Anda di halaman 1dari 44

Pedoman st

Panduan Praktik Klinis


SMF ANESTESI
DI RSBK

KUNJUNGAN PREANESTESI
No. Dokumen : 01/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Kunjungan pra anesthesia adalah kunjungan pada pasien untuk
evaluasi kondisi kelayakan dan persiapan untuk tindakan
pembiusan di RS Bhakti Kartini Bekasi
2. Indikasi  Pasien yang akan dilakukan tindakan pembiusan elektif akan
mendapatkan kunjungan anestesi/pelaporan SBAR TBAK
dari dokter umum setidaknya satu hari sebelum pembiusan
 Pasien yang akan dilakukan tindakan pembiusan darurat akan
mendapatkan kunjungan anestesi/pelaporan SBAR TBAK
dari dokter umum sebelum tindakan pembiusan
3. Kontra Indikasi Tidak ada
4. Persiapan a. Inform consent
b. Stetoskop, spigmomanometer, thermometer, timbangan
badan, pengukur tinggi badan, meja periksa dan tempat tidur
periksa pasien
c. Rekam medis pasien
5. Prosedur Tindakan a. Perkenalan dengan pasien
b. Melakukan anamnesa mengenai alergi, obat yang
dikonsumsi, riwayat penyakit dahulu, makan minum terakhir,
kronologis kejadian atau penyakit saat ini, riwayat
operasi/pembiusan terdahulu
c. Melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh (B1-B6 breathing,
blood, brain, bladder, bowel, bone)
d. Mengevaluasi pemeriksaan penunjuang yang telah dilakukan
e. Menambahkan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
f. Melakukan konsultasi dengan pihak terkait bila diperlukan
g. Menjelaskan tindakan pembiusan yang akan dilakukan
(tindakan, indikasi, kontraindikasi, resiko, komplikasi,
perawatan lanjutan)
h. Menjelaskan tindakan yang perlu dilakukan (cvc, arteri line,
tranfusi darah, pemberian analgetik paska pembiusan)
i. Menentukan ASA dan merencanakan tindakan
j. Membuat inform consent pembiusan dan tindakan lain yang
akan dilakukan
k. Persiapan tempat perawatan lanjutan
6. Pasca Prosedur Tindakan a. Menambahkan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
b. Melakukan konsultasi dengan pihak terkait bila diperlukan
c. Penyimpanan inform consent
d. Pasien dipuasakan
Dewasa: 6-8 jam sebelum tindakan pembiusan terakhir
makan/minum, obat oral diminum 2 jam sebelum pembiusan
dengan air 2 teguk
Anak: 6-8 jam sebelum tindakan pembiusan terakhir
makan/minum susu, 2 jam sebelum tindakan terakhir minum
1
air putih
Bayi: 6 jam sebelum tindakan terakhir makan/minum susu
formula, 4 jam sebelum tindakan terakhir ASI, 2 jam
sebelum tindakan terakhir air putih.
Pada anak dan bayi, air putih dapat dicampur dengan gula
yang diaduk rata
e. Diberikan infus rumatan sebagai pengganti puasa
f. Mempersiapkan persediaan darah (bila diperlukan).
g. Persiapan tempat perawatan lanjutan
h. Evaluasi ulang pada waktu sebelum melakukan tindakan
pembiusan
7. Tingkat Evidens I/II/III/IV
8. Tingkat Rekomendasi A/B/C
9. Penelaah Kritis a. dr. Sutihadi Sutjipto , SpAn
b. dr. Erfan Effendy, SpAn
c. dr. Dedhi Subandrio, SpAn
d. dr. Suparno Adi Santika, SpAn
10. Indikator Prosedur 1. Inform consent
Tindakan 2. Kelengkapan pemeriksaan penunjang
3. Kelengkapan konsultasi
4. Persiapan darah dan alat yang diperlukan
5. Persiapan tempat perawatan lanjutan
11. Kepustakaan a. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
b. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward
Morgan, 2014
c. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia.
IDSAI. 2008
d. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif.
2015.

Bekasi, ......................... 2017

Ketua Komite Medik Ketua SMF

Dr. H. Sutarji Sp. OG Dr. Haryana, Sp. An

2
Pedoman st

Panduan Praktik Klinis


SMF ANESTESI
DI RSBK

PROSEDUR ANESTESI UMUM DENGAN INTUBASI ENDOTRAKEAL


No. Dokumen : 02/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Tindakan anestesi dengan menggunakan anestesi inhalasi


maupun kombinasi intravena yang dihantarkan pada pasien
dengan menggunakan pipa endotrakheal tube yang
dimasukkan ke dalam trakhea di RS Bhakti Kartini Bekasi
2. Indikasi a. Pembedahan yang membutuhkan tingkat relaksasi tinggi
pada operasi obstetri dan ginekologi.
b. Pembedahan dengan kontra indikasi anestesi regional.
3. Kontra Indikasi a. Penolakan dari pasien maupun keluarga pasien
b. Terdapat massa pada lokasi sekitar insersi pipa
endotrakeal yang menghambat proses intubasi secara
absolut.
c. Ketidakmampuan dan ketidakadaan fasilitas untuk
melakukan tindakan dan perawatan sebelum, saat, dan
setelah intubasi (pasca operasi).
4. Persiapan a. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
anestesi umum dengan intubasi endotrakheal.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan
intubasi endotrakheal.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi sesuai clinical pathway
anestesi umum (6-24 jam sebelum pembiusan pada
operasi elektif/segera diberikan pada operasi
emergency).
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
b. Obat dan Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg
- Lidokain 2 %
- Ephedrin 50 mg
- Midazolam 5 mg
- Fentanyl 100µg/Pethidin 100mg/Morfin 10 mg
- Propofol 200 mg/Ketamin 500 mg
- Atracurium 25/50 mg/Rokuronium 50 mg
- Laringoskop 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- oropharyngeal airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu
nomor diatas, dan satu nomor dibawah)
- Pipa endotrakeal 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor
3
diatas, dan satu nomor dibawah)
- Plester 1 buah
- Oksigen, Mixed air, N2O
- Mesin anestesi
- Isofluran/Sevofluran/Halotan
c. Dokter :
- Visite perioperatif sesuai PPK Kunjungan Pra Anestesi
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
5. Prosedur Tindakan a. Preoksigenasi dengan oksigen 4-6 lt/mnt selama 3-5
menit.
b. Premedikasi menggunakan midazolam(0,01-0,05 mg/kg)/
fentanyl (1µg/kg)/Pethidin 1 mg/kg iv.
c. Analgesia menggunakan fentanyl (2-3 mcg/kg)/Pethidin
(1-1,5 mg/kg)/Morfin (0,02-0,1 mg/kg)/Ketamin (0,25-
0,5 mg/kg) sesuai klinis pasien.
d. Induksi menggunakan propofol (1,5-2 mg/kg)/Ketamin
(1-2 mg/kg)/Sevofluran Insuflasi/Midazolam (0,1-0,2
mg/kg) sesuai klinis pasien.
e. Memberikan pelumpuh otot atracurium (0,5
mg/kg)/rokuronium (0,6-1,2 mg/kg).
f. Laringoskopi dan insersi pipa endotrakheal.
g. Menguji ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan
bunyi nafas kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
h. Rumatan anestesi menggunakan kombinasi oksigen,
mixed air, gas anestesi inhalasi isofluran/sevofluran/
halotan/N2O sebanyak 0,5-1,5 vol% MAC, analgetik dan
pelumpuh otot intermitten sesuai klinis pasien dan lama
operasi.
i. Ekstubasi jika nafas spontan adekuat dan kriteria
ekstubasi terpenuhi.
6. Pasca Prosedur Tindakan 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan.
2. Terapi oksigen 6-10 lt/mnt dengan menggunakan masker
NRM.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.
7. Tingkat Evidens IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis a. dr. Sutihadi Sutjipto , SpAn
b. dr. Erfan Effendy, SpAn
c. dr. Dedhi Subandrio, SpAn
d. dr. Suparno Adi Santika, SpAn
10. Indikator Prosedur 90 % dari pasien yang menjalani pembedahan dapat di
Tindakan anestesi dengan anestesi umum intubasi endotrakheal.
11. Kepustakaan 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In:
Pharmacology and physiology in anesthesic practice. 4th
Edition. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins;
2006. p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway
Management. In: Clinical anesthesiology. 4th Edition.
New York: Lange Medical Books; 2006. p.412-49.
4
3. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan
Terapi Intensif. 2015.

Bekasi, ......................... 2017

Ketua Komite Medik Ketua SMF

Dr. H. Sutarji Sp. OG Dr. Haryana, Sp. An

5
Pedoman st

Panduan Praktik Klinis


SMF ANESTESI
DI RSBK

PROSEDUR ANESTESI UMUM DENGAN TOTAL INTRAVENA


No. Dokumen : 03/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Tindakan anestesi dengan menggunakan obat anestesi


intravena total yang diberikan secara intermitten lewat infus
di RS Bhakti Kartini Bekasi.
2. Indikasi 1. Prosedur pembedahan yang singkat.
2. Prosedur pembedahan yang tidak membutuhkan
relaksasi.
3. Pembedahan dengan kontra indikasi anestesi regional.
3. Kontra Indikasi 1. Pembedahan yang membutuhkan relaksasi
2. Prosedur pembedahan panjang.
4. Persiapan 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
anestesi umum dengan total intravena.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan total
intravena.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi sesuai clinical pathway
anestesi umum (6-24 jam sebelum pembiusan pada
operasi elektif/segera diberikan pada operasi
emergency
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg/cc
- Lidokain 2 %
- Efedrin 50 mg
- Midazolam 5 mg/5cc
- Fentanyl 100 µg
- Meperidine 100 mg
- Propofol 200 mg
- Ketamin 500 mg
- Kanula oksigen
- Laringoskop 1 buah
- Set Suction 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
3. Dokter :
- Visite perioperatif sesuai PPK Kunjungan Pra Anestesi
- Penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
6
5. Prosedur Tindakan 1. Premedikasi di ruangan sesuai indikasi dan clinical
pathway anestesi pada pembiusan umum (1 hari preop)
2. Premedikasi anestesi di ruang tindakan (30-60 menit
sebelum tindakan anestesi diberikan) menggunakan
midazolam 0,01-0,05 mg/kg, fentanyl 1µg/kg.
3. Oksigen via nasal kanul 2 L/menit atau NRM 6-8 L/menit
4. Induksi menggunakan propofol 1-1,5 mg/kg atau ketamin
1-2 mg/kg sesuai kondisi pasien dan perkiraan lama
operasi.
5. Rumatan anestesi menggunakan oksigen via nasal kanul 2
lt/menit atau NRM 6-8 lt/menit, obat induksi propofol 1
mg/kg/15 menit atau ketamin 1 mg/kg/15 menit diberikan
secara intermitten, analgetik opioid dapat diberikan
fentanyl 1µg/kg atau meperidine 1 mg/kg.
6. Pasca Prosedur Tindakan 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan.
2. Terapi oksigen 2 lt/menit dengan menggunakan nasal
kanula atau NRM 6-8 L/menit sesuai kondisi pasien
pasca operasi.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.
7. Tingkat Evidens IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis a. dr. Sutihadi Sutjipto , SpAn
b. dr. Erfan Effendy, SpAn
c. dr. Dedhi Subandrio, SpAn
d. dr. Suparno Adi Santika, SpAn
10. Indikator Prosedur 90 % dari pasien yang menjalani pembedahan dapat di
Tindakan anestesi dengan anestesi umum total intravena.
11. Kepustakaan 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In:
Pharmacology and physiology in anesthesic practice. 4th
Edition. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins;
2006. p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway
Management. In: Clinical anesthesiology. 4th Edition.
New York: Lange Medical Books; 2006. p.412-49.
3. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan
Terapi Intensif. 2015.

Bekasi, ......................... 2017

Ketua Komite Medik Ketua SMF

Dr. H. Sutarji Sp. OG Dr. Haryana, Sp. An

7
Pedoman st

Panduan Praktik Klinis


SMF ANESTESI
DI RSBK

PROSEDUR ANESTESI UMUM DENGAN INHALASI VIA FACE MASK


No. Dokumen : 04/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Tindakan anestesi dengan menggunakan obat anestesi


inhalasi yang dihantarkan pada pasien via face mask di RS
Bhakti Kartini Bekasi.
2. Indikasi a. Prosedur pembedahan yang singkat.
b. Pembedahan dengan kontra indikasi anestesi regional.
3. Kontra Indikasi a. Prosedur pembedahan panjang.
b. Pembedahan pada pasien dengan lambung penuh.
4. Persiapan a. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
anestesi umum dengan inhalasi via face mask.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan
inhalasi via face mask.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
b. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg/ml
- Lidokain 2 %
- Efedrin 50 mg
- Midazolam 5 mg
- Pethidin 100 mg
- Fentanyl 100µg
- Propofol 200 mg
- Sungkup muka
- Laringoskop 1 buah
- Set Suction 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
- Isofluran/Sevofluran/Halotan
- Gas N2O
c. Dokter :
- Visite perioperatif sesuai PPK Kunjungan Pra Anestesi
- Penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
5. Prosedur Tindakan a. Premedikasi menggunakan midazolam 0,01-0,05 mg/kg.

8
b. Induksi menggunakan propofol 1,5 mg/kg, atau dengan
menggunakan gas inhalasi Sevofluran dan Halotan
dengan teknik insuflasi.
c. Rumatan anestesi menggunakan anestesi inhalasi
isofluran/sevofluran/halotan 0,5-1,5 vol % MAC dengan
mempertahankan pasien tetap bernafas spontan via face
mask.
d. Analgetik fentany 1µg/kg atau pethidin 1-1,5 mg/kg atau
gas N2O.
6. Pasca Prosedur Tindakan 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan.
2. Terapi oksigen dengan menggunakan masker NRM.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.
7. Tingkat Evidens IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis a. dr. Sutihadi Sutjipto , SpAn
b. dr. Erfan Effendy, SpAn
c. dr. Dedhi Subandrio, SpAn
d. dr. Suparno Adi Santika, SpAn
10. Indikator Prosedur 90 % dari pasien yang menjalani pembedahan dapat di
Tindakan anestesi dengan anestesi umum via face mask.
11. Kepustakaan 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In:
Pharmacology and physiology in anesthesic practice. 4th
Edition. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins;
2006. p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway
Management. In: Clinical anesthesiology. 4th Edition.
New York: Lange Medical Books; 2006. p.412-49.
3. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan
Terapi Intensif. 2015.

Bekasi, ......................... 2017

Ketua Komite Medik Ketua SMF

Dr. H. Sutarji Sp. OG Dr. Haryana, Sp. An

9
Pedoman st

Panduan Praktik Klinis


SMF ANESTESI
DI RSBK

PROSEDUR REGIONAL ANESTESI BLOK SUBARACHNOID


No. Dokumen : 05/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Adalah tindakan pembiusan dengan cara melakukan


penyuntikan ke rongga sub-arakhnoid dan memberikan obat
anestesi lokal kedalam rongga tersebut untuk memblok
rangsangan nyeri di RS Bhakti Kartini Bekasi.
2. Indikasi a. Pembedahan daerah lower abdomen & sectio caesarea < 3
jam.
b. Pembedahan daerah ginekologi dengan lama operasi < 3 jam.
3. Kontra Indikasi Absolut:
- peningkatan tekanan intracranial
- koagulopati, dalam terapi antikoagulan
- infeksi kulit tempat tusukan
- penolakan pasien
- hipovolemia
- kelainan katup jantung berat atau obstruksi aliran dari
ventrikel
Relatif:
- sepsis
- pasien tidak kooperatif
- kelainan neurologis sebelumnya
- kelainan tulang belakang yang berat
Kontroversi:
- operasi tulang belakang sebelumnya
- pasien tidak dapat berkomunikasi
- operasi yang memanjang
- operasi dengan kehilangan darah dalam jumlah besar
- maneuver yang mempengaruhi respirasi
4. Persiapan Inform consent
- Visite perioperatif sesuai PPK Kunjungan Pra Anestesi
Persiapan alat :
1. Set untuk general anestesi (Stetoskop, laringoskop, plester,
Tube Endotracheal, peralatan Airway, sungkup muka,
sirkuit pernafasan, suction) dan obat-obatan untuk general
anestesi
2. Monitor: EKG, Pulse oksimetri, tekanan darah
3. Sarung tangan steril dan masker wajah
4. Peralatan desinfeksi: povidone iodine dan alkohol
5. Jarum spinal (25-27G)
10
6. Drapping steril (duk steril), kasa steril
7. Spuit 3 cc dan 5 cc
8. Lidokain 2% anestesi lokal untuk infiltrasi pada kulit dan
subkutis
9. Bupivakain 0,5% heavy atau Lidokain 5% heavy anestesi
untuk injeksi subarakhnoid
10. Morfin 1 mg/cc dalam spuit 1 cc steril, atau fentanyl 50
µg/cc, atau pethidin 50 mg/cc untuk adjuvant injeksi
subarakhnoid
12. Prosedur Tindakan 1. Beri tahu pasien tentang tindakan yang akan dilakukan.
2. Menentukan lokasi penyuntikan jarum spinal
3. Mencuci tangan (scrubbing).
4. Mengenakan sarung tangan steril
5. Melakukan desinfeksi pada lokasi penyuntikan yang telah
ditentukan
6. Melakukan infiltrasi obat lokal anestesi pada lokasi
penyuntikan dan menunggu obat lokal anestesi bekerja
7. Melakukan penyuntikan jarum spinal pada lokasi yang telah
ditentukan tadi hingga menembus arakhnoid yang ditandai
dengan keluarnya cairan serebrospinal.
8. Barbotase cairan serebrospinal
9. Menyuntikkan obat anestesi dan adjuvant yang digunakan
kedalam rongga subarahnoid melalui jarum spinal :
a. Obat Injeksi subarakhnoid : Bupivakain 0,5% heavy atau
Lidokain 5% heavy dengan dosis sesuai ketinggian blok
dan lama operasi
b. Obat Adjuvant subarakhnoid : Morfin 0,1-0,2 mg
dan/atau Fentanyl 25 µg dan/atau Meperidine 25 mg
sesuai kebutuhan blok
13. Pasca Prosedur Tindakan 1. Evaluasi ketinggian blok baik sensoris maupun motoris
2. Evaluasi nadi, tekanan darah, saturasi oksigen, dan fungsi
respirasi
3. Atasi komplikasi yang terjadi
14. Tingkat Evidens I/II/III/IV
15. Tingkat Rekomendasi A/B/C
16. Penelaah Kritis a. dr. Sutihadi Sutjipto , SpAn
b. dr. Erfan Effendy, SpAn
c. dr. Dedhi Subandrio, SpAn
d. dr. Suparno Adi Santika, SpAn
17. Indikator Prosedur 90 % spinal anestesi berhasil tanpa komplikasi.
Tindakan
18. Kepustakaan a. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
b. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward
Morgan, 2014
c. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia.
IDSAI. 2008
d. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif.
2015.

11
Bekasi, ......................... 2017

Ketua Komite Medik Ketua SMF

Dr. H. Sutarji Sp. OG Dr. Haryana, Sp. An

12
Pedoman st

Panduan Praktik Klinis


SMF ANESTESI
DI RSBK

PROSEDUR REGIONAL ANESTESI BLOK EPIDURAL


No. Dokumen : 06/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Adalah tindakan pembiusan dengan cara melakukan


penyuntikan ke rongga Epidural dan memberikan obat anestesi
lokal kedalam rongga tersebut untuk memblok rangsangan
nyeri di RS Bhakti Kartini Bekasi.
2. Indikasi Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan berikut
dengan lama operasi > 3 jam dan atau mempunyai penyulit
kardiovaskular untuk dilakukan tindakan anestesi blok
subarakhnoid :
a. Pembedahan daerah lower abdomen > 3 jam.
b. Pembedahan daerah ginekologi > 3 jam.
c. Pembedahan sectio caesarea dengan indikasi khusus.
3. Kontra Indikasi Absolut:
- peningkatan tekanan intracranial
- koagulopati, dalam terapi antikoagulan
- infeksi kulit tempat tusukan
- penolakan pasien
- hipovolemia
- kelainan katup jantung berat atau obstruksi aliran dari
ventrikel
Relatif:
- sepsis
- pasien tidak kooperatif
- kelainan neurologis sebelumnya
- kelainan tulang belakang yang berat
Kontroversi:
- operasi tulang belakang sebelumnya
- pasien tidak dapat berkomunikasi
- operasi yang memanjang
- operasi dengan kehilangan darah dalam jumlah besar
- maneuver yang mempengaruhi respirasi
4. Persiapan Inform consent
- Visite perioperatif sesuai PPK Kunjungan Pra Anestesi
Persiapan alat :
1. Set untuk general anestesi (Stetoskop, laringoskop, plester,
Tube Endotracheal, peralatan Airway, sungkup muka,
sirkuit pernafasan, suction) dan obat-obatan untuk general
13
anestesi
2. Monitor: EKG, Pulse oksimetri, tekanan darah
3. Sarung tangan steril dan masker wajah
4. Peralatan desinfeksi: povidone iodine, savlon
5. Set Epidural dengan Jarum epidural Tuohy 17 G
6. Drapping steril (duk steril), kasa steril
7. Spuit 3 cc dan 10 cc
8. Lidokain 2% anestesi lokal untuk infiltrasi pada kulit dan
subkutis
9. Bupivakain 0,5% Plain atau Lidokain 2% Plain anestesi
untuk injeksi epidural
10. Morfin 1mg/ml, fentanyl 50 µg/cc, pethidin 50 mg/cc untuk
adjuvant injeksi epidural
5. Prosedur Tindakan 1. Memberi informasi kepada pasien tentang tindakan yang
akan dilakukan.
2. Menentukan lokasi penyuntikan jarum epidural
3. Mencuci tangan (scrubbing).
4. Mengenakan sarung tangan steril
5. Melakukan desinfeksi pada lokasi penyuntikan yang telah
ditentukan
6. Melakukan infiltrasi obat lokal anestesi pada lokasi
penyuntikan dan menunggu obat lokal anestesi bekerja
7. Melakukan penyuntikan jarum epidural pada lokasi yang
telah ditentukan tadi hingga menembus rongga epidural
yang ditandai dengan hilangnya tahanan pada jarum
epidural
8. Menyuntikkan dosis coba (test dose) untuk meyakinkan
bahwa lokasi penyuntikan tersebut benar rongga epidural
bukan intravena maupun rongga subarachnoid dengan
komposisi 3 ml lidokain 2% dan 1,5 ml epinefrin 5 µg/ml 
(epinefrin 1 : 200.000)
9. Bila sudah dipastikan masuk ke rongga epidural.
Menyuntikkan obat anestesi dan adjuvant yang digunakan
kedalam rongga epidural melalui jarum epidural atau
melalui kateter epidural untuk penanganan nyeri selama
operasi maupun pasca operasi :
a. Obat Injeksi epidural : Bupivakain 0,5% plain atau
Lidokain 2% plain dengan dosis sesuai ketinggian blok
dan lama operasi
b. Obat Adjuvant epidural : Morfin 0,1-0,5 mg/ml (3-5 mg)
dan/atau Fentanyl 0,5-1 µg/kg (50-100 µg) dan/atau
Meperidine 30-100 mg sesuai kebutuhan blok dan lama
operasi
10. Mempersiapkan regimen obat epidural anestesi untuk
perawatan nyeri pasca operasi di ruangan
6. Pasca Prosedur Tindakan 90 % epidural anestesi berhasil tanpa komplikasi.
7. Tingkat Evidens IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis a. dr. Sutihadi Sutjipto , SpAn
b. dr. Erfan Effendy, SpAn
c. dr. Dedhi Subandrio, SpAn
d. dr. Suparno Adi Santika, SpAn
14
10. Indikator Prosedur 1. Inform consent
Tindakan 2. Ketinggian blok dan kualitas blok
3. Komplikasi

11. Kepustakaan 1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009


2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward
Morgan, 2006
3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia.
IDSAI. 2008
4. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif.
2015.

Bekasi, ......................... 2017

Ketua Komite Medik Ketua SMF

Dr. H. Sutarji Sp. OG Dr. Haryana, Sp. An

15
Pedoman st

Panduan Praktik Klinis


SMF ANESTESI
DI RSBK

MANAJEMEN NYERI
No. Dokumen : 07/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Suatu tindakan untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien di
RS Bhakti Kartini Bekasi.
2. Indikasi Manajemen nyeri akut :
a. nyeri somatis : nyeri muskuloskeletal sesuai dermatom
b. nyeri visceral : nyeri dari organ
Manajemen nyeri kronis :
a. Nosiseptif
b. Non-Nosiseptif
3. Kontra Indikasi Tidak ada
4. Persiapan 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan intervensi
nyeri pada pasien.
- Ijin persetujuan tindakan intervensi nyeri pada pasien.
- Visite perioperatif sesuai PPK Kunjungan Pra Anestesi
- Medikasi sesuai resiko pasien.
2. Kelengkapan pemeriksaan penunjang :
a. Alat dan Obat:
- Sulfas Atropin 0,25 mg
- Lidokain 2 %
- Efedrin 50 mg
- Oksigen
- Obat-obatan Opioid
- Obat-obatan OAINS (NSAID)
- Obat-obatan Adjuvan
- Epidural set dengan jarum Tuohy 17 G.
- Lokal Anestesi : Bupivacain 0,5% 20cc isobarik
- Oksigen
b. Dokter :
- Pemeriksaan nyeri pada pasien
- Perencanaan kesiapan nyeri dan modalitas nyeri pada pasien.
5. Prosedur Tindakan 1. Melakukan anamnesis tentang nyeri, termasuk lokasi,
karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau
beratnya nyeri dan faktor presipitasi

16
2. Melakukan penilaian nyeri dengan menggunakan :
a) Wong Baker Faces Pain Scale : Amati raut wajah pasien lalu
sesuaikan dengan gambar yang ada pada pasien yang tidak
sadar.

b) Numeric Rating Scale pada pasien dewasa dan anak berusia >
14 tahun yang kooperatif dengan menggunakan angka untuk
melambangkan intensitas nyeri yang dirasakannya. Tanyakan
pasien mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan
dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.

- 0 = tidak nyeri
- 1 – 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-
hari)
- 4 – 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas
sehari-hari)
- 7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari
hari)

3. Melakukan pengkajian yang komprehensif tentang nyeri,


termasuk lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas, atau beratnya nyeri dan faktor presipitasi
4. Melakukan pengamatan perlakuan non verbal yang menunjukkan
ketidaknyamanan, khususnya ketidakmampuan komunikasi
efektif serta mengidentifikasi dampak pengalaman nyeri terhadap
kualitas hidup.
17
5. Bersama keluarga mengidentifikasi kebutuhan untuk mengkaji
kenyamanan pasien dan merencanakan monitoring tindakan
6. Ajarkan kepada pasien untuk mengontrol faktor lingkungan yang
dapat mempengaruhi respon pasien mengalami ketidaknyamanan
(misal temperatur ruangan, cahaya, kebisingan).
7. Mengajarkan pada pasien bagaimana mengurangi atau
menghilangkan faktor yang menjadi presipitasi atau
meningkatkan pengalaman nyeri (misal: ketakutan, kelemahan
dan rendahnya pengetahuan).
8. Memilih dan mengimplementasikan berbagai cara (misal:
farmakologi, nonfarmakologi, dan interpersonal) untuk
memfasilitasi penurun nyeri.
9. Intervensi Nyeri Nonfarmakologi : Dengan bantuan konsultasi
dari smf rehab-medik dan psikiatri (misal: hypnosis, relaksasi,
terapi musik, distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas,
acupressure, terapi dingin/panas, pijatan, dan TENS (Transient
Electricity Nerve Stimulation).
10. Intervensi Nyeri Farmakologi: menggunakan Step-Ladder
WHO, sesuai dengan tipe nyeri pasien (akut/kronis), bekerja
sama dengan smf-smf terkait (bedah, obstetri, orthopedi,
neurologi, rheumatologi)

Terapi step-up (tangga naik) digunakan pada pasien : Nyeri


kronis dan nyeri kanker
Terapi step-down (tangga turun) digunakan pada pasien : Nyeri
akut dengan intensitas tinggi, dan nyeri kronis yang tidak
terkontrol

a) OAINS/NSAID efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid


efektif untuk nyeri sedang-berat.
b) Memulai dengan pemberian OAINS / opioid lemah dengan
pemberian intermiten (pro renata-prn) opioid kuat yang
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
18
c) Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang-
berat, dapat ditingkatkan menjadi langkah 3
d) (ganti dengan opioid kuat dan prn analgesik dalam kurun
waktu 24 jam setelah langkah 1)
e) Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering
digunakan adalah morfin, kodein.
f) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat
diberikan opioid ringan.
g) Adjuvan yang dapat diberikan :
1) Tricyclic anti-depresan : Nortriptyline, Desipramine, and
Amitriptyline
2) Anti konvulsan : Gabapentin, Pregabalin, Karbamazepin
h) Tipe obat dan jalur pemberian yang dapat diberikan pada
intervensi nyeri :
 Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid
(Setiap pemberian obat-obatan intravena, disertai dengan
infus cairan kristaloid)
 Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic,
kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid.
 Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid
 Topical: lidokain patch, EMLA
 Subkutan: opioid, anestesi local
 Intervensi Blok Epidural Tunneling
 Intervensi Blok Neuroaksial untuk painless labor
 Intervensi Blok Perifer.
 Intervensi Neurolysis dengan :
1) Chemical (dengan supervisi KMN)
2) Radiofrequency (dengan supervisi KMN)
11. Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan
dosis secara bertahap.
12. Penilaian ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur
di Poli Nyeri Terintegrasi.
6. Pasca Prosedur 1. Observasi tanda vital di Poli Nyeri Terintegrasi.
Tindakan 2. Pemberian suplementasi oksigen sesuai kondisi pasien.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.
7. Tingkat Evidens IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis a. dr. Sutihadi Sutjipto , SpAn
b. dr. Erfan Effendy, SpAn
c. dr. Dedhi Subandrio, SpAn
d. dr. Suparno Adi Santika, SpAn
10. Indikator Prosedur 90 % dari pasien yang mengalami keluhan nyeri dapat diberikan
Tindakan modalitas nyeri sesuai dengan tipe, fase dan kondisi klinis nyeri
pasien.
11. Kepustakaan 1. World Health Organization, (2009). WHO’s Pain Relief Ladder.
Cancer Pain Relieve and Palliative Care.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology.
4th Edition. New York: Lange Medical Books; 2006. p.412-19.
3. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif. 2015.
19
Bekasi, ......................... 2017

Ketua Komite Medik Ketua SMF

Dr. H. Sutarji Sp. OG Dr. Haryana, Sp. An

20
Pedoman st

Panduan Praktik Klinis


SMF ANESTESI
DI RSBK

TATA LAKSANA SYOK


No. Dokumen : 08/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Syok adalah hipotensi yang berhubungan dengan hipoperfusi


(aliran darah organ yang tidak memadai) sehingga hantaran
oksigen tingkat seluler terganggu.
2. Anamnesis Diare, perdarahan, buang air kecil yang berlebihan, dehidrasi,
luka bakar luas, pankreatitis.
3. PemeriksaanFisik Kesadaran menurun, lemah.
KV : TD < 90 mmHg (MAP <60 mmHg, penurunan > 40% TD
sistolik dari TD sistolik sehari-hari),
Nadi : cepat dan lemah
Paru : normal atau ada tanda-tanda pneumothorax atau
hematothorax
Abdomen : bias ada kelainan sesuai asal penyakit, produksi
urin menurun
Ekstremitas : dingin
4. Kriteria Diagnosis Tekanan darah sistolik < 90 mm Hg, tekanan arteri rata-rata <
60 mm Hg atau hipotensi yang signifikan apabila terjadi
penurunan tekanan darah sistolik> 40 mm Hg dari tekanan
sehari-hari.
5. Diagnosis Kerja Syok hipovolemik
6. Diagnosis Banding 1. Syok kardiogenik
2. Syok distributif
3. Syok obstruktif
7. PemeriksaanPenunjang 1. Lab : Hemoglobin, Hematokrit, AGD, Elektrolit, ureum /
kreatinin, Gula darah sewaktu.
2. Penunjang lainnya: fototoraks, USG abdomen.
8. Terapi  Kristaloid (Ringer Laktat, Natrium Klorida 0,9%)
 Koloid (gelatin, hydroxyethyl starches)
 Produk darah (PRC, FFP)
 Obat-obatan (dosis titrasi)
- Norepinephrine
- Epinephine
- Dopamin
9. Edukasi Risiko terjadi gagal resusitasi dan terjadi gangguan-organ yang
lain.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C

21
13. Penelaah Kritis a. dr. Sutihadi Sutjipto , SpAn
b. dr. Erfan Effendy, SpAn
c. dr. Dedhi Subandrio, SpAn
d. dr. Suparno Adi Santika, SpAn
14. Indikator Medis 80% Pasien dirawat selama 4-7 hari
15. Kepustakaan 1. Dries DJ (ed) Fundamental Critical Care Support. Society
of Critical Care Medicine.5th, 2012:7-1

Bekasi, ......................... 2017

Ketua Komite Medik Ketua SMF

Dr. H. Sutarji Sp. OG Dr. Haryana, Sp. An

22
Pedoman st

Panduan Praktik Klinis


SMF ANESTESI
DI RSBK

EKLAMPSI DAN PREEKLAMPSI BERAT


No. Dokumen : 08/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Preeklampsi Berat adalah keadaan terjadinya peningkatan


Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg, Proteinuria ≥ 5 gr/24 jam
disertai gangguan visus,sakit kepala, penurunan kesadaran,
epigastric pain, edema paru, oliguria < 500 ml/24 jam dan
disebut Eklampsi bila disertai Kejang dengan atau tanpa koma
pada kehamilan > 20 Minggu atau setelah melahirkan tanpa
adanya defisit neurologis.
2. Anamnesis Riwayat penyakit atau keluhan :
- Adanya hipertensi sebelum dan selama kehamilan
- Adanya riwayat keluarga dengan hipertensi dan penyakit
yang sama
- Adanya tanda klinis : sakit kepala,gangguan penglihatan,
edema paru, penurunan kesadaran, sesak, nyeri ulu hati,
kelemahan tubuh
- Adanya kejang dengan atau tanpa koma
3. Pemeriksaan Fisik a. Hamil ≥ 20 minggu
b. Kesadaran : menurun disertai atau tanpa Kejang
c. Tekanan Darah : ≥ 160/110 mmHg
d. Dyspnoe
e. Cyanosis
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium, Radiologi)
5. Diagnosis Kerja Preeklampsi Berat/Eklampsi
6. Diagnosis Banding a. Kejang :
- CVA
- Hypertensive Encephalopathy
- Infeksi Otak (Meningitis,Encephalitis,Abscess)
- Thrombotic thrombocytopenia purpura
- Gangguan Metabolik
- Epilepsi
- Tumor Otak
- Posterior reversible encephalopathy syndrome
- Penggunaan obat-obatan
b. Nyeri perut/epigastric :
- Abruptio Placentae
- Acute appendicitis
- Cholecystitis dan biliary colic
- Blunt abdominal trauma
- Aneurisma abdomen
- Kista ovarium terplintir
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium :
1. Proteinuria ≥ 5 gr dalam urine 24 jam
23
2. HELLP syndrome (Hemolysis,Elevated Liver
Enzymes,Low Platelets)
3. Trombosit < 100.000/mm
4. Peningkatan LDH (Lactic Acid Dehydrogenase) > 600IU/l
5. Peningkatan Creatinin
6. AST,ALT meningkat 2x normal 200-700 IU/l
7. Peningkatan Uric Acid > 6mg/dl
8. Terapi 1. Penanganan Tekanan Darah > 160/110 dengan target
penurunan 15-25%, sekitar 140/90. Diberikan obat-obat :
- Nicardipin titrasi mulai dosis 0,15 ug/kg/jam
- Nitroglycerin 10 – 100 mg/ menit
- Diltiazem dosis 0,15 ug/kg/jam
2. Penanganan Kejang :
Berikan MgSO4 :
- Bolus 4 - 6 gr dalam 20 menit, dilanjutkan 1 – 2 gr/jam
- Monitor toxicity, terapetik level : 5 – 8 mg/dl dengan
pemeriksaan penunjang kadar MgSO4 dalam plasma.
- Dapat diberikan 2 gr/IV bila kejang timbul lagi
- MgSO4 dihentikan 24 jam setelah partus
- Bila masih kejang, dapat diberikan Diazepam atau
Propofol dan dilakukan penanganan jalan nafas (intubasi
+ control ventilasi)
3. Penanganan HELLP syndrome :
- Terminasi kehamilan bila sudah > 34 mg, dapat secara
normal atau operasi sectio caesarean
- Bila masih < 34 mg dapat ditunda untuk pemberian
Bethamethason 12 mg/24 jam/IM sebanyak 2 x Terminasi
kehamilan dilakukan setelah 24 jam pemberian
Bethametason terakhir
- Bila Trombocyt < 20.000 lakukan transfusi trombositt
4. Penangan Edema Paru :
- Berikan Furosemide 20 – 40 mg/IV, dapat diberikan lagi
setelah 30 menit 40 – 60 menit
- Monitor balans cairan, pemasangan catheter vena central
dapat membantu menghitung meskipun secara kasar.
- Dapat dilakukan tindakan intubasi dan bantuan ventilasi
mekanis bila edema paru tetap ada dan pasien mengalami
gawat/gagal nafas.
5. Pemantauan lebih kepada penanganan hipertensi, fungsi
ginjal, adanya coagulopathy
6. Pemantauan pasien pasca tindakan dilakukan di HCU atau
ICU (apabila membutuhkan perawatan Ventilator)
9. Edukasi Edukasi keluarga mengenai risiko dan komplikasi
10. Prognosis Ad vitam: dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad fungsionam: dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis a. dr. Sutihadi Sutjipto , SpAn
b. dr. Erfan Effendy, SpAn

24
c. dr. Dedhi Subandrio, SpAn
d. dr. Suparno Adi Santika, SpAn
14. Indikator Medis 80% Pasien dirawat selama 3 – 7 hari
15. Kepustakaan 1. Chawla R, Nasa P, Chawla R. Severe Preeclampsia. In :
ICU Protocols : A Stepwise Approach. India: Springer India.
2012. pp.599-605.
2. David R, Gambling M.Hypertensive Disorders. In :Chesnut
Obstetric Anesthesia : Principles and Practice.3rded.Mosby.
Inc. 2004. pp.825-827.
3. VarelmannDJ.Obstetric Critical Care. In :Pocket ICU.
Philadelphia. Lipincott Williams & Wilkins. 2013 ; 33:1-3.
4. I Gouviea,C Costa et al, Pre eclampsia in the intensive care
unit : Indicators of severity and hospital outcome, Critical
Care 2005, 9 (suppl 1): P 216
5. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif.
2015.

Bekasi, ......................... 2017

Ketua Komite Medik Ketua SMF

Dr. H. Sutarji Sp. OG Dr. Haryana, Sp. An

25
Pedoman st

Panduan Praktik Klinis


SMF ANESTESI
DI RSBK

PROSEDUR PEMASANGAN PERAWATAN PASIEN INTENSIF DENGAN


VENTILATOR

26
No. Dokumen : 09/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Pemasangan ventilator adalah suatu tindakan memasang Alat


Bantu Nafas untuk membantu pernafasan pasien secara
mekanik.
2. Indikasi 1. Mekanik.
a. Respiratory rate > 35 kali/menit
b. Tidal volume kurang dari 5 cc/kg berat badan.
c. Maksimum respiratory force kurang dari 20 mmHg.
2 Oksigenasi.
a. PaO2 < 60 mmHg dengan FI O2 Room Air 21 %
b. PaO2 < 70 mmHg dengan FI O2 40 %
c. PaO2 < 100 mmHg dengan FI O2 100 %
3 Ventilasi.
Pa CO2 lebih dari 50 mmHg
3. Kontra Indikasi Pasien dan keluarga pasien menolak
4. Persiapan Pasien
a. Pasien / keluarga diberi penjelasan tentang tindakan yang
akan dilakukan.
b. Konsultasi Informasi dan Edukasi (Inform Concent)
c. Posisi diatur sesuai dengan kondisi pasien

Alat
1. Ventilator lengkap dan siap pakai
2. Spirometer
3. Bag valve mask
4. Set pengisap sekresi
5. Cuf inflator atau spuit 10 cc
6. Alat patensi jalan nafas sesuai indikasi dan kondisi klinis
pasien dengan keterangan tabel dibawah ini :
a. Kanul Endotrakeal
Rumus menentukan ukuran Kanul Endotrakeal

Macam Ukuran Kanul Endotrakeal

1.) Uncuffed : untuk neonatus (usia s/d 30 hari), pediatri


27
(usia < 6th)
2.) Cuffed : untuk pediatri usia > 6 th (≥ 5.0), pasien
dewasa dengan gangguan patensi jalan nafas yang
membutuhkan kanul endotrakeal ukuran kecil (4.0,
4.5, 5.0)
3.) Kinkin : Tindakan pembedahan tanpa potensial
terhadap manuver airway (jalan nafas). (posisi operasi
(miring, tengkurap), lokasi operasi (kepala, leher),
lokasi intubasi (intubasi nasal))
4.) Non-Kinking : Tindakan pembedahan dengan potensi
terhadap manuver airway (jalan nafas). (posisi operasi
(miring, tengkurap), lokasi operasi (kepala, leher),
lokasi intubasi (intubasi nasal))
b. Kanul Nasofaring

c. Kanul Orofaring
Ukuran Ukuran no Dimensi Warna
Neonatus 00 40 mm Merah muda
Infant 0 50 mm Biru muda
Anak 1 60 mm Hitam
Dewasa muda 2 70 mm Putih
Dewasa 3 80 mm Hijau
Dewasa tua 4 90 mm Kuning
Dewasa XL (ukuran 5 100 mm Merah
rongga mulut)
Dewasa XXL 6 110 mm Oranye
(ukuran rongga
mulut)
d. Masker Laringeal

Lingkungan
1. Meletakan ventilator disamping tempat tidur sisi kiri kepala
pasien
5. Prosedur Tindakan 1. Insersi alat patensi jalan nafas sesuai indikasi, kondisi klinis
pasien
2. Pada pasien dengan pernafasan kendali (CMV)
a. Menghisap sekresi
b. Menentukan pola pernafasan kendali dengan cara :
1) Menentukan Tidal volume ( TV 8 - 12 cc/ kg Berat
badan
2) Menentukan Minute volume ( MV) = RR x TV
3) Menentukan frekwensi pernafasan 12 kali / menit
4) Menentukan konsentrasi ( FIO2 ) sesuai kebutuhan
5) Mengatur sensitifitas kearah kendali sesui sesuai jenis
28
ventilator yang digunakan
c. Menilai volume udara yang masuk dengan cara
membaca jarum petunjukm pada ventilator , atau melihat
pada layar monitor
d. Menentukan sistem alarm volume udara yang masuk /
tekanan udara, sesuai dengan jenis ventilator yang
digunakan
e. Menentukan sensitivitas kearah negatif 20 cm bagi
pasien dengan resusitasi otak
f. Menghubungkan ventilator ke pasien dengan memakai
konektor
3. Pada pasien dengan pernafasan assisted
a. Terangkan prosedur pada pasien
b. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
c. Mengisap sekresi
d. Menentukan pola pernafasan assisted dengan cara :
1) Menentukan sensitivitas sesuai jenis ventilator yang
digunakan
2) Mengatur ventilator dengan frekwensi pernafasan 10
x/menit, agar bila pasien apnoe ventilator dapat
membantu pernafasan
3) Menentukan tidal volume disesuaikan dengan
frekwensi pernfasan yang disiapkan
4) Menentukan konsentrasi oksigen
5) Menghubungkan ventilator ke pasien dengan
menggunkan konektor
6) Melakukan observasi tiap 30 menit antara lain :
a) Kerja ventilator.
b) Tensi, nadi, pernfasan dan tanda - tanda syanotik
c) Tanda-tanda fighting (penolakan batuan ventilator)
4. Pasien dengan pernafasan “Sinchronize Intermittten
Mandatorry Ventilation” ( SIMV )
a. Terangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan
b. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
c. Menghisap sekresi
d. Menentukan pola pernafasan SIMV dengan cara :
1) Mengatur ventilator sesui pola nafas ( SIMV )
2) Menyesuaikan frekuensi pernafasan Ventilator
dengan frekuensi pernafasan pasien dengan ventilator
yang digunakan
3) Menghubungkan ventilator ke pasien dengan
memakai konektor
e. Melakukan observasi setiap 30 menit antara lain:
1) Kerja ventilator
2) Tensi nadi, pernafasan , dan tanda tanda syanotik
3) Tanda tanda fighting (penolakan bantuan ventilator)
5. Pada pasien pernafasan “Positive End Expiratory Pressure”
(PEEP)
a. Menentukan tekanan positif sesuai kondisi pasien.
b. Pola nafas kendali dengan PEEP cara kerjanya sama
pada pasien pernafasan kendali, ditambah dengan
pemasangan katup pada selang ekspirasi.
29
c. Pola assisted dengan PEEP, cara kerjanya sama pada
paseien dengan pernafasan assisted, di tambah dengan
pemasangan katup pada selang ekspirasi.
d. Pola nafas SIMV dengan PEEP, cara kerjanya sama pada
pasien dengan SIMV, di tambah dengan pemasangan
katup pada selang ekspirasi.
6. Pada pasien dengan pernafasan “Continous Positif Airway
Pressure” (CPAP)
a. Mengatur ventilator ke arah CPAP pada pasien yang
sudah bernafas spontan.
b. Menghubungkan selang ekspirasi kedalam botol berisi
air untuk pasien yang sudah tak memakai ventilator,
tetapi masih memerlukan tekanan positif dalam alveoli
sama dengan panjang selang ekspirasi yang masuk
kedalam air.
6. Pasca Prosedur Tindakan 1. Fungsi ventilator selama penggunaan.
2. Sesuaikan penggunaan ventilator dengan pola pernafasan
pasien.
3. Bila ada bunyi alarm, segera lakukan tindakan sesuai sinyal
pada ventilator.
4. Pantau pola pernafasan sesuai dengan yang diatur oleh
ventilator
5. Analisa Gas Darah
7. Tingkat Evidens IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis a. dr. Sutihadi Sutjipto , SpAn
b. dr. Erfan Effendy, SpAn
c. dr. Dedhi Subandrio, SpAn
d. dr. Suparno Adi Santika, SpAn
10. Indikator Prosedur Pemantauan:
Tindakan a. Tekanan Darah
b. EKG
c. Nadi
d. Oksimetri
e. Suhu
f. Analisa gas darah
g. Balance cairan
h. Nutrisi
11. Kepustakaan 1. The ICU book third edition, Paul L Marino,2008
2. Clinical anesthesiology, G edward Morgan,Jr,Md et all,
2014
3. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif.
2015.

Bekasi, ......................... 2017

Ketua Komite Medik Ketua SMF

30
Dr. H. Sutarji Sp. OG Dr. Haryana, Sp. An

Pedoman st

Panduan Praktik Klinis


SMF ANESTESI
DI RSBK

PROSEDUR WEANING (PENYAPIHAN) DENGAN VENTILATOR


No. Dokumen : 09/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Tindakan pelepasan bantuan ventilasi mekanik.


2. Indikasi 1. Penyebab dasar gagal nafas telah teratasi.
2. Perbaikan fungsi respirasidan hemodinamik.
3. Kontra Indikasi Perburukan kondisi pasien yang dirawat di ICU
4. Persiapan a. Pasien :
31
- Pastikan sedasi telah dihentikan dan tidak ada lagi
efek pelumpuh otot.
- Pastikan dilengkapi pemeriksaan analisis gas darah
dan kadar elektrolit dengan rasio PaO2/FiO2> 200.
- Pastikan adanya perbaikan fungsi nafas.
- Pasien mampu bernafas spontan dan adekuat.
- Kesadaran pasien GCS>13.
- Pasien telah lepas atau menggunakan dosis rendah
vasopressor (Dopamin<5mcg/kg, Dobutamin <5
mcg/Kg atau Norepinefrin <0,1 mcg/kg.
- Hemodinamik pasien stabil.
b. Alat :
- Siapkan suction set(1 buah).
- Persiapkan prosedur intubasi jika gagal disapih.
- Laringoskop (1 buah) uk standart No.3
- Pipa endotrakheal (1 buah) No. ID 7,0
- Sulfas atropin 0,25 mg (4 ampul)
- Lidokain 20 mg (3 ampul)
- Dexamethason 4 mg (2ampul)
- Handschoen steril 2 pasang.
- Masker oksigen NRM dewasa (1 buah)
- Oksigen
c. Dokter :
- Memberikan informasi kepada keluarga mengenai
rencana penyapihan ventilator dan resiko yang dapat
terjadi.
5. Prosedur Tindakan a. Persiapkan semua perlengkapan dilakukannya intubasi
ulang.
b. Pastikan pasien bernafas spontan adekuat dan refleks
batuk telah ada.
c. Percobaan nafas spontan selama 30 – 120 menit.
d. Amati kondisi pasien. Jika :
1) Respiratory Rate> 35
2) SaO2< 90%
3) Nadi > 140 atau ↑ ≥ 20%
4) TD Sistolik> 180 mmHg atau < 90 mmHg
5) Agitasi, berkeringat, gelisah
6) RR/TV > 105
Menandakan pasien belum dapat di weaning dari
ventilasi mekanik.
e. Jika tidak ada, dan pasien dapat batuk secara efektif,
dapat dilakukan ekstubasi.
f. Lakukan suctioning jalan nafas, pastikan bebas dari
sekret dan lendir sebelum dilakukan ekstubasi.
6. Pasca Prosedur Tindakan 1. Observasi ketat hemodinamik.
2. Pemeriksaan AGD konfirmasi setelah 30 menit pasca
ekstubasi.
3. Terapi oksigen dengan O2 lewat masker NRM
32
4. Tetap siap jika dibutuhkan tindakan intubasi ulang.
7. Tingkat Evidens IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis a. dr. Sutihadi Sutjipto , SpAn
b. dr. Erfan Effendy, SpAn
c. dr. Dedhi Subandrio, SpAn
d. dr. Suparno Adi Santika, SpAn
10. Indikator Prosedur 80 % dari pasien dengan gagal nafas yang di sapih dari
Tindakan ventilator berhasil tanpa komplikasi.
11. Kepustakaan 1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Critical Care. In:
Clinical anesthesiology. 4th Edition. New York: Lange
Medical Books; 2006. p.1452-96.
2. Kacmareck RM, Hess DR. Mechanical Ventilation For
The Surgical Patient. In: Longnecker DE, Brown DDL,
Newman MF, Zapol WM, editors. Anesthesiology. New
York: Mc Graw Hill; 2008. p.2072-91.
3. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan
Terapi Intensif. 2015.
Bekasi, ......................... 2017

Ketua Komite Medik Ketua SMF

Dr. H. Sutarji Sp. OG Dr. Haryana, Sp. An

Pedoman st

Panduan Praktik Klinis


SMF ANESTESI
DI RSBK

ARDS (ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDFROME)


No. Dokumen : 10/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi) Penyakit ARDS memiliki karakteristik :


1. Cedera paru dengan
onset akut, yang timbul dalam 1 minggu sejak gejala

33
timbul, dengan perburukan gejala pernafasan.
2. Gambaran opak bilateral
pada rontgen toraks yang tidak disebabkan oleh penyakit
paru lainnya (efusi pleura, kolaps paru, atau nodul paru)
3. Gagal nafas yang tidak
disebabkan oleh gagal jantung atau kelebihan cairan
(edema paru)
4. Rasio PO2/FiO2 <300
mmHg.
2. Anamnesis - Keluhan sesak napas
- Riwayat sepsis, transfusi darah, kontusio paru, aspirasi isi
lambung, penyalahgunaan obat atau overdosis.
- Atau riwayat syok, hampir tenggelam, inhalasi zat iritan
atau toksik.
3. PemeriksaanFisik - Takipneu
- Hipoksemia
- Penyerta : penurunan kesadaran, takikardi
- Ronki paru.
4. Kriteria Diagnosis Terpenuhinya 4 kriteria :
1. Cedera paru dengan onset akut, yang timbul
dalam 1 minggu sejak gejala timbul, dengan perburukan
gejala pernapasan.
2. Gambaran opak bilateral pada rontgen toraks
yang tidak disebabkan oleh penyakit paru lainnya (efusi
pleura, kolaps paru, atau nodul paru)
3. Gagal napas yang tidak disebabkan oleh gagal
jantung atau kelebihan cairan (edema paru)
4. Rasio PO2/FiO2<300 mmHg.
Kategori ARDS :
- ARDS ringan PaO2/FiO2 200-300 mmHg
- ARDS sedang PaO2/FiO2 101-200 mmHg
- ARDS berat PaO2/FiO2 ≤100 mmHg
- (dengan PEEP minimum 5 cmH2O)
5. Diagnosis Kerja ARDS ringan / ARDS sedang / ARDS berat
6. Diagnosis Banding - Edema paru
- Penyakit paru kronis (luluh paru, penyakit paru interstisial)
- Keganasan paru.

7. Pemeriksaan - Analisa Gas Darah


Penunjang - Rontgen toraks
- Tekanan vena sentral
8. Terapi 1. Perawatan di ICU
2. Pemberian ventilasi mekanik via
alat patensi jalan nafas sesuai dengan kondisi klinis pasien
dibawah ini :
- Target volum tidal 6 mL/kgBB (Berat Badan
Prediksi) pada pasien ARDS-sepsis (grade 1A)
- Tekanan plateau diukur dengan target batas atas
inisial saat inflasi paru pasif ≤30 cmH2O (grade 1B).
- Tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) diberikan

34
untuk menghindari kolaps alveolar pada ekspirasi
akhir (atelektrauma) (grade 1B).
- Strategi menggunakan PEEP yang lebih tinggi pada
pasien sepsis dengan ARDS sedang atau berat. (grade
2C.
- Teknik rekruit alveolus diberikan pada pasien sepsi
dengan hipoksemia refrakter berat (grade 2C).
- Kepala pasien dielevasi 30-45 derajat untuk mencegah
risiko aspirasi dan mencegah VAP (grade 1B).
- Ventilasi sungkup non-invasif (NIV) dapat diberikan
pada sebagian kecil pasien ARDS yang mungkin dapat
memperoleh manfaat positif dari NIV dengan penuh
pertimbangan (grade 2B).
- Protokol penyapihan harus dilakukan, dan pasien
secara teratur menjalani Uji Napas Spontan untuk
evaluasi penghentian ventilasi mekanik ketika pasien
memenuhi kriteria:
a) sadar, dapat dibangunkan
b) hemodinamik stabil (tanpa vasopresor)
c) tidak ada kondisi perburukan baru yang berpotensi
serius
d) kebutuhan ventilasi rendah dan PEEP rendah
e) kebutuhan FiO2 yang rendah yang dapat terpenuhi
dengan sungkup muka atau kanula nasal.
Bila Uji Napas Spontan berhasil, ekstubasi harus
dipertimbangkan. (grade 1A).
- Tidak perlu secara rutin menggunakan kateter Swan-
Ganz (grade 1A)
- Pemberian cairan secara konservatif bila tidak ada
tanda hipoperfusi jaringan (grade 1C).
- Obat beta 2 agonis tidak diperlukan bila tidak ada
indikasi spesifik seperti bronkospasme (grade 1B)

3. Setting ventilasi mekanik


mengikuti protokol ARDSnet:
Tahap I : Pengaturan ventilator tahap awal
1) Hitung Berat Badan Prediksi (BBP)/Predicted Body
Weight (PBW)
b. Laki-laki (kg) = 50 + 0,9 (tinggi badan(cm) – 153)
c. Perempuan (kg) = 45,5 + 0,9 (tinggi badan(cm) –
153)

2) Pilih mode ventilasi (Volume Controlled / Pressure


Controlled
3) Volume tidal inisial = 8 mL/kgBBPrediksi
4) Turunkan volume tidal 1 mL/kg tiap ≤2 jam hingga
volume tidal 6 mL/kgBBPrediksi.
5) Laju napas diatur dengan target tercapainya ventilasi
semenit basal (<35x/menit)
6) Sesuaikan volume tidal dan laju napas agar target pH
dan tekanan plateau tercapai.
Target pH: 7,300-7450
35
Tatalaksana asidosis : (pH <7,30)
Bila pH 7,150-7,300: Naikkan Laju Napas hingga
pH>7,300 atau PaCO2 <25 (Laju Napas maksimum =
35x/menit)
Bila pH <7,150:Naikkan Laju Napas ke 35 x/menit.
Bila pH tetap <7,150, volume tidal dapat dinaikkan sebesar
1 mL/kg sampai pH >7,150 (Pplat 30 cmH2O boleh
dilampaui)
Tatalaksana alkalosis: (ph >7,45) Turunkan Laju Napas
bila memungkinkan.
Target rasio I:E: Inspirasi ≤ ekspirasi
Target oksigenasi: PaO2 55-80 mmHg atau SpO2 88-95%
PEEP minimum 5 cmH2O. Pertimbangkan untuk
meningkatkan kombinasi FiO2/PEEP seperti tabel di
bawah ini untuk mencapai target.

PEEP lebih rendah / FiO2 lebih tinggi


FiO2 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,7 0,7
PEEP 5 5 8 8 10 10 10 12

FiO2 0,7 0,8 0,9 0,9 0,9 1,0


PEEP 14 14 14 16 18 18-24
PEEP lebih tinggi / FiO2 lebih rendah
FiO2 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5
PEEP 5 8 10 12 14 10 10 12

FiO2 0,5 0,5-0,8 0,8 0,9 1,0 1,0


PEEP 5 5 8 8 10 10
Target Tekanan Plateau: ≤30 cmH2O
Periksa Pplat (0,5 inspiratory pause), sekurangnya tiap 4
jam dan setiap setelah perubahan PEEP atau volume tidal.
Bila Pplat >30 cmH2O: turunkan volume tidal 1 mL/kg
(minimum 4 mL/kg)
Bila Pplat <25 cmH2O dan volume tidal <6 mL/kg,
naikkan volume tidal 1 mL/kg hingga Pplat >25 cmH2O
atau volume tidal = 6 mL/kg.
Bila Pplat <30 dan tampak dis-sinkroni: tingkatkan volume
tidal 1 mL/kg hingga 7-8 mL/kg bila Pplat tetap ≤30
cmH2O.

Tahap II: Penyapihan


A. Lakukan Uji Napas Spontan setiap hari, ketika:
1. FiO2 ≤0,4 dan PEEP ≤8.
2. PEEP dan FiO2 ≤ dari nilai di hari sebelumnya.
3. Pasien mengeluarkan usaha bernapas spontan yang
cukup. (Dengan cara menurunkan laju ventilator hingga
50% selama 5 menit untuk mendeteksi usaha napas).
4. Tekanan darah sistolik ≥90 mmHg tanpa topangan
vasopresor.
5. Tidak ada obat pelumpuh otot.

36
B. Uji Napas Spontan:
Bila seluruh kriteria di atas terpenuhi, mulai Uji Napas
Spontan hingga 120 menit dengan FiO2 ≤0,5 dan PEEP ≤5:
1. Pasangkan T-piece / CPAP ≤5 cmH2O dengan PS ≤5.
2. Nilai toleransi pasien hingga 2 jam dengan parameter :
a. SpO2 ≥90: dan/atau PaO2 ≥60 mmHg.
b. Volume tidal ≥4 mL/kgBB Prediksi.
c. Laju napas ≤35x/menit
d. pH ≥7,300
e. Tidak ada distres pernapasan (distres=adanya 2
gejala atau lebih):
- Denyut jantung >120% dari basal.
- Penggunaan otot napas aksesoris
- Napas paradoks
- Diaforesis
- Tanda sesak napas
3. Bila pasien tampak toleran selama 30 menit,
pertimbangkan ekstubasi.
4. Identifikasi dan terapi penyebab / kondisi yang
menyebabkan terjadinya ARDS. Bila penyebabnya
adalah pneumonia, maka diberikan terapi antibiotika
sesuai panduan dari ATS/IDSA tentang CAP, HAP,
VAP, HCAP.
5. Mengembalikan dan mempertahankan fungsi
hemodinamik. Pemberian cairan menggunakan strategi
yang konservatif dengan target, dan menggunakan
topangan vasopresor dan inotropik sesuai target.
6. Pencegahan komplikasi pada penyakit kritis, dengan
cara pemberian pro filaksis ulkus lambung, pencegahan
emboli paru dan Deep Vein Thrombosis, pencegahan
Ventilator-associated Pneumonia, kontrol gula darah
dan fungsi metabolik, dan pencegahan gagal organ
multipel.
7. Pemberian nutrisi yang cukup.
8. Sedasi kontinu atau sedasi berkala harus diminimalisasi
pada pasien sepsis dengan ventilasi mekanik dengan
memakai target sedasi.
9. Pemakaian metil prednisolon dosis rendah pada fase
awal ARDS berat dapat diberikan.
9. Edukasi Edukasi keluarga mengenai berbagai prosedur, risiko,
komplikasi dan mortalitas.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Mortalitas : ARDS ringan 27%
ARDS sedang 32%
ARDS berat 45%
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi B
13. Penelaah Kritis a. dr. Sutihadi Sutjipto , SpAn
b. dr. Erfan Effendy, SpAn
37
c. dr. Dedhi Subandrio, SpAn
d. dr. Suparno Adi Santika, SpAn
14. Indikator Medis 60% pasien dapat dirawat selama 16 hari bila tanpa komplikasi
15. Kepustakaan 1. Acute Respiratory Distress Syndrome; the Berlin definition.
ARDS Definition Task Force, Ranieri VM, Rubenfeld GD,
Thompson BT, Ferguson ND, Caldwell E, Fan E. JAMA.
2012 Jun 20;307(23):2526-33.
2. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et al: Surviving Sepsis
Campaign: International guidelines for management of severe
sepsis and septic shock: 2012. Crit Care Med. 2013; 41:580-
637
3. ARDSnet. Protokol Ventilasi Mekanik.
http://www.ardsnet.org/system/files/ventilator%20protocol
%20card.pdf Diunduh tanggal 15 Oktober 2013.
4. Gurka DP, Balk RA. Acute respiratory failure. In: Parillo Je,
Dellinger RP. Critical care medicine: principles of diagnosis
and management in the adult. 3rd ed. Philadelphia, PA:
Mosby Elsevier; 2008. P.773-89
5. Meduri GU, Golden E, Freire AX, et al. Methylprednisolone
infusion in early severe ARDS: results of a randomized
controlled trial. Chest 2007; 131:954-63.
6. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
HK.02.02/MENKES/251/2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Anestesiologi Dan Terapi Intensif.
2015.
Bekasi, ......................... 2017

Ketua Komite Medik Ketua SMF

Dr. H. Sutarji Sp. OG Dr. Haryana, Sp. An

Pedoman st

Panduan Praktik Klinis


SMF ANESTESI
DI RSBK

GANGGUAN ELEKTROLIT MENGANCAM NYAWA

38
No. Dokumen : 10/PPK/ANEST/RSBK/2017 Halaman : 1 dari 5 halaman

1. Pengertian (Definisi)  Gangguan elektrolit adalah nilai elektrolit dalam serum


yang melebihi atau kuang dari nilai normal.
 Gangguan elektrolit yang mengancam nyawa adalah
gangguan elektrolit yang dapat mengganggu fungsi
jantung,
 Aritmia jantung hingga mengakibatkan henti jantung
dan/atau mempengaruhi kesadaran.
 Hiperkalemia adalah konsentrasi kalium serum melebihi
5.5mEq/L
 Hiperkalemia ringan adalah konsentrasi kalium serum 5.5-
5.9mEq/L
 Hiperkalemia sedang adalah konsentrasi kalium serum6.0-
6.4 mEq/L
 Hiperkalemia berat adalah konsentrasi kalium serum>
6.5mEq/L
 Hipokalemia adalah konsentrasi kalium serum kurang
dari3.5 mEq/L
 Hipokalemia berat adalah konsentrasi kalium serum<2.5
mEq/L
 Hipernatremia adalah konsentrasi natrium serum melebihi
145 mEq/L
 Hiponatremia adalah konsentrasi natrium serum kurang
dari 135mEq/L
 Hiponatremia berat adalah konsentrasi natrium serum<
120 mEq/L
 Hipercalcemia adalah konsentrasi kalsium serum
melebihi10 .5mg/dL(2.5mmol/L) atau ion kalsium
melebihi 5.6 mg/dL (1.4mmol/L)
 Krisis hiperkalsemia adalah konsentrasi kalsium serum
melebihi14 mg/dL (3.5 mmol/L) atau ion kalsium
melebihi10 mg/dL (2.5 mmol/L)
 Hipocalcemia adalah konsentrasi kalsium serum kurang
dari 8 mg/dL (2.1 mmo/L) atau ion kalsium kurang dari
4.2 mg/dL (1.1 mmol/L)
 Hipermagnesemia adalah konsentrasi magnesium serum
melebihi 2.2 mEq/L (1.1 mmol/L)
 Hipomagnesemia adalah konsentrasi magnesium serum
kurangdari 1.3 mEq/L (0.6 mmol/L)
2. Anamnesis Hiperkalemia:
Lemas, paralisis, parestesia, gagal ginjal, pemakaian obat ACE-
I, angiotensin II receptor antagonist, diuretic yang
hematkalium, NSAID, betabloker.
Hipokalemia:
Diare, riwayat pemakaian obat diuretic, laxative, steroid, low
intake
Lemas, fatigue, kram kaki, konstipasi, paralisis hingga sulit
39
bernapas
Hipernatremia
Haus, demam, gangguan kesadaran
Hiponatremia
Mual, muntah, sakitkepala, diplopia
Riwayat pemakaian thiazide diuretic, gagal ginjal, operasi
tumor otak, trauma kepala
Hiperkalsemia
Batu ginjal, artritis, mual, muntah, anoreksia, konstipasi, nyeri
abdomen, gangguan konsentrasi dan daya ingat, confusion,
stupor, coma, letargi, fatigue, lemas, gatal, keratitis
Riwayat hiperparatiroid, gagal ginjal kronik, keganasan
pemakaian diuretic thiazide, hipertiroid
Hipokalsemia
Riwayat hipoparatiroid pasca op atau gagal ginjal kronik
Hipermagnesemia
Riwayat gagal ginjal, pemberian MgSO4
Hipomagnesemia
Diare, polyuria, kelaparan, alcoholism, malabasorpsi
3. Pemeriksaan Fisik Hiperkalemia:
Paralisis flaccid, reflex tendon menurun, aritmia
Hipokalemia
Ascending paralysis, aritmia
Hipernatremia
Demam, deficit neurologis focal, kejang, hiperventilasi
Hiponatremia
Kejang, koma
Hipercalcemia
Hipertensi, peptic ulcer
Hipocalcemia
Hiperreflexia, Chovstek dan Trousseaue sign, parestesia
ekstremitas dan wajah, kramotot, tetani, kejang, papil
edema, gejala extrapyramidal, diaphoresis, hipotensi, gagal
jantung kongestif
Hipermagnesemia
Confusion, depresi napas, cardiac arrest
Hipomagnesemia
Tremor, ataxia, Nistagmus, Aritmia
4. Kriteria Diagnosis 1. Konsentrasi kalium serum melebihi 5.5 mEq/L disertai
gangguan irama jantung
2. Konsentrasi kalium serum > 6.5 mEq/L dengan atau tanpa
gangguan irama jantung
3. konsentrasi kalium serum < 2.5 mEq/L disertai gangguan
irama jantung malignan
4. Konsentrasi natrium serum melebihi 145 mEq/L atau
konsentrasi natrium serum < 120 mEq/L yang disertai
gangguan kesadaran, kejang
5. Konsentrasi kalsium> 14 mg/dL (>3.5 mmol/L)
6. Konsentrasi kalsium serum < 8 mg/dL (2.1 mmol/L) atau
ion kalsium< 4.4 mg/dL (1.1 mmol/L)
7. Konsentrasi magnesium serum melebihi 2.2 mEq/L (1.1
mmol/L)
40
8. Hipomagnesemia adalah konsentrasi magnesium serum
kurang dari 1.3 mEq/L (0.6 mmol/L)
5. Diagnosis Kerja  Hiperkalemia berat
 Hipokalemiaberat
 Hipernatremia berat
 Hiponatremia berat
 Hipermagnesemia berat
 Hipomagnesemia berat
 Krisis Hipercalcemia
 Hipocalcemia akut
6. Diagnosis Banding Tidak ada
7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaanelektrolit serum natrium, kalium, magnesium,
kalsium, dan /atau kalsium ion
 Gula darah
 Urinalisa, elektroliturin (natrium), glukosaurin
 Fungsi ginjal (ureum dan kreatinin)
EKG
Hiperkalemia:
 Blok derajat 1 (PR interval memanjang>0.2 detik)
 Gelombang P hilang/flat
 Gelombang T tinggi (peaked/tented) (gel T lebih besar
dari gelombang R pada lebih dari 1 lead)
 ST depresi
 Gelombang S dan T menyatu (sine wave pattern)
 QRS melebar (> 0.12 detik)
 Takikardia ventricular
 Bradikardia
Hipokalemia
 Gelombang U
 Gelombang T flat
 Perubahan ST
 Aritmia (terutama bila pasien mengkonsumsi digoksin)
 Cardiopulmonary arrest (PEA, pulseless VT/VF, asystole)
Hipokalsemia
 Prolonged QT interval
 Terminal T wave inversion
 AV Blok
 Fibrilasiventrikel
Hipermagnesemia
 Prolonged PR dan QT interval
 Gelombang T peaking
 AV blok
 Cardiac arrest
Hipomagnesemia
 Prolonged PR dan QT interval
 ST depresi
 Gelombang T inversion
 Gelombang P flat
 Torade de pointes
41
 Durasi QRS meningkat
Analisa gas darah
8. Terapi Hiperkalemia berat:
1. Bolus calcium glukonas 10% 10 ml (jika ada gangguan
gambaran EKG)
2. Glucose plus insulin–25 g glucose dan 10 U regular
insulin berikan IV dalam 15 -30 menit
3. Nebulized salbutamol 5 mg nebulized selama15 menit
4. Furosemide iv 40-80 mg
5. Pemberian bikarbonat 50 mEq dalam 5 menit bila
asidosis berat.
6. Dialysis
Hipokalemia
1. PemberianK+ is 10 mEq/jam melalui jalur iv perifer
atau 20 mEq/jam melalui jalur iv central venous catheter
dengan ECG monitoring.
2. Hentikanobat yang mengakibatkan hipokalemia
3. Koreksi hipo-magnesemia
Hipernatremia
1. Bila hypernatremia akut atau simtomatik berat berikan
cairan hipotonik.
2. Bila pasien hipovolemia dengan hemodinamik
terganggu, berikan cairan isotonik untuk memperbaiki
status volume. Setelah hemodinamik stabil berikan cairan
hipotonik iv (NaCl 0.45% atau Dextrose 5%)
3. Koreksi maksimal 12 mEq/L dalam 24 jam
4. Akut hypernatremia dapatdikoreksi lebih cepat di awal
(1-2 mEq/L/jam), kenaikan 5 mEq/L sudah memperbaiki
gejala
Hiponatremia
1. Bila hiponatermia akut atau simtomatik berat berikan
NaCl hipertonik (NaCl 3% ) 1 mEq/L/jam hingga gejala
neurologis hilang setelah itu kecepatan koreksi 0,5 mEq/L/
jam
2. Koreksi maksimal12 mEq/L dalam 24 jam pertama
3. Bila SIADH restriksi cairan 50-66% dari kebutuhan
cairan

Adroge Madias formula :


Perubahan Na = (Na infus +K infus ) –serum Na
Total body water + 1

Total body water 0.6 x berat badan untuk laki-laki dan 0.5 x
berat badan untuk perempuan
Krisis Hiperkalsemia
1. Hidrasi dengan normal saline target urin output 200
ml/jam
2. Bila volume intra vaskular telah tercukupi dapat diberikan
furosemide
3. Calcitonin 4-8 IU per kg IM tiap 6 jam selama 24 jam
4. Bila akibat keganasan berikan hidrokortison 200 mg IV
selama 3 hari
42
5. Pasien gagal ginjal atau gagal jantung diterapi dengan
dialysis
Hipokalsemia akut dan simtomatik
1. Calcium gluconas 10 % 10-20 ml IV dilarutkan dalam
dextrose 5% diberikan selama 10 menit dengan monitor
EKG
2. 10 ampul calcium gluconas 10% 10 ml dilarutkan dalam 1
liter dextrose 5% diberikan 50 ml/jam untuk mencegah
hipocalcemia berulang.
3. Koreksi hipomagnesemia
Hipermagnesemia
1. Calcium glukonas 10% 10 ml
2. Suport ventilator
3. NaCl 0.9% dan furosemide IV
4. Dialysis
Hipomagnesemia
1. 2 g MgSO4 50% IV diberikan selama 15 min
2. Bila Torsade de pointes 2 g MgSO4 IV selama 1-2 min
3. Bila kejang 2 g Mg SO4 selama 10 min
9. Edukasi Edukasi keluarga mengenai risiko dan komplikasi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. PenelaahKritis a. dr. Sutihadi Sutjipto , SpAn
b. dr. Erfan Effendy, SpAn
c. dr. Dedhi Subandrio, SpAn
d. dr. Suparno Adi Santika, SpAn
14. IndikatorMedis 80% Pasien dirawat selama 4-7 hari
15. Kepustakaan 1. European Resuscitation Council Guidelines for
Rescucitation 2010. Section 8. Cardiac arrest in special
scircumstances: Electrolyte abnormalities, poisoning,
drowning, accidental hypothermia, hyperthermia, asthma,
anaphylaxis, cardiac surgery, trauma, pregnancy,
electrocution
2. Life Threatening Electrolyte Abnormalities.
Ciruculatiion 2005: 112:IV-121-IV-125
3. A Practical Approach to Hypercalcemia. American
Family Physician. 2003; 67; 9: 1959-1966
4. Diagnosis and management of Hypocalcemia BMJ
2008; 336: 1298-302

Bekasi, ......................... 2017

Ketua Komite Medik Ketua SMF

43
Dr. H. Sutarji Sp. OG Dr. Haryana, Sp. An

44

Anda mungkin juga menyukai