus rumatan sebagai pengganti puasa
f. Mempersiapkan persediaan darah (bila diperlukan).
g. Persiapan tempat perawatan lanjutan
h. Evaluasi ulang pada waktu sebelum melakukan tindakan
pembiusan
7. Tingkat Evidens I/II/III/IV
8. Tingkat Rekomendasi A/B/C
9. Penelaah Kritis a. dr. Haryana, SpAn
b. dr. Caesaryo Suwardi, SpAn
10. Indikator Prosedur Tindakan 1. Inform consent
2. Kelengkapan pemeriksaan penunjang
3. Kelengkapan konsultasi
4. Persiapan darah dan alat yang diperlukan
5. Persiapan tempat perawatan lanjutan
11. Kepustakaan a. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
b. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan,
2014
c. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia.
IDSAI. 2008
d. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif. 2015.

9
Panduan Praktik Klinis
SMF ANESTESI
DI RSBK

PROSEDUR ANESTESI UMUM DENGAN INTUBASI ENDOTRAKEAL


No. Dokumen : 02/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Tindakan anestesi dengan menggunakan anestesi inhalasi


maupun kombinasi intravena yang dihantarkan pada pasien
dengan menggunakan pipa endotrakheal tube yang
dimasukkan ke dalam trakhea di RS Bhakti Kartini Bekasi
2. Indikasi A. Pembedahan yang membutuhkan tingkat relaksasi tinggi
pada operasi obstetri dan ginekologi.
B. Pembedahan dengan kontra indikasi anestesi regional.
3. Kontra Indikasi A. Penolakan dari pasien maupun keluarga pasien
B. Terdapat massa pada lokasi sekitar insersi pipa
endotrakeal yang menghambat proses intubasi secara
absolut.
C. Ketidakmampuan dan ketidakadaan fasilitas untuk
melakukan tindakan dan perawatan sebelum, saat, dan
setelah intubasi (pasca operasi).
4. Persiapan A. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
anestesi umum dengan intubasi endotrakheal.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan
intubasi endotrakheal.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi sesuai clinical pathway
anestesi umum (6-24 jam sebelum pembiusan pada
operasi elektif/segera diberikan pada operasi
emergency).
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
B. Obat dan Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg
- Lidokain 2 %
- Ephedrin 50 mg
- Midazolam 5 mg
- Fentanyl 100µg/Pethidin 100mg/Morfin 10 mg
- Propofol 200 mg/Ketamin 500 mg
- Atracurium 25/50 mg/Rokuronium 50 mg
- Laringoskop 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- oropharyngeal airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu
nomor diatas, dan satu nomor dibawah)
- Pipa endotrakeal 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor

10
diatas, dan satu nomor dibawah)
- Plester 1 buah
- Oksigen, Mixed air, N2O
- Mesin anestesi
- Isofluran/Sevofluran/Halotan
C. Dokter :
- Visite perioperatif sesuai PPK Kunjungan Pra Anestesi
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
5. Prosedur Tindakan A. Preoksigenasi dengan oksigen 4-6 lt/mnt selama 3-5 menit.
B. Premedikasi menggunakan midazolam(0,01-0,05 mg/kg)/
fentanyl (1µg/kg)/Pethidin 1 mg/kg iv.
C. Analgesia menggunakan fentanyl (2-3 mcg/kg)/Pethidin (1-
1,5 mg/kg)/Morfin (0,02-0,1 mg/kg)/Ketamin (0,25-0,5
mg/kg) sesuai klinis pasien.
D. Induksi menggunakan propofol (1,5-2 mg/kg)/Ketamin (1-2
mg/kg)/Sevofluran Insuflasi/Midazolam (0,1-0,2 mg/kg)
sesuai klinis pasien.
E. Memberikan pelumpuh otot atracurium (0,5
mg/kg)/rokuronium (0,6-1,2 mg/kg).
F. Laringoskopi dan insersi pipa endotrakheal.
G. Menguji ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan
bunyi nafas kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
H. Rumatan anestesi menggunakan kombinasi oksigen,
mixed air, gas anestesi inhalasi isofluran/sevofluran/
halotan/N2O sebanyak 0,5-1,5 vol% MAC, analgetik dan
pelumpuh otot intermitten sesuai klinis pasien dan lama
operasi.
I. Ekstubasi jika nafas spontan adekuat dan kriteria ekstubasi
terpenuhi.
6. Pasca Prosedur Tindakan 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan.
2. Terapi oksigen 6-10 lt/mnt dengan menggunakan masker
NRM.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.
7. Tingkat Evidens IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis a. dr. Haryana, SpAn
b. dr. Caesaryo Suwardi, SpAn
10. Indikator Prosedur Tindakan 90 % dari pasien yang menjalani pembedahan dapat di
anestesi dengan anestesi umum intubasi endotrakheal.
11. Kepustakaan 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In:
Pharmacology and physiology in anesthesic practice. 4th
Edition. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006.
p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway Management.
In: Clinical anesthesiology. 4th Edition. New York: Lange
Medical Books; 2006. p.412-49.
3. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif.
2015.

11
Panduan Praktik Klinis
SMF ANESTESI
DI RSBK

PROSEDUR ANESTESI UMUM DENGAN TOTAL INTRAVENA


No. Dokumen : 03/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Tindakan anestesi dengan menggunakan obat anestesi


intravena total yang diberikan secara intermitten lewat infus di
RS Bhakti Kartini Bekasi.
2. Indikasi 1. Prosedur pembedahan yang singkat.
2. Prosedur pembedahan yang tidak membutuhkan relaksasi.
3. Pembedahan dengan kontra indikasi anestesi regional.
3. Kontra Indikasi 1. Pembedahan yang membutuhkan relaksasi
2. Prosedur pembedahan panjang.
4. Persiapan 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
anestesi umum dengan total intravena.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan total
intravena.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi sesuai clinical pathway
anestesi umum (6-24 jam sebelum pembiusan pada
operasi elektif/segera diberikan pada operasi
emergency
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg/cc
- Lidokain 2 %
- Efedrin 50 mg
- Midazolam 5 mg/5cc
- Fentanyl 100 µg
- Meperidine 100 mg
- Propofol 200 mg
- Ketamin 500 mg
- Kanula oksigen
- Laringoskop 1 buah
- Set Suction 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
3. Dokter :
- Visite perioperatif sesuai PPK Kunjungan Pra Anestesi
- Penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
5. Prosedur Tindakan 1. Premedikasi di ruangan sesuai indikasi dan clinical
pathway anestesi pada pembiusan umum (1 hari preop)
2. Premedikasi anestesi di ruang tindakan (30-60 menit

12
sebelum tindakan anestesi diberikan) menggunakan
midazolam 0,01-0,05 mg/kg, fentanyl 1µg/kg.
3. Oksigen via nasal kanul 2 L/menit atau NRM 6-8 L/menit
4. Induksi menggunakan propofol 1-1,5 mg/kg atau ketamin
1-2 mg/kg sesuai kondisi pasien dan perkiraan lama
operasi.
5. Rumatan anestesi menggunakan oksigen via nasal kanul 2
lt/menit atau NRM 6-8 lt/menit, obat induksi propofol 1
mg/kg/15 menit atau ketamin 1 mg/kg/15 menit diberikan
secara intermitten, analgetik opioid dapat diberikan
fentanyl 1µg/kg atau meperidine 1 mg/kg.
6. Pasca Prosedur Tindakan 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan.
2. Terapi oksigen 2 lt/menit dengan menggunakan nasal
kanula atau NRM 6-8 L/menit sesuai kondisi pasien pasca
operasi.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.
7. Tingkat Evidens IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis 1. dr. Haryana, SpAn
2. dr. Caesaryo Suwardi, SpAn
10. Indikator Prosedur Tindakan 90 % dari pasien yang menjalani pembedahan dapat di
anestesi dengan anestesi umum total intravena.
11. Kepustakaan 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In:
Pharmacology and physiology in anesthesic practice. 4th
Edition. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006.
p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway Management.
In: Clinical anesthesiology. 4th Edition. New York: Lange
Medical Books; 2006. p.412-49.
3. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif.
2015.

13
Pedoman st
Panduan Praktik Klinis
SMF ANESTESI
DI RSBK

PROSEDUR ANESTESI UMUM DENGAN INHALASI VIA FACE MASK


No. Dokumen : 04/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Tindakan anestesi dengan menggunakan obat anestesi


inhalasi yang dihantarkan pada pasien via face mask di RS
Bhakti Kartini Bekasi.
2. Indikasi a. Prosedur pembedahan yang singkat.
b. Pembedahan dengan kontra indikasi anestesi regional.
3. Kontra Indikasi a. Prosedur pembedahan panjang.
b. Pembedahan pada pasien dengan lambung penuh.
4. Persiapan a. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
anestesi umum dengan inhalasi via face mask.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan
inhalasi via face mask.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
b. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg/ml
- Lidokain 2 %
- Efedrin 50 mg
- Midazolam 5 mg
- Pethidin 100 mg
- Fentanyl 100µg
- Propofol 200 mg
- Sungkup muka
- Laringoskop 1 buah
- Set Suction 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
- Isofluran/Sevofluran/Halotan
- Gas N2O
c. Dokter :
- Visite perioperatif sesuai PPK Kunjungan Pra Anestesi
- Penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
5. Prosedur Tindakan a. Premedikasi menggunakan midazolam 0,01-0,05 mg/kg.
b. Induksi menggunakan propofol 1,5 mg/kg, atau dengan
menggunakan gas inhalasi Sevofluran dan Halotan
dengan teknik insuflasi.
c. Rumatan anestesi menggunakan anestesi inhalasi
14
isofluran/sevofluran/halotan 0,5-1,5 vol % MAC dengan
mempertahankan pasien tetap bernafas spontan via face
mask.
d. Analgetik fentany 1µg/kg atau pethidin 1-1,5 mg/kg atau
gas N2O.
6. Pasca Prosedur Tindakan 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan.
2. Terapi oksigen dengan menggunakan masker NRM.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.
7. Tingkat Evidens IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis 1. dr. Haryana, SpAn
2. dr. Caesaryo Suwardi, SpAn
10. Indikator Prosedur Tindakan 90 % dari pasien yang menjalani pembedahan dapat di
anestesi dengan anestesi umum via face mask.
11. Kepustakaan 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In:
Pharmacology and physiology in anesthesic practice. 4th
Edition. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006.
p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway Management.
In: Clinical anesthesiology. 4th Edition. New York: Lange
Medical Books; 2006. p.412-49.
3. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif.
2015.

15
Panduan Praktik Klinis
SMF ANESTESI
DI RSBK

PROSEDUR REGIONAL ANESTESI BLOK SUBARACHNOID


No. Dokumen : 05/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Adalah tindakan pembiusan dengan cara melakukan penyuntikan ke


rongga sub-arakhnoid dan memberikan obat anestesi lokal kedalam
rongga tersebut untuk memblok rangsangan nyeri di RS Bhakti
Kartini Bekasi.
2. Indikasi a. Pembedahan daerah lower abdomen & sectio caesarea < 3 jam.
b. Pembedahan daerah ginekologi dengan lama operasi < 3 jam.
3. Kontra Indikasi Absolut:
- peningkatan tekanan intracranial
- koagulopati, dalam terapi antikoagulan
- infeksi kulit tempat tusukan
- penolakan pasien
- hipovolemia
- kelainan katup jantung berat atau obstruksi aliran dari ventrikel
Relatif:
- sepsis
- pasien tidak kooperatif
- kelainan neurologis sebelumnya
- kelainan tulang belakang yang berat
Kontraindikasi:
- operasi tulang belakang sebelumnya
- pasien tidak dapat berkomunikasi
- operasi yang memanjang
- operasi dengan kehilangan darah dalam jumlah besar
- maneuver yang mempengaruhi respirasi
4. Persiapan Inform consent
- Visite perioperatif sesuai PPK Kunjungan Pra Anestesi
Persiapan alat :
1. Set untuk general anestesi (Stetoskop, laringoskop, plester, Tube
Endotracheal, peralatan Airway, sungkup muka, sirkuit
pernafasan, suction) dan obat-obatan untuk general anestesi
2. Monitor: EKG, Pulse oksimetri, tekanan darah
3. Sarung tangan steril dan masker wajah
4. Peralatan desinfeksi: povidone iodine dan alkohol
5. Jarum spinal (25-27G)
6. Drapping steril (duk steril), kasa steril
7. Spuit 3 cc dan 5 cc
8. Lidokain 2% anestesi lokal untuk infiltrasi pada kulit dan subkutis
9. Bupivakain 0,5% heavy atau Lidokain 5% heavy anestesi untuk
injeksi subarakhnoid
16
10. Morfin 1 mg/cc dalam spuit 1 cc steril, atau fentanyl 50 µg/cc,
atau pethidin 50 mg/cc untuk adjuvant injeksi subarakhnoid
12. Prosedur Tindakan 1. Beri tahu pasien tentang tindakan yang akan dilakukan.
2. Menentukan lokasi penyuntikan jarum spinal
3. Mencuci tangan (scrubbing).
4. Mengenakan sarung tangan steril
5. Melakukan desinfeksi pada lokasi penyuntikan yang telah
ditentukan
6. Melakukan infiltrasi obat lokal anestesi pada lokasi penyuntikan
dan menunggu obat lokal anestesi bekerja
7. Melakukan penyuntikan jarum spinal pada lokasi yang telah
ditentukan tadi hingga menembus arakhnoid yang ditandai
dengan keluarnya cairan serebrospinal.
8. Barbotase cairan serebrospinal
9. Menyuntikkan obat anestesi dan adjuvant yang digunakan
kedalam rongga subarahnoid melalui jarum spinal :
a. Obat Injeksi subarakhnoid : Bupivakain 0,5% heavy atau
Lidokain 5% heavy dengan dosis sesuai ketinggian blok dan
lama operasi
b. Obat Adjuvant subarakhnoid : Morfin 0,1-0,2 mg dan/atau
Fentanyl 25 µg dan/atau Meperidine 25 mg sesuai kebutuhan
blok
13. Pasca Prosedur Tindakan 1. Evaluasi ketinggian blok baik sensoris maupun motoris
2. Evaluasi nadi, tekanan darah, saturasi oksigen, dan fungsi
respirasi
3. Atasi komplikasi yang terjadi
14. Tingkat Evidens I/II/III/IV
15. Tingkat Rekomendasi A/B/C
16. Penelaah Kritis 1. dr. Haryana, SpAn
2. dr. Caesaryo Suwardi, SpAn
3. Indikator Prosedur Tindakan 90 % spinal anestesi berhasil tanpa komplikasi.
4. Kepustakaan a. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
b. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan,
2014
c. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia.
IDSAI. 2008
d. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif. 2015.

17
Panduan Praktik Klinis
SMF ANESTESI
DI RSBK

PROSEDUR REGIONAL ANESTESI BLOK EPIDURAL


No. Dokumen : 06/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Adalah tindakan pembiusan dengan cara melakukan penyuntikan ke


rongga Epidural dan memberikan obat anestesi lokal kedalam rongga
tersebut untuk memblok rangsangan nyeri di RS Bhakti Kartini
Bekasi.
2. Indikasi Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan berikut dengan
lama operasi > 3 jam dan atau mempunyai penyulit kardiovaskular
untuk dilakukan tindakan anestesi blok subarakhnoid :
a. Pembedahan daerah lower abdomen > 3 jam.
b. Pembedahan daerah ginekologi > 3 jam.
c. Pembedahan sectio caesarea dengan indikasi khusus.
3. Kontra Indikasi Absolut:
- peningkatan tekanan intracranial
- koagulopati, dalam terapi antikoagulan
- infeksi kulit tempat tusukan
- penolakan pasien
- hipovolemia
- kelainan katup jantung berat atau obstruksi aliran dari ventrikel
Relatif:
- sepsis
- pasien tidak kooperatif
- kelainan neurologis sebelumnya
- kelainan tulang belakang yang berat
Kontraindikasi:
- operasi tulang belakang sebelumnya
- pasien tidak dapat berkomunikasi
- operasi yang memanjang
- operasi dengan kehilangan darah dalam jumlah besar
- maneuver yang mempengaruhi respirasi
4. Persiapan Inform consent
- Visite perioperatif sesuai PPK Kunjungan Pra Anestesi
Persiapan alat :
1. Set untuk general anestesi (Stetoskop, laringoskop, plester, Tube
Endotracheal, peralatan Airway, sungkup muka, sirkuit
pernafasan, suction) dan obat-obatan untuk general anestesi
2. Monitor: EKG, Pulse oksimetri, tekanan darah
3. Sarung tangan steril dan masker wajah
4. Peralatan desinfeksi: povidone iodine, savlon
18
5. Set Epidural dengan Jarum epidural Tuohy 17 G
6. Drapping steril (duk steril), kasa steril
7. Spuit 3 cc dan 10 cc
8. Lidokain 2% anestesi lokal untuk infiltrasi pada kulit dan subkutis
9. Bupivakain 0,5% Plain atau Lidokain 2% Plain anestesi untuk
injeksi epidural
10. Morfin 1mg/ml, fentanyl 50 µg/cc, pethidin 50 mg/cc untuk
adjuvant injeksi epidural
5. Prosedur Tindakan 1. Memberi informasi kepada pasien tentang tindakan yang akan
dilakukan.
2. Menentukan lokasi penyuntikan jarum epidural
3. Mencuci tangan (scrubbing).
4. Mengenakan sarung tangan steril
5. Melakukan desinfeksi pada lokasi penyuntikan yang telah
ditentukan
6. Melakukan infiltrasi obat lokal anestesi pada lokasi penyuntikan
dan menunggu obat lokal anestesi bekerja
7. Melakukan penyuntikan jarum epidural pada lokasi yang telah
ditentukan tadi hingga menembus rongga epidural yang ditandai
dengan hilangnya tahanan pada jarum epidural
8. Menyuntikkan dosis coba (test dose) untuk meyakinkan bahwa
lokasi penyuntikan tersebut benar rongga epidural bukan
intravena maupun rongga subarachnoid dengan komposisi 3 ml
lidokain 2% dan 1,5 ml epinefrin 5 µg/ml  (epinefrin 1 : 200.000)
9. Bila sudah dipastikan masuk ke rongga epidural. Menyuntikkan
obat anestesi dan adjuvant yang digunakan kedalam rongga
epidural melalui jarum epidural atau melalui kateter epidural
untuk penanganan nyeri selama operasi maupun pasca operasi :
a. Obat Injeksi epidural : Bupivakain 0,5% plain atau Lidokain
2% plain dengan dosis sesuai ketinggian blok dan lama
operasi
b. Obat Adjuvant epidural : Morfin 0,1-0,5 mg/ml (3-5 mg)
dan/atau Fentanyl 0,5-1 µg/kg (50-100 µg) dan/atau
Meperidine 30-100 mg sesuai kebutuhan blok dan lama
operasi
10. Mempersiapkan regimen obat epidural anestesi untuk perawatan
nyeri pasca operasi di ruangan
6. Pasca Prosedur Tindakan 90 % epidural anestesi berhasil tanpa komplikasi.
7. Tingkat Evidens IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis 1.dr. Haryana, SpAn
2.dr. Caesaryo Suwardi, SpAn
10. Indikator Prosedur Tindakan 1. Inform consent
2. Ketinggian blok dan kualitas blok
3. Komplikasi

11. Kepustakaan 1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009


2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan,
2006
3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia.
IDSAI. 2008
4. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif. 2015.

19
Panduan Praktik Klinis
SMF ANESTESI
DI RSBK

MANAJEMEN NYERI
No. Dokumen : 07/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Suatu tindakan untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien di RS
Bhakti Kartini Bekasi.
2. Indikasi Manajemen nyeri akut :
a. nyeri somatis : nyeri muskuloskeletal sesuai dermatom
b. nyeri visceral : nyeri dari organ
Manajemen nyeri kronis :
a. Nosiseptif
b. Non-Nosiseptif
3. Kontra Indikasi Tidak ada
4. Persiapan 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan intervensi nyeri
pada pasien.
- Ijin persetujuan tindakan intervensi nyeri pada pasien.
- Visite perioperatif sesuai PPK Kunjungan Pra Anestesi
- Medikasi sesuai resiko pasien.
2. Kelengkapan pemeriksaan penunjang :
a. Alat dan Obat:
- Sulfas Atropin 0,25 mg
- Lidokain 2 %
- Efedrin 50 mg
- Oksigen
- Obat-obatan Opioid
- Obat-obatan OAINS (NSAID)
- Obat-obatan Adjuvan
- Epidural set dengan jarum Tuohy 17 G.
- Lokal Anestesi : Bupivacain 0,5% 20cc isobarik
- Oksigen
b. Dokter :
- Pemeriksaan nyeri pada pasien
- Perencanaan kesiapan nyeri dan modalitas nyeri pada pasien.
5. Prosedur Tindakan 1. Melakukan anamnesis tentang nyeri, termasuk lokasi, karakteristik,
onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri dan
faktor presipitasi

20
2. Melakukan penilaian nyeri dengan menggunakan :
a) Wong Baker Faces Pain Scale : Amati raut wajah pasien lalu
sesuaikan dengan gambar yang ada pada pasien yang tidak sadar.

b) Numeric Rating Scale pada pasien dewasa dan anak berusia > 14
tahun yang kooperatif dengan menggunakan angka untuk
melambangkan intensitas nyeri yang dirasakannya. Tanyakan
pasien mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan
dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.

- 0 = tidak nyeri
- 1 – 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
- 4 – 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-
hari)
- 7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari)

3. Melakukan pengkajian yang komprehensif tentang nyeri, termasuk


lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau
beratnya nyeri dan faktor presipitasi
4. Melakukan pengamatan perlakuan non verbal yang menunjukkan
ketidaknyamanan, khususnya ketidakmampuan komunikasi efektif
serta mengidentifikasi dampak pengalaman nyeri terhadap kualitas
hidup.
5. Bersama keluarga mengidentifikasi kebutuhan untuk mengkaji
kenyamanan pasien dan merencanakan monitoring tindakan

21
6. Ajarkan kepada pasien untuk mengontrol faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon pasien mengalami ketidaknyamanan (misal
temperatur ruangan, cahaya, kebisingan).
7. Mengajarkan pada pasien bagaimana mengurangi atau menghilangkan
faktor yang menjadi presipitasi atau meningkatkan pengalaman nyeri
(misal: ketakutan, kelemahan dan rendahnya pengetahuan).
8. Memilih dan mengimplementasikan berbagai cara (misal: farmakologi,
nonfarmakologi, dan interpersonal) untuk memfasilitasi penurun nyeri.
9. Intervensi Nyeri Nonfarmakologi : Dengan bantuan konsultasi dari smf
rehab-medik dan psikiatri (misal: hypnosis, relaksasi, terapi musik,
distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas, acupressure, terapi
dingin/panas, pijatan, dan TENS (Transient Electricity Nerve
Stimulation).
10. Intervensi Nyeri Farmakologi: menggunakan Step-Ladder WHO,
sesuai dengan tipe nyeri pasien (akut/kronis), bekerja sama dengan
smf-smf terkait (bedah, obstetri, orthopedi, neurologi, rheumatologi)

Terapi step-up (tangga naik) digunakan pada pasien : Nyeri kronis dan
nyeri kanker
Terapi step-down (tangga turun) digunakan pada pasien : Nyeri akut
dengan intensitas tinggi, dan nyeri kronis yang tidak terkontrol

a) OAINS/NSAID efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk


nyeri sedang-berat.
b) Memulai dengan pemberian OAINS / opioid lemah dengan
pemberian intermiten (pro renata-prn) opioid kuat yang disesuaikan
dengan kebutuhan pasien.
c) Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang-berat,
dapat ditingkatkan menjadi langkah 3
d) (ganti dengan opioid kuat dan prn analgesik dalam kurun waktu 24
jam setelah langkah 1)
e) Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering
digunakan adalah morfin, kodein.
22
f) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan
opioid ringan.
g) Adjuvan yang dapat diberikan :
1) Tricyclic anti-depresan : Nortriptyline, Desipramine, and
Amitriptyline
2) Anti konvulsan : Gabapentin, Pregabalin, Karbamazepin
h) Tipe obat dan jalur pemberian yang dapat diberikan pada intervensi
nyeri :
 Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid
(Setiap pemberian obat-obatan intravena, disertai dengan infus
cairan kristaloid)
 Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic,
kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid.
 Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid
 Topical: lidokain patch, EMLA
 Subkutan: opioid, anestesi local
 Intervensi Blok Epidural Tunneling
 Intervensi Blok Neuroaksial untuk painless labor
 Intervensi Blok Perifer.
 Intervensi Neurolysis dengan :
1) Chemical (dengan supervisi KMN)
2) Radiofrequency (dengan supervisi KMN)
11. Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis
secara bertahap.
12. Penilaian ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur di
Poli Nyeri Terintegrasi.
6. Pasca Prosedur 1. Observasi tanda vital di Poli Nyeri Terintegrasi.
Tindakan 2. Pemberian suplementasi oksigen sesuai kondisi pasien.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.
7. Tingkat Evidens IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis 1. dr. Haryana, SpAn
2. dr. Caesaryo Suwardi, SpAn
10. Indikator Prosedur 90 % dari pasien yang mengalami keluhan nyeri dapat diberikan modalitas
Tindakan nyeri sesuai dengan tipe, fase dan kondisi klinis nyeri pasien.
11. Kepustakaan 1. World Health Organization, (2009). WHO’s Pain Relief Ladder. Cancer
Pain Relieve and Palliative Care.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology. 4th Edition.
New York: Lange Medical Books; 2006. p.412-19.
3. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif. 2015.

23
Panduan Praktik Klinis
SMF ANESTESI
DI RSBK

TATA LAKSANA SYOK


No. Dokumen : 08/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Syok adalah hipotensi yang berhubungan dengan hipoperfusi (aliran
darah organ yang tidak memadai) sehingga hantaran oksigen tingkat
seluler terganggu.
2. Anamnesis Diare, perdarahan, buang air kecil yang berlebihan, dehidrasi, luka
bakar luas, pankreatitis.
3. PemeriksaanFisik Kesadaran menurun, lemah.
KV : TD < 90 mmHg (MAP <60 mmHg, penurunan > 40% TD sistolik
dari TD sistolik sehari-hari),
Nadi : cepat dan lemah
Anestesi : normal atau ada tanda-tanda pneumothorax atau
hematothorax
Abdomen : bias ada kelainan sesuai asal penyakit, produksi urin
menurun
Ekstremitas : dingin
4. Kriteria Diagnosis Tekanan darah sistolik < 90 mm Hg, tekanan arteri rata-rata < 60
mm Hg atau hipotensi yang signifikan apabila terjadi penurunan
tekanan darah sistolik> 40 mm Hg dari tekanan sehari-hari.
5. Diagnosis Kerja Syok hipovolemik
6. Diagnosis Banding 1. Syok kardiogenik
2. Syok distributif
3. Syok obstruktif
7. PemeriksaanPenunjang 1. Lab : Hemoglobin, Hematokrit, AGD, Elektrolit, ureum / kreatinin,
Gula darah sewaktu.
2. Penunjang lainnya: fototoraks, USG abdomen.
8. Terapi  Kristaloid (Ringer Laktat, Natrium Klorida 0,9%)
 Koloid (gelatin, hydroxyethyl starches)
 Produk darah (PRC, FFP)
 Obat-obatan (dosis titrasi)
- Norepinephrine
- Epinephine
- Dopamin
9. Edukasi Risiko terjadi gagal resusitasi dan terjadi gangguan-organ yang lain.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Haryana, SpAn
2. dr. Caesaryo Suwardi, SpAn
14. Indikator Medis 80% Pasien dirawat selama 4-7 hari
15. Kepustakaan 1. Dries DJ (ed) Fundamental Critical Care Support. Society of
Critical Care Medicine.5th, 2012:7-1
24
Panduan Praktik Klinis
SMF ANESTESI
DI RSBK

EKLAMPSI DAN PREEKLAMPSI BERAT


No. Dokumen : 08/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Preeklampsi Berat adalah keadaan terjadinya peningkatan


Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg, Proteinuria ≥ 5 gr/24 jam disertai
gangguan visus,sakit kepala, penurunan kesadaran, epigastric
pain, edema Anestesi, oliguria < 500 ml/24 jam dan disebut
Eklampsi bila disertai Kejang dengan atau tanpa koma pada
kehamilan > 20 Minggu atau setelah melahirkan tanpa adanya
defisit neurologis.
2. Anamnesis Riwayat penyakit atau keluhan :
- Adanya hipertensi sebelum dan selama kehamilan
- Adanya riwayat keluarga dengan hipertensi dan penyakit yang
sama
- Adanya tanda klinis : sakit kepala,gangguan penglihatan,
edema Anestesi, penurunan kesadaran, sesak, nyeri ulu hati,
kelemahan tubuh
- Adanya kejang dengan atau tanpa koma
3. Pemeriksaan Fisik a. Hamil ≥ 20 minggu
b. Kesadaran : menurun disertai atau tanpa Kejang
c. Tekanan Darah : ≥ 160/110 mmHg
d. Dyspnoe
e. Cyanosis
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium, Radiologi)
5. Diagnosis Kerja Preeklampsi Berat/Eklampsi
6. Diagnosis Banding a. Kejang :
- CVA
- Hypertensive Encephalopathy
- Infeksi Otak (Meningitis,Encephalitis,Abscess)
- Thrombotic thrombocytopenia purpura
- Gangguan Metabolik
- Epilepsi
- Tumor Otak
- Posterior reversible encephalopathy syndrome
- Penggunaan obat-obatan
b. Nyeri perut/epigastric :
- Abruptio Placentae
- Acute appendicitis
- Cholecystitis dan biliary colic
- Blunt abdominal trauma
- Aneurisma abdomen
- Kista ovarium terplintir
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium :
1. Proteinuria ≥ 5 gr dalam urine 24 jam

25
2. HELLP syndrome (Hemolysis,Elevated Liver Enzymes,Low
Platelets)
3. Trombosit < 100.000/mm
4. Peningkatan LDH (Lactic Acid Dehydrogenase) > 600IU/l
5. Peningkatan Creatinin
6. AST,ALT meningkat 2x normal 200-700 IU/l
7. Peningkatan Uric Acid > 6mg/dl
8. Terapi 1. Penanganan Tekanan Darah > 160/110 dengan target penurunan
15-25%, sekitar 140/90. Diberikan obat-obat :
- Nicardipin titrasi mulai dosis 0,15 ug/kg/jam
- Nitroglycerin 10 – 100 mg/ menit
- Diltiazem dosis 0,15 ug/kg/jam
2. Penanganan Kejang :
Berikan MgSO4 :
- Bolus 4 - 6 gr dalam 20 menit, dilanjutkan 1 – 2 gr/jam
- Monitor toxicity, terapetik level : 5 – 8 mg/dl dengan
pemeriksaan penunjang kadar MgSO4 dalam plasma.
- Dapat diberikan 2 gr/IV bila kejang timbul lagi
- MgSO4 dihentikan 24 jam setelah partus
- Bila masih kejang, dapat diberikan Diazepam atau Propofol
dan dilakukan penanganan jalan nafas (intubasi + control
ventilasi)
3. Penanganan HELLP syndrome :
- Terminasi kehamilan bila sudah > 34 mg, dapat secara normal
atau operasi sectio caesarean
- Bila masih < 34 mg dapat ditunda untuk pemberian
Bethamethason 12 mg/24 jam/IM sebanyak 2 x Terminasi
kehamilan dilakukan setelah 24 jam pemberian Bethametason
terakhir
- Bila Trombocyt < 20.000 lakukan transfusi trombositt
4. Penangan Edema Anestesi :
- Berikan Furosemide 20 – 40 mg/IV, dapat diberikan lagi
setelah 30 menit 40 – 60 menit
- Monitor balans cairan, pemasangan catheter vena central
dapat membantu menghitung meskipun secara kasar.
- Dapat dilakukan tindakan intubasi dan bantuan ventilasi
mekanis bila edema Anestesi tetap ada dan pasien mengalami
gawat/gagal nafas.
5. Pemantauan lebih kepada penanganan hipertensi, fungsi ginjal,
adanya coagulopathy
6. Pemantauan pasien pasca tindakan dilakukan di HCU atau ICU
(apabila membutuhkan perawatan Ventilator)
9. Edukasi Edukasi keluarga mengenai risiko dan komplikasi
10. Prognosis Ad vitam: dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad fungsionam: dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis 1. dr. Haryana, SpAn
2. dr. Caesaryo Suwardi, SpAn
14. Indikator Medis 80% Pasien dirawat selama 3 – 7 hari
15. Kepustakaan 1. Chawla R, Nasa P, Chawla R. Severe Preeclampsia. In : ICU
Protocols : A Stepwise Approach. India: Springer India. 2012.
pp.599-605.
26
2. David R, Gambling M.Hypertensive Disorders. In :Chesnut
Obstetric Anesthesia : Principles and Practice.3rded.Mosby. Inc.
2004. pp.825-827.
3. VarelmannDJ.Obstetric Critical Care. In :Pocket ICU.
Philadelphia. Lipincott Williams & Wilkins. 2013 ; 33:1-3.
4. I Gouviea,C Costa et al, Pre eclampsia in the intensive care unit :
Indicators of severity and hospital outcome, Critical Care 2005, 9
(suppl 1): P 216
5. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif. 2015.

27
Panduan Praktik Klinis
SMF ANESTESI
DI RSBK

PROSEDUR PEMASANGAN PERAWATAN PASIEN INTENSIF DENGAN


VENTILATOR
No. Dokumen : 09/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Pemasangan ventilator adalah suatu tindakan memasang Alat Bantu
Nafas untuk membantu pernafasan pasien secara mekanik.
2. Indikasi 1. Mekanik.
a. Respiratory rate > 35 kali/menit
b. Tidal volume kurang dari 5 cc/kg berat badan.
c. Maksimum respiratory force kurang dari 20 mmHg.
2 Oksigenasi.
a. PaO2 < 60 mmHg dengan FI O2 Room Air 21 %
b. PaO2 < 70 mmHg dengan FI O2 40 %
c. PaO2 < 100 mmHg dengan FI O2 100 %
3 Ventilasi.
Pa CO2 lebih dari 50 mmHg
3. Kontra Indikasi Pasien dan keluarga pasien menolak
4. Persiapan Pasien
a. Pasien / keluarga diberi penjelasan tentang tindakan yang akan
dilakukan.
b. Konsultasi Informasi dan Edukasi (Inform Concent)
c. Posisi diatur sesuai dengan kondisi pasien

Alat
1. Ventilator lengkap dan siap pakai
2. Spirometer
3. Bag valve mask
4. Set pengisap sekresi
5. Cuf inflator atau spuit 10 cc
6. Alat patensi jalan nafas sesuai indikasi dan kondisi klinis pasien
dengan keterangan tabel dibawah ini :
a. Kanul Endotrakeal
Rumus menentukan ukuran Kanul Endotrakeal

Macam Ukuran Kanul Endotrakeal

28
1. Uncuffed : untuk neonatus (usia s/d 30 hari), pediatri (usia
< 6th)
2. Cuffed : untuk pediatri usia > 6 th (≥ 5.0), pasien dewasa
dengan gangguan patensi jalan nafas yang membutuhkan
kanul endotrakeal ukuran kecil (4.0, 4.5, 5.0)
3. Kinkin : Tindakan pembedahan tanpa potensial terhadap
manuver airway (jalan nafas). (posisi operasi (miring,
tengkurap), lokasi operasi (kepala, leher), lokasi intubasi
(intubasi nasal))
4. Non-Kinking : Tindakan pembedahan dengan potensi
terhadap manuver airway (jalan nafas). (posisi operasi
(miring, tengkurap), lokasi operasi (kepala, leher), lokasi
intubasi (intubasi nasal))
b. Kanul Nasofaring

c. Kanul Orofaring
Ukuran Ukuran no Dimensi Warna

Neonatus 00 40 mm Merah
muda

Infant 0 50 mm Biru muda

Anak 1 60 mm Hitam

Dewasa muda 2 70 mm Putih

Dewasa 3 80 mm Hijau

Dewasa tua 4 90 mm Kuning

Dewasa XL 5 100 mm Merah


(ukuran rongga
mulut)

29
Dewasa XXL 6 110 mm Oranye
(ukuran rongga
mulut)

d. Masker Laringeal

Lingkungan
1. Meletakan ventilator disamping tempat tidur sisi kiri kepala
pasien
5. Prosedur Tindakan 1. Insersi alat patensi jalan nafas sesuai indikasi, kondisi klinis
pasien
2. Pada pasien dengan pernafasan kendali (CMV)
a. Menghisap sekresi
b. Menentukan pola pernafasan kendali dengan cara :
1) Menentukan Tidal volume ( TV 8 - 12 cc/ kg Berat badan
2) Menentukan Minute volume ( MV) = RR x TV
3) Menentukan frekwensi pernafasan 12 kali / menit
4) Menentukan konsentrasi ( FIO2 ) sesuai kebutuhan
5) Mengatur sensitifitas kearah kendali sesui sesuai jenis
ventilator yang digunakan
c. Menilai volume udara yang masuk dengan cara membaca
jarum petunjukm pada ventilator , atau melihat pada layar
monitor
d. Menentukan sistem alarm volume udara yang masuk /
tekanan udara, sesuai dengan jenis ventilator yang digunakan
e. Menentukan sensitivitas kearah negatif 20 cm bagi pasien
dengan resusitasi otak
f. Menghubungkan ventilator ke pasien dengan memakai
konektor
3. Pada pasien dengan pernafasan assisted
a. Terangkan prosedur pada pasien
b. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
c. Mengisap sekresi
d. Menentukan pola pernafasan assisted dengan cara :
1) Menentukan sensitivitas sesuai jenis ventilator yang
digunakan
2) Mengatur ventilator dengan frekwensi pernafasan 10
x/menit, agar bila pasien apnoe ventilator dapat membantu
pernafasan
3) Menentukan tidal volume disesuaikan dengan frekwensi
pernfasan yang disiapkan
4) Menentukan konsentrasi oksigen
5) Menghubungkan ventilator ke pasien dengan
menggunkan konektor
6) Melakukan observasi tiap 30 menit antara lain :
a) Kerja ventilator.
b) Tensi, nadi, pernfasan dan tanda - tanda syanotik
c) Tanda-tanda fighting (penolakan batuan ventilator)
4. Pasien dengan pernafasan “Sinchronize Intermittten Mandatorry
30
Ventilation” ( SIMV )
a. Terangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan
b. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
c. Menghisap sekresi
d. Menentukan pola pernafasan SIMV dengan cara :
1) Mengatur ventilator sesui pola nafas ( SIMV )
2) Menyesuaikan frekuensi pernafasan Ventilator dengan
frekuensi pernafasan pasien dengan ventilator yang
digunakan
3) Menghubungkan ventilator ke pasien dengan memakai
konektor
e. Melakukan observasi setiap 30 menit antara lain:
1) Kerja ventilator
2) Tensi nadi, pernafasan , dan tanda tanda syanotik
3) Tanda tanda fighting (penolakan bantuan ventilator)
5. Pada pasien pernafasan “Positive End Expiratory Pressure”
(PEEP)
a. Menentukan tekanan positif sesuai kondisi pasien.
b. Pola nafas kendali dengan PEEP cara kerjanya sama pada
pasien pernafasan kendali, ditambah dengan pemasangan
katup pada selang ekspirasi.
c. Pola assisted dengan PEEP, cara kerjanya sama pada
paseien dengan pernafasan assisted, di tambah dengan
pemasangan katup pada selang ekspirasi.
d. Pola nafas SIMV dengan PEEP, cara kerjanya sama pada
pasien dengan SIMV, di tambah dengan pemasangan katup
pada selang ekspirasi.
6. Pada pasien dengan pernafasan “Continous Positif Airway
Pressure” (CPAP)
a. Mengatur ventilator ke arah CPAP pada pasien yang sudah
bernafas spontan.
b. Menghubungkan selang ekspirasi kedalam botol berisi air
untuk pasien yang sudah tak memakai ventilator, tetapi masih
memerlukan tekanan positif dalam alveoli sama dengan
panjang selang ekspirasi yang masuk kedalam air.
6. Pasca Prosedur Tindakan 1. Fungsi ventilator selama penggunaan.
2. Sesuaikan penggunaan ventilator dengan pola pernafasan
pasien.
3. Bila ada bunyi alarm, segera lakukan tindakan sesuai sinyal pada
ventilator.
4. Pantau pola pernafasan sesuai dengan yang diatur oleh
ventilator
5. Analisa Gas Darah
7. Tingkat Evidens IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis 1. dr. Haryana, SpAn
2. dr. Caesaryo Suwardi, SpAn
10. Indikator Prosedur Tindakan Pemantauan:
a. Tekanan Darah
b. EKG
c. Nadi
d. Oksimetri
e. Suhu
f. Analisa gas darah
g. Balance cairan
h. Nutrisi

31
11. Kepustakaan 1. The ICU book third edition, Paul L Marino,2008
2. Clinical anesthesiology, G edward Morgan,Jr,Md et all, 2014
3. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif. 2015.

32
Panduan Praktik Klinis
SMF ANESTESI
DI RSBK

PROSEDUR WEANING (PENYAPIHAN) DENGAN VENTILATOR

No. Dokumen : 09/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Tindakan pelepasan bantuan ventilasi mekanik.


2. Indikasi 1. Penyebab dasar gagal nafas telah teratasi.
2. Perbaikan fungsi respirasidan hemodinamik.
3. Kontra Indikasi Perburukan kondisi pasien yang dirawat di ICU
4. Persiapan a. Pasien :
- Pastikan sedasi telah dihentikan dan tidak ada lagi efek
pelumpuh otot.
- Pastikan dilengkapi pemeriksaan analisis gas darah dan
kadar elektrolit dengan rasio PaO2/FiO2> 200.
- Pastikan adanya perbaikan fungsi nafas.
- Pasien mampu bernafas spontan dan adekuat.
- Kesadaran pasien GCS>13.
- Pasien telah lepas atau menggunakan dosis rendah
vasopressor (Dopamin<5mcg/kg, Dobutamin <5 mcg/Kg
atau Norepinefrin <0,1 mcg/kg.
- Hemodinamik pasien stabil.
b. Alat :
- Siapkan suction set(1 buah).
- Persiapkan prosedur intubasi jika gagal disapih.
- Laringoskop (1 buah) uk standart No.3
- Pipa endotrakheal (1 buah) No. ID 7,0
- Sulfas atropin 0,25 mg (4 ampul)
- Lidokain 20 mg (3 ampul)
- Dexamethason 4 mg (2ampul)
- Handschoen steril 2 pasang.
- Masker oksigen NRM dewasa (1 buah)
- Oksigen
c. Dokter :
- Memberikan informasi kepada keluarga mengenai rencana
penyapihan ventilator dan resiko yang dapat terjadi.
5. Prosedur Tindakan a. Persiapkan semua perlengkapan dilakukannya intubasi ulang.
b. Pastikan pasien bernafas spontan adekuat dan refleks batuk
telah ada.
c. Percobaan nafas spontan selama 30 – 120 menit.
d. Amati kondisi pasien. Jika :
1) Respiratory Rate> 35
2) SaO2< 90%
3) Nadi > 140 atau ↑ ≥ 20%
4) TD Sistolik> 180 mmHg atau < 90 mmHg
5) Agitasi, berkeringat, gelisah
6) RR/TV > 105
Menandakan pasien belum dapat di weaning dari ventilasi

33
mekanik.
e. Jika tidak ada, dan pasien dapat batuk secara efektif, dapat
dilakukan ekstubasi.
f. Lakukan suctioning jalan nafas, pastikan bebas dari sekret
dan lendir sebelum dilakukan ekstubasi.
6. Pasca Prosedur Tindakan 1. Observasi ketat hemodinamik.
2. Pemeriksaan AGD konfirmasi setelah 30 menit pasca
ekstubasi.
3. Terapi oksigen dengan O2 lewat masker NRM
4. Tetap siap jika dibutuhkan tindakan intubasi ulang.
7. Tingkat Evidens IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis 1. dr. Haryana, SpAn
2. dr. Caesaryo Suwardi, SpAn
10. Indikator Prosedur Tindakan 80 % dari pasien dengan gagal nafas yang di sapih dari ventilator
berhasil tanpa komplikasi.
11. Kepustakaan 1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Critical Care. In: Clinical
anesthesiology. 4th Edition. New York: Lange Medical Books;
2006. p.1452-96.
2. Kacmareck RM, Hess DR. Mechanical Ventilation For The
Surgical Patient. In: Longnecker DE, Brown DDL, Newman
MF, Zapol WM, editors. Anesthesiology. New York: Mc Graw
Hill; 2008. p.2072-91.
3. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif.
2015.

34
Panduan Praktik Klinis
SMF ANESTESI
DI RSBK

ARDS (ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDFROME)


No. Dokumen : 10/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Penyakit ARDS memiliki karakteristik :


1. Cedera Anestesi dengan onset akut, yang timbul dalam 1
minggu sejak gejala timbul, dengan perburukan gejala
pernafasan.
2. Gambaran opak bilateral pada rontgen toraks yang tidak
disebabkan oleh penyakit Anestesi lainnya (efusi pleura, kolaps
Anestesi, atau nodul Anestesi)
3. Gagal nafas yang tidak disebabkan oleh gagal jantung atau
kelebihan cairan (edema Anestesi)
4. Rasio PO2/FiO2 <300 mmHg.
2. Anamnesis - Keluhan sesak napas
- Riwayat sepsis, transfusi darah, kontusio Anestesi, aspirasi isi
lambung, penyalahgunaan obat atau overdosis.
- Atau riwayat syok, hampir tenggelam, inhalasi zat iritan atau
toksik.
3. PemeriksaanFisik - Takipneu
- Hipoksemia
- Penyerta : penurunan kesadaran, takikardi
- Ronki Anestesi.
4. Kriteria Diagnosis Terpenuhinya 4 kriteria :
1. Cedera Anestesi dengan onset akut, yang timbul dalam 1
minggu sejak gejala timbul, dengan perburukan gejala
pernapasan.
2. Gambaran opak bilateral pada rontgen toraks yang tidak
disebabkan oleh penyakit Anestesi lainnya (efusi pleura, kolaps
Anestesi, atau nodul Anestesi)
3. Gagal napas yang tidak disebabkan oleh gagal jantung atau
kelebihan cairan (edema Anestesi)
4. Rasio PO2/FiO2<300 mmHg.
Kategori ARDS :
- ARDS ringan PaO2/FiO2 200-300 mmHg
- ARDS sedang PaO2/FiO2 101-200 mmHg
- ARDS berat PaO2/FiO2 ≤100 mmHg
- (dengan PEEP minimum 5 cmH2O)
5. Diagnosis Kerja ARDS ringan / ARDS sedang / ARDS berat

6. Diagnosis Banding - Edema Anestesi


- Penyakit Anestesi kronis (luluh Anestesi, penyakit Anestesi
interstisial)
- Keganasan Anestesi.

7. Pemeriksaan - Analisa Gas Darah


Penunjang - Rontgen toraks
- Tekanan vena sentral
8. Terapi 1. Perawatan di ICU

35
2. Pemberian ventilasi mekanik via alat patensi jalan nafas sesuai
dengan kondisi klinis pasien dibawah ini :
- Target volum tidal 6 mL/kgBB (Berat Badan Prediksi)
pada pasien ARDS-sepsis (grade 1A)
- Tekanan plateau diukur dengan target batas atas inisial
saat inflasi Anestesi pasif ≤30 cmH2O (grade 1B).
- Tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) diberikan untuk
menghindari kolaps alveolar pada ekspirasi akhir
(atelektrauma) (grade 1B).
- Strategi menggunakan PEEP yang lebih tinggi pada pasien
sepsis dengan ARDS sedang atau berat. (grade 2C.
- Teknik rekruit alveolus diberikan pada pasien sepsi dengan
hipoksemia refrakter berat (grade 2C).
- Kepala pasien dielevasi 30-45 derajat untuk mencegah
risiko aspirasi dan mencegah VAP (grade 1B).
- Ventilasi sungkup non-invasif (NIV) dapat diberikan pada
sebagian kecil pasien ARDS yang mungkin dapat
memperoleh manfaat positif dari NIV dengan penuh
pertimbangan (grade 2B).
- Protokol penyapihan harus dilakukan, dan pasien secara
teratur menjalani Uji Napas Spontan untuk evaluasi
penghentian ventilasi mekanik ketika pasien memenuhi
kriteria:
a) sadar, dapat dibangunkan

b) hemodinamik stabil (tanpa vasopresor)

c) tidak ada kondisi perburukan baru yang berpotensi


serius

d) kebutuhan ventilasi rendah dan PEEP rendah

e) kebutuhan FiO2 yang rendah yang dapat terpenuhi


dengan sungkup muka atau kanula nasal.

Bila Uji Napas Spontan berhasil, ekstubasi harus


dipertimbangkan. (grade 1A).

- Tidak perlu secara rutin menggunakan kateter Swan-Ganz


(grade 1A)
- Pemberian cairan secara konservatif bila tidak ada tanda
hipoperfusi jaringan (grade 1C).
- Obat beta 2 agonis tidak diperlukan bila tidak ada indikasi
spesifik seperti bronkospasme (grade 1B)

3. Setting ventilasi mekanik mengikuti protokol ARDSnet:


Tahap I : Pengaturan ventilator tahap awal
1) Hitung Berat Badan Prediksi (BBP)/Predicted Body Weight
(PBW)
b. Laki-laki (kg) = 50 + 0,9 (tinggi badan(cm) – 153)
c. Perempuan (kg) = 45,5 + 0,9 (tinggi badan(cm) – 153)

2) Pilih mode ventilasi (Volume Controlled / Pressure Controlled


3) Volume tidal inisial = 8 mL/kgBBPrediksi

36
4) Turunkan volume tidal 1 mL/kg tiap ≤2 jam hingga volume
tidal 6 mL/kgBBPrediksi.
5) Laju napas diatur dengan target tercapainya ventilasi
semenit basal (<35x/menit)
6) Sesuaikan volume tidal dan laju napas agar target pH dan
tekanan plateau tercapai.
Target pH: 7,300-7450
Tatalaksana asidosis : (pH <7,30)
Bila pH 7,150-7,300: Naikkan Laju Napas hingga pH>7,300
atau PaCO2 <25 (Laju Napas maksimum = 35x/menit)
Bila pH <7,150:Naikkan Laju Napas ke 35 x/menit.
Bila pH tetap <7,150, volume tidal dapat dinaikkan sebesar 1
mL/kg sampai pH >7,150 (Pplat 30 cmH2O boleh dilampaui)
Tatalaksana alkalosis: (ph >7,45) Turunkan Laju Napas bila
memungkinkan.

Target rasio I:E: Inspirasi ≤ ekspirasi


Target oksigenasi: PaO2 55-80 mmHg atau SpO2 88-95%
PEEP minimum 5 cmH2O. Pertimbangkan untuk meningkatkan
kombinasi FiO2/PEEP seperti tabel di bawah ini untuk mencapai
target.

PEEP lebih rendah / FiO2 lebih tinggi


FiO2 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,7 0,7
PEEP 5 5 8 8 10 10 10 12

FiO2 0,7 0,8 0,9 0,9 0,9 1,0


PEEP 14 14 14 16 18 18-24
PEEP lebih tinggi / FiO2 lebih rendah
FiO2 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5
PEEP 5 8 10 12 14 10 10 12

FiO2 0,5 0,5-0,8 0,8 0,9 1,0 1,0


PEEP 5 5 8 8 10 10
Target Tekanan Plateau: ≤30 cmH2O
Periksa Pplat (0,5 inspiratory pause), sekurangnya tiap 4 jam
dan setiap setelah perubahan PEEP atau volume tidal.
Bila Pplat >30 cmH2O: turunkan volume tidal 1 mL/kg (minimum
4 mL/kg)
Bila Pplat <25 cmH2O dan volume tidal <6 mL/kg, naikkan
volume tidal 1 mL/kg hingga Pplat >25 cmH2O atau volume tidal
= 6 mL/kg.
Bila Pplat <30 dan tampak dis-sinkroni: tingkatkan volume tidal
1 mL/kg hingga 7-8 mL/kg bila Pplat tetap ≤30 cmH2O.

Tahap II: Penyapihan


A. Lakukan Uji Napas Spontan setiap hari, ketika:
1. FiO2 ≤0,4 dan PEEP ≤8.
2. PEEP dan FiO2 ≤ dari nilai di hari sebelumnya.
3. Pasien mengeluarkan usaha bernapas spontan yang cukup.
(Dengan cara menurunkan laju ventilator hingga 50%
selama 5 menit untuk mendeteksi usaha napas).
4. Tekanan darah sistolik ≥90 mmHg tanpa topangan
vasopresor.
37
5. Tidak ada obat pelumpuh otot.

B. Uji Napas Spontan:


Bila seluruh kriteria di atas terpenuhi, mulai Uji Napas Spontan
hingga 120 menit dengan FiO2 ≤0,5 dan PEEP ≤5:
1. Pasangkan T-piece / CPAP ≤5 cmH2O dengan PS ≤5.
2. Nilai toleransi pasien hingga 2 jam dengan parameter :
a. SpO2 ≥90: dan/atau PaO2 ≥60 mmHg.
b. Volume tidal ≥4 mL/kgBB Prediksi.
c. Laju napas ≤35x/menit
d. pH ≥7,300
e. Tidak ada distres pernapasan (distres=adanya 2 gejala
atau lebih):
- Denyut jantung >120% dari basal.
- Penggunaan otot napas aksesoris
- Napas paradoks
- Diaforesis
- Tanda sesak napas
3. Bila pasien tampak toleran selama 30 menit, pertimbangkan
ekstubasi.
4. Identifikasi dan terapi penyebab / kondisi yang menyebabkan
terjadinya ARDS. Bila penyebabnya adalah pneumonia,
maka diberikan terapi antibiotika sesuai panduan dari
ATS/IDSA tentang CAP, HAP, VAP, HCAP.
5. Mengembalikan dan mempertahankan fungsi hemodinamik.
Pemberian cairan menggunakan strategi yang konservatif
dengan target, dan menggunakan topangan vasopresor dan
inotropik sesuai target.
6. Pencegahan komplikasi pada penyakit kritis, dengan cara
pemberian pro filaksis ulkus lambung, pencegahan emboli
Anestesi dan Deep Vein Thrombosis, pencegahan
Ventilator-associated Pneumonia, kontrol gula darah dan
fungsi metabolik, dan pencegahan gagal organ multipel.
7. Pemberian nutrisi yang cukup.
8. Sedasi kontinu atau sedasi berkala harus diminimalisasi
pada pasien sepsis dengan ventilasi mekanik dengan
memakai target sedasi.
9. Pemakaian metil prednisolon dosis rendah pada fase awal
ARDS berat dapat diberikan.
9. Edukasi Edukasi keluarga mengenai berbagai prosedur, risiko, komplikasi
dan mortalitas.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Mortalitas : ARDS ringan 27%
ARDS sedang 32%
ARDS berat 45%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi B
13. Penelaah Kritis 1. dr. Haryana, SpAn
2. dr. Caesaryo Suwardi, SpAn
14. Indikator Medis 60% pasien dapat dirawat selama 16 hari bila tanpa komplikasi
15. Kepustakaan 1. Acute Respiratory Distress Syndrome; the Berlin definition. ARDS
Definition Task Force, Ranieri VM, Rubenfeld GD, Thompson BT,
Ferguson ND, Caldwell E, Fan E. JAMA. 2012 Jun
20;307(23):2526-33.
38
2. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et al: Surviving Sepsis
Campaign: International guidelines for management of severe
sepsis and septic shock: 2012. Crit Care Med. 2013; 41:580-637
3. ARDSnet. Protokol Ventilasi Mekanik.
http://www.ardsnet.org/system/files/ventilator%20protocol
%20card.pdf Diunduh tanggal 15 Oktober 2013.
4. Gurka DP, Balk RA. Acute respiratory failure. In: Parillo Je,
Dellinger RP. Critical care medicine: principles of diagnosis and
management in the adult. 3rd ed. Philadelphia, PA: Mosby Elsevier;
2008. P.773-89
5. Meduri GU, Golden E, Freire AX, et al. Methylprednisolone
infusion in early severe ARDS: results of a randomized
controlled trial. Chest 2007; 131:954-63.
6. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif. 2015.

39
Panduan Praktik Klinis
SMF ANESTESI
DI RSBK

GANGGUAN ELEKTROLIT MENGANCAM NYAWA


No. Dokumen : 10/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi)  Gangguan elektrolit adalah nilai elektrolit dalam serum yang
melebihi atau kuang dari nilai normal.
 Gangguan elektrolit yang mengancam nyawa adalah gangguan
elektrolit yang dapat mengganggu fungsi jantung,
 Aritmia jantung hingga mengakibatkan henti jantung dan/atau
mempengaruhi kesadaran.
 Hiperkalemia adalah konsentrasi kalium serum melebihi
5.5mEq/L
 Hiperkalemia ringan adalah konsentrasi kalium serum 5.5-
5.9mEq/L
 Hiperkalemia sedang adalah konsentrasi kalium serum6.0-6.4
mEq/L
 Hiperkalemia berat adalah konsentrasi kalium serum> 6.5mEq/L
 Hipokalemia adalah konsentrasi kalium serum kurang dari3.5
mEq/L
 Hipokalemia berat adalah konsentrasi kalium serum<2.5 mEq/L
 Hipernatremia adalah konsentrasi natrium serum melebihi 145
mEq/L
 Hiponatremia adalah konsentrasi natrium serum kurang dari
135mEq/L
 Hiponatremia berat adalah konsentrasi natrium serum< 120
mEq/L
 Hipercalcemia adalah konsentrasi kalsium serum
melebihi10 .5mg/dL(2.5mmol/L) atau ion kalsium melebihi 5.6
mg/dL (1.4mmol/L)
 Krisis hiperkalsemia adalah konsentrasi kalsium serum
melebihi14 mg/dL (3.5 mmol/L) atau ion kalsium melebihi10
mg/dL (2.5 mmol/L)
 Hipocalcemia adalah konsentrasi kalsium serum kurang dari 8
mg/dL (2.1 mmo/L) atau ion kalsium kurang dari 4.2 mg/dL (1.1
mmol/L)
 Hipermagnesemia adalah konsentrasi magnesium serum
melebihi 2.2 mEq/L (1.1 mmol/L)
 Hipomagnesemia adalah konsentrasi magnesium serum
kurangdari 1.3 mEq/L (0.6 mmol/L)
2. Anamnesis Hiperkalemia:
Lemas, paralisis, parestesia, gagal ginjal, pemakaian obat ACE-I,
angiotensin II receptor antagonist, diuretic yang hematkalium,
NSAID, betabloker.
Hipokalemia:
40
Diare, riwayat pemakaian obat diuretic, laxative, steroid, low intake
Lemas, fatigue, kram kaki, konstipasi, paralisis hingga sulit bernapas
Hipernatremia
Haus, demam, gangguan kesadaran
Hiponatremia
Mual, muntah, sakitkepala, diplopia
Riwayat pemakaian thiazide diuretic, gagal ginjal, operasi tumor
otak, trauma kepala
Hiperkalsemia
Batu ginjal, artritis, mual, muntah, anoreksia, konstipasi, nyeri
abdomen, gangguan konsentrasi dan daya ingat, confusion,
stupor, coma, letargi, fatigue, lemas, gatal, keratitis
Riwayat hiperparatiroid, gagal ginjal kronik, keganasan pemakaian
diuretic thiazide, hipertiroid
Hipokalsemia
Riwayat hipoparatiroid pasca op atau gagal ginjal kronik
Hipermagnesemia
Riwayat gagal ginjal, pemberian MgSO4
Hipomagnesemia
Diare, polyuria, kelaparan, alcoholism, malabasorpsi
3. Pemeriksaan Fisik Hiperkalemia:
Paralisis flaccid, reflex tendon menurun, aritmia
Hipokalemia
Ascending paralysis, aritmia
Hipernatremia
Demam, deficit neurologis focal, kejang, hiperventilasi
Hiponatremia
Kejang, koma
Hipercalcemia
Hipertensi, peptic ulcer
Hipocalcemia
Hiperreflexia, Chovstek dan Trousseaue sign, parestesia ekstremitas
dan wajah, kramotot, tetani, kejang, papil edema, gejala
extrapyramidal, diaphoresis, hipotensi, gagal jantung kongestif
Hipermagnesemia
Confusion, depresi napas, cardiac arrest
Hipomagnesemia
Tremor, ataxia, Nistagmus, Aritmia
4. Kriteria Diagnosis 1. Konsentrasi kalium serum melebihi 5.5 mEq/L disertai
gangguan irama jantung
2. Konsentrasi kalium serum > 6.5 mEq/L dengan atau tanpa
gangguan irama jantung
3. konsentrasi kalium serum < 2.5 mEq/L disertai gangguan irama
jantung malignan
4. Konsentrasi natrium serum melebihi 145 mEq/L atau
konsentrasi natrium serum < 120 mEq/L yang disertai gangguan
kesadaran, kejang
5. Konsentrasi kalsium> 14 mg/dL (>3.5 mmol/L)
6. Konsentrasi kalsium serum < 8 mg/dL (2.1 mmol/L) atau ion
kalsium< 4.4 mg/dL (1.1 mmol/L)
7. Konsentrasi magnesium serum melebihi 2.2 mEq/L (1.1 mmol/L)
8. Hipomagnesemia adalah konsentrasi magnesium serum kurang
dari 1.3 mEq/L (0.6 mmol/L)
5. Diagnosis Kerja  Hiperkalemia berat
 Hipokalemiaberat
 Hipernatremia berat

41
 Hiponatremia berat
 Hipermagnesemia berat
 Hipomagnesemia berat
 Krisis Hipercalcemia
 Hipocalcemia akut
6. Diagnosis Banding Tidak ada
7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaanelektrolit serum natrium, kalium, magnesium,
kalsium, dan /atau kalsium ion
 Gula darah
 Urinalisa, elektroliturin (natrium), glukosaurin
 Fungsi ginjal (ureum dan kreatinin)
EKG
Hiperkalemia:
 Blok derajat 1 (PR interval memanjang>0.2 detik)
 Gelombang P hilang/flat
 Gelombang T tinggi (peaked/tented) (gel T lebih besar dari
gelombang R pada lebih dari 1 lead)
 ST depresi
 Gelombang S dan T menyatu (sine wave pattern)
 QRS melebar (> 0.12 detik)
 Takikardia ventricular
 Bradikardia
Hipokalemia
 Gelombang U
 Gelombang T flat
 Perubahan ST
 Aritmia (terutama bila pasien mengkonsumsi digoksin)
 Cardiopulmonary arrest (PEA, pulseless VT/VF, asystole)
Hipokalsemia
 Prolonged QT interval
 Terminal T wave inversion
 AV Blok
 Fibrilasiventrikel
Hipermagnesemia
 Prolonged PR dan QT interval
 Gelombang T peaking
 AV blok
 Cardiac arrest
Hipomagnesemia
 Prolonged PR dan QT interval
 ST depresi
 Gelombang T inversion
 Gelombang P flat
 Torade de pointes
 Durasi QRS meningkat
Analisa gas darah
8. Terapi Hiperkalemia berat:
1. Bolus calcium glukonas 10% 10 ml (jika ada gangguan
gambaran EKG)
2. Glucose plus insulin–25 g glucose dan 10 U regular insulin
berikan IV dalam 15 -30 menit
3. Nebulized salbutamol 5 mg nebulized selama15 menit
4. Furosemide iv 40-80 mg

42
5. Pemberian bikarbonat 50 mEq dalam 5 menit bila asidosis
berat.
6. Dialysis
Hipokalemia
1. PemberianK+ is 10 mEq/jam melalui jalur iv perifer atau 20
mEq/jam melalui jalur iv central venous catheter dengan ECG
monitoring.
2. Hentikanobat yang mengakibatkan hipokalemia
3. Koreksi hipo-magnesemia
Hipernatremia
1. Bila hypernatremia akut atau simtomatik berat berikan cairan
hipotonik.
2. Bila pasien hipovolemia dengan hemodinamik terganggu,
berikan cairan isotonik untuk memperbaiki status volume.
Setelah hemodinamik stabil berikan cairan hipotonik iv (NaCl
0.45% atau Dextrose 5%)
3. Koreksi maksimal 12 mEq/L dalam 24 jam
4. Akut hypernatremia dapatdikoreksi lebih cepat di awal (1-2
mEq/L/jam), kenaikan 5 mEq/L sudah memperbaiki gejala
Hiponatremia
1. Bila hiponatermia akut atau simtomatik berat berikan NaCl
hipertonik (NaCl 3% ) 1 mEq/L/jam hingga gejala neurologis
hilang setelah itu kecepatan koreksi 0,5 mEq/L/ jam
2. Koreksi maksimal12 mEq/L dalam 24 jam pertama
3. Bila SIADH restriksi cairan 50-66% dari kebutuhan cairan

Adroge Madias formula :


Perubahan Na = (Na infus +K infus ) –serum Na
Total body water + 1

Total body water 0.6 x berat badan untuk laki-laki dan 0.5 x berat
badan untuk perempuan
Krisis Hiperkalsemia
1. Hidrasi dengan normal saline target urin output 200 ml/jam
2. Bila volume intra vaskular telah tercukupi dapat diberikan
furosemide
3. Calcitonin 4-8 IU per kg IM tiap 6 jam selama 24 jam
4. Bila akibat keganasan berikan hidrokortison 200 mg IV selama 3
hari
5. Pasien gagal ginjal atau gagal jantung diterapi dengan dialysis
Hipokalsemia akut dan simtomatik
1. Calcium gluconas 10 % 10-20 ml IV dilarutkan dalam dextrose
5% diberikan selama 10 menit dengan monitor EKG
2. 10 ampul calcium gluconas 10% 10 ml dilarutkan dalam 1 liter
dextrose 5% diberikan 50 ml/jam untuk mencegah hipocalcemia
berulang.
3. Koreksi hipomagnesemia
Hipermagnesemia
1. Calcium glukonas 10% 10 ml
2. Suport ventilator
3. NaCl 0.9% dan furosemide IV
4. Dialysis
Hipomagnesemia
1. 2 g MgSO4 50% IV diberikan selama 15 min

43
2. Bila Torsade de pointes 2 g MgSO4 IV selama 1-2 min
3. Bila kejang 2 g Mg SO4 selama 10 min
9. Edukasi Edukasi keluarga mengenai risiko dan komplikasi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. PenelaahKritis 1. dr. Haryana, SpAn
2. dr. Caesaryo Suwardi, SpAn
14. IndikatorMedis 80% Pasien dirawat selama 4-7 hari
15. Kepustakaan 1. European Resuscitation Council Guidelines for Rescucitation
2010. Section 8. Cardiac arrest in special scircumstances:
Electrolyte abnormalities, poisoning, drowning, accidental
hypothermia, hyperthermia, asthma, anaphylaxis, cardiac
surgery, trauma, pregnancy, electrocution
2. Life Threatening Electrolyte Abnormalities. Ciruculatiion 2005:
112:IV-121-IV-125
3. A Practical Approach to Hypercalcemia. American Family
Physician. 2003; 67; 9: 1959-1966
4. Diagnosis and management of Hypocalcemia BMJ 2008; 336:
1298-302

44
DISCLAIMER
PANDUAN PRAKTIK KLINIS SMF ANESTESI

Dokumen tertulis PPK SMF Anestesi serta perangkat implementasinya ini disertai
dengan disclaimer (wewanti/penyangkalan) untuk :
1. Menghindari kesalah-pahaman atau salah persepsi tentang arti kata standar, yang
dimaknai harus melakukan sesuatu tanpa kecuali
2. Menjaga autonomi dokter bahwa keputusan klinis merupakan wewenangnya
sebagai orang yang dipercaya pasien

Adapun disclaimer tersebut :


1. Disclamer Utama yaitu :
a. PPK dibuat untuk average patient
b. PPK dibuat untuk penyakit / kondisi patologis tunggal
c. Reaksi individual terhadap prosedur diagnosis dan terapi bervariasi
d. PPK dianggap valid pada saat dicetak
e. Praktek Kedokteran modern harus lebih mengakomodasi preferensi pasien dan
keluarga
2. Disclaimer tambahan, yang dapat disertakan pada disclaimer :
a. PPK dimaksudkan untuk tatalaksana pasien sehingga tidak berisi informasi
lengkap tentang penyakit
b. Dokter yang memeriksa harus melakukan konsultasi bila merasa tidak
menguasai atau ragu dalam menegakkan diagnose dan memberikan terapi
c. Penyusun PPK tidak bertanggung jawab atas hasil apapun yang terjadi akibat
penyalah gunaan PPK dalam tatalaksana pasien

45
PENUTUP

Dengan telah tersusunnya Panduan Praktik Klinis ini diharapkan dapat menjadi Standar
Prosedur Operasional bagi Staf Medis Fungsional (SMF) Anestesi yang sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan SMF dan fasilitas pelayanan kesehatan di RS Bhakti Kartini

Melalui panduan ini diharapkan terselenggara pelayanan medis yang efektif, efisien ,
bermutu dan merata sesuai sumber daya, fasilitas, pra fasilitas, dana dan prosedur serta
metode yang memadai.

Semoga bermanfaat.

46

Anda mungkin juga menyukai